• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor) Dengan Berbagai Ratio Betina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor) Dengan Berbagai Ratio Betina"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA

SKRIPSI

Oleh:

JULI MUTIARA SIHOMBING 060306020

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA

SKRIPSI Oleh:

JULI MUTIARA SIHOMBING 060306020/PETERNAKAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul :iPola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor) dengan Berbagai Ratio Betina

Nama : Juli Mutiara Sihombing

Nim : 060306020

Departemen : Peternakan Progam Studi : Peternakan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ristika Handarini, MP Ir. Eniza Saleh, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

Prof. Dr. Ir. Zulfikar Siregar, MP Ketua Departemen Peternakan

(4)

ABSTRAK

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor) dengan berbagai Ratio Betina. Dibimbing oleh RISTIKA HANDARINI dan ENIZA SALEH.

Informasi mengenai pola reproduksi sangat diperlukan untuk penerapan teknologi reproduksi pada ternak rusa. Penelitian ini menguji perbedaan pola perkawinan rusa sambar (cervus unicolor) dengan berbagai ratio jantan dan betina. Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan rusa . Pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina untuk setiap ratio jantan dan betina yang diamati adalah 1:1, 1:3 dan 1:5. Pencatatan data meliputi tingkah laku reproduksi rusa jantan, tingkah laku estrus pada rusa betina dan pola perkawinan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perkawinan dengan rasio jantan dan frekuensi pemunculan gejala estrus dan tingkah laku kawin dikandang 1:3 lebih tinggi dibandingkan dengan dikandang 1:1 dan 1:5. Not Return Rate pada kandang ratio 1:3 yaitu 100 % artinya betina berhasil dikawini pejantan dan tidak menunjukkan gejala estrus pada siklus berikutnya.

(5)

ABSTRACT

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pattern of Matting Behavior of Sambar Deer (Cervus unicolor) in various ratio of hinds. Supervised by RISTIKA HANDARINI and ENIZA SALEH.

Information on reproductive patterns is required for the application of reproductive technology in breeding deer. Purpose of this research was to study differences pattern of matting behavior of sambar deer (Cervus unicolor) with various ratio of hind. This research could be used as a reference in the development of farmer deer. Profile of reproductive interactions between stag and hinds were observed on 1:1, 1:3 and 1:5. Data collected were patterns of: sexual behavior of sambar stags, estrous behavior of sambar hinds and matting behavior (frequency and time duration) of sambar stags and hinds.

The results showed that the pattern of matting behavior with ratio 1:3 indicates that behavior frequency of of stags in hard antler stage higher than ratio 1:1 and 1:5, respectively. Frequency of estrous signs and matting behavior on ratio 1:3 higher than ratio 1:1 and 1:5, respectively. Not Return Rate on ratio 1:3 is 100%. It means that successfully matting can be showed by no estrous sign of hinds in the next estrous cycle.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tarutung, Tapanuli Utara, 15 Juli 1988 dari ayah W. Sihombing dan Ibu A. Panggabean. Penulis merupakan putri keempat dari lima bersaudara.

Pada tahun 2006 penulis lulus dari SMU. Negeri 2 Tarutung dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur PMP (Pemanduan Minat dan Prestasi). Penulis memilih program studi Ilmu Produksi Ternak, Departemen Peternakan.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. INDOJAYA AGRINUSA, COMFEED Mei 2009 sampai bulan Agustus 2009 dan melaksanakan penelitian Skripsi pada bulan Maret 2010 hingga bulan Juni 2010 di Penangkaran Rusa Universitas Sumatera Utara, Medan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skipsi ini dengan baik.

Proposal dengan judul “Pola perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor) dengan berbagai ratio betina” merupakan salah satu syarat untuk

dapat melakukan memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ristika Handarini, MP. sebagai dosen ketua pembimbing dan Ir. Eniza

Saleh, MS. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan skipsi ini. Ucapan terimakasih kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan fasilitas hewan penelitian yaitu rusa sambar yang berada di penangkaran rusa USU. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan memberikan dukungan moril serta materil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terselesaikannya skripsi ini, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2010

(8)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Rusa Sambar ... 5

Habitat ... 7

Karakteristik Reproduksi Rusa Jantan dan Betina... 8

Pola Kopulasi ... 13

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

Bahan dan Alat ... 16

Metode Penelitian ... 17

Parameter Penelitian ... 17

Pelaksanaan Penelitian ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkah Laku Reproduksi Rusa Jantan ... 21

Tingkah Laku Estrus Rusa Betina ... 27

Tingkah Laku Kawin Rusa Jantan dan Betina ... 31

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 39

Saran ... 39

(9)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Tingkah laku reproduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras

dalam kandang kelompok 17

2. Tingkah laku estrus pada rusa betina dalam kandang kelompok 18 3. Tingkah laku kawin rusa dalam kandang kelompok 18 4. Rataan frekuensi tingkah laku rerpoduksi rusa jantan pada tahap

ranggah keras dengan berbagai ratio jantan dan betina 21 5. Rataan durasi tingkah laku repoduksi rusa jantan pada tahap

ranggah keras dengan berbagai ratio jantan dan betina 22

6. Rataan frekuensi gejala estrus 27

7. Rataan lama (durasi) dari setiap gejala estrus 29

8. Rataan frekuensi tingkah laku kawin 32

9. Rataan Lama (durasi) tingkah laku kawin 34

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Hal

1. Denah kandang rusa penelitian 19

2. Tingkah laku reproduksi rusa jantan pada ranggah keras: (a) berkubang (wallowing), (b) menguak, (c) membuat mahkota, (d) berguling-guling 26 3. Grafik rataan frekuensi tingkah laku reproduksi rusa jantan 27 4. Tingkah laku estrus rusa betina: (a) jantan nyengir, (b) betina urinasi dan

jantan melakukan rub urination, (c) posisi betina lordosis, (d) Betina

berkubang dengan jantan 30

5. Grafik rataan frekuensi gejala estrus rusa betina 31 6. Tingkah laku kawin: (a) jantan mencium genital betina, (b) ereksi, (c)

mounting dan intromisi, (d) ejakulasi dan posisi betina lordosis 35

(11)

ABSTRAK

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pola Perkawinan Rusa Sambar (Cervus unicolor) dengan berbagai Ratio Betina. Dibimbing oleh RISTIKA HANDARINI dan ENIZA SALEH.

Informasi mengenai pola reproduksi sangat diperlukan untuk penerapan teknologi reproduksi pada ternak rusa. Penelitian ini menguji perbedaan pola perkawinan rusa sambar (cervus unicolor) dengan berbagai ratio jantan dan betina. Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengembangan peternakan rusa . Pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina untuk setiap ratio jantan dan betina yang diamati adalah 1:1, 1:3 dan 1:5. Pencatatan data meliputi tingkah laku reproduksi rusa jantan, tingkah laku estrus pada rusa betina dan pola perkawinan yang muncul dan frekuensinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola perkawinan dengan rasio jantan dan frekuensi pemunculan gejala estrus dan tingkah laku kawin dikandang 1:3 lebih tinggi dibandingkan dengan dikandang 1:1 dan 1:5. Not Return Rate pada kandang ratio 1:3 yaitu 100 % artinya betina berhasil dikawini pejantan dan tidak menunjukkan gejala estrus pada siklus berikutnya.

(12)

ABSTRACT

JULI MUTIARA SIHOMBING: Pattern of Matting Behavior of Sambar Deer (Cervus unicolor) in various ratio of hinds. Supervised by RISTIKA HANDARINI and ENIZA SALEH.

Information on reproductive patterns is required for the application of reproductive technology in breeding deer. Purpose of this research was to study differences pattern of matting behavior of sambar deer (Cervus unicolor) with various ratio of hind. This research could be used as a reference in the development of farmer deer. Profile of reproductive interactions between stag and hinds were observed on 1:1, 1:3 and 1:5. Data collected were patterns of: sexual behavior of sambar stags, estrous behavior of sambar hinds and matting behavior (frequency and time duration) of sambar stags and hinds.

The results showed that the pattern of matting behavior with ratio 1:3 indicates that behavior frequency of of stags in hard antler stage higher than ratio 1:1 and 1:5, respectively. Frequency of estrous signs and matting behavior on ratio 1:3 higher than ratio 1:1 and 1:5, respectively. Not Return Rate on ratio 1:3 is 100%. It means that successfully matting can be showed by no estrous sign of hinds in the next estrous cycle.

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketercukupan dalam memenuhi kebutuhan pangan khususnya protein hewani pertanian selama ini, selain komoditas ternak unggulan (ayam, sapi, kambing, domba), beberapa komoditas "minor animals/livestock" perlu mendapat perhatian (Bahri et al. 2004). Pengembangan komoditas baru tentu harus disesuaikan faktor-faktor fisiologi, biofisik dan sosial ekonomi yang merupakan sumber keunggulan wilayah (Simatupang et al. 2004). Rusa merupakan salah satu alternatif sebagai hewan yang mempunyai potensi untuk ditingkatkan statusnya mengingat ketersediaannya yang meluas hampir di setiap pulau di Indonesia.

Keunggulan rusa, venison (dagingnya) mempunyai kandungan lemak rendah dan hasil ikutannya mempunyai nilai ekonomis tinggi antara lain kulit, ranggah, velvet, tulang, darah, kulit dan gigi. Bahkan by product dari rusa (penis, otot kaki belakang, ekor, fetus yang telah mati) tetap mempunyai nilai tinggi untuk pengobatan China. Rusa menghasilkan daging (venison) dan sumber protein yang sangat baik. Proporsi berat karkas dan berat hidup (dreesing percentage) rusa mencapai 56 – 58% dibandingkan sapi (51 – 55% dan domba (44 – 50%).

(14)

ayam (protein; 31 g, kalori; 159 kkal, lemak; 3,42 g, kolestrol; 83 mg), kalkun (protein; 29 g, kalori; 154 kkal, lemak; 3,45 g, kolestrol; 68 mg).

Mengingat potensinya, maka upaya peningkatan populasi rusa didukung sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan agar pengembangan rusa dapat semakin memasyarakat. SK Menteri Pertanian No. 362/KPTS/TN/12/V/1990, menyatakan bahwa rusa masuk dalam kelompok ternak yang dapat dibudidayakan seperti ternak lainnya dan termasuk pula didalamnya mengatur tentang peraturan izin usaha. Peraturan Pemerintah RI No 8 Tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar khususnya pasal 11 telah memberikan peluang bahwa generasi ke dua (F2) hasil penangkaran sudah merupakan ternak budidaya (Jacoeb dan Wiryosuhanto, 1994). SK Menteri pertanian No. 404/KPTS/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan: rusa dimasukkan sebagai salah satu jenis hewan yang dapat dibudidayakan dan dikembangbiakkan sebagai ternak, untuk mendukung otonomi daerah maka dalam pengembangan budidaya rusa kewenangan pemberian izin dan pengawasan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah melalui BKSDA (Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam) setempat.

(15)

dapat mengatur ketersediaan rusa bagi pemenuhan produksi daging, ranggah, dan kulit.

Upaya pengembangbiakan rusa diluar habitatnya membutuhkan kajian yang mendalam agar secara alamiah tidak mengganggu kemampuan reproduksinya. Untuk tujuan peningkatan rusa dapat dipercepat dengan memanfaatkan teknologi dan manajemen reproduksi. Dengan melibatkan teknologi reproduksi maka selain tujuan peternakan tercapai juga sebagai upaya konservasi plasma nuftah untuk mencegah kepunahan. Penerapan teknologi reproduksi memerlukan informasi mengenai sifat-sifat fisiologis dan pola reproduksi alamiah yang akurat. Untuk spesies rusa tropis, informasi pada kondisi alamiahnya tersebut belum diperoleh.

Laju peningkatan populasi di habitat penangkaran tanpa introduksi teknologi reproduksi masih kurang memuaskan. Disisi lain untuk penerapan teknologi reproduksi diperlukan data-data dasar sifat-sifat fisiologis dan pola reproduksi pada rusa sambar didaerah tropis belum tersedia. Data yang ada masih diadopsi dari negara-negara empat musim yang secara fisiologi mempunyai perbedaan terhadap respon panjang hari dan pemunculan aktivitas reproduksinya. Oleh karena informasi mengenai pola reproduksi sangat diperlukan sebelum diterapkan teknologi reproduksi pada ternak rusa.

Tujuan Penelitian

(16)

Kegunaan Penelitian

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Rusa Sambar

Rusa Sambar (Cervus unicolor) merupakan populasi rusa terbesar untuk daerah tropik dengan sebaran di Indonesia mencakup pulau besar dan kecil yaitu pulau Sumatera, Kalimantan, Irian, Nusa Tenggara Timur dan Barat serta pulau kecil di sekitar Sumatera (Whitehead, 1994).

Klasifikasi rusa Sambar berdasarkan tata nama ilmiah menurut (Eco India, 2008) sebagai berikut: kingdom: Animalia, pilum: Chordata, Class: Mamalia, ordo: Artiodactyla, sub ordo: Ruminantia, famili: Cervidae, Sub famili:

Cervinae, genus: Cervus, spesies: C. unicolor, zoological name: Cervus unicolor.

Famili cervidae merupakan kelompok kompleks terbagi atas 57 spesies dan hampir 200 sub spesies. Rusa Sambar (sambur, sambhur, Tamil: Kadaththi man) adalah nama umum untuk beberapa rusa Asia yang mempunyai ciri

berwarna coklat gelap dan tinggi pundak mencapai 102-160 cm dengan bobot badan mencapai 546 kg (Nugent et al., 2001). Tinggi badan pada rusa jantan dapat mencapai 160 cm dengan berat badan antara 136-320 kg, sedangkan rusa yang betina mencapai 115 cm dengan berat badan 135-225 kg. Ukuran ini bervariasi tergantung pada sub spesies. Ada kecenderungan sub spesies rusa sambar yang berasal dari India dan Sri Lanka merupakan yang terbesar (Awal et al., 1992, Lewis et al., 1990). Peternakan rusa di Australia mencatat, rusa Sambar

betina dapat mencapai berat badan 228 kg (Anderson, 1984).

(18)

yang lebih panjang dibandingkan bulu pada badan rusa. Bulu rusa Sambar kasar dan tidak terlalu rapat. Pada daerah leher bagian lateral, bulu membentuk suatu surai/malai (mane). Perubahan warna bulu dari coklat cerah menjadi lebih gelap, khususnya pada yang jantan dominan, sering terlihat bersamaan dengan masuknya pejantan ke masa aktif reproduksi (Semiadi, 2004 tidak dipublikasi).

Rusa mempunyai ranggah yang spesifik terdiri atas jaringan kartilago yang berbeda secara struktural dengan tanduk yang terdiri atas jaringan keratin. Bentuk dan struktur ranggah rusa spesifik untuk tiap spesies. Pada rusa sambar struktur ranggah terdiri atas cabang pertama yang letaknya paling bawah disebut brow tines, sedang cabang kedua dengan dua ujung masing-masing inner top tines

yang terletak dibagian dalam dan outer top tines di bagian luar (Anderson, 1978). Ranggah akan mengalami siklus pertumbuhan dan ranggah muda yang baru tumbuh tersusun oleh cartilago (Haigh dan Hudson, 1993). Pada masa pertumbuhan ranggah, mempunyai banyak pembuluh darah dan jaringan syaraf dan berwarna hitam (Gray et al., 1992), serta diselimuti kulit yang halus dengan bulu yang lembut (Wilson, 1989) dikenal dengan sebutan velvet antler. Berikutnya ranggah rusa yang telah berkembang maksimal akan berhenti pertumbuhannya dan mengalami kalsifikasi, yaitu pembuluh darah dan jaringan syaraf menjadi mati, jaringan cartilago mengalami pengerasan (tulang) dan fase ini disebut dengan tahap ranggah keras.

(19)

(Goss, 1983). Hasil penelitian (Handarini, 2006) siklus ranggah rusa timor terdiri atas 3 tahap yaitu ranggah velvet (rataan 148.8 ± 11.44 hari), tahap ranggah keras (208.8 ± 3.44 hari ) dan tahap casting (16 ± 0.80 hari).

Habitat, Upaya Penangkaran dan Sistem Peternakan Rusa Sambar

Habitat alami rusa terdiri atas beberapa tipe vegetasi seperti savana yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan menghindarkan diri dari predator. Hutan sampai ketinggian 2.600 m di atas permukaan laut dengan padang rumput merupakan habitat yang paling disukai oleh rusa terutama jenis Cervus timorensis, kecuali Cervus unicolor yang sebagian besar aktivitas hariannya dilakukan pada daerah payau (Garsetiasih, dan Mariana 2007). Daerah habitat asli rusa sambar berupa daerah payau atau berair, namun dengan berkembangnya wilayah perkebunan kelapa sawit di habitat rusa sambar, ternyata rusa mampu bertahan dan terbukti dapat berkembang dengan baik (Semiadi, 2004 pengamatan pribadi).

(20)

produktif karena dapat bereproduksi setiap tahun dan mempunyai tingkat produksi yang tinggi dengan persentase karkas yang lebih tinggi dibandingkan satwa lain.

Karakteristik Reproduksi Rusa Jantan dan Betina

Dilihat dari segi reproduksi, rusa termasuk satwa liar yang produktif, masa aktif reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun- 12 tahun dan umur maksimum yang dapat dicapai sekitar 15-20 tahun (Garsetiasih dan Herlina, 2004). Di China

rusa mampu beradaptasi pada habitat dengan iklim yang berubah-ubah (Li et al., 2001). Di zona temperate, musim kawin rusa white-tailed (Odocoileus

virginianus) sangat dipengaruhi oleh iklim, akan tetapi ruminansia ini dapat kawin

sepanjang tahun jika hidup di kawasan tropis.

Karakteristik reproduksi rusa jantan mempunyai korelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah. English (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan rangggah rusa jantan yang hidup di daerah tropis sama dengan rusa jantan di daerah empat musim yang melewati empat tahap pertumbuhan ranggah yaitu: pedicle, velvet, ranggah keras dan lepas ranggah (casting). Beberapa peneliti juga

mengemukakan bahwa aktivitas reproduksi rusa jantan di daerah empat musim mempunyai siklus yang berhubungan dengan tahap pertumbuhan ranggah (Brown et al. 1983; Mylrea 1992) dan panjang hari (Bubenik et al. 1987). Sedangkan

siklus reproduksi rusa tropis diyakini tidak dipengaruhi oleh panjang hari. Nalley et al., (2005) mengemukakan adanya perbedaan aktivitas reproduksi pada tahap

(21)

dibandingkan ranggah velvet. Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas reproduksi erat kaitannya dengan pertumbuhan ranggah.

Fungsi ranggah selain sebagai penanda aktifitas reproduksi dengan cara menggaruk-garukkan ranggah pada batang pohon, membuat tanda teritori yang tidak boleh dijamah pejantan lain, juga digunakan sebagai alat perlindungan diri pada saat perkelahian untuk memperebutkan rusa betina.

Pada kelompok rusa ketika memasuki musim kawin, pejantan akan berkompetisi dengan pejantan lain untuk dapat menguasai kelompok betina yang dapat dikawininya. Sifat kompetisi ini akan membentuk suatu susunan kekuatan penguasaan yang disebut hierarki, pejantan yang dapat menguasai kelompok

betina disebut pejantan dominan. Sedangkan sifat mengumpulkan

beberapa ekor betina oleh seekor pejantan disebut pengumpulan harem (Semiadi dan Nugraha, 2004). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada

beberapa spesies rusa tropis pada saat musim kawin mengeluarkan suara yang khas, lebih ganas, berguling dan berendam dalam lumpur, seperti pada rusa sambar (Schroder, 1976) dan rusa totol (Hadi, 1984).

Penelitian pada kondisi kandang yang berbeda menunjukkan perbedaan tingkah laku reproduksi rusa jantan. Tingkah laku yang umum tampak di habitat alaminya pada masa aktif reproduksi rusa jantan akan menunjukkan: rutting (mengasah tanduk), menandai daerah teritori dengan cara urinasi (urine spray), wallowing (berkubang) bila ada kubangan, membuat lubang di tanah dengan

(22)

semen maka beberapa tingkah laku akan menghilang menyesuaikan dengan kondisi kandang. Rusa jantan tidak dapat membuat lubang dan mengasah tanduk dilakukan pada kayu kandang (Toelihere et al., 2005).

Tingkah laku seksual pada berbagai musim kawin rusa telah diteliti Gastal et al. (1996) dengan penampakan tingkah laku reproduksi: flehmen,

mounting tanpa ereksi dan gerakan kopulasi dari pelvis. Karakteristik dari tingkah

laku seksual lain yang diamati adalah mencium daerah genital betina, menggigit dan mengeluarkan suara khas untuk aktivitas reproduksi (vocalization). Tingkah laku seksual pada hewan jantan dipisahkan menjadi motivasi seksual dan kemampuan kopulasi (Becker et al., 1992). Sedangkan menurut Bearden dan Fuguay (1997) tingkah laku seksual pada hewan jantan lebih, mengarah pada tingkah laku kawin yaitu keinginan untuk mencari pasangan dan kemampuan untuk kawin (kopulasi).

Tingkah laku reproduksi pada jantan menurut Becker et al. (1992) ada dua yaitu tingkah laku copulation dan tingkah laku kopulasi. Tingkah laku pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah

(23)

Angka kebuntingan tertinggi pada rusa betina dicapai saat pejantan

menunjukkan tingkah laku rutting dan berada pada tahap keras. Lincoln (1992) mengemukakan bahwa pada rusa merah perkawinan atau

introduksi rusa jantan pada kelompok rusa betina dilakukan selama musim panas (bulan September sampai Februari), pada tahap ini velvet sudah mulai digantikan dengan ranggah keras. Pejantan sangat agresif untuk memperebutkan betina dan perhatian secara khusus diberikan pejantan terutama pada betina yang sedang estrus. Di Scotlandia mayoritas kebuntingan rusa betina terjadi pada bulan Oktober dan kelahiran pada bulan Mei tahun berikutnya. Maka dapat diasumsikan bahwa pola reproduksi berkorelasi dengan tahap pertumbuhan ranggah.

Terdapat berbagai kemungkinan penyebab rendahnya produktivitas rusa sambar, antara lain rusa sambar betina bersifat non seasonal polioestrus artinya dapat birahi kapan saja sepanjang tahun dan bila tidak bunting akan birahi pada siklus berikutnya, sehingga dapat melahirkan sepanjang tahun (Semiadi, 2001). Bila rusa melahirkan pada musim dimana ketersediaan pakan terbatas, maka induk mempunyai beban yang sangat berat (English, 1992) yaitu terbatasnya produksi air susu, lambatnya pengembalian kondisi tubuhnya setelah melahirkan dan kembali birahi yang lambat yang menyebabkan postpartum anestrus yang panjang. Dampak pada anak yang dilahirkan yaitu pertumbuhan lambat,

kematian anak tinggi karena air susu tidak mencukupi kebutuhan anak (Nelson dan Wolf, 1987; English dan Mulley, 1992). Penyebab rendahnya

(24)

(Haigh and Hudson, 1993; Dradjat, 2000; 2001; 2002; Handarini et al., 2004; 2005). Handarini (2006) melaporkan bahwa pada tahap ranggah velvet abnormalitas sperma secara individu pada rusa timor mencapai 96%.

Untuk mencapai kesuburan yang tinggi, pada betina birahi diperlukan rusa jantan yang berada pada fase ranggah keras, pada periode ini rusa jantan menghasilkan spermatozoa yang berkualitas baik dengan kesuburan tinggi. Seperti hewan jantan lain, rusa memiliki beberapa pola perkawinan yang bervariasi. Puncak musim kawin pada rusa sambar dihabitat asli (seperti di Indonesia) belum diketahui secara jelas. Rusa sambar yang dipelihara di Australia mengalami puncak musim kawin pada bulan Mei sampai Juni dan September sampai November. Di New Zealand musim kawin terjadi pada bulan Mei atau awal Juni (Semiadi et al. 1994; Semiadi, 1995). Hasil penelitian Imelda (2004) memperlihatkan bahwa tingkah laku kawin rusa sambar muncul antara bulan Juni hingga Agustus.

Tingkah laku lain adalah dengan membentuk mahkota. Ranggah merupakan pertanda dominasi seekor rusa jantan dalam suatu kelompok. Sifat jantan yang akan mengawini betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada tingkat dominasi jantan (agresivitas), daya tarik antara jantan dan betina yang sedang estrus, tahapan interaksi tingkah laku (kesiapan untuk mating) dan reaksi jantan untuk menaiki betina (Anonimous, 1995).

(25)

bukan berarti bahwa tidak timbulnya birahi sapi betina menyatakan adanya kebuntingan. Hal yang harus dicatat adalah bila sapi betina sudah dikawinkan mempunyai gejala berat tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding perut terlihat. Sapi betina menjadi lebih tenang, pada sapi betina yang baru pertama kali bunting terlihat adanya perkembangan ambing, terlihat adanya gerakan pada perut sebelah bawah, sisi kanan, dan belakang. Maka gejala kebuntingan positif (Murtidjo, 1990).

Pada rusa timor betina pada umur satu sampai dua tahun sudah dapat bereproduksi dengan lama bunting antara 7.5 bulan sampai 8.3 bulan. Bila ditangani secara intensif satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat bunting lagi terutama bila dilakukan penyapihan dini pada anak yang dilahirkan. Setiap tahun rusa dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor. Untuk Penangkaran rusa , jumlah betina lebih banyak dibandingkan jumlah jantan karena satu ekor rusa jantan dapat mengawini beberapa betina dan pada rusa timor Ratio seks jantan: betina yaitu 1:2 (Takandjandji, 1993) dan menurut Garsetiasih dan Takandjandji (2007) bahwa rusa jantan dalam penangkaran dapat mengawini empat ekor rusa betina.

Pola Kopulasi Rusa

(26)

(vocalization). Flehmen (nyengir atau lip curl) juga merupakan komponen percumbuan yang khas pada Artiodactyla. Rusa mengambil posisi kepala tegak pada mulut ke arah atas dan bibir atas terangkat. Stimulus flehmen dapat berupa urine betina atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina estrus, rusa jantan akan flehmen (Toelihere, 1983).

Mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali

pada saat betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Pejantan meletakkan dagunya pada bagian belakang betina dan betina memberikan respon dengan memberi tekanan dengan menggunakan punggungnya ke arah atas. Bila sudah demikian, maka pejantan akan memfiksir kaki depan pada pinggul betina dan mendorong pelvis ke arah depan. Selama proses penunggangan organ kopulatori ereksi secara partial dan keluar dari preputium. Bila ada cairan yang keluar dari organ kopulatori merupakan eksresi dari kelenjar Cowper bukan semen.

(27)
(28)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lokasi penangkaran rusa Universitas Sumatera Utara (USU), Padang Bulan, Medan. Penelitian dilakukan selama 2 bulan (sekitar 3 kali siklus estrus betina) dimulai bulan Maret sampai Juni 2010.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Hewan penelitian yang digunakan: tiga ekor rusa jantan pada fase ranggah keras dengan kisaran umur 3 – 4 tahun (syarat lain: ranggah simetris, sehat dan mempunyai proporsi tubuh dan kaki kuat), sembilan ekor rusa betina dengan kisaran umur 2 – 4 tahun (syarat lain: pernah beranak satu kali, sehat). Bahan lain yang digunakan: pakan terdiri atas hijauan (campuran rumput dan legume) dan konsentrat serta air minum diberikan secara ad libitum. Obat-obatan yang disediakan: obat cacing, obat kutu, cipper killer, hematophan, biosalamin dan pennicilin.

Alat

(29)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Setiap pola interaksi reproduksi antara jantan dan betina untuk setiap ratio jantan dan betina diamati. Pencatatan data meliputi tingkah laku yang muncul dan frekuensinya. Perlakuan pada penelitian ini adalah:

P1 = ratio jantan dan betina 1:1. P2 = ratio jantan dan betina 1:3. P3 = ratio jantan dan betina 1:5.

Parameter Penelitian

1. Tingkah laku reproduksi rusa jantan.

Beberapa data yang diambil untuk pengamatan tingkah laku reproduksi rusa jantan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkah laku reproduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras dalam kandang kelompok

No Parameter tingkah laku reproduksi rusa jantan

Frekuensi Pemunculan

(kali/hari)

Lama (jam)

I II III I II III 1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8. 9. 10. 11. Berkubang (wallowing) Mengasah tanduk (Rutting) Urine spray

Memilih harem Menguak (Roaring)

Mengenali betina estrus (Flehmen) Menciumi urine betina estrus (rub unination)

Menegakkan kepala Mengikuti betina ` Berguling-guling

(30)

2. Tingkah laku estrus pada rusa betina

[image:30.595.117.515.180.723.2] [image:30.595.121.504.458.692.2]

Data pengamatan tingkah laku estrus pada rusa sambar betina tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkah laku estrus pada rusa betina dalam kandang kelompok

No Parameter Gejala Estrus

Frekuensi Pemunculan

(kali/hari)

Lama (jam)

I II III I II III 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Sering mengeluarkan suara Menaiki betina lain

Pembengkakan vulva (mengeluarkan lendir)

Bersedia di dekati rusa jantan Urinasi

Mendekati betina lain Nafsu makan turun Posisi punggung lordosis Sumber: Nalley et al. (2005). 3. Pola perkawinan

Data pola perkawinan tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkah laku kawin rusa dalam kandang kelompok No Parameter Tingkah Laku Kawin

Frekuensi Pemunculan

(kali/hari)

Lama (menit)

I II III I II III 1. 2. 3. 4. 5. 6. Percumbuan (coutship)

a. Memisahkan betina estrus b. Menciumi genital betina c. Roaring

d. Flehmen

e. Menegakkan kepala Penunggangan (mounting) Ereksi

Intromisi Ejakulasi Refraktori

Sumber: Nalley et al. (2005).

(31)

1. Persiapan Kandang

Kandang terdiri atas 3 masing-masing dengan ukuran 2.5 x 7 m, 6 x 7 m dan 9 x 7 m. Kontruksi kandang terbuat dari kawat dengan kerangka kayu, lantai kandang tanah. Masing-masing kandang dilengkapi tempat pakan dari kayu menempel pada dinding kandang, tempat minum dan kubangan (denah pada Gambar 1).

2. Pengelompokan Rusa

Rusa yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 12 ekor terdiri atas 3 ekor rusa jantan dan 9 ekor rusa betina. Pengelompokan rusa:

a. Kandang 1 terdiri atas sepasang rusa sambar (satu ekor rusa sambar jantan dan satu ekor rusa sambar betina).

b. Kandang 2 terdiri atas satu ekor rusa sambar jantan dan tiga ekor rusa sambar betina.

c. Kandang 3 terdiri atas satu ekor rusa sambar jantan dan lima ekor rusa sambar betina.

[image:31.595.148.489.275.373.2]

Cara memasukkan rusa ke dalam kandang diupayakan dengan memancing rusa menggunakan hijauan di dalam kandang kemudian dilakukan seleksi pada rusa jantan dan betina yang sesuai dengan kriteria, yang tidak

Gambar 1. Denah kandang rusa penelitian

Kubangan

9 m 6 m

2.5 m

7 m

Tempat pakan Pintu

(32)

sesuai dikeluarkan dari kandang. Tiap rusa betina diberi tanda cat pada bagian kepalanya.

3. Pemberian Pakan dan Minum

Rusa diberi pakan hijauan berupa campuran rumput lapangan dan legume sebanyak 10% dari bobot badan rusa. Frekuensi pemberian 2 kali sehari pada pagi dan sore hari. Konsentrat diberikan sekitar 250 g/ekor. Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. Air diganti setiap hari dan tempatnya dicuci dengan bersih.

(33)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tingkah Laku Reproduksi Rusa Jantan

[image:33.595.116.513.486.682.2]

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan tingkah laku reproduksi pada rusa yang dibagi dalam beberapa kelompok pengamatan yaitu: tingkah laku reproduksi rusa jantan (dari 3 ekor rusa jantan), tingkah laku estrus rusa betina dalam kandang (dari 9 ekor rusa betina), tingkah laku kawin rusa jantan dan betina pada setiap ratio perlakuan. Hasil pengamatan dari tiap perlakuan sangat bervariasi mengikuti pemunculan gejala estrus atau tingkah laku reproduksi di lapangan. Untuk tiap kandang dengan berbagai ratio jantan dan betina menunjukkan hasil yang berbeda-beda termasuk tingkah laku reproduksi rusa jantan. Parameter tingkah laku reproduksi rusa jantan selama penelitian untuk tiap kandang (ratio perkawinan) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan frekuensi tingkah laku rerpoduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras dengan berbagai ratio jantan dan betina

No. Tingkah laku reproduksi Frekuensi (kali/hari) Ratio 1:1 Ratio 1:3 Ratio 1:5

1 Berkubang (wallowing) 4.75 5.75 4.25

2 Mengasah tanduk (rutting) 5.25 5.50 9.00

3 Urine spray 5.00 9.75 7.25

4 Menguak (roaring) 3.25 4.63 6.50

5 Flehmen 5.25 2.50 1.00

6 Menciumi urine betina estrus

(rub urination) 4.75 6.25 9.00

7 Menegakkan kepala 3.00 5.38 7.00

8 Berguling-guling 2.00 2.63 2.00

9 Membuat mahkota di ranggah 2.50 2.88 1.50 10 Mencium genital atau perial betina 8.25 18.88 13.00

(34)
(35)
[image:35.595.110.519.127.327.2]

Tabel 5. Rataan durasi tingkah laku repoduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras dengan berbagai ratio jantan dan betina

No. Tingkah laku reproduksi Durasi (Detik)

Ratio 1:1 Ratio 1:3 Ratio 1:5 1 Berkubang (wallowing) 1842.75 1762.50 1785.00 2 Mengasah tanduk (rutting) 14.75 29.375 35.50

3 Urine spray 64.25 30.375 26.50

4 Menguak (roaring) 9.75 14.06 20.50

5 Flehmen 11.25 37.88 9.00

6 Menciumi urine betina estrus

(rub urination) 13.50 18.25 31.50

7 Menegakkan kepala 7.25 16.00 19.00

8 Berguling-guling 183.00 186.25 190.50

9 Membuat mahkota di ranggah 855.00 840.00 648.75 10 Mencium genital atau perial betina 37.25 46.25 39.50

Keterangan: Data diambil dua kali seminggu selama 3 bulan penelitian

Pada penelitian ini meskipun frekuensi berkubang pada rusa jantan mempunyai kisaran antara 4.25 – 5.75 kali per hari namun secara keseluruhan mempunyai durasi yang paling lama dibandingkan tingkah reproduksi lain yaitu berkisar 1762.50 sampai 1842.75 detik. Hal ini disebabkan karena dalam kandang kebutuhannya akan sarana untuk berkubang telah mencukupi berbeda dengan rusa yang ada di luar kandang atau di habitatnya biasanya membutuhkan waktu lebih lama karena rusa cenderung membuat kubangan (mengorek tanah) dengan ranggahnya sebelum atau pada saat berkubang. Durasi mengasah tanduk meningkat seiring dengan peningkatan rasio jantan dan betina, hal ini menunjukkan adanya perilaku perlindungan terhadap banyak betina yang dimanifestasikan dengan persiapan diri menghadapi pejantan lain yang akan mengusik dengan cara mengasah tanduk.

(36)

tidak menguasai daerah tersebut. Tetapi didalam kandang saat penelitian, tingkah laku urine spray tetap muncul meskipun bukan bertujuan untuk menentukan wilayah (daerah teritori). Saat rusa jantan melakukan urine spray, organ kopulatori mampu berputar 360 derajad.

Tingkah laku menguak (roaring) terjadi saat ada atau tidak ada betina yang mengeluarkan suara. Begitu rusa jantan mengenali betina estrus akan mengeluarkan suara khas demikian juga dengan rusa betinanya. Roaring biasanya terjadi setelah rusa jantan mencium urine betina.

Rusa jantan juga melakukan aktivitas berguling- guling dilantai tanah dalam kandang saat ada betina yang estrus dan frekuensinya rata-rata 2 kali/hari dengan durasi antara 183.00 detik sampai 190.50 detik per hari. Rusa jantan dalam kandang juga menunjukkan aktivitas mengasah ranggah karena berada pada fase rusa ranggah keras yang mana pada tahap ranggah keras ini aktivitas reproduksinya lebih tinggi dibandingkan ranggah velvet. Hal ini sesuai dengan dengan pernyataan Handarini et al., (2005) yang menyatakan bahwa kualitas semen rusa timor lebih tinggi pada tahap ranggah keras dibandingkan ranggah velvet. Dapat dikatakan untuk rusa tropis aktivitas reproduksi erat kaitannya

dengan tahap pertumbuhan ranggah, terutama pada ranggah keras.

(37)

ke kayu sebagai sarana rutting yang telah disediakan tetapi walaupun telah disediakan sarana rutting rusa juga mengasah tanduknya ke pagar kandang sesuai pernyataan Toelihere et al (2005) yang menyatakan bahwa bila dikandangkan dengan fasilitas kubangan dan lantai semen maka beberapa tingkah laku akan menghilang menyesuaikan dengan kondisi kandang. Rusa jantan tidak dapat membuat lubang dan mengasah tanduk dilakukan pada kayu kandang.

Selama penelitian terjadi perkelahian antara rusa jantan pada kandang dengan rasio 1:3 (kandang 2) dan jantan dengan rasio 1:5 (kandang 3) dimana saat ada betina yang estrus dikandang 3, ternyata rusa jantan yang ada dikandang 2 lebih dominan sehingga menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif dibandingkan dengan rusa jantan yang ada di kandang 3 (pada posisi sub ordinat). Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonimous (1995) bahwa sifat jantan yang akan mengawini betina dan keberhasilan perkawinan tergantung pada tingkat dominasi jantan (agresifitas). Rusa jantan kandang 2 mendobrak pintu penghubung kandang 2 dan kandang 3 dan terjadi perkelahian antara dua pejantan (kandang 2 dan jantan kandang 3) untuk memperebutkan betina yang sedang estrus. Perkelahian itu mengakibatkan terlukanya lambung rusa jantan kandang 3 yang tertusuk ranggah jantan kandang 2. Untuk pengobatan luka dilakukan penyuntikan Hematopan dan Biosalamin dan di beri antibiotik pennicilin dengan cara memasukkan pil ke dalam pisang. Perkelahian itu juga menyebabkan rusa-rusa yang ada di kandang 2 dan 3 terkejut dan stres.

(38)

jantan yang berada diluar kandang akan memanfaatkan daun-daunan atau akar-akar kayu untuk dinaikkan ke atas ranggah. Rumput yang digunakan untuk membuat mahkota tersebut tersebut berasal dari hijaun pakan pakan rusa. Frekuensi dan lama membuat mahkota pada kandang ratio 1:1 yaitu 2.5 kali/hari dan lama 855 detik/hari, kandang ratio 1:2 yaitu 2.875 kali/hari dan lama 840 detik/hari, ratio kandang 1:5 yaitu 1.5 kali/hari dan lama 648.75 detik/hari. Frekuensi membuat mahkota di ranggah cenderung rendah dibandingkan dengan di habitat aslinya hal ini disebabkan karena ketersediaan sarana untuk membuat mahkota terbatas dalam kandang berbeda dialam liar sesuai pernyataan Asher et al (1996) yang menyatakan bahwa membuat mahkota diatas ranggah dengan rumput atau serpihan tanaman tahunan dihabitat aslinya. Dokumentasi tingkah laku reproduksi jantan dapat dilihat pada Gambar 2.

a b

c d

(39)
[image:39.595.115.514.276.476.2]

Pengamatan selama penelitian terhadap tingkah laku rusa jantan yaitu bahwa rusa jantan sering menegakkan kepala sambil mengangkat badan dengan kaki belakang sebagai tumpuan. Pada penelitian yang dilakukan untuk pengamatan terhadap tingkah laku reproduksi jantan pada saat ranggah keras ditiap kandang maka diperoleh hasil bahwa pada kandang dengan ratio 1:3 menunjukkan hasil yang lebih baik. Karena pada kandang ini menunjukkan aktivitas tingkah laku jantan terlihat lebih tinggi (Gambar 3).

Gambar 3. Grafik Rataan frekuensi tingkah laku reproduksi rusa jantan Tingkah laku reproduksi rusa jantan saat musim kawin didominasi dengan tingkah laku mencium genital dan perineal rusa betina untuk memisahkan rusa betina yang estrus dengan betina yang tidak estrus.

Tingkah Laku Estrus Rusa Betina

(40)
[image:40.595.112.513.112.302.2]

Tabel 6. Rataan frekuensi gejala estrus

No. Gejala estrus Frekuensi (Kali/hari)

Ratio 1:1

Ratio 1:3

Ratio 1:5

1 Sering mengeluarkan suara 5.25 9.87 7

2 Menaiki betina lain 0 3.37 6.75

3 Bersedia di dekati rusa jantan 3.25 3 3.75

4 Urinasi 9.75 12.37 15

5 Mendekati betina lain 3.75 6.25 3

6 Posisi punggung lordosis 3 5.5 7

7 Mencium betina lain 4 6.87 4.75

8 Betina berkubang 2 2.5 1.5

9 Gelisah 1 1.62 1.25

Keterangan : Data diambil saat betina estrus

(41)

ratio 1:1 yaitu 9.75 kali/hari, ratio 1:3 yaitu 12.375 kali/hari , dan ratio 1:5 yaitu 15 kali/hari.

Untuk tingkah laku estrus rusa betina pada pengamatan kondisi pembengkakan vulva dan penurunan nafsu makan sulit diperoleh dan tidak terlihat jelas pada pengamatan yang dilakukan. Hal ini disebabkan karena rusa betina berada dikandang kelompok dimana pengamtan dilakukan dari jarak jauh. Kecuali rusa dikandang individu untuk penurunan nafsu makannya dapat dihitung sisa pakan.

[image:41.595.110.521.388.580.2]

Rataan durasi atau lama tingkah laku estrus dari setiap kandang dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan lama (durasi) dari setiap gejala estrus

No. Gejala estrus Lama (Detik)

Ratio 1:1 Ratio 1:3 Ratio 1:5 1 Sering mengeluarkan suara 15.25 11 18.25

2 Menaiki betina lain 0 8.12 19.5

3

Bersedia di dekati rusa

jantan 7.5 11.37 11

5 Urinasi 42.25 41.62 53.5

6 Mendekati betina lain 0 19.87 9

7 Posisi punggung lordosis 14.75 18.62 21.5

8 Mencium betina lain 11.75 18.25 14.25

9 Betina berkubang 303.5 330.62 650

10 Gelisah 8550 10800 9000

Keterangan : Data diambil saat betina estrus

Frekuensi betina menaiki betina lain paling tinggi pada rasio 1:5 (19.50 detik/hari) karena dalam satu kandang banyak betina yang dapat dijadikan obyek mounting bagi betina yang sedang estrus. Posisi lodorsis lebih sering ditunjukkan

(42)

mau didekati rusa jantan namun juga mempunyai keinginan untuk menciumi betina lain yang tidak sedang estrus. Kecuali di kandang 1 betina tidak memiliki objek untuk menaiki betina lain, tetapi dalam pengamatan yang dilakukan di kandang bahwa saat estrus betina kandang satu berusaha mendekati betina dikandang sebelah oleh karena kandang dibatasi maka kesempatan untuk mencium dan menaiki betina lain tidak ada.

Gambaran beberapa aktivitas estrus dapat dilihat pada Gambar 3.

a b

[image:42.595.110.509.278.619.2]

c d

Gambar 4. Tingkah laku estrus rusa betina: (a) jantan nyengir, (b) betina urinasi dan jantan melakukan rub urination, (c) posisi betina lordosis, (d) Betina berkubang dengan jantan.

(43)

dengan pejantan selama dua hari pengamatan saat betina estrus berbeda untuk tiap kandang. Saat betina estrus dan jantan berkubang maka betina lain akan menjauh dari kubangan dan pejantan akan mengusap-usapkan kepala ke punggung betina saat berkubang bersama. Ketika rusa betina selesai berkubang maka jantan juga akan bersiap-siap mengikuti betina. Selama pengamatan rusa jantan akan berhenti mengikuti betina estrus bila tiba waktu pemberian pakan baik konsentrat maupun hijauan dan pejantan kembali mengikuti betina setelah makan. Begitu juga saat hujan maka pejantan akan berhenti mengikuti betina dan mencari tempat berteduh di bawah seng tempat pakan dan bergabung dengan betina-betina yang lainnya. Saat estrus, posisi punggung betina akan lordosis dan akan membungkuk saat punggung betina disentuh.

[image:43.595.114.514.521.734.2]

Pada pengamatan saat penelitian yang dilakukan terhadap gejala estrus diperoleh hasil data bahwa pada kandang dengan ratio 1:3 menunjukkan hasil yang lebih baik. Karena pada kandang ini frekuensi pemunculan gejala estrus lebih banyak muncul dibandingkan dikandang ratio 1:1 dan ratio 1:5. Gambaran mengenai frekuensi pemunculan gejaja estrus dapat dilihat pada Gambar 5.

(44)

Tingkah Laku Kawin Rusa Jantan dan Betina

[image:44.595.115.511.222.475.2]

Pengamatan tingkah laku kawin dilakukan dengan cara mengamati interaksi seksual dan penerimaan rusa betina secara seksual. Tingkah laku kawin rusa untuk tiap kandang dapat dilihat dalam Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Frekuensi tingkah laku kawin

No. Tingkah laku kawin Frekuensi (Kali/hari)

Ratio 1:1 Ratio 1:3 Ratio 1:5 A. Pre-Kopulasi

1 Percumbuan (courtship)

a. Memisahkan betina estrus 0.00 1.87 1.25 b. Menciumi genital betina 7.50 28.62 13.25

c. Roaring 2.50 3.87 2.50

d. Flehmen 5.00 2.37 1.50

e. Menegakkan kepala 3.50 4.75 3.50

2 Penunggangan (mounting) 21.25 8.12 6.75

B. Kopulasi

1 Ereksi 4.50 5.50 5.25

2 Intromisi 4.50 4.25 5.50

3 Ejakulasi 3.25 3.87 4.00

4 Refraktori 3.25 3.87 4.00

5 Ekor terangkat ke atas 4.00 4.87 7.75

Keterangan : Data diambil saat perkawinan

Percumbuan (courtship) merupakan awal dari proses perkawinan ternak. Percumbuan merupakan upaya pendekatan rusa jantan pada rusa betina sebagai respon estrus yang ditunjukkan oleh rusa betina. Tingkah laku pre-copulation penting untuk terjadinya kopulasi dan biasanya disebut dengan tingkah laku courtship (percumbuan) dengan ditandai belum siapnya betina menerima ternak

(45)

Hal ini sesuai dengan pernyataan Toelihere (1983) yang menyatakan bahwa pola kopulasi terjadi secara berurutan sehingga mudah dibedakan dengan aktifitas prekopulatori (percumbuan) dan kopulatori. Saat percumbuan sudah mulai terjadi kontak fisik rusa jantan dengan rusa betina. Ditandai dengan upaya rusa jantan memisahkan rusa betina yang sedang estrus dengan betina-betina lain yang tidak sedang estrus. Rusa jantan mulai menunjukkan tingkah laku agresif dengan cara menciumoi genital rusa betina lalu menegakkan kepala dan flehmen. Frekuensi flehmen tertinggi pada rasio 1:1 (5.00 kali/hari) karena rusa hanya mengenali satu betina yang sedang estrus. Rusa jantan pada kandang lain kadang melakukan rub urination pada betina yang sedang tidak estrus dan akan menjauh kembali setelah mengetahui bahwa betina tersebut tidak estrus. Pada kondisi lapangan aktivitas percumbuan dimulai pejantan memisahkan betina estrus dengan kelompok betina lain bahkan mengusir pejantan-pejantan sub ordinat (secara hirarki lebih rendah tingkatan sosialnya) yang mencoba mendekati betina. Pamer seksual juga ditunjukkan dengan cara menciumi daerah perineal betina dan roaring (vocalization). Flehmen (nyengir atau lip curl) juga merupakan komponen

percumbuan yang khas pada Artiodactyla. Rusa mengambil posisi kepala tegak pada mulut ke arah atas dan bibir atas terangkat. Stimulus flehmen dapat berupa urine betina atau genital betina. Setelah mencium urine atau genital betina estrus, rusa jantan akan flehmen. Selama penelitian tidak ada persaingan antara pejantan, tetapi rusa pejantan tetap memisahkan betina yang estrus. Berbeda dengan rusa dengan ratio 1:1, tidak ada proses pemisahan betina yang estrus.

(46)

menyatakan bahwa tingkah laku reproduksi pada rusa jantan ada dua yaitu tingkah laku pre-copulation dan tingkah laku kopulasi. Tingkah laku saat kopulasi dimulai dengan mounting (penunggangan). Mounting tidak selalu diiringi dengan intromisi, karena rusa-rusa betina yang belum mencapai puncak estrus belum bersedia melakukan aktivitas kopulasi. Toelihere (1983) yang menyatakan mounting (penunggangan) biasanya belum berhasil sampai beberapa kali pada saat

betina masih pada fase proestrus (belum bersedia menerima pejantan). Setelah betina estrus (cukup reseptif menerima pejantan) maka penunggangan akan diikuti dengan kopulasi. Setelah beberapa kali mounting rusa jantan berhasil melakukan kopulasi dengan rusa betina. Frekuensi dan durasi penunggangan pada rusa janta rasio 1:1 (21.25 kali/hari selama 42.50 detik/hari) tampak paling tinggi dibandingkan rasio 1:3 dan 1:5. Hal ini menunjukkan bahwa intesitas pendekatan rusa jantan pada rusa betina yang hanya satu ekor lebih fokus dibandingkan rusa jantan dengan banyak rusa betina dalam satu kandang.

(47)
[image:47.595.111.511.114.372.2]

Tabel 9. Rataan Lama (durasi) tingkah laku kawin

No. Tingkah laku kawin Lama (detik)

Ratio 1:1 Ratio 1:3 Ratio 1:5 A. Pre-Kopulasi

1 Percumbuan (courtship)

a. Memisahkan betina estrus 0.00 5.00 46.50 b. Menciumi genital betina 33.50 79.50 33.25

c. Roaring 7.50 11.37 9.50

d. Flehmen 10.00 7.75 3.50

e. Menegakkan kepala 10.50 12.50 9.00

2 Penunggangan (mounting) 42.50 25.12 17.25 B. Kopulasi

1 Ereksi 286.50 102.75 163.00

2 Intromisi 15.00 12.25 18.00

3 Ejakulasi 6.50 9.62 10.50

4 Refraktori 3.75 8.37 9.50

5 Ekor terangkat ke atas 86.50 23.00 21.75

Keterangan : Data diambil saat perkawinan

Rataan frekuensi intromisi berkisar antara 4.25 – 5.50 kali/hari dengan kisaran durasi 12.25 – 18 detik/hari. Efakulasi ditandai dengan proses hentakan tulang panggul rusa jantan satu kali atau beberapa kali dengan durasi yang lebih pendek dari intromisi yaitu berkisar 6.50 – 10.50 detik/hari. Proses refraktori atau pelemasan otot dari rusa jantan ditandai dengan diam sejenak tanpa melakukan aktvitas apapun yang berlangsung selama 3.75 – 9.50 detik/hari.

(48)

a b

[image:48.595.118.511.82.381.2]

c d

Gambar 6. Tingkah laku kawin: (a) jantan mencium genital betina, (b) ereksi, (c) mounting dan intromisi, (d) ejakulasi dan posisi betina lordosis

Pada saat mounting maka posisi betina akan membentuk lordosis terutama saat terjadi intromisi. Lordosis ditandai dengan tidak bergeraknya tubuh betina, posisi membungkuk dengan kaki depan direndahkan, kemudian badan membentuk lengkungan, pada spesies yang mempunyai ekor yang panjang kopulasi biasanya ditandai dengan diangkatnya ekor kesalah satu sisi.

(49)
[image:49.595.113.510.137.337.2]

bahwa pada kandang dengan ratio 1:3 menunjukkan hasil yang lebih baik, karena pada kandang ini pemunculan tingkah laku kawin terlihat lebih tinggi (Gambar 6).

Gambar 7. Grafik rataan tingkah laku kawin

Pada tiap kandang asumsi keberhasilan kebuntingan didasarakan pada pemunculan estrus pada siklus berikutnya. Bila pada siklus berikutnya muncul estrus maka diasumsikan rusa betina tidak berhasil bunting dari perkawinan yang dilakukan pada siklus sebelumnya. Bila tidak muncul estrus maka diasumsikan rusa betina telah bunting. Hasil penelitian terhadan Non Retusrn Rate rusa betina dengan berbagai rasio perkawinan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah siklus estrus dengan berbagai ratio betina

No Ratio Betina Jumlah Siklus Estrus NRR

1 1:1 I 2 100%

2 1:3 I 2

100%

II 1

III 1

3 1:5 I 1

80%

II 1

III 1

IV 1

[image:49.595.115.476.567.721.2]
(50)

Sesuai dengan pernyataan Akoso (1996) yang menyatakan bahwa hewan yang tidak dalam masa birahi akan menolak untuk kawin. Pada hewan yang tidak bunting, periode birahi dimulai sejak dari permulaan birahi sampai ke permulaan periode berikutnya. Kebuntingan juga dapat dilihat dari gejala kebuntingan sesuai pernyataan Murtidjo (1990) yang menyatakan bahwa gejala kebuntingan sapi setelah pelaksanaan perkawinan, sangat penting diketahui. Namun dalam praktek bukan berarti bahwa tidak timbulnya birahi sapi betina menyatakan adanya kebuntingan. Hal yang harus dicatat adalah bila sapi betina sudah dikawinkan mempunyai gejala berat tubuhnya meningkat, pertambahan besar dari dinding perut terlihat. Sapi betina menjadi lebih tenang, pada sapi betina yang baru pertama kali bunting terlihat adanya perkembangan ambing, terlihat adanya gerakan pada perut sebelah bawah, sisi kanan, dan belakang. Maka gejala kebuntingan positif .

Pada penelitian yang dilakukan dimana dengan satu kali siklus perkawinan dikandang 2 dan kandang 2 diasumsikan betina bunting karena setelah perkawinan betina tidak menunjukkan estrus kembali. Berbeda dikandang 1 dimana ada 2 siklus estrus dan setelah siklus estrus ke dua betina tidak menunjukkan estrus kembali sehingga menghasilkan angka NRR 100%. Berbeda dikandang dengan ratio 1:5 dimana NRR 80 % karena pada satu ekor rusa betina (betina 5) tetap menunjukkan estrus selama penelitian atau selama 3 kali siklus estrus.

(51)
(52)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ratio jantan dan betina 1:3 menunjukkan frekuensi pemunculan tingkah laku rusa jantan pada tahap ranggah keras lebih tinggi dibandingkan dikandang ratio 1:1 dan 1:5

2. Frekuensi pemunculan gejala estrus dan tingkah laku kawin dikandang 1:3 lebih tinggi dibandingkan dengan dikandang 1:1 dan 1:5

3. NRR pada kandang ratio 1:3 yaitu 100 % artinya betina berhasil dikawini pejantan dan tidak menunjukkan gejala estrus setelah dikawini.

4. Ratio betina yang paling baik pada pula tingkah laku kawin rusa sambar dan keberhasilan perkawinan yaitu pada kandang ratio 1:3

Saran

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso, T. B. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Anderson, R. 1978. Gold on four feet. Melbourne: Ronald Anderson and Associates Pty.

Anderson, R. 1984. Deer farming in Australia. In: Deer Refresher Course Proceeding no. 72. Sydney: University of Sydney.

Asher GW, Berg DK, Beamount S, Morrow JC, O” Neill KT, Fisher MW. 1996. Comparison of seasonal changes in reproductive para,meters of adult male europpean fallow deer (D.d Mesopotanian x D.d dama). Anim Rep Sci 45: 201-215.

Awal, A. NJ. Sarker and K.Z. Husain. 1992. Breeding records of Sambar deer (Cervus unicolor) in captivity. Bangladesh Journal of Zoology 20: 285-290.

Bahri S, Setiadi B, Inounu I. 2004. Ringkasan Eksekutif: Arah Penelitian dan Pengembangan Peternakan Tahun 2005-2009. disampaikan pada : Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Ciawi. 4-5 Agustus 2004.

Becker JB, Breadlove M, Crews D. 1992. Behavioral Endocrynology. The Mit Press Cambridge. Masschusetts.

Bearden HJ, Fuguay JW. 1997. Applied Animal Reproductin. 4th Misisipi State University Printice Hall. New Jersey.

Brown RD, Chao CC, Faulkner LW. 1983. The endocrine control of the initiation and growth of antlers in white tailed deer. Acta endocrine. 103: 138-144.

Bubenik GA, Schams D, Coenen G. 1987. The Effect of artificial photoperiodicity and anti androgen treatment on the antler growth and plasma levels of LH, FSH, testosterone, prolactin and alkaline phospatase in male white tailed deer. Biochem Phisiol 87A : 551-559.

Dradjat, A.S. 2000. Penerapan Teknologi Inseminasi Buatan , Embrio Transfer dan Invitro Fertilisasi pada Rusa Indonesia. Laporan Riset Unggulan terpadu V Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan. Pp:92-111.

(54)

Dradjat A.S, (2002). Inseminasi buatan pada rusa Indonesia. Prosidings Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna: 156-162.

Eco India. 2008. Sambar Deer in India, Sambar deer in Kaziranga National Park, Eco India.

English AW. 1992. Management strategies for farmed chital deer. In: The Biology of Deer. Ed: RD Brown. 189-195.

English A.W. and Mulley R.C. 1992. Causes of Perinatal Mortality in Farmed Fallow Deer (Dama dama). Australian Veterinary Journal. 69:191-193.

Garsetiasih, R., N. Herlina. 2004. Evaluasi plasma nutfah rusa totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor.

Garsetiasih, R. dan Mariana. 2007. Model penangkaran rusa. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. 2007.

Gastal MO, Henry M, Becker AR, Gastal EL, Goncalves A. 1996. Sexual Behavior of donkeys jackes: influence of ejaculatory frequency and season. Theriogenology. 539-620.

Gray, C., M. Hukkanen, Y. T. Konttinen, G. Terenghi, T. R. Arnett, S. J. Jones, G. Burnstock and J. M. Polak. 1992. Rapid Neural Growth: Calcitonin gene-related peptide and sustance P- containin nerves attain exceptional growth rates in generating deer antler. Neuroscience. 50(4): 954-963.

Goss, R. J. 1983. Deer Antlers, regeneration, function and evolution. New York: New York Academic Press.

Grier, J.W dan Burk.T. 1992. Biology of Animal Behavior. Mosby Year Book, Inc. New Wellington.

Hadi DW. 1984. Studi tentang karakteristik populasi rusa total (Axis-axis) dan cara pemeliharaannya di halaman Istana Bogor. Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor.

Haigh, J. C dan R. J. Hudson. 1993. Farming Wapiti and Red Deer. Nosby.

(55)

Handarini. R. WMM. Nalley, B. Purwantara, MR. Toelihere. 2005. Semen Characteristic ang gross testicular morphometry in Timor Deer (Cervus timorensis). Proc. International Asia Link Symposium, Denpasar 19-20 Agustus 2005, 11-113.

Handarini. R. WMM. Nalley, G. Semiadi, S. Agungpriyono, Sumbandriyo, B. Purwantara, MR. Toelihere. 2004. Lama tahap pertumbuhan ranggah rusa timor (Cervus timorensis) jantan dalam satu siklus ranggah. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner Puslitbang Peternakan, Bogor, 4-5 Agustus 2004.

Imelda. 2004. Tingkah laku sosial rusa sambar (Cervus unicolor Equinus) di Balai Raya Semarak Bengkulu. Skripsi. Program Studi Produksi Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. 96 hal. Jacoeb TN, Wiryosuhanto SD. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa. Penerbit

Kanisius. Jakarta. Cetakan I.

Li, C., Jiang, Z., Jiang, G. dan Fang, J. 2001. Seasonal changes of reproductive behavior and fecal steroid concentrations in Perè David`s deer. Hormones and Behavior Vol. 40. hal: 518-525.

Murtidjo, A. B. 1990. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta.

Nalley. WMM Handarini. R. B. Purwantara,TL. Yusuf. 2005. Sexual Behavior of Timor Deer (Cervus timorensis) in Various types of grouping paddock. Procc. International Asia Link Symposium, Denpasar 19-20 Agustus 2005, 167-169.

Nelson T.A. and Woolf A. (1987). Mortality of white-tailed deer fawns in southern Illinois. Journal of Wildlife Management. 51 (2):326-329.

Lewis, J.C., L.B. Flynn, R.L. Marchinton, S.M. Shea, and E.M.Marchinton.1990. Part I. Introduction, study area description and literature review. In: Ecology of sambar on St. Vincent National Wildlife Refugee. Florida. Tall Timbers Research Station. Tallahassee Bulletin 25: 1-12.

Lincoln GA. 1992. Biology of antlers. J Zoo 226: 517-528

Mylrea GE, English AW, Mulley RC, Evans G. 1992. Artificial Insemination of Farmed Chital Deer. dalam The Biology of Deer. Springer-Verlag. New York Berlin Heinlberg London Paris Tokyo Hongkong Barcelona Budapest. 334-337

(56)

Nugent, G. K. W., Fraser, G. W. Asher, K. G. Tustin. 2001. Advances New Zealand Mammaligy 1990-2000: Deer. Journal of The Royal Society of New Zealand, 31:263-298

Schroder TO. 1976. Deer in Indonesia. Agricultural University. Wageningen-Nederlands, Nature Concervation Department.

Semiadi G, 2001. Potensi pengembangan peternakan rusa sambar di Kabupaten Paser. (Laporan hasil penelitian dan pembinaan Fase 1. Lokakarya Pengembangan Bioteknology Budidaya Rusa Sambar di Kalimantan Timur. Samarinda 6 Nopember 2001.

Semiadi G. 1995. Biology of Deer Reproduction: a Comparison between temperate an tropical species: Review Bull Pet: 19: 9-18.

Semiadi, G dan R.T.P. Nugraha, 2004. Panduan pemeliharaan rusa tropis. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Semiadi G. Muir PD, Barry TN. 1994. General Biology of Sambar deer (Cervus Unicolor) in captivity. N Z J Arig Res. 37: 79-85.

Simatupang P, Syafa’at N, Hadi PU. 2004. Daya saing Peternakan menuju 2020. Disampaikan pada: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Ciawi. 4-5 Agustus 2004 Takandjandji, M. 1993. Pengaruh Perbedaan Manajemen terhadap Pertumbuhan

Rusa Timor (Cervus timorensis) di Oilsonbai dan Camplong, NTT. Santalum Nomor 12. BPK Kupang.

Toelihere. MR. 1983. Kelakuan Kelamin in: Fisiologi pada Ternak, Hal: 228-237. Penerbit Angkasa, Bandung.

Toelihere, MR Semiadi. G Yusuf. LT. 2005. Potensi Rerpoduksi Rusa Timor (Cervus timorensis) sebagai komoditas ternak baru: upaya pengembangan populasi di penangkaran melalui pengkajian dan penerapan teknologi inseminasi buatan. Hibah Penelitian Pasca Sarjana Angkatan I tahun 2003-2005. Insitut Pertanian Bogor.

Whitehead GK. 1994. The Whitehead Encyclopedia of Deer. Swan Hill Press. Shrewsbury.

Gambar

Tabel 1. Tingkah laku reproduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras  dalam       kandang kelompok
Tabel 2. Tingkah laku  estrus pada rusa betina dalam kandang kelompok
Gambar 1. Denah kandang rusa penelitian
Tabel 4. Rataan frekuensi tingkah laku rerpoduksi rusa jantan pada tahap ranggah keras dengan berbagai ratio jantan dan betina
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data konsumsi hijauan ternak rusa yang dihitung dalam bentuk segar dan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini :..

Hingga saat ini penyebaran rusa sambar hanya terbatas pada daerah suaka-suaka tertentu (Schroeder, 1976). Untuk mengatasi tial ini dilakukan usaha konservasi jenis secara

Data darah diambil melalui vena jugular tiga kali selama percobaan yaitu pada awal (0 bulan), pertengahan (1 bulan) dan akhir percobaan (2 bulan). Rusa sebagai hewan ruminansia

Mengingat populasi rusa sambar di UPTD mulai di inroduksi (masuk) ke area tersebut sejak tahun 1992 dengan jumlah empat ekor, dari komposisi nuklotide pada

Materi yang digunakan untuk pengamatan tingkah laku rusa Timor pada satu siklus estrus berupa rusa Timor ( Rusa timorensis) betina yang telah disinkronisasi estrus dengan

Dari hasil pengamatan terhadap tumbuhan bawah dan legum sebagai pakan rusa pada beberapa areal reklamasi, ditemukan beberapa jenis rumput dan legum yang mempunyai

Gambar 4 mendeskripsikan total interaksi paling tinggi dilakukan oleh rusa totol betina Q, pada dua kelompok jenis yang berbeda ini rusa jantan sambar jarang sekali

Tesis dengan judul “Profil Metabolit Hormon Estrogen dan Progesteron Feses selama Kebuntingan serta Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor)” merupakan salah satu syarat