MEDAN
PENGARUH EKUITAS MEREK (BRAND EQUITY) TAS
SOPHIE MARTIN TERHADAP KESEDIAAN
MEMBAYAR HARGA PREMIUM
( Studi Kasus Pada BC Rosida Medan)
DRAFT SKRIPSI DIAJUKAN OLEH
EKA SURYANDARI SARAGIH 040502098
DEPARTEMEN MANAJEMEN
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Universitas Sumatera Utara Medan
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur setinggi-tingginya hanya untuk Allah Azza Wa Jalla, terucap sedalam-dalamnya dari lubuk hati penulis yang menghamba. Sungguh, tiada daya upaya kecuali pertolongan-Nya hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekuitas Merek (Brand Equity) Tas Sophie Martin Terhadap Kesediaan Membayar Harga Premium (Studi Kasus Pada BC Rosida Medan)”. Selanjutnya, hatur salam dan shalawat kepada Rasulullah SAW sebagai qudwah hasanah dan rasul pembimbing umat.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Ekonomi Sumatera Utara dan guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan yang berguna demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulis dapat menjalankan segala aktivitas perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi ini karena do’a, motivasi, bimbingan, dan bantuan baik secara moril maupun materil dari banyak pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Frida Ramadini, SE, MM selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan dan masukan yang bermanfaat kepada penulis.
5. Ibu Dra. Friska Sipayung, M.Si selaku dosen penguji I yang memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.
6. Ibu Dr. Elisabet Siahaan, M.Ec selaku dosen penguji II yang memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu dosen, seluruh staf serta pegawai Fakultas Ekonomi yang telah banyak membantu penulis selama masa kuliah.
8. Ibu Rosida, Bapak Agus Hartono, SE, dan karyawan-karyawan BC Rosida Medan yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. 9. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Kasruddin Saragih dan Ibunda
Suryaningsih. Tetes keringat beliau berdua bekerja adalah untaian mutiara dan do’a yang mengalir tiada henti dalam mengiringi setiap langkah ananda dengan perjuangan tanpa kenal lelah. Hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.
10.Kedua saudaraku, Chandra Nata Saragih dan Anggie Fahira Saragih yang paling kusayang, terima kasih selama ini telah menjadi motivator dan kompetitor buatku dalam menyelesaikan kuliah.
13.Seluruh rekan-rekan stambuk 2004 Departemen Manajemen, terima kasih atas kerja sama dan kebersamaannya.
14.Rekan-rekan angkatan 2004 SMUN 4 Pematangsiantar: Yeyen, Kiki, Wahyu, Cici, Feni, Dini, Rahmat, Nova Pane, Olive, Edi. Subhanallah, ada banyak nama yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih untuk motivasi yang telah kalian berikan.
Akhirnya, semoga segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baik balasan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Medan, Agustus 2008
Penulis
Halaman
2. Definisi Operasional Variabel ... 11
D. KESEDIAAN MEMBAYAR HARGA PREMIUM ... 34
BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ... 43
A. SEJARAH SINGKAT PERUSAHAAN ... 43
B. VISI DAN MISI SOPHIE MARTIN ... 46
1. Visi Sophie Martin ... 46
2. Misi Sophie Martin ... 46
C. SISTEM MULTI LEVEL MARKETING (MLM) PADA PT SOPHIE MARTIN INDONESIA... 46
D. PRODUK TAS SOPHIE MARTIN ... 51
E. PROFIL SINGKAT BUSINESS CENTRE (BC) ROSIDA MEDAN ... 54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
A. UJI VALIDITAS DAN UJI RELIABILITAS ... 56
B. SARAN ... 79 DAFTAR PUSTAKA
Halaman
Tabel 1.1 : Perusahaan Multi Level Marketing (MLM) Di Indonesia .. 3
Tabel 1.2 : Laporan Penjualan PT Sophie Martin Indonesia ... 4
Tabel 4.8 : Distribusi Tanggapan Responden Terhadap Brand Awareness (X1) ... 64
Tabel 4.9 : Distribusi Tanggapan Responden Terhadap Perceived Quality (X2) ... 66
Tabel 4.10 : Distribusi Tanggapan Responden Terhadap Brand Association (X3) ... 67
Tabel 4.11 : Distribusi Tanggapan Responden Terhadap Brand Loyalty (X4) ... 68
Tabel 4.12 : Distribusi Tanggapan Responden Terhadap Kesediaan Membayar Harga Premium (Y) ... 70
Tabel 4.13 : Metode Enter ... 73
Tabel 4.14 : Determinan (R2) ... 74
Tabel 4.15 : Uji F ... 75
Eka Suryandari Saragih (2008), “Pengaruh Ekuitas Merek (Brand Equity) Tas Sophie Martin Terhadap Kesediaan Membayar Harga Premium (Studi Kasus Pada BC Rosida Medan)”. Pembimbing Ibu Frida Ramadini, SE, MM. Ketua Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Ibu Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, SE, M.Si. Penguji Ibu Dra Friska Sipayung, M.Si dan Ibu Dr. Elisabet Siahaan, SE, M.Ec.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC). Ekuitas merek (brand equity) terdiri dari kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association) dan loyalitas merek (brand loyalty).
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan dan variabel yang paling dominan mempengaruhi kesediaan untuk membayar harga premium adalah variabel asosiasi merek (brand association).
Metode penelitian yang digunakan untuk meneliti ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan adalah analisis deskriptif dan metode analisis regresi linear berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara variabel kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association) dan loyalitas merek (brand loyalty) sebesar 60,7 %, dengan adjusted R square sebesar 34,2 % dan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Hasil uji F menyatakan variabel kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association) dan loyalitas merek (brand loyalty) secara serentak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan.
Uji t menunjukkan variabel asosiasi merek (brand association) merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan.
Eka Suryandari Saragih (2008), “Pengaruh Ekuitas Merek (Brand Equity) Tas Sophie Martin Terhadap Kesediaan Membayar Harga Premium (Studi Kasus Pada BC Rosida Medan)”. Pembimbing Ibu Frida Ramadini, SE, MM. Ketua Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Ibu Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, SE, M.Si. Penguji Ibu Dra Friska Sipayung, M.Si dan Ibu Dr. Elisabet Siahaan, SE, M.Ec.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC). Ekuitas merek (brand equity) terdiri dari kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association) dan loyalitas merek (brand loyalty).
Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan dan variabel yang paling dominan mempengaruhi kesediaan untuk membayar harga premium adalah variabel asosiasi merek (brand association).
Metode penelitian yang digunakan untuk meneliti ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan adalah analisis deskriptif dan metode analisis regresi linear berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara variabel kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association) dan loyalitas merek (brand loyalty) sebesar 60,7 %, dengan adjusted R square sebesar 34,2 % dan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Hasil uji F menyatakan variabel kesadaran merek (brand awareness), persepsi kualitas (perceived quality), asosiasi merek (brand association) dan loyalitas merek (brand loyalty) secara serentak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan.
Uji t menunjukkan variabel asosiasi merek (brand association) merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC) Rosida Medan.
A. Latar Belakang
Pemasaran dengan sistem dan aktivitasnya mampu mendekatkan
konsumen dengan produk dan nama-nama merek perusahaan yang ditawarkan.
Kecenderungan perkembangan perang pemasaran di masa mendatang akan
menjadi perang antar merek, yaitu persaingan untuk memperoleh dominasi merek.
Merek akan menjadi aset perusahaan yang paling bernilai karena merek lebih
bermakna daripada sekadar produk. Produk hanya menjelaskan atribut fisik
berikut dimensinya, sehingga tidak lebih dari komoditi yang dapat dipertukarkan,
sedangkan merek dapat menjelaskan emosi serta hubungan secara spesifik dengan
pelanggannya. Hal ini dapat terjadi karena merek mengandung nilai-nilai yang
jauh lebih bermakna daripada hanya atribut fisik. Merek mengandung nilai-nilai
yang bersifat tidak berwujud (intangible), emosional, keyakinan, harapan, serta sarat dengan persepsi pelanggan.
Di era globalisasi ini, merek akan menjadi sangat penting karena
atribut-atribut lain dari kompetisi, seperti atribut-atribut produk, relatif mudah untuk ditiru.
Merek memberikan “nilai” sehingga nilai total produk yang “bermerek” baik
menjadi lebih tinggi dibandingkan produk yang dinilai semata-mata secara
membutuhkan waktu ratusan tahun. Penciptaan, pemeliharaan, dan perlindungan
harus ditangani secara profesional.
Merek yang prestisius memiliki ekuitas merek (brand equity) yang kuat. Ekuitas merek (brand equity) yang kuat memunculkan banyak keuntungan bagi perusahaan, antara lain tujuan perusahaan untuk selalu mengembangkan dan
merebut pangsa pasar akan lebih mudah dicapai, meningkatkan loyalitas merek
(brand loyalty), membuat harga menjadi tidak elastis (perubahan pada harga tidak menyebabkan konsumen serta merta berpindah ke produk lain), serta
meningkatkan keunggulan bersaing. Semakin kuat ekuitas merek suatu produk,
semakin kuat daya tariknya untuk menggiring konsumen mengkonsumsi produk
tersebut, yang selanjutnya akan mengantar perusahaan memanen keuntungan dari
waktu ke waktu (Durianto, et.al, 2004:2). Dengan keuntungan yang tinggi, stabil
bahkan terus meningkat dari waktu ke waktu, perusahaan dapat membuktikan
eksistensinya dalam persaingan bisnis.
Munculnya industri pemasaran jaringan ( Multi Level marketing) di Indonesia merupakan fenomena yang cukup menarik. Indikasi yang paling kuat
ditunjukkan oleh pertumbuhan industri pemasaran jaringan (Multi Level
Marketing) yang semakin pesat. Saat ini ada lebih dari seratus perusahaan yang berkecimpung di industri ini (www.wartaekonomi.com), beberapa diantaranya
Tabel 1.1
Perusahaan Multi level Marketing (MLM) Di Indonesia
Nama Perusahaan Nama Produk Jenis Produk
PT Citra Nusa Insan Cemerlang
CNI Food Suplement
Beauty Care Home Care Child Care Educational Toys Food and Drink
PT Sophie Martin Indonesia Sophie Martin Fashion
Accessories Cosmetics
PT Solaraja Persada Jaya Prime & First New Skin Care
Cosmetics Food Suplement
PT Capriasi Multi nasional Sejahtera
Capriasi Fashion
Perfumes Watches
PT Kompak Indopola Kompak Health Food
Cosmetics House Holds
PT Nugra Aloeverindo Forever Living
Product
Health Food Skin Care Cosmetics
PT Matolindo Primantara Matol Food Suplement
PT Tara Prima Megah Tara Food Suplement
PT Harmoni Dinamik Indonesia
High-Desert Food Suplement
PT Tangguh Sakti Pondasi Megah
Bracini Fashion
PT Sehat Sugih Sejahtera Triple-S Food and Drink
Cosmetics Traditional-Herbal Medicine
Sumber: www.apli.or.id (2007)
Istilah Pemasaran jaringan (Multi Level Marketing) menunjuk pada metode atau sistem pemasaran dengan menggunakan jaringan kerja. Pemasaran jaringan adalah
organisasi yang terdiri dari sekelompok orang distributor dimana setiap orangnya
melakukan sedikit penjualan eceran kepada diri mereka sendiri maupun kepada
PT Sophie Martin Indonesia adalah perintis di industri pemasaran jaringan
(Multi Level Marketing (MLM)) fashion di Indonesia. Visi dan misinya adalah menjadi terkenal di seluruh Asia dan tetap menjadi leader di bidang MLM dengan
membangun member yang berkelanjutan. Mengingat pentingnya pengelolaan
sebuah merek, Sophie Martin terfokus pada merek Sophie Martin sebagai major
bisnisnya. Agar tetap unggul dalam persaingan dan dapat mempertahankan
loyalitas pelanggannya, Sophie Martin senantiasa mengembangkan dan
memperbarui 30 % produk sebelumnya, selalu mengedepankan inovasi dan
kreativitas, melakukan quality control serta terus menjaga image produk.
Sophie Martin bersaing dengan Capriasi dalam angka perolehan member
dan beriklan, namun Sophie Martin tidak terusik. Kinerjanya tetap bagus, Sophie
Martin kini telah memiliki jaringan pemasaran dengan lebih dari 900.000 anggota
(member) dan 400 lebih BC (Business Centre) yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Perkembangan perusahaan ini juga dapat ditinjau dari sisi keuangannya,
seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1.2
Laporan Penjualan PT Sophie Martin Indonesia
Tahun Total Penjualan
2006 Rp. 400.000.000.000,00
2007 Rp. 500.000.000.000,00 (naik 25 %)
Sumber: www.economyokezone.com (2007) (diolah)
Tabel 1.2 di atas memperlihatkan bahwa total penjualan Sophie Martin pada tahun
2007 mencapai Rp. 500.000.000.000,00, naik 25 % dari omset tahun 2006 yang
Rp. 400.000.000.000,00. Produk Sophie Martin berupa tas memberikan
Indikator dasar loyalitas adalah jumlah konsumen yang bersedia
membayar untuk sebuah merek dibandingkan untuk merek lain yang menawarkan
manfaat yang sama atau sedikit lebih rendah. Hasil penelitian Davis (dalam
Soehadi, 2005: 26) menyimpulkan:
1. Sebanyak 72 % konsumen bersedia membayar 20 % lebih mahal untuk
merek yang dipilihnya relatif terhadap merek pesaing terdekat.
2. Sebanyak 25 % konsumen menyatakan bahwa harga tidak menjadi
masalah ketika membeli merek yang disukai.
3. Lebih dari 70 % konsumen menggunakan merek sebagai petunjuk
pembelian produk.
Harga optimum/premium (premium price) dapat menjadi satu-satunya pengukuran ekuitas merek (brand equity) yang tersedia, karena pengukuran ini langsung menangkap konsumen yang loyal dengan cara yang relevan (Durianto,
et.al, 2004:19). Dari sekian banyaknya merek tas yang tersedia di pasar, Sophie
Martin terbukti mendapatkan tempat khusus di hati masyarakat Indonesia. Karena
itu, penulis ingin meneliti mengenai ekuitas merek (brand equity) yang dimiliki tas Sophie Martin dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesediaan membayar
harga premium.
Penelitian dilakukan di Business Centre (BC) Rosida Medan karena berdasarkan prasurvei dalam bentuk wawancara dengan Bapak Agus Hartono
(HRD BC Rosida) diketahui bahwa produk Sophie Martin yang paling diminati
oleh pelanggan adalah tas. Tas merupakan produk yang fast moving. Pada
umumnya, seseorang akan menyesuaikan warna busana yang ia pakai dengan
pelanggan di BC Rosida (41 orang dari 50 orang) mengambil keputusan
pembelian sendiri untuk setiap produk yang dibeli sesuai dengan selera dan
kebutuhannya. Dengan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
pada kuesioner sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Pengaruh Ekuitas Merek (Brand Equity) Tas Sophie Martin
Terhadap Kesediaan Membayar Harga Premium (Studi Kasus Pada BC Rosida Medan)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah ekuitas merek (brand equity) yang terdiri dari variabel brand awareness, perceived quality, brand association, dan brand loyalty yang dimiliki tas Sophie Martin berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kesediaan membayar harga premium?
2. Variabel ekuitas merek (brand equity) manakah yang paling dominan dalam mempengaruhi kesediaan membayar harga premium?
C. Kerangka Konseptual
Konsep ekuitas merek (brand equity) oleh David A. Aaker
dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa merek yang bereputasi baik merupakan
tariknya untuk menggiring konsumen mengkonsumsi produk tersebut (Durianto,
et.al, 2004:1).
Aaker (dalam Simamora, 2003:53) menggagas bahwa ekuitas merek
(brand equity) bersumber pada lima komponen, yaitu kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand association), persepsi kualitas (perceived quality), loyalitas merek (brand loyalty), dan aset-aset merek lainnya, seperti hak paten, rahasia teknologi, rahasia bisnis, akses khusus terhadap pemasok ataupun
pasar, dan lain-lain. Aaker mengembangkan kelima sumber diatas yang
berhubungan dengan konsumen menjadi 10 variabel yang diusulkan sebagai
indikator ekuitas merek (brand equity). Adapun ke-10 variabel yang
dikembangkan berdasarkan gagasan lima aset utama ekuitas merek (brand equity) itu adalah:
Ukuran loyalitas:
1. Premi harga
2. Kepuasan/ loyalitas
Ukuran kepemimpinan/ persepsi kualitas:
3. Persepsi kualitas
4. Kepemimpinan/ popularitas
Ukuran asosiasi/ diferensiasi:
5. Persepsi nilai (perceived value) 6. Kepribadian merek
7. Asosiasi organisasional
Ukuran kesadaran:
Ukuran perilaku pasar:
9. Pangsa pasar
10.Harga pasar dan cakupan distribusi
Harga optimum/premium (premium price) dapat menjadi salah satu
pengukuran ekuitas merek (brand equity) yang terbaik yang tersedia, karena pengukuran ini langsung menangkap konsumen yang loyal dengan cara yang
relevan (Durianto, et.al, 2004:19).
Kesediaan membayar dengan harga yang lebih tinggi untuk suatu merek
menunjukkan penghargaan mereka yang “lebih” kepada merek tersebut
dibandingkan kepada para pesaingnya (Durianto, et.al, 2004:68).
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konseptual penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1 Kerangka Konseptual
Sumber: Simamora (2003:53) (diolah)
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa empat variabel ekuitas merek (brand
equity), yaitu brand awareness (X1), perceived quality (X2), brand association
(X3), dan brand loyalty (X4) mewakili persepsi konsumen tentang suatu merek
yang dapat mempengaruhi kesediaan membayar harga premium pada konsumen. Ekuitas Merek (Brand Equity)
Variabel:
1. Brand awareness (X1)
2. Perceived quality (X2)
3. Brand association (X3)
4. Brand loyalty (X4)
cakupan distribusi tidak termasuk dalam kerangka konseptual penelitian ini,
karena variabel-variabel tersebut mewakili informasi yang diperoleh berdasarkan
pasar, dan bukan langsung dari konsumen.
D. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu perumusan sementara mengenai suatu hal yang
dibuat untuk menjelaskan hal itu dan juga dapat menuntun/mengarahkan
penyelidikan selanjutnya (Umar, 2007:104). Berdasarkan perumusan masalah,
maka hipotesis yang dikemukakan penulis adalah:
1. Ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesediaan membayar harga premium.
2. Variabel brand association yaitu segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek dan dapat dirangkai sehingga membentuk citra tentang merek
atau brand image di dalam benak konsumen. merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi kesediaan membayar harga premium.
E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengetahui apa pengaruh ekuitas merek (brand equity) tas Sophie Martin
terhadap kesediaan membayar harga premium pada Business Centre (BC)
Rosida Medan.
b. Mengetahui dan menganalisis variabel ekuitas merek (brand equity) yang paling dominan mempengaruhi kesediaan membayar harga premium pada
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Bagi Penulis
Penelitian ini menjadi sarana aplikasi untuk menerapkan teori pemasaran
khususnya mengenai merek dan kesediaan membayar harga premium oleh
pelanggan, serta lebih memahami dan dapat mempraktekkan metode
penelitian yang sistematis.
b. Bagi Perusahaan
Sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola dan mempertahankan merek
agar tetap menjadi pilihan pelanggan mengingat persaingan antar merek yang
semakin meningkat.
c. Bagi Pihak Lain
Sebagai bahan masukan, referensi, dan perbandingan dalam penelitian tentang
merek terutama mengenai ekuitas merek (brand equity) dan kesediaan
membayar harga premium.
F. Metodologi Penelitian 1. Batasan Operasional
Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam membahas dan menganalisis
permasalahan, maka ditetapkan batasan operasional. Batasan operasional dalam
a. Variabel Bebas/Independent Variable (X)
Variabel bebas (X) terdiri dari variabel brand awareness (X1), perceived
quality (X2), brand association (X3), dan brand loyalty (X4).
b. Variabel Terikat/Dependent Variable (Y)
Variabel Terikat (Y) dalam penelitian ini adalah kesediaan membayar harga
premium.
2. Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional dari variabel-variabel yang akan diteliti adalah:
a. Kesadaran Merek (Brand Awareness)
Penerimaan konsumen terhadap sebuah merek dalam benak mereka dimana
ditunjukkan dari kemampuan mereka mengingat dan mengenali kembali
sebuah merek ke dalam kategori tertentu.
b. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)
Mencerminkan persepsi pelanggan terhadap totalitas fitur dan karakteristik
yang membuat produk mampu memuaskan kebutuhan, baik yang dinyatakan
maupun yang tidak dinyatakan.
c. Asosiasi Merek (Brand Association)
Segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek dan dapat
dirangkai sehingga membentuk citra tentang merek atau brand image di dalam benak konsumen.
d. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
e. Kesediaan Membayar Harga Premium
Perilaku konsumen yang menunjukkan kesediaan untuk mengorbankan
sesuatu kepuasan (utility) demi memperoleh kepuasan lain atau kesediaan untuk membayar suatu objek yang sudah dinilai dengan harga yang lebih
tinggi relatif terhadap merek pesaing terdekat.
Tabel 1.3
Operasionalisasi Variabel
Variabel Definisi Variabel Indikator Skala
3. Skala Pengukuran Variabel
Pengukuran masing-masing variabel dalam penelitian ini menggunakan
skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala
Likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel,
kemudian indikator tersebut dijadikan titik tolak untuk menyusun item-item
instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan (Sugiyono, 2004: 86).
Tabel 1.4
Instrumen Skala Likert
No. Pertanyaan Skor
1. Sangat Setuju (SS) 5
2. Setuju (S) 4
3. Kurang Setuju (KS) 3
4. Tidak Setuju (TS) 2
5. Sangat Tidak Setuju (STS) 1
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Business Centre (BC) Rosida Jl. Halat No. 107 C Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan Juli
2008.
5. Populasi dan Sampel a. Populasi
Menurut Sugiyono (2004:72) populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
Populasi dalam penelitian ini adalah semua member yang terdaftar di BC Rosida Medan sejak awal berdiri ( September 2002) hingga Februari 2008 yang
berjumlah 13.698 orang.
b. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi (Sugiyono, 2004:73).
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, yaitu dengan kriteria bahwa member yang dijadikan sampel penelitian adalah member yang telah melakukan pembelian berulang terhadap tas Sophie Martin minimal dua kali dan berusia 20-50 tahun. Tujuan dari penetapan kriteria
ini adalah dengan mempertimbangkan pengalaman member yang cukup dan usia yang dianggap mampu untuk menilai ekuitas merek (brand equity). Peneliti kemudian memberikan kuesioner sebagai salah satu alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data kepada member yang dipandang sesuai dengan kriteria yang ditetapkan di Business Centre (BC) Rosida tersebut.
Karena masalah waktu dan biaya, ukuran sampel ditentukan dengan
rumus Slovin (Umar, 2007:78):
N 13.698
n = = = 99,27
1 + N e2 1 + 13.698 (0,1)2
Dimana: n = ukuran sampel
N = ukuran populasi
Dengan standard error 0,1 dan asumsi populasi sebesar 13.698 orang, jumlah
sampel yang diharapkan adalah 100 orang.
6. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Definisi
masing-masing data tersebut menurut Umar (2007:42), yaitu:
a. Data primer
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik dari
individu atau perseorangan seperti hasil dari wawancara atau hasil pengisian
kuesioner yang biasa dilakukan oleh peneliti.
b. Data sekunder
Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan
disajikan baik oleh pengumpul data primer atau pihak lain, misalnya dalam
bentuk tabel-tabel atau diagram-diagram. Peneliti memperoleh data dari
buku-buku, majalah penelitian dan informasi dari internet.
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan, antara lain:
a. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara dengan pimpinan BC Rosida dan pelanggan
Sophie Martin di BC tersebut.
b. Kuesioner
Kuesioner adalah pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan
c. Studi pustaka
Mengumpulkan dan mempelajari informasi dan data-data yang diperoleh
melalui buku, jurnal, situs internet yang menjadi referensi pendukung.
8. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas a. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk menguji apakah kuesioner layak digunakan
sebagai instrumen penelitian atau tidak. Valid artinya data yang diperoleh melalui
kuesioner dapat menjawab tujuan penelitian. Pengujian validitas instrumen dalam
penelitian ini menggunakan bantuan software SPSS 12.0 for windows. Adapun syarat sebuah instrumen dapat dinyatakan valid menurut Sugiyono (2004:115),
yaitu
1. Korelasi tiap faktor positif
2. Nilai korelasi tiap faktor melebihi 0,3
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Situmorang, et.al, 2008:37).
Pengujian reliabilitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan bantuan
software SPSS 12.0 for windows. Kuncoro (dalam Situmorang, et.al, 2008:40) menyatakan instrumen dapat dikatakan reliabel (andal) bila memiliki nilai
8. Teknik Analisis Data a. Metode Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif merupakan salah satu metode analisis data
dimana peneliti mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis, dan
menginterpretasikan data sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai masalah yang diteliti.
b. Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel
bebas terhadap variabel terikat. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
bantuan softwareSPSS 12.0 for windows. Formulasi yang digunakan adalah
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e Keterangan:
Y = Kesediaan membayar harga premium
a = Konstanta
b1-4 = Koefisien regresi berganda
X1 = Kesadaran merek (Brand awareness)
X2 = Persepsi kualitas (Perceived quality)
X3 = Asosiasi merek (Brand association)
X4 = Loyalitas merek (Brand loyalty)
Pengujian hipotesis sebagai berikut:
1) Uji t (uji secara parsial)
Uji t dilakukan untuk menguji setiap variabel bebas (X1, X2, X3, X4) apakah
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y)
secara parsial. Kriteria pengujiannya sebagai berikut :
H0 : b1, b2, b3, b4 = 0
Artinya secara parsial tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari
variabel bebas terhadap variabel terikat.
H1 : b1, b2, b3, b4≠ 0
Artinya secara parsial terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari
variabel bebas terhadap variabel terikat.
Kriteria Pengambilan Keputusan (KPK):
Ho diterima apabila t-hitung< t-tabel pada α = 5 %
H1 diterima apabila t-hitung > t-tabel pada α = 5 %
2) Uji F (uji secara serentak)
Uji F dilakukan untuk menguji apakah setiap variabel bebas (X1, X2, X3, X4)
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y)
secara serentak. Kriteria pengujiannya sebagai berikut:
H0 : b1, b2, b3, b4 = 0
Artinya tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan secara
bersama-sama dari seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
H1 : b1, b2, b3, b4≠ 0
Artinya terdapat pengaruh yang positif dan signifikan secara bersama-sama
Kriteria Pengambilan Keputusan (KPK):
Ho diterima apabila F-hitung < F-tabel pada α = 5 %
H1 diterima apabila F-hitung > F-tabel pada α = 5 %
3.) Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) menunjukkan besarnya kontribusi variabel bebas
terhadap variabel terikat. Semakin besar koefisien determinasi, maka semakin
baik kemampuan variabel bebas mempengaruhi variabel terikat, dimana
0<R2<1. Jika determinasi (R2) semakin besar (mendekati satu), maka dapat
dikatakan bahwa pengaruh variabel bebas adalah besar terhadap variabel
terikat. Hal ini berarti, model yang digunakan semakin kuat untuk
menerangkan pengaruh variabel bebas yang diteliti terhadap variabel terikat.
Sebaliknya, jika determinasi (R2) semakin kecil (mendekati nol), maka dapat
dikatakan bahwa pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat semakin
kecil. Hal ini berarti, model yang digunakan tidak kuat untuk menerangkan
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan ekuitas merek (brand equity) dilakukan oleh Sari (2007) dengan judul “ Pengaruh Brand Equity Pasta Gigi Pepsodent Terhadap Loyalitas Pelanggan (Studi Kasus Pada Asrama Putri USU Medan)”. Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa variabel bebas (X1, X2, X4)
yaitu brand awareness (kesadaran merek), perceived quality (persepsi kualitas), dan brand loyalty (loyalitas merek) berpengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan pasta gigi pepsodent di asrama putri USU Medan, sementara X3 yaitu
brand association (asosiasi merek) berpengaruh negatif. Berdasarkan koefisien determinasi (R2) maka variabel brand awareness (kesadaran merek), perceived quality (persepsi kualitas), brand association (asosiasi merek ), dan brand koyalty (loyalitas merek) mempengaruhi loyalitas pelanggan pasta gigi pepdodent di asrama putri sebesar 63,6 % dan sisanya 36,4 % dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian tersebut.
Manurung (2007) juga melakukan penelitian yang berhubungan dengan ekuitas merek (brand equity) dengan judul “ Pengaruh Brand Equity Teh Botol Sosro Terhadap Keputusan Pembelian Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara (USU) Medan”. Kesimpulan dari penelitiannya adalah variabel bebas brand equity, yaitu brand awareness (X1) dan brand
association (X2) tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat
quality (X3) dan brand loyalty (X4) secara parsial berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel terikat (keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan). Pengaruh yang ditimbulkan oleh variabel bebas X3 dan X4 adalah pengaruh yang
positif. Sementara untuk variabel yang lebih dominan mempengaruhi keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan adalah variabel brand loyalty (X4).
Berdasarkan uji F hitung, variabel brand awareness (X1), brand association (X2),
perceived quality (X3), brand loyalty (X4) secara bersama-sama berpengaruh
positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian mahasiswa F-KG USU Medan.
Purba (2007) juga meneliti tentang ekuitas merek (brand equity) dengan judul “ Analisis Brand Equity Terhadap Pembelian Pulpen Pilot Pada Siswa SMP Negeri 1 Medan”. Kesimpulan yang diperoleh adalah variabel-variabel brand equity yang terdiri dari kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi kualitas, dan loyalitas merek secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pembelian pulpen pilot. Variabel brand equity yang paling dominan mempengaruhi pembelian pulpen pilot pada siswa SMP Negeri 1 medan adalah variabel loyalitas merek.
B. Merek
Marketing Association, merek adalah nama, istilah, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Giribaldi (dalam Soehadi, 2005:2) menyatakan merek didefinisikan sebagai kombinasi dari atribut-atribut, dikomunikasikan melalui nama atau simbol, yang dapat mempengaruhi proses pemilihan suatu produk layanan di benak konsumen. Aaker (dalam Simamora, 2003:14) mengatakan adanya tiga nilai yang dijanjikan sebuah merek, yaitu:
1. Nilai Fungsional
Nilai yang diperoleh dari atribut produk yang memberikan kegunaan (utility) fungsional kepada konsumen.
2. Nilai Emosional
Nilai emosional berhubungan dengan perasaan, yaitu perasaan positif apa yang akan dialami konsumen pada saat membeli produk.
3. Nilai Ekspresi Diri
Nilai ekspresi diri merupakan bagian dari nilai emosi. Ekspresi diri berbicara tentang “bagaimana saya di mata orang lain maupun diri saya sendiri”.
akan memberikan jaminan kualitas. Namun pemberian nama atau merek pada suatu produk hendaknya tidak hanya merupakan suatu simbol, karena merek memiliki enam tingkat pengertian (Rangkuti, 2004:3), yaitu:
1. Atribut
Setiap merek memilki atribut. Atribut ini perlu dikelola dan diciptakan agar pelanggan dapat mengetahui dengan pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung dalam suatu merek.
2. Manfaat
Selain atribut, merek juga memiliki serangkaian manfaat. Konsumen tidak membeli atribut, mereka membeli manfaat. Produsen harus dapat menerjemahkan atribut menjadi manfaat fungsional maupun manfaat emosional.
3. Nilai
Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi produsen. Merek yang memiliki nilai tinggi akan dihargai konsumen sebagai merek yang berkelas, sehingga dapat mencerminkan siapa pengguna merek tersebut.
4. Budaya
Merek juga mewakili budaya terentu. Misalnya, Mercedes mewakili budaya Jerman yang terorganisasi dengan baik, memiliki cara kerja yang efisien, dan selalu menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
5. Kepribadian
6. Pemakai
Merek juga menunjukkan jenis konsumen pemakai merek tersebut. Itulah sebabnya para pemasar selalu menggunakan analogi orang-orang terkenal untuk penggunaan mereknya.
Simamora (2003:70) menyatakan merek apa pun itu, selayaknya mengandung sifat-sifat berikut ini:
1) Mencerminkan manfaat dan kualitas 2) Singkat dan sederhana
3) Mudah diucapkan, didengar, dibaca, dan diingat
4) Memiliki kesan berbeda dari merek-merek yang sudah ada (distinctive) 5) Mudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan tidak mengandung
konotasi negatif dalam bahasa asing.
1. Treshold Branding
Fokus pendekatan ini adalah pada promosi nama, dengan tujuan untuk meningkatkan brand awareness. Pendekatan ini belum mempertimbangkan tingkat preferensi konsumen terhadap merek.
2. Functional Branding
Fokus pendekatan ini pada apa yang menjadi keunggulan atau keunikan dari atribut atau manfaat produk atau layanan yang dimiliki oleh merek.
3. Image Branding
Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada atribut produk/ layanan, tetapi juga mulai mempertimbangkan ego dan personalitas para pelanggannya. 4. Experiential Branding
Dalam pendekatan ini, perusahaan harus mampu “mengorkestrasikan” seluruh komponen yang ada agar pengalaman positif yang tercipta dalam setiap kontak dapat langsung terasa.
Memiliki merek yang kuat merupakan suatu keharusan bagi setiap produk, karena keunggulan yang bisa didapatkan beraneka ragam, mulai dari persepsi kualitas yang lebih bagus dan loyalitas merek yang lebih besar sampai peluang tambahan untuk perluasan merek. Menurut Rangkuti (2004:229), ada 10 pedoman yang dapat dilakukan untuk membangun merek yang kuat, yaitu:
1. Brand Identity
2. Value Proposition
Nilai proposisi merek adalah sebuah pernyataan secara fungsional, emosional dari suatu merek yang disampaikan kepada pelanggan.
3. Brand Position
Posisi merek adalah bagian dari identitas merek dan nilai posisi yang selalu aktif dikomunikasikan kepada pasar sasaran, sehingga dapat memperoleh keuntungan melalui persaingan merek.
4. Execution
Pelaksanaan program komunikasi yang tidak hanya ditargetkan pada identitas dan positioning, tetapi juga sampai memperoleh kecemerlangan secara terus-menerus.
5. Consistency Overtime
Memiliki identitas yang konsisten merupakan kekuatan untuk tetap memiliki merek yang kuat.
6. Brand System
Mempertimbangkan merek sebagai suatu sistem yang saling mendukung satu sama lain. Brand system dapat digunakan sebagai panggung peluncuran bagi produk-produk baru atau merek baru.
7. Brand Leverage
Menciptakan dan mengembangkan aset-aset yang ada. 8. Tracking Brand Equity
9. Brand Responsibility
Mempunyai seseorang yang bertanggung jawab atas merek, sehingga ia dapat selalu memelihara, menciptakan, dan menjaga identitas dan posisi merek serta mengkoordinasikan keputusan-keputusan yang akan dilakukan oleh masing-masing fungsi manajemen.
10.Invest in Brands
Tetap secara konsisten melanjutkan investasi dalam merek walaupun tujuan finansial perusahaan belum terpenuhi.
C. Ekuitas Merek (Brand Equity)
Aaker (dalam Simamora, 2003: 47) mengatakan bahwa ekuitas merek adalah seperangkat aset, atau kewajiban, yang dimiliki nama merek atau simbol, yang dapat menambah atau mengurangi nilai produk atau layanan.
Peter dan Olson (dalam Simamora, 2003: 49) melihat bahwa ekuitas merek memberikan nilai kepada perusahaan dan konsumen. Dari perspektif perusahaan, ekuitas merek memberikan keuntungan, aliran kas dan pangsa pasar yang lebih tinggi. Sedangkan dari perspektif konsumen, ekuitas merek terkait dengan sikap merek positif dan kuat yang didasarkan pada arti dan keyakinan positif dan jelas tentang merek dalam memori. Sikap merupakan bagian penting ekuitas merek. Merek yang memiliki ekuitas berarti disikapi secara positif oleh konsumen.
Ekuitas merek juga mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam mengambil keputusan pembelian baik itu karena pengalaman masa lalu dalam menggunakannya maupun kedekatan dengan merek dan aneka karakteristiknya (Simamora, 2003:48).
1. Dimensi Ekuitas Merek (Brand Equity)
Aaker (dalam Rangkuti, 2004:39) mengategorikan ekuitas merek (brand equity) menjadi empat aset utama, yakni:
a. Kesadaran Merek (Brand Awareness)
merek merupakan key of brand asset atau kunci pembuka untuk masuk ke elemen lainnya. Jadi jika kesadaran itu sangat rendah maka hampir dipastikan bahwa ekuitas mereknya juga rendah.
b. Persepsi Kualitas (Perceived Quality)
Persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan maksud yang diharapkan. Terdapat lima keuntungan persepsi kualitas, yaitu:
1. Alasan Untuk Membeli
Persepsi kualitas mempengaruhi merek-merek mana yang harus dipertimbangkan dan selanjutnya mempengaruhi merek apa yang akan dipilih.
2. Diferensiasi
Suatu karakteristik penting dari merek adalah posisinya dalam dimensi kesan kualitas.
3. Harga Optimum (Premium Price)
Memberikan pilihan-pilihan di dalam menetapkan harga optimum (premium price).
4. Meningkatkan Minat Para Distributor Membantu dalam perluasan distribusi. 5. Perluasan Merek
c. Asosiasi Merek (Brand Association)
Segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Asosiasi itu tidak hanya eksis, namun juga memiliki suatu tingkat kekuatan. Keterkaitan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya. Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai sehingga menbentuk citra tentang merek atau brand image didalam benak konsumen.
d. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
Ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Loyalitas merek merupakan inti dari ekuitas merek (brand equity) yang menjadi gagasan sentral dalam pemasaran, karena hal ini merupakan satu ukuran keterkaitan seorang pelanggan pada sebuah merek.
2. Nilai Ekuitas Merek (Brand Equity)
Apabila merupakan suatu nilai, berarti ekuitas merek (brand equity) dapat diukur. Young dan Rubicam (Y & R) (dalam Simamora, 2003:51), sebuah agen iklan global ternama mengembangkan metode untuk mengukur ekuitas merek (brand equity) yang dinamakan Brand Asset Valuator. Mereka mengatakan bahwa untuk mengetahui nilai ekuitas merek (brand equity), ada empat hal utama yang diukur, yaitu:
a. Diferensiasi (Differentiation), yaitu ukuran seberapa berbeda (distinctive) suatu merek dibanding merek lainnya.
c. Kebanggaan (Esteem), yaitu ukuran tentang apakah merek memperoleh penghargaan yang tinggi dan dianggap sebagai yang terbaik di kelasnya.
d. Pengetahuan (Knowledge), yaitu ukuran tentang pemahaman mengenai merek Total Research, perusahaan layanan riset di Amerika, mengembangkan metode mengukur ekuitas merek (brand equity) yang dinamakan EquiTrend. Mereka mengekspos komponen-komponen yang diukur (dalam Simamora, 2003:52), yaitu:
a. Salience, yaitu persentase responden yang memiliki opini tentang merek.
b. Perceived Quality. Ini merupakan inti EquiTrend. Di dalamnya sudah tercermin kesukaan terhadap merek, kepercayaan, kebanggaan dan keinginan untuk merekomendasikan merek.
c. Kepuasan Pemakai Merek.
Ekuitas merek (brand equity) yang tinggi didukung oleh brand value yang bersifat khusus serta sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam diri pelanggan (Rangkuti, 2004:222). Brand value terkait dengan seberapa jauh konsumen mengerti dan mempunyai asosiasi positif terhadap merek. Asosiasi dapat dibentuk melalui pendekatan kinerja produk/ layanan (brand performance), pendekatan emosi atau personifikasi (brand imagery). Brand performance terkait dengan atribut intrinsik (atribut yang melekat pada produk/ layanan), sedangkan brand imagery terkait dengan atribut ekstrinsik (atribut yang tidak terkait secara langsung dengan produk/ layanan) (Soehadi, 2005: 15).
1) Memperhatikan dimensi nilai-nilai apa saja yang relevan dari sisi konsumen yang harus tedapat pada suatu merek. Contohnya, untuk produk makanan yang paling mendasar adalah nilai aman dan rasanya enak.
2) Menentukan Unique Selling Proposition (USP) yang berkaitan dengan merek tertentu secara spesifik. Nilai ini harus spesifik dan tidak boleh terdapat pada nilai yang melekat pada merek pesaing (distinctive value).
2) Membuat strategi untuk pengembangan merek tersebut. Caranya adalah secara konsisten dan terus-menerus berupaya mengelola ekuitas merek (brand equity) serta USP dalam satu kesatuan yang terintegrasi.
3) Mengusahakan untuk tidak membuat bingung pelanggan dengan memberikan banyak nilai pada suatu merek.
4) Merek yang berhasil memiliki nilai yang spesifik, unik, tidak mudah ditiru, sehingga dapat menciptakan superior customer value, distinctive customer satisfaction, dan superior market position.
3. Manfaat Ekuitas Merek (Brand Equity)
Bagi perusahaan, ekuitas merek (brand equity) memiliki potensi untuk menambahkan nilai dengan lima cara (Simamora, 2003:48), yaitu:
a. Ekuitas merek (brand equity) dapat memperkuat program memikat konsumen baru, atau merangkul kembali konsumen lama.
c. Ekuitas merek (brand equity) memungkinkan margin yang lebih tinggi dengan menjual produk pada harga optimum (premium pricing) dan mengurangi ketergantungan pada promosi.
d. Ekuitas merek (brand equity) dapat memberikan landasan pertumbuhan dengan melakukan perluasan merek.
e. Ekuitas merek (brand equity) dapat memberi dorongan bagi saluran distribusi. D. Kesediaan Membayar Harga Premium
1. Perilaku Pembelian
Pengambilan keputusan konsumen berbeda-beda, tergantung pada jenis keputusan pembelian. Assael (dalam Sunarto, 2006:97) membedakan empat jenis perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat perbedaan merek-merek.
Tabel 2.1
Empat Jenis Perilaku Pembelian
Keterlibatan Tinggi Keterlibatan Rendah Perbedaan besar antar
Sumber: Henry Assael (dalam Sunarto, 2006:97) 1. Perilaku pembelian yang rumit
perbedaan-perbedaan besar di antara merek. Perilaku pembelian yang rumit itu lazim terjadi bila produknya mahal, jarang dibeli, beresiko dan sangat mengekspresikan diri.
2. Perilaku pembelian yang mengurangi ketidaknyamanan
Kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam sebuah pembelian namun melihat sedikit perbedaan di antara berbagai merek. Keterlibatan yang tinggi didasari oleh fakta bahwa pembelian tersebut mahal, jarang dilakukan, dan beresiko. Dalam kasus itu, pembeli akan berkeliling untuk mempelajari apa yang tersedia namun akan membeli dengan cukup cepat, barangkali pembeli sangat peka terhadap harga yang baik atau terhadap kenyamanan berbelanja, Contohnya, pembelian karpet merupakan keputusan dengan keterlibatan yang tinggi karena karpet itu mahal dan mengekspresikan kepribadian, namun pembeli mungkin menganggap sebagian besar merek karpet pada tingkat harga tertentu mempunyai kualitas yang sama.
3. Perilaku pembelian karena kebiasaan
tidak banyak terlibat dengan produk tersebut. Jadi, bagi produk dengan keterlibatan rendah, proses pembelian dimulai dengan keyakinan merek yang dibentuk oleh pemahaman pasif, dilanjutkan oleh perilaku pembelian, dan kemudian mungkin diikuti oleh evaluasi.
4. Perilaku pembelian yang mencari variasi
Beberapa situasi pembelian ditandai oleh keterlibatan konsumen yang rendah, namun perbedaan merek yang signifikan. Dalam situasi itu, konsumen sering melakukan peralihan merek. Misalnya, kue kering. Konsumen memiliki beberapa keyakinan tentang kue kering, memilih merek kue kering tanpa melakukan banyak evaluasi, dan mengevaluasi produk selama konsumsi. Namun pada kesempatan berikutnya, konsumen mungkin mengambil merek lain karena bosan atau ingin mencari rasa yang berbeda.
2. Pengertian Harga
Pepadri (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002) menyimpulkan bahwa harga adalah sejumlah uang yang ditentukan perusahaan sebagai imbalan barang atau jasa yang diperdagangkan dan sesuatu yang lain yang diadakan perusahaan untuk memuaskan keinginan konsumen dan merupakan salah satu faktor penting dalam pengambilan keputusan pembelian.
3. Persepsi Harga
Pada saat konsumen melakukan evaluasi dan penilaian terhadap harga dari suatu produk sangat dipengaruhi oleh perilaku dari konsumen itu sendiri. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh empat aspek utama (Setiadi, 2003:11), yaitu: faktor-faktor kebudayaan (kebudayaan dan kelas sosial), faktor-faktor-faktor-faktor sosial (kelompok referensi, keluarga, peran dan status), faktor pribadi (umur dan tahapan dalam siklus hidup, pekerjaan, keadaan ekonomi, gaya hidup dan kepribadian serta konsep diri), dan faktor-faktor psikologis (motivasi, persepsi, proses belajar, kepercayaan dan sikap). Sedangkan pengertian persepsi adalah proses yang digunakan oleh seorang individu untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasi masukan-masukan informasi guna menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti (Sunarto, 2006:94). Dengan demikian penilaian terhadap harga suatu produk dikatakan mahal, murah atau biasa saja dari setiap individu tidaklah harus sama, karena tergantung dari persepsi individu yang dilatarbelakangi oleh lingkungan kehidupan dan kondisi individu.
4. Persepsi Harga Terhadap Kualitas
1) Konsumen percaya ada perbedaan kualitas di antara berbagai merek dalam suatu produk kategori.
2) Konsumen percaya kualitas yang rendah dapat membawa resiko yang lebih besar.
3) Konsumen tidak memiliki informasi lain kecuali merek terkenal sebagai referensi dalam mengevaluasi kualitas sebelum melakukan pembelian.
5. Persepsi Harga Terhadap Nilai
Persepsi nilai adalah evaluasi menyeluruh dari kegunaan suatu produk yang didasari oleh persepsi konsumen terhadap sejumlah manfaat yang akan diterima dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan atau secara umum di pikiran konsumen value dikenal dengan istilah “value for money”, “best value”, dan “you get what you pay for” (Morris dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002). Menurut Zeithaml dan Bitner (dalam Usahawan No. 10 Th XXXI Oktober 2002), pengertian harga terhadap nilai dari sisi konsumen dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a. Value is low price
Kelompok konsumen yang menganggap bahwa harga murah merupakan value yang paling penting buat mereka sedangkan kualitas sebagai value dengan tingkat kepentingan yang lebih rendah. Strategi harga yang harus dilakukan adalah:
1) Odd Pricing
2) Synchro Pricing
Memberikan harga dengan faktor-faktor pembeda yang menyebabkan sensitivitas harga meningkat, misal: place, timing, quantity.
3) Penetration Pricing
Menetapkan harga rendah terutama pada saat introduction untuk menstimulasi konsumen melakukan trial.
4) Discounting
Memberikan potongan harga untuk menciptakan sensitivitas terhadap harga sehingga tercipta pembelian.
b. Value is whatever I want in a product or services
Bagi konsumen dalam kelompok ini, value diartikan sebagai manfaat, kualitas yang diterima bukan semata harga saja atau value adalah sesuatu yang dapat memuaskan keinginan. Strategi harga yang dapat dilakukan:
1) Prestige Pricing
Penetapan harga premium untuk menjaga image sebagai produk dengan kualitas yang sangat baik dan memberikan image yang berbeda bagi yang memiliki atau menggunakan merek.
2) Skimming Pricing
c. Value is the quality I get for the price I pay
Konsumen pada kelompok ini mempertimbangkan value adalah sesuatu manfaat/ kualitas yang diterima sesuai dengan besaran harga yang dibayarkan. Adapun pendekatan harga yang dapat dilakukan adalah:
1) Value Pricing
Menciptakan value lebih dari aspek manfaat atau besaran yang dapat dibandingkan dengan harga itu sendiri, biasanya dengan strategi bundling. 2) Market Segmentation Pricing
Memberikan harga berbeda-beda sesuai dengan segmen yang didasari value yang diterima.
d. Value is what I get what I give
Konsumen menilai value berdasarkan besarnya manfaat yang diterima dibandingkan dengan pengorbanan yang dikeluarkan baik dalam bentuk besarnya uang yang dikeluarkan, waktu dan usahanya. Pendekatan harga yang dapat dilakukan:
1) Price Framing
Memberikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan pembagian kelompok berdasarkan besarnya manfaat yang diterima.
2) Price Bundling
Memberikan harga untuk dua jasa/ produk yang saling komplemen.
a. Konteks
Kesediaan konsumen untuk berkorban dengan membayar harga yang lebih mahal, dibandingkan kehilangan nilai lain yang lebih penting pada saat itu, sehingga dapat dikatakan value produk tersebut sangat tinggi.
b. Ketersediaan Informasi
Memiliki informasi yang banyak dan lengkap maka konsumen akan mendapatkan value atas produk tersebut.
c. Asosiasi
Dalam upaya peningkatan value dari suatu produk dengan cara menaikkan harga, produsen harus memperhatikan asosiasi konsumen terhadap pengalaman yang dimiliki selama ini.
6. Harga Premium
Srinivasan dan Chan Su Park (dalam Simamora, 2003:55) menilai harga premium sebagai perbedaan harga maksimal antara merek yang paling disukai dengan merek yang paling tidak disukai, yang dapat diterima konsumen. Sebagai gambaran, konsumen rela membeli air mineral merek Aqua dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga air mineral bermerek Ades, Dua Tang, Vit, dan lain-lain, padahal bila merek produk tersebut ditanggalkan dan berbagai merek air mineral tersebut disajikan dalam gelas yang seragam, konsumen sulit membedakan produk-produk tersebut. Kesediaan konsumen untuk membayar dengan harga lebih tinggi untuk merek Aqua menunjukkan penghargaan mereka yang “lebih” kepada merek Aqua tersebut dibandingkan kepada para pesaingnya.
dalam berbagai upaya membangun merek seperti menguatkan kesadaran/ asosiasi atau segala akitivitas penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan mutu suatu produk. Harga premium tidak hanya memberikan sumber daya, melainkan juga bisa menguatkan kesan kualitas. Pendapat “anda mendapatkan apa yang anda bayar” bisa sangat berguna terutama dalam kasus dimana informasi obyektif mengenai barang dan jasa tertentu tidak tersedia sewaktu-waktu (www.dahlanforum.wordpress.com).
A. Sejarah Singkat Perusahaan
PT Sophie Martin Indonesia merupakan perusahaan Multi Level Marketing (MLM) yang beroperasi di Indonesia sejak tahun 1994. Sudah lebih dari 13 tahun lamanya Sophie Martin berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Perusahaan ini tumbuh menjadi perusahaan penyedia produk fashion yang mempunyai peranan penting di Indonesia. Sophie Martin didirikan pada 21 Juli 1994, terdaftar dalam APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia) dengan nama PT Sophie Martin Indonesia dan member ID 0025/09/98. Klasifikasinya adalah produk fashion dan kosmetik. Pada awal pendirian memiliki modal dasar sebesar Rp.100.000.000,00. Kantor pusatnya berada di Gedung HERO I lantai 3 Jl. Gatot Subroto Kav. 64 No. 177 A Jakarta Selatan.
1. Filipina
Sophie Paris Filipina Inc. (SPFI) didirikan pada tahun 2003 melalui kesepakatan kerja sama antara Sophie Martin Indonesia dan sebuah perusahaan lokal di Filipina. SPFI terletak di Shaw Boulevard Mandaluyong Manila. SPFI mempunyai 39 karyawan yang dikelola oleh Bapak Guillaume Ricard yang bekerja keras untuk dapat melayani 50 Business Centre (BC) beserta 80.000 membernya.
2. Australia
Sophie Martin hadir di Perth, Australia sejak tahun 2004. 3. Singapura
Sophie Martin hadir di Singapura sejak Januari 2007. Ada tiga Business Centre (BC) yang memberikan pelayanan kepada para member di Singapura dan Malaysia
4. Brunei Darussalam
Sophie Martin Brunei telah dibuka sejak Juli 2007. Ada dua Business Centre (BC) yang membeli produk Sophie Martin dari Indonesia dan menjualnya di Brunei.
Perusahaan Sophie Martin memiliki tiga nilai (value), yaitu: 1. Tim kerja yang profesional
2. Semangat untuk maju
Sophie Martin didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, dan semangat tinggi untuk maju menjadi perusahaan Multi Level Marketing (MLM) fashion nomor satu di Indonesia dan Asia.
3. Inovasi terdepan
Sebagai leader dalam bisnis MLM fashion, Sophie selalu melakukan inovasi baru untuk menciptakan peluang bisnis dan produk berkualitas untuk kepuasan pelanggan.
Perusahaan Sophie Martin sukses membangun industri fashion melalui Multi Level marketing (MLM) di Indonesia karena selalu fokus mengelola bisnisnya dan konsisten melakukan beberapa strategi marketing, diantaranya:
1. Menerbitkan katalog setiap dua bulan sekali
2. Menampilkan produk yang terbaik pada setiap katalognya 3. Design yang trendi
4. Harga yang kompetitif dan terjangkau 5. Mengadakan promosi pada setiap penerbitan
6. Fashion show oleh Business Center (BC) setiap enam bulan sekali 7. Acara mall to mall
8. Memberikan sponsorship
menyumbang sebesar 20 %, aksesoris 10 % dan kosmetik 10 %. Secara historis, produk tas memang selalu menjadi penyumbang terbesar pendapatan Sophie Martin.
B. Visi dan Misi Sophie Martin 1. Visi Sophie Martin
Visi Sophie Martin adalah menjadi perusahaan Multi Level Marketing (MLM) fashion nomor satu di Asia yang didukung oleh Sumber daya Manusia (SDM) profesional.
2. Misi Sophie Martin
Misi Sophie Martin adalah menjadi terkenal di seluruh Asia dan tetap menjadi leader di bidang Multi Level Marketing dengan membangun member/karyawan secara berkesinambungan.
C. Tas Sophie Martin
Tas merupakan produk fashion pertama yang diproduksi oleh PT Sophie Martin Indonesia. Produk ini dirancang dan dikembangkan oleh Sophie Martin, seorang wanita berkebangsaan Perancis, yang namanya digunakan sebagai brand PT Sophie Martin Indonesia.
kaum menengah ke bawah bagi kebutuhan dan keinginan mereka akan produk bagus dan berkualitas dengan harga terjangkau.
Tabel 3.1
Produk Tas Sophie Martin
Produk Tas sophie Martin
Tahiti Rivette Pepette
Josette Sycamore Crimp
Produk Tas sophie Martin
Alameda Orville Millicent
Sunshine Anoush Hortense
Sorley Wallygator Amphore
D. Profil Singkat Business Centre (BC) Rosida
Business Centre (BC) Rosida merupakan salah satu dari dua belas Business Centre (BC) Sophie Martin yang terdapat di Kota Medan. Perwakilan (Business Centre (BC)) Rosida dipimpin oleh Rosida. Berawal dari tekad dan semangat yang kuat serta kerja keras, Rosida memulai kegiatan bisnis Sophie Martin pada tahun 1997. Pada awalnya, Rosida adalah anggota (member) biasa dengan peringkat awal president dan menjadi downline Binsar Siahaan yang berada di kota Binjai.
Sophie Martin merupakan bisnis yang mengandalkan para anggota (member) atau jaringan untuk mendukung kenaikan peringkat (level). Oleh karena itu, Rosida senantiasa berusaha memperluas jaringan dengan merekrut downline.
Pada bulan September 2002, Business Centre (BC) Rosida resmi sebagai perwakilan Sophie Martin karena telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh PT Sophie Martin Indonesia, yaitu:
1. Memiliki tempat yang representative di lokasi yang strategis 2. Memiliki kecukupan permodalan
3. Memiliki kemampuan melakukan acara dan pengembangan jaringan 4. Melengkapi data aplikasi calon BC
5. Minimal peringakat Gold Franchise
6. Minimal memiliki Total Penjualan Grup (TPG) Rp. 50.000.000,00 HK (Harga Katalog)
7. Minimal memiliki 100 downline langsung
A. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel. Uji validitas dan reliabilitas
dilakukan untuk menguji apakah kuesioner layak digunakan sebagai instrumen
penelitian atau tidak. Valid artinya data yang diperoleh melalui kuesioner dapat
menjawab tujuan penelitian. Reliabel artinya data yang diperoleh melalui
kuesioner hasilnya konsisten bila digunakan untuk peneliti lain.
1. Uji Validitas
Pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan bantuan
software SPSS 12.0 for windows. Adapun syarat sebuah instrumen dapat dinyatakan valid menurut Sugiyono (2004:115), yaitu:
a. Korelasi tiap faktor positif
b. Nilai korelasi tiap faktor melebihi 0.3
Instrumen penelitian memiliki validitas konstruksi yang baik apabila telah
memenuhi persyaratan di atas.
Tabel 4.1 merupakan hasil pengolahan yang telah dilakukan kepada 30
Tabel 4.1
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS (2008)
Tabel 4.2 Validitas Instrumen
Corrected Item-Total
Correlation r kritis Keputusan
Butir 1 .358 0.3 Valid
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS (2008)
Pada Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa nilai pada Corrected Item-Total Correlation lebih besar dari r kritis 0.3, sehingga dapat dinyatakan dua puluh butir instrumen dalam penelitian ini valid.
2. Uji Reliabilitas
Setelah dilakukan uji validitas maka dilanjutkan dengan uji reliabilitas
instrumen. Pengujian reliabilitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan
bantuan software SPSS 12.0 for windows. Kuncoro (dalam Situmorang, et.al, 2008:40) menyatakan instrumen dapat dikatakan reliabel (andal) bila memiliki
Tabel 4.3 Reliabilitas Instrumen
Cronbach's Alpha
if Item Deleted Kuncoro Keputusan
Butir 1 .865 0.80 Reliabel
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS (2008)
Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa seluruh butir pernyataan dinyatakan
Tabel 4.4
Reliability Statistics
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS (2008)
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa semua butir instrumen
reliabel karena nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,868 lebih besar dari 0,80.
B. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini untuk merumuskan dan
menginterpretasikan hasil penelitian berupa identitas responden dan deskriptif
variabel.
1. Identitas Responden
Responden dalam penelitian ini adalah member yang terdaftar di Business Centre Rosida dan telah melakukan pembelian berulang terhadap tas Sophie Martin minimal dua kali. Berikut ini diperlihatkan data identitas responden yang
dilihat dari segi usia, pekerjaan dan frekuensi pembelian tas Sophie Martin.
Cronbach's Alpha N of Items
a. Usia Responden
Tabel 4.5 Usia Responden
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS (2008)
Pada Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa jumlah responden terbanyak
berusia 37 tahun, yaitu 14 orang atau 14 %, yang paling sedikit berusia 22
tahun, 23 tahun, 35 tahun, 42 tahun, 46 tahun, dan 48 tahun masing-masing
berjumlah 1 orang atau 1 %. Responden berusia 21 tahun, 25 tahun, 29 tahun, Frequency Percent Valid Percent
31 tahun, 41 tahun, 45 tahun, dan 50 tahun masing-masing berjumlah 2 orang
atau 2 %. Responden yang berusia 24 tahun, 27 tahun, 30 tahun, 32 tahun, 34
tahun, 43 tahun, 44 tahun, dan 49 tahun masing-masing berjumlah 3 orang
atau 3 %. Responden berusia 26 tahun, 28 tahun, 38 tahun, dan 40 tahun
masing-masing berjumlah 4 orang atau 4 %. Responden berusia 33 tahun
sebanyak 5 orang atau 5 %. Responden yang beusia 36 tahun dan 47 tahun
masing-masing berjumlah 6 orang atau 6 %. Sedangkan lainnya, yaitu
sebanyak 9 orang atau 9 % berusia 39 tahun.
Hasil klasifikasi data menunjukkan bahwa responden berusia 21 tahun
sampai dengan 50 tahun. Usia ini tergolong dewasa, karena dengan usia
seperti ini responden diharapkan dapat menjawab dengan baik setiap
pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner sehingga hasil yang diperoleh
benar-benar sesuai dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh responden
selama menggunakan tas Sophie Martin.
b. Pekerjaan Responden
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa mayoritas responden berprofesi sebagai
Ibu Rumah Tangga, yang berjumlah 29 orang tau 29 % dan hanya 2 orang atau
2 % memiliki pekerjaan sebagai Pedagang. Responden yang berprofesi
Mahasiswa berjumlah 3 orang atau 3 %, 16 orang atau 16 % berprofesi Guru,
17 orang atau 17 % berpofesi Karyawan, 21 orang atau 21 % berprofesi
Pegawai Negeri Sipil, dan sebanyak 12 orang atau 12 % berprofesi
wiraswasta.
Berdasarkan tabel tersebut juga dapat disimpulkan bahwa responden
yang menggunakan tas Sophie Martin berasal dari 7 kategori pekerjaan.
Responden dari kategori pekerjaan Ibu Rumah Tangga yang jumlahnya lebih
banyak dari kategori pekerjaan lainnya, dapat menggambarkan bahwa mereka
memiliki kecenderungan untuk selalu tampil serasi dan fashionable dengan memilih Sophie Martin sebagai tas mereka.
c. Frekuensi Pembelian
Tabel 4.7
Frekuensi Pembelian Tas Sophie Martin
Frequency Percent Valid Percent
Sumber: Hasil Pengolahan SPSS (2008)
Berdasarkan tabel 4.7 dapat dilihat bahwa berdasarkan frekuensi
pembelian produk Sophie Martin berupa tas, responden yang melakukan
pembelian lebih dari dua kali sebanyak 67 orang atau 67 %. Sedangkan
responden yang melakukan pembelian tas Sophie Martin sebanyak dua kali