9 BAB II
LANDASAN TEORI & PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Counterfeit Product
a. Ada 2 motivasi pokok yang mendorong sebuah perusahaan untuk
menjadi imitator (Tjiptono, 2005):
1. Keterdesakan atau keterpaksaan
Perusahaan yang lengah dengan peluncuran produk-produk
baru oleh perusahaan lain, sehingga saat produk baru tersebut menjadi
mode yang disukai maka tidak ada pilihan untuk perusahaan selain
mengikuti mode tersebut.
2. Wait and See
Dimana perusahaan mengamati secara sabar dan penuh
perhitungan sampai pasar untuk sebuah produk baru benar-benar
atraktif dan pionir melakukan kesalahan, barulah mereka masuk
dengan produk baru yang lebih superior
b. Alasan konsumen untuk membeli Counterfeits (Phau et al., 2009) dalam Ciangga, 2013):
1. Simbolisme dan prestise. Dimana simbolisme dan prestise
memainkan peran penting yang sangat mempengaruhi
konsumen secara sadar untuk membeli produk tiruan merek
10
2. Siklus hidup produk fashion yang relatif singkat (seperti
pakaian, tas, sepatu, aksesoris) Dimana konsumen enggan
menghabiskan biaya yang terlalu tinggi karena siklus mode
hanya sebatas jangka pendek setelah itu akan dianggap out of date.
3. Keberhasilan industri produk tiruan merek mewah yang
dikaitkan dengan keuntungan harga yang ditawarkan atas
produk asli.
c. Kontinum Genuine -Counterfeits
Menurut (Gentry, 2001 dalam Ciangga, 2013) Produk tidak hanya
diperiksa dalam dua dimensi sebagai genuine (asli) dan counterfeit (palsu),
tetapi diperiksa dalam struktur secara terus-menerus dari berbagai
tindakan. Dengan demikian konsumen dapat merasakan kualitas antara
genuine (asli) dan counterfeit (palsu) dalam tingkat yang berbeda. Ada 4 tipe imitasi (Tjiptono,2005:77) :
1. Counterfeits disebut juga product pirates
Produk-produk tiruan yang memalsukan atau membajak nama merek,
simbol, logo, atau merek dagang produk asli/orisinal. Tipe ini bersifat
illegal dan melanggar hak cipta dan paten. Konsumen bisa peduli atau
sama sekali tidak peduli atas kecurangan yang disengaja oleh
11
2009) biasanya berbentuk produk kosmetik, pakaian, dan lain
sebagainya. Piracy adalah produk yang merupakan salinan tepat dari yang asli dan biasanya terbatas untuk kategori teknologi, seperti
perangkat lunak.
2. Knockoffs atau clones
Produk-produk tiruan yang sangat mirip atau kompatibel dengan
produk orisinil, tetapi menggunakan nama merek sendiri. Clones merupakan produk yang legal. Biasanya tipe ini berupa produk dasar
yang sama dengan innovator, tetapi dengan harga yang lebih murah
dan tanpa merek prestisius.
3. Design copies atau trade dress
Produk-produk yang meniru dan mengandalkan gaya (style), desain,
model, atau corak produk pesaing yang popular.
4. Creative adaptations
Tipe ini merupakan bentuk tiruan yang paling kreatif. Dimana
perusahaan melakukan penyempurnaan incremental atas produk yang
sudah ada atau mengadaptasikannya pada arena kompetisi yang baru.
Tetapi bentuk inovasi ini banyak melibatkan pula imitasi dan
perluasan/ekstensi.
d. Ada empat kategori yang berbeda dalam pelanggaran HKI (hak
kekayaan intelektual) (Lai & Zaichkowsky, 1999 dalam Ciangga, 2013) :
12
lebih rendah dalam hal kinerja, kehandalan, atau daya tahan
dibandingkan produk aslinya. Biasanya pelanggan tertipu dan
beranggapan bahwa produk yang mereka beli itu adalah asli.
Piracy adalah produk berupa salinan tepat dari produk aslinya
dan biasanya terbatas kategori teknologi, seperti perangkat
lunak. Dalam posisi ini biasanya konsumen sadar bahwa
produk yang mereka beli itu adalah produk palsu. Karena
kesadaran konsumen dapat dilihat melalui lokasi pembelian,
penentuan harga, serta perbedaan jelas dalam desain dan
kualitas atau fitur-fitur lain yang disadari oleh konsumen.
2. Imitation brands (knock-offs) merupakan produk tiruan yang mirip dengan produk aslinya, tetapi tidak identik. Kemiripan
terjadi pada nama, bentuk, makna dengan produk yang sudah
dikenal luas di pasar.
3. Gray marketing adalah produk yang dijual ke pasar secara ilegal, ketika pabrik memproduksi lebih dari jumlah yang
dibutuhkan.
Ada 2 jenis Countefeits goods menurut (Grossman & Shapiro, 1988) :
a. Nondeceptive counterfeits cenderung menarik dukungan luas untuk perlindungan dari pirates. Kasus dalam kategori seperti
13
Nondeceptive counterfeits memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Produk tidak memiliki resiko kesehatan atau resiko
keselamatan kepada masyarakat;
2. Produk memiliki sedikit dampak nyata terhadap merek
yang dipalsukan;
3. Produk memang dikenal palsu oleh konsumen, dan
membuktikan memberikan beberapa manfaat (misalnya,
pekerjaan) untuk bangsa.
b. Deceptive counterfeits cenderung lebih menerima tanggapan antusias dari pemerintah setempat untuk permintaan
perlindungan kekayaan intelektual (Mereka tidak memiliki
tanggung jawab atas perilaku mereka).
Deceptive counterfeits memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Konsumen tidak menyadari bahwa mereka membeli
palsu.
2. Ada bahaya kesehatan dan keselamatan.
3. Pemerintah mengalami kerugian dihitung dari
operasi mereka.
4. Brand yang dipalsukan mengalami kerugian yang dapat dibuktikan dari penjualan dan / atau ekuitas.
Menurut ( McDonald dan Roberts 1994; dalam Cianggi, 2013),
orang-14
orang yang tertipu yang berpikir bahwa produk yang merek beli adalah
asli dan orang-orang yang dengan sadar membeli tiruan.
Menurut Denekamp (2011), alasan mengapa konsumen membeli
produk palsu sangatlah bervariasi. Tetapi sebagian besar alasan dapat dibagi
menjadi lima kategori besar, yaitu : faktor personal, faktor sosial, sikap
terhadap pemalsuan, faktor yang terkait dengan produk dan demografi.
1. Faktor personal.
Mencakup resiko, dimana terdapat 3 resiko (resiko keuangan, resiko
kinerja, dan resiko sosial) serta keyakinan etis terhadap suatu produk.
2. Faktor sosial.
Pilihan konsumen dalam pembelian produk tertentu dapat sangat
dipengaruhi oleh apa yang orang lain pikirkan. Konsumen yang akhirnya
membeli atau tidak membeli produk palsu, tergantung pada apa yang
mereka fikirkan tentang produk palsu tersebut.
3. Sikap terhadap pemalsuan.
Kombinasi faktor-faktor personal dan sosial menentukan sikap positif atau
negatif konsumen terhadap pemalsuan. Sikap terdiri dari pengetahuan
tentang ilegalitas dan merasakan rasa sukacita ketika lebih pintar dari
konsumen lain saat membeli sebuah produk palsu dimana tidak perlu
15 4. Terkait dengan produk.
Alasan yang berhubungan dengan produk. Salah satu alasan yang paling
penting bagi orang untuk membeli produk palsu adalah hubungan harga.
Bagi sebagian orang, mereka lebih puas dengan versi palsu karena lebih
murah karena produk palsu dapat membuat mereka seolah memiliki
produk mewah yang nyata. Dengan membeli produk palsu, bagi mereka
itu adalah cara untuk membeli Status melekat pada merek atau produk,
tetapi tidak membayar harga penuh. Orang-orang ini lebih memilih
kualitas yang lebih tinggi produk asli meskipun harga yang lebih tinggi.
5. Demografi.
Salah satu yang paling diteliti demografis variabel mengenai pembelian
palsu fashion adalah tingkat konsumen pendidikan dan pendapatan rumah
tangga. Hal ini dapat dijelaskan oleh faktor bahwa rumah tangga
berpenghasilan tinggi lebih mampu membeli produk nyata dan akibatnya
akan lebih memilih produk nyata atas pemalsuan. Hubungan antara tingkat
pendidikan dan kemauan untuk membeli palsu dapat dijelaskan dengan
alasan yang sama, dalam bahwa orang berpendidikan lebih tinggi
menghasilkan lebih banyak dan akibatnya lebih mampu membeli produk
yang sebenarnya. Mengingat pengaruh usia pada kemauan untuk membeli
produk palsu, orang-orang muda lebih mungkin untuk terlibat dalam
perilaku yang tidak etis, sehingga mereka mungkin juga lebih bersedia
16 2.2Subjective Norm
Norma subyektif adalah persepsi individu mengenai kepercayaan
orang lain yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang sedang dipertimbangkan (Lu et al., 2010 dalam Tirza
2012). Jadi norma subjektif adalah persepsi seseorang tentang pengaruh sosial
dalam membentuk perilaku tertentu. Seseorang bisa terpengaruh atau tidak
terpengaruh oleh tekanan sosial (Dwi, 2007)
Menurut Baron & Byne (2002), norma subyektif adalah persepsi
individu tentang apakah orang lain akan mendukung atau tidak
terwujudnya tindakan tersebut. Norma subyektif juga diartikan sebagai
persepsi tentang tekanan sosial dalam melaksanakan perilaku tertentu
(Feldman, 1995 dalam Amaliah, 2008). Hogg & Vaughan (2005)
berpandangan bahwa norma subyektif adalah produk dari persepsi
individu tentang keyakinan yang dimiliki orang lain.
Ajzen (2005) mengasumsikan bahwa norma subjektif ditentukan
oleh adanya keyakinan normatif (normative belief) dan keinginan untuk
mengikuti (motivation to comply). Keyakinan normatif berkenaan dengan
harapan-harapan yang berasal dari referent atau orang dan kelompok yang
berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan,
teman dekat, rekan kerja atau lainnya, tergantung pada perilaku yang
17
bahwa kebanyakan referent akan menyetujui dirinya menampilkan perilaku tertentu, dan adanya motivasi untuk mengikuti perilaku tertentu,
akan merasakan tekanan sosial untuk melakukannya. Sebaliknya, individu
yang yakin bahwa kebanyakan referent akan tidak menyetujui dirinya
menampilkan perilaku tertentu, dan tidak adanya motivasi untuk
mengikuti perilaku tertentu, maka hal ini akan menyebabkan dirinya
memiliki subjective norm yang menempatkan tekanan pada dirinya untuk menghindari melakukan perilaku tersebut.
Peneliti merumuskan norma subyektif sebagai norma yang
didapatkan seseorang dari persepsi terhadap sejauh mana lingkungan
sosial yang cukup berpengaruh untuk mendukung atau tidak pelaksanaan
suatu pengambilan keputusan.
2.3 Ethical Judgment
Arens dan Loebbecke (2003) mengatakan bahwa etika secara
umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Ludigdo
(2007: 21) mendefinisikan etika sebagai pemikiran dan pertimbangan
moral yang memberikan dasar bagi seseorang maupun sebuah komunitas
dalam melakukan sebuah tindakan. Etika memberikan pedoman bagi
seseorang atau komunitas untuk dapat menentukan baik buruk atau benar
salahnya suatu tindakan yang akan diambilnya.
( Hogart 1992 dalam Jamilah, et al. 2007) mengartikan judgment sebagai proses kognitif yang merupakan perilaku pemilihan keputusan.
18
informasi (termasuk umpan balik dari tindakan sebelumnya), pilihan untuk
bertindak atau tidak bertindak dan penerimaan informasi lebih lanjut
Proses judgment tergantung pada kedatangan informasi sebagai suatu proses unfolds. Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi
pilihan tetapi juga mempengaruhi cara pilihan tersebut dibuat.
Lebih lanjut, Hogart (1991) mengatakan bahwa secara umum
terdapat dua kondisi untuk membuat judgment yang tepat yaitu menggunakan proses yang tepat dan memperoleh data atau input yang tepat. Sebuah model yang membagi proses pengambilan keputusan
menjadi tiga yaitu:
1. Intelligence mengacu pada pengumpulan informasi untuk memahami permasalahan, termasuk risiko dan key factors untuk dipertimbangkan
2. Design mengacu pada identifikasi masing-masing tindakan; 3. Choice merupakan pengambilan keputusan pada alternatif
yang terbaik.
Keputusan etis (ethical decision) adalah sebuah keputusan yang
baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas
(Trevino,1986; Jones, 1991). Beberapa penelitian sebelumnya mengatakan
bahwa salah satu determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis
adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu
pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses
19
individu tersebut meliputi pengalaman, pengetahuan dan komitmen
profesi.
Jones (1991) menyatakan ada tiga unsur utama dalam pengambilan
keputusan etis yaitu: Moral issue yang menyatakan seberapa jauh ketika
seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan
itu, maka akan menyebabkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dengan kata lain, suatu tindakan atau keputusan yang
diambil akan mempunyai konsekuensi kepada orang lain, Moral agent yaitu seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision), Ethical
decision itu sendiri yaitu sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas. (Laily, 2010)
2.4 Purchasing Intention
Niat adalah keinginan untuk melakukan perilaku. Perilaku sendiri
adalah tindakan atau kegiatan nyata dilakukan (Azjen 1991 dalam
Sutrisno, 2012). Niat beli menunjukkan seberapa jauh individu
mempunyai kemampuan untuk membeli merek tertentu yang dipilih
setelah melakukan evaluasi (Khan et al, 2012). Peter & Olson (2008) juga
berpendapat bahwa intensi membeli suatu produk didasari oleh sikap
seseorang terhadap perilaku membeli produk tersebut. Jika sikapnya yang
diambil adalah loyalterhadap suatu produk maka dia akan mempunyai niat
untuk melakukan pembelian ulang, sebaliknya jika konsumen tersebut
20
Penelitian sebelumnya (Grossman dan Shapiro, 1988 dalam
Ciangga, 2013) menunjukkan bahwa ada dua jenis pembeli produk tiruan
yang berkaitan dengan inferensi harga dan kualitas.
1. Kelompok pertama merasa bahwa jika produk tiruan merek
mewah sebanding dengan produk asli dalam segala aspek
dan produk tiruan merek mewah lebih unggul dalam harga
yang ditawarkan, maka konsumen akan memilih produk
tiruan merek mewah.
2. Kelompok kedua merasa bahwa meskipun kualitas produk
tiruan merek mewah lebih rendah dengan aslinya, harga
yang unggul (murah) lebih mengkompensasi kekurangan
dalam kualitas dan kinerja.
Dalam penelitian yang dilakukan Phau dan Teah (2009) konsumen
menetapkan bahwa kualitas produk tiruan merek mewah memiliki kualitas
yang tinggi dan dengan harga yang murah sehingga mereka memiliki niat
untuk melakukan pembelian produk tiruan bermerek mewah. Dengan
harga yang lebih rendah dan memiliki manfaat fungsional yang hampir
sama seperti aslinya, produk tiruan dirasa cukup baik dan menguntungkan.
Kotler (2007) menunjukkan bahwa di antara tahap evaluasi
alternatif dan keputusan pembelian terdapat minat membeli awal, yang
mengukur kecenderungan pelanggan untuk melakukan suatu tindakan
tertentu terhadap produk secara keseluruhan. Para ahli telah merumuskan
21
1. Pengenalan masalah. Proses pembelian dimulai saat pembeli
mengenali masalah atau kebutuhan, yang dipicu oleh rangsangan
internal atau eksternal. Rangsangan internal misalnya dorongan
memenuhi rasa lapar, haus dan seks yang mencapai ambang batas
tertentu. Sedangkan rangsangan eksternal misalnya seseorang
melewati toko kue dan melihat roti yang segar dan hangat sehingga
terangsang rasa laparnya.
2. Pencarian informasi. Konsumen yang terangsang kebutuhannya akan
terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Sumber
informasi konsumen yaitu:
1. Sumber pribadi: keluarga, teman, tetangga dan kenalan.
2. Sumber komersial: iklan, wiraniaga, agen, kemasan dan
penjualan.
3. Sumber publik: media massa dan organisasi penilai konsumen
4. Sumber pengalaman: penanganan, pemeriksaan dan
menggunakan produk.
3. Evaluasi alternatif. Konsumen memiliki sikap beragam dalam
memandang atribut yang relevan dan penting menurut manfaat yang
mereka cari. Kumpulan keyakinan atas merek tertentu membentuk
citra merek, yang disaring melalui dampak persepsi selektif, distorsi
selektif dan ingatan selektif.
4. Keputusan pembelian. Dalam tahap evaluasi, para konsumen
22
pilihan. Faktor sikap orang lain dan situasi yang tidak dapat
diantisipasi yang dapat mengubah niat pembelian termasuk
faktor-faktor penghambat pembelian. Dalam melaksanakan niat pembelian,
konsumen dapat membuat lima sub-keputusan pembelian, yaitu:
keputusan merek, keputusan pemasok, keputusan kuantitas, keputusan
waktu dan keputusan metode pembayaran.
5. Perilaku pasca pembelian. Para pemasar harus memantau kepuasan
pasca pembelian, tindakan pasca pembelian dan pemakaian produk
pasca pembelian, yang tujuan utamanya adalah agar konsumen
melakukan pembelian ulang.
Menurut Kotler (2007), terdapat lima peran dalam keputusan
pembelian, yaitu:
1. Initiator (orang yang mengusulkan gagasan untuk membeli) 2. Influencer (orang yang pandangan atau sarannya
mempengaruhi keputusan)
3. Decision maker (orang yang mengambil keputusan). 4. Buyer (orang yang melakukan pembelian aktual).
5. User (orang yang mengonsumsi atau menggunakan produk atau jasa tertentu).
2.5 Fashion Consciousness
Kesadaran mode mengacu pada tingkat seseorang keterlibatan
23
dalam pakaian dan fashion, dan dalam penampilan seseorang (Summers, 1970; Jonathan & Mills, 1982 dalam Lee,2009).
Keterlibatan Fashion adalah pentingnya dirasakan konsumen dari
mode pakaian (O'Cass, 2001). Penelitian sebelumnya telah mendukung
bahwa keterlibatan busana mempengaruhi perilaku konsumen terhadap
produk mode misalnya, ( Bertrandias & Goldsmith, 2006; Goldsmith,
2002; Penz & Stottinger, 2005;. Wee et al, 1995 dalam Lee,2009). Hal ini
penting untuk menyelidiki keterlibatan busana untuk memahami perilaku
pembelian konsumen palsu. Pembeli merek premium diharapkan untuk
menempatkan nilai tinggi pada atribut produk seperti prestise, citra merek,
dan fashionability. Pembeli replika palsu merek tersebut juga diharapkan
untuk menghargai karakteristik gambar (Bloch et al., 1993). konsumen
membeli produk palsu dikarenakan memiliki selera sombong, tapi dengan
penerimaan harga yang rendah (Higgins & Rubin, 1986 dalam Lee,2009).
Penz dan Stottinger (2005) menemukan bahwa keterlibatan mode
memiliki pengaruh yang kuat pada pembelian sebuah produk. Pembeli
yang sadar akan merek dan mode akan mencari informasi untuk
memeriksa produk-produk terbaru dan pada akhirnya mereka akan
membelinya jika sesuai dengan selera mereka.
2.6 Value Consciousness
Nilai yang dirasakan didefinisikan sebagai "penilaian oleh
24
yang diterima dan apa yang diberikan" (Zeithaml 1988 dalam
Nordin,2006). Sebagian besar konsumen produk palsu menginginkan nilai
untuk merek, prestise dan manfaat gambar, tapi tidak mau membayar
harga tinggi untuk itu (Bloch et al., 1993). Oleh karena itu, untuk harga
yang lebih rendah dan kualitas di bawah standar, palsu dianggap nilai uang
(Bloch et al, 1993; Lichtenstein et al, 1990; Ang et al, 2001; Wang et al,
2005), sebagai produk palsu biasanya memberikan manfaat fungsional
yang sama seperti asli, tetapi di sebagian kecil dari harga produk asli. Nilai
konsumen yang sadar menganggap diri mereka sebagai pembeli cerdas.
Konsumen pada akhirnya prihatin membayar harga rendah tetapi produk
ini tunduk pada beberapa kendala kualitas.
2.7 Self-Ambiguity
Ambiguitas adalah suatu ketidakjelasan, suatu ketidaktegasan, suatu
ketidakpastian. Umpamanya ia adalah warna, maka ia adalah abu-abu di
antara hitam dan putih. Hitam dan putih adalah warna yang bertentangan,
maka dalam ambiguitas diri terdapat pertentangan antara dua sosok yang
berlawanan. Dua sosok yang abstrak, tetapi mereka memberikan pengaruh
yang sangat nyata dan mewujud pada tindakan diri. (Isnaeni, 2011)
2.8 Fashion
Dalam Syamrilaode (2011), Fashion mengekspresikan suatu identitas
tertentu. Pakaian adalah salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling
jelas dari penampilan luar, yang dengannya seseorang menempatkan diri
25
identitas suatu kelompok tertentu. Dan seiring perkembangan akan
berpengaruh kepada shopping lifestyle. Shopping lifestyle mengacu pada pola konsumsi yang mencerminkan pilihan seseorang tentang bagai-mana cara
menghabiskan waktu dan uang. Dalam arti ekonomi, shopping lifestyle
menunjukkan cara yang dipilih oleh seseorang untuk mengalokasikan
pendapatan, baik dari segi alokasi dana untuk berbagai produk dan layanan,
serta alternatif-alternatif tertentu dalam pembedaan kategori serupa.
(Betty Jackson, 2004 dalam Japarianto & Sugiharto, 2012)
mengatakan shopping lifestyle merupakan ekspresi tentang lifestyle dalam
berbelanja yang mencerminkan perbedaan status sosial dan untuk
mengetahui hubungan shopping lifestyle terhadap impulse buying behavior
adalah dengan menggunakan indicator Menanggapi untuk membeli setiap
tawaran iklan mengenai produk fashion :
1. Membeli pakaian model terbaru ketika melihatnya di Galaxy Mall
2. Berbelanja merk yang paling terkenal
3. Yakin bahwa merk (produk kategori) terkenal yang di beli terbaik
dalam hal kualitas
4. Sering membeli berbagai merk (produk kategori) daripada merk yang biasa di beli
5. Yakin ada dari merk lain (kategori produk) yang sama seperti yang
di beli
Fenomena yang selalu terjadi di masyarakat adalah, ketika suatu
26
menjadi trend yang sifatnya hanya sesaat. Industry fashion tidak bisa
diprediksi dengan tepat, apa yang akan digemari oleh masyarakat hanya
dapat diprediksi dengan dua kemungkinan; kena dipasaran atau bahkan
meleset jauh (Agustina, 2009).
2.9 Pengembangan Hipotesis
1. Dalam Fernandes (2011), kesadaran mode mengacu pada sejauh mana
konsumen terjebak dengan gaya busana atau pakaian. Fashion item dengan merek terkenal lebih rentan terhadap pemalsuan. Kesadaran
akan pentingnya penampilan yang maksimal dan kebanggaan yang
akan diperoleh jika menggunakan merek-merek terkenal serta
keinginan untuk membeli sebuah produk dengan merek yang terkenal
dengan harga yang mudah dijangkau, pada akhirnya membuat
konsumen ingin membeli produk palsu. Goldsmith et al., (2002) mempelajari nyata citra diri para pemimpin fashion dan menemukan
bahwa pemimpin fashion memiliki citra diri yang unik dibandingkan
dengan pembeli berikutnya. Nam et al., (2007) mendefinisikan kesadaran fashion sebagai "gelar keterlibatan seseorang dengan gaya
produk fashion". Konsumen yang sadar mode akan lebih cenderung dalam memperhatikan penampilan mereka. Gutman & Mills, 1982;
Summers (1970) menyatakan bahwa mayoritas konsumen merasa
27
Konsumen saat ini dapat menikmati gaya hidup yang sama namun
dengan harga lebih rendah melalui versi palsu dari produk yang aslinya.
Dengan kemajuan teknologi yang dinamis, beberapa produk palsu
menjadi nyata seperti produk asli. Konsumen produk palsu bahkan tidak
melihat kualitas yang rendah dari suatu produk, tetapi lebih
mempertimbangkan merek yang terdapat pada produk yang dibelinya.
Konsumen seringkali terlibat dalam pembelian namun hanya
melihat sedikit perbedaan antar merek. Konsumen biasanya sangat peka
terhadap informasi yang mendukung keputusannya. Biasanya konsumen
akan bertindak, mengumpulkan keyakinan baru, dan berakhir dengan
sekumpulan sikap. Jika suatu barang terlalu unik sehingga konsumen takut
dipandang aneh oleh orang lain, dia akan mencari referensi orang lain
yang turut mengenakan barang aneh itu juga. Ketika sudah menemukan,
maka konsumen akan lebih percaya diri memakainya karena tidak sendiri
lagi. Kesadaran akan fashion dan pentingnya dalam menunjang penampilan seseorang akan mendorong dalam melakukan pembelian
sebuah produk (Agustina, 2009).
H1: Fashion consciousnessberpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit products.
2. Norma subyektif adalah tekanan sosial yang dirasakan yang
mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk palsu.
Adanya tekanan sosial dapat menyebabkan konsumen untuk membuat atau
28
dari orang lain akan mendorong keterlibatan dalam pembelian produk
palsu (Ang et al, 2001.; Albers-Miller, 1999) dalam (Fernandes, 2011). Norma subjektif dapat dilihat sebagai dinamika antara dorongan-dorongan
yang dipersepsikan individu dari orang-orang disekitarnya (significant
others) dengan motivasi untuk mengikuti pandangan mereka (motivation to comply) dalam melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tersebut. Dengan demikian, semakin besar tekanan normatif dari orang lain,
semakin besar kemungkinan konsumen akan membeli produk palsu.
Sebuah norma subyektif adalah keyakinan individu tentang orang lain apa
yang seorang individu harus (atau tidak harus) melakukan perilaku yang
bersangkutan. Ketika sikap seseorang terhadap suatu perilaku didorong
oleh keyakinan sendiri tentang melakukan perilaku, keyakinan ini adalah
keyakinan perilaku. Sebagai perbandingan, norma subyektif individu
adalah fungsi dari keyakinan normatif.
Dalam penelitian Abdul (2011), menunjukkan bahwa ada juga
hubungan positif antara norma subyektif dan niat beli. Konsisten untuk
mempelajari Karijin et al. (2007), penelitian ini menemukan bahwa norma
subyektif adalah positif dan signifikan berhubungan dengan niat.
Penelitian ini juga menegaskan penelitian lain seperti Kamariah dan
Muslim (2007) yang menemukan norma subyektif adalah penting.
Beberapa penelitian terakhir telah menemukan bahwa norma subyektif
29
H2: Subjective norm berpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit product.
3. Konsumen mempunyai alasan etika situasional tersendiri untuk melakukan
pembelian produk palsu karena mereka menganggap diri mereka kurang
etis atau ilegal (Cordell et al., 1996; Albers-Miller, 1999; Gupta et al, 2004 dalam Phau et al, 2009). Etika dipandang sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Etika
adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi
baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal (Akbar, 2013)
Penilaian etika adalah proses yang melibatkan individu untuk
mengevaluasi dan menilai jalan mana yang benar (Trevino, 1992).
Penilaian etika dan niat perilaku konsumen terkait sedemikian rupa bahwa
jika konsumen percaya suatu tindakan etis, maka akan lebih mungkin
untuk melakukan tindakan seperti itu. Apa yang ditetapkan sebagai drama
benar dan salah peran penting dalam pola konsumsi seorang individu,
sehingga jika konsumen percaya fakta bahwa ada benar-benar salah dalam
membeli palsu, semakin besar kemungkinan konsumen akan membelinya
secara sering. Semakin banyak konsumen percaya bahwa itu tidak etis
untuk membeli barang palsu semakin kecil kemungkinan mereka untuk
membeli sebuah produk palsu.
30
4. Kesadaran nilai didefinisikan sebagai kesediaan untuk membayar
harga yang lebih rendah untuk produk yang memiliki kualitas yang
terbatas. (Fernandes, 2011). Dalam hal ini, pembelian produk palsu
menjadi sebuah peran yang penting karena secara langsung terkait
dengan harga dan derajat dimana konsumen merasa bahwa nilai
produk sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan. Mereka
sangat percaya bahwa produk palsu mungkin memiliki kualitas yang
buruk jika dibandingkan dengan produk yang asli, namun hal ini
diimbangi dengan penghematan karena biaya yang dikeluarkan jauh
lebih rendah (Furnham dan Valgeirsson, 2007).
Konsumen akhirnya sadar untuk membayar harga yang lebih
rendah tetapi dengan standar kualitas produk yang dapat diterima
(Lichtenstein et al, 1990; Ang et al, 2001 dalam Nordin 2009), produk
palsu biasanya menyediakan fungsi yang sama dengan produk asli
tetapi untuk harga yang lebih rendah. Nilai yang dirasakan dari sebuah
produk walaupun merupakan produk palsu, dapat membuat konsumen
akan tertarik untuk melakukan pembelian produk palsu tersebut. Hoch
dan Banerji (1993) dalam Fin dan Suh (2005) menemukan bahwa
value jauh lebih penting daripada tingkat potongan harga yang diberikan dalam menentukan kategori produk karena akan
berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada produk palsu.
Dalam penelitian Hana (2012), harga merupakan elemen kunci
31
Kesadaran akan nilai ini terkait dengan harga produk dan sejauh mana
konsumen mempersepsikan bahwa nilai dari produk tersebut setara
dengan biaya yang konsumen keluarkan. Kebanyakan konsumen
membeli produk bermerek mewah dalam rangka ingin mendapatkan
manfaat nilai merek, gengsi dan citra produk tersebut, tetapi mungkin
tidak mau membayar dengan harga yang mahal untuk itu. Bloch et al
(1993) telah membuktikan bahwa ketika produk palsu memiliki
keunggulan harga yang jauh berbeda daripada produk original,
konsumen akan lebih memilih produk palsu. Maka dapat diajukan
hipotesis bahwa :
H4: Value consciousness berpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit products.
5. Self-ambiguity didasarkan pada konsep identitas diri yang merupakan persepsi yang universal dan seberapa yakin konsumen menilai tentang
siapa mereka (Fernandes,2011). Self-ambiguity yang positif berkaitan dengan kemungkinan untuk membeli produk palsu. Semakin rendah
rasa ambiguitas diri, semakin besar kemungkinan untuk membeli
sebuah produk palsu.
Dalam rangka untuk memperbaiki ambiguitas diri sendiri,
konsumen mencoba untuk membentuk pandangan positif terhadap
hal-hal yang memudahkan dalam menentukan karakter pribadi dan
32
membuat mereka untuk menciptakan sebuah karakter yang ada dalam
diri mereka dengan pembelian barang-barang mewah yang bermerek.
Konsumen yang memiliki kurangnya percaya diri tentu akan
mengupayakan hal-hal yang dapat dijangkau termasuk dalam
melakukan pembelian produk fashion dengan merek-merek yang
sudah terkenal walaupun bukan merek yang asli. Harapan untuk
diakui oleh orang lain akan lebih besar dalam mendorong konsumen
melakukan pembelian produk palsu. Dengan melakukan pembelian
produk palsu dengan merek terkenal, diharapkan dapat menaikkan
status sosial yang lebih elit dalam rangka untuk membangun citra diri
(Penz dan Stottinger, 2005).
Sehingga, ambiguitas pada diri seseorang akan berdampak
pada pembelian produk palsu.
H5: Self-ambiguity berpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit products.
2.10 Kerangka Penelitian
Penelitian ini mengadopsi model penelitian yang dilakukan oleh
(Fernandes, 2012). Penelitian ini menjelaskan pengaruh variabel
33 Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Sumber : Fernandes, C. (2011)
2.11 Definisi Operasional
1. Fashion Consciousness
Kesadaran mode mengacu pada tingkat seseorang keterlibatan
dengan gaya atau mode pakaian. Kesadaran mode ditandai dengan minat
dalam pakaian dan fashion, dan dalam penampilan seseorang (Summers, 1970; Jonathan & Mills, 1982) dalam (Lee,2009). Terdapat 5 item
pernyataan pada variable fashion consciousness. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan
34
(netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju). Instrument yang digunakan
dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes (2012).
1. Satu hal penting dari hiudp saya adalah berpakaian dengan baik
2. Saat memilih antara penampilan dan kenyamanan, saya biasanya memilih
penampilan dibandingkan kenyamanan.
3. Penting bagi saya bahwa pakaian-pakaian saya merupakan tren pakaian
terbaru saya
4. Saya biasanya mempunyau lebih dari satu pakaian dari model pakaian
yang terbaru.
5. Penting bagi orang-orang untuk berpakaian dengan model terbaru.
2 Subjective Norm
Norma subyektif adalah persepsi individu mengenai kepercayaan orang
lain yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang sedang dipertimbangkan (Lu et al., 2010) dalam Tirza (2012). Terdapat 4 item pernyataan pada variable subjective norm Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk
masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot 1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak
setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju). Instrument
yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes
35
1. Saya memperhatikan tingkah laku yang saya lakukan terhadap orang
lain.
2. Saya biasanya cemas untuk menciptakan impresi baik untuk publik.
3. Pandangan orang lain tentang saya itu penting.
4. Saya biasanya menyadari bagaimana penampilan saya.
3 Ethical Judgment
Etika memberikan pedoman bagi seseorang atau komunitas untuk dapat
menentukan baik buruk atau benar salahnya suatu tindakan yang akan
diambilnya. Arens dan Loebbecke (2003) mengatakan bahwa etika secara
umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Terdapat 4
item pernyataan pada variable ethical judgment. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan
akan dibeberi bobot 1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3
(netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju). Instrument yang digunakan
dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes (2012).
1. Saya pikir pemalsuan memberikan dampak negatif pada ekonomi.
2. Saya meyakini bahwa pembelian produk palsu akan berakibat pada
bisnis manufaktur bermerek asli
3. Saya merasa tidak nyaman setelah membeli produk palsu.
36 4 Value Consciousness
Nilai yang dirasakan telah didefinisikan sebagai penilaian secara
keseluruhan konsumen dari kegunaan produk berdasarkan apa yang
diterima dan apa yang diberikan (Zeithaml 1988) dalam (Nordin,2006).
Terdapat 4 item pernyataan pada variable value consciousness. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk
masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot 1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak
setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju ). Instrument
yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes
(2012).
1. Saya cenderung menghindari informasi negatif dan mengumpulkan
informasi positif tentang barang yang saya beli.
2. Saya sangat memperhatikan harga yang murah tetapi saya juga
memperhatikan kualitas barang.
3. Saat membeli sebuah produk, saya selaly mencari barang yang
berkualitas untuk uang yang saya belanjakan.
4. Saya umumnya berbelanja tidak disatu tempat untuk mendapat harga
murah, tetapi barang-barang tersebut harus memenuhi standar kualitas
sebelum saya membelinya
5 Self Ambiguity
Ambiguitas adalah suatu ketidakjelasan, suatu ketidaktegasan, dan suatu
37
tetapi memberikan pengaruh yang sangat nyata dan mewujud pada
tindakan diri sendiri (Isnaeni, 2011). Terdapat 7 item pernyataan pada
variable self ambiguity. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot 1 – 5,
yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5
(sangat setuju). Instrument yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari
penelitian Fernandes (2012).
1. Saat saya berbelanja, saya biasanya membandingkan harga dengan
merek barang yang biasanya saya beli.
2. Keyakinan saya tentang diri saya sering bertentangan satu dengan yang
lain.
3. Saya menghabiskan banyak waktu untuk bertanya-tanya kepada orang
lain seperti apakah sebenarnya saya ini.
4. Kadang – kadang saya merasa bahwa saya sebenarnya bukan seperti
yang saya tampilkan.
5. Saya jarang mengalami konflik antara aspek yang berbeda dari
kepribadian saya.
6. Bahkan jika saya ingin melakukan, saya pikir saya dapat memberitahu
seseorang seperti aoa sebenarnya saya ini.
7. Pada dasarnya, saya mempunyai perasaan yang jelas tentang siapa
38 6 Purchase Intention
Intensi membeli suatu produk didasari oleh sikap seseorang terhadap
perilaku membeli produk tersebut. Jika sikapnya yang diambil adalah
loyal terhadap suatu produk, maka konsumen akan mempunyai niat untuk
melakukan pembelian ulang. Sebaliknya, jika konsumen tersebut tidak
loyal maka konsumen tersebut tidak mempunyai niat untuk melakukan pembelian ulang (Peter & Olson, 2008). Terdapat 5 item pernyataan pada
variable purchase intention. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot
1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5
(sangat setuju). Instrument yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari
penelitian Fernandes (2012) terdapat 2 pernyataan dan 3 pernyataan
lainnya diadopsi dari Nordin (2009).
1. Saya akan merekomendasikan produk-produk palsu kepada
teman-teman dan anggota keluarga saya.
2. Saya akan membeli produk-produk palsu dari pedagang keliling.
3. Saya akan mengatakan hal-hal yang baik tentang produk-produk.
4. Saya tertarik untuk membeli produk palsu diwaktu yang akan dating.
5. Jika diberi kesempatan, saya tidak akan melewatkan kesempatan untuk