• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA

C. Pedoman Umum GCG di Indonesia

5. Pedoman Praktis Penerapan GCG

Prinsip Dasar

Pelaksanaan dilakukan secara sistematis, untuk itu diperlukan pedoman praktis yang dapat dijadikan acuan oleh perusahaan dalam melaksanakan penerapan GCG.155

Pedoman Pokok Pelaksanaan

a) Dalam rangka penerapan GCG, masing-masing perusahaan harus menyusun pedoman GCG perusahaan dengan mengacu pada Pedoman GCG ini dan Pedoman Sektoral (bila ada). Pedoman GCG perusahaan tersebut mencakup sekurang-kurangnya hal sebagai berikut:

(1) Visi, misi dan nilai-nilai perusahaan;

(2) Kedudukan dan fungsi RUPS, Dewan Komisaris, Direksi,

komite penunjang Dewan Komisaris, dan pengawasan internal; (3) Kebijakan untuk memastikan terlaksananya fungsi setiap organ

perusahaan secara efektif;

(4) Kebijakan untuk memastikan terlaksananya akuntabilitas, pengendalian internal yang efektif dan pelaporan keuangan yang benar;

(5) Pedoman perilaku yang didasarkan pada nilai-nilai perusahaan dan etika bisnis;

(6) Sarana pengungkapan informasi untuk pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya;

(7) Kebijakan penyempurnaan berbagai peraturan perusahaan dalam rangka memenuhi prinsip GCG.

b) Agar pelaksanaan GCG dapat berjalan efektif, diperlukan proses keikutsertaan semua pihak dalam perusahaan. Untuk itu diperlukan tahapan sebagai berikut:

(1) Membangun pemahaman, kepedulian dan komitmen untuk melaksanakan GCG oleh semua anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta Pemegang Saham Pengendali, dan semua karyawan;

(2) Melakukan kajian terhadap kondisi perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan GCG dan tindakan korektif yang

diperlukan;

(3) Menyusun program dan pedoman pelaksanaan GCG perusahaan;

(4) Melakukan internalisasi pelaksanaan GCG sehingga terbentuk rasa memiliki dari semua pihak dalam perusahaan, serta pemahaman atas pelaksanaan pedoman GCG dalam kegiatan sehari-hari;

(5) Melakukan penilaian sendiri atau dengan menggunakan jasa pihak eksternal yang independen untuk memastikan penerapan GCG secara berkesinambungan. Hasil penilaian tersebut diungkapkan dalam laporan tahunan dan dilaporkan dalam RUPS tahunan.

D. Motivasi dan Proses Penerapan GCG di Indonesia 1. Motivasi Penerapan GCG

Dorojatun Kuncoro Djakti156 berpendapat bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan, tuntutan persaingan global, dan kebutuhan akan modal mengharuskan Pemerintah Indonesia memobilisasi kapital dengan meluncurkan berbagai inisiatif strategik antara lain restrukturisasi sektor perbankan, program privatisasi BUMN, dan reformasi GCG.

156

Dorojatun Kuncoro Djakti; Good Corporate Governance di Indonesia; Komisaris

Terkait dengan reformasi GCG, Pemerintah pada intinya mengharapkan agar dengan mengimplementasikan GCG yang lebih baik, persepsi positif investor terhadap perusahaan-perusahaan Indonesia akan menguat.

Penerapan GCG yang lebih baik tersebut sejalan dengan Perception survey yang dilakukan Mc Kinsey yang menunjukkan bahwa lebih dari 70% investor institusional bersedia membayar lebih untuk saham perusahaan yang “well governed”.157 Dengan kata lain, GCG menjadi kriteria penting bagi investor dalam membuat keputusan investasi. Kesediaan untuk membeli saham dengan harga premium kepada Indonesia memperlihatkan kecenderungan penurunan yang dapat berarti bahwa tingkat kepercayaan investor menguat dibandingkan dengan hasil survey tahun 2000.

Corporate governance diartikan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif yang bersumber dari budaya perusahaan, etika, sistem nilai, proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk mendorong : (1) pertumbuhan kinerja perusahaan; (2) pengelolaan sumber daya dan risiko secara lebih efisien dan efektif; dan (3) pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.158 157 Ibid 158 Ibid, hal. 31.

Oleh sebab itu, reformasi GCG ditingkat korporasi ditekankan pada sedikitnya ketiga aspek di atas, dan perlunya upaya-upaya untuk mengembangkan code yang bersifat sektoral. Untuk BUMN bahkan telah diartifikasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mencerminkan prinsip-prinsip GCG, dimana sebelumnya Menteri Negara BUMN telah mengeluarkan keputusan (Keputusan Menteri Nomor 117/2002) mengenai implementasi GCG.159

Tantangan-tantangan yang diuraikan berikut ini merupakan sebagian permasalahan yang perlu dituntaskan bila benar-benar diharapkan adanya pertumbuhan dalam kehidupan bisnis atau perekonomian di Indonesia.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik suap menyuap banyak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, dalam Pedoman GCG (NCCG) tahun 2001 terdapat suatu rekomendasi spesifik mengenai Etika Berusaha dan Anti Korupsi yang selengkapnya berbunyi160:

“Anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan karyawan perseroan dilarang untuk memberikan atau menawarkan baik langsung ataupun tidak langsung sesuatu yang berharga kepada pelanggan atau seorang pejabat pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan atas apa yang telah dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Ditambahkan juga dalam Pedoman GCG tersebut, bahwa :

159

Lihat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 yo Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/M-MBU/2002.

160

“Suatu tanda terima kasih dalam kegiatan usaha, seperti hadiah, sumbangan, atau entertainment, sekali-kali tidak boleh dilakukan pada suatu keadaan yang dianggap suatu perbuatan yang tidak patut”.

Oleh karena itu perseroan wajib membuat suatu pedoman tentang perilaku etis, yang pada dasarnya memuat nilai-nilai etika berusaha. Ketentuan dalam pedoman harus dinyatakan dengan singkat dan jelas, tetapi cukup rinci guna memberikan arahan yang jelas perihal perilaku etika berusaha kepada siapa pedoman itu ditujukan.

Selanjutnya apa yang harus dilakukan oleh sektor korporasi dalam merespons rekomendasi Indonesian Code tersebut, terutama dalam rangka pelaksanaan corporate governance. Dalam hal ini tentunya setiap perusahaan tidak dalam posisi untuk menyelesaikan “masalah klasik” tersebut secara nasional, tetapi paling tidak dapat mempraktikkan etika berusaha dalam lingkup kegiatan bisnisnya. Apabila setiap perusahaan menerapkan GCG, diharapkan lambat laun akan tercipta kehidupan komunitas bisnis yang lebih sehat, saling melengkapi untuk menjadi lebih baik lagi.161

Seperti kasus Spin off PT Semen Gresik merupakan indikator masih rendahnya perlindungan investor, khususnya pemegang saham minoritas. Keputusan sepihak pemegang saham mayoritas sangat berpotensi merugikan citra investasi di Indonesia.162

161

Ibid hal. 33

162

Dapat ditambahkan bahwa masyarakat Minang ramai-ramai menuntut pemisahan (spin-off) atas PT Semen Padang dari PT Semen Gresik (SG). Pemerintah Pusat pada 1995, yang menggabungkannya sebagai anak perusahaan SG. Tuntutan

Selain itu, independensi komisaris juga rendah. Sebagaimana diketahui bahwa independensi merupakan persoalan penting dalam penerapan GCG. Hilangnya independensi Komisaris dalam proses pengambilan keputusan bisnis akan menghilangkan objektivitasnya dalam mengambil keputusan tersebut. Kejadian ini akan sangat fatal bila ternyata harus mengorbankan kepentingan perusahaan yang seharusnya mendapat prioritas utama. Keberpihakan karena adanya “utang budi” yang berlaku dalam budaya dan tata nilai masyarakat Indonesia dapat menghilangkan sifat independensi seseorang. Mereka lebih cenderung berpihak pada orang yang telah berjasa atas dirinya dari pada harus bersikap independen.163

Untuk meningkatkan independensi dalam pengambilan keputusan bisnis, perlu pula dikembangkan beberapa aturan, pedoman, dan praktik di tingkat corporate board, terutama di tingkat Komisaris yang oleh undang-undang didaulat untuk melakukan pengawasan yang independen terhadap pengelolaan perusahaan oleh direksi.

spin-off masyarakat Minang terhadap SP bisa dibilang wajar, mengingat kedekatan mereka terhadap SP yang sudah berdiri di tengah mereka sejak 18 Maret 1910. Ia adalah pabrik semen tertua sekaligus pelopor pabrik semen di Indonesia. Belakangan, seiring dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa ini, pada tahun 1998 Pemerintah Pusat berniat melakukan privatisasi (menjual) saham SG sebesar 40% kepada Cemex. Penjualan (privatisasi) ini dikecam keras masyarakat Sumatera Barat dengan melayangkan berbagai petisi dan demo. Akibat protes ini, akhirnya pemerintah hanya menjual 14% sahamnya di Semen Gresik Group kepada Cemex. Lihat “Tuntutan Spin Off dan Bahaya Kartel”, http://www.bpkp.go.id/unit/Pusat/TuntutanSpinOff danBahayaKartel.pdf, penulis adalah Peneliti pada Puslitbangwas BPKP.

163

Dalam pengalaman korporasi-korporasi di Indonesia, Komisaris memiliki kecenderungan yang bisa membiaskan independensinya. Kecenderungan tersebut antara lain terlalu kuatnya peran Komisaris dalam perusahaan. Hal ini dapat terjadi karena komisaris mewakili pemegang saham mayoritas atau ia sebagai pemegang saham mayoritas itu sendiri, sehingga komisaris terlalu banyak mengintervensi direksi dalam menjalankan tugasnya. Akibatnya efektivitas direksi dalam mengambil keputusan yang bersifat teknis menjadi terhambat, bahkan bisa jadi tidak melibatkan direksi sama sekali dalam proses pengambilan keputusan perusahaan.

Di sisi lain, peran Komisaris dalam melaksanakan fungsinya cenderung lemah. Kecenderungan lemahnya Komisaris dalam melaksanakan fungsinya ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

Pertama, kedudukan Direksi yang kuat ini dimungkinkan karena Direksi mewakili pemegang saham mayoritas atau pemegang saham mayoritas itu sendiri. Direksi tidak memberikan informasi yang cukup sehingga tak ada perencanaan dan mekanisme pengawasan terhadap manajemen.

Kedua, pengangkatan Komisaris yang tidak didasarkan pada kompetensi dan integritas. Misalnya pengangkatan Komisaris sebagai suatu penghargaan semata atau karena hubungan pertemanan atau kekeluargaan atau bahkan pengangkatan mantan atau pejabat pemerintah yang masih aktif dengan tujuan agar mempunyai akses ke instansi pemerintah yang

bersangkutan. Dalam hal ini bukannya tidak mungkin bahwa para Komisaris tersebut bertindak sekedar karena keterbatasan kompetensi mereka atau karena adanya benturan kepentingan.

Ketiga, sering kali bahwa Komisaris menduduki posisi yang sama di beberapa perusahaan sekaligus. Akibatnya, komitmen dan alokasi waktu mereka terhadap suatu perusahaan menjadi tidak memadai dan pengawasan menjadi tidak efektif.

Selain persoalan yang dikemukan di atas, penegakan hukum di Indonesia tergolong lemah. Hal ini berdampak buruk oleh karena penegakan hukum sangat berpengaruh terhadap perwujudan good corporate governance (GCG). Penegakan hukum di Indonesia dianggap masih belum mencerminkan perlindungan yang menyeluruh dan belum memihak pada “keadilan” seperti yang diharapkan masyarakat. Banyak permasalahan hukum, misalnya dalam beberapa kasus BLBI, yang diselesaikan dengan pendekatan politis dan bukan hukum, dengan kata lain kepentingan politik banyak mewarnai proses hukum di negeri ini. Hal ini jelas menimbulkan kesangsian dunia internasional terhadap supremasi hukum di Indonesia.

Selain itu tingkat transparansi pada perusahaan-perusahaan kita cukup rendah. Hal ini menjadi tantangan lain yang dihadapi dalam implementasi prinsip dasar GCG, mengingat akar budaya Indonesia yang belum terbiasa dengan transparansi atau keterbukaan. Hambatan muncul ketika transparansi bukan hanya menyangkut gaji kolektif Komisaris atau Direksi tetapi termasuk

kewajiban untuk merinci segala bentuk manfaat yang diterima masing-masing anggota kedua Dewan tersebut. Demikian pula dengan pengungkapan agenda rapat dan tingkat kehadiran Komisaris dan Direksi, pengungkapan adanya perbedaan pendapat (dissenting mechanism) antar Komisaris dan Direksi, dan pengungkapan hal lain yang sensitif seperti pengungkapan kegagalan.