ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN
TAHUN 2013
SKRIPSI
Oleh:
IBA AMBARISA NIM. 101000362
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN
TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
IBA AMBARISA NIM. 101000362
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI
AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN TAHUN 2013
Nama Mahasiswa : IBA AMBARISA
Nomor Induk Mahasiswa : 101000362
Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan : Kesehatan Lingkungan
Tanggal Lulus : 28 Agustus 2013
Disahkan Oleh Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina , MS Nip: 19650109 199403 2 002
Pembimbing II
Dr. dr. Wirsal Hasan,MPH Nip: 94911191987011001
Medan, Oktober 2013 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan
ABSTRAK
Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Diantaranya penyakit parasitik yang menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktifitas hewan. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati (Fasciola hepatica).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai gambaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan tahun 2013.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif. Objek dalam penelitian ini adalah hati dan feses sapi dengan sampel yang telah di teliti yaitu 12 hati dan 12 feses sapi.
Berdasarkan hasil penelitian kandungan cacing dan telur pada hati dan feses sapi yang berasal dari rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat. Kondisi hati sapi yang di jadikan sampel sebayak 12 hati sapi (100%) dan feses sapi sebanyak 12 sampel (100%) di rumah potong hewan Mabar Medan telah memenuhi syarat.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa peneliti kondisi hati sapi yang telah dijadikan sampel sebanyak 12 hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan memenuhi syarat. Kondisi feses sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 feses sapi di rumah potong hewan Mabar Medan. Bagi Dinas Peternakan Kota Medan diharapkan melakukan penyuluhan kepada pemilik peternakan sapi agar meningkatkan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi yang telah memenuhi syarat. Kepada pengelola peternakan sapi diharapkan agar memberikan pakan ternak yang segar dan tidak basah agar tidak terkontaminasi oleh cacing.
ABSTRACT
Among the many animal diseases in Indonesia, a parasitic disease has received less attention from the breeder. Diseases in livestock is one of the obstacles encountered in the development of animal husbandry, Among parasitic disease that causes loss of body condition and a decrease in the productivity. Among parasitic diseases are very harmful disease caused by liver fluke (Fasciola hepatica).
The purpose of this study to describe the liver fluke (fasciola hepatica) in cattle liver and feces were taken from the slanghterhause in Mabar Medan years 2013.
The method used in this study is a survey that is both descriptive, object of research is the heart and cow feces samples to be studied were 12 liver and 12 feces beef.
Based on the research content of worms and aggs in the liver and feces from the liver slaughterhouse in Mabar Medan has qualified. Beef liver condition are made in the sample were is beef liver (100%) and 12 samples of beef feces (100%) in theabattoir has qualified Mabar Medan.
The conclusion that Beef liver condition which sampled a total of 12 beef liver in a battoir in Mabar Medan qualify. Conditions are made in the cow feces sample of 12 feces slaughterhouse cows in field Mabar Medan. For city farm field offices are expected to conduct ontreach to owners of cattle in order to increase the knowledge of good cattle rearing. To the managers of dairy farm is expected to provide fresh fodder and not wet from being contaminated by liver fluke (fasciola hepatica).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Iba Ambarisa
Tempat/Tanggal Lahir : Tungkam Sakti, 13 Maret 1987
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Jumlah Anggota Keluarga : 3 (tiga) orang
Alamat Rumah : Dusun II Tungkam Sakti
RT/RW : 002/001
Kec/Desa : Pangkalan Siata
Kecamatan : Pangkalan Susu
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 1993-1999 : SD Negeri Halban Kedai Langkat
2. Tahun 1999-2002 : MTS Swasta Pesanteren Ulumul Qur'an Stabat
3. Tahun 2002-2005 : MAS Pesanteren Ulumul Qur'an Stabat
4. Tahun 2007-2009 : Akademi Kebidanan Sehat Medan
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi denjan judul “Analisis
Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari
Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013”. Untuk memenuhi pra syarat
meraih gelar kesarjanaan dari Fakultas Kesehatn Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga
dalam kesempatan ini penulis ini menyampaikan penghargaan yang tak terhingga dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing Akademik.
2. Ir. Evi Naria, Mkes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas
Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran dalam
penyempurnaan skripsi ini.
4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan
5. Bapak Mohd. Arifin Siregar, MS selaku Pembimbing Akademik yang selalu
memberikan bimbingan dan motivasi penulis selama melaksanakan perkuliahan
di fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh Dosen Khususnya Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam mengikuti perkuliahan.
7. Seluruh staf Pegawai dan Karyawan khususnya Kak Dian yang telah membantu
kelancaran skripsi ini
8. Ibu Ida Putri dan Pak Ahadi Kurniawan,S.Si,MScPH selaku pembimbing
Laboratorium Entomologi BTKL&PPM Medan.
9. Pak Ir. Ading Gusti Zain dan seluruh staf karyawan di Rumah Potong Hewan
Mabar Medan yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
kelancaran skripsi ini.
10.Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta dan terbaik ibunda Nafsiah dan
Ayahanda Suharto yang telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya dalam
mengasuh, mendoakan, memenuhi segala kebutuhan penulis selama ini dan
kepada abang tersayang Yugo Wiguno, dan adik tercinta Aji Suandana serta
seluruh keluarga besar atas semua semangat, doa, dan kritiknya yang diberikan.
11.Sahabat-sahabatku tersayang: Rahma Ayu Febriani, Sri Lestari, Suryasih Mustika
nst, Yuli Yolanda.. Terima kasih atas doa, saran, motivasi, dukungan yang telah
diberikan. Buat semua teman-teman FKM USU yang tidak dapat disebutkan satu
persatu namanya atas dukungan, dan kerjasama selama ini.
12.Buat rekan-rekan Mahasiswa seperjuangan di Departemen Kesehatan Lingkungan
teman-teman seangkatan Ex B 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas
dukungannya buat penulis.
13.Buat sahabat-sahabat gang Anyelir IV (harni, yusi, ais, alas, kak janah, andes,
rina, evi) atas dukungan dan semangatnya buat penulis.
Dengan segala kerendahan hati, disadari bahwa penulisan skripsi ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaaat bagi kita semua. Amin.
Medan, Agustus 2013
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ... i
Abstrak ... ii
Daftar Riwayat Hidup ... iii
Kata Pengantar ... iv
2.1 Pentingnya Makanan Bagi Kesehatan ... 9
2.2 Sapi……….. ... 9
2.3 Karakteristik Sapi ... 10
2.3.1 Tujuan Pemeliharaan Sapi... 13
2.3.2 Cara Pemeliharaan Sapi.. ... 14
2.3.3 Pakan Sapi.. ... 15
2.3.3.1 Jenis Pakan.. ... 15
2.3.3.2 Nutrisi Pakan.. ... 16
2.3.3.3 Kendala Dalam Ketersedian Pakan... ... 18
2.3.4 Tindakan Hygiens/ Sanitasi ... 19
2.4 Daging………….. ... ... 21
2.4.1 Karakteristik Kimia Daging ... 22
2.4.2 Karakteristik Fisik Daging ... 22
2.5 Metode Pemeriksaan Cacing Hati Dengan Mikroskop ... 23
2.6 Cacing Hati(Fasciola Hepatica).. ... 23
2.6.1 Morfologi Cacing Hati (Fasciola Hepatica).. ... 24
2.6.2 Siklus Hidup Fasciola Hepatica Pada Sapi.. ... 24
2.6.3 Siklus Hidup Fasciola Hepatica Pada Manusia . ... 26
2.6.4 Morfologi Telur dan Larva Fasciola Hepatica.. ... 27
2.6.5 Penyakit Fasciola Hepatica Pada Manusia.. ... 28
2.7 Kerangka Konsep.. ... 30
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
3.1 Jenis Penelitian….. .. ... 31
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 31
3.2.2 Waktu Penelitian ... 31
3.3 Objek Penelitian……. . ... 31
3.4 Mekanisme Pengambilan sampel ... 31
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 32
3.5.1 Data Primer .. ... 32
3.5.2 Data Skunder ... 32
3.6 Defenisi Operasional ... 32
3.7 Aspek Pengukuran .. ... 33
3.8 Prosedur Kerja Pemeriksaan Cacing Hati ... 34
3.9 Prosedur Kerja Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Apung (Flotation Method)…………. 35
3.10 Analisa Data ……….. ... 36
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 37
4.1. Hasil Penelitian ... 37
4.1.1. Karakteristik Pengelolah Peternakan Sapi ... 37
4.1.1.1. Umur ... 37
4.1.1.2. Tingkat Pendidikan ... 38
4.1.1.3. Lama Bekerja ... 38
4.1.1.4. Pengetahuan Responden... 39
4.1.2.Lokasi Peternakan Sapi ... 41
4.1.3. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati Pada Hati Sapi ... 42
4.1.4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati Pada Feses Sapi ... 43
BAB V PEMBAHASAN ... 45
5.1. Karakteristik Pengelolah Peternakan Sapi ... 45
5.1.1. Umur ... 45
5.1.2. Tingkat Pendidikan ... 45
5.1.3. Lama Bekerja .... ... 46
5.1.4. Pengetahuan Responden ... 46
5.2. Lokasi Peternakan Sapi .... ... 47
5.3. Temuan Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Sapi... 48
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 50 6.1. Kesimpulan ………… ... 50 6.2. Saran………. . . ... 50 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 4.1. Distribusi Umur Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun
2013 ... 37 4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar
Medan Tahun 2013 ... 38 4.3. Distribusi Lama Bekerja Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar Medan
Tahun 2013 ... 38 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Pengelolah Peternakan Sapi di
Mabar Medan Tahun 2013 ... 39 4.5. Kategori Pengetahuan Responden Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar
Medan Tahun 2013 ... 40 4.6. Distribusi Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013 ... 41 4.7. Kategori Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013 ... 42 4.8. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Sapi di
Mabar Medan Tahun 2013 ... 42 4.9. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Feses
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Sapi………..……… 24
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner Penelitian Analisis Cacing Hati ( fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013
2. Lembar Observasi Analisis Cacing Hati ( fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013
3. Dokumentasi Pada Saat Melakukan Penelitian
4. Surat Permohonan Izin Penelitian di BTKL&PPM Medan Dan Rumah Potong Hewan di Mabar Medan Tahun 2013
5. Surat Keterangan Izin Penelitian di Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan
ABSTRAK
Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Diantaranya penyakit parasitik yang menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktifitas hewan. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati (Fasciola hepatica).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai gambaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan tahun 2013.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif. Objek dalam penelitian ini adalah hati dan feses sapi dengan sampel yang telah di teliti yaitu 12 hati dan 12 feses sapi.
Berdasarkan hasil penelitian kandungan cacing dan telur pada hati dan feses sapi yang berasal dari rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat. Kondisi hati sapi yang di jadikan sampel sebayak 12 hati sapi (100%) dan feses sapi sebanyak 12 sampel (100%) di rumah potong hewan Mabar Medan telah memenuhi syarat.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa peneliti kondisi hati sapi yang telah dijadikan sampel sebanyak 12 hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan memenuhi syarat. Kondisi feses sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 feses sapi di rumah potong hewan Mabar Medan. Bagi Dinas Peternakan Kota Medan diharapkan melakukan penyuluhan kepada pemilik peternakan sapi agar meningkatkan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi yang telah memenuhi syarat. Kepada pengelola peternakan sapi diharapkan agar memberikan pakan ternak yang segar dan tidak basah agar tidak terkontaminasi oleh cacing.
ABSTRACT
Among the many animal diseases in Indonesia, a parasitic disease has received less attention from the breeder. Diseases in livestock is one of the obstacles encountered in the development of animal husbandry, Among parasitic disease that causes loss of body condition and a decrease in the productivity. Among parasitic diseases are very harmful disease caused by liver fluke (Fasciola hepatica).
The purpose of this study to describe the liver fluke (fasciola hepatica) in cattle liver and feces were taken from the slanghterhause in Mabar Medan years 2013.
The method used in this study is a survey that is both descriptive, object of research is the heart and cow feces samples to be studied were 12 liver and 12 feces beef.
Based on the research content of worms and aggs in the liver and feces from the liver slaughterhouse in Mabar Medan has qualified. Beef liver condition are made in the sample were is beef liver (100%) and 12 samples of beef feces (100%) in theabattoir has qualified Mabar Medan.
The conclusion that Beef liver condition which sampled a total of 12 beef liver in a battoir in Mabar Medan qualify. Conditions are made in the cow feces sample of 12 feces slaughterhouse cows in field Mabar Medan. For city farm field offices are expected to conduct ontreach to owners of cattle in order to increase the knowledge of good cattle rearing. To the managers of dairy farm is expected to provide fresh fodder and not wet from being contaminated by liver fluke (fasciola hepatica).
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di
hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan
optimal, bila secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan
pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di
Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak.
Penyakit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun
menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya
produktivitas hewan. Diantar penyakit parasit yang sangat merugikan adalah
penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola hepatica,yang dikenal dengan
nama Distomatosis, atau Fasciolosis (Mukhlis, 1985).
Penyakit ini menimbulkan banyak kekhawatiran, karena distribusi dari kedua
inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk
manusia dan dalam siklus hidupnya termasuk siput air tawar sebagai hospes
perantara parasit. Baru-baru ini, tercatat banyak kerugian di seluruh dunia pada
produktivitas ternak karena fasciolosis diperkirakan lebih dari US $ 3,2 miliar per
tahun. Selain itu, fasciolosis sekarang dikenal sebagai penyakit yang dapat menular
pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)
memperkirakan bahwa 2,4 juta orang terinfeksi oleh Fasciola spp, dan 180 orang
Cacing dewasa terlokalisir hidup dalam saluran atau kandungan empedu. Pada
sapi, prevalensi penyakit ini di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat
mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Jogjakarta kasus kejadiannya antara
40-90%, sedangkan prevalensi penyakit fasciolosis pada doma belum diketahui.
Fasciola hepatica yang dapat memepengaruhi jutaan orang di seluruh dunia hingga
17 juta orang yang terinfeksi dan sekitar 19,1 juta beresiko terinfeksi. Penyakit ini
sangat merugikan karena dapat menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan
produksi, pengafkiran organ tubuh terutama hati, bahkan dapat menyebabkan
kematian di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6
milyar (Anonimous, 2004).
Cacing hati (Fasciola hepatikca), cacing hati yang besar, suatu jenis
Trematoda yang berfamili dekat dengan Fasciolopsis buski terdapat pada berbagai
daerah di dunia. Infeksinya terdapat di negara – negara : Perancis, Korsika, Algeria,
Inggris, Portugis, Iran, di beberapa Negara di Afrika Selatan (seperti Brazilia, Peru,
Cili),Opuerto Rico, Medeira, Afrika Selatan, Thailand. Pemindahannya sama seperti
Fasciolopsis buski, yaitu melalui sayuran yang hidup dalam air. Cacing ini sering
ditemukan pada sapi, biri-biri, kambing dan hewan pemakan tumbuhan lainnya.
Fasciola hepatica ditemukan di mana-mana, dimana terdapat keong tertentu sebagai
hospes perantara. (Susanto, 2009).
Cacing hati (Fasciola hepatica) memiliki telur yang besar, berbentuk oval,
mempunyai tutup, berwarna kuning sampai coklat, dan berukuran 130 – 150
mikron. Telur yang belum matang keluar bersama fases. Pematangan dalam air
mirasidium dari telur. Dalam waktu 8 jam mirasidium ini harus menembus keong
air untuk melanjutkan pertumbuhannya. Keong yang bertindak sebagai hospes
intermedietnya ialah jenis Lymnaea. Dalam keong mirasidium menjadi sporokis
muda. Dalam 3 minggu, sporokis menghasilkan redia induk, yang pada minggu
berikutnya mengandung redia anak. Redia tumbuh menjadi serkaria. Serkari yang
sudah matang meninggalkan keong untuk hidup bebas dalam air. Beberapa jam
dalam air serkaria ini melepaskan ekornya dan merambat pada berbagai tumbuhan
air seperti rerumputan dan karsen air, kemudian mengkista menjadi metaserkaria.
Metaserkaria ini dapat hidup dalam waktu lama di atmosfer yang lembab, tapi akan
cepat mati dalam waktu kekeringan. Apabila ternak merumput maka ternak tersebut
dapat mengalami infeksi. Penting diperhatikan pada peternak bahwa metaserkaria
dapat bertahan pada jerami dan tanaman makanan ternak sekitar 28 hari pada suhu 5
– 10º C, sehingga pada kelembaban udara yang lebih tinggi mempunyai daya infeksi
sampai 70 hari. (Supardi, 2002).
Metaserkaria demikian atau cacing muda memulai penyebarannya dalam usus
hospes. Mereka menembus dinding usus dan berkelana melewati rongga perut
sampai ke hati. Setelah mereka menembus lapisan hati, sampailah mereka disaluran
empedu dan kantung empedu. Dalam saluran empedu, cacing muda menjadi cacing
dewasa dalam jangka waktu 1 – 2 bulan. Cacing yang dewasa akan bertelur.
Bersama cairan empedu, telur berhasil masuk ke dalam saluran usus dan dapat
ditemukan dalam tinja (fases). Telur ini selanjutnya memulai daur kehidupannya di
luar inang (ternak). Fasciola hepatica besifat hemaprodit, setiap individu dapat
200 ekor cacing atau lebih. Manusia terinfeksi umumnya karena memakan tanaman
air ini. Terinfeksinya penduduk tergantung pada kebiasaan makanan penduduk.
Berdasarkan hal ini ternyata bahwa misalnya di Perancis terdapat infeksi yang
relatif sering, di Jerman jarang sekali, karena itu sebagai propilak dapat diambil
tindakan menghindari makanan mentah tumbuh-tumbuhan air konsekuen. (Irianto,
2009).
Cara hidup tiap-tiap jenis keong tersebut dapat berbeda-beda (berair, setengah
berair). Telur cacing hati ini akan ditemukan pada pemeriksaan tinja dan cairan
usus. Pada stadium perlmulaan penyakit ini tidak ditemukan telur. Pemeriksaan
mikroskopis dapat dilakukan dengan metode serologis (CFT) dan tes kulit (antigen
di dapat dari cacing dewasa). Dianjurkan pemakaian test Immunofluorescet tidak
langsung dengan mempergunakan mirasidium Fasciola sebagai antigen. (Irianto,
2009).
Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30 x 13
mm. Bagian anterior bebentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat
batil isap mulut yang besarnya ± 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut
terdapat batil isap perut yang besarnya ± 1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang –
cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga
bercabang-cabang. Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikron, dikeluarkan melalui saluran
empedu kedalam tinja dalam kedaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air
setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium
Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu
tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi
metaserkaria. Bila ditelan, metasekaria menetas dalam usus halus hewan yang
memekan tumbuhan air tersebut, nembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang
peritoneoum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi
dewasa. Baik larva maupun cacing dewasa hidup dari jaringan parenkim hati dan
lapisan sel epitel saluran empedu. Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang
mengandung metaserkaria (FK UI, 2009).
Agar Masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat
membahayakan standard persyaratan agar makanan dan minuman layak dan aman
dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 ayat
1 yaitu: pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi
masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi standard persyaratan
kesehatan (Fardiaz, 1992).
Masyarakat perlu dilindungi dari makanan dan minuman yang tidak
memenuhi persyaratan hygienis dan sanitasi yang dikelolah oleh tempat-tempat
umum dan tempat-tempat pengelolaan makanan, seperti rumah makan dan restoran
agar tidak membahayakan kesehatan. Pada umumnya rumah makan dan restoran
sekarang ini lebih mengutamakan penyajian makanan atau rasa dari makanan tanpa
memperhatikan hygiene sanitasi makanan (Purnawijayanti, 2007).
Penyakit cacing hati (fasciola hepatica) merupakan zoonosis yang disebabkan
oleh hewan parasit dan fasciola gegantica. Fasciola adalah cacing trematoda dengan
herbivora maupun manusia. Sekitar 40 negara di dunia tercatat sebagai endemisitas
fasciollasis hepatica, tersebar di Eropa, kawasan Amerika Selatan, Afrika, Timur
Tengah, Asia, terutama di lokasiternak sekala besar. Kejadian fasciolllasis hepatica
pada ternak herbivora juga meningkat seiring dengan bertambahnya sistem irigasi
pertanian dan meluasnya lahan tanam yang dialiri. Sementara itu, hewan vertebrata
herbivora yang rentan terinfeksi cacing fasciola hepatica adalah domba, kambing,
sapi, kelinci, rusa dan kuda. Habitat dan kebisaan pakan hewan merupak faktor yang
menentukam kecenderungan untuk terinfeksi.(Gandahusada, 1998).
Sapi merupakan salah satu alternatif pilihan bagi ternak sapi potong yang
dikembangkan dan dipergunakan untuk mebantu usaha tani dan pengadaan protein
hewani. Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki keunggulan berupa kemampuan
adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat
fertilitas yang tinggi. Oleh karena itu tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk
memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, dapat di jadikan pendorong untuk
memperbaiki produktivitas dan pengolahaan sapi asli Indonesia. (Achjadi 1986).
Pusat Statistik tahun 2007 menunjukan bahwa populasi ternak besar yang
terdiri dari sapi perah, sapi potong, kerbau dan kuda pada tahun 2006 secara
berturut-turut adalah 6.400 ekor, 248.100 ekor, 259.100 ekor dan 5.600 ekor, domba
199.300 ekor, dan babi 807.400 ekor. Meningkat pada tahun 2007 untuk populasi
ternak besar maupun ternak kecil masing-masing sapi perah 6.500 ekor, sapi potong
248.400 ekor, kerbau 260.000 ekor, kuda 6.000 ekor, kambing 708.000 ekor, domba
populasi ternak terbesar di Sumatera Utara adalah ternak babi sebesar 828.000 ekor
(BPS,2008).
Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang
dihadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi
akan optimal, bisa secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan
pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di
Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak.
Penyakit parasitik biasanya tidak mengakibatkan kematian hewan ternak, namun
menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas
hewan sangat besar. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah
penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola hepatica. (Suweta 1984).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah terdapat cemaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan
feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui kandungan cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan
feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati
2. Untuk mengetahui jumlah cacing hati (Fasciola hepatica) yang di ambil dari
hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan.
3. Untuk mengetahui kondisi sanitasi kandang sapi di peternakan.
4. Untuk mengetahui gambaran pakan dan air minum sapi di peternakan.
5. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya telur cacing hati pada feses sapi yang
di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.
6. Untuk mengetahui jumlah telur cacing hati pada feses sapi yang di ambil dari
rumah potong hewan di Mabar Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai data awal tentang keberadaan cacing Fasciola hepatica pada hati dan
feses sapi yang dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi penulis lain
untuk penelitian lebih lanjut.
2. Sebagai bahan masukan bagi dinas peternakan untuk melakukan pemeriksaan
hati sapi, agar hati yang mengandung cacing hati tidak sampai dikonsumsi
masyarakat.
3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah dan instansi terkait dalam
menentukan kebijakan yang berkaitan dengan sanitasi peternakan sapi potong
khususnya dalam hal pemberian pakan dan minum ternak dan lokasi
peternakan.
4. Sebagai informasi bagi konsumen agar lebih teliti lagi mengenai adanya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pentingnya Makanan Bagi Kesehatan
Makanan adalah segala sesuatu yang dipakai atau yang dipergunakan oleh
manusia supaya dapat hidup. Zat makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia
dapat meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air. Protein,
lemak, dan karbohidrat disebut zat makanan pokok karena banyak memberikan
kalori. Menurut Irianto (2007), zat-zat makanan yang baik harus memenuhi
syarat :
1. Harus cukup memenuhi kalori.
2. Harus ada perbandingan yang baik antara zat makanan pokok.
3. Protein yang masuk cukup dan mengandung asam amino.
4. Harus cukup mengandung vitamin.
5. Harus cukup mengandung garam mineral.
6. Harus mudah dicernakan oleh alat pencerna.
7. Harus bersifat hygienis. 2.2.Sapi
Menurut Murtidjo (1990), pada umumnya bangsa sapi yang terbesar di
seluruh penjuru dunia berasal dari bangsa sapi primitif yang telah mengalami
dosmetikasi (penjinakan). Pada garis besarnya sapi dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok yaitu :
Bos indicus berkembang di India dan akhirnya menyebar ke berbagai Negara,
terlebih daerah tropis seperti Asia tenggara (termasuk Indonesia), Afrika,
Amerika, dan Australia.
2. Bos Taurus
Bos Taurus adalah bangsa sapi yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong
dan perah di Eropa. Golongan ini akhirnya menyebar keseluruh penjuru dunia,
terlebih Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Belakangan ini keturunan Bos
Taurus telah banyak diternakkan dan dikembangkan di Indonesia.
3. Bos Sondaicu ( Bos bibos)
Golongan sapi ini merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi di Indonesia.
Sapi yang kini ada merupakan keturunan banteng (Bos Bibos), dewasa ini kita
kenal dengan nama sapi Bali, sapi Madura, sapi jawa, sapi Sumatera, dan sapi
lokal lainnya.
2.3. Karakteristik Sapi 1. Umur Sapi
Menafsir umur sapi merupakan salah satu pengetahuan yang perlu dikuasai
oleh peternak. Umur sapi dapat dideskripsikan dari :
a. Catatan tanggal lahir
Hasil catatan tanggal lahir yang dilakukan oleh peternak. Akan tetapi hal ini
hanya dilakukan oleh peternak tradisional.
b. Keadaan gigi serinya.
Pada prinsipnya, taksiran dengan metode gigi sapi adalah memperhitungkan
1. Sapi yang memiliki gigi susu semua pada rahang bawah, mempunyai
umur sekitar kurang dari 1,5 tahun.
2. Sapi yang memiliki gigi tetap sepasang pada rahang bawah, mempunyai
umur sekitar 2 tahun.
3. Sapi yang memiliki gigi tetap dua pasang pada rahang bawah, mempunyai
umur sekitar 3 tahun.
4. Sapi yang memiliki gigi tetap tiga pasang rahang bawah, mempunyai
umur sekitar 3,5 tahun.
5. Sapi yang memiliki gigi tetap empat pasang pada rahang bawah,
mempunyai umur sekitar 4 tahun.
6. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 25% bagian
telah aus, mempunyai umur sekitar 6 tahun.
7. Sapi yang memiliki gigi lengkap empat pasang, tapi 75% bagian telah
aus, mempunyai umur diatas 8 tahun.
8. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 75% bagian
telah aus, mempunyai umur diatas 8 tahun.
c. Keadaan tanduk, khususnya dengan memperhatikan gelang-gelang pada
tanduk. Sapi jantan akan menimbulkan gelang yang pertama setahun lebih
lambat dari sapi yang betina.
2. Jenis Sapi
Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli
daging adalah sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole), sapi Aceh, sapi
Brahman, sapi Bali, dll.
a. Sapi Ongole
Bangsa sapi ini berasal dari India (Madras) yang beriklim tropis dan bercurah
hujan rendah. Sapi ongole ini di Eropa disebut zebu, sedangkan di jawa sangat
populer dengan sebutan sapi benggala. Ukuran tubuh besar dan panjang
sehingga merupakan jenis sapi yang paling banyak dipelihara untuk dijadikan
sapi potong.
b. Sapi Bali
Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng yang telah
mengalami proses penjinakan beradab-adab lamanya. Sapi Bali termasuk tipe
sapi pedaging dan pekerja. Bentuk tubuh menyerupai banteng, tinggi badan
sapi dewasa mempunyai 130 cm dan berat badan sapi jantan mencapai 450 kg
sedangkan betina 300 – 400 kg.
c. Sapi Aceh
Sapi ini merupakan sapi asli Indonesia karena sudah ada sejak zaman
Kerajaan Sultan Iskandar Muda. Sapi ini adalah hasil persilangan antara bos
indicus dengan banteng, dengan beberapa keunggulan sehingga banyak
disiplin untuk sapi pembibitan.
d. Sapi Brahman
Bangsa sapi ini semula berkembang di Amerika Serikat kemudian tersebar
luas baik di daerah tropis maupun subtropis, yakni Australia dan juga di
Walaupun di daerah kurang subur, tetapi sapi Brahman tumbuh cepat karena
pakannya sedarhana.
3. Berat Sapi
Memberikan taksiran berat sapi, merupakan salah satu cakupan ketrampilan
yang menjadi tututan bagi peternak. Secara sederhana berat sapi dapat dihitung
dengan rumus terapan sebagai berikut :
Berat sapi = Pt x Ld x 70
Ld = Lingkar dada sapi
4. Jenis Kelamin Sapi
Peternakan sapi potong biasanya memelihara keduanya, baik sapi jantan
maupun betina. Tetapi untuk sapi potong biasanya peternak memilih sapi jantan
karena pertumbuhannya lebih cepat dari sapi betina.
2.3.1. Tujuan Pemeliharaan Sapi
Menurut Murtidjo (1990), dalam sebuah usaha peternakan sapi potong,
bibit ternak yang di beli mempunyai arti penting dalam mendukung keberhasilan
usaha. Sehingga pemeliharaan bibit ternak harus disesuaikan dengan tujuan
ternak sapi potong tersebut sehingga mendapatkan hasil yang maksimal seperti
tujuan yang diinginkan.
Adapun tujuan pemeliharaan :
a. Usaha pemeliharaan sapi potong bibit.
Usaha ini bertujuan mengembangbiakkan sapi potong sehingga diharapkan
b. Usaha pemeliharaan sapi potong untuk penggemukan.
Usaha ini bertujuan untuk mendapat hasil dari penggemukan sapi menjadi
gemuk. Sebagian besar peternak memilih untuk melakukan penggemukan
sapi potong atau disebut juga fattening.
2.3.2. Cara Pemeliharaan Sapi
Menurut Murtidjo (1990), adapun cara pemeliharaan sapi potong biasa
diterapkan adalah :
a. Pasture Fattening
Sapi biasanya dilepaskan di padang penggembalaan. Jadi, sapi merumput
sendiri sampai kenyang, kemudian menjelang petang hari dikandangkan dan
esoknya di lepas lagi. Sapi yang dipilih yang berumur 2,5 tahun dan lama
penggemukan berlangsung 6 – 8 bulan. Sapi tidak diberi makan penguat,
sapi menjadi gemuk hanya merumput.
b. Dry lot Fattening
Pada sistem penggemukan seperti ini, sapi yang digemukkan tinggal di
dalam kandang terus-menerus. Sapi-sapi itu tidak digembalakan ataupun
dipekerjakan. Pemeliharaan sapi dengan cara ini, sapi hanya diberi pakan
penguat saja, seperti bahan baku biji-bijian jagung, bungkil kepala dan
gandum. Pemeliharaan seperti ini pada prakteknya memerlukan biaya yang
cukup tinggi dan lamanya penggemukan sekitar 4 – 6 bulan.
c. Kombinasi Pasture – Dry Lot Fattening
Penggemukan dengan cara ini sangat cocok dilakukan di lingkungan tropis
sangat subur di padang penggembalaan, sapi-sapi dilepas untuk merumput
sendiri. Tetapi di musim kemarau, pada saat rumput sangat terbatas
jumlahnya, sapi-sapi dikandangkan dan diberi makan biji-bijian dan pakan
hijauan kering lainnya seperti jerami.
2.3.3. Pakan Sapi 2.3.3.1. Jenis Pakan
Menurut Sugeng (2000), sapi yang sehat memerlukan jumlah pakan yang
cukup dan berkualitas, baik dari segi kondisi pakan maupun imbangan nutrisi
yang dikandungnya. Jenis pakan yang biasa diberikan untuk sapi:
1. Pakan Hijauan
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman atupun
tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan
bunga. Pada umumnya pakan hijauan adalah rumput seperti rumput gajah
dan rumput benggala dan jerami.
2. Pakan Penguat (Konsentrat)
Bahan pangan penguat ini meliputi bahan makanan yang bersal dari
biji-bijian seperti jagung giling, menir, dedak, bungkil kelapa, dan berbagai
umbi. Pakan penguat berfungsi untuk meningkatkan dan memperkaya nilai
gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Sehingga sapi yang
sedang tumbuh ataupun yang sedang dalam masa penggemukan harus
3. Pakan Tambahan
Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin, mineral, dan urea.
Pakan tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif,
yang hidupnya berada di dalam kandang terus-menerus. Vitamin yang
dibutuhkan ternak sapi adalah vitamin A dan vitamin D, sedangkan mineral
yang dibutuhkan terutama Ca dan P. Pada umumnya pakan tambahan
vitamin dan mineral berupa feed-supplement.
2.3.3.2. Nutrisi Pakan
Menurut Andoko (2012), makanan ternak sapi potong dari sudut nutrisi
merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan,
pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Makanan sangat esensial bagi ternak sapi.
Makanan yang baik akan menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses
dalam tubuh secara normal.
Bahan baku makanan yang diperlukan dalam menyusun bahan makanan
sapi, terutama tersusun atas kadar air, protein, lemak, serat kasar, sumber
mineral, dan karbohidrat.
1. Air
Air merupakan bahan pakan utama yang terkadang terlukapan mendapat
perhatian dari para peternak. Oleh karena itu tubuh hewan terdiri dari 70% air,
maka air benar-benar termasuk kebutuhan utama yang tidak bisa diabaikan. Bila
sampai terjadi pengurangan air hingga 20%, hewan bersangkutan akan mati.
Kebutuhan air bagi hewan ternak tergantung pada berbagai faktor: kondisi iklim,
lebih muda lebih banyak, apalagi jika kondisi lingkungan atau suhu meningkat.
Kebutuhan air tersebut dapat terpenuhi melalui air minum, air yang terkandung
di dalam pakan, dan air yang berasal dari proses metabolisme zat pakan dalam
tubuh. Sapi memerlukan 3 – 6 liter air per 1 kg pakan kering.
2. Protein
Protein berfungsi untuk mengganti dan membangun sel tubuh yang rusak.
Karena protein tidak dapat di bentuk dalam tubuh, tetapi mutlak diperlukan,
maka pakan sapi harus mengandung protein. Protein bisa diperoleh dari
bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang berupa hijauan
leguminosa seperti daun turi, daun lamtoro, ataupun dari biji-bijian seperti
bungkil kedelai, ataupun bungkil kacang tanah. Sumber protein juga bisa berasal
dari hewan, misalnya tepung darah, tepung ikan, dan tepung daging.
3. Lemak
Sebagai sumber energi, lemak juga berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E,
dan K. Di dalam tubuh sapi, lemak yang terkandung dalam bahan pakan diubah
menjadi patih dan gula. Sumber lemak utama terdapat pada pakan berbutir
seperti bungkil kacang tanah, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai.
4. Serat Kasar
Serat kasar diperoleh dari pakan hijauan jenis lenguminose seperti daun turi
dan petai cina. Kandungan serat kasar yang diperlukan ternak sapi paling sedikit
13% dari bahan kering di dalam ransum. Serat kasar berfungsi menjaga alat
pencernaan agar bekerja baik, membuat kenyang dan mendorong keluarnya
5. Mineral untuk Sapi potong
Beberapa unsur penting mineral yang diperlukan ialah natrium (Na), klor (Cl),
kalsium (Ca), forsor (P), sulfur (S), ferum (Fe), Kalium (K), magnesium (Mg),
iodium (I), kuprum (Cu), kobalt (Co), seng (Zn), dan selenium (Se). Pada
umumnya unsur-unsur ini banyak terdapat di dalam ransum pakan. Namun sering
kali, perlu ditambahkan unsur mineral, terutama garam (NaCl), Kalium (Ca), dan
Fosfor (P).
6. Karbohidrat
Karbohidrat adalah senyawa yang terbentuk dari senyawa molekul karbon,
hidrogen, dan oksigen. Sebagai salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat
adalah penghasil energi di dalam tubuh. Proses pembakaran karbohidrat akan
digunakan oleh sapi untuk berbagai fungsi penting seperti bernafas, kontraksi
jantung, dan aktivitas lainnya. Bahan pakan yang banyak mengandung
karbohidrat untuk pakan sapi adalah biji-bijian, seperti jagung, gandum, dan
jewawut.
2.3.3.2. Kendala dalam Ketersediaan Pakan
Menurut Sugeng (2000), terbatasnya pakan ternak sapi, terutama pakan
hijauan yang tersedia sepanjang tahun merupakan kendala besar dalam proses
penggemukan sapi potong.
Adapun kendala dalam keterediaan pakan adalah:
1. Pada umumnya produksi hijauan pakan ternak adalah musiman sehingga
hijauan berbeda dengan pakan penguat atau pakan berbiji yang bisa di
datangkan dari mana dan kapan saja.
2. Pengadaan pakan hijauan umumnya di hasilkan atau dibeli di lingkungan
sekitar. Terkadang jumlahnya sangat berlimpah dan berlebihan bila musim
panen lokal namun terkadang juga sangat terbatas dan penyediaannya pun
dalam waktu singkat. Volume, kualitas, dan kontinoitas penyediaan hijuan
masih belum memadai sebab para peternak masih menggunakan sistem
pemanfaatan sisa-sisa atau hasil ikutan tanaman berupa jerami ataupun sisa
hasil panen lainnya.
2.3.4. Tindakan Hygienis/ Sanitasi
Tindakan hygienis ialah usaha penjagaan kesehatan melalui kebersihan
agar ternak bebas dari suatu infeksi penyakit, baik virus, maupun parasit.
Tindakan hygienis berikut biasa dilakukan oleh para peternak guna
membebaskan infeksi penyakit tersebut.
1. Kebersihan Peralatan
Menjaga kebersihan dengan cara menyucihamakan peralatan, segala
peralatan yang pernah dipakai harus disucihamakan dengan cara:
a. Disemprot, disiram, atau direndam dengan cairan desinfektan: Creolin,
Lysol, ataupun bahan paten lain.
b. Dijemur langsung pada cahaya matahari.
c. Disiram atau direndam dengan air mendidih, dan
d. Dikapur dinding kandangnya dengan cairan kapur kental atau cat
2. Kebersihan Kandang
Sangat penting untuk menjaga kebersihan kandang baik dalam maupun di
luar kandang.
Adapun hal-halyang perlu diperhatikan adalah:
a. Kelembaban udara dan lantai harus dihindarkan dengan cara ventilasi
kandang diatur secara sempurna dan sinar matahari pagi diusahakan bisa
masuk ke dalam kandang. Usahakan populasi ternak sapi di dalam
kandang tidak terlalu padat.
b. Kotoran di tampung di tempat penampungan khusus yang letaknya agak
jauh dari kandang sehingga mengurangi lalat.
c. Sisa-sisa pakan yang mungkin berserakan dan juga semak-semak yang
tumbuh di sekitar kandang harus dibersihkan.
d. Pakan dan air minum harus bersih dan tidak terkontaminasi.
e. Kandang dan lingkungan agar tidak lembab, basah atau banyak kubangan
air.
f. Bersihkan rumput- rumput liar yang ada di sekitar kandang.
g. Berantas perantara perkembangan yaitu siput, sebaiknya secara biologi,
misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek.
h. Hindari penumpukan sisa pakan.
3. Sistem Pengembalaan
Jika menggunakan sistem pengembalaan, hindari lahan pengembalaan
becek. Selanjutnya usahakan pengembalaan di lokasi yang bergilir, jangan
pengembalaan di padang rumput yang diberi pupuk kandang yang tidak jelas
asal usulnya. Untuk mencegah perkembangan cacing hati, dapat dilakukan
dengan cara menebar copper sulphate di lapangan pengembalaan.
4. Kebersihan Kulit Ternak yang Dipelihara
Kulit yang sehat dan bersih saja yang bisa berfungsi dengan baik,
sedangkan kulit yang kotor tak bisa berfungsi dengan baik. Kulit menjadi kotor
akibat kotoran seperti kulit ari yang mengelupas, serta tebu dan lumpur yang
melekat bersama keringat dan lemak kulit. Sedangkan sapi yang selalu berada di
dalam kandang biasanya menjadi kotor akibat debu dan kotorannya sendiri. Sapi
yang kulitnya kotor bisa menimbulkan radang kulit. Oleh karena itu, untuk
menjaga kebersihan kulit ini, ternak sapi perlu dimandikan dan disikat.
5. Kebersihan Petugas
Petugas harus mencuci hamakan diri dengan cara mencuci anggota badan
denga air hangat dan sabun, kemudian menggosok dengan obat-obatan penyuci
hama atau desinfektan.
6. Kebersihan Bahan Pakan dan Kandungann Racun
Bahan pakan yang kotor dan beracun akan menggagu kesehatan ternak
misalnya:
a. Pakan yang kotor akibat keadaan air dan tanah, seperti rumput yang
bercampur lumpur karena terkena banjir, pakan yang tercemar akibat
hama ulat ataupun tercemar cendawa, serta pakan yang sudah busuk.
b. Hijauan yang beracun akibat racun terjadi secara alamiah di dalam
merah, ataupun yang terkena racun kimia akan sangat berbahaya bagi
kesehatan ternak.
2.4. Daging
Daging merupakan bahan makanan utama yang dikonsumsi manusia baik
diperoleh dari hewan-hewan piaraan atau hewan buruan daging juga
didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan
jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan. Organ- organ misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru,
jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot. (Sueparno, 1994).
2.4.1. Karakteristik kimia daging
Komposisi daging segar tergantung pada jenis hewan, kondisi hewan,
jenis daging dan cara penanganannya. Daging berlemak mengandung kadar air
dan protein yang rendah. Kadar air daging dari hewan mudah lebih banyak dari
hewan tua. (Anonimous, 2013).
2.4.2. Karakteristik Fisik Daging
Secara fisik daging tersusun atas serabut-serabut otot yang sejajar dan
terikat bersama-sama oleh suatu jaringan ikat. Bagian luar otot terbungkus
membran transparan yang disebut epimisium. Lapisan epimesium ini terdiri dari
jaringan ikat yang berupa serabut kolagen dan elastin.
Pada bagian otot terdapat jaringan iakt yang membentuk sekat-sekat yang
menyelubungi sekelompok jaringan otot. Sekat-sekat ini disebut perimisium yang
banyak urat darah dan urat saraf. Masing-masing serabut otot dilindungi oleh
Untuk mengetahui keadaan fisik daging masih dalam keadaan baik atau
tidak, ada 3 hal yang perlu diperhatikan:
a. Warna daging
Warna daging tergantung dari hewannya. Daging yang baik mempunyai
warna yang sama antara bagian dalam serta bagian luar daging sebab jika warna
bagian luar saja yang tampak segar mungkin telah terjadi pemalsuan, misalnya
dengan menambah zat warna pada daging.
b. Bau Daging
Bau daging adalah khas, sesuai dengan bau hewannya. Jika telah terjadi
proses pembusukan, maka bau daging akan berubah. Untuk mengetahui apakah
daging telah membusuk atau tidak dapat diketahui dari bau yang keluar dari
sendi-sendi tulang, selain itu daging digemari serangga (lalat) yang jumlahnya
makin banyak jika daging telah membusuk terutama pada daging yang tidak
dilindungi atau ditutup. Permukaan daging yang lendir serta tampak mengkilat
adalah tanda lain dari daging yang telah membusuk.
c. Konsistensi Daging
Daging yang baik adalah yang mempunyai konsistensi “mastis” bila ditekan
dan agak berdenyut, mempunyai turgor dan bila dipegang terasa basah kering,
artinya sekalipun radasanya basah, tetapi tidak sampai membasahi tangan
2.5. Metode Pemeriksaan Cacing Hati dengan Mikroskop.
Metode periksaan sampel di lakukan dengan menggunakan mikroskop
dilaboratorium Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Menular (BTKL & PPM) Medan bagian Instalasi Entomologi.
2.6. Cacing hati (Fasciola hepatica)
Cacing dewasa bentuknya seperti daun dan mempunyai bahu, panjangnya
30 mm lebar 13 mm, batil isap mulut dan batil isap perut hampir sama besarnya
dan letakknya berdekatan. Tracustus digestifus mempunyai caecum yang
bercabanga-cabang. Cacing ini hermafrodit, telur mempunyai operkulum, ukuran
140 x 80 mikron (Rosdiana,S. 2009).
2.6.1. Morfologi Cacing Hati (Fasciola hepatica)
Cacing dewasa dalam saluran empedu menghasilkan telur-telur yang
terbawa oleh cairan empedu masuk ke dalam lumen usus dan keluar ke alam
bebas bersama tinja, telur-telur tidak berembrio, mempunyai operkulum, besar,
ovoid, kuning kecoklatan, dan berukuran 130-150 µm x 63-90 µm. Mirasidium
berkembang dalam waktu 1 sampai 2 minggu dan keluar dari telur untuk
menginfeksi hospes perantara keong. Serkaria keluar dari keong setelah
terbentuknya sporokista dan dua atau tiga generasi redia. Serkaria mengadakan
2.6.2. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Sapi
Gambar 1. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Hewan (http://.dpd.cdc.gov/dpdx)
1. Telur keluar ke alam bebas bersama feses sapi. Bila menemukan habitat
basah. telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut Mirasidium.
2. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan
Sporokista.
3. Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan Redia
4. Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan
5. Metaserkasria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda
yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru
untuk memulai daur hidupnya (Boray, 2007).
2.6.3. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Manusia
Gambar 2. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Manusia (http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)
Manusia terinfeksi umumnya karena memakan hati sapi yang
pengelolaannya kurang sempurna dimana hati sapi mengandung cacing hati,
dinding usus dan masuk melewati rongga perut sampai ke hati. Setelah cacing
menembus lapisan hati, sampailah cacing ke saluran empedu dan kantung empedu.
Dalam saluran empedu, cacing mudah menjadi cacing dewasa dalam jangka waktu
1 – 2 bulan. Cacing yang dewasa akan bertelur. Bersama cairan empedu, telur
berhasil masuk ke dalam saluran usus dan dapat di temukan dalam tinja (fases). (
Entjang, 2001).
Manusia terinfeksi karena memakan tanaman air yang tidak dimasak di
mana metaserkaria mengadakan enkistasi. Larva masuk kedalam hati dengan
menembus kapsul (kapsul Clissoni) dan mengembara ke selurus parenkin hati
selama 9 minggu. Larva akhirnya masuk ke dalam saluran empedu, di mana larva
menjadi dewasa dan menghasilkan telur. Cacing dewasa dapat manjadi panjang >
1 inci dan lebar > 0,5 inci (Garcia, 1996).
2.6.4. Morfologi Telur dan Larva Fasciola hepatica
Telur larva Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput (Lymnea Sporokista)
berkembang menjadi larva (II): Redia Larva (III): serkaria yang berekor, kemudian
keluar dari tubuh keong Kista yang menempel pada tetumbuhan air terutama
selada air (Nasturqium officinale), kemudian termakan hewan ternak, apabila
memakan selada air yang mengandung cacing maka cacing akan masuk ke dalam
tubuh dan menjadi cacing dewasa dan akan menyebabkan Fascioliasis. (Budi,
2006).
Cara hidup dari tiap-tiap jenis keong tersebut dapat berbeda-beda (berair,
cairan usus. Pada stadium permulaan penyakit ini tidak ditemukan telur.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan metode serologis (CFT) dan tes
kulit (antigen didapat dari cacing dewasa). Dianjurkan pemakaian test
Immunofluorescent tidak langsung dengan mempergunakan mirasidium Fasciola
sebagai antigen. ( Irianto Kus, 2009).
2.6.5. Penyakit Fasciola hepatica Pada Manusia
Menurut Entjang (2001) penderita Fasciola hepatica bisa mengalami:
a. Gejala- gejala yang akan timbul seperti: demam, nyeri lambung, pembesaran
hati, nyeri perut pada ulu hati, dan muntah.
b. Penderita akan mengalami diare dan icterus
c. Fasciola hepatica yang hidup di dalam saluran empedu dan parenchym liver
menimbulkan peradangan berupa hyperplasia, necrosa dab fibrosa.
2.6.6. Pencegahan Fasciola hepatica
Agar masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat
membahayakan kesehatan, pemerintah menetapkan standar dan persyaratan agar
makanan dan minuman layak dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini
dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 ayat 1 yaitu : Pengamanan makanan
dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan
minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan
(Fardiaz, 1992).
Pencegahan yang efektif sulit dilakukan karena sulit untuk
mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan sehabis panen untuk
memberantas siput (Brotowidoyo 1987).
Pencegahan jangka panjang tergantung eradikasi penyakit pada hewan
hebivora, pengobatan untuk hewan peliharaan mungkin dapat diberikan, tetapi
untuk binatang air tidak memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi
dapat dicegah dengan tidak makan sayur mentah (Brown 1997).
Menurut Suweta (1982) upaya pengendalian penyebarluasan penyakit
dapat dilaksanakan dengan memutuskan siklus hidup cacing, yaitu dengan
membrantas siput yang hidup di air persawahan dan lainnya dengan cara:
a. Pencegahan dilakukan dengan membrantas siput air, tanaman air
(sayuran dari daerah endemis jangan dimakan atau di jual di pasaran.
b. Hati sapi harus di masak terlebih dahulu sampai matang sebelum
dimakan.
c. Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan
masyarakat dengan menekankan bahaya dari tumbuhan air yang banyak
terdapat binatang atau keong.
d. Pengobatan terhadap hewan yang terkena infeksi cacing hati.
e. Hindari konsumsi sayuran air yang mentah atau meminum air yang
tercemar metacerkaria.
f. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga
g. Dengan menggalakkan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena
bebek akan memakan siput-siput yang menjadi tempat berkembang biak
larva cacing hati.
Menurut Lubis (1983) pencegahan infeksi cacing dapat dilakukan dengan
memberikan ransum yang baik sangat perlu diperhatikan untuk menambah
2.7. Kerangka Konsep
Ditemukan cacing dewasa Hati Sapi
Sapi (f
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ditemukan cacing dewasa
Feses Sapi
Mikroskop
Kk Menteri Kesehatan no: 424/ Menkes/ SK/ VI. 2006
Ditemukan telur cacing
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriftif yaitu untuk mengetahui gambaran
kandungan cacing hati pada hati dan feses sapi dari peternakan sapi potong
hewan di Mabar Medan Tahun 2013.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif yaitu hati diambil dari
rumah potong hewan kemudian diikuti dari peternakan mana asal hati sapi
tersebut.
Pemeriksaan cacing hati dan feses sapi di lakukan di Balai Teknis
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL &PPM)
Medan.
3.2.2. Waktu Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Maret-Juli 2013
3.3.Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan adalah hati dan feses sapi dari
peternakan sapi potong di Mabar Medan. Hati dan feses sapi akan diperiksa ke
laboratorium dengan sampel yang akan di teliti yaitu sebanyak 12 hati dan feses
3.4. Mekanisme Pengambilan Sampel
Sampel diambil dari setiap peternakan sabanyak 50 gr hati sapi untuk
setiap sampelnya, sampel dimasukkan ke dalam plastik putih bening dan
dimasukkan ke dalam boks dan di tutup rapat agar tidak bersentuhan dengan
udara luar. Kemudian dibawa ke Balai Teknis Kejadian Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Menular (BTKL & PPM) Medan untuk diperiksa.
3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Data Primer
Data primer diperoleh dari observasi dan hasil pemeriksaan sampel di
Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengandalian Penyakit Menular Medan
(BTKL & PPM) terhadap kandungan cacing hati pada hati dan feses sapi.
3.5.2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari penelitian- penelitian yang berhubungan
serta referensi atau literatur-literatur yang relevan dengan penelitian yang
dilakukan.
3.6. Definisi Operasional
1. Peternakan sapi adalah orang perorangan atau korporasi yang mengelolah
atau memelihara ternak sapi.
2. Hati sapi adalah organ dalam sapi yang terletak didalam rongga perut tepat di
belakang sekat rongga dada.
3. Feses sapi adalah sisa zat makanan yang telah terabsorsi dan tidak bermanfaat
4. Telur cacing hati adalah berbentuk oval, mempunyai tutup, berwarna kuning
sampai coklat.
5. Cacing hati adalah cacing trematoda dengan tubuh berbentuk daun.
6. Pakan sapi adalah zat makanan yang diberikan pada sapi untuk pertumbuhan
dan pertambahan berat sapi.
7. Air minum sapi adalah yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi
kebutuhan air dalam tubuh sapi.
8. Lokasi peternakan adalah daerah peternakan dimana kandang sapi didirikan.
9. Pemeriksaan cacing hzaati pada hati sapi di periksa di laboratorium bagian
instalasi entomologi dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui
cacing hati pada hati sapi.
10.Cacing hati pada hati sapi adalah banyaknya cacing hati yang ditemukan pada
sampel hati sapi melalui pemeriksaan laboratorium dalam satuan ppm.
3.7. Aspek pengukuran
Adapun variabel yang akan dilakukan pengukuran adalah sebagai berikut:
1. Variabel Pekerjaan
Pekerjaan adalah pekerjaan responden yang digeluti sehari-hari dengan
menggunakan skala ordinal dikategorikan:
a. Bekerja
b. Tidak bekerja
2. Variabel Pengetahuan
Pengetahuan ditentukan berdasarkan jumlah pertanyaan dalam instrumen
pertanyaan dengan memilih jawaban a, b, c. “a” (diberi skor 2), jawaban “b”
(diberi skor 1), “c” (diberi skor 0). Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari
pertanyaan maka total nilai maksimal adala 14. Berdasarkan skala likert
(sugiono, 2007).
pengetahuan responden dikategorikan dengan menggunakan skala
ordinal, sebagai berikut:
a. Baik, jika skor yang diperoleh responden ≥ 65%
b. Kurang baik, jika skor yang diperoleh responden < 65%.
3.8. Prosedur Kerja Pemeriksaan Cacing Hati
Menurut Athiroh (2005), adapun prosedur Kerja Pemeriksaan cacing
hati dengan menggunakan mikroskop.
Adapun cara kerja pemeriksaan cacing hati adalah :
1. Sapi yang sudah di sembelih kemudian di ambil hatinya sebanyak 50 gram.
2. Sampel di ambil dari rumah potong hewan di pilih secara acak.
3. Sampel hati yang sudah di ambil di bersihkan dan di simpan dalam wadah
(boks) dan langsung di bawa ke laboratorium.
4. Sampel hati di iris-iris kemudian di periksa parasit cacing di bawah
mikroskop.
5. Sampel di identifikasi jenis parasinya dan di hitung jumlahnya.
6. Pengambilan sampel pada pagi hari dan di periksa pada hari yang sama agar
3.9. Prosedur Kerja Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Apung (Flotation Method)
Menurut Subekti (2001), adapun prosedur Kerja Pemeriksaan Telur
cacing adalah:
Alat-alat :
- tabung reaksi ukuran 150 x 16 mm,
- rak tabung reaksi,
- gelas piala kimia,
- batang aplikator,
- kaca obyek,
- kaca penutup
- mikroskop.
- Saringan teh
Bahan :
- aquadestilata,
- Larutan NaCl jenuh (33%)
Cara membuat NaCl jenuh : Serbuk NaCl dilarutkan dengan Aquadest sampai
NaCl jenuh (NaCl tidak dapat larut lagi)
- larutan hipoklorit 30 %,
Prosedur Kerja:
- Disiapkan seluruh alat dan bahan pemeriksaan.
- Diambil sampel pemeriksaan (faeces) sebanyak 5 - 10 gram, dimasukkan
- Tambahkan larutan NaCl jenuh hingga ½ volume tabung reaksi, lalu lakukan
pengadukan hingga merata.
- Buanglah kotoran besar yang terdapat dalam suspensi sampel tersebut
dengan cara menyaring suspensi dengan saringan teh, lalu letakkan tabung
reaksi pada rak tabung.
- Tambahkan lagi larutan NaCl jenuh hingga hampir mencapai bibir tabung
reaksi, lakukan pengadukan kembali.
- Tambahkan larutan NaCl hingga penuh (permukaan cairan pada bibir tabung
reaksi mencembung).
- Letakkan kaca penutup diatas bibir tabung reaksi, diamkan selama 45 menit
(literatur lain mengatakan 5-10 menit).
- Ambil kaca penutup, lalu letakkan pada kaca obyek sedemikian rupa dan
lakukan pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran lemah (10 x
lensa obyektif).
3.10. Analisis Data
Setelah hasil pemeriksaan laboratorium selesai maka hasilnya diolah secara manual,
disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif, dengan membandingkan
hasil yang diperoleh dengan standat yang telah di tetapkan yaitu standat parasit dan di
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Karakteristik Pengelola Peternakan Sapi
Pengelola peternakan adalah orang yang bekerja langsung memelihara
sapi. Karakteristik pengelolah peternakan sapi di Mabar Medan meliputi
umur, tingkat pendidikan, lama bekerja dan pengetahuan responden.
4.1.1.1. Umur
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak
di 12 peternakan sapi potong di Mabar Medan diketahui umur responden
rata-rata 35 – 40 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.1. Distribusi Umur Pengelola Peternakan Sapi Di Mabar Medan Tahun 2013
No Umur Jumlah Persentase (%)
1 35 - 40 tahun 6 50,7
2 41- 46 tahun 2 16,7
3 >46 tahun 4 33,3
Total 12 100
Berdasarkan tabel 4.1 diatas, diketahui bahwa pengelola peternakan sapi
sebagian besar berumur 35 – 40 tahun yaitu sebanyak 6 orang dari 12 orang peternak
4.1.1.2. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak
sapi potong di Mabar Medan pada tingkat pendidikan dapat pada tabel berikut.
Tabel 4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013
No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 SD 3 25,0
2 SMP/ Sederajat 5 41,7
3 SMA/ Sederajat 4 33,3
Total 12 100
Berdasarkan tabel 4.2. diatas diketahui bahwa tingkat pendidikan
pengelola peternakan sapi yang paling banyak adalah SMP yaitu 5 orang dari
12 orang pengelola peternakan sapi (41,7%).
4.1.1.3. Lama Bekerja
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak
sapi potong di Mabar Medan lama bekerja pengelola dapat dilihat pada tabel
berikut.
4.1.1.4. Pengetahuan Responden
Adapun gambaran pengetahuan responden pada penelitian ini dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013
No Indikator dan Jawaban Aspek Pengetahun Jlh %
1 Umur sapi dapat dijual
2 Kandang yang memenuhi syarat
a. Ketersediaan sumber air dan fotografi b. Aman dari segala bahaya
c. Tidak tahu
3 Jenis nutrisi yang di gunakan pada ternak sapi a. Karbohidrat, lemak, protein, Vit dan mineral b. Vitamin dan mineral
4 Jenis pakan yang diberikan pada sapi a. Pakan berserat dan penguat b. Pakan penguat
6 Penyakit yang sering menyerang sapi
a. kembung, cacingan, diare, kudis, antraks dan penyakit mulut b. penyakit kuku
7 Cara pemeliharaan sapi
a. sanitasi kandang,pemeliharaan kebersihan sapi dan vaksinasi secara teratur