• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI & PENGEMBANGAN HIPOTESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENTION TO BUY COUNTERFEIT PRODUCT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "LANDASAN TEORI & PENGEMBANGAN HIPOTESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENTION TO BUY COUNTERFEIT PRODUCT."

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

LANDASAN TEORI & PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1 Counterfeit Product

a. Ada 2 motivasi pokok yang mendorong sebuah perusahaan untuk

menjadi imitator (Tjiptono, 2005):

1. Keterdesakan atau keterpaksaan

Perusahaan yang lengah dengan peluncuran produk-produk

baru oleh perusahaan lain, sehingga saat produk baru tersebut menjadi

mode yang disukai maka tidak ada pilihan untuk perusahaan selain

mengikuti mode tersebut.

2. Wait and See

Dimana perusahaan mengamati secara sabar dan penuh

perhitungan sampai pasar untuk sebuah produk baru benar-benar

atraktif dan pionir melakukan kesalahan, barulah mereka masuk

dengan produk baru yang lebih superior

b. Alasan konsumen untuk membeli Counterfeits (Phau et al., 2009) dalam Ciangga, 2013):

1. Simbolisme dan prestise. Dimana simbolisme dan prestise

memainkan peran penting yang sangat mempengaruhi

konsumen secara sadar untuk membeli produk tiruan merek

(2)

10

2. Siklus hidup produk fashion yang relatif singkat (seperti

pakaian, tas, sepatu, aksesoris) Dimana konsumen enggan

menghabiskan biaya yang terlalu tinggi karena siklus mode

hanya sebatas jangka pendek setelah itu akan dianggap out of date.

3. Keberhasilan industri produk tiruan merek mewah yang

dikaitkan dengan keuntungan harga yang ditawarkan atas

produk asli.

c. Kontinum Genuine -Counterfeits

Menurut (Gentry, 2001 dalam Ciangga, 2013) Produk tidak hanya

diperiksa dalam dua dimensi sebagai genuine (asli) dan counterfeit (palsu),

tetapi diperiksa dalam struktur secara terus-menerus dari berbagai

tindakan. Dengan demikian konsumen dapat merasakan kualitas antara

genuine (asli) dan counterfeit (palsu) dalam tingkat yang berbeda. Ada 4 tipe imitasi (Tjiptono,2005:77) :

1. Counterfeits disebut juga product pirates

Produk-produk tiruan yang memalsukan atau membajak nama merek,

simbol, logo, atau merek dagang produk asli/orisinal. Tipe ini bersifat

illegal dan melanggar hak cipta dan paten. Konsumen bisa peduli atau

sama sekali tidak peduli atas kecurangan yang disengaja oleh

(3)

11

2009) biasanya berbentuk produk kosmetik, pakaian, dan lain

sebagainya. Piracy adalah produk yang merupakan salinan tepat dari yang asli dan biasanya terbatas untuk kategori teknologi, seperti

perangkat lunak.

2. Knockoffs atau clones

Produk-produk tiruan yang sangat mirip atau kompatibel dengan

produk orisinil, tetapi menggunakan nama merek sendiri. Clones merupakan produk yang legal. Biasanya tipe ini berupa produk dasar

yang sama dengan innovator, tetapi dengan harga yang lebih murah

dan tanpa merek prestisius.

3. Design copies atau trade dress

Produk-produk yang meniru dan mengandalkan gaya (style), desain,

model, atau corak produk pesaing yang popular.

4. Creative adaptations

Tipe ini merupakan bentuk tiruan yang paling kreatif. Dimana

perusahaan melakukan penyempurnaan incremental atas produk yang

sudah ada atau mengadaptasikannya pada arena kompetisi yang baru.

Tetapi bentuk inovasi ini banyak melibatkan pula imitasi dan

perluasan/ekstensi.

d. Ada empat kategori yang berbeda dalam pelanggaran HKI (hak

kekayaan intelektual) (Lai & Zaichkowsky, 1999 dalam Ciangga, 2013) :

(4)

12

lebih rendah dalam hal kinerja, kehandalan, atau daya tahan

dibandingkan produk aslinya. Biasanya pelanggan tertipu dan

beranggapan bahwa produk yang mereka beli itu adalah asli.

Piracy adalah produk berupa salinan tepat dari produk aslinya

dan biasanya terbatas kategori teknologi, seperti perangkat

lunak. Dalam posisi ini biasanya konsumen sadar bahwa

produk yang mereka beli itu adalah produk palsu. Karena

kesadaran konsumen dapat dilihat melalui lokasi pembelian,

penentuan harga, serta perbedaan jelas dalam desain dan

kualitas atau fitur-fitur lain yang disadari oleh konsumen.

2. Imitation brands (knock-offs) merupakan produk tiruan yang mirip dengan produk aslinya, tetapi tidak identik. Kemiripan

terjadi pada nama, bentuk, makna dengan produk yang sudah

dikenal luas di pasar.

3. Gray marketing adalah produk yang dijual ke pasar secara ilegal, ketika pabrik memproduksi lebih dari jumlah yang

dibutuhkan.

Ada 2 jenis Countefeits goods menurut (Grossman & Shapiro, 1988) :

a. Nondeceptive counterfeits cenderung menarik dukungan luas untuk perlindungan dari pirates. Kasus dalam kategori seperti

(5)

13

Nondeceptive counterfeits memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Produk tidak memiliki resiko kesehatan atau resiko

keselamatan kepada masyarakat;

2. Produk memiliki sedikit dampak nyata terhadap merek

yang dipalsukan;

3. Produk memang dikenal palsu oleh konsumen, dan

membuktikan memberikan beberapa manfaat (misalnya,

pekerjaan) untuk bangsa.

b. Deceptive counterfeits cenderung lebih menerima tanggapan antusias dari pemerintah setempat untuk permintaan

perlindungan kekayaan intelektual (Mereka tidak memiliki

tanggung jawab atas perilaku mereka).

Deceptive counterfeits memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Konsumen tidak menyadari bahwa mereka membeli

palsu.

2. Ada bahaya kesehatan dan keselamatan.

3. Pemerintah mengalami kerugian dihitung dari

operasi mereka.

4. Brand yang dipalsukan mengalami kerugian yang dapat dibuktikan dari penjualan dan / atau ekuitas.

Menurut ( McDonald dan Roberts 1994; dalam Cianggi, 2013),

(6)

orang-14

orang yang tertipu yang berpikir bahwa produk yang merek beli adalah

asli dan orang-orang yang dengan sadar membeli tiruan.

Menurut Denekamp (2011), alasan mengapa konsumen membeli

produk palsu sangatlah bervariasi. Tetapi sebagian besar alasan dapat dibagi

menjadi lima kategori besar, yaitu : faktor personal, faktor sosial, sikap

terhadap pemalsuan, faktor yang terkait dengan produk dan demografi.

1. Faktor personal.

Mencakup resiko, dimana terdapat 3 resiko (resiko keuangan, resiko

kinerja, dan resiko sosial) serta keyakinan etis terhadap suatu produk.

2. Faktor sosial.

Pilihan konsumen dalam pembelian produk tertentu dapat sangat

dipengaruhi oleh apa yang orang lain pikirkan. Konsumen yang akhirnya

membeli atau tidak membeli produk palsu, tergantung pada apa yang

mereka fikirkan tentang produk palsu tersebut.

3. Sikap terhadap pemalsuan.

Kombinasi faktor-faktor personal dan sosial menentukan sikap positif atau

negatif konsumen terhadap pemalsuan. Sikap terdiri dari pengetahuan

tentang ilegalitas dan merasakan rasa sukacita ketika lebih pintar dari

konsumen lain saat membeli sebuah produk palsu dimana tidak perlu

(7)

15 4. Terkait dengan produk.

Alasan yang berhubungan dengan produk. Salah satu alasan yang paling

penting bagi orang untuk membeli produk palsu adalah hubungan harga.

Bagi sebagian orang, mereka lebih puas dengan versi palsu karena lebih

murah karena produk palsu dapat membuat mereka seolah memiliki

produk mewah yang nyata. Dengan membeli produk palsu, bagi mereka

itu adalah cara untuk membeli Status melekat pada merek atau produk,

tetapi tidak membayar harga penuh. Orang-orang ini lebih memilih

kualitas yang lebih tinggi produk asli meskipun harga yang lebih tinggi.

5. Demografi.

Salah satu yang paling diteliti demografis variabel mengenai pembelian

palsu fashion adalah tingkat konsumen pendidikan dan pendapatan rumah

tangga. Hal ini dapat dijelaskan oleh faktor bahwa rumah tangga

berpenghasilan tinggi lebih mampu membeli produk nyata dan akibatnya

akan lebih memilih produk nyata atas pemalsuan. Hubungan antara tingkat

pendidikan dan kemauan untuk membeli palsu dapat dijelaskan dengan

alasan yang sama, dalam bahwa orang berpendidikan lebih tinggi

menghasilkan lebih banyak dan akibatnya lebih mampu membeli produk

yang sebenarnya. Mengingat pengaruh usia pada kemauan untuk membeli

produk palsu, orang-orang muda lebih mungkin untuk terlibat dalam

perilaku yang tidak etis, sehingga mereka mungkin juga lebih bersedia

(8)

16 2.2Subjective Norm

Norma subyektif adalah persepsi individu mengenai kepercayaan

orang lain yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu yang sedang dipertimbangkan (Lu et al., 2010 dalam Tirza

2012). Jadi norma subjektif adalah persepsi seseorang tentang pengaruh sosial

dalam membentuk perilaku tertentu. Seseorang bisa terpengaruh atau tidak

terpengaruh oleh tekanan sosial (Dwi, 2007)

Menurut Baron & Byne (2002), norma subyektif adalah persepsi

individu tentang apakah orang lain akan mendukung atau tidak

terwujudnya tindakan tersebut. Norma subyektif juga diartikan sebagai

persepsi tentang tekanan sosial dalam melaksanakan perilaku tertentu

(Feldman, 1995 dalam Amaliah, 2008). Hogg & Vaughan (2005)

berpandangan bahwa norma subyektif adalah produk dari persepsi

individu tentang keyakinan yang dimiliki orang lain.

Ajzen (2005) mengasumsikan bahwa norma subjektif ditentukan

oleh adanya keyakinan normatif (normative belief) dan keinginan untuk

mengikuti (motivation to comply). Keyakinan normatif berkenaan dengan

harapan-harapan yang berasal dari referent atau orang dan kelompok yang

berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan,

teman dekat, rekan kerja atau lainnya, tergantung pada perilaku yang

(9)

17

bahwa kebanyakan referent akan menyetujui dirinya menampilkan perilaku tertentu, dan adanya motivasi untuk mengikuti perilaku tertentu,

akan merasakan tekanan sosial untuk melakukannya. Sebaliknya, individu

yang yakin bahwa kebanyakan referent akan tidak menyetujui dirinya

menampilkan perilaku tertentu, dan tidak adanya motivasi untuk

mengikuti perilaku tertentu, maka hal ini akan menyebabkan dirinya

memiliki subjective norm yang menempatkan tekanan pada dirinya untuk menghindari melakukan perilaku tersebut.

Peneliti merumuskan norma subyektif sebagai norma yang

didapatkan seseorang dari persepsi terhadap sejauh mana lingkungan

sosial yang cukup berpengaruh untuk mendukung atau tidak pelaksanaan

suatu pengambilan keputusan.

2.3 Ethical Judgment

Arens dan Loebbecke (2003) mengatakan bahwa etika secara

umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Ludigdo

(2007: 21) mendefinisikan etika sebagai pemikiran dan pertimbangan

moral yang memberikan dasar bagi seseorang maupun sebuah komunitas

dalam melakukan sebuah tindakan. Etika memberikan pedoman bagi

seseorang atau komunitas untuk dapat menentukan baik buruk atau benar

salahnya suatu tindakan yang akan diambilnya.

( Hogart 1992 dalam Jamilah, et al. 2007) mengartikan judgment sebagai proses kognitif yang merupakan perilaku pemilihan keputusan.

(10)

18

informasi (termasuk umpan balik dari tindakan sebelumnya), pilihan untuk

bertindak atau tidak bertindak dan penerimaan informasi lebih lanjut

Proses judgment tergantung pada kedatangan informasi sebagai suatu proses unfolds. Kedatangan informasi bukan hanya mempengaruhi

pilihan tetapi juga mempengaruhi cara pilihan tersebut dibuat.

Lebih lanjut, Hogart (1991) mengatakan bahwa secara umum

terdapat dua kondisi untuk membuat judgment yang tepat yaitu menggunakan proses yang tepat dan memperoleh data atau input yang tepat. Sebuah model yang membagi proses pengambilan keputusan

menjadi tiga yaitu:

1. Intelligence mengacu pada pengumpulan informasi untuk memahami permasalahan, termasuk risiko dan key factors untuk dipertimbangkan

2. Design mengacu pada identifikasi masing-masing tindakan; 3. Choice merupakan pengambilan keputusan pada alternatif

yang terbaik.

Keputusan etis (ethical decision) adalah sebuah keputusan yang

baik secara legal maupun moral dapat diterima oleh masyarakat luas

(Trevino,1986; Jones, 1991). Beberapa penelitian sebelumnya mengatakan

bahwa salah satu determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis

adalah faktor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu

pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses

(11)

19

individu tersebut meliputi pengalaman, pengetahuan dan komitmen

profesi.

Jones (1991) menyatakan ada tiga unsur utama dalam pengambilan

keputusan etis yaitu: Moral issue yang menyatakan seberapa jauh ketika

seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan tindakan

itu, maka akan menyebabkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dengan kata lain, suatu tindakan atau keputusan yang

diambil akan mempunyai konsekuensi kepada orang lain, Moral agent yaitu seseorang yang membuat keputusan moral (moral decision), Ethical

decision itu sendiri yaitu sebuah keputusan yang secara legal dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas. (Laily, 2010)

2.4 Purchasing Intention

Niat adalah keinginan untuk melakukan perilaku. Perilaku sendiri

adalah tindakan atau kegiatan nyata dilakukan (Azjen 1991 dalam

Sutrisno, 2012). Niat beli menunjukkan seberapa jauh individu

mempunyai kemampuan untuk membeli merek tertentu yang dipilih

setelah melakukan evaluasi (Khan et al, 2012). Peter & Olson (2008) juga

berpendapat bahwa intensi membeli suatu produk didasari oleh sikap

seseorang terhadap perilaku membeli produk tersebut. Jika sikapnya yang

diambil adalah loyalterhadap suatu produk maka dia akan mempunyai niat

untuk melakukan pembelian ulang, sebaliknya jika konsumen tersebut

(12)

20

Penelitian sebelumnya (Grossman dan Shapiro, 1988 dalam

Ciangga, 2013) menunjukkan bahwa ada dua jenis pembeli produk tiruan

yang berkaitan dengan inferensi harga dan kualitas.

1. Kelompok pertama merasa bahwa jika produk tiruan merek

mewah sebanding dengan produk asli dalam segala aspek

dan produk tiruan merek mewah lebih unggul dalam harga

yang ditawarkan, maka konsumen akan memilih produk

tiruan merek mewah.

2. Kelompok kedua merasa bahwa meskipun kualitas produk

tiruan merek mewah lebih rendah dengan aslinya, harga

yang unggul (murah) lebih mengkompensasi kekurangan

dalam kualitas dan kinerja.

Dalam penelitian yang dilakukan Phau dan Teah (2009) konsumen

menetapkan bahwa kualitas produk tiruan merek mewah memiliki kualitas

yang tinggi dan dengan harga yang murah sehingga mereka memiliki niat

untuk melakukan pembelian produk tiruan bermerek mewah. Dengan

harga yang lebih rendah dan memiliki manfaat fungsional yang hampir

sama seperti aslinya, produk tiruan dirasa cukup baik dan menguntungkan.

Kotler (2007) menunjukkan bahwa di antara tahap evaluasi

alternatif dan keputusan pembelian terdapat minat membeli awal, yang

mengukur kecenderungan pelanggan untuk melakukan suatu tindakan

tertentu terhadap produk secara keseluruhan. Para ahli telah merumuskan

(13)

21

1. Pengenalan masalah. Proses pembelian dimulai saat pembeli

mengenali masalah atau kebutuhan, yang dipicu oleh rangsangan

internal atau eksternal. Rangsangan internal misalnya dorongan

memenuhi rasa lapar, haus dan seks yang mencapai ambang batas

tertentu. Sedangkan rangsangan eksternal misalnya seseorang

melewati toko kue dan melihat roti yang segar dan hangat sehingga

terangsang rasa laparnya.

2. Pencarian informasi. Konsumen yang terangsang kebutuhannya akan

terdorong untuk mencari informasi yang lebih banyak. Sumber

informasi konsumen yaitu:

1. Sumber pribadi: keluarga, teman, tetangga dan kenalan.

2. Sumber komersial: iklan, wiraniaga, agen, kemasan dan

penjualan.

3. Sumber publik: media massa dan organisasi penilai konsumen

4. Sumber pengalaman: penanganan, pemeriksaan dan

menggunakan produk.

3. Evaluasi alternatif. Konsumen memiliki sikap beragam dalam

memandang atribut yang relevan dan penting menurut manfaat yang

mereka cari. Kumpulan keyakinan atas merek tertentu membentuk

citra merek, yang disaring melalui dampak persepsi selektif, distorsi

selektif dan ingatan selektif.

4. Keputusan pembelian. Dalam tahap evaluasi, para konsumen

(14)

22

pilihan. Faktor sikap orang lain dan situasi yang tidak dapat

diantisipasi yang dapat mengubah niat pembelian termasuk

faktor-faktor penghambat pembelian. Dalam melaksanakan niat pembelian,

konsumen dapat membuat lima sub-keputusan pembelian, yaitu:

keputusan merek, keputusan pemasok, keputusan kuantitas, keputusan

waktu dan keputusan metode pembayaran.

5. Perilaku pasca pembelian. Para pemasar harus memantau kepuasan

pasca pembelian, tindakan pasca pembelian dan pemakaian produk

pasca pembelian, yang tujuan utamanya adalah agar konsumen

melakukan pembelian ulang.

Menurut Kotler (2007), terdapat lima peran dalam keputusan

pembelian, yaitu:

1. Initiator (orang yang mengusulkan gagasan untuk membeli) 2. Influencer (orang yang pandangan atau sarannya

mempengaruhi keputusan)

3. Decision maker (orang yang mengambil keputusan). 4. Buyer (orang yang melakukan pembelian aktual).

5. User (orang yang mengonsumsi atau menggunakan produk atau jasa tertentu).

2.5 Fashion Consciousness

Kesadaran mode mengacu pada tingkat seseorang keterlibatan

(15)

23

dalam pakaian dan fashion, dan dalam penampilan seseorang (Summers, 1970; Jonathan & Mills, 1982 dalam Lee,2009).

Keterlibatan Fashion adalah pentingnya dirasakan konsumen dari

mode pakaian (O'Cass, 2001). Penelitian sebelumnya telah mendukung

bahwa keterlibatan busana mempengaruhi perilaku konsumen terhadap

produk mode misalnya, ( Bertrandias & Goldsmith, 2006; Goldsmith,

2002; Penz & Stottinger, 2005;. Wee et al, 1995 dalam Lee,2009). Hal ini

penting untuk menyelidiki keterlibatan busana untuk memahami perilaku

pembelian konsumen palsu. Pembeli merek premium diharapkan untuk

menempatkan nilai tinggi pada atribut produk seperti prestise, citra merek,

dan fashionability. Pembeli replika palsu merek tersebut juga diharapkan

untuk menghargai karakteristik gambar (Bloch et al., 1993). konsumen

membeli produk palsu dikarenakan memiliki selera sombong, tapi dengan

penerimaan harga yang rendah (Higgins & Rubin, 1986 dalam Lee,2009).

Penz dan Stottinger (2005) menemukan bahwa keterlibatan mode

memiliki pengaruh yang kuat pada pembelian sebuah produk. Pembeli

yang sadar akan merek dan mode akan mencari informasi untuk

memeriksa produk-produk terbaru dan pada akhirnya mereka akan

membelinya jika sesuai dengan selera mereka.

2.6 Value Consciousness

Nilai yang dirasakan didefinisikan sebagai "penilaian oleh

(16)

24

yang diterima dan apa yang diberikan" (Zeithaml 1988 dalam

Nordin,2006). Sebagian besar konsumen produk palsu menginginkan nilai

untuk merek, prestise dan manfaat gambar, tapi tidak mau membayar

harga tinggi untuk itu (Bloch et al., 1993). Oleh karena itu, untuk harga

yang lebih rendah dan kualitas di bawah standar, palsu dianggap nilai uang

(Bloch et al, 1993; Lichtenstein et al, 1990; Ang et al, 2001; Wang et al,

2005), sebagai produk palsu biasanya memberikan manfaat fungsional

yang sama seperti asli, tetapi di sebagian kecil dari harga produk asli. Nilai

konsumen yang sadar menganggap diri mereka sebagai pembeli cerdas.

Konsumen pada akhirnya prihatin membayar harga rendah tetapi produk

ini tunduk pada beberapa kendala kualitas.

2.7 Self-Ambiguity

Ambiguitas adalah suatu ketidakjelasan, suatu ketidaktegasan, suatu

ketidakpastian. Umpamanya ia adalah warna, maka ia adalah abu-abu di

antara hitam dan putih. Hitam dan putih adalah warna yang bertentangan,

maka dalam ambiguitas diri terdapat pertentangan antara dua sosok yang

berlawanan. Dua sosok yang abstrak, tetapi mereka memberikan pengaruh

yang sangat nyata dan mewujud pada tindakan diri. (Isnaeni, 2011)

2.8 Fashion

Dalam Syamrilaode (2011), Fashion mengekspresikan suatu identitas

tertentu. Pakaian adalah salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling

jelas dari penampilan luar, yang dengannya seseorang menempatkan diri

(17)

25

identitas suatu kelompok tertentu. Dan seiring perkembangan akan

berpengaruh kepada shopping lifestyle. Shopping lifestyle mengacu pada pola konsumsi yang mencerminkan pilihan seseorang tentang bagai-mana cara

menghabiskan waktu dan uang. Dalam arti ekonomi, shopping lifestyle

menunjukkan cara yang dipilih oleh seseorang untuk mengalokasikan

pendapatan, baik dari segi alokasi dana untuk berbagai produk dan layanan,

serta alternatif-alternatif tertentu dalam pembedaan kategori serupa.

(Betty Jackson, 2004 dalam Japarianto & Sugiharto, 2012)

mengatakan shopping lifestyle merupakan ekspresi tentang lifestyle dalam

berbelanja yang mencerminkan perbedaan status sosial dan untuk

mengetahui hubungan shopping lifestyle terhadap impulse buying behavior

adalah dengan menggunakan indicator Menanggapi untuk membeli setiap

tawaran iklan mengenai produk fashion :

1. Membeli pakaian model terbaru ketika melihatnya di Galaxy Mall

2. Berbelanja merk yang paling terkenal

3. Yakin bahwa merk (produk kategori) terkenal yang di beli terbaik

dalam hal kualitas

4. Sering membeli berbagai merk (produk kategori) daripada merk yang biasa di beli

5. Yakin ada dari merk lain (kategori produk) yang sama seperti yang

di beli

Fenomena yang selalu terjadi di masyarakat adalah, ketika suatu

(18)

26

menjadi trend yang sifatnya hanya sesaat. Industry fashion tidak bisa

diprediksi dengan tepat, apa yang akan digemari oleh masyarakat hanya

dapat diprediksi dengan dua kemungkinan; kena dipasaran atau bahkan

meleset jauh (Agustina, 2009).

2.9 Pengembangan Hipotesis

1. Dalam Fernandes (2011), kesadaran mode mengacu pada sejauh mana

konsumen terjebak dengan gaya busana atau pakaian. Fashion item dengan merek terkenal lebih rentan terhadap pemalsuan. Kesadaran

akan pentingnya penampilan yang maksimal dan kebanggaan yang

akan diperoleh jika menggunakan merek-merek terkenal serta

keinginan untuk membeli sebuah produk dengan merek yang terkenal

dengan harga yang mudah dijangkau, pada akhirnya membuat

konsumen ingin membeli produk palsu. Goldsmith et al., (2002) mempelajari nyata citra diri para pemimpin fashion dan menemukan

bahwa pemimpin fashion memiliki citra diri yang unik dibandingkan

dengan pembeli berikutnya. Nam et al., (2007) mendefinisikan kesadaran fashion sebagai "gelar keterlibatan seseorang dengan gaya

produk fashion". Konsumen yang sadar mode akan lebih cenderung dalam memperhatikan penampilan mereka. Gutman & Mills, 1982;

Summers (1970) menyatakan bahwa mayoritas konsumen merasa

(19)

27

Konsumen saat ini dapat menikmati gaya hidup yang sama namun

dengan harga lebih rendah melalui versi palsu dari produk yang aslinya.

Dengan kemajuan teknologi yang dinamis, beberapa produk palsu

menjadi nyata seperti produk asli. Konsumen produk palsu bahkan tidak

melihat kualitas yang rendah dari suatu produk, tetapi lebih

mempertimbangkan merek yang terdapat pada produk yang dibelinya.

Konsumen seringkali terlibat dalam pembelian namun hanya

melihat sedikit perbedaan antar merek. Konsumen biasanya sangat peka

terhadap informasi yang mendukung keputusannya. Biasanya konsumen

akan bertindak, mengumpulkan keyakinan baru, dan berakhir dengan

sekumpulan sikap. Jika suatu barang terlalu unik sehingga konsumen takut

dipandang aneh oleh orang lain, dia akan mencari referensi orang lain

yang turut mengenakan barang aneh itu juga. Ketika sudah menemukan,

maka konsumen akan lebih percaya diri memakainya karena tidak sendiri

lagi. Kesadaran akan fashion dan pentingnya dalam menunjang penampilan seseorang akan mendorong dalam melakukan pembelian

sebuah produk (Agustina, 2009).

H1: Fashion consciousnessberpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit products.

2. Norma subyektif adalah tekanan sosial yang dirasakan yang

mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk palsu.

Adanya tekanan sosial dapat menyebabkan konsumen untuk membuat atau

(20)

28

dari orang lain akan mendorong keterlibatan dalam pembelian produk

palsu (Ang et al, 2001.; Albers-Miller, 1999) dalam (Fernandes, 2011). Norma subjektif dapat dilihat sebagai dinamika antara dorongan-dorongan

yang dipersepsikan individu dari orang-orang disekitarnya (significant

others) dengan motivasi untuk mengikuti pandangan mereka (motivation to comply) dalam melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tersebut. Dengan demikian, semakin besar tekanan normatif dari orang lain,

semakin besar kemungkinan konsumen akan membeli produk palsu.

Sebuah norma subyektif adalah keyakinan individu tentang orang lain apa

yang seorang individu harus (atau tidak harus) melakukan perilaku yang

bersangkutan. Ketika sikap seseorang terhadap suatu perilaku didorong

oleh keyakinan sendiri tentang melakukan perilaku, keyakinan ini adalah

keyakinan perilaku. Sebagai perbandingan, norma subyektif individu

adalah fungsi dari keyakinan normatif.

Dalam penelitian Abdul (2011), menunjukkan bahwa ada juga

hubungan positif antara norma subyektif dan niat beli. Konsisten untuk

mempelajari Karijin et al. (2007), penelitian ini menemukan bahwa norma

subyektif adalah positif dan signifikan berhubungan dengan niat.

Penelitian ini juga menegaskan penelitian lain seperti Kamariah dan

Muslim (2007) yang menemukan norma subyektif adalah penting.

Beberapa penelitian terakhir telah menemukan bahwa norma subyektif

(21)

29

H2: Subjective norm berpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit product.

3. Konsumen mempunyai alasan etika situasional tersendiri untuk melakukan

pembelian produk palsu karena mereka menganggap diri mereka kurang

etis atau ilegal (Cordell et al., 1996; Albers-Miller, 1999; Gupta et al, 2004 dalam Phau et al, 2009). Etika dipandang sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Etika

adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi

baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal (Akbar, 2013)

Penilaian etika adalah proses yang melibatkan individu untuk

mengevaluasi dan menilai jalan mana yang benar (Trevino, 1992).

Penilaian etika dan niat perilaku konsumen terkait sedemikian rupa bahwa

jika konsumen percaya suatu tindakan etis, maka akan lebih mungkin

untuk melakukan tindakan seperti itu. Apa yang ditetapkan sebagai drama

benar dan salah peran penting dalam pola konsumsi seorang individu,

sehingga jika konsumen percaya fakta bahwa ada benar-benar salah dalam

membeli palsu, semakin besar kemungkinan konsumen akan membelinya

secara sering. Semakin banyak konsumen percaya bahwa itu tidak etis

untuk membeli barang palsu semakin kecil kemungkinan mereka untuk

membeli sebuah produk palsu.

(22)

30

4. Kesadaran nilai didefinisikan sebagai kesediaan untuk membayar

harga yang lebih rendah untuk produk yang memiliki kualitas yang

terbatas. (Fernandes, 2011). Dalam hal ini, pembelian produk palsu

menjadi sebuah peran yang penting karena secara langsung terkait

dengan harga dan derajat dimana konsumen merasa bahwa nilai

produk sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan. Mereka

sangat percaya bahwa produk palsu mungkin memiliki kualitas yang

buruk jika dibandingkan dengan produk yang asli, namun hal ini

diimbangi dengan penghematan karena biaya yang dikeluarkan jauh

lebih rendah (Furnham dan Valgeirsson, 2007).

Konsumen akhirnya sadar untuk membayar harga yang lebih

rendah tetapi dengan standar kualitas produk yang dapat diterima

(Lichtenstein et al, 1990; Ang et al, 2001 dalam Nordin 2009), produk

palsu biasanya menyediakan fungsi yang sama dengan produk asli

tetapi untuk harga yang lebih rendah. Nilai yang dirasakan dari sebuah

produk walaupun merupakan produk palsu, dapat membuat konsumen

akan tertarik untuk melakukan pembelian produk palsu tersebut. Hoch

dan Banerji (1993) dalam Fin dan Suh (2005) menemukan bahwa

value jauh lebih penting daripada tingkat potongan harga yang diberikan dalam menentukan kategori produk karena akan

berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada produk palsu.

Dalam penelitian Hana (2012), harga merupakan elemen kunci

(23)

31

Kesadaran akan nilai ini terkait dengan harga produk dan sejauh mana

konsumen mempersepsikan bahwa nilai dari produk tersebut setara

dengan biaya yang konsumen keluarkan. Kebanyakan konsumen

membeli produk bermerek mewah dalam rangka ingin mendapatkan

manfaat nilai merek, gengsi dan citra produk tersebut, tetapi mungkin

tidak mau membayar dengan harga yang mahal untuk itu. Bloch et al

(1993) telah membuktikan bahwa ketika produk palsu memiliki

keunggulan harga yang jauh berbeda daripada produk original,

konsumen akan lebih memilih produk palsu. Maka dapat diajukan

hipotesis bahwa :

H4: Value consciousness berpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit products.

5. Self-ambiguity didasarkan pada konsep identitas diri yang merupakan persepsi yang universal dan seberapa yakin konsumen menilai tentang

siapa mereka (Fernandes,2011). Self-ambiguity yang positif berkaitan dengan kemungkinan untuk membeli produk palsu. Semakin rendah

rasa ambiguitas diri, semakin besar kemungkinan untuk membeli

sebuah produk palsu.

Dalam rangka untuk memperbaiki ambiguitas diri sendiri,

konsumen mencoba untuk membentuk pandangan positif terhadap

hal-hal yang memudahkan dalam menentukan karakter pribadi dan

(24)

32

membuat mereka untuk menciptakan sebuah karakter yang ada dalam

diri mereka dengan pembelian barang-barang mewah yang bermerek.

Konsumen yang memiliki kurangnya percaya diri tentu akan

mengupayakan hal-hal yang dapat dijangkau termasuk dalam

melakukan pembelian produk fashion dengan merek-merek yang

sudah terkenal walaupun bukan merek yang asli. Harapan untuk

diakui oleh orang lain akan lebih besar dalam mendorong konsumen

melakukan pembelian produk palsu. Dengan melakukan pembelian

produk palsu dengan merek terkenal, diharapkan dapat menaikkan

status sosial yang lebih elit dalam rangka untuk membangun citra diri

(Penz dan Stottinger, 2005).

Sehingga, ambiguitas pada diri seseorang akan berdampak

pada pembelian produk palsu.

H5: Self-ambiguity berpengaruh positif terhadap intention to buy counterfeit products.

2.10 Kerangka Penelitian

Penelitian ini mengadopsi model penelitian yang dilakukan oleh

(Fernandes, 2012). Penelitian ini menjelaskan pengaruh variabel

(25)
[image:25.612.102.518.151.534.2]

33 Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Sumber : Fernandes, C. (2011)

2.11 Definisi Operasional

1. Fashion Consciousness

Kesadaran mode mengacu pada tingkat seseorang keterlibatan

dengan gaya atau mode pakaian. Kesadaran mode ditandai dengan minat

dalam pakaian dan fashion, dan dalam penampilan seseorang (Summers, 1970; Jonathan & Mills, 1982) dalam (Lee,2009). Terdapat 5 item

pernyataan pada variable fashion consciousness. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan

(26)

34

(netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju). Instrument yang digunakan

dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes (2012).

1. Satu hal penting dari hiudp saya adalah berpakaian dengan baik

2. Saat memilih antara penampilan dan kenyamanan, saya biasanya memilih

penampilan dibandingkan kenyamanan.

3. Penting bagi saya bahwa pakaian-pakaian saya merupakan tren pakaian

terbaru saya

4. Saya biasanya mempunyau lebih dari satu pakaian dari model pakaian

yang terbaru.

5. Penting bagi orang-orang untuk berpakaian dengan model terbaru.

2 Subjective Norm

Norma subyektif adalah persepsi individu mengenai kepercayaan orang

lain yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu yang sedang dipertimbangkan (Lu et al., 2010) dalam Tirza (2012). Terdapat 4 item pernyataan pada variable subjective norm Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk

masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot 1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak

setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju). Instrument

yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes

(27)

35

1. Saya memperhatikan tingkah laku yang saya lakukan terhadap orang

lain.

2. Saya biasanya cemas untuk menciptakan impresi baik untuk publik.

3. Pandangan orang lain tentang saya itu penting.

4. Saya biasanya menyadari bagaimana penampilan saya.

3 Ethical Judgment

Etika memberikan pedoman bagi seseorang atau komunitas untuk dapat

menentukan baik buruk atau benar salahnya suatu tindakan yang akan

diambilnya. Arens dan Loebbecke (2003) mengatakan bahwa etika secara

umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Terdapat 4

item pernyataan pada variable ethical judgment. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan

akan dibeberi bobot 1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3

(netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju). Instrument yang digunakan

dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes (2012).

1. Saya pikir pemalsuan memberikan dampak negatif pada ekonomi.

2. Saya meyakini bahwa pembelian produk palsu akan berakibat pada

bisnis manufaktur bermerek asli

3. Saya merasa tidak nyaman setelah membeli produk palsu.

(28)

36 4 Value Consciousness

Nilai yang dirasakan telah didefinisikan sebagai penilaian secara

keseluruhan konsumen dari kegunaan produk berdasarkan apa yang

diterima dan apa yang diberikan (Zeithaml 1988) dalam (Nordin,2006).

Terdapat 4 item pernyataan pada variable value consciousness. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk

masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot 1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak

setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5 (sangat setuju ). Instrument

yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari penelitian Fernandes

(2012).

1. Saya cenderung menghindari informasi negatif dan mengumpulkan

informasi positif tentang barang yang saya beli.

2. Saya sangat memperhatikan harga yang murah tetapi saya juga

memperhatikan kualitas barang.

3. Saat membeli sebuah produk, saya selaly mencari barang yang

berkualitas untuk uang yang saya belanjakan.

4. Saya umumnya berbelanja tidak disatu tempat untuk mendapat harga

murah, tetapi barang-barang tersebut harus memenuhi standar kualitas

sebelum saya membelinya

5 Self Ambiguity

Ambiguitas adalah suatu ketidakjelasan, suatu ketidaktegasan, dan suatu

(29)

37

tetapi memberikan pengaruh yang sangat nyata dan mewujud pada

tindakan diri sendiri (Isnaeni, 2011). Terdapat 7 item pernyataan pada

variable self ambiguity. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot 1 – 5,

yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5

(sangat setuju). Instrument yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari

penelitian Fernandes (2012).

1. Saat saya berbelanja, saya biasanya membandingkan harga dengan

merek barang yang biasanya saya beli.

2. Keyakinan saya tentang diri saya sering bertentangan satu dengan yang

lain.

3. Saya menghabiskan banyak waktu untuk bertanya-tanya kepada orang

lain seperti apakah sebenarnya saya ini.

4. Kadang – kadang saya merasa bahwa saya sebenarnya bukan seperti

yang saya tampilkan.

5. Saya jarang mengalami konflik antara aspek yang berbeda dari

kepribadian saya.

6. Bahkan jika saya ingin melakukan, saya pikir saya dapat memberitahu

seseorang seperti aoa sebenarnya saya ini.

7. Pada dasarnya, saya mempunyai perasaan yang jelas tentang siapa

(30)

38 6 Purchase Intention

Intensi membeli suatu produk didasari oleh sikap seseorang terhadap

perilaku membeli produk tersebut. Jika sikapnya yang diambil adalah

loyal terhadap suatu produk, maka konsumen akan mempunyai niat untuk

melakukan pembelian ulang. Sebaliknya, jika konsumen tersebut tidak

loyal maka konsumen tersebut tidak mempunyai niat untuk melakukan pembelian ulang (Peter & Olson, 2008). Terdapat 5 item pernyataan pada

variable purchase intention. Pengukuran skala yang digunakan adalah skala likert, dimana untuk masing-masing pernyataan akan dibeberi bobot

1 – 5, yaitu 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (netral), 4 (setuju), 5

(sangat setuju). Instrument yang digunakan dipenelitian ini, diadopsi dari

penelitian Fernandes (2012) terdapat 2 pernyataan dan 3 pernyataan

lainnya diadopsi dari Nordin (2009).

1. Saya akan merekomendasikan produk-produk palsu kepada

teman-teman dan anggota keluarga saya.

2. Saya akan membeli produk-produk palsu dari pedagang keliling.

3. Saya akan mengatakan hal-hal yang baik tentang produk-produk.

4. Saya tertarik untuk membeli produk palsu diwaktu yang akan dating.

5. Jika diberi kesempatan, saya tidak akan melewatkan kesempatan untuk

Gambar

Kerangka Penelitian Gambar 2.1      Sumber :

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Hasil dari penelitian ini yaitu; (1) menghasilkan komik yang memiliki karakteristik berbasis desain grafis, dan berisi materi Besaran dan Satuan SMP kelas VII SMP, dan

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Penelitian terdahulu menggunakan variable independen yaitu praktik TQM dan variable dependen budaya kualitas, daya saing perusahaan dan kinerja perusahaan, sedangkan pada

Meskipun perpustakaan bermanfaat sebagai salah satu sumber belajar untuk semua mata pelajaran (termasuk pelajaran sejarah), namun dalam kenyataan ada kecenderungan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental. Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat

[r]