• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Prinsip Kehati-Hatian Dalam Penerapan Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Prinsip Kehati-Hatian Dalam Penerapan Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara"

Copied!
429
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PRINSIP KEHATI-HATIAN

DALAM PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA

DISERTASI

Oleh :

JUNI SJAFRIEN JAHJA 088101013/S3 HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

(Promosi Doktor)

Judul Disertasi : IMPLEMENTASI PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA

Nama : JUNI SJAFRIEN JAHJA

Nomor Induk Mahasiswa : 088101013

Program : Doktor (S3) Ilmu Hukum

MENYETUJUI KOMISI PEMBIMBING

Prof. Dr.Bismar Nasution, SH, MH Promotor

Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LLM

Co-Promotor Co-Promotor

Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM USU Dekan

(3)

TIM PENGUJI

Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Pertama-tama penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat ALLAH Yang Maha Pengasih lagi Penyayang atas segala rahmat dan karunianya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan, walaupun disana sini mungkin masih ada yang perlu mendapat perbaikan, penyempurnaan, dan arahan dari promotor, co-promotor maupun Tim Penguji guna memenuhi standar suatu disertasi.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah saya dengan segala kerendahan hati dan tulus menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH atas kemurahan hati dan uluran tangan Bapak bersedia menjadi Promotor yang sangat banyak memberikan bimbingan, arahan pada saat konsultasi setiap pentahapan yang diikuti mulai dari proposal, ujian prakwalifikasi, ujian kolokium, seminar hasil penelitian, ujian tertutup, dan perbaikan akhir disertasi ini sehingga memungkinkan penulis dapat mengikuti sidang ujian promosi doktor hari ini untuk mempertahankan disertasi pada Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara yang Agung dan Mulia ini.

(5)

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis tujukan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LLM selaku Co-Promotor, yang telah mengulurkan tangan dan sangat banyak memberikan bimbingan, arahan, mulai dari judul yang menjadi kajian Prinsip Kehati-hatian, bahan-bahan referensi yang amat mendasari dan mewarnai disertasi ini. Sikap tulus dari Bapak Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LLM yang setiap saat menyediakan waktunya ditengah-tengah kesibukan sebagai pejabat pada Bank Indonesia Jakarta, bahkan sikap Bapak Zulkarnain Sitompul yang selalu menanyakan perkembangan proses penyelesaian setiap tahapan disertasi ini, merupakan motivasi dan dorongan yang sangat kuat bagi penulis agar secepatnya menyelesaikan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Prof. Dr.Sunarmi, SH, M.Hum selaku anggota penguji di luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan pada setiap tahapan yang harus penulis lalui dalam menyelesaikan proses Pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tiada terhingga disampaikan kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr. Yunus Husein, SH, LLM selaku anggota penguji di luar komisi pembimbing yang dengan tulus selalu mendorong penulis untuk secepatnya menyelesaikan disertasi ini, bahkan Bapak Yunus Husein ditengah kesibu- kannya sebagai Ketua PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan) tetap dengan ramah memberikan masukan, bahan referensi dan juga memfasilitasi sehingga memudahkan penulis berkonsultasi dengan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) untuk memperoleh bahan yang lebih luas menyangkut tata kelola yang baik di bidang perusahaan dan kepemerintahan.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini bisa diselesaikan karena banyaknya juga bantuan dari berbagai pihak, baik yang sifatnya bantuan material maupun bantuan moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, Msc, (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Doktor;

(7)

3. Ketua Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH atas segala pelayanan, pengarahan dan dorongan yang diberikan kepada kami selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Saya juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh staf administrasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara seperti Juliani, Fitri, Fika, Herman, Udin dan yang lainnya atas bantuannya memberikan pelayanan adminsitrasi selama saya mengikuti pendidikan Program Doktor ini.

5. Banyak terima kasih saya sampaikan kepada Saudara Edi Yunus Nasution dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang telah bersusah payah membantu mengedit naskah disertasi ini semoga bantuannya ini mendapat pahala yang berlipat ganda dari ALLAH Swt.

6. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Bapak Intarto Mursihadi, SE, MM, QIA, Assistance Senior Manager GCG Implementation PT. Antam Tbk; dan yang terhormat Bapak Heru Priyono, SH, LLM Sekretaris Perusahaan, dan Ibu Dra Ira Aryanti Murmainah Kepala Seksi GCG Perum Bulog, yang telah memberikan segala perhatian dan bantuan selama saya melakukan penelitian pada PT. Antam Tbk dan Perum Bulog di Jakarta.

(8)

8. Kepada semua pihak yang telah berjasa, para guru dan sahabat-sahabat dekat, yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu dalam membantu menyelesaikan disertasi, dengan ketulusan yang mendalam saya mengucapkan terima kasih. Semoga amal baik mereka diterima oleh ALLAH Subhanahu Wa Taala dan mendapat balasan yang berlipat ganda.

Pada akhir kata pengantar ini, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtua, almarhum Ayah H. Jahja dan almarhumah Ibu Zaidar yang telah menanamkan dasar pemikiran dan pemahaman mengenai pentingnya menambah ilmu sepanjang hayat dikandung badan karena menuntut ilmu adalah Ibadah, hal mana telah memacu saya menghadapi tantangan tersebut. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Bapak Mertua H. Kadir Siregar dan Ibu Mertua Hj. Razmah Saniah Pohan yang selalu menasihati agar dalam bekerja jujur dan sederhana dalam kehidupan; Ucapan terima kasih tiada terhingga ditujukan kepada isteri tercinta Hj. Alfiah Hanum Siregar beserta kedua anak saya tercinta Ir. Afien Juni Jahja, MM dan Arfendi Juni Jahja, SH, MH, serta adik kandung saya Prof. Dr. Ir. Sudirman Jahja, yang dengan penuh pengertian dan kesabaran selalu memberi semangat serta do’a yang tulus agar saya dapat menyelesaikan program pendidikan doktor ini. Amin ya robbal alamin.

Medan, 15 Oktober 2010

(9)

INTISARI

IMPLEMENTASI PRINSIP KEHATI-HATIAN

DALAM PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA

Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini dimaksudkan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian (prudential) dan didukung oleh prinsip kepatuhan (compliance) dalam rangka penerapan good corporate governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian disebabkan diabaikannya filosofis yang terkandung dalam prinsip kehati-hatian yaitu “amanah” pada awal tugas dan “transparansi” pada saat melaksanakan kegiatan oleh setiap pengelola, demikian juga menjadikannya sebagai pedoman sekaligus pendorong bagi sumber daya manusia yang tersedia agar berperan optimal dalam tata kelola di bidang tugas masing-masing. Oleh karena itu prinsip kehati-hatian dan asas good corporate governance yang berintikan transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kewajaran bukan hanya diperuntukkan kepada bisnis perbankan saja tetapi juga dapat dijadikan pedoman dalam tata kelola perusahaan berbentuk Persero, Perum dan juga dalam sektor pemerintahan maupun swasta. Dalam menjalankan suatu aktivitas bisnis haruslah didasari oleh etika bisnis berupa moral dan etika yang merupakan roh dan jiwa Good Corporate Governance.

(10)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF PRUDENTIAL PRINCIPLES ON ENFORCEMENT OF GOOD CORPORATE GOVERNANCE

IN THE STATE OWNED ENTERPRISES

Research conducted in this dissertation are intended to reveal matters related to the application of the precautionary principle (prudential) and supported by the principle of adherence (compliance) in order to implement good corporate governance principles in State Owned Enterprises.

In managing State-owned Enterprise, it is quite frequent to get contravention of prudential principles because it breaks values of prudential principles due to negligence of the philosophy inherent in the prudential namely “fiduciary duty” at the beginning and “transparency” during in doing activities by State-owned Enterprises board.

It turns out to be a guidance and an encouragement at the human resources to optimize their good governance role in the respective field. Therefore prudential principles as well as good corporate governance, which basically consist of transparency, accountability, responsibility, independency and fairness do not only applicable for banking business but also able to be guidance in code of corporation of company limited, public company, other private sectors and also government. In doing business activities, be obliged to ethic business is the spirit of good corporate governance.

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... ... viii

DAFTAR BAGAN ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 31

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 32

D. Kerangka Teori dan Konsep ... 33

1. Kerangka Teori ... 33

2. Kerangka Konsep ... 50

E. Metodologi Penelitian ... 54

F. Asumsi ... 56

G. Sistematika Penulisan ... 57

(12)

A. Ruang Lingkup Corporate Governance ... 59

1. Sejarah Ringkas Corporate Governance ……….. 59

2. Teori dan Pengertian Corporate Governance ……….. 64

3. Jenis-jenis Corporate Governance……… 69

4. Good Corporate Culture (GCC) Sebagai Landasan GCG ………. 74

B. Praktik GCG di Dunia Internasional ... 82

1. Kejayaan Korporasi (The Triump of the Corporation) . 83 2. OECD Corporate Governance Principles ……… 88

3. Corporate Governance Framework ………. 91

4. Penerapan Corporate Governance di Beberapa Negara... 95

5. Penegakan Hukum Untuk Tata Kelola Perusahaan (law enforcement for good goverrnace )………... 112

C. Pedoman Umum GCG di Indonesia ... 115

1. Asas GCG ………. 118

2. Etika Bisnis dan Pedoman Perilaku ……….. 124

3. Organ Perusahaan ………. 131

4. Pemangku Kepentingan ……… 155

5. Pedoman Praktis Penerapan GCG ……… 159

D. Motivasi dan Proses Penerapan GCG di Indonesia ... 161

(13)

2. Pentahapan Penerapan GCG ... 168

a. Tahap Persiapan ... 168

b. Tahap Implementasi ... 170

c. Tahap Evaluasi ... 171

E. Penerapan GCG pada PT Aneka Tambang (Antam) Tbk ... 177

1. Persamaan dan Penghormatan Hak Asasi Manusia ... 191

2. Keselamatan Kesehatan Kerja Serta Lingkungan Pertambangan ... 193

3. Kesempatan Kerja yang Adil ... 196

4. Benturan Kepentingan (Conflict of Interest) ... 201

5. Pembayaran yang Tidak Wajar ... 205

6. Hadiah dan Hiburan ... 208

7. Hubungan dengan Pemerintah ... 210

8. Hubungan dengan Pemasok ... 211

9. Perdagangan Internasional ... 213

10. Kerahasiaan Informasi ... 215

11. Pengawasan dan Penggunaan Aset ... 219

12. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) ... 220

F. Penerapan GCG pada Perum BULOG …………... 229

1. Tanggung Jawab Kepada Pemilik Modal ………. 236

(14)

3. Hubungan dengan Konsumen ……….. 238

4. Hubungan dengan Mitra Kerja ………. 239

5. Hubungan dengan Insan Perusahaan ... 240

6. Hubungan Antar Insan Perusahaan ... 242

7. Integritas, Keterbukaan dan Akurasi Akuntansi ... 244

8. Kerahasiaan Informasi ... 245

9. Benturan Kepentingan... 246

10. Praktik Suap ... 248

11. Bantuan, Donasi, Jamuan dan Hadiah ... 249

12. Sumbangan Kegiatan ... 252

13. Tanggung Jawab Sosial ... 253

G. Analisis ……….. 259

Hasil Penelitian pada PT Antam Tbk dan Perum Bulog…… 259

BAB III : PERSOALAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK NEGARA ……….. 264

A. Ruang Lingkup Prinsip Kehati-hatian yang Ideal ………... 264

1. Pengertian Prinsip Kehati-hatian (Prudential) ………. 264

(15)

3. Aspek Hukum Prinsip Kehati-hatian pada Perbankan

di Indonesia ... 269

4. Pengertian Kepatuhan (Compliance) ... 276

5. Dukungan Prinsip Kepatuhan (Compliance) pada Prinsip Kehati-hatian Dalam Rangka GCG ... 277

6. Kriteria Acuan Prinsip Kehati-hatian di Perbankan ... 278

7. Standard Acuan Prinsip Kehati-hatian Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ………. 280

8. Kriteria Acuan Prinsip Kehati-hatian di BUMN ... 281

B. Ruang Lingkup Hubungan Fidusia (Amanah) ... 284

1. Good Faith (Bertindak dengan Itikad Baik) ... 284

2. Fiduciary ... 289

C. Aspek Hukum Pidana Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian Dalam Konteks GCG yang Menarik Perhatian Masyarakat .. 294

1. Kasus ECW Nelloe (Mantan Dirut Bank Mandiri) ... 294

2. Kasus Widjanarko Puspoyo (Dirut BULOG) ... 296

D. Perbedaan Penafsiran tentang Keuangan Negara ... 297

E. Pertanggungjawaban Penyelewengan Terhadap Kekayaan Negara Dalam BUMN ... 309

1. Pertanggungjawaban Perdata ... 309

2. Pertangungjawaban Pidana ... 311

(16)

BAB IV : UPAYA PENGEFEKTIVAN IMPLEMENTASI PRINSIP

KEHATI-HATIAN ... 320

A. Komitmen dan Konsistensi Penerapan Prinsip Kehatihatian . 320 B. Hubungan Antara Budaya Korporasi dan Kinerja …… 339

C. Pedoman Umum Good Public Governance (GPG) Indonesia ……… 348

D. Program Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN……… 352

E. Rating ……… 378

F. Komunitas Pengusaha Anti Suap (KUPAS)……….…. 381

G. Jalur Pengaduan di Pertamina(Whistle Blowing System) …. 382 H. Analisis 385

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………. 386

A. Kesimpulan ... 386

B. Saran ……….. 390

(17)

DAFTAR TABEL

1. Penerapan GCG pada ANTAM ………. 223

2. Penerapan GCG pada Perum BULOG ……….. 254

3. Kriteria Acuan Prinsip Kehati-hatian di Perbankan ……….. 278

4. Kriteria Acuan Prinsip Kehati-hatian di Badan Usaha Milik Negara (BUMN)………. 281

5. Sepuluh BUMN untung ………. 358

6. Sepuluh BUMN rugi ……….. 358

7. Komposisi BUMN ………. 359

8. Kategori Pemeringkatan CGPI 2006………. 380

9. Kategori Prestasi Perusahaan Sangat Terpercaya……….. 380

(18)

DAFTAR BAGAN

(19)

INTISARI

IMPLEMENTASI PRINSIP KEHATI-HATIAN

DALAM PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA

Penelitian yang dilakukan dalam disertasi ini dimaksudkan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-hatian (prudential) dan didukung oleh prinsip kepatuhan (compliance) dalam rangka penerapan good corporate governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian disebabkan diabaikannya filosofis yang terkandung dalam prinsip kehati-hatian yaitu “amanah” pada awal tugas dan “transparansi” pada saat melaksanakan kegiatan oleh setiap pengelola, demikian juga menjadikannya sebagai pedoman sekaligus pendorong bagi sumber daya manusia yang tersedia agar berperan optimal dalam tata kelola di bidang tugas masing-masing. Oleh karena itu prinsip kehati-hatian dan asas good corporate governance yang berintikan transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kewajaran bukan hanya diperuntukkan kepada bisnis perbankan saja tetapi juga dapat dijadikan pedoman dalam tata kelola perusahaan berbentuk Persero, Perum dan juga dalam sektor pemerintahan maupun swasta. Dalam menjalankan suatu aktivitas bisnis haruslah didasari oleh etika bisnis berupa moral dan etika yang merupakan roh dan jiwa Good Corporate Governance.

(20)

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF PRUDENTIAL PRINCIPLES ON ENFORCEMENT OF GOOD CORPORATE GOVERNANCE

IN THE STATE OWNED ENTERPRISES

Research conducted in this dissertation are intended to reveal matters related to the application of the precautionary principle (prudential) and supported by the principle of adherence (compliance) in order to implement good corporate governance principles in State Owned Enterprises.

In managing State-owned Enterprise, it is quite frequent to get contravention of prudential principles because it breaks values of prudential principles due to negligence of the philosophy inherent in the prudential namely “fiduciary duty” at the beginning and “transparency” during in doing activities by State-owned Enterprises board.

It turns out to be a guidance and an encouragement at the human resources to optimize their good governance role in the respective field. Therefore prudential principles as well as good corporate governance, which basically consist of transparency, accountability, responsibility, independency and fairness do not only applicable for banking business but also able to be guidance in code of corporation of company limited, public company, other private sectors and also government. In doing business activities, be obliged to ethic business is the spirit of good corporate governance.

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, sedangkan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peranan Negara untuk mewujudkannya melalui kegiatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendapatkan legitimasi dari konstitusi Negara.1 Namun demikian pada tataran pelaksanaannya haruslah senantiasa dalam naungan filosofis agar kepentingan umum terpenuhi dan kesejahteraan masyarakat dapat pula diwujudkan.

BUMN yang seluruh atau sebagian besar modalnya berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping usaha swasta dan koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran yang satu sama lain saling mendukung berdasarkan sistem demokrasi ekonomi.2

1

Fahri Hamzah, Negara, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Yayasan Faham Indonesia 2007), hal 18. Lihat juga Pandji Anoraga, BUMN Swasta dan Koperasi, Tiga Pelaku

Ekonomi, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal. 90.

2

(22)

Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. BUMN juga merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam berbagai jenis pajak, dividen dan hasil privatisasi.

Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi, transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.

Penataan sistem pengelolaan dan pengawasan BUMN telah dilakukan Pemerintah pada waktu yang lalu dan diharapkan dapat terus berlanjut. Salah satu langkah yang telah dilakukan adalah penataan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur BUMN. Pada Tahun 1960 telah dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 dengan tujuan mengusahakan adanya keseragaman dalam cara mengurus dan menguasai serta bentuk hukum dari badan usaha negara yang ada.

(23)

pada ketentuan Indonesische Bedriyvenwet (Stbl 1927: 419), Perusahaan Umum (Perum) yang sepenuhnya tunduk pada ketentuan Kitab Undang-undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 dan Perusahaan Perseroan (Persero) yang sepenuhnya tunduk pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Stbl. 1847: 23) khususnya pasal-pasal yang mengatur perseroan terbatas yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995, selanjutnya diganti lagi dengan Undang-Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.3 Secara khusus dalam rangka membina BUMN, Kementerian BUMN telah menerbitkan Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN dan juga oleh Pemerintah telah diberlakukan

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, sebagai manifestasi keinginan Pemerintah untuk meningkatkan peran BUMN dalam kegiatan bisnis di Indonesia. Pada tahun 2005 Pemerintah menghadapi peraturan perundang-undangan terkait penataan Tata Kelola BUMN dengan mengundangkan 4 (empat) peraturan pemerintah, yaitu:

3

Ibid., hal. 3-4. Dapat ditambahkan bahwa aspek hukum yang mengatur perseroan terbatas merupakan ketentuan yuridis yang menata hubungan hukum secara perdata, yang dituangkan dalam Anggaran Dasar suatu perseroan. Aspek hukum perseroan terkait juga dengan aspek hukum publik, yaitu ketika perseroan menjadi suatu badan hukum yang berbentuk perusahaan terbuka (Tbk). Status sebagai perusahaan terbuka ini mewajibkan perseroan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang berbeda dengan kewajiban-kewajibannya sebagai perusahaan tertutup. Kerangka hukum perusahaan di Indonesia dalam kaitannya dengan implementasi GCG, perlu ditelaah terlebih dahulu organ-organ suatu perseroan yang merupakan roda penggerak dari perusahaan tersebut, yaitu RUPS, direksi dan komisaris. Lihat Indra Surya & Ivan Yustiavanda, Penerapan Good Corporate Governance:

Mengesampingkan Hak-hak Istimewa demi Kelangsungan Usaha, (Jakarta : Kencana & LKPMK FH

(24)

(1) PP no. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero)

(2) PP no. 43 Tahun 2005 tetang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Perubahan Bentuk Badan Usaha Milik Negara.

(3) PP no. 44 Tahun 2005 tetang Tata Cara Pengaturan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. (4) PP no. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan

Pembubaran Badan Usaha Milik Negara

Menurut Ibrahim R, mulai dari awal pembentukannya hingga saat ini, BUMN dapat dibagi ke dalam beberapa generasi secara periodik sebagai berikut4 :

Generasi Pertama (1945-1959), dimana BUMN dipakai untuk mengembangkan usaha public utilities dan hajat hidup orang banyak, bersifat strategis, dan penguasaan oleh negara dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Generasi Kedua (1959-1974), yaitu pengambilalihan semua perusahaan Belanda melalui Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958, sehingga peranan negara semakin dominan atau disebut masa etatisme. Jumlah perusahaan yang dinasionalisasikan sekitar 557 buah. Ketika terjadi perubahan rezim pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru, pelaku ekonomi masih didominasi BUMN dengan 644 buah. Namun sistem ekonomi etatisme ini kemudian mulai bergeser ke arah pasar bebas dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

Generasi Ketiga (1974-1982), berawali ketika oil boom terjadi tahun 1973 yang mendorong pemerintah melakukan ekspansi besar-besaran dengan mendirikan BUMN. Namun kondisi ini hanya berjalan satu dasawarsa karena harga minyak merosot sepuluh tahun kemudian (1983). Dalam situasi yang demikian pemerintah melakukan pengetatan anggaran, atau istilah populernya ”kencangkan ikat pinggang”, yang diikuti oleh langkah kebijakan pemerintah tentang tax reform. Pada periode ini,

(25)

sisa-sisa sektor public utilities yang dicanangkan untuk BUMN mengalami transformasi menuju privatisasi.5

Generasi Keempat (1982-2020), diawali pada era globalisasi yang makin populer seiring dengan kemajuan Iptek, sehingga hampir tidak ada negara yang dapat menolaknya. Pada periode ini, negara terlibat aktif dalam pembangunan ekonomi.6

Dalam teori ekonomi klasik, negara dilarang ikut campur dalam urusan ekonomi. Namun setelah Perang Dunia I (1914-1918), terjadinya krisis ekonomi dunia terparah pada tahun 1929-1932 dan tendensi ketimpangan perdagangan dunia menghendaki ikut campurnya negara dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, sehingga melahirkan konsep ”negara kesejahteraan” (welfare state) yang dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt (1933-1945) dengan New Deals Social Security Act 1935, yang perkembangannya di Amerika Serikat mencapai klimaks pada pemerintahan Presiden Lyndon Baines Johnson (1963-1979). Namun Perdana Menteri Inggris Margaret Thetcher kemudian

5

Sektor public utilities merupakan sektor yang menuntut monopoli, sebab prinsip utama dalam mengawasi dan mengontrol BUMN public utilities adalah terjaminnya mekanisme kontrol sosial yang efektif, menindak manajemen BUMN, apabila terbukti tidak mampu menyediakan pelayanan jasa secara baik, benar, wajar, dan adil, disanalah letak masalahnya. Menyangkut social

accountability yang bersifat politik dan biasanya manajemen BUMN public utilities ditunjuk

berdasarkan kriteria politis. Berarti komitmen, kesadaran, dan moral merupakan payung. Rakyat berhak menuntut balik, apabila tidak terpenuhinya, di situlah letak keseimbangan makna socio

democracy yang dicita-citakan the founding fathers. Ibid.

6

Sebagai contoh Cina adalah negara yang mengendalikan begitu banyak perusahaan publik. Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas dari laporan keuangan secara negatif terkait dengan tingkat kepemilikan negara, baik ketika menjelang dan sesudah IPO. Selain itu juga ada hubungan yang bersifat nonlinear tingginya kepemilikan pemerintah adalah sama dengan memperburuk kinerja perusahaan (dengan menghitung berdasarkan market to book assets dan return

on assets) ketika ownership pemerintah sedikit, tetapi perbaikan kinerja perusahaan meninggi ketika ownership pemerintah besar. Pengamatan terhadap pergerakan saham-saham BUMN Cina ketika

diprivatisasi pemerintah ternyata bisa mengurangi kesenjangan (gap) antara cash flow rights dan

control rights BUMN. Di samping itu, adanya abnormal return positif yang lebih tinggi ketika pemilik

(26)

membongkar peranan negara kesejahteraan tersebut dengan melibatkan lebih banyak masyarakat dengan privatisasi perusahaan negara yang kemudian menjadi trend dunia, dan hampir tidak ada negara yang tidak ikut ambil bagian.7

Konsep keterlibatan negara dalam bidang ekonomi secara riil untuk pertama kali dikemukakan oleh Beveridge, seorang anggota Parlemen Inggris, dalam laporannya yang mengandung suatu program sosial, yaitu pemerataan pendapatan masyarakat, kesejahteraan sosial sejak manusia lahir sampai meninggal dunia, penyediaan lapangan kerja, pengawasan atas upah oleh pemerintah, dan usaha dalam bidang pendidikan.8

Di dalam laporan Beveridge tersebut terkandung konsep negara kesejahteraan, yang akhirnya meluas dan diterima oleh banyak pihak. Tahap perkembangan selanjutnya, sejak tahun 1883, Kanselir Jerman Otto Von Bismarck memperkenalkan Asuransi Sosial yang dibiayai oleh pemerintah dan pada tahun 1889 lahirlah Undang-Undang Pensiun, yang memberikan pensiun kepada pekerja di usia 70 tahun. Selanjutnya Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt, 46 tahun kemudian mempertegas dan mempopulerkan kembali konsep negara kesejahteraan tersebut dengan program New Deals Social Security Act 1935.9

Namun di era globalisasi sekarang ini, konsep keterlibatan negara dalam segala bentuk kehidupan masyarakat, menjadi tidak populer lagi karena

7

Ibrahim R, Op. Cit., hal. 10-15. 8

Ibid. 9

(27)

ketidakmampuannya menangani masalah birokrasi yang “jelimet” sebagai penghambat dan melahirkan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Perubahan itu diawali oleh dua pemain utama dunia dalam kontak global, yaitu Margater Thetcher dan Mikhail Gorbachev. Perdana Meteri Inggris Margaret Thetcher membongkar peranan negara kesejahteraan, sehubungan dengan pekerjaan, perawatan medis, jaminan sosial, dan lainnya, yang dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah, sedangkan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev membongkar ekonomi kekuasaan dari negara sosialis dan sekaligus mengakhiri perang dingin. Fokus pertentangan ideologi politik telah bergeser kepada ideologi ekonomi. Perang di era global sekarang ini adalah perang untuk menguasai potensi sumber daya ekonomi, yang dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan ketergantungan negara maju terhadap sumber daya ekonomi tersebut.10

Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1929 telah mendorong banyak negara bersifat aktif untuk dapat mensejahterakan warga negaranya. Untuk itu negara dituntut terlibat langsung (ikut campur) dalam segala aspek kehidupan sosial, dengan adagium bahwa negara bertanggung jawab atas kesejahteraan setiap warga negaranya mulai dari buaian ibu sampai masuk liang kubur (from the cradle to the grave). Dalam perkebangan selanjutnya boleh dikatakan tidak ada satupun aspek kehidupan yang lepas dari campur tangan negara. Peran sentral negara yang cukup dominan tersebut dapat bertahan hingga tahun 1960-an karena negara sudah terlibat terlalu

10

(28)

jauh ke dalam kehidupan masyarakat. Namun ironisnya bukannya masyarakat semakin sejahtera, justru yang terjadi sebaliknya.11

Berangkat dari kondisi yang demikian itu, Inggris mulai dari tahun 1980 hingga 1988 merubah perusahaan negara menjadi perusahaan swasta dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga keberhasilan itu menjadi model utama dalam perubahan global dari negara kesejahteraan (welfare state) menjadi privatisasi atau penswastaan BUMN. Hal ini kemudian menjadi tren dunia, sehingga hampir tidak ada satu negara pun yang tidak ikut, tidak terkecuali Indonesia. Negara yang memiliki tradisi demokrasi dan negara maju yang mengikuti jejak Inggris itu pada dasarnya berhasil, sedangkan negara-negara berkembang kebanyakan salah urus dalam privatisasi, termasuk Indonesia.12

Di negara-negara yang menganut paham ekonomi sosialis, kebebasan dan persaingan usaha sangat erat kaitannya dengan struktur sosial secara keseluruhan. Oleh sebab itu kebebasan dan persaingan usaha dalam suatu susunan masyarakat yang tidak adil akan mengukuhkan ketidakadilan itu sendiri. Oleh sebab itu negara atau pemerintah harus mengambil peran tertentu secara lebih aktif agar pihak-pihak yang lemah dapat dilindungi dari pihak-pihak yang kuat karena mereka memiliki kekuasaan. Secara moral dan politik, campur tangan pemerintah di bidang ekonomi

11

Ibid, hal. 8. 12

(29)

dapat dibenarkan dan bersifat mutlak agar keadilan dan kesejahteraan bersama dapat diwujudkan bagi semua anggota masyarakat.13

Menurut pendukung paham ekonomi sosialis, satu-satunya cara untuk melepaskan masyarakat dari penghisapan kapitalis adalah dengan merebut kembali seluruh cara produksi, distribusi dan pertukaran agar bisa dimiliki kembali oleh masyarakat dan dioperasikan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa pemerintah yang seharusnya mengambil-alih dengan cara membeli atau menyita. Pengendali tertinggi ekonomi yaitu pemerintah yang seharusnya mendistribusikan barang-barang ekonomi kepada rakyat banyak sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai manusia, bukan karena produktivitas ekonomi mereka sendiri.14

13

Effendi Choiri; Privatisasi versus Neo Sosialisme (Jakarta: LPES, 2003), hal 27.

Dapat ditambahkan bahwa sosialisme sebagai sistem ekonomi merupakan lawan dari sistem ekonomi kapitalis. Secara sederhana sosialisme dapat dipahami sebagai suatu sistem ekonomi dengan cara produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa dimiliki dan dioperasikan oleh publik. Menurut paham kaum sosialis, negara adalah suatu organisasi yang paling representatif, sehingga konsepsi “dimiliki dan dioperasikan oleh publik” artinya kuasa kepemilikan dan operasionalisasi berada di tangan pemerintah atau negara. Sosialisme sebagai ideologi politik, dan dalam kaitannya dengan kontrol di bidang ekonomi, penganut paham ini meyakini bahwa negara perlu mengembangkan perencanaan ekonomi dan pengendalian pasar. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya eksploitasi sekelompok orang atas kelompok lain, dan selain itu untuk menjamin berlangsungnya distribusi keadilan dan kesejahteraan bagi setiap orang. Lihat Austin Ranney, Governing: An

Introduction to Political Science, 7th Edition, (London: Prentice Hall International, Inc., 1996), hal.

81. 14

(30)
(31)

mengakibatkan penurunan investasi dan produksi secara drastis serta lapangan kerja semakin terbatas.15

Secara umum pemerintah Amerika Serikat tidak terlalu jauh mencampuri perekonomian dengan mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).16 Namun demikian ditemukan adanya perusahaan disektor publik seperti Tennessee Valley Authority is a federally owned corporation in the United States created by

congressional charter in May 1933 to provide navigation, flood control, electricity

generation, fertilizer manufacturing, and economic development in the Tennessee

Valley.17

Untuk menjadikan BUMN kelas dunia, langkah awal yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan mengelompokkan 144 BUMN menjadi sepuluh holding company pada tahun 1999. Dasar pertimbangannya, sebagaimana

diamanatkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003, bahwa BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 1 Undang-undang ini membedakan BUMN menjadi tiga bentuk: (1) perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki oleh negara, dan tujuan utamanya mengejar keuntungan; (2) perusahaan perseroan terbuka, yang selanjutnya disebut persero terbuka, adalah persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau

15

Ibid, hal. 32-33.

(32)

persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan pasar modal; dan (3) perusahaan umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik.18

Dalam dunia usaha posisi perusahaan yang berstatus BUMN sangat penting dan strategis untuk menggerakkan kegiatan pembangunan di bidang ekonomi yaitu dengan meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang mampu pula meningkatkan kualitas dan layanannya, terutama dalam rangka menghadapi globalisasi dan liberalisasi perekonomian dunia yang semakin kompleks. Oleh karena itu, terciptanya iklim usaha yang kondusif, sehat dan efisien sangat diperlukan agar kesempatan luas terbuka bagi badan usaha termasuk BUMN untuk tumbuh dan berkembang secara sehat.

Secara keseluruhan, kegiatan badan usaha memberikan kontribusi besar kepada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Sumbangan ini akan mengarah kepada perbaikan standar hidup masyarakat dan turunnya angka kemiskinan. Pencapaian yang demikian tentunya akan mendorong terciptanya keadaan politik yang stabil. Sudah barang tentu pula pengelolaan badan usaha dengan baik menjadi sangat penting karena dengan pengelolaan badan usaha yang berkualitas akan

18

(33)

memungkinkan terwujudnya efisiensi, yang pada gilirannya badan usaha tersebut dapat digunakan untuk menghasilkan akumulasi asset, memiliki kemampuan untuk menarik modal yang beresiko kecil, berkemampuan untuk memenuhi harapan masyarakat dan sekaligus meningkatkan kinerja perusahaan.

Negara sebagai regulator berkepentingan agar eksistensi perusahaan-perusahaan termasuk BUMN hendaknya tetap terjaga, karena perusahaan-perusahaan merupakan sumber perolehan pajak dan ketersediaan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang cukup banyak. Untuk itu negara berkewajiban menciptakan iklim usaha yang mendukung pertumbuhan bagi eksistensi perusahaan-perusahaan tersebut. Namun demikian, negara juga berkewajiban untuk melindungi kepentingan umum apabila ada perusahaan yang secara nyata melanggar undang-undang atau peraturan hukum positif yang berlaku.

(34)

fungsi BUMN baik sebagai pelopor/perintis maupun sebagai penyeimbang kekuatan swasta besar, juga belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.19

Secara umum, saat ini BUMN cenderung dibebani dengan berbagai tugas yang selain tidak produktif, bahkan cenderung mendistorsi kegiatan utama dari perusahaan tersebut, misalnya membina kegiatan jenis-jenis olah raga tertentu, sponsor kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan core business. Makin banyaknya biaya jenis ini akan menurunkan tingkat efisiensi perusahaan. Dari sisi pendapatan, terlalu rendahnya pendapatan yang diperoleh BUMN bisa bersumber dari rendahnya harga penjualan produk BUMN tersebut.

Semenjak BUMN beroperasi memang banyak persoalan dan tantangan besar yang dihadapi, antara lain sebagian besar BUMN menderita kerugian yang cukup signifikan karena dikelola secara tidak efisien dan produktivitas yang rendah sehingga aneka bentuk perusahaan negara ini tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam persaingan bisnis baik di pasar domestik maupun internasional. Beberapa faktor yang menyebabkan pengelolaan sebagian besar BUMN tidak efisien sehingga mengalami kerugian dan menjadi beban keuangan negara antara lain20 :

19

Ibid, hal. 27-28

20

(35)

1. Kaburnya status hukum dan struktur organisasi BUMN, tidak jelas apakah BUMN merupakan suatu pelaku ekonomi yang memiliki otonomi penuh ataukah hanya sebagai pelaksana atau bagian dari struktur organisasi suatu departemen.

2. Mayoritas BUMN tidak memiliki budaya perusahaan (corporate culture), visi dan misi perusahaan.

3. Kurangnya jiwa entrepreneur dan profesionalisme SDM yang mengelola BUMN, sehingga kinerja dan produktivitas sangat rendah.

4. BUMN tidak dikelola dengan prinsip-prinsip manajemen bisnis yang baik (GCG) sebagai akibat dari campur tangan pemerintah yang terlalu besar atau dominan dalam operasional perusahaan.

Fenomena BUMN ini sebenarnya berlaku dalam sistem ekonomi manapun, termasuk di negara-negara kapitalis liberal. Dalam hal mengawasi dan mengontrol diperlukan terjaminnya suatu mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk menindak manajemen apabila terbukti tidak mampu menyediakan pelayanan barang dan jasa secara baik, benar, wajar, dan adil. Namun dari sisi lain, salah satu persoalan pokok adalah menyangkut social accountability yang bersifat politik, sebab manajemen BUMN biasanya ditunjang berdasarkan kriteria politik. Keterkaitannya yang begitu

(36)

erat dengan politik menjadikan BUMN sebagai bagian dari birokrasi yang absurditas, yang sering berakibat kepada kepentingan status quo kekuasaan politik, seperti di Indonesia yang masih bermental “monarki absolut kapiten”, yang kebal dari segala kritik, sehingga membuat BUMN cenderung maju-mundur dan tidak mampu bersaing. Munculnya berbagai kendala yang dihadapi adalah karena tidak adanya grand unified design dalam pengelolaan ekonomi Indonesia berdasarkan Pasal 33

UUD 1945, yang diperankan oleh BUMN bersama-sama dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi untuk mengimplementasikan hak-hak konstitusional publik.21

Dalam perekonomian modern yang sudah sedemikian kompleks seperti sekarang ini, campur tangan pemerintah terhadap kegiatan ekonomi merupakan sesuatu hal yang mutlak. Tugas pemerintah atau para birokrat tidak lagi hanya mengurusi bidang sosial dan politik, tetapi juga mengurusi masalah-masalah perekonomian. Sulit dibayangkan bagaimana jadinya sistem dan mekanisme perekonomian modern tanpa adanya peranan pemerintah. Banyak ahli ekonomi berpandangan sama bahwa negara atau birokrasi adalah entitas kelembagaan yang paling dominan dan sangat berpengaruh dalam kehidupan ekonomi suatu negara, karena ditangan negaralah tergenggam kewenangan politik dan sumber-sumber daya ekonomi yang sangat besar. Campur tangan negara atau pemerintah ini semakin dirasakan urgent bila sudah menyangkut keadilan. Untuk itu pemerintah diminta

21

(37)

bertindak tegas dan bijaksana dalam membuat peraturan yang pada akhirnya untuk melindungi masyarakat banyak. Dengan kata lain, dunia bisnis tidak pernah bebas dari rambu-rambu aturan hukum. Namun perlu dicatat bahwa dunia bisnis tidak bisa diikat atau dibelenggu dengan peraturan perundang-undangan yang rumit karena pada gilirannya akan mematikan kegiatan bisnis itu sendiri.22

Menurut Sofyan A Djalil, semasa menjabat Menteri Negara BUMN, bahwa pengelolaan BUMN melalui prinsip-prinsip korporasi dinilai lebih efektif dibandingkan dengan pengelolaan BUMN dengan menggunakan sistem birokrasi yang dilakukan oleh Kementrian BUMN. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjadikan BUMN yang sehat, berdaya saing tinggi dan memiliki nilai tambah bagi negara, khususnya bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat.23

BUMN sebagai korporasi memainkan peran sentral dalam sistem perekonomian Indonesia. Di samping menjalankan fungsi-fungsi produksi serta

22

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik, Paradigma dan Teori Pilihan Publik, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 113-127.

23

(38)

distribusi barang dan jasa, korporasi juga memiliki peranan penting karena terlibat secara langsung dalam proses alokasi sumber daya yang bersifat ekonomis bagi masyarakat. Peranan ini sangat penting mengingat keberadaan sumber daya yang bersifat ekonomis sangat terbatas dan oleh karenanya harus dapat dialokasikan seoptimal mungkin. Korporasi atau perusahaan pada dasarnya didirikan oleh pemilik dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit motive) dan tujuan-tujuan lain yang diinginkan pemilik, termasuk sustainable profit. BUMN yang mayoritas atau bahkan seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah dan menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara sederhana, BUMN diharapkan mampu memberi kontribusi berharga bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder).24

Namun demikian, BUMN sebagai korporasi bukanlah “mahluk” immortal yang selalu dapat memberi keuntungan dan tetap bertahan dalam lingkungan bisnis yang terus berubah. Bagaikan tubuh manusia, BUMN dapat terkena virus bahkan virus mematikan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Serangan virus internal antara lain adalah rendahnya penerapan GCG, sehingga tidak ada kewajaran (fairness), transparansi dan akuntabilitas dalam transaksi bisnis; tidak berfungsinya sistem perencanaan dan kurang berdayanya komisaris sebagai pengawas. Virus eksternal menyerang perusahaan dalam bentuk intervensi pihak luar yang berkuasa

24

I Nyoman Tjager, et.all, Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan Bagi

(39)

terhadap pengambilan keputusan bisnis oleh direksi sehingga independensi tidak muncul.25

Ditengarai bahwa sudah sejak lama BUMN terjangkit virus yang sangat berbahaya, yang mengancam keberlangsungannya yakni praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Praktik KKN bukan saja dapat menyerang dan menimbulkan kehancuran pada daya tahan perusahaan, melainkan juga telah membuat daya tahan perekonomian Indonesia ambruk.

Praktek KKN jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip GCG. Hancurnya kemampuan dan kekuatan BUMN tidak lain karena BUMN sangat mengharamkan masuknya model pengelolaan usaha seperti yang ada di dalam desain GCG.26 Di lingkungan BUMN seringkali terjadi praktik mark-up di mana para pengusaha dengan dukungan (backup) penguasa mendapatkan kontrak sebagai pemasok maupun distributor dengan harga yang amat mahal. Dampak dari mark-up ini adalah tingginya biaya operasi BUMN dan pada gilirannya menimbulkan kerugian pada BUMN sehingga masyarakat konsumen harus membayar produk atau jasa yang dibutuhkannya dengan harga yang tidak sesuai dengan apa yang didapatkannya.27

25

Lihat misalnya Michael Teng, Corporate Turn Around, Nursing A Sick company Back to

Health, (Singapore: Printice hall, Inc, 2002), hal. 18. 26

Indra Safitri, “Good Corporate Governance pada Emiten dan BUMN”, 22 November 2002, BUMN-Online 2000-2002.

27

Beberapa jenis penyimpangan di lingkungan BUMN antara lain : (1) pemberian paket renumerasi yang berlebihan kepada Direksi yang tidak mencerminkan keterkaitan dengan pencapaian target kinerja, dan adanya penyalahgunaan fasilitas BUMN untuk manajemen; (2) terlalu kuatnya pemegang saham sehingga dalam pemberian paket renumerasi tidak merangsang direksi untuk mengeluarkan usaha terbaiknya bagi kepentingan BUMN; (3) transaksi bisnis dengan pihak luar yang dilakukan manajemen tidak memperhatikan kepentingan pemegang saham; (4) penyusunan sistem past

(40)

Terlebih-lebih pada pertengahan 1990 hingga saat ini, “kata kunci” dalam era globalisasi ini adalah persaingan. Perusahaan-perusahaan yang tidak efesien, dengan produktivitas dan kualitas produk dan layanan yang rendah serta kinerja keuangan yang buruk, sudah pasti tidak akan mampu bersaing dalam era di mana berlangsung persaingan bebas tanpa proteksi, tanpa subsidi, dan tanpa monopoli. Sekonyong-konyong perusahaan asing yang jauh lebih sehat, ramping, efisien, profesional dan berkualitas memasuki pekarangan rumah kita dan bersaing dengan perusahaan-perusahaan termasuk BUMN yang selama tiga dasa warsa menikmati proteksi, subsidi dan monopoli. Berbagai bentuk penyimpangan karena lemahnya penerapan prinsip-prinsip GCG dalam praktik bisnis yang tidak sehat muncul ke permukaan dan kondisi-kondisi tersebut yang juga merupakan kondisi umum korporasi-korporasi di negara-negara Asia pencipta “economic miracel” telah membawa kepada krisis finansial yang sangat mengejutkan di tahun 1997-1998, karena ketidaksiapan negara-negara tersebut menghadapi era globalisasi pasar bebas yang secara resmi dimulai dengan dibentuknya World Trade Organization (WTO).28

Berdasarkan diagnosis atas kondisi BUMN yang telah dilakukan memperlihatkan ketidaksiapan BUMN untuk menghadapi lingkungan bisnis yang terus berubah. Tuntutan kualitas, teknologi, dan globalisasi atau internasionalisasi

BUMN; (5) direksi melakukan strategi diversifikasi/ekspansi untuk meningkatkan ukuran perusahaan demi prestisi dirinya tanpa memperhatikan dampaknya pada kinerja perusahaan; (6) intervensi pemegang saham atau pihak luar secara berlebihan dalam kegiatan operasional BUMN; dan (7) adanya praktek perusahaan dalam perusahaan yang dilakukan oleh manajemen. I Nyoman Tjager, et.all,

Op.Cit., hal. 188.

28

(41)

pasar dihadapi BUMN dan pilihannya hidup atau mati, dan bukan di tengah-tengah, “hidup enggan, mati tak mau”. Tajamnya persaingan, over-supply dan investasi berlebihan yang tidak terencana dengan baik seperti kasus industri IPTN, jelas memperberat perekonomian nasional yang tengah dilanda krisis.

Kalau BUMN dianalogikan sebagai organisme, yang sedang terjangkit virus yang mengancam sistem kekebalan tubuhnya, menunjukkan bahwa BUMN bukan saja membutuhkan dokter ahli, akan tetapi juga upaya pengobatan (reformasi) tuntas dan menyeluruh. Dengan kata lain, reformasi BUMN seharusnya mencakup bukan saja penanganan yang tepat, tetapi juga dengan memperhatikan tingkat urgensinya dan upaya penciptaan pertumbuhan dan profit berjangka panjang melalui perubahan budaya perusahaan (corporate culture).29

Di tengah kegalauan banyak pihak atas berbagai persoalan krusial yang mendera BUMN tersebut, mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN Tanri Abeng dalam bukunya Managing atau Chaos, Tantangan Globalisasi dan Ketidakpastian, mengungkapkan keyakinannya akan arti penting BUMN di

tengah-tengah krisis yang dapat berfungsi sebagai “mesin” penggerak perekonomian nasional. Untuk itu BUMN harus dijadikan sebagai institusi bisnis yang berorientasi profit dan tidak lagi menjadi ”sapi perah” yang dibebani dengan berbagai intervensi dan misi sosial politik yang membuat BUMN rentan penyakit. Program pemberdayaan BUMN melalui restrukturisasi, profitisasi, dan privatisasi, baik dalam

29

(42)

jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek, itu semua pada intinya adalah menjadikan BUMN korporasi berkelas dunia dan lokomotif ekonomi serta menjadi andalan pembayaran utang Indonesia.30

Sebagaimana diketahui bahwa GCG yang mengandung prinsip transparasi, kemandirian, akuntabilitas, responsibilitas, dan kewajaran (fairness) adalah prinsip-prinsip yang diterima dan diakui dunia internasional sebagai prinsip-prinsip-prinsip-prinsip pengelolaan bisnis yang baik. Dalam konteks reformasi BUMN, di samping restrukturisasi dan privatisasi, komponen kunci selanjutnya adalah implementasi GCG secara serius dan konsisten, yang acuan pelaksanaannya telah pula ditetapkan antara lain melalui Keputusan Menteri BUMN Nomor 23 Tahun 2000, tertanggal 31 Mei 2000, tentang Pengembangan Praktik GCG pada BUMN. Keputusan yang terakhir ini dengan jelas menegaskan kewajiban untuk menerapkan GCG dalam pengelolaan BUMN.

Melaksanakan reformasi dalam ruang lingkup budaya kerja, strategi dan pengelolaan usaha untuk mewujudkan profesionalisme dengan berlandaskan kepada prinsip-prinsip GCG di dalam pengelolaan BUMN, adalah salah satu misi kantor Kementerian BUMN. Adanya komitmen yang kuat untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG di lingkungan BUMN merupakan komitmen nasional yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya. Untuk memenuhi komitmen nasional tersebut, Kementrian BUMN telah menyelesaikan suatu penilaian GCG terhadap 8 BUMN yang sudah go public.

30

(43)

Di samping itu, dengan melakukan kerjasama dengan BPKP, Kementerian BUMN juga melakukan program asistensi dan pengukuran penerapan prinsip-prinsip GCG terhadap 16 BUMN. Kementerian BUMN juga menyelesaikan tahap akhir 7 (tujuh) Statement Of Corporate Intent (SCI) untuk 7 (tujuh) BUMN yang dilaksanakan

dalam rangka penerapan GCG. Statement (SCI) ini akan menjadi dokumen kunci bagi kinerja BUMN di masa depan, yang sekaligus merupakan pernyataan umum oleh perusahaan, setelah disepakati dengan Menteri BUMN. Dengan cara ini masyarakat umum (dan Kementerian) dapat mengamati kinerja perusahaan dengan melihat rencana perusahaan dibandingkan dengan pencapaian nyata saat itu, sehingga sistem reward and punishment benar-benar dapat dilakukan yang pada gilirannya

mengefektifkan penerapan GCG. 31

Sesungguhnya ada banyak manfaat pelaksanaan GCG di lingkungan BUMN antara lain:

Pertama, GCG dapat meningkatkan kepercayaan investor. Meningkatnya kepercayaan investor akan mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah dan tidak rigid, terutama pada saat ini, dimana budget pemerintah sangat terbatas untuk itu.

Kedua, meningkatnya nilai perusahaan (value of the firm), sehingga BUMN dapat membantu penerimaan pemerintah melalui APBN.

31

(44)

Ketiga, GCG dapat meningkatkan kinerja dan efisiensi perusahaan melalui terciptanya pengambilan keputusan yang lebih baik. Direksi dan para manajer dapat mengelola perusahaan secara transparan, akuntabilitas, dibawah pengawasan Dewan Komisaris yang andal (empowered) dalam kerangka legal dan beretika profesi yang baik, tanpa benturan kepentingan (conflict of interest), clean and prudent serta bertanggung jawab kepada stakeholders dan lingkungan.

Keempat, meningkatkan kualitas pelayanan BUMN kepada para stakeholders. BUMN yang sehat dan berdaya saing tinggi memberi kontribusi bagi pendapatan Negara, memberi value bagi para pemegang saham (investor) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.32

Tidak terlepaskan dari fenomena ekonomi dunia yang ada sekarang ini, semua negara dituntut untuk mengikuti kecenderungan arus globalisasi yang mengarah pada penduniaan dalam arti ”peringkasan” atau “perapatan” dunia (compression of the world) di bidang ekonomi. Seiring dengan itu, globalisasi ekonomi yang akhir-akhir

ini semakin dikembangkan pula dengan prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) atau perdagangan bebas (free trade) lainnya telah mempengaruhi

hukum di setiap negara, terutama pada negara-negara yang terlibat dalam perdagangan bebas tersebut.

(45)

Globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas ini berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional.33 Perkembangan ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis terutama berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan yang telah disepakati oleh dunia internasional seperti kesepakatan mengenai World Trade Organization (WTO), dan kerjasama ekonomi regional Asia Pasific (Asia Pacific Economic Cooperation/APEC), serta Asean Free Trade Area (AFTA).34

Bagi Indonesia yang perekonomiannya bersifat terbuka, pasti terpengaruh dan dipengaruhi pula oleh prinsip perekonomian global dan liberalisasi perdagangan tersebut. Perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau perekonomian mitra dagang Indonesia seperti kegiatan ekspor-impor, investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung, serta pinjam meminjam. Pengaruh sistem perekonomian seperti ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi.35

Untuk dapat mengoptimalkan peran dan kemampuan mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan

33

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, (Bandung: Books Terace & Library, 2009), hal. 28.

34

Lihat Penjelasan UU BUMN, hal. 2 35

(46)

pengawasan BUMN, tidak bisa tidak, harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (GCG).36

Pengalaman membuktikan bahwa keterpurukan ekonomi di berbagai negara termasuk Indonesia, antara lain, disebabkan oleh karena perusahaan-perusahaan di Negara tersebut tidak menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) secara konsisten. Dengan demikian, penataan yang berkelanjutan atas pelaksanaan peran BUMN dalam sistem perekonomian nasional, terutama upaya peningkatan kinerja dan nilai (value) perusahaan, adalah sangat penting sebagaimana telah diamanatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Ketetapan Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004.37

Lemahnya penerapan tata kelola yang baik dalam berbagai kebijakan pemerintah dapat dijadikan indikator terhadap potensi terjadinya krisis.38 Penerapan tata kelola pemerintah yang perlu dicermati antara lain pada sistem perbankan, politik, dan korporasi. Lemahnya pengawasan terhadap industri perbankan oleh bank sentral disebabkan juga oleh lemahnya penerapan GCG di sektor perbankan. Banyaknya keringanan (forebearance) terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan yang ada menyebabkan timbulnya ketidakkonsistenan dalam pengelolaan sistim perbankan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya tingkat exposure sektor perbankan terhadap kredit pada pihak terkait. Pemberian kredit tanpa memperhatikan prinsip

36

Penjelasan UU BUMN, hal. 2 37

Ibid.hal. 3

38 I Putu Gede Ary Suta, dkk, Membedah Krisis Perbankan, Anatomi Krisis dan Penyehatan

(47)

kehati-hatian juga merupakan kegagalan dalam menerapkan tata kelola yang baik. Pemahaman konsep keterbukaan informasi pada sektor perbankan masih kurang jika dibandingkan dengan konsep keterbukaan informasi yang ada di pasar modal. Hal ini berlaku hampir di semua negara Asia yang pernah dilanda krisis.

Sementara di bidang politik pun sulit untuk disangkal fakta bahwa telah terjadi tekanan-tekanan terhadap sektor keuangan, khususnya sektor perbankan untuk kepentingan politik. Indonesia dalam hal ini berada pada posisi teratas dibanding dengan negara-negara Asia lainnya. Ini disebabkan belum sehatnya praktik dan budaya politik dalam perpolitikan Indonesia. Tekanan-tekanan politik inilah yang biasanya menyebabkan terjadinya pengecualian-pengecualian atau forebearance terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Negara-negara yang terkena krisis terparah umumnya adalah negara-negara yang sistem tata kelola korporasinya masih lemah, antara lain, di bidang akuntansi yang implementasinya sering tidak sesuai dengan standar akuntansi yang ditentukan di negara tersebut. Selain itu sistem manajemen korporasi masih berdasarkan koneksi atau nepotisme tanpa memperhatikan kemampuan dan profesionalisme, serta tidak adanya keterbukaan informasi (transparansi) dan akuntabilitas yang jelas.

(48)

para pengusaha Indonesia dalam bentuk valuta asing, baik kepada kreditur dalam maupun luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga debitur tidak mampu membayar utang-utangnya. Kondisi ini terus berlangsung yang pada akhirnya secara keseluruhan berakibat pada krisis ekonomi.39

Di samping indikator-indikator yang telah disebutkan di atas, aspek sosial politik juga merupakan aspek penting dalam melakukan kajian terhadap suatu krisis moneter dan keuangan. Indikator-indikator krisis dari aspek sosial politik dapat dilihat pada beberapa faktor sebagai berikut40 :

Pertama, tingkat kesejahteraan masyarakat umum dihubungkan dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Tingkat kesejahteraan masyarakat umum ini dapat diukur dengan rata-rata pendapatan riil yang dinikmati oleh rata-rata pekerja setelah memperhitungkan tingkat inflasi yang terjadi di suatu negara. Jika pertumbuhan yang ada di sektor riil tidak diikuti dengan pertumbuhan rata-rata pendapatan riil dari masyarakatnya maka pertumbuhan di sektor riil dapat digolongkan sebagai pertumbuhan yang semu. Hal ini dapat terjadi karena adanya tingkat inflasi yang cukup tinggi dan rendahnya tingkat efisiensi ekonomi di negara bersangkutan. Misalnya seperti Indonesia merupakan negara yang menikmati

39

Bank Indonesia, Mengurai Benang Kusut BLBI Edisi II (Jakarta: Satgas BLBI Bank Indonesia November 2003), hal 3. Dapat ditambahkan bahwa kajian yang dilakukan oleh Asian

Development Bank (ADB) menunjukkan beberapa faktor-faktor yang memberi kontribusi pada krisis

di Indonesia. Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi. Kedua, tidak efektifnya fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Ketiga, inefisiensi dan rendahnya transparansi mengenai prosedur pengendalian merjer dan akuisisi perusahaan. Keempat, terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal. Kelima, ketidakmemadainya pengawasan oleh para kreditur. Lihat Mas Achmad Daniri; Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam konteks Indonesia, (Jakarta: Ray Indonesia 2005), hal. 56.

(49)

pertumbuhan sektor riil yang cukup bagus, akan tetapi pertumbuhan kesejahteraan masyarakatnya tidak seimbang dengan pertumbuhan sektor riil. Hal ini sangat mudah terlihat dengan masih relatif tingginya tingkat kemiskinan.

Kedua, tingkat daya beli masyarakat umum seiring dengan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Daya beli masyarakat sangatlah tergantung dari tingkat inflasi dan kesejahteraan. Jika tingkat inflasi naiknya lebih cepat daripada tingkat kesejahteraan maka pada suatu waktu tertentu daya beli masyarakat akan menurun. Menurunnya daya beli masyarakat akan berdampak pada menurunnya produk yang dihasilkan oleh sektor riil. Dengan demikian pertumbuhan di sektor riil akan terhambat dan mengakibatkan penurunan profitabilitas sektor riil. Terjadinya penurunan tingkat profitabilitas sektor riil akan mempengaruhi kemampuannya untuk memenuhi kewajiban terhadap kreditur, sehingga terjadilah suatu siklus yang membebani sistim keuangan negara, terutama menyangkut tingkat likuiditas perekonomian.

Ketiga, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (public satisfaction to government policies). Hal in terkait dengan tingkat kesejahteraan dan

(50)

Sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari persoalan krisis yang pernah terjadi di Indonesia, ”tantangan terkini yang dihadapi adalah masih belum diterapkannya secara luas prinsip-prinsip dan praktik GCG oleh komunitas bisnis pada umumnya di Indonesia”.41 Akibatnya komunitas internasional masih menempatkan Indonesia di urutan yang rendah pada rating implementasi GCG sebagaimana dilakukan oleh Standard & Poor, Pricewaterhouse Cooper, Moody’s Morgan Stanley, and Calper’s.42

Memang diakui bahwa penerapan GCG di Indonesia sangat terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal itu terjadi karena masuknya konsep GCG relatif masih baru. Konsep GCG di Indonesia pada awalnya diperkenalkan pemerintah Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) dalam rangka pemulihan ekonomi (economy recovery) pasca krisis. Namun demikian, pemerintah Indonesia melalui Komite Nasional Indonesia untuk Kebijakan Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance Policies) telah mengeluarkan The Indonesia Code for Good Corporate Governance, sebagai pedoman dalam penerapan

prinsip-prinsip GCG bagi masyarakat bisnis, yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan pemegang saham, fungsi direksi dan dewan komisaris, sekretaris perusahaan, sistem audit, pemangku kepentingan (stakeholders), pengungkapan informasi perusahaan

41

Ridwan Khairandy dan Camelia Malik, Good Corporate Governance: Perkembangan

Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif Hukum, (Yogyakarta: Kreasi Total

Media, 2007), hal. 60. 42

(51)

secara transparan, kerahasiaan, etika bisnis dan praktik korupsi, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.43

Menurut Siswanto dan Aldridge bahwa ketentuan tentang tata kelola perusahaan yang baik (GCG) tersebut sebagai tahap pertama (terutama) diperuntukkan bagi perusahaan publik, BUMN, dan perusahaan-perusahaan yang menggunakan dana publik atau yang ikut serta dalam pengelolaan dana publik.44

Dipilihnya topik implementasi prinsip kehati-hatian dalam penerapan GCG sebagai fokus penelitian karena kehati-hatian merupakan sikap yang harus dimiliki oleh setiap pengurus/pengelola perusahaan yang dengan sungguh-sungguh harus menerapkan semua asas GCG. PT. Antam Tbk yang dijadikan sebagai sasaran penelitian merupakan bentuk Usaha Persero yang tugasnya mencari untung dan mengelola sumber daya alam, menunjukkan kinerja yang positif termasuk salah satu dari sepuluh BUMN yang memperoleh keuntungan. Di samping itu, ia juga memperoleh penghargaan serta sertifikasi tingkat Asia dan Internasional. Sedangkan Perum BULOG yang juga dijadikan sasaran penelitian merupakan bentuk Usaha Perum dengan tujuan menyediakan barang khususnya beras/sembako. Persoalan rutin terjadi masalah penyediaan beras untuk masyarakat disamping itu kasus Bulog Gate I dan Bulog Gate II dimana beberapa pimpinannya terlibat praktik korupsi dan telah

43

Akhmad Syakrosa, “Corporate Governance: Sejarah dan Perkembangan, Teori, Model dan

Sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN”, Pidato Pengukuhan Guru Besar

Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 2009), hal. 7. 44

Siswanto Sutojo & E. John Aldridge, Good Governance Governance: Tata Kelola

(52)

dipidana pula. Dengan demikian, diharapkan dua bentuk BUMN yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2003 terwakili dalam penelitian.

B. Perumusan Masalah

Beberapa pokok permasalahan penting yang diajukan dalam disertasi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah implementasi Prinsip GCG dalam BUMN?

2. Mengapa dalam pengelolaan BUMN kerap ditemukan berbagai persoalan dan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian (prudential) khususnya yang berkaitan dengan GCG?

3. Bagaimanakah cara dan upaya yang dapat ditempuh oleh pihak pemerintah dan perusahaan terkait dengan upaya pengefektifan implementasi prinsip kehati-hatian (prudential) agar GCG dalam BUMN dapat tercipta?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan pokok-pokok masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk:

(53)

2. Mengetahui dan menganalisis berbagai persoalan dan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian khususnya yang berkaitan dengan GCG dalam pengelolaan BUMN.

3. Mendiskripsikan cara dan upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah dan perusahaan terkait dengan pengefektifan prinsip kehati-hatian sehubungan dengan penerapan GCG pada BUMN.

Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk pengembangan di bidang Ilmu Hukum, khususnya pengembangan di bidang Ilmu Hukum Perusahaan, BUMN, GCG dan Prinsip Kehati-hatian.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pedoman bagi pengelolaan BUMN di Indonesia dengan pengefektifan prinsip kehati-hatian dalam penerapan GCG.

D. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Menurut Lawrence M. Friedman45 terdapat tiga unsur dalam sistem hukum yakni legal structure, legal substance, dan legal culture. Unsur

45

(54)

structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang

diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsi dan kewenangan yang ada padanya dalam rangka bekerjanya sistem itu. Dalam konteks kerugian yang dialami BUMN, lembaga regulator seperti BAPEPAM, Departemen Keuangan dan Kementerian BUMN harus berperan sebagaimana mestinya. Unsur substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari structure, dimana di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Unsur ketiga yaitu legal culture (budaya hukum), adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai-nilai, pemikiran serta harapannya. Budaya hukum juga merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial, yang dalam hal ini adalah bagaimana hukum tersebut digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Mohammad Hatta mengatakan bahwa “Semakin bertambah keinsyafan hukum dalam masyarakat semakin dekat kita pada pelaksanaan negara hukum yang46 sempurna”.

Setiap masyarakat atau komunitas mempunyai budaya hukum yang terbagi dalam sub-budaya yang ditentukan oleh etnis, agama, tradisi, umur, pendidikan, profesi seperti dokter, penasihat hukum termasuk para pengusaha. BUMN sebagai suatu perusahaan berbentuk badan hukum, maka para pengelola badan usaha tersebut merupakan komunitas masyarakat yang

46

(55)

mempunyai sub-budaya hukum tersendiri dalam pengelolaan perusahaan tersebut. Sebagai suatu perusahaan tentunya BUMN harus dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan didukung pula oleh prinsip kepatuhan terhadap ketentuan GCG.

Bismar Nasution47 mengemukakan bahwa hampir setiap negara memerlukan budaya hukum yang berperan dan berfungsi sebagai pendukung jalannya pemerintahan yang baik atau pendukung institusi hukum yang dapat difungsikan untuk pemulihan ekonomi sehingga dapat mendorong tercapainya keadilan (social justice). Dalam rangka penegakan supremasi hukum berkenaan dengan pemberantasan KKN untuk menuju good governance, harus diakui dan disadari bahwa yang terpenting dilakukan adalah pelaksanaan keterbukaan aparatur terhadap masyarakat. Kalau kontrol dapat dijalankan, dengan sendirinya mutu kepemimpinan akan ditantang, bahkan para pemimpin akan merasa tertantang untuk membuktikan kemampuan dirinya. Selanjutnya, kalau pemimpin bermutu, besar kemungkinan perangkat dibawahnya akan bermutu pula.

Upaya untuk mencapai taraf kualitas pranata hukum yang dapat memberantas KKN dan mewujudkan good governance, sekaligus untuk membangun pranata hukum yang sedang tidur sebagaimana diungkapkan oleh Shakespeare, maka “siraman air yang berisikan konsep-konsep moralitas dan

47

Gambar

Tabel 1 Good Corporate Governance
Tabel 2 Penerapan GCG pada Perum BULOG
Tabel 3 Kriteria Acuan Prinsip Kehati-hatian di Perbankan
Tabel 5 Sepuluh BUMN untung
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis Good Corporate Governance (ukuran dewan direksi, ukuran dewan komisaris, proporsi komisaris independen, komite audit,

menyatakan bahwa GCG adalah suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (direksi, dewan komisaris, RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada

Hasil analisis regresi adalah dewan direksi berpengaruh terhadap profitabilitas, sedangkan dewan komisaris, dewan komisaris independen, komite audit,

1) Tidak pernah diberhentikan tidak dengan hormat dari PNS/Direksi/Dewan Komisaris/Dewan Pengawas/pegawai perusahaan. 2) Memiliki pengalaman kerja dalam bidang tugas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengarug Good Corporate Governance ( GCG) yang menggunakan proxy Proporsi komisaris independen, Komite Audit, Dewan Direksi, dan

3) telah memberikan nasihat kepada direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Dewan komisaris terdiri atas satu orang anggota atau lebih. Dewan

Hasil analisis regresi adalah dewan direksi berpengaruh terhadap profitabilitas, sedangkan dewan komisaris, dewan komisaris independen, komite audit,

(2) Dalam hal perhitungan Gaji/Honorarium Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas dalam tahun buku 2009 berdasarkan Peraturan Menteri ini lebih besar dari pada