• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Cacing Hati (Fasciola Hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN

TAHUN 2013

SKRIPSI

Oleh:

IBA AMBARISA NIM. 101000362

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN

TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

IBA AMBARISA NIM. 101000362

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : ANALISIS CACING HATI (fasciola hepatica) PADA HATI DAN FESES SAPI YANG DI

AMBIL DARI RUMAH POTONG HEWAN DI MABAR MEDAN TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : IBA AMBARISA

Nomor Induk Mahasiswa : 101000362

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan : Kesehatan Lingkungan

Tanggal Lulus : 28 Agustus 2013

Disahkan Oleh Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina , MS Nip: 19650109 199403 2 002

Pembimbing II

Dr. dr. Wirsal Hasan,MPH Nip: 94911191987011001

Medan, Oktober 2013 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara Dekan

(4)

ABSTRAK

Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Diantaranya penyakit parasitik yang menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktifitas hewan. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati (Fasciola hepatica).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai gambaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan tahun 2013.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif. Objek dalam penelitian ini adalah hati dan feses sapi dengan sampel yang telah di teliti yaitu 12 hati dan 12 feses sapi.

Berdasarkan hasil penelitian kandungan cacing dan telur pada hati dan feses sapi yang berasal dari rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat. Kondisi hati sapi yang di jadikan sampel sebayak 12 hati sapi (100%) dan feses sapi sebanyak 12 sampel (100%) di rumah potong hewan Mabar Medan telah memenuhi syarat.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa peneliti kondisi hati sapi yang telah dijadikan sampel sebanyak 12 hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan memenuhi syarat. Kondisi feses sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 feses sapi di rumah potong hewan Mabar Medan. Bagi Dinas Peternakan Kota Medan diharapkan melakukan penyuluhan kepada pemilik peternakan sapi agar meningkatkan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi yang telah memenuhi syarat. Kepada pengelola peternakan sapi diharapkan agar memberikan pakan ternak yang segar dan tidak basah agar tidak terkontaminasi oleh cacing.

(5)

ABSTRACT

Among the many animal diseases in Indonesia, a parasitic disease has received less attention from the breeder. Diseases in livestock is one of the obstacles encountered in the development of animal husbandry, Among parasitic disease that causes loss of body condition and a decrease in the productivity. Among parasitic diseases are very harmful disease caused by liver fluke (Fasciola hepatica).

The purpose of this study to describe the liver fluke (fasciola hepatica) in cattle liver and feces were taken from the slanghterhause in Mabar Medan years 2013.

The method used in this study is a survey that is both descriptive, object of research is the heart and cow feces samples to be studied were 12 liver and 12 feces beef.

Based on the research content of worms and aggs in the liver and feces from the liver slaughterhouse in Mabar Medan has qualified. Beef liver condition are made in the sample were is beef liver (100%) and 12 samples of beef feces (100%) in theabattoir has qualified Mabar Medan.

The conclusion that Beef liver condition which sampled a total of 12 beef liver in a battoir in Mabar Medan qualify. Conditions are made in the cow feces sample of 12 feces slaughterhouse cows in field Mabar Medan. For city farm field offices are expected to conduct ontreach to owners of cattle in order to increase the knowledge of good cattle rearing. To the managers of dairy farm is expected to provide fresh fodder and not wet from being contaminated by liver fluke (fasciola hepatica).

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Iba Ambarisa

Tempat/Tanggal Lahir : Tungkam Sakti, 13 Maret 1987

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Jumlah Anggota Keluarga : 3 (tiga) orang

Alamat Rumah : Dusun II Tungkam Sakti

RT/RW : 002/001

Kec/Desa : Pangkalan Siata

Kecamatan : Pangkalan Susu

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1993-1999 : SD Negeri Halban Kedai Langkat

2. Tahun 1999-2002 : MTS Swasta Pesanteren Ulumul Qur'an Stabat

3. Tahun 2002-2005 : MAS Pesanteren Ulumul Qur'an Stabat

4. Tahun 2007-2009 : Akademi Kebidanan Sehat Medan

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi denjan judul “Analisis

Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari

Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013”. Untuk memenuhi pra syarat

meraih gelar kesarjanaan dari Fakultas Kesehatn Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga

dalam kesempatan ini penulis ini menyampaikan penghargaan yang tak terhingga dan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing Akademik.

2. Ir. Evi Naria, Mkes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas

Kesehatan masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran dalam

penyempurnaan skripsi ini.

4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan

(8)

5. Bapak Mohd. Arifin Siregar, MS selaku Pembimbing Akademik yang selalu

memberikan bimbingan dan motivasi penulis selama melaksanakan perkuliahan

di fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh Dosen Khususnya Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU

yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam mengikuti perkuliahan.

7. Seluruh staf Pegawai dan Karyawan khususnya Kak Dian yang telah membantu

kelancaran skripsi ini

8. Ibu Ida Putri dan Pak Ahadi Kurniawan,S.Si,MScPH selaku pembimbing

Laboratorium Entomologi BTKL&PPM Medan.

9. Pak Ir. Ading Gusti Zain dan seluruh staf karyawan di Rumah Potong Hewan

Mabar Medan yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam

kelancaran skripsi ini.

10.Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta dan terbaik ibunda Nafsiah dan

Ayahanda Suharto yang telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya dalam

mengasuh, mendoakan, memenuhi segala kebutuhan penulis selama ini dan

kepada abang tersayang Yugo Wiguno, dan adik tercinta Aji Suandana serta

seluruh keluarga besar atas semua semangat, doa, dan kritiknya yang diberikan.

11.Sahabat-sahabatku tersayang: Rahma Ayu Febriani, Sri Lestari, Suryasih Mustika

nst, Yuli Yolanda.. Terima kasih atas doa, saran, motivasi, dukungan yang telah

diberikan. Buat semua teman-teman FKM USU yang tidak dapat disebutkan satu

persatu namanya atas dukungan, dan kerjasama selama ini.

12.Buat rekan-rekan Mahasiswa seperjuangan di Departemen Kesehatan Lingkungan

(9)

teman-teman seangkatan Ex B 2010 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas

dukungannya buat penulis.

13.Buat sahabat-sahabat gang Anyelir IV (harni, yusi, ais, alas, kak janah, andes,

rina, evi) atas dukungan dan semangatnya buat penulis.

Dengan segala kerendahan hati, disadari bahwa penulisan skripsi ini masih

jauh dari sempurna, untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat

membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Daftar Riwayat Hidup ... iii

Kata Pengantar ... iv

2.1 Pentingnya Makanan Bagi Kesehatan ... 9

2.2 Sapi……….. ... 9

2.3 Karakteristik Sapi ... 10

2.3.1 Tujuan Pemeliharaan Sapi... 13

2.3.2 Cara Pemeliharaan Sapi.. ... 14

2.3.3 Pakan Sapi.. ... 15

2.3.3.1 Jenis Pakan.. ... 15

2.3.3.2 Nutrisi Pakan.. ... 16

2.3.3.3 Kendala Dalam Ketersedian Pakan... ... 18

2.3.4 Tindakan Hygiens/ Sanitasi ... 19

2.4 Daging………….. ... ... 21

2.4.1 Karakteristik Kimia Daging ... 22

2.4.2 Karakteristik Fisik Daging ... 22

2.5 Metode Pemeriksaan Cacing Hati Dengan Mikroskop ... 23

2.6 Cacing Hati(Fasciola Hepatica).. ... 23

2.6.1 Morfologi Cacing Hati (Fasciola Hepatica).. ... 24

2.6.2 Siklus Hidup Fasciola Hepatica Pada Sapi.. ... 24

2.6.3 Siklus Hidup Fasciola Hepatica Pada Manusia . ... 26

2.6.4 Morfologi Telur dan Larva Fasciola Hepatica.. ... 27

2.6.5 Penyakit Fasciola Hepatica Pada Manusia.. ... 28

(11)

2.7 Kerangka Konsep.. ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Jenis Penelitian….. .. ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 31

3.2.2 Waktu Penelitian ... 31

3.3 Objek Penelitian……. . ... 31

3.4 Mekanisme Pengambilan sampel ... 31

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 32

3.5.1 Data Primer .. ... 32

3.5.2 Data Skunder ... 32

3.6 Defenisi Operasional ... 32

3.7 Aspek Pengukuran .. ... 33

3.8 Prosedur Kerja Pemeriksaan Cacing Hati ... 34

3.9 Prosedur Kerja Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Apung (Flotation Method)…………. 35

3.10 Analisa Data ……….. ... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 37

4.1. Hasil Penelitian ... 37

4.1.1. Karakteristik Pengelolah Peternakan Sapi ... 37

4.1.1.1. Umur ... 37

4.1.1.2. Tingkat Pendidikan ... 38

4.1.1.3. Lama Bekerja ... 38

4.1.1.4. Pengetahuan Responden... 39

4.1.2.Lokasi Peternakan Sapi ... 41

4.1.3. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati Pada Hati Sapi ... 42

4.1.4. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati Pada Feses Sapi ... 43

BAB V PEMBAHASAN ... 45

5.1. Karakteristik Pengelolah Peternakan Sapi ... 45

5.1.1. Umur ... 45

5.1.2. Tingkat Pendidikan ... 45

5.1.3. Lama Bekerja .... ... 46

5.1.4. Pengetahuan Responden ... 46

5.2. Lokasi Peternakan Sapi .... ... 47

5.3. Temuan Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Sapi... 48

(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 50 6.1. Kesimpulan ………… ... 50 6.2. Saran………. . . ... 50 DAFTAR PUSTAKA

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 4.1. Distribusi Umur Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun

2013 ... 37 4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar

Medan Tahun 2013 ... 38 4.3. Distribusi Lama Bekerja Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar Medan

Tahun 2013 ... 38 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Pengelolah Peternakan Sapi di

Mabar Medan Tahun 2013 ... 39 4.5. Kategori Pengetahuan Responden Pengelolah Peternakan Sapi di Mabar

Medan Tahun 2013 ... 40 4.6. Distribusi Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013 ... 41 4.7. Kategori Lokasi Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013 ... 42 4.8. Hasil Pemeriksaan Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Hati Sapi di

Mabar Medan Tahun 2013 ... 42 4.9. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing Hati (fasciola hepatica) Pada Feses

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Sapi………..……… 24

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian Analisis Cacing Hati ( fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

2. Lembar Observasi Analisis Cacing Hati ( fasciola hepatica) Pada Hati Dan Feses Sapi Yang Di Ambil Dari Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan Tahun 2013

3. Dokumentasi Pada Saat Melakukan Penelitian

4. Surat Permohonan Izin Penelitian di BTKL&PPM Medan Dan Rumah Potong Hewan di Mabar Medan Tahun 2013

5. Surat Keterangan Izin Penelitian di Rumah Potong Hewan Di Mabar Medan

(16)

ABSTRAK

Diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak. Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan. Diantaranya penyakit parasitik yang menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktifitas hewan. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing hati (Fasciola hepatica).

Tujuan penelitian ini untuk mengetahuai gambaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan feses sapi yang di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan tahun 2013.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai yang bersifat deskriptif. Objek dalam penelitian ini adalah hati dan feses sapi dengan sampel yang telah di teliti yaitu 12 hati dan 12 feses sapi.

Berdasarkan hasil penelitian kandungan cacing dan telur pada hati dan feses sapi yang berasal dari rumah potong hewan di Mabar Medan telah memenuhi syarat. Kondisi hati sapi yang di jadikan sampel sebayak 12 hati sapi (100%) dan feses sapi sebanyak 12 sampel (100%) di rumah potong hewan Mabar Medan telah memenuhi syarat.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa peneliti kondisi hati sapi yang telah dijadikan sampel sebanyak 12 hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan memenuhi syarat. Kondisi feses sapi yang di jadikan sampel sebanyak 12 feses sapi di rumah potong hewan Mabar Medan. Bagi Dinas Peternakan Kota Medan diharapkan melakukan penyuluhan kepada pemilik peternakan sapi agar meningkatkan pengetahuan tentang pemeliharaan sapi yang telah memenuhi syarat. Kepada pengelola peternakan sapi diharapkan agar memberikan pakan ternak yang segar dan tidak basah agar tidak terkontaminasi oleh cacing.

(17)

ABSTRACT

Among the many animal diseases in Indonesia, a parasitic disease has received less attention from the breeder. Diseases in livestock is one of the obstacles encountered in the development of animal husbandry, Among parasitic disease that causes loss of body condition and a decrease in the productivity. Among parasitic diseases are very harmful disease caused by liver fluke (Fasciola hepatica).

The purpose of this study to describe the liver fluke (fasciola hepatica) in cattle liver and feces were taken from the slanghterhause in Mabar Medan years 2013.

The method used in this study is a survey that is both descriptive, object of research is the heart and cow feces samples to be studied were 12 liver and 12 feces beef.

Based on the research content of worms and aggs in the liver and feces from the liver slaughterhouse in Mabar Medan has qualified. Beef liver condition are made in the sample were is beef liver (100%) and 12 samples of beef feces (100%) in theabattoir has qualified Mabar Medan.

The conclusion that Beef liver condition which sampled a total of 12 beef liver in a battoir in Mabar Medan qualify. Conditions are made in the cow feces sample of 12 feces slaughterhouse cows in field Mabar Medan. For city farm field offices are expected to conduct ontreach to owners of cattle in order to increase the knowledge of good cattle rearing. To the managers of dairy farm is expected to provide fresh fodder and not wet from being contaminated by liver fluke (fasciola hepatica).

(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di

hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan

optimal, bila secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan

pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di

Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak.

Penyakit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun

menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya

produktivitas hewan. Diantar penyakit parasit yang sangat merugikan adalah

penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola hepatica,yang dikenal dengan

nama Distomatosis, atau Fasciolosis (Mukhlis, 1985).

Penyakit ini menimbulkan banyak kekhawatiran, karena distribusi dari kedua

inang definitif cacing sangat luas dan mencakup mamalia herbivora, termasuk

manusia dan dalam siklus hidupnya termasuk siput air tawar sebagai hospes

perantara parasit. Baru-baru ini, tercatat banyak kerugian di seluruh dunia pada

produktivitas ternak karena fasciolosis diperkirakan lebih dari US $ 3,2 miliar per

tahun. Selain itu, fasciolosis sekarang dikenal sebagai penyakit yang dapat menular

pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

memperkirakan bahwa 2,4 juta orang terinfeksi oleh Fasciola spp, dan 180 orang

(19)

Cacing dewasa terlokalisir hidup dalam saluran atau kandungan empedu. Pada

sapi, prevalensi penyakit ini di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat

mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Jogjakarta kasus kejadiannya antara

40-90%, sedangkan prevalensi penyakit fasciolosis pada doma belum diketahui.

Fasciola hepatica yang dapat memepengaruhi jutaan orang di seluruh dunia hingga

17 juta orang yang terinfeksi dan sekitar 19,1 juta beresiko terinfeksi. Penyakit ini

sangat merugikan karena dapat menyebabkan penurunan bobot hidup, penurunan

produksi, pengafkiran organ tubuh terutama hati, bahkan dapat menyebabkan

kematian di Indonesia, secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6

milyar (Anonimous, 2004).

Cacing hati (Fasciola hepatikca), cacing hati yang besar, suatu jenis

Trematoda yang berfamili dekat dengan Fasciolopsis buski terdapat pada berbagai

daerah di dunia. Infeksinya terdapat di negara – negara : Perancis, Korsika, Algeria,

Inggris, Portugis, Iran, di beberapa Negara di Afrika Selatan (seperti Brazilia, Peru,

Cili),Opuerto Rico, Medeira, Afrika Selatan, Thailand. Pemindahannya sama seperti

Fasciolopsis buski, yaitu melalui sayuran yang hidup dalam air. Cacing ini sering

ditemukan pada sapi, biri-biri, kambing dan hewan pemakan tumbuhan lainnya.

Fasciola hepatica ditemukan di mana-mana, dimana terdapat keong tertentu sebagai

hospes perantara. (Susanto, 2009).

Cacing hati (Fasciola hepatica) memiliki telur yang besar, berbentuk oval,

mempunyai tutup, berwarna kuning sampai coklat, dan berukuran 130 – 150

mikron. Telur yang belum matang keluar bersama fases. Pematangan dalam air

(20)

mirasidium dari telur. Dalam waktu 8 jam mirasidium ini harus menembus keong

air untuk melanjutkan pertumbuhannya. Keong yang bertindak sebagai hospes

intermedietnya ialah jenis Lymnaea. Dalam keong mirasidium menjadi sporokis

muda. Dalam 3 minggu, sporokis menghasilkan redia induk, yang pada minggu

berikutnya mengandung redia anak. Redia tumbuh menjadi serkaria. Serkari yang

sudah matang meninggalkan keong untuk hidup bebas dalam air. Beberapa jam

dalam air serkaria ini melepaskan ekornya dan merambat pada berbagai tumbuhan

air seperti rerumputan dan karsen air, kemudian mengkista menjadi metaserkaria.

Metaserkaria ini dapat hidup dalam waktu lama di atmosfer yang lembab, tapi akan

cepat mati dalam waktu kekeringan. Apabila ternak merumput maka ternak tersebut

dapat mengalami infeksi. Penting diperhatikan pada peternak bahwa metaserkaria

dapat bertahan pada jerami dan tanaman makanan ternak sekitar 28 hari pada suhu 5

– 10º C, sehingga pada kelembaban udara yang lebih tinggi mempunyai daya infeksi

sampai 70 hari. (Supardi, 2002).

Metaserkaria demikian atau cacing muda memulai penyebarannya dalam usus

hospes. Mereka menembus dinding usus dan berkelana melewati rongga perut

sampai ke hati. Setelah mereka menembus lapisan hati, sampailah mereka disaluran

empedu dan kantung empedu. Dalam saluran empedu, cacing muda menjadi cacing

dewasa dalam jangka waktu 1 – 2 bulan. Cacing yang dewasa akan bertelur.

Bersama cairan empedu, telur berhasil masuk ke dalam saluran usus dan dapat

ditemukan dalam tinja (fases). Telur ini selanjutnya memulai daur kehidupannya di

luar inang (ternak). Fasciola hepatica besifat hemaprodit, setiap individu dapat

(21)

200 ekor cacing atau lebih. Manusia terinfeksi umumnya karena memakan tanaman

air ini. Terinfeksinya penduduk tergantung pada kebiasaan makanan penduduk.

Berdasarkan hal ini ternyata bahwa misalnya di Perancis terdapat infeksi yang

relatif sering, di Jerman jarang sekali, karena itu sebagai propilak dapat diambil

tindakan menghindari makanan mentah tumbuh-tumbuhan air konsekuen. (Irianto,

2009).

Cara hidup tiap-tiap jenis keong tersebut dapat berbeda-beda (berair, setengah

berair). Telur cacing hati ini akan ditemukan pada pemeriksaan tinja dan cairan

usus. Pada stadium perlmulaan penyakit ini tidak ditemukan telur. Pemeriksaan

mikroskopis dapat dilakukan dengan metode serologis (CFT) dan tes kulit (antigen

di dapat dari cacing dewasa). Dianjurkan pemakaian test Immunofluorescet tidak

langsung dengan mempergunakan mirasidium Fasciola sebagai antigen. (Irianto,

2009).

Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30 x 13

mm. Bagian anterior bebentuk seperti kerucut dan pada puncak kerucut terdapat

batil isap mulut yang besarnya ± 1 mm, sedangkan pada bagian dasar kerucut

terdapat batil isap perut yang besarnya ± 1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang –

cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga

bercabang-cabang. Telur cacing ini berukuran 140 x 90 mikron, dikeluarkan melalui saluran

empedu kedalam tinja dalam kedaan belum matang. Telur menjadi matang dalam air

setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian menetas dan mirasidium

(22)

Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes perantara II, yaitu

tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air membentuk kista berisi

metaserkaria. Bila ditelan, metasekaria menetas dalam usus halus hewan yang

memekan tumbuhan air tersebut, nembus dinding usus dan bermigrasi dalam ruang

peritoneoum hingga menembus hati. Larva masuk ke saluran empedu dan menjadi

dewasa. Baik larva maupun cacing dewasa hidup dari jaringan parenkim hati dan

lapisan sel epitel saluran empedu. Infeksi terjadi dengan makan tumbuhan air yang

mengandung metaserkaria (FK UI, 2009).

Agar Masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat

membahayakan standard persyaratan agar makanan dan minuman layak dan aman

dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 ayat

1 yaitu: pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi

masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi standard persyaratan

kesehatan (Fardiaz, 1992).

Masyarakat perlu dilindungi dari makanan dan minuman yang tidak

memenuhi persyaratan hygienis dan sanitasi yang dikelolah oleh tempat-tempat

umum dan tempat-tempat pengelolaan makanan, seperti rumah makan dan restoran

agar tidak membahayakan kesehatan. Pada umumnya rumah makan dan restoran

sekarang ini lebih mengutamakan penyajian makanan atau rasa dari makanan tanpa

memperhatikan hygiene sanitasi makanan (Purnawijayanti, 2007).

Penyakit cacing hati (fasciola hepatica) merupakan zoonosis yang disebabkan

oleh hewan parasit dan fasciola gegantica. Fasciola adalah cacing trematoda dengan

(23)

herbivora maupun manusia. Sekitar 40 negara di dunia tercatat sebagai endemisitas

fasciollasis hepatica, tersebar di Eropa, kawasan Amerika Selatan, Afrika, Timur

Tengah, Asia, terutama di lokasiternak sekala besar. Kejadian fasciolllasis hepatica

pada ternak herbivora juga meningkat seiring dengan bertambahnya sistem irigasi

pertanian dan meluasnya lahan tanam yang dialiri. Sementara itu, hewan vertebrata

herbivora yang rentan terinfeksi cacing fasciola hepatica adalah domba, kambing,

sapi, kelinci, rusa dan kuda. Habitat dan kebisaan pakan hewan merupak faktor yang

menentukam kecenderungan untuk terinfeksi.(Gandahusada, 1998).

Sapi merupakan salah satu alternatif pilihan bagi ternak sapi potong yang

dikembangkan dan dipergunakan untuk mebantu usaha tani dan pengadaan protein

hewani. Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki keunggulan berupa kemampuan

adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan pakan kualitas rendah dan tingkat

fertilitas yang tinggi. Oleh karena itu tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk

memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, dapat di jadikan pendorong untuk

memperbaiki produktivitas dan pengolahaan sapi asli Indonesia. (Achjadi 1986).

Pusat Statistik tahun 2007 menunjukan bahwa populasi ternak besar yang

terdiri dari sapi perah, sapi potong, kerbau dan kuda pada tahun 2006 secara

berturut-turut adalah 6.400 ekor, 248.100 ekor, 259.100 ekor dan 5.600 ekor, domba

199.300 ekor, dan babi 807.400 ekor. Meningkat pada tahun 2007 untuk populasi

ternak besar maupun ternak kecil masing-masing sapi perah 6.500 ekor, sapi potong

248.400 ekor, kerbau 260.000 ekor, kuda 6.000 ekor, kambing 708.000 ekor, domba

(24)

populasi ternak terbesar di Sumatera Utara adalah ternak babi sebesar 828.000 ekor

(BPS,2008).

Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang

dihadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi

akan optimal, bisa secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan

pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di

Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapat perhatian dari para peternak.

Penyakit parasitik biasanya tidak mengakibatkan kematian hewan ternak, namun

menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas

hewan sangat besar. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah

penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola hepatica. (Suweta 1984).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian

ini adalah apakah terdapat cemaran cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan

feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui kandungan cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati dan

feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya cacing hati (Fasciola hepatica) pada hati

(25)

2. Untuk mengetahui jumlah cacing hati (Fasciola hepatica) yang di ambil dari

hati sapi di rumah potong hewan di Mabar Medan.

3. Untuk mengetahui kondisi sanitasi kandang sapi di peternakan.

4. Untuk mengetahui gambaran pakan dan air minum sapi di peternakan.

5. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya telur cacing hati pada feses sapi yang

di ambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan.

6. Untuk mengetahui jumlah telur cacing hati pada feses sapi yang di ambil dari

rumah potong hewan di Mabar Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai data awal tentang keberadaan cacing Fasciola hepatica pada hati dan

feses sapi yang dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi penulis lain

untuk penelitian lebih lanjut.

2. Sebagai bahan masukan bagi dinas peternakan untuk melakukan pemeriksaan

hati sapi, agar hati yang mengandung cacing hati tidak sampai dikonsumsi

masyarakat.

3. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah dan instansi terkait dalam

menentukan kebijakan yang berkaitan dengan sanitasi peternakan sapi potong

khususnya dalam hal pemberian pakan dan minum ternak dan lokasi

peternakan.

4. Sebagai informasi bagi konsumen agar lebih teliti lagi mengenai adanya

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pentingnya Makanan Bagi Kesehatan

Makanan adalah segala sesuatu yang dipakai atau yang dipergunakan oleh

manusia supaya dapat hidup. Zat makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia

dapat meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air. Protein,

lemak, dan karbohidrat disebut zat makanan pokok karena banyak memberikan

kalori. Menurut Irianto (2007), zat-zat makanan yang baik harus memenuhi

syarat :

1. Harus cukup memenuhi kalori.

2. Harus ada perbandingan yang baik antara zat makanan pokok.

3. Protein yang masuk cukup dan mengandung asam amino.

4. Harus cukup mengandung vitamin.

5. Harus cukup mengandung garam mineral.

6. Harus mudah dicernakan oleh alat pencerna.

7. Harus bersifat hygienis. 2.2.Sapi

Menurut Murtidjo (1990), pada umumnya bangsa sapi yang terbesar di

seluruh penjuru dunia berasal dari bangsa sapi primitif yang telah mengalami

dosmetikasi (penjinakan). Pada garis besarnya sapi dapat dikelompokkan

menjadi tiga kelompok yaitu :

(27)

Bos indicus berkembang di India dan akhirnya menyebar ke berbagai Negara,

terlebih daerah tropis seperti Asia tenggara (termasuk Indonesia), Afrika,

Amerika, dan Australia.

2. Bos Taurus

Bos Taurus adalah bangsa sapi yang menurunkan bangsa-bangsa sapi potong

dan perah di Eropa. Golongan ini akhirnya menyebar keseluruh penjuru dunia,

terlebih Amerika, Australia, dan Selandia Baru. Belakangan ini keturunan Bos

Taurus telah banyak diternakkan dan dikembangkan di Indonesia.

3. Bos Sondaicu ( Bos bibos)

Golongan sapi ini merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi di Indonesia.

Sapi yang kini ada merupakan keturunan banteng (Bos Bibos), dewasa ini kita

kenal dengan nama sapi Bali, sapi Madura, sapi jawa, sapi Sumatera, dan sapi

lokal lainnya.

2.3. Karakteristik Sapi 1. Umur Sapi

Menafsir umur sapi merupakan salah satu pengetahuan yang perlu dikuasai

oleh peternak. Umur sapi dapat dideskripsikan dari :

a. Catatan tanggal lahir

Hasil catatan tanggal lahir yang dilakukan oleh peternak. Akan tetapi hal ini

hanya dilakukan oleh peternak tradisional.

b. Keadaan gigi serinya.

Pada prinsipnya, taksiran dengan metode gigi sapi adalah memperhitungkan

(28)

1. Sapi yang memiliki gigi susu semua pada rahang bawah, mempunyai

umur sekitar kurang dari 1,5 tahun.

2. Sapi yang memiliki gigi tetap sepasang pada rahang bawah, mempunyai

umur sekitar 2 tahun.

3. Sapi yang memiliki gigi tetap dua pasang pada rahang bawah, mempunyai

umur sekitar 3 tahun.

4. Sapi yang memiliki gigi tetap tiga pasang rahang bawah, mempunyai

umur sekitar 3,5 tahun.

5. Sapi yang memiliki gigi tetap empat pasang pada rahang bawah,

mempunyai umur sekitar 4 tahun.

6. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 25% bagian

telah aus, mempunyai umur sekitar 6 tahun.

7. Sapi yang memiliki gigi lengkap empat pasang, tapi 75% bagian telah

aus, mempunyai umur diatas 8 tahun.

8. Sapi yang memiliki gigi tetap lengkap empat pasang, tapi 75% bagian

telah aus, mempunyai umur diatas 8 tahun.

c. Keadaan tanduk, khususnya dengan memperhatikan gelang-gelang pada

tanduk. Sapi jantan akan menimbulkan gelang yang pertama setahun lebih

lambat dari sapi yang betina.

2. Jenis Sapi

Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli

(29)

daging adalah sapi Ongole, sapi PO (peranakan ongole), sapi Aceh, sapi

Brahman, sapi Bali, dll.

a. Sapi Ongole

Bangsa sapi ini berasal dari India (Madras) yang beriklim tropis dan bercurah

hujan rendah. Sapi ongole ini di Eropa disebut zebu, sedangkan di jawa sangat

populer dengan sebutan sapi benggala. Ukuran tubuh besar dan panjang

sehingga merupakan jenis sapi yang paling banyak dipelihara untuk dijadikan

sapi potong.

b. Sapi Bali

Sapi bali merupakan keturunan dari sapi liar yang disebut banteng yang telah

mengalami proses penjinakan beradab-adab lamanya. Sapi Bali termasuk tipe

sapi pedaging dan pekerja. Bentuk tubuh menyerupai banteng, tinggi badan

sapi dewasa mempunyai 130 cm dan berat badan sapi jantan mencapai 450 kg

sedangkan betina 300 – 400 kg.

c. Sapi Aceh

Sapi ini merupakan sapi asli Indonesia karena sudah ada sejak zaman

Kerajaan Sultan Iskandar Muda. Sapi ini adalah hasil persilangan antara bos

indicus dengan banteng, dengan beberapa keunggulan sehingga banyak

disiplin untuk sapi pembibitan.

d. Sapi Brahman

Bangsa sapi ini semula berkembang di Amerika Serikat kemudian tersebar

luas baik di daerah tropis maupun subtropis, yakni Australia dan juga di

(30)

Walaupun di daerah kurang subur, tetapi sapi Brahman tumbuh cepat karena

pakannya sedarhana.

3. Berat Sapi

Memberikan taksiran berat sapi, merupakan salah satu cakupan ketrampilan

yang menjadi tututan bagi peternak. Secara sederhana berat sapi dapat dihitung

dengan rumus terapan sebagai berikut :

Berat sapi = Pt x Ld x 70

Ld = Lingkar dada sapi

4. Jenis Kelamin Sapi

Peternakan sapi potong biasanya memelihara keduanya, baik sapi jantan

maupun betina. Tetapi untuk sapi potong biasanya peternak memilih sapi jantan

karena pertumbuhannya lebih cepat dari sapi betina.

2.3.1. Tujuan Pemeliharaan Sapi

Menurut Murtidjo (1990), dalam sebuah usaha peternakan sapi potong,

bibit ternak yang di beli mempunyai arti penting dalam mendukung keberhasilan

usaha. Sehingga pemeliharaan bibit ternak harus disesuaikan dengan tujuan

ternak sapi potong tersebut sehingga mendapatkan hasil yang maksimal seperti

tujuan yang diinginkan.

Adapun tujuan pemeliharaan :

a. Usaha pemeliharaan sapi potong bibit.

Usaha ini bertujuan mengembangbiakkan sapi potong sehingga diharapkan

(31)

b. Usaha pemeliharaan sapi potong untuk penggemukan.

Usaha ini bertujuan untuk mendapat hasil dari penggemukan sapi menjadi

gemuk. Sebagian besar peternak memilih untuk melakukan penggemukan

sapi potong atau disebut juga fattening.

2.3.2. Cara Pemeliharaan Sapi

Menurut Murtidjo (1990), adapun cara pemeliharaan sapi potong biasa

diterapkan adalah :

a. Pasture Fattening

Sapi biasanya dilepaskan di padang penggembalaan. Jadi, sapi merumput

sendiri sampai kenyang, kemudian menjelang petang hari dikandangkan dan

esoknya di lepas lagi. Sapi yang dipilih yang berumur 2,5 tahun dan lama

penggemukan berlangsung 6 – 8 bulan. Sapi tidak diberi makan penguat,

sapi menjadi gemuk hanya merumput.

b. Dry lot Fattening

Pada sistem penggemukan seperti ini, sapi yang digemukkan tinggal di

dalam kandang terus-menerus. Sapi-sapi itu tidak digembalakan ataupun

dipekerjakan. Pemeliharaan sapi dengan cara ini, sapi hanya diberi pakan

penguat saja, seperti bahan baku biji-bijian jagung, bungkil kepala dan

gandum. Pemeliharaan seperti ini pada prakteknya memerlukan biaya yang

cukup tinggi dan lamanya penggemukan sekitar 4 – 6 bulan.

c. Kombinasi Pasture – Dry Lot Fattening

Penggemukan dengan cara ini sangat cocok dilakukan di lingkungan tropis

(32)

sangat subur di padang penggembalaan, sapi-sapi dilepas untuk merumput

sendiri. Tetapi di musim kemarau, pada saat rumput sangat terbatas

jumlahnya, sapi-sapi dikandangkan dan diberi makan biji-bijian dan pakan

hijauan kering lainnya seperti jerami.

2.3.3. Pakan Sapi 2.3.3.1. Jenis Pakan

Menurut Sugeng (2000), sapi yang sehat memerlukan jumlah pakan yang

cukup dan berkualitas, baik dari segi kondisi pakan maupun imbangan nutrisi

yang dikandungnya. Jenis pakan yang biasa diberikan untuk sapi:

1. Pakan Hijauan

Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman atupun

tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan

bunga. Pada umumnya pakan hijauan adalah rumput seperti rumput gajah

dan rumput benggala dan jerami.

2. Pakan Penguat (Konsentrat)

Bahan pangan penguat ini meliputi bahan makanan yang bersal dari

biji-bijian seperti jagung giling, menir, dedak, bungkil kelapa, dan berbagai

umbi. Pakan penguat berfungsi untuk meningkatkan dan memperkaya nilai

gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah. Sehingga sapi yang

sedang tumbuh ataupun yang sedang dalam masa penggemukan harus

(33)

3. Pakan Tambahan

Pakan tambahan bagi ternak sapi biasanya berupa vitamin, mineral, dan urea.

Pakan tambahan ini dibutuhkan oleh sapi yang dipelihara secara intensif,

yang hidupnya berada di dalam kandang terus-menerus. Vitamin yang

dibutuhkan ternak sapi adalah vitamin A dan vitamin D, sedangkan mineral

yang dibutuhkan terutama Ca dan P. Pada umumnya pakan tambahan

vitamin dan mineral berupa feed-supplement.

2.3.3.2. Nutrisi Pakan

Menurut Andoko (2012), makanan ternak sapi potong dari sudut nutrisi

merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan,

pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Makanan sangat esensial bagi ternak sapi.

Makanan yang baik akan menjadikan ternak sanggup menjalankan fungsi proses

dalam tubuh secara normal.

Bahan baku makanan yang diperlukan dalam menyusun bahan makanan

sapi, terutama tersusun atas kadar air, protein, lemak, serat kasar, sumber

mineral, dan karbohidrat.

1. Air

Air merupakan bahan pakan utama yang terkadang terlukapan mendapat

perhatian dari para peternak. Oleh karena itu tubuh hewan terdiri dari 70% air,

maka air benar-benar termasuk kebutuhan utama yang tidak bisa diabaikan. Bila

sampai terjadi pengurangan air hingga 20%, hewan bersangkutan akan mati.

Kebutuhan air bagi hewan ternak tergantung pada berbagai faktor: kondisi iklim,

(34)

lebih muda lebih banyak, apalagi jika kondisi lingkungan atau suhu meningkat.

Kebutuhan air tersebut dapat terpenuhi melalui air minum, air yang terkandung

di dalam pakan, dan air yang berasal dari proses metabolisme zat pakan dalam

tubuh. Sapi memerlukan 3 – 6 liter air per 1 kg pakan kering.

2. Protein

Protein berfungsi untuk mengganti dan membangun sel tubuh yang rusak.

Karena protein tidak dapat di bentuk dalam tubuh, tetapi mutlak diperlukan,

maka pakan sapi harus mengandung protein. Protein bisa diperoleh dari

bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang berupa hijauan

leguminosa seperti daun turi, daun lamtoro, ataupun dari biji-bijian seperti

bungkil kedelai, ataupun bungkil kacang tanah. Sumber protein juga bisa berasal

dari hewan, misalnya tepung darah, tepung ikan, dan tepung daging.

3. Lemak

Sebagai sumber energi, lemak juga berfungsi sebagai pelarut vitamin A, D, E,

dan K. Di dalam tubuh sapi, lemak yang terkandung dalam bahan pakan diubah

menjadi patih dan gula. Sumber lemak utama terdapat pada pakan berbutir

seperti bungkil kacang tanah, bungkil kelapa, dan bungkil kedelai.

4. Serat Kasar

Serat kasar diperoleh dari pakan hijauan jenis lenguminose seperti daun turi

dan petai cina. Kandungan serat kasar yang diperlukan ternak sapi paling sedikit

13% dari bahan kering di dalam ransum. Serat kasar berfungsi menjaga alat

pencernaan agar bekerja baik, membuat kenyang dan mendorong keluarnya

(35)

5. Mineral untuk Sapi potong

Beberapa unsur penting mineral yang diperlukan ialah natrium (Na), klor (Cl),

kalsium (Ca), forsor (P), sulfur (S), ferum (Fe), Kalium (K), magnesium (Mg),

iodium (I), kuprum (Cu), kobalt (Co), seng (Zn), dan selenium (Se). Pada

umumnya unsur-unsur ini banyak terdapat di dalam ransum pakan. Namun sering

kali, perlu ditambahkan unsur mineral, terutama garam (NaCl), Kalium (Ca), dan

Fosfor (P).

6. Karbohidrat

Karbohidrat adalah senyawa yang terbentuk dari senyawa molekul karbon,

hidrogen, dan oksigen. Sebagai salah satu jenis zat gizi, fungsi utama karbohidrat

adalah penghasil energi di dalam tubuh. Proses pembakaran karbohidrat akan

digunakan oleh sapi untuk berbagai fungsi penting seperti bernafas, kontraksi

jantung, dan aktivitas lainnya. Bahan pakan yang banyak mengandung

karbohidrat untuk pakan sapi adalah biji-bijian, seperti jagung, gandum, dan

jewawut.

2.3.3.2. Kendala dalam Ketersediaan Pakan

Menurut Sugeng (2000), terbatasnya pakan ternak sapi, terutama pakan

hijauan yang tersedia sepanjang tahun merupakan kendala besar dalam proses

penggemukan sapi potong.

Adapun kendala dalam keterediaan pakan adalah:

1. Pada umumnya produksi hijauan pakan ternak adalah musiman sehingga

(36)

hijauan berbeda dengan pakan penguat atau pakan berbiji yang bisa di

datangkan dari mana dan kapan saja.

2. Pengadaan pakan hijauan umumnya di hasilkan atau dibeli di lingkungan

sekitar. Terkadang jumlahnya sangat berlimpah dan berlebihan bila musim

panen lokal namun terkadang juga sangat terbatas dan penyediaannya pun

dalam waktu singkat. Volume, kualitas, dan kontinoitas penyediaan hijuan

masih belum memadai sebab para peternak masih menggunakan sistem

pemanfaatan sisa-sisa atau hasil ikutan tanaman berupa jerami ataupun sisa

hasil panen lainnya.

2.3.4. Tindakan Hygienis/ Sanitasi

Tindakan hygienis ialah usaha penjagaan kesehatan melalui kebersihan

agar ternak bebas dari suatu infeksi penyakit, baik virus, maupun parasit.

Tindakan hygienis berikut biasa dilakukan oleh para peternak guna

membebaskan infeksi penyakit tersebut.

1. Kebersihan Peralatan

Menjaga kebersihan dengan cara menyucihamakan peralatan, segala

peralatan yang pernah dipakai harus disucihamakan dengan cara:

a. Disemprot, disiram, atau direndam dengan cairan desinfektan: Creolin,

Lysol, ataupun bahan paten lain.

b. Dijemur langsung pada cahaya matahari.

c. Disiram atau direndam dengan air mendidih, dan

d. Dikapur dinding kandangnya dengan cairan kapur kental atau cat

(37)

2. Kebersihan Kandang

Sangat penting untuk menjaga kebersihan kandang baik dalam maupun di

luar kandang.

Adapun hal-halyang perlu diperhatikan adalah:

a. Kelembaban udara dan lantai harus dihindarkan dengan cara ventilasi

kandang diatur secara sempurna dan sinar matahari pagi diusahakan bisa

masuk ke dalam kandang. Usahakan populasi ternak sapi di dalam

kandang tidak terlalu padat.

b. Kotoran di tampung di tempat penampungan khusus yang letaknya agak

jauh dari kandang sehingga mengurangi lalat.

c. Sisa-sisa pakan yang mungkin berserakan dan juga semak-semak yang

tumbuh di sekitar kandang harus dibersihkan.

d. Pakan dan air minum harus bersih dan tidak terkontaminasi.

e. Kandang dan lingkungan agar tidak lembab, basah atau banyak kubangan

air.

f. Bersihkan rumput- rumput liar yang ada di sekitar kandang.

g. Berantas perantara perkembangan yaitu siput, sebaiknya secara biologi,

misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek.

h. Hindari penumpukan sisa pakan.

3. Sistem Pengembalaan

Jika menggunakan sistem pengembalaan, hindari lahan pengembalaan

becek. Selanjutnya usahakan pengembalaan di lokasi yang bergilir, jangan

(38)

pengembalaan di padang rumput yang diberi pupuk kandang yang tidak jelas

asal usulnya. Untuk mencegah perkembangan cacing hati, dapat dilakukan

dengan cara menebar copper sulphate di lapangan pengembalaan.

4. Kebersihan Kulit Ternak yang Dipelihara

Kulit yang sehat dan bersih saja yang bisa berfungsi dengan baik,

sedangkan kulit yang kotor tak bisa berfungsi dengan baik. Kulit menjadi kotor

akibat kotoran seperti kulit ari yang mengelupas, serta tebu dan lumpur yang

melekat bersama keringat dan lemak kulit. Sedangkan sapi yang selalu berada di

dalam kandang biasanya menjadi kotor akibat debu dan kotorannya sendiri. Sapi

yang kulitnya kotor bisa menimbulkan radang kulit. Oleh karena itu, untuk

menjaga kebersihan kulit ini, ternak sapi perlu dimandikan dan disikat.

5. Kebersihan Petugas

Petugas harus mencuci hamakan diri dengan cara mencuci anggota badan

denga air hangat dan sabun, kemudian menggosok dengan obat-obatan penyuci

hama atau desinfektan.

6. Kebersihan Bahan Pakan dan Kandungann Racun

Bahan pakan yang kotor dan beracun akan menggagu kesehatan ternak

misalnya:

a. Pakan yang kotor akibat keadaan air dan tanah, seperti rumput yang

bercampur lumpur karena terkena banjir, pakan yang tercemar akibat

hama ulat ataupun tercemar cendawa, serta pakan yang sudah busuk.

b. Hijauan yang beracun akibat racun terjadi secara alamiah di dalam

(39)

merah, ataupun yang terkena racun kimia akan sangat berbahaya bagi

kesehatan ternak.

2.4. Daging

Daging merupakan bahan makanan utama yang dikonsumsi manusia baik

diperoleh dari hewan-hewan piaraan atau hewan buruan daging juga

didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan

jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan

gangguan kesehatan. Organ- organ misalnya hati, ginjal, otak, paru-paru,

jantung, limpa, pankreas, dan jaringan otot. (Sueparno, 1994).

2.4.1. Karakteristik kimia daging

Komposisi daging segar tergantung pada jenis hewan, kondisi hewan,

jenis daging dan cara penanganannya. Daging berlemak mengandung kadar air

dan protein yang rendah. Kadar air daging dari hewan mudah lebih banyak dari

hewan tua. (Anonimous, 2013).

2.4.2. Karakteristik Fisik Daging

Secara fisik daging tersusun atas serabut-serabut otot yang sejajar dan

terikat bersama-sama oleh suatu jaringan ikat. Bagian luar otot terbungkus

membran transparan yang disebut epimisium. Lapisan epimesium ini terdiri dari

jaringan ikat yang berupa serabut kolagen dan elastin.

Pada bagian otot terdapat jaringan iakt yang membentuk sekat-sekat yang

menyelubungi sekelompok jaringan otot. Sekat-sekat ini disebut perimisium yang

banyak urat darah dan urat saraf. Masing-masing serabut otot dilindungi oleh

(40)

Untuk mengetahui keadaan fisik daging masih dalam keadaan baik atau

tidak, ada 3 hal yang perlu diperhatikan:

a. Warna daging

Warna daging tergantung dari hewannya. Daging yang baik mempunyai

warna yang sama antara bagian dalam serta bagian luar daging sebab jika warna

bagian luar saja yang tampak segar mungkin telah terjadi pemalsuan, misalnya

dengan menambah zat warna pada daging.

b. Bau Daging

Bau daging adalah khas, sesuai dengan bau hewannya. Jika telah terjadi

proses pembusukan, maka bau daging akan berubah. Untuk mengetahui apakah

daging telah membusuk atau tidak dapat diketahui dari bau yang keluar dari

sendi-sendi tulang, selain itu daging digemari serangga (lalat) yang jumlahnya

makin banyak jika daging telah membusuk terutama pada daging yang tidak

dilindungi atau ditutup. Permukaan daging yang lendir serta tampak mengkilat

adalah tanda lain dari daging yang telah membusuk.

c. Konsistensi Daging

Daging yang baik adalah yang mempunyai konsistensi “mastis” bila ditekan

dan agak berdenyut, mempunyai turgor dan bila dipegang terasa basah kering,

artinya sekalipun radasanya basah, tetapi tidak sampai membasahi tangan

(41)

2.5. Metode Pemeriksaan Cacing Hati dengan Mikroskop.

Metode periksaan sampel di lakukan dengan menggunakan mikroskop

dilaboratorium Balai Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit

Menular (BTKL & PPM) Medan bagian Instalasi Entomologi.

2.6. Cacing hati (Fasciola hepatica)

Cacing dewasa bentuknya seperti daun dan mempunyai bahu, panjangnya

30 mm lebar 13 mm, batil isap mulut dan batil isap perut hampir sama besarnya

dan letakknya berdekatan. Tracustus digestifus mempunyai caecum yang

bercabanga-cabang. Cacing ini hermafrodit, telur mempunyai operkulum, ukuran

140 x 80 mikron (Rosdiana,S. 2009).

2.6.1. Morfologi Cacing Hati (Fasciola hepatica)

Cacing dewasa dalam saluran empedu menghasilkan telur-telur yang

terbawa oleh cairan empedu masuk ke dalam lumen usus dan keluar ke alam

bebas bersama tinja, telur-telur tidak berembrio, mempunyai operkulum, besar,

ovoid, kuning kecoklatan, dan berukuran 130-150 µm x 63-90 µm. Mirasidium

berkembang dalam waktu 1 sampai 2 minggu dan keluar dari telur untuk

menginfeksi hospes perantara keong. Serkaria keluar dari keong setelah

terbentuknya sporokista dan dua atau tiga generasi redia. Serkaria mengadakan

(42)

2.6.2. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Sapi

Gambar 1. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Hewan (http://.dpd.cdc.gov/dpdx)

1. Telur keluar ke alam bebas bersama feses sapi. Bila menemukan habitat

basah. telur menetas dan menjadi larva bersilia, yang disebut Mirasidium.

2. Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput Lymnea akan tumbuh menghasilkan

Sporokista.

3. Sporokista seara partenogenesis akan menghasilkan Redia

4. Redia secara paedogenesis akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan

(43)

5. Metaserkasria termakan oleh hewan ternak berkembang menjadi cacing muda

yang selanjutnya bermigrasi ke saluran empedu pada hati inang yang baru

untuk memulai daur hidupnya (Boray, 2007).

2.6.3. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Manusia

Gambar 2. Siklus Hidup Fasciola hepatica Pada Manusia (http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Manusia terinfeksi umumnya karena memakan hati sapi yang

pengelolaannya kurang sempurna dimana hati sapi mengandung cacing hati,

(44)

dinding usus dan masuk melewati rongga perut sampai ke hati. Setelah cacing

menembus lapisan hati, sampailah cacing ke saluran empedu dan kantung empedu.

Dalam saluran empedu, cacing mudah menjadi cacing dewasa dalam jangka waktu

1 – 2 bulan. Cacing yang dewasa akan bertelur. Bersama cairan empedu, telur

berhasil masuk ke dalam saluran usus dan dapat di temukan dalam tinja (fases). (

Entjang, 2001).

Manusia terinfeksi karena memakan tanaman air yang tidak dimasak di

mana metaserkaria mengadakan enkistasi. Larva masuk kedalam hati dengan

menembus kapsul (kapsul Clissoni) dan mengembara ke selurus parenkin hati

selama 9 minggu. Larva akhirnya masuk ke dalam saluran empedu, di mana larva

menjadi dewasa dan menghasilkan telur. Cacing dewasa dapat manjadi panjang >

1 inci dan lebar > 0,5 inci (Garcia, 1996).

2.6.4. Morfologi Telur dan Larva Fasciola hepatica

Telur larva Mirasidium masuk ke dalam tubuh siput (Lymnea Sporokista)

berkembang menjadi larva (II): Redia Larva (III): serkaria yang berekor, kemudian

keluar dari tubuh keong Kista yang menempel pada tetumbuhan air terutama

selada air (Nasturqium officinale), kemudian termakan hewan ternak, apabila

memakan selada air yang mengandung cacing maka cacing akan masuk ke dalam

tubuh dan menjadi cacing dewasa dan akan menyebabkan Fascioliasis. (Budi,

2006).

Cara hidup dari tiap-tiap jenis keong tersebut dapat berbeda-beda (berair,

(45)

cairan usus. Pada stadium permulaan penyakit ini tidak ditemukan telur.

Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan metode serologis (CFT) dan tes

kulit (antigen didapat dari cacing dewasa). Dianjurkan pemakaian test

Immunofluorescent tidak langsung dengan mempergunakan mirasidium Fasciola

sebagai antigen. ( Irianto Kus, 2009).

2.6.5. Penyakit Fasciola hepatica Pada Manusia

Menurut Entjang (2001) penderita Fasciola hepatica bisa mengalami:

a. Gejala- gejala yang akan timbul seperti: demam, nyeri lambung, pembesaran

hati, nyeri perut pada ulu hati, dan muntah.

b. Penderita akan mengalami diare dan icterus

c. Fasciola hepatica yang hidup di dalam saluran empedu dan parenchym liver

menimbulkan peradangan berupa hyperplasia, necrosa dab fibrosa.

2.6.6. Pencegahan Fasciola hepatica

Agar masyarakat terhindar dari makanan dan minuman yang dapat

membahayakan kesehatan, pemerintah menetapkan standar dan persyaratan agar

makanan dan minuman layak dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Hal ini

dinyatakan dalam Undang-Undang No. 23 ayat 1 yaitu : Pengamanan makanan

dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan

minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan

(Fardiaz, 1992).

Pencegahan yang efektif sulit dilakukan karena sulit untuk

(46)

mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan sehabis panen untuk

memberantas siput (Brotowidoyo 1987).

Pencegahan jangka panjang tergantung eradikasi penyakit pada hewan

hebivora, pengobatan untuk hewan peliharaan mungkin dapat diberikan, tetapi

untuk binatang air tidak memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi

dapat dicegah dengan tidak makan sayur mentah (Brown 1997).

Menurut Suweta (1982) upaya pengendalian penyebarluasan penyakit

dapat dilaksanakan dengan memutuskan siklus hidup cacing, yaitu dengan

membrantas siput yang hidup di air persawahan dan lainnya dengan cara:

a. Pencegahan dilakukan dengan membrantas siput air, tanaman air

(sayuran dari daerah endemis jangan dimakan atau di jual di pasaran.

b. Hati sapi harus di masak terlebih dahulu sampai matang sebelum

dimakan.

c. Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan

masyarakat dengan menekankan bahaya dari tumbuhan air yang banyak

terdapat binatang atau keong.

d. Pengobatan terhadap hewan yang terkena infeksi cacing hati.

e. Hindari konsumsi sayuran air yang mentah atau meminum air yang

tercemar metacerkaria.

f. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga

(47)

g. Dengan menggalakkan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena

bebek akan memakan siput-siput yang menjadi tempat berkembang biak

larva cacing hati.

Menurut Lubis (1983) pencegahan infeksi cacing dapat dilakukan dengan

memberikan ransum yang baik sangat perlu diperhatikan untuk menambah

(48)

2.7. Kerangka Konsep

Ditemukan cacing dewasa Hati Sapi

Sapi (f

Pemeriksaan laboratorium

Tidak ditemukan cacing dewasa

Feses Sapi

Mikroskop

Kk Menteri Kesehatan no: 424/ Menkes/ SK/ VI. 2006

Ditemukan telur cacing

(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftif yaitu untuk mengetahui gambaran

kandungan cacing hati pada hati dan feses sapi dari peternakan sapi potong

hewan di Mabar Medan Tahun 2013.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif yaitu hati diambil dari

rumah potong hewan kemudian diikuti dari peternakan mana asal hati sapi

tersebut.

Pemeriksaan cacing hati dan feses sapi di lakukan di Balai Teknis

Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Menular (BTKL &PPM)

Medan.

3.2.2. Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Maret-Juli 2013

3.3.Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan adalah hati dan feses sapi dari

peternakan sapi potong di Mabar Medan. Hati dan feses sapi akan diperiksa ke

laboratorium dengan sampel yang akan di teliti yaitu sebanyak 12 hati dan feses

(50)

3.4. Mekanisme Pengambilan Sampel

Sampel diambil dari setiap peternakan sabanyak 50 gr hati sapi untuk

setiap sampelnya, sampel dimasukkan ke dalam plastik putih bening dan

dimasukkan ke dalam boks dan di tutup rapat agar tidak bersentuhan dengan

udara luar. Kemudian dibawa ke Balai Teknis Kejadian Lingkungan dan

Pengendalian Penyakit Menular (BTKL & PPM) Medan untuk diperiksa.

3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Data Primer

Data primer diperoleh dari observasi dan hasil pemeriksaan sampel di

Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengandalian Penyakit Menular Medan

(BTKL & PPM) terhadap kandungan cacing hati pada hati dan feses sapi.

3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari penelitian- penelitian yang berhubungan

serta referensi atau literatur-literatur yang relevan dengan penelitian yang

dilakukan.

3.6. Definisi Operasional

1. Peternakan sapi adalah orang perorangan atau korporasi yang mengelolah

atau memelihara ternak sapi.

2. Hati sapi adalah organ dalam sapi yang terletak didalam rongga perut tepat di

belakang sekat rongga dada.

3. Feses sapi adalah sisa zat makanan yang telah terabsorsi dan tidak bermanfaat

(51)

4. Telur cacing hati adalah berbentuk oval, mempunyai tutup, berwarna kuning

sampai coklat.

5. Cacing hati adalah cacing trematoda dengan tubuh berbentuk daun.

6. Pakan sapi adalah zat makanan yang diberikan pada sapi untuk pertumbuhan

dan pertambahan berat sapi.

7. Air minum sapi adalah yang diberikan kepada ternak untuk memenuhi

kebutuhan air dalam tubuh sapi.

8. Lokasi peternakan adalah daerah peternakan dimana kandang sapi didirikan.

9. Pemeriksaan cacing hzaati pada hati sapi di periksa di laboratorium bagian

instalasi entomologi dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui

cacing hati pada hati sapi.

10.Cacing hati pada hati sapi adalah banyaknya cacing hati yang ditemukan pada

sampel hati sapi melalui pemeriksaan laboratorium dalam satuan ppm.

3.7. Aspek pengukuran

Adapun variabel yang akan dilakukan pengukuran adalah sebagai berikut:

1. Variabel Pekerjaan

Pekerjaan adalah pekerjaan responden yang digeluti sehari-hari dengan

menggunakan skala ordinal dikategorikan:

a. Bekerja

b. Tidak bekerja

2. Variabel Pengetahuan

Pengetahuan ditentukan berdasarkan jumlah pertanyaan dalam instrumen

(52)

pertanyaan dengan memilih jawaban a, b, c. “a” (diberi skor 2), jawaban “b”

(diberi skor 1), “c” (diberi skor 0). Berdasarkan total nilai yang diperoleh dari

pertanyaan maka total nilai maksimal adala 14. Berdasarkan skala likert

(sugiono, 2007).

pengetahuan responden dikategorikan dengan menggunakan skala

ordinal, sebagai berikut:

a. Baik, jika skor yang diperoleh responden ≥ 65%

b. Kurang baik, jika skor yang diperoleh responden < 65%.

3.8. Prosedur Kerja Pemeriksaan Cacing Hati

Menurut Athiroh (2005), adapun prosedur Kerja Pemeriksaan cacing

hati dengan menggunakan mikroskop.

Adapun cara kerja pemeriksaan cacing hati adalah :

1. Sapi yang sudah di sembelih kemudian di ambil hatinya sebanyak 50 gram.

2. Sampel di ambil dari rumah potong hewan di pilih secara acak.

3. Sampel hati yang sudah di ambil di bersihkan dan di simpan dalam wadah

(boks) dan langsung di bawa ke laboratorium.

4. Sampel hati di iris-iris kemudian di periksa parasit cacing di bawah

mikroskop.

5. Sampel di identifikasi jenis parasinya dan di hitung jumlahnya.

6. Pengambilan sampel pada pagi hari dan di periksa pada hari yang sama agar

(53)

3.9. Prosedur Kerja Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Apung (Flotation Method)

Menurut Subekti (2001), adapun prosedur Kerja Pemeriksaan Telur

cacing adalah:

Alat-alat :

- tabung reaksi ukuran 150 x 16 mm,

- rak tabung reaksi,

- gelas piala kimia,

- batang aplikator,

- kaca obyek,

- kaca penutup

- mikroskop.

- Saringan teh

Bahan :

- aquadestilata,

- Larutan NaCl jenuh (33%)

Cara membuat NaCl jenuh : Serbuk NaCl dilarutkan dengan Aquadest sampai

NaCl jenuh (NaCl tidak dapat larut lagi)

- larutan hipoklorit 30 %,

Prosedur Kerja:

- Disiapkan seluruh alat dan bahan pemeriksaan.

- Diambil sampel pemeriksaan (faeces) sebanyak 5 - 10 gram, dimasukkan

(54)

- Tambahkan larutan NaCl jenuh hingga ½ volume tabung reaksi, lalu lakukan

pengadukan hingga merata.

- Buanglah kotoran besar yang terdapat dalam suspensi sampel tersebut

dengan cara menyaring suspensi dengan saringan teh, lalu letakkan tabung

reaksi pada rak tabung.

- Tambahkan lagi larutan NaCl jenuh hingga hampir mencapai bibir tabung

reaksi, lakukan pengadukan kembali.

- Tambahkan larutan NaCl hingga penuh (permukaan cairan pada bibir tabung

reaksi mencembung).

- Letakkan kaca penutup diatas bibir tabung reaksi, diamkan selama 45 menit

(literatur lain mengatakan 5-10 menit).

- Ambil kaca penutup, lalu letakkan pada kaca obyek sedemikian rupa dan

lakukan pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran lemah (10 x

lensa obyektif).

3.10. Analisis Data

Setelah hasil pemeriksaan laboratorium selesai maka hasilnya diolah secara manual,

disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif, dengan membandingkan

hasil yang diperoleh dengan standat yang telah di tetapkan yaitu standat parasit dan di

(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Karakteristik Pengelola Peternakan Sapi

Pengelola peternakan adalah orang yang bekerja langsung memelihara

sapi. Karakteristik pengelolah peternakan sapi di Mabar Medan meliputi

umur, tingkat pendidikan, lama bekerja dan pengetahuan responden.

4.1.1.1. Umur

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak

di 12 peternakan sapi potong di Mabar Medan diketahui umur responden

rata-rata 35 – 40 tahun dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1. Distribusi Umur Pengelola Peternakan Sapi Di Mabar Medan Tahun 2013

No Umur Jumlah Persentase (%)

1 35 - 40 tahun 6 50,7

2 41- 46 tahun 2 16,7

3 >46 tahun 4 33,3

Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.1 diatas, diketahui bahwa pengelola peternakan sapi

sebagian besar berumur 35 – 40 tahun yaitu sebanyak 6 orang dari 12 orang peternak

(56)

4.1.1.2. Tingkat Pendidikan

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak

sapi potong di Mabar Medan pada tingkat pendidikan dapat pada tabel berikut.

Tabel 4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 3 25,0

2 SMP/ Sederajat 5 41,7

3 SMA/ Sederajat 4 33,3

Total 12 100

Berdasarkan tabel 4.2. diatas diketahui bahwa tingkat pendidikan

pengelola peternakan sapi yang paling banyak adalah SMP yaitu 5 orang dari

12 orang pengelola peternakan sapi (41,7%).

4.1.1.3. Lama Bekerja

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan peternak

sapi potong di Mabar Medan lama bekerja pengelola dapat dilihat pada tabel

berikut.

(57)

4.1.1.4. Pengetahuan Responden

Adapun gambaran pengetahuan responden pada penelitian ini dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013

No Indikator dan Jawaban Aspek Pengetahun Jlh %

1 Umur sapi dapat dijual

2 Kandang yang memenuhi syarat

a. Ketersediaan sumber air dan fotografi b. Aman dari segala bahaya

c. Tidak tahu

3 Jenis nutrisi yang di gunakan pada ternak sapi a. Karbohidrat, lemak, protein, Vit dan mineral b. Vitamin dan mineral

4 Jenis pakan yang diberikan pada sapi a. Pakan berserat dan penguat b. Pakan penguat

6 Penyakit yang sering menyerang sapi

a. kembung, cacingan, diare, kudis, antraks dan penyakit mulut b. penyakit kuku

7 Cara pemeliharaan sapi

a. sanitasi kandang,pemeliharaan kebersihan sapi dan vaksinasi secara teratur

Gambar

Gambar 1.
Tabel 4.1. Distribusi Umur Pengelola Peternakan Sapi Di Mabar Medan Tahun 2013
Tabel 4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013
Tabel 4.4. Distribusi Pengetahuan Responden Pengelola Peternakan Sapi di Mabar Medan Tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Status sosial ekonomi orang tua tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap prestasi belajar siswa Kelas II SMK di Kota Malang; (4) Motivasi belajar memiliki pengaruh

Ada hubungan antara perilaku caring perawat dengan penerapan prinsip etik dalam asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr.. Bagi

adalah cara – cara yang dapat digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik dalam arti lebih. cermat,

Penjelasannya adalah perusahaan yang mengajukan pinjaman bank dalam jum- lah besar adalah perusahaan yang “sakit” atau memiliki profitabilitas yang rendah, sedangkan

UJI EFIKASI LIMA JENIS PESTISIDA NABATI PADA HAMA PENGGEREK BATANG JAGUNG (Ostrinia furnacalis.. Guen ) (LEPIDOPTERA : PYRALIDAE) SECARA

The writer gives her gratitude to Allah SWT for giving her everything in her life, so that she can finish writing the research entitled “ Improving Writing Ability Using “

Komputer kuantum adalah komputer untuk menanipulasi dan meinterpretasikan penyandian dari bit-bit quantum &amp;#1048755;qubit&amp;#1048756;, komputer kuantum merupakan tipe

Dengan demikian, dengan diperolehnya hasil pengaruh signifikan dari pengujian pengaruh corporate governance dalam memoderasi pengaruh CSR terhadap nilai