• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BPTP. 2011. Teknologi Produksi Sayuran Sawi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian. Jakarta.

Djazuli, M. 2011. Pengaruh Pupuk P dan Mikoriza terhadap Produksi dan Mutu Simplisia Purwoceng. Bul. Littro. 22(2): 147-156.

Fixen, P. E. 2009. Nutient Use Efficiency in The Context of Sustainable Agriculture. In Proceedings of The Symposium “Nutrient Use Efficiency” International Plant Nutrition Institute. Costa Rica, 16-20 November 2009. 1-7.

Fixen, P., F. Brentrup, T. Bruulsema, F. Garcia, R. Norton, dan S. Zingore. 2014. Nutrient/Fertilizer Use Efficiency: Measurement, Current Situation and Trend. International Fertilizer Industry Association. Paris.

Havlin J., J. Beaton, S.L. Tisdale, W. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Prentice Hall, Upper Saddle River. New Jersey.

Holmes, A., J. Govan, and R. Goldstein. 1998. Agricultural Use of Bulkolderia (Pseudomonas) cepacia : A Threat to Human Health?. Synopses Emerging Infectious Diseases 4(2): 1-7.

Kariada, K. dan M. Sukadana. 2000. Sayuran Organik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Departemen Pertanian.

Khan, M. S., A. Zaidi, dan E. Ahmad. 2014. Mechanism of Phosphate Solubilization and Physiological Functions of Phosphate-Solubilizing Microorganisms. In Phosphate Solubilizing Microorganisms Principles and Application of Microphos Technology. Khan, M. S., A. Zaidi, dan J. Musarrat (Eds.). 31-36. Springer. London.

Marbun, S., M. Sembiring, dan Bintang. 2016. Aplikasi Mikroba Pelarut Fosfat dan Sumber Bahan Organik untuk Meningkatkan Serapan P dan Pertumbuhan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung. Jurnal Agroekoteknologi 4(1): 1651-1658.

Mariam, S. dan R. Hudaya. 2002. Pengaruh Pupuk Organik dan SP-36 terhadap Beberapa Sifat Kimia Andisols Serapan P dan Hasil Tanaman Kubis (Brassica oleracea var. Grand 11). SoilREns. 3(6): 275-282.

Mukhlis. 2011. Tanah Andisol Genesis, Klasifikasi, Karakteristik, Penyebaran, dan Analisis. USU Press. Medan.

(2)

Mullen, M. D. 1998. Transformation of Other Elements. In Principles and Application of Soil Microbiology. Silvia (Ed.). 369-386. Prentice Hall. New Jersey.

Musarrat, J. dan M. S. Khan. 2014. Factors Affecting Phosphate-Solubilizing Activity of Microbes : Current Status. In Phosphate Solubilizing Microorganisms Principles and Application of Microphos Technology. Khan, M. S., A. Zaidi, dan J. Musarrat (Eds.). 31-36. Springer. London.

Panhwar, Q. A., S. Jusop, U. A. Naher, R. Othman, dan M. I. Razi. 2013. Application of Potential Phosphate-Solubilizing Bacteria and Organic Acids on Phosphate Solubilization from Phosphate Rock in Aerobic Rice. The Scientific World Journal. Hindawi Publisihing Corporation.

Pardosi, A. H., Irianto, dan Mukhsin. 2014. Respons Tanaman Sawi terhadap Pupuk Organik Cair Limbah Sayuran pada Lahan Kering Ultisol. Dalam Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Palembang, 26 - 27 September 2014. 1-7.

Pasaribu, Y. 2008. Transformasi Unsur P dari SP-36 dan Fosfat Alam pada Tanah Ultisol, Andisol, dan Entisol. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Rachim, D. A. dan M. Arifin. 2011. Dasar – Dasar Klasifikasi Taksonomi Tanah. Pustaka Reka Cipta. Bandung.

Ritonga, M., Bintang, dan M. Sembiring. 2015. Ubah Bentuk P oleh Mikroba Pelarut Fosfat dan Bahan Organik terhadap Ketersediaan P dan Produksi Tanaman Kentang (Solanum Tuberosum L.) pada Tanah Andisol Sinabung. Jurnal Agroekoteknologi 4(1): 1641- 1650.

Rukmana. 2007. Bertanam Petsai dan Sawi. Kanisius. Yogyakarta.

Sagala, Y., A. S. Hanafiah, dan Razali. 2013. Peranan Mikoriza terhadap Pertumbuhan, Serapan P dan Cd Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) serta kadar P dan Cd Andisol yang Diberi Pupuk Fosfat Alam. Jurnal Online Agroekoteknologi 2(1): 487-500.

Sanchez, P. A. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB Press. Bandung.

Sembiring, M. 2015. Efisiensi Pemupukan Fosfat dan Produksi Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) pada Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

(3)

Eruption, North Sumatera, Indonesia. International Jornal of Sciences : Basic and Applied Research (IJSBAR) 24(7): 382-388.

Sharma, S. B., R. Z. Sayyed, M. H. Trivedi, and T. A. Gobi. 2013. Phosphate Solubilizing Microbes : Sustainable Approach for Managing Phosphorus Deficiency in Agricultural Soils. Review. Springer Plus.

Snyder, C. S. dan T. W. Bruulsema. 2013. Nutrient Use Efficiency and Effectiveness in North America : Indices of Agronomic and Environmental Benefit. International Plant Nutrition Institute.

Sompotan, S. 2013. Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) terhadap Pemupukan Organik dan Anorganik. Geosains. 2(1): 14-17.

Suandi, D. P., T. Sabrina, dan M. Sembiring. 2015. Pengaruh Jamur Pelarut Fosfat, Waktu Aplikasi Dan Pupuk Fosfat Untuk Meningkatkan Ketersediaan Dan Serapan P Tanaman Kentang Pada Andisol Terdampak Erupsi. Jurnal Agroekoteknologi 4(1): 1777-1785.

Subagyo, H., N. Suharta, dan A. B. Siswanto. 2000. Tanah –Tanah Pertanian di Indonesia. Dalam Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Adimiharja, A., L. E. Amin, F. Agus, dan D. Djaenudin (Eds.). 21-61. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Tamad, A. Ma’as, B. Radjagukguk, E. Hanudin, dan J. Widada. 2013. Ketersediaan Fosfor pada Tanah Andisol untuk Jagung (Zea mays L.) oleh Inokulum Bakteri Pelarut Fosfat. J. Agron. Indonesia 41(2): 112-117.

Tambunan, A. S., Fauzi, dan H. Guchi. 2014. Efisiensi Pemupukan P terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jagung (Zea Mays L.) pada Tanah Andisol dan Ultisol. Jurnal Online Agroekoteknologi 2(2): 414-426.

Tampubolon, B., P. Lumbanraja, dan F. Tindaon. 2014. Karakterisasi dan Remediasi Lahan Pertanian Pasca Erupsi Gunung Sinabung Tanah Karo. Universitas HKBP Nommensen. Medan.

Tan, K. H. 2011. Principles of Soil Chemistry 4th Edition. CRC Press. London.

Tilman D, J. Fargione, B. Wolff, C. D’Antonio, A. Dobson, R. Howarth, D. Schindler, W. H. Schlesinger, D. Simberloff , D. Wackhamer. 2001. Forecasting Agriculturally Driven Global Environmental Change. Science Journal 292: 281-284.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.

(4)

Zaidi A., M.S. Khan, M. Ahemad, M. Oves, P. A. Wani. 2009. Recent Advances in Plant Growth Promotion by Phosphate-Solubilizing Microbes. In Microbial

(5)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2016

di Rumah Kasa, Laboratorium Biologi Tanah, serta Laboratorium Riset dan

Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih sawi sebagai

tanaman indikator, inokulum bakteri Burkholderia cepacia dan jamur Talaromyces

pinophilus sebagai mikroba pelarut fosfat, pupuk SP-36 sebagai pupuk anorganik sumber P, pupuk Urea dan KCl sebagai pupuk dasar, kompos sebagai media

penyemaian, bahan tanah Andisol desa Kutarakyat sebagai media tanam, dan bahan

- bahan pendukung lainnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag sebagai wadah

tanam, bak penyemaian sebagai wadah menyemaikan benih sawi, selang sebagai

penyalur air, erlenmeyer sebagai wadah inokulum MPF sebelum di aplikasi, gelas

ukur untuk mengukur volume MPF yang akan di aplikasi, timbangan analitik untuk

menimbang pupuk serta bobot basah dan kering tanaman, spektrofotometer sebagai

alat pengukuran P, meteran untuk mengukur tinggi tanaman, dan alat – alat

pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak kelompok (RAK)

dengan 2 faktor. Faktor I adalah mikroba pelarut fosfat dengan 3 taraf perlakuan,

(6)

Diperoleh kombinasi perlakuan yaitu 15 unit perlakuan dengan 3 ulangan sehingga

diperoleh jumlah keseluruhan perlakuan sebanyak 45 unit percobaan.

Faktor I. Mikroba Pelarut Fosfat (M)

M0 : Tanpa aplikasi MPF

M1 : 30 mL Burkholderia cepacia / polybag

M2 : 30 mL Talaromyces pinophilus / polybag

Faktor II. Pupuk SP-36 (P)

P0 : 0% dosis rekomendasi

P1 : 25% dosis rekomendasi (setara dengan 0,325 g SP-36 / 5 kg TKO)

P2 : 50% dosis rekomendasi (setara dengan 0,65 g SP-36 / 5 kg TKO)

P3 : 75% dosis rekomendasi (setara dengan 0,975 g SP-36 / 5 kg TKO)

P4 : 100% dosis rekomendasi (setara dengan 1,3 g SP-36 / 5 kg TKO)

Diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 15 kombinasi, yaitu :

M0P0 M1P0 M2P0

M0P1 M1P1 M2P1

M0P2 M1P2 M2P2

M0P3 M1P3 M2P3

M0P4 M1P4 M2P4

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam

berdasarkan model linier sebagai berikut:

Yijk = μ + ∂i + αj + βk + (αβ)jk + εijk dimana:

Yijk : Hasil pengamatan pada ulangan ke-i yang diberi mikroba pelarut fosfat

(7)

μ : Nilai tengah

∂i : Pengaruh blok ke-i

αj : Pengaruh mikroba pelarut fosfat pada taraf ke-j

βk : Pengaruh pupuk SP36 pada taraf ke-k

(αβ)jk : Pengaruh interaksi taraf j faktor mikroba pelarut fosfat dengan taraf

ke-k fake-ktor pupuke-k SP36

εijk : Pengaruh galat pada blok ke-i dalam kombinasi perlakuan mikroba pelarut

fosfat ke-j dan pupuk SP36 ke-k

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan

dengan uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan dan Penanganan Contoh Tanah

Pengambilan bahan tanah Andisol desa Kutarakyat dilakukan secara zig-zag

pada kedalaman 0-20 cm lalu dikompositkan.

Analisis Awal Tanah

Contoh bahan tanah yang telah dikeringudarakan dan diayak dengan ayakan

10 mesh, dilakukan analisis % kadar air, % kapasitas lapang, pH H2O, pH KCl,

C-Organik, N-Total, P-total, P-tersedia, dan KTK.

Berikut adalah hasil analisis awal tanah Andisol.

No. Parameter Hasil Analisis Keterangan**

1 pH H2O 4.21 Masam

2 pH KCl 4.58 Masam

3 C-Organik (%) 4.7 Tinggi

4 N-Total (%) 0.61 Tinggi

5 P2O5 Total (%) 0.1422 Sangat tinggi 6 P-Tersedia (ppm) 66.26 Sangat tinggi

(8)

Pengecambahan Benih Sawi

Pengecambahan benih sawi dilakukan pada media berisi tanah dan kompos.

Benih sawi ditaburkan merata di atas media semai. Dilakukan penyiraman dua kali

sehari.

Persiapan Inokulum Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba pelarut fosfat diaplikasikan dalam bentuk inokulum cair yang

merupakan koleksi Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara.

Persiapan Media Tanam

Bahan tanah yang telah kering udara dimasukkan ke dalam polybag ukuran 5

kg sesuai dengan berat tanah yang telah dikonversikan ke dalam berat tanah kering

udara.

Aplikasi Pupuk Urea, KCl, dan SP36

Pengaplikasian pupuk Urea, KCl dan SP36 dilakukan dengan

mencampurkannya hingga merata dengan tanah lalu diinkubasi selama 10 hari.

Dosis pupuk dasar yang diaplikasikan adalah 1.625 g Urea / polybag dan

0.813 g KCl / polybag. Sementara pupuk SP-36 diaplikasikan sesuai dengan taraf

perlakuan masing-masing.

Penanaman dan Penjarangan

Penanaman dilakukan setelah bibit di persemaian memiliki daun 4-5 helai (±

2 minggu). Sebelum kecambah dicabut, media persemaian disiram hingga cukup

basah. Lalu bibit dipindahkan ke dalam polybag, masing- masing polybag ditanami

(9)

Aplikasi Mikroba Pelarut Fosfat

Pengaplikasian mikroba pelarut fosfat dilakukan pada saat 2 hari setelah

pindah tanam dengan cara membuat parit di sekeliling lubang tanam dengan volume

sesuai dengan taraf perlakuan.

Pemeliharaan Tanaman

Tanaman disiram satu kali dalam sehari dengan mempertahankan keadaan

tanah kapasitas lapang. Selain itu juga dilakukan penyiangan gulma dengan

mencabut gulma yang tumbuh di areal percobaan untuk mencegah terjadinya

kompetisi dan kemungkinan serangan hama penyakit.

Pemanenan

Pemanenan dilakukan pada akhir masa vegetatif tanaman sawi, yakni + 30

hari setelah pindah tanam. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong pada

bagian pangkal batang dan dipisahkan bagian tajuk dan akarnya kemudian

dibersihkan. Setelah itu diovenkan pada suhu 70-80oC selama 48 jam lalu ditimbang

bobot kering tajuk dan akar.

Parameter Pengamatan

1. pH tanah dengan metode Elektrometrik.

2. P-total dengan metode esktrak HCl 25%.

3. P-tersedia (ppm) dengan metode Bray II.

4. Serapan P tanaman (mg/tanaman) dengan metode destruksi basah.

5. Tinggi tanaman (cm).

6. Bobot kering akar (g) dengan memotong bagian mulai dari leher akar lalu

(10)

7. Bobot kering tajuk (g) dengan memotong bagian pangkal batang lalu dicuci

dan diovenkan dengan suhu 70-80oC selama 48 jam.

8. Populasi mikroba pelarut fosfat dengan metode Cawan Hitung.

9. Efisensi Serapan P (%) dengan rumus :

ES = Serapan Ptanaman yang diberi pupuk – Serapan Ptanaman tanpa pupuk x 100%

Jumlah P yang diberikan

10.Efisiensi Fisiologis (g produksi/mg P) dengan rumus :

EF =

Serapan Ptanaman yang diberi pupuk – Serapan Ptanaman tanpa pupuk

Produksitanaman yang diberi pupuk – Produksitanaman tanpa pupuk

11.Efisiensi Agronomis (g produksi/g P) dengan rumus :

EA = Produksitanaman yang diberi pupuk – Produksitanaman tanpa pupuk

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Dari hasil analisis tanah dan tanaman pada aplikasi mikroba pelarut fosfat

dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung

Sinabung diperoleh hasil sebagai berikut.

pHTanah

Hasil sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa interaksi mikroba

pelarut fosfat dengan beberapa dosis pupuk P berpengaruh nyata terhadap pH

tanah.Berikut disajikan rataan nilai pH H2O tanah.

Tabel 1. Rataan nilai pH Tanah pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

pH Tanah (pH H2O)

Rataan Dosis SP36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 3.93bc 4bc 4.20ab 4.04bc 4.03bc 4.04 Bakteri (B. cepacia) 3.80c 3.92bc 4bc 4.09ab 4.42a 4.05 Jamur (T. pinophilus) 4.21ab 4.13ab 4.16ab 4.07bc 4.09abc 4.14

Rataan 3.98 4.02 4.12 4.07 4.18 4.08

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diketahui bahwa aplikasi

mikroba pelarut fosfat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH tanah,

namun rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan jamur pelarut fosfat Talaromyces

pinophilus sebesar 4.14 dan rataan terendah pada perlakuan tanpa aplikasi mikorba pelarut fosfat. Beberapa dosis pupuk SP36 yang diberikan juga tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap nilai pH, namun rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan

100% dosis rekomendasi (1.3 g) dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan tanpa

aplikasi pupuk SP36. Sementara interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata

(12)

dengan dosis pupuk SP36100% dari dosis rekomendasi (1.3 g) menunjukkan nilai

pH tertinggi sebesar 4.42 dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan bakteri pelarut

fosfat Burkholderia cepacia dengan dosis pupuk SP36 75% (M1P3) sebesar 4.09

dan perlakuan jamur pelarut fosfat Talaromyces pinophilus dengan tanpa pupuk

SP36 (M2P0) sebesar 4.21 namun berbeda nyata dengan perlakuan bakteri pelarut

fosfat Burkholderia cepacia dengan tanpa pupuk SP36 (M1P0)

sebesar 3.80.

P Total

Hasil sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa aplikasi mikroba

pelarut fosfat, beberapa dosis pupuk SP36, dan interaksi keduanya tidak memberikan

pengaruh nyata terhadap P ekstrak HCl 25%.Berikut disajikan rataan nilai P Total.

Tabel 2. Rataan nilai P Total pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

P Total (%)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 0.145 0.141 0.147 0.146 0.138 0.144 Bakteri (B.cepacia) 0.131 0.140 0.131 0.142 0.133 0.135 Jamur (T. pinophilus) 0.138 0.150 0.139 0.138 0.139 0.141 Rataan 0.138 0.144 0.139 0.142 0.137 0.140

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diketahui bahwa aplikasi

mikroba pelarut fosfat tidak berpengaruh nyata terhadap P Total namun rataan

tertinggi diperoleh pada perlakuan tanpa aplikasi mikroba pelarut fosfat sebesar

0.144% dan terendah pada perlakuan bakteri pelarut fosfat Burkholderia cepacia

sebesar 0.135% . Beberapa dosis pupuk SP36 juga tidak berpengaruh nyata namun

rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan 25% dosis rekomendasi (0.325 g) sebesar

(13)

0.137%. Interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata, dimana rataan tertinggi pada

perlakuan interaksi jamur pelarut fosfat dengan 25% dosis rekomendasi yakni

sebesar 0.150% dan rataan terendah pada perlakuan interaksi bakteri pelarut fosfat

dengan 0% dan 50% dosis rekomendasi yakni sebesar 0.131%.

P Tersedia

Hasil sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa aplikasi mikroba

pelarut fosfat, beberapa dosis pupuk SP36, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh

nyata terhadap P Tersedia.Berikut disajikan rataan nilai P Tersedia.

Tabel 3. Rataan nilai P Tersedia pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

P Tersedia (ppm)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 51.26 63.36 44.12 63.48 49.02 54.25 Bakteri (B. cepacia) 48.99 61.86 57.74 53.39 50.77 54.55 Jamur (T. pinophilus) 51.26 51.31 49.88 51.19 52.75 51.28 Rataan 50.50 58.85 50.58 56.02 50.85 53.36

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diketahui bahwa

aplikasi mikroba pelarut fosfat tidak berpengaruh nyata terhadap P Tersedia namun

rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi B. cepacia sebesar 54.55 ppm dan

rataan terendah diperoleh pada perlakuan T. pinophilus sebesar 51.28 ppm. Beberapa

dosis pupuk SP36 juga tidak berpengaruh nyata dengan rataan tertinggi diperoleh

pada perlakuan 25% dosis rekomendasi sebesar 58.85 ppm dan rataan terendah pada

perlakuan 0% dosis rekomendasi sebesar 50.50 ppm. Sedangkan interaksi keduanya

juga tidak memberikan pengaruh nyata, dimana rataan tertinggi diperoleh pada

(14)

sebesar 63.48 ppm dan rataan terendah pada perlakuan tanpa aplikasi mikroba

pelarut fosfat dengan 50% dosis rekomendasi sebesar 44.12 ppm.

Serapan P

Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan hasil bahwa aplikasi beberapa

dosis pupuk SP36 memberikan pengaruh nyata terhadap nilai serapan P tanaman

sedangkan aplikasi mikroba pelarut fosfat dan interaksi keduanya tidak berpengaruh

nyata terhadap serapan P tanaman.Berikut disajikan rataan nilai serapan P tanaman.

Tabel 4. Rataan nilai Serapan P pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

Serapan P (mg/tanaman)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 1.69 11.71 57.10 13.86 79.45 32.76 Bakteri (B. cepacia) 0.23 0.41 29.33 5.62 68.60 20.84 Jamur (T. pinophilus) 13.01 50.52 21.01 51.79 51.91 37.65 Rataan 4.98b 20.88b 35.81ab 23.76ab 66.65a 30.42

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diperoleh rataan

tertinggi pada aplikasi jamur pelarut fosfatT.pinophilus sebesar 37.65 mg/tanaman

dan terendah pada aplikasi bakteri pelarut fosfat B.cepacia sebesar 20.84

mg/tanaman. Dosis pupuk SP36 memberikan pengaruh nyata terhadap nilai serapan

P tanaman, dimana rataan tertinggi pada perlakuan 100% dosis rekomendasi (M4)

sebesar 66.65 mg/tanaman dan tidak berbeda nyata dengan 50% dan 75% dosis

rekomendasi namun berbeda nyata dengan tanpa pupuk SP36 (M0) yakni sebesar

4.98 mg/tanaman. Interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata dengan

rataan tertinggi pada perlakuan tanpa mikroba pelarut fosfat dengan 100% dosis

(15)

perlakuan bakteri pelarut fosfat dengan tanpa aplikasi pupuk SP36 yakni sebesar

0.23 mg/tanaman.

Tinggi Tanaman

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 9) diperoleh hasil bahwa aplikasi

mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36 berpengaruh sangat nyata

terhadap tinggi tanaman sedangkan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap

tinggi tanaman.Rataan tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Rataan Tinggi Tanaman pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

Tinggi Tanaman (cm)

Rataa n Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 8.13ef 15.4de 26.3ab 19.13bcd 29.4a 19.67a Bakteri (B. cepacia) 5.2f 7.56ef 19.06bcd 16.33cde 26.83ab 15a

Jamur (T. pinophilus) 19.2bcd 25.2abc

19.73abc d

24.56abc d

23.38abc

d 22.41a Rataan 10.84c 16.05bc 21.7ab 20.01ab 26.53a 19.03

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diperoleh hasil

tertinggi akibat aplikasi MPF yaitu pada perlakuan jamur pelarut fosfat

T. pinophilus (M2) sebesar 22.41 cm namun tidak berbeda nyata dengan tanpa aplikasi MPF maupun aplikasi bakteri pelarut fosfat B.cepacia.Pada perlakuan

beberapa dosis pupuk SP36 diperoleh hasil tertinggi pada perlakuan 100% dosis

rekomendasi 1.3 g SP36 (M4) sebesar 26.53 cm dan tidak berbeda nyata dengan

perlakuan 50% dan 75% dosis rekomendasi namun berbeda nyata dengan perlakuan

kontrol (M0P0) sebesar 10.84 cm. Sementara interaksi keduanya diperoleh hasil

terbaik pada perlakuan tanpa aplikasi MPF dengan 100% dosis rekomendasi (M0P4)

sebesar 29.4 cm dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa MPF dengan 50%

(16)

B.cepacia dengan 100% dosis rekomendasi (M1P4) sebesar 26.83 g namun berbeda nyata dengan perlakuan bakteri pelarut fosfat B.cepacia dengan tanpa pupuk SP36

(M1P0) sebesar 5.2 cm.

Berat Kering Tajuk

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 10) diperoleh hasil bahwa aplikasi

mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36, serta interaksi keduanya

berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering tajuk.Rataan berat kering tajuk

disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 6. Rataan Berat Kering Tajuk pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

Berat Kering Tajuk (g)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 0.21hi 1.64defghi 5.31a 0.93fghi 4.16ab 2.45a Bakteri (B. cepacia) 0.02i 0.08hi 1.95cdefgh 0.43ghi 3.69abcd 1.23a Jamur (T. pinophilus) 1.16efghi 4.07abc 3.17abcde 2.95bcdef 2.28bcdefg 2.72a

Rataan 0.46b 1.93ab 3.47a 1.43b 3.38a 2.13

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diperoleh rataan

tertinggi pada aplikasi mikroba pelarut fosfat perlakuan jamur pelarut fosfatT.

pinophilus(M2) sebesar 2.72 g dan tidak berbeda nyata dengan tanpa aplikasi MPF dan aplikasi bakteri pelarut fosfat B.cepacia. Dosis pupuk SP36 yang memberikan

rataan tertinggi pada perlakuan 50% dosis rekomendasi (M2) sebesar 3.47 g dan

tidak berbeda nyata dengan 100% dosis rekomendasi (P4) sebesar 3.38 g namun

berbeda nyata dengan tanpa aplikasi pupuk SP36 dan 75% dosis rekomendasi yakni

sebesar 0.46 dan 1.43 g. Interaksi mikroba pelarut fosfat dengan beberapa pupuk

SP36 yang memberikan rataan tertinggi yakni pada perlakuan tanpa mikroba pelarut

(17)

dengan perlakuan bakteri bakteri pelarut fosfat B.cepaciadengan tanpa aplikasi

pupuk SP36 (M1P0) sebesar0.02 g.

Berat Kering Akar

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 11) diperoleh hasil bahwa aplikasi

mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36, serta interaksi keduanya

berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering akar.Rataan berat kering akar

disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 7. Rataan Berat Kering Akarpada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

Berat Kering Akar (g)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 0.01d 0.28bcd 0.56b 0.13cd 1.12a 0.42a Bakteri (B. cepacia) 0.01d 0.02d 0.49bc 0.15cd 0.36bcd 0.20a Jamur (T. pinophilus) 0.32bcd 1.03a 0.36bcd 0.45bc 0.28bcd 0.49a Rataan 0.11b 0.44ab 0.47a 0.24ab 0.59a 0.37

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diperoleh rataan

tertinggi pada aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus(M2) sebesar 0.49 g namun

tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada pemberian beberapa dosis

pupuk SP36 diperoleh rataan tertinggi pada aplikasi 100% dosis rekomendasi (P4)

sebesar 0.59 g dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50% dosis rekomendasi

(P2) sebesar 0.47 g namun berbeda nyata dengan perlakuan tanpa aplikasi

pupukSP36 (P0) sebesar 0.11 g. Interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata

terhadap bobot kering akar, dimana rataan tertinggi didapat pada perlakuan tanpa

aplikasi mikroba pelarut fosfat dengan 100% dosis rekomendasi (M0P4) sebesar

1.12 g dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus

(18)

perlakuan kontrol (M0P0), aplikasi bakteri pelarut fosfat B.cepacia dengan tanpa

pupuk (M1P0), dan dengan 25% dosis rekomendasi (M1P1) sebesar 0.01, 0.01, dan

0.02 g.

Populasi Mikroba Pelarut Fosfat

Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 12) diperoleh hasil bahwa aplikasi

mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36, serta interaksi keduanya

tidak berpengaruh nyata terhadap populasi mikroba pelarut fosfat.Rataan populasi

mikroba pelarut fosfat disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 8. Rataan Populasi Mikroba Pelarut Fosfat pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

Populasi Mikroba Pelarut Fosfat (105 CFU/ml)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF 1.71 5.63 45.97 33.13 68.42 30.97 Bakteri (B. cepacia) 73.69 66.62 68.36 19.06 19.54 49.45 Jamur (T. pinophilus) 29.89 45.58 65.71 47.88 31.71 44.15 Rataan 35.10 39.28 60.02 33.36 39.89 41.53

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diperoleh rataan

tertinggi pada aplikasi bakteri pelarut fosfat B.cepaciasebesar 49.45 CFU/ml, diikuti

dengan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus sebesar 44.15 CFU/ml, dan

terendah pada perlakuan tanpa aplikasi mikroba pelarut fosfat. Pemberian beberapa

dosis pupuk SP36 diperoleh rataan tertinggi pada 50% dosis rekomendasi sebesar

60.02 CFU/ml sedangkan terendah pada 75% dosis rekomendasi sebesar 33.36

CFU/ml. Interaksi antar keduanya yang memberikan rataan tertinggi adalah

perlakuan aplikasi bakteri pelarut fosfat B.cepacia dengan tanpa pupuk SP36 yakni

73.69 CFU/ml dan rataan terendah adalah perlakuan control yakni sebesar 1.71

(19)

Efisiensi Serapan P

Dari hasil uji sidik ragam (Lampiran 13) diketahui aplikasi mikroba pelarut

fosfat, beberapa dosis pupuk SP36, dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata

terhadap efisiensi serapan P. Rataan efisiensi serapan P disajikan dalam tabel

berikut.

Tabel 9. Rataan Nilai Efisiensi Serapan P pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diketahui bahwa

rataan efisiensi serapan P tertinggi pada perlakuan jamur pelarut fosfat T.

pinophilus sebesar 15%, diikuti oleh perlakuan tanpa aplikasi mikroba pelarut fosfat sebesar 10.47, dan yang terendah pada perlakuan aplikasi bakteri pelarut fosfat

B.cepacia sebesar 5.23%. Pemberian beberapa dosis pupuk SP36 yang memberikan rataan hasil tertinggi adalah perlakuan 25% dosis rekomendasi (P1) sebesar 16.40%

namun tidak berbeda nyata dengan hasil terendah yakni perlakuan 75% dosis

rekomendasi (P3) sebesar 6.29%. Sedangkan interaksi keduanya diperoleh rataan

hasil tertinggi pada perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus dengan 25% dosis

rekomendasi (M2P1) sebesar 41.74% berbeda nyata dengan aplikasi bakteri pelarut

fosfat B.cepacia dengan 25% dosis rekomendasi (M1P1) sebesar -1.09%.

Efisiensi Fisiologis MPF (30 ml)

Efisiensi Serapan P (%)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF - 8.56cde 23.68b 3.47cde 16.62bc 10.47a

Bakteri (B. cepacia) - -1.09e 11.81bcde 1.12de 14.30bcd 5.23a

Jamur (T. pinophilus) - 41.74a 8.26cde 14.27bcd 10.73bcde 15.00a

(20)

Dari hasil uji sidik ragam (Lampiran 14) diketahuiaplikasi beberapa dosis

pupuk SP36 berpengaruh nyata terhadap efisiensi fisiologis. Sementara aplikasi

mikroba pelarut fosfat dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap

efisiensi fisiologis.Rataan efisiensi fisiologis disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 10. Rataan Nilai Efisiensi Fisiologis pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

Efisiensi Fisiologis (g produksi/mg P)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF - 1.08 0.93 0.73 0.81 0.71

Bakteri (B. cepacia) - 0.54 2.13 0.60 0.66 0.78

Jamur (T. pinophilus) - 0.92 1.53 0.81 1.17 0.89

Rataan - 0.84a 1.53a 0.71a 0.88a 0.79

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diperoleh rataan hasil

tertinggi yaitu pada perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilussebesar 0.89 g

produksi/mg P, dan yang terendah pada perlakuantanpa aplikasi mikroba pelarut

fosfat sebesar 0.71 g produksi/mg P. Beberapa dosis pupuk SP36 dengan rataan

hasil tertinggi yaitu pada perlakuan 25% dosis rekomendasi (P1) sebesar 1.53 g

produksi/mg P namun tidak berbeda nyata dengan hasil terendah yaitu perlakuan

75% dosis rekomendasi (P3) sebesar 0.71 g produksi/mg P. Interaksi keduanya yang

memberikan rataan hasil tertinggi adalah perlakuan bakteri pelarut fosfat B.cepacia

dengan 50% dosis rekomendasi (M1P2) sebesar 2.13 g produksi/mg P sedangkan

yang terendah adalah perlakuan bakteri pelarut fosfat B.cepaciadengan 25% dosis

rekomendasi (M1P1) sebesar 0.54 g produksi/mg P.

(21)

Dari hasil uji sidik ragam (Lampiran 15) diketahui aplikasi mikroba pelarut

fosfat, beberapa dosis pupuk SP36, dan interaksi keduanya berpengaruh sangat nyata

terhadap efisiensi agronomis.Rataan efisiensi agronomis disajikan dalam tabel

berikut.

Tabel 11. Rataan Nilai Efisiensi Agronomis pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapadosis pupuk SP36

MPF (30 ml)

Efisiensi Agronomis (g produksi/g P)

Rataan Dosis SP-36 (g)

0 0.325 0.65 0.975 1.3

Tanpa MPF - 96.70cd 218.42b 31.83cde 116.97bc 92.78ab

Bakteri (B. cepacia) - -3.87e 86.05cde 7.39de 90.70cde 36.05b

Jamur (T. pinophilus) - 375.58a 116.06bc 103.04cd 72.55cde 133.45a

Rataan - 156.13a 140.18ab 47.42b 93.40ab 87.43

Keterangan: Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5% diperoleh rataan hasil

tertinggi pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus sebesar 133.45 g

produksi/g P dan tidak berbeda nyata dengan hasil terendah pada perlakuan bakteri

pelarut fosfat B.cepaciasebesar 36.05 g produksi/g P. Pada aplikasi beberapa dosis

pupuk SP36 dengan rataan hasil tertinggi adalah perlakuan tanpa pupuk SP36sebesar

156.13 g produksi/g P dan berbeda nyata dengan perlakuan 75% dosis rekomendasi

sebesar 47.42 g produksi/g P. Interaksi keduanya yakni perlakuan aplikasi jamur

pelarut fosfat T. pinophilus dengan 25% dosis rekomendasi (M2P1) sebesar 375.58 g

produksi/g P dan berbeda nyata dengan perlakuan bakteri pelarut fosfat B.cepacia

dengan 25% dosis rekomendasi (M1P1) sebesar -3.87g produksi/g P.

(22)

Reaksi tanah merupakan suatu indikasi yang digunakan untuk mengetahui

tingkat kemasaman tanah yang dinyatakan dalam pH.Nilai pH menunjukkan

konsentrasi ion H+ dalam larutan tanah. Berdasarkan analisis tanah Andisol yang

terdampak erupsi Gunung Sinabung diperoleh nilai pH tertinggi sebesar 4.42 pada

perlakuan aplikasi bakteri pelarut fosfat Burkholderiacepacia dengan 100% dosis

rekomendasi 1.3 g SP36. Ini membuktikan bahwa Andisol merupakan tanah yang

bereaksi masam karena yang memiliki pH H2O < 7 dan memiliki masalah dengan

ketersediaan unsur P.

Pada perlakuan interaksi mikroba pelarut fosfat (MPF) dengan beberapa

dosis pupuk SP36 diketahui pH tanah lebih tinggi daripada tanpa aplikasi MPF dan

pupuk SP36 yang sebesar 3.93.Ini menunjukkan bahwa interaksi keduanya

memberikan pengaruh nyata dalam peningkatan pH tanah.Namun berdasarkan hasil

analisis awal tanah diketahui pH sebesar 4.21 dimana nilai ini menurun setelah

aplikasi pupuk dasar serta pemberian perlakuan MPF dan pupuk SP36.Hal ini

dijelaskan dalam literatur Tamad dkk (2013) bahwa bakteri pelarut fosfat

menurunkan nilai pH tanah akibat produksi asam – asam organik yang menyumbang

ion H+ dalam larutan tanah.Berikut adalah grafik pH tanah pada perlakuan aplikasi

(23)

Gambar 1. Grafik pH Tanah akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa perlakuan terbaik ada pada aplikasi

bakteri pelarut fosfat Burkholderiacepaciadengan 100% dosis rekomendasi (M1P4)

sebesar 4.42.Ini berarti MPF dan pupuk SP36 yang diaplikasikan mampu

meningkatkan pH awal tanah Andisol.Dalam Musarrat dan Khan (2014) dijelaskan

bahwa MPF akan menghasilkan asam – asam organik dalam prosesnya melarutkan

fosfat yang terikat di permukaan koloid, dimana pada saat itu asam –asam organik

akan menurunkan pH tanah. Namun setelah selesai proses pelarutan fosfat maka

asamorganik tidak diproduksi dan pH tanah akan kembali naik seiring dengan

peningkatan ketersediaan P. Ditambah lagi aplikasi pupuk SP36 yang sesuai dengan

dosis rekomendasi mampu membantu meningkatkan pH tanah melalui mineralisasi

P2O5 menjadi HPO32- dan H2PO4-.

P Total

P Total merupakan jumlah P2O5 di dalam tanah baik dalam bentuk organik

maupun anorganik. Apabila P Total di dalam tanah terhitung tinggi namun belum

tentu berbanding lurus dengan P yang dapat diserap oleh tanaman . Hal ini dapat

dikarenakan adanya fiksasi P oleh logam – logam seperti Al dan Fe atau karena

tingginya retensi P yang disebabkan oleh permukaan koloid tanah . yM0 = -0.351x2 + 0.528x + 3.920

R² = 0.622

yM1 = 0.297x2 + 0.046x + 3.831 R² = 0.965

yM2 = 0.051x2 - 0.158x + 4.206 R² = 0.763

3,7 3,8 3,9 4 4,1 4,2 4,3 4,4 4,5

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

p H T a n a h

Dosis SP36 (g)

M0 (Tanpa MPF)

(24)

Berdasarkan hasil analisis, tanah Andisol akibat aplikasi MPF dan pupuk

SP36 tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah P Total namun diperoleh

rataan tertinggi pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat Talaromyces

pinophilusdengan 25% dosis rekomendasi 0.325 g SP36 (M2P1) sebesar 0.150%. Ini menunjukkan bahwa baik MPF maupun pupuk SP36 tidak meningkatkan jumlah P

Total dalam tanah karena jumlahnya yang sudah tergolong sangat tinggi. Berikut

adalah grafik P Total tanah akibat pemberian MPF dengan beberapa dosis pupuk

SP36.

Gambar 2. Grafik P Total tanah akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Dari gambar di atas diketahui bahwa nilai P Total tanah Andisol terdampak

erupsi Gunung Sinabung sudah tergolong tinggi (>0.100%).Hal ini merupakan

dampak dari letusan material vulkanik dari kawah gunung berapi yang mengandung

senyawa bermanfaat bagi kegiatan pertanian.Menurut Tampubolon dkk (2014), abu

vulkan hasil erupsi Sinabung mampu menyumbang unsur hara bagi tanaman, salah

satunya adalah unsur hara P.

P Tersedia

yM0 = -0.009x2+ 0.009x + 0.143 R² = 0.358

yM1 = -0.011x2+ 0.016x + 0.131 R² = 0.186

yM2 = -0.008x2+ 0.007x + 0.140 R² = 0.182

0,125 0,13 0,135 0,14 0,145 0,15 0,155

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

P

T

o

ta

l

(%

)

Dosis SP36 (g)

(25)

P Tersedia merupakan jumlah fosfat yang tersedia dalam tanah dan dapat

diserap oleh tanaman.Berdasarkan hasil analisis diketahui jumlah P Tersedia pada

tanah Andisol akibat aplikasi MPF dengan beberapa dosis pupuk SP36 tidak

berpengaruh nyata, baik aplikasi tunggal maupun interaksi keduanya. Hal ini

mungkin dikarenakan pengambilan contoh tanah di akhir masa vegetatif tanaman

dengan pertimbangan bahwasannya waktu yang dibutuhkan mikroba pelarut fosfat

dengan pupuk SP36 dalam menyediakan P tersedia tidak dapat disamakan. Berikut

adalah grafik P Tersedia tanah akibat pemberian MPF dengan beberapa dosis pupuk

SP36.

Gambar 3. Grafik P Tersedia tanah akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Dari gambar di atasdapat dilihat bahwa perlakuan tanpa aplikasi MPF dengan

pupuk SP36 25% dan 75% dari dosis rekomendasi memberikan hasil P Tersedia

paling tinggi. Pupuk SP36 yang diaplikasikan dapat dimineralisasi dengan baik

sehingga meningkatkan ketersedian P dalam tanah. Hal ini sesuai dengan Mukhlis

dkk (2011) yang menyatakan bahwa tanaman menyerap P dari tanah dalam bentuk

ion fosfat, seperti HPO42- dan H2PO4- yang merupakan bentuk P-anorganik di dalam

tanah yang akan lebih mobil dan dapat dengan mudah diserap oleh tanaman.

Serapan P

yM0 = -9.819x2+ 11.42x + 53.04 R² = 0.055

yM1 = -21.10x2+ 25.92x + 51.07 R² = 0.653

yM2= 3.886x2- 4.167x + 51.52 R² = 0.771

0 10 20 30 40 50 60 70

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

P T e rs e d ia ( p p m )

Dosis SP36 (g)

M0 (Tanpa MPF)

M1 (Bakteri 30 ml)

(26)

Jumlah unsur hara P yang diserap oleh tanaman dapat diketahui melalui

pengukuran serapan P. Tanaman biasanya menyerap unsur hara P dalam bentuk

anorganik (HPO42-, H2PO4-, dan PO43-). Dari perlakuan kombinasi mikroba pelarut

fosfat (MPF) dengan beberapa dosis pupuk SP36, perlakuan terbaik berada pada

perlakuan tanpa aplikasi MPF dengan 100% dosis rekomendasi (M0P4) sebesar

79.45 mg/tanaman. Sementara aplikasi pupuk SP36 100% dosis rekomendasi dengan

aplikasi bakteri maupun jamur pelarut fosfat lebih rendah yakni sebesar 68.60 dan

51.91 mg/tanaman.Ini menunjukkan bahwa dengan dosis SP36 100% maka tidak

dapat membantu memaksimalkan MPF dalam melarutkan fosfat organik di dalam

tanah.Marbun dkk (2015) menyatakan bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat dengan

penambahan bahan organik dapat meningkatkan serapan P pada tanaman kentang.

Berdasarkan literatur Ginting dkk (2009) terdapat dua macam mekanisme pelarutan

fosfat dalam tanah oleh MPF, yaitu secara kimiawi melalui pengkhelatan logam

dengan asam organik dan secara biologi melalui degradasi enzimatis senyawa

P-organik dengan enzim fosfatase dan fitase. Prosesnya ini membutuhkan waktu yang

lebih lama, ditambah lagi terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi pelarutan

fosfat dalam tanah seperti pH, suhu, dan kelembaban tanah. Berbeda dengan proses

mineralisasi pupuk SP36 yang lebih singkat karena dapat diubah menjadi bentuk

tersedia secara langsung. Berikut adalah grafik Serapan P tanaman akibat pemberian

(27)

Gambar 4. Grafik Serapan P tanaman akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Dari gambardi atas dapat dilihat bahwa dosis pupuk SP36 yang memberikan

hasil terbaik adalah pada 100% dosis rekomendasi sebesar 66.65 mg/tanaman dan

berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pupuk yang hanya sebesar 4.98 mg/tanaman.

Tinggi Tanaman

Berdasarkan hasil yang diperoleh tinggi tanaman akibat aplikasi mikroba

pelarut fosfat (MPF) menunjukkan hasil yang berbeda – beda dengan hasil terbaik

berada pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus (M2) sebesar 22.41

cm namun tidak berbeda nyata dengan aplikasi bakteri pelarut fosfat B.

cepacia (M1) dan tanpa aplikasi MPF (M0). Hasil tersebut membuktikan bahwa jamur pelarut fosfat membantu membebaskan fiksasi P dari logam seperti Al dan Fe

maupun dari jerapan permukaan koloid.Hal ini didukung oleh literatur Musarrat dan

Khan (2014) yang menyatakan bahwa pelarutan P oleh jamur pelarut fosfat lebih

besar daripada bakteri pelarut fosfat karena hifa jamur mampu mengikat partikel

mineral P di dalam tanah meskipun dalam jarak yang lebih jauh.

Dari hasil aplikasi beberapa dosis pupuk SP36 diperoleh hasil terbaik pada

perlakuan 100% dosis rekomendasi (P4) sebesar 26.53 cm dan berbeda nyata dengan yM0 = 15.21x2+ 28.73x + 4.439

R² = 0.555

yM1 = 49.33x2- 20.45x + 2.868 R² = 0.699

yM2 = -9.800x2+ 37.06x + 19.76 R² = 0.440

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

S e a p a n P ( m g /t a n a m a n )

Dosis SP36 (g)

(28)

perlakuan tanpa aplikasi pupuk (P0), dimana tinggi tanaman meningkat sebesar

145% setelah aplikasi pupuk SP36 100% dosis rekomendasi. Hal ini menunjukkan

bahwa fosfor memiliki pengaruh penting dalam proses metabolisme tanaman. Sesuai

dengan Yuliprianto (2010), senyawa fosfor di dalam jaringan tubuh tanaman

berperan dalam proses pembelahan sel, merangsang pertumbuhan awal pada akar,

pemasakan tanaman, transport energi dalam sel, pembentukan buah dan produksi

biji. Berikut adalah grafik tinggi tanaman akibat pemberian MPF dengan beberapa

dosisi pupuk SP36.

Gambar 5. Grafik Tinggi Tanaman akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Dari gambar di atas diketahui interaksi MPF dengan pupuk SP36 terbaik

adalah perlakuan tanpa aplikasi MPF dengan 100% dosis rekomendasi (M0P4)

sebesar 29.4 cm namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan M1P4, M0P2, M2P1,

M2P2, M2P3, dan M2P4. Dari sini dapat dilihat bahwa pengaruh pupuk SP36 masih

lebih mendominasi, namun bukan berarti MPF tidak dapat melarutkan fosfat yang

terikat dalam tanah.Hanya saja pemanfaatan MPF harus disesuaikan dengan dosis

pupuk yang digunakan.

Berat Kering Tajuk

yM0 = -8.162x2+ 24.84x + 8.693 R² = 0.773

yM1 = 1.366x2+ 14.23x + 4.884 R² = 0.875

yM2 = -2.750x2+ 5.952x + 20.28 R² = 0.231

0 5 10 15 20 25 30 35

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

T in g g i T a n a m a n ( cm )

Dosis SP36 (g)

(29)

Jumlah P yang diserap tanaman akan berbanding lurus dengan total berat

kering tajuk tanaman. Semakin tanaman kekurangan P maka metabolismem dalam

tubuh tanaman tersebut akan semakin terganggu, dan begitu juga sebaliknya.

Aplikasi mikroba pelarut fosfat (MPF) dengan hasil terbaik adalah perlakuan

aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus(M2) sebesar 2.72 namun tidak berbeda

nyata dengan aplikasi bakteri pelarut fosfat maupun tanpa aplikasi MPF.Hal ini

sesuai dengan Marbun (2016) yang menyatakan bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat

dengan bahan organik pada Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung dapat

meningkatkan serapan P dan berat kering tajuk tanaman kentang.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pemberian pupuk SP36 dengan 50% dosis

rekomendasi memberikan hasil terbaik sebesar 3.47 cm dan tidak berbeda nyata

dengan dosis SP36 100% rekomendasi namun berbeda nyata dengan 75% dosis

rekomendasi maupun tanpa aplikasi pupuk SP36. Disini dapat dilihat pengaruh MPF

dalam melarutkan P dalam tanah dan menjadikannya tersedia sehingga dapat diserap

tanaman.Berdasarkan penelitian Sagala et al (2013), bobot kering tajuk tanaman

sawi tertinggi didapat pada dosis pupuk P 1.94 g sebesar 10.92 g dan jika dosis

ditingkatkan menjadi 3.88 g maka terjadi penurunan bobot kering tajuk menjadi

sebesar 7.91 g. Dengan dosis pupuk yang berimbang maka fungsi MPF dalam

melarutkan fosfat akan terlihat secara nyata melalui peningkatan berat kering

tajuk.Berikut adalah grafik berat kering tajuk akibat aplikasi MPF dengan pupuk

(30)
[image:30.595.179.467.86.226.2]

Gambar 6. Grafik Berat Kering Tajuk akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Grafik di atas menunjukkan bahwa interaksi MPF dengan pupuk SP36

dengan hasil terbaik adalah perlakuan tanpa aplikasi MPF dengan pupuk SP36 50%

dosis rekomendasi (M0P2) sebesar 5.31 g dan tidak berbeda nyata dengan M0P4,

M1P4, M2P1, dan M2P2. Sementara interaksi keduanya yang memberikan hasil

terendah adalah perlakuan aplikasi bakteri pelarut fosfat B.cepacia dengan tanpa

pupuk SP36 (M1P0) dan bakteri pelarut fosfat B.cepacia dengan pupuk SP36 25%

dosis rekomendasi (M1P1) sebesar 0.02 dan 0.08 g. ini mengindikasikan bahwa P

pada perlakuan tersebut berada pada jumlah yang paling minimum. Hal ini dapat

dikarenakan interaksi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk SP36 dapat menurunkan

pH tanah sehingga mempengaruhi ketersediaan fosfat. Bakteri pelarut fosfat dapat

memproduksi asam – asam organik sehingga dapat mengkhelat logam yang

mengikat P dan menjadikan P tersedia, sementara pupuk SP36 dalam prosesnya

menyediakan ion fosfat dapat melepaskan ion H+ sehingga P bebas dan menjadi

tersedia. Keduanya dapat menjadi penyebab rendahnya nilai pH tanah.Dalam Tan

(2011) dinyatakan bahwa pada pH 3 – 4 kelarutan Al-P dan Fe-P sangat rendah.

Seiring dengan peningkatan pH maka kelarutan senyawa fosfat akan meningkat dan yM0 = -3.000x2+ 6.116x + 0.373

R² = 0.345

yM1 = 2.044x2- 0.295x + 0.128 R² = 0.655 yM2 = -4.382x2+ 6.039x + 1.576

R² = 0.663

0 1 2 3 4 5 6

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

B e ra t K e ri n g T a ju k ( g )

Dosis SP36 (g)

(31)

mencapai optimum pada pH 6,5. Di atas 6,5 maka fosfat kembali menurun

kelarutannya karena telah berikatan kembali menjadi Ca-P.

Berat Kering Akar

Akar tanaman juga dapat dijadikan suatu tolak ukur untuk mengetahui

seberapa besar hara di dalam tanah. Apabila kebutuhan hara tanaman tercukupi

maka perkembangan akar pun akan semakin baik, begitu juga sebaliknya. Dari hasil

yang diperoleh, aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus(M2) merupakan

perlakuan terbaik yaitu sebesar 0.49 g namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan

bakteri pelarut fosfat B.cepacia dan tanpa aplikasi MPF.Baik jamur maupun bakteri

pelarut fosfat memiliki kemampuan untuk melarutkan fosfat yang terikat di

permukaan koloid sehingga menjadikan fosfat tersedia untuk tanaman. Hal ini sesuai

dengan literatur Khan et al. (2014) bahwa mikroba pelarut fosfat melakukan

mekanisme pelarutan fosfat melalui ekskresi enzim fosfatase dan fitase dari selnya,

kemudian berikatan dengan senyawa P organik dan menjadikan P organik menjadi

anorganik (mineralisasi) sehingga menjadi tersedia bagi tanaman.

Dari perlakuan beberapa dosis pupuk SP36, perlakuan 100% dosis

rekomendasi (P4) memberikan hasil tertinggi sebesar 0.59 g dan tidak berbeda nyata

dengan P2 dan P3 namun berbeda nyata dengan P1 dan kontrol. Semakin tinggi

dosis yang diberikan maka berat kering akar rata – rata akan semakin meningkat. Ini

menunjukkan bahwa peranan P bagi tanaman sangatlah penting. Yulipriyanto (2010)

menyatakan bahwa unsur P merupakan bagian penting dari nukleoprotein inti sel,

yang mengendalikan pembelahan dan pertumbuhan sel, demikian pula untuk

(32)

hidup. Berikut adalah grafik berat kering akar akibat aplikasi MPF dengan pupuk

[image:32.595.183.460.141.298.2]

SP36.

Gambar 7. Grafik Berat Kering Akar akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Grafik di atas menunjukkan rataan berat kering akar tertinggi pada perlakuan

tanpa aplikasi MPF dengan 100% dosis rekomendasi (M0P4) sebesar 1.12 g dan

perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilusdengan 25% dosis rekomendasi (M2P1)

sebesar 1.03 g. Dari interaksi tersebut dapat diketahui bahwa pupuk SP36 sebanyak

1.3 g dapat menyumbang P tersedia dalam tanah, namun dengan dosis 25% dari

dosis rekomendasi yaitu sebanyak 0.325 g dan ditambah dengan aplikasi jamur

pelarut fosfat maka akan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata antara

keduanya. MenurutSembiring (2015), pemanfaatan jamur pelarut fosfat dapat

mengurangi penggunaan pupuk SP36 sebanyak 25%.

Populasi Mikroba Pelarut Fosfat

Populasi mikroba pelarut fosfat di dalam tanah mempengaruhi jumlah P yang

akan dilarutkan dari kompleks jerapan di koloid. Mikroba pelarut fosfat, baik bakteri

maupun jamur, hidup di daerah sekitar perakaran (rhizosfer).Berikut adalah grafik

populasi mkroba pelarut fosfat.

yM0 = 0.497x2- 0.012x + 0.112 R² = 0.596

yM1 = -0.277x2+ 0.615x - 0.018 R² = 0.448

yM2 = -0.687x2+ 0.695x + 0.470 R² = 0.298

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

B e ra t K e ri n g A k a r (g )

Dosis SP36 (g)

(33)
[image:33.595.184.465.90.252.2]

Gambar 8. Grafik Mikroba Pelarut Fosfat akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Efisiensi Serapan

Berdasarkan hasil yang diperoleh, efisiensi serapan P tertinggi akibat aplikasi

MPF ada pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus(M2) sebesar

15%. Ini merupakan bukti bahwa jamur pelarut fosfat mampu membantu pelarutan

fosfat di dalam tanah sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Berdasarkan Suandi

(2016), aplikasi jamur pelarut fosfat mampu meningkatkan P total dan P tersedia

dalam tanah yang dapat diserap oleh tanaman. Sedangkan akibat aplikasi pupuk

SP36 hasil tertinggi berada pada dosis 25% dosis rekomendasi (M1) 16.4% namun

tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Peningkatan jumlah pupuk SP36

yang diberikan tidak berbanding lurus dengan efisiensi serapannya. Hal ini sesuai

dengan Tambunan dkk (2014), bahwaefisiensi pemupukan P pada tanah Andisol

yakni pada dosis 0,8 g SP-36/tanaman dengan produksi 109,23 g/tanaman dan

efisiensi serapan P sebesar 11,55%.Berikut disajikan grafik efisiensi serapan P

akibat aplikasi MPF dengan pupuk SP36.

yM0 = 6.464x2+ 41.10x + 0.153 R² = 0.829

yM1 = -24.30x2- 16.36x + 75.49 R² = 0.824

yM2 = -68.76x2+ 91.21x + 28.44 R² = 0.884

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

P o u p u la si M ik ro b a ( 1 0 5 C F U /m l)

Dosis SP36 (g)

(34)
[image:34.595.193.459.86.224.2]

Gambar 9. Grafik Efisiensi Serapan akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Gambar di atas menunjukkan bahwa interaksi perlakuan aplikasi jamur

pelarut fosfat T. pinophilus dengan 25% dosis rekomendasi (M2P1) merupakan

perlakuan terbaik untuk parameter efisiensi serapan P. Jumlah pupuk SP36 yang

diaplikasikan sebesar 0.325 g akan menjadi lebih efisien karena adanya peranan

jamur pelarut fosfat yang membantu meningkatkan ketersediaan P sehingga dapat

diserap oleh tanaman. Berdasarkan literatur Khan et al. (2014) mikroba pelarut

fosfat tidak hanya melepaskan P yang terfiksasi dengan logam seperti Al dan Fe,

tetapi juga dapat memineralisasi P dalam bentuk organik menjadi anorganik

sehingga dapat langsung diserap oleh tanaman.Dengan dosis pupuk SP36 yang

sesuai maka fungsi dari MPF menjadi lebih maksimal.

Efisiensi Fisiologis

Berdasarkan hasil yang diperoleh, aplikasi pupuk SP36 dengan nilai efisiensi

fisiologis terbaik adalah perlakuan 50% dosis rekomendasi (P2) sebesar 1.53 g

produksi/mg P namun tidak berbeda nyata dengan beberapa dosis lainnya. Ini berarti

setiap mg P yang diberikan maka akan menghasilkan produksi sebesar 153 g.

Menurut Snyder dan Bruulsema (2007) efisiensi fisiologis dapat menjawab

pertanyaan seberapa produktif suatu pertanaman dibandingkan dengan inputnya. yM0 = -17.69x2+ 31.65x + 1.101

R² = 0.341

yM1 = 3.338x2+ 5.138x - 0.227 R² = 0.460

yM2 = -34.53x2+ 43.04x + 8.905 R² = 0.189

-10,00 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

E fi si e n si S e ra p a n P ( %)

Dosis SP36 (g)

(35)

Jadi dalam pemupukan perlu adanya efisiensi sehingga pupuk dimanfaatkan secara

tepat dan tidak meninggalkan banyak residu dalam tanah.Berikut adalahgrafik

[image:35.595.176.472.173.312.2]

efisiensi fisiologis akibat aplikasi MPF dengan pupuk SP36.

Gambar 10. Grafik Efisiensi Fisiologis akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan bakteri pelarut

fosfat B.cepacia dengan 50% dosis rekomendasi (M1P2) sebesar 2.13 g

produksi/mg P merupakan efisiensi serapan yang teringgi. Interaksi bakteri pelarut

fosfat dengan pupuk SP36 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis pupuk maka

efisiensi semakin rendah.Hal ini sesuai dengan Panhwar et al. (2013) bahwa BPF

mampu meningkatkan P tersedia tanah, serapan P, serta produksi padi.

Efisiensi Agronomis

Efisiensi agronomis tertinggi akibat aplikasi MPF adalah perlakuan jamur

pelarut fosfat T. pinophilus(M2) sebesar 133.45 g produksi/g P. Hal ini

membuktikan bahwa jamur pelarut fosfat mampu mengefisienkan penggunaan

pupuk P, terutama pada tanah dengan retensi P tinggi. Hal ini sesuai dengan

Sembiring et al (2015) bahwa Talaromyces pinophilus mampu meningkatkan

ketersediaan P dan mengefisienkan pupuk P sebanyak 25%. Sementara dari

beberapa dosis pupuk SP36 diperoleh nilai efisiensi agronomis tertinggi pada yM0 = -1.387x2+ 2.191x + 0.163

R² = 0.657

yM1 = -2.76x2+ 4.011x - 0.073 R² = 0.544 yM2 = -1.664x2+ 2.848x + 0.088

R² = 0.719

0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

E fi si e n si Fi si o lo g is ( g p ro d /m g P )

Dosis SP36 (g)

(36)

perlakuan 25% dosis rekomendasi yaitu sebesar 156.13 g produksi/g P. Efisiensi

agronomis pada perlakuan tersebut 67% lebih tinggi daripada aplikasi pupuk SP36

100% dosis rekomendasi.Berikut adalahgrafik efisiensi agronomis akibat aplikasi

[image:36.595.169.476.198.341.2]

MPF dengan pupuk SP36.

Gambar 11. Grafik Efisiensi Agronomis akibat aplikasi MPF dan beberapa dosis pupuk SP36 pada tanah Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada interaksi perlakuan MPF dengan

beberapa dosis pupuk SP36 diketahui nilai efisiensi agronomis tertinggi pada

perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus dengan 25% dosis rekomendasi

(M2P1) sebesar 375.58 g produksi/g P. Ini berarti dengan pemberian pupuk SP36

hanya25% dari dosis maka dapat menghasilkan produksi sebesar 375.58 g untuk tiap

gram P yang diberikan. Efisiensi agronomis ini berkaitan dengan nilai – nilai

agronomis dimana dalam pemupukan harus tetap memperhatikan efisiensi agar dosis

yang diberikan tepat.Snyder dan Bruulsema (2007) menyatakan bahwa efisiensi

agronomi dapat dikatakan sebuah formulasi untuk mengetahui seberapa besar

peningkatan produktivitas dibandingkan dengan peningkatan pupuk. Dengan dosis

pupuk 50% dari dosis rekomendasi sementara produksinya tidak lebih besar atau

sama dengan 100% dosis maka dapat dikatakan dosis 50% lebih efisien

penggunaannya.

yM0 = -224.1x2+ 343.3x + 11.62 R² = 0.372

yM1 = 3.909x2+ 54.2x - 1.653 R² = 0.403 yM2 = -382.5x2+ 458.0x + 78.12

R² = 0.300

-100,00 0,00 100,00 200,00 300,00 400,00

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

E fi si e n si A g ro n o m is ( g p ro d /g P )

Dosis SP36 (g)

(37)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Pemberian jamur pelarut fosfat (Talaromyces pinophilus) dapat meningkatkan serapan P tanaman sebesar 14%, efisiensi pemupukan P, serta

tinggi tanaman sebesar 13% dan berat kering tajuk sebesar 11%.

2. Pemberian pupuk P 25% dosis rekomendasi dapat meningkatkan P tersedia sebesar 16%, serta efisiensi serapan P dan efisiensi agronomis.

3. Interaksi pemberian jamur pelarut fosfat (Talaromyces pinophilus) denganpupuk SP36 25% dosis rekomendasi dapat meningkatkan efisiensi

serapan sebesar 387% dan efisiensi agronomis sebesar 288%.

Saran

Pemberian jamur pelarut fosfat (Talaromyces pinophilus) dengan pupuk P

25% dari dosis rekomendasi merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan

(38)

TINJAUAN PUSTAKA Andisol

Andisol adalah tanah yang umumnya terdapat di daerah dataran tinggi, yakni

di sekitar gunung berapi. Luas seluruhnya diperkirakan 5,39 juta ha atau sekitar

2,9% wilayah daratan Indonesia (Subagyo dkk, 2000). Andisol merupakan tanah

yang sangat berpotensi dalam pengembangan kegiatan budidaya pertanian. Selain

tanahnya yang subur, Andisol pada umumnya terdapat di dataran tinggi sehingga

cocok untuk budidaya tanaman hortikultura.

Bahan abu vulkan dari hasil erupsi gunung berapi yang menjadi bahan

pembentukan tanah Andisol mengandung material padat, cair, dan gas. Tampubolon

dkk (2014) menyatakan bahwa hasil erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

menyumbang unsur hara bagi tanaman, seperti kalium sebesar 2,4 ton/ha atau setara

4,7 ton pupuk KCl, fosfor sebesar 240 kg/ha atau setara 1,5 ton pupuk SP-36, dan

sulfur sebesar 120 kg/ha atau setara 0,4 ton kiserit. Adanya abu vulkan ini dapat

meningkatkan ketersediaan hara pada tanah Andisol dan dapat memperbaiki sifat

kimia tanah.

Andisol memiliki fraksi koloidal yang didominasi oleh mineral orde rentang

pendek atau mineral amorf. Adanya kandungan mineral amorf ini memberikan sifat

khas pada Andisol, seperti kandungan bahan organik tinggi, kapasitas absorbsi air

(water holding capacity) tinggi, porous, bulk density rendah, dan retensi fosfat tinggi

(Mukhlis dkk, 2011).

Dengan karakteristik sifat kimia yang menguntungkan untuk pertumbuhan

tanaman, namun Andisol masih memiliki kendala dalam pengembangannya. Ciri

(39)

permasalahan bagi tanah ini dalam menyediakan unsur P bagi tanaman. Ritonga

(2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Andisol yang terdampak erupsi

Sinabung memiliki kandungan P-total tanah sebesar 3517,27 ppm, namun P-tersedia

(Bray II) sebesar 99,30 ppm. Sementara Djazuli (2011) melaporkan P-tersedia pada

tanah Andisol di sebesar 3,06 ppm yang tergolong sangat rendah.

Adanya retensi P mengakibatkan pemupukan P menjadi kurang efisien.

Pupuk P yang diaplikasikan ke tanah tidak seluruhnya dapat diserap tanaman karena

sebagian besar P terjerap di permukaan koloid. Penjerapan (adsorbsi) P disebabkan

oleh adanya bahan mineral amorf yang memiliki gugus OH terbuka. Jerapan

non-spesifik terjadi melalui ikatan elektrostatis antara muatan positif mineral liat dengan

anion fosfat. Sementara jerapan spesifik terjadi melalui pertukaran ligan O dan/atau

OH pada mineral liat dengan anion fosfat (Mukhlis, 2011). Hal ini dibuktikan dalam

penelitian Pasaribu (2008) yang melakukan fraksionasi fosfat, dimana kandungan

Al-P sebesar 330 ppm pada saat dilakukan pemupukan P pada tanah Andisol.

Mariam dan Hudaya (2002) menyatakan bahwa peningkatan dosis pupuk P

pada tanah Andisol tidak meningkatkan P-tersedia secara linier, dimana P-tersedia

pada perlakuan kontrol sebesar 10,81 ppm, pada dosis 90 kg P2O5 / ha sebesar 11,09

ppm, pada dosis 180 kg P2O5 / ha sebesar 3,45 ppm, dan pada dosis 270 kg P2O5 / ha

sebesar 9,12 ppm. Oleh karena itu efisiensi pupuk P perlu dilakukan untuk

pemanfaatannya yang lebih baik pada tanaman.

Fosfor

Fosfor (P) merupakan unsur hara utama kedua yang dibutuhkan tanaman

setelah unsur hara nitrogen. Unsur ini merupakan bagian penting dari nukleoprotein

(40)

untuk deoxyribonucleic acid (DNA) yang membawa sifat – sifat keturunan

organisme hidup. Di dalam banyak hal senyawa fosfor mempunyai peranan dalam

pembelahan sel, merangsang pertumbuhan awal pada akar, pemasakan tanaman,

transport energi dalam sel, pembentukan buah dan produksi biji (Yulipriyanto,

2010).

Tanda atau gejala pertama tanaman kekurangan P adalah tanaman menjadi

kerdil. Bentuk daun tidak normal dan apabila defisiensi akut ada bagian-bagian

daun, buah dan batang yang mati. Warna ungu atau kemerah-merahan menunjukkan

adanya akumulasi gula yang sering ditunjukkan oleh tanaman jagung dan beberapa

tanaman lain yang kekurangan P, defisiensi P juga dapat menyebabkan penundaan

kemasakan (Winarso, 2005).

Fosfor di dalam tanah terdiri dari bentuk organik dan anorganik. P-organik

merupakan bentuk P yang lebih dominan 20 – 50 % di dalam tanah daripada bentuk

anorganik (Sanchez, 1992). Namun dalam hal ketersediaannya,

P-anorganik lebih mudah diserap oleh tanaman. Tanaman menyerap P dari tanah

dalam bentuk ion fosfat, seperti HPO42- dan H2PO4- yang merupakan bentuk

P-anorganik di dalam tanah yang akan lebih mobil dan dapat dengan mudah diserap

oleh tanaman.

Fosfor di dalam tanah seringkali menjadi permasalahan. Bentuknya yang

berupa anion akan dapat berikatan dengan senyawa lain sehingga menyebabkan P

menjadi tidak tersedia. Terdapat dua jenis reaksi fosfor di dalam tanah, yaitu (a)

penjerapan P oleh permukaan mineral tanah dan (b) pengikatan P oleh ion bebas

(41)

yang terbatas ini maka dibutuhkan penambahan P dengan pemberian pupuk fosfat

untuk meningkatkan produksi komoditi pertanian (Tilman et al., 2001).

Pada tanah – tanah masam, aktivitas besi dan aluminium meningkat dan Ca-P

yang dapat larut diubah menjadi Al-P dan Fe-P yang kurang dapat larut. Sementara

untuk tanah yang mengandung mineral amorf seperti Andisol, P akan terjerap di

permukaan koloid yang memiliki gugus OH yang terbuka sehingga menyebabkan P

tidak tersedia di larutan tanah (Mukhlis, 2011). Berdasarkan penelitian Tambunan

dkk (2014), efisiensi pemupukan P pada tanah Andisol yakni pada dosis 0,8 g

SP-36/tanaman dengan produksi 109,23 g/tanaman (7,28 ton/Ha) dan efisiensi serapan P

sebesar 11,55%.

Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba pelarut fosfat (MPF) merupakan kelompok mikroorganisme tanah

yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya

menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Mikroorganisme

pelarut fosfat ini dapat berupa bakteri (Pseudomonas, Bacillus), jamur (Aspergillus),

maupun aktinomisetes.

Adanya mikroba pelarut fosfat (MPF) diperkenalkan pertama kali oleh

Pikovskaya pada tahun 1948. Setelah dua dekade berjalan, pengetahuan mengenai

MPF ini semakin berkembang. Beberapa jenis mikroorganisme telah diisolasi dan

dibiakkan pada media kultur untuk mengetahui kemampuannya dalam melarutkan

fosfat. Dari kelompok bakteri, Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. telah diuji

kemampuannya, sementara dari kelompok jamur adalah Aspergillus sp. dan

(42)

Di dalam tanah, mikroba pelarut fosfat didominasi oleh bakteri hingga 50%

dan jamur 0,1 – 0,5 % dari total populasi. MPF diisolasi dari rizosfer maupun yang

bukan rizosfer, fillosfer, dan tanah yang banyak mengandung batuan P dengan

menggunakan metode yang diperkaya kultur teknis (Zaidi, et al., 2009). MPF

memanfaatkan garam ammonium ataupun yang sejenis sebagai sumber N untuk

siklus hidupnya. Oleh karena itu media biakan yang dikembangkan mengandung

senyawa – senyawa tersebut agar mikroba dapat hidup dan berkembang biak.

Mekanisme pelarutan P oleh mikroba pelarut fosfat terdiri dari dua jenis

mekanisme, yakni secara kimiawi dan biologi. Mekanisme pelarutan fosfat secara

kimia merupakan mekanisme pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh

mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut mengekskresikan sejumlah asam organik

berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, α

-ketoglutarat, asetat, formiat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat, malat, fumarat.

Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Perubahan

pH berperanan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Selanjutnya asam-asam

organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau

Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion

fosfat terikat dan oleh karena itu dapat diserap oleh tanaman (Ginting dkk, 2009).

Sementara pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme

tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase dan enzim fitase. Fosfatase

merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase

diekskresikan oleh akar tanaman dan mikroorganisme. Pada proses mineralisasi

bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik

(43)

memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa – senyawa organik menjadi bentuk

yang tersedia (Mullen, 1998).

Peningkatan ketersediaan P melalui pemanfaatan mikroba pelarut fosfat

dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Sembiring et al (2015), interaksi jamur pelarut fosfat

Talaromyces pinophilus dengan pupuk SP-36 meningkatkan P-tersedia tanah Andisol sebesar 71,65% pada dosis 10 ml jamur pelarut fosfat dan 75% dosis

rekomendasi pupuk P. Selain itu, produksi tanaman kentang juga mengalami

peningkatan sebesar 66,8% pada dosis 20 ml jamur pelarut fosfat dan 50% dosis

rekomendasi pupuk P.

Selain jamur, bakteri juga berperan dalam pelarutan fosfat di dalam tanah.

Burkholderia cepacia, yang sebelumnya dikenal dengan Pseudomonas cepacia, merupakan bakteri gram negatif yang belakangan diketahui kemampuannya dalam

melarutkan fosfat di dalam tanah. Bakteri ini terdapat di dalam tanah di daerah

sekitar perakaran (rizosfer) dan dalam keadaan yang lembab. Bakteri ini mampu

menjadi agen biologis dalam pengendalian penyakit tanaman karena bersifat

patogenik bagi penyakit tular tanah (soil borne disease). Selain itu B. cepacia

mampu mendegradasi senyawa toksik dalam tanah akibat bahan kimia dari pestisida

(Holmes et al., 1998).

Menurut Tamad dkk (2013), Pseudomonas sp. dapat meningkatkan

P-terlarut dari 30 menjadi 150-195 ppm P, meningkatk

Gambar

Tabel 1. Rataan nilai pH Tanah pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan beberapa dosis pupuk SP36 pH Tanah (pH HO)
Tabel 2. Rataan nilai P Total  pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan  beberapa dosis pupuk SP36 P Total (%)
Tabel 3. Rataan nilai P Tersedia pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan  beberapadosis pupuk SP36 P Tersedia (ppm)
Tabel 4. Rataan nilai Serapan P pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan  beberapadosis pupuk SP36
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memaksimalkan penggunaan komputer sebagai sarana teknologi informasi merupakan hal yang perlu dilakukan oleh PT Sukses Mandiri Utama untuk meningkatkan

Keluaran Jumlah Verifikasi Dokumen Permintaan Bantuan Keuangan.

 Pengertian populasi dan sampel  Macam-macam data matematika, menanya (berfikir divergen), menalar, mencoba dan membuktikan dan menyimpulka n o Pengertian statistik dan

As the conclusion, this research proved that Teaching vocabulary by using English comic as media could improve the ability in mastery vocabulary furthermore,

Mikrokontroler ini kompitabel dengan keluarga yang diproduksi oleh In- tel Inc USA. Untuk tipe 89C51 merupakan versi dengan EEP- ROM. Kode C menyatakan mikrokontroler dibuat

Setelah diberikan perlakuan atau pembelajaran IPA menggunakan strategi Problem Based Learning rata-rata nilai siswa naik menjadi 79,71 dengan standar deviasi sebesar

Selanjutnya hasil X-RD untuk masing-masing sample telah dianalisis oleh ICDD ( International Centre for Diffra- ction Data ). Pada sisi lain, permukaan dan ketebalan film tipis

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa novel Menggapai Matahari karya Adnan Katino memiliki nilai pendidikan rohani berupa nilai pendidikan