UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
H U K U M DAN K EPEN T I N GAN
(Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah)
SKRIPSI
Diajukan Guna Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sosial dalam bidang Antropologi
Oleh :
RI K K Y ERM AWAN SY AH PU T RA 0 6 0 9 0 5 0 4 2
DEPART EM EN AN T ROPOLOGI SOSI AL FAK U LT AS I LM U SOSI AL DAN I LM U POLI T I K
U N I V ERSI T AS SU M AT ERA U T ARA M EDAN
PERNYATAAN
HUKUM DAN KEPENTINGAN
(Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatau perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2011
Penulis
ABSTRAKSI
Skripsi ini mengkaji tentang “Hukum dan Kepentingan”. Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Skripsi mengenai kasus sengketa ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat karena dari kasus-kasus sengketa, dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Kemudian skripsi ini juga menelusuri bagaimana hukum itu membentuk kepentingan yang dilihat dari kasus sengketa tanah yang terjadi di Perkebunan Padang Halaban, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata “bergerak” dan dinamis, yang berarti hukum itu tidak hanya berhenti pada peraturan yang ada namun lebih dari itu dari tahap peraturan itu dibuat sampai pada peraturan itu selesai dan disahkan ada terselip sesuatu yang bernama “kepentingan” (orang atau kelompok tertentu). Pada hakekatnya kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat yang kerap kali berbenturan satu sama lainnya. Pengorganisasian kepentingan tersebut dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Namun, pada kenyataannya kepentingan bersama yang menjadi tujuan dari dibentuknya hukum dikalahkan oleh kepentingan yang mengatasnamakan pribadi dan golongan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala
berkah, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Hukum dan Kepentingan (Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah)”.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada berbagai pihak, di antaranya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.,
selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
Terkhusus buat Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen
Antropologi Sosial FISIP USU dan juga selaku Dosen Pembimbing saya, yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing saya
selama dari proses penyusunan proposal sampai penulisan skripsi ini selesai,
terima kasih atas bekal ilmu yang sangat berharga yang telah Bapak berikan
kepada saya, semoga apa yang telah Bapak berikan kepada saya mendapat balasan
dari Allah SWT. Bapak Drs. Agustrisno, M.S.P., sebagai Sekertaris Departemen
Antropologi Sosial FISIP USU. , selaku ketua penguji
pada saat ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan
untuk penyempurnaan skripsi ini. sebagai dosen penguji
pada saat ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan
untuk penyempurnaan skripsi ini. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum., selaku Dosen
wali/penasihat akademik saya atas bantuannya dalam proses perkuliahan dan
Antropologi, yang telah mendidik dan mengajar penulis selama proses
perkuliahan. Buat Ibu Prof. Dra. Chalida Fachruddin, Ph.D., Bapak Drs. Irfan
Simatupang, Bapak M.Si., Drs. Lister Berutu, M.A., Ibu Dra. Mariana Makmur,
M.A., Ibu Dra. Nita Savitri, M.Hum., Bapak Nurman Achmad, S.Sos., M.Soc.Sc.,
Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, Ibu Dra. Rytha Tambunan, M.Si., Ibu Dra.
Sabariah Bangun, M.Soc.Sc., Ibu Dra. Sri Alem Br. Sembiring, M.Si., Ibu Dra.
Sri Emiyanti, M.Si., Ibu Dra. Tjut Syahriani, M.Soc.Sc., Bapak Drs. Yance, M.Si.,
Bapak Drs. Zulkifli, M.A., Bapak Drs. Zulkifli Lubis, M.Si., Bapak Drs. Juara
Ginting, M.A., Bapak Drs. Edi Saputra Siregar. Kepada seluruh staff di FISIP
USU khususnya di Departemen Antropologi, Specially for Kak Nur dan Kak Sofi
yang sudah membantu saya dalam mengurus kelancaran administrasi selama
dalam masa perkuliahan.
Bapak Camat Aek Kuo, Bapak Raden Sugeng (Kasie Pemerintahan
Kecamatan Aek Kuo, Labuhanbatu Utara), serta seluruh staff di Kecamatab Aek
Kuo yang telah membantu dalam proses penelitian saya. Bapak Rusliyanto
(Manager PT. SMART Tbk. Padang Halaban) yang telah meluangkan waktunya
untuk saya wawancarai walaupun sempat dilarang oleh HUMAS PT. SMART
Tbk. Padang Halaban.
Terkhusus untuk kekasihku, Anggi Mei Pratami yang telah memberikan
motivasi dan semangat kepada saya selama proses menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa tentunya buat bestfriend ku: Badai Adra Sikumbang, Denny Nitra
Silaen yang paling “macho” (devianthroper), Elmanuala Pasaribu “Acil”, Firman
Serge”, Wilfrit Syahputra Silitonga “SuGenk”, Oemar “Jojo” Abdillah, aku pasti
merindukan saat-saat bersama kalian di kampus. Semoga kita bisa sukses. Keep
Smile and Keep Spirit untuk bisa menaklukkan dunia.
Rekan-rekan seluruh mahasiswa Antropologi FISIP USU, khususnya
rekan-rekan seperjuangan saya stambuk 2006 yang telah terlebih dahulu
menggapai gelar S.Sos: Ayu, Helena “lemot”, Aroz, Rere, Benny, Sari, Inggrid,
Enny, Fadli, Melda, Gaby, Kevin, Noprianto, Yani, Mardiana “Limo”, Santa,
Ruli, Lasmi, Atika, Lisnawati, Danur. Kemudian juga teman-teman
seperjuanganku yang masih sana-sama berjuang untuk menggapi gelar Sarjana
Sosial: Hendra “Jamil” Gunadi, Rikardo, Hemalea, Look Sun, Erika, Fika, Fian
“Kibo”, Desy “Bejo”, Carles, ayo semangat dan jangan putus asa.
Buat Ijal, Tatak, Feber, Bang Agif, Bang Dian, Bang Ales, Bang Kia,
Bang Windra, Bang Hedo 02, Bang Ando 05, Bang Arnov, Bang Herry Sianturi,
serta untuk adik-adik junior seluruh angkatan 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011
Antropologi FISIP USU. Maria Silalahi 08, Harni 08, Dea 08, Helen Lucen 08,
Puteri 08 dan rekan-rekan lainnya di MASADEPAN Antropologi FISIP USU.
Semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan pada kesempatan ini, yang telah
membantu penulisan dan proses studi, saya ucapkan terima kasih.
Buat teman-teman Easy Listening: Raja, Ugi, Dodi, dan Zay, terima kasih
buat kebersamaan yang kalian berikan. Nge-Band bareng kalian nggak akan bisa
tergantikan dengan hal apapun. Setelah ini, mari kita lanjutkan “proyek” besar
Teristimewa buat kedua Orangtuaku yang sangat kucintai, Papa: Safruddin
dan Mama: Erni Mijaya Wati, terima kasih yang tak terhingga atas segala
pengorbanan, cinta dan kasih sayang tulus dalam membesarkan dan mendidik
Rikky dengan penuh kasih sayang. Membuat kalian berdua bahagia dan selalu
tersenyum adalah impianku. Doakan selalu anakmu ini Pa, Ma, I love you so
much.
Untuk ketiga adikku tersayang, my brother Ryan Anggriawan, my beloved
sista Rika Purwandari, dan Muhammad Reza, terima kasih atas dukungan, doa,
dan kasih sayang yang telah diberikan, doakan abang sukses ya! setelah ini. Tidak
lupa juga buat adikku terkasih (Alm). Rio Hermawan, semoga Allah
memberikanmu tempat yang paling indah di surga dek! Tidak lupa juga buat
Kakek dan Nenekku tersayang. Tetap sehat selalu ya, biar bisa lihat Rikky sukses.
Kiranya Allah SWT. dapat membalas segala kebaikan yang telah diberikan
oleh semua pihak kepada saya. Menyadari akan keterbatasan saya, maka skripsi
atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu,
koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini
sangat saya harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Desember 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Rikky Ermawan Syahputra, lahir pada tanggal
20Mei 1987 di Rantauprapat, Sumatera Utara. Beragama
Islam, anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan
Ayahanda bernama Safruddin dan Ibunda bernama Erni
Mijaya Wati.
Riwayat pendidikan formal penulis: TK Panglima
Polem, Rantauprapat, (1993); SD Panglima Polem, Rantauprapat (1994-2000);
SMP Negeri 3, Rantauprapat (2000-2003); SMA Negeri 2, Medan (2003-2006);
Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera
Utara (2006-2011).
Pengalaman berorganisasi penulis selama menjadi mahasiswa di FISIP
KATA PENGANTAR
Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di
Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk memenuhi persyaratan tersebut saya
telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Hukum dan Kepentingan” (Suatu Etnografi tentang Keanekaragaman Hukum pada Kasus Sengketa Tanah).
Ketertarikan untuk menulis permasalahan tentang hukum dan tanah
diawali dari kenyataan yang saat ini terjadi bahwa berbicara mengenai
permasalahan tanah tidak akan pernah ada habisnya karena tanah merupakan
sumber penghidupan. Pada saat ini, masalah tanah merupakan masalah yang
sangat penting di Indonesia, konflik atas tanah merupakan salah satu konflik yang
paling sering terjadi di Indonesia saat ini. Kenyataan bahwa hukum sering disalah
gunakan dalam pemenuhan kepentingan orang atau kelompok tertentu juga
menimbulkan ketertarikan bagi saya untuk mencoba mengungkap sejauh mana
hukum itu berperan dalam proses pemenuhan kepentingan (orang atau kelompok)
tertentu yang saya lihat dari kasus sengketa tanah.
Dalam skripsi ini saya menulis apa yang terjadi pada hukum dalam
kenyataan empiris yang tentunya menggunakan “kaca mata” antropologi dalam
meninjau pemasalahan dalam skripsi ini. Sedikit yang ingin saya sampaikan di
sini bahwa hukum itu tidak bisa diartikan secara sederhana karena memang
Dengan demikian skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan tentang hukum yang ditinjau secara antropologi hukum dan
menambah wawasan terhadap permasalahan tanah (sengketa tanah) yang terjadi di
Indonesia.
Akhirnya, saya berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan
kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman saya. Saya sebagai penulis
skripsi ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mengharapkan kritik dan saran
maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari berbagai pihak
untuk menyempurnakan skripsi ini.
Medan, Desember, 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ...
PERNYATAAN ORIGINALITAS ... i
ABSTRAKSI ... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR ISTILAH ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 15
1.3.Lokasi Penelitian ... 15
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 17
1.5.Tinjauan Pustaka ... 18
1.6.Metode Penelitian ... 35
BAB II. SEJARAH PERKEBUNAN PADANG HALABAN 2.1. Kondisi Ekologi Perkebunan Padang Halaban ... 44
2.2. Sejarah Perkebunan Padang Halaban ... 46
2.2.1. Sekilas tentang Penjajahan Belanda di Sumatera Timur...46
BAB III. SITUASI DAN KONDISI SENGKETA TANAH YANG TERJADI
3.1. Kronologis Sengketa Tanah di Perkebunan Padang Halaban ... 57
3.3.1. Masuknya Jepang di Perkebunan Padang Halaban ... 57
3.3.2. Masyarakat Mengambil Alih Tanah yang Ditinggalkan
Jepang ... 59
3.3.3. Agresi Militer Belanda dan Perlawanan Rakyat Padang
Halaban... 62
3.3.4. Partai Komunis Indonesia (PKI), Organisasi Massa
Pertanian, dan Hubungannya dengan Sengketa tanah di
Perkebunan Padang Halaban... 64
3.3.5. Keadaan Masyarakat Padang Halaban Setelah Penggusuran
dan Kembalinya Masyarakat Menuntut Hak Atas Tanah ...71
3.3.6. Proses Penyelesaian Sengketa yang Sudah Ditempuh ... 74
BAB IV. ANEKA RAGAM HUKUM
4.1. Keberadaan Sentralisme Hukum dan Pluralisme Hukum yang
Membentuk Aneka Ragam Hukum ... 79
4.2. Aneka Ragam Hukum pada Kasus Sengketa Tanah Padang
Halaban ... 84
BAB V. HUKUM DAN KEPENTINGAN
5.1. Suatu Korelasi antara Hukum dan Kepentingan ... 92
5.2. Pelaku-pelaku Hukum dan Kepentingan ... 96
5.3. Kondisi yang Tercipta dari Hukum dan Kepentingan ... 101
5.4. Hukum yang Hidup di Tengah-tengah Kasus KTPH-S dengan PT.
SMART Tbk. Padang Halaban ... 104
DAFTAR PUSTAKA ...118
LAMPIRAN
1. Dokumen (fotocopy Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah)
2. Dokumen (fotocopy bukti pembayaran Ipeda oleh masyarakat Padang
Halaban tahun 1967/1968)
3. Dokumen (fotocopy surat I.A.M. Schumuther kepada Tn. Hildebrant)
4. Dokumen (surat ketua KTPH-S ditujukan kepada Presiden SBY)
DAFTAR ISTILAH
Agrarische Wet Undang-Undang Agraria
Angon Menggembala hewan ternak
Culture Stelsel Sistem Tanam Paksa (zaman kolonial Belanda) Divisi Wilayah atau bagian
Hak konsesi Hak tanah yang diberikan oleh penguasa setempat kepada pengusaha asing untuk melakukan suatu usaha perkebunan
Gouvernements Besluit Keputusan Pemerintah
Land reform Reformasi tanah (sebuah upaya yang secara sengaja
bertujuan untuk merombak dan mengubah sistem agraria yang ada dengan maksud untuk
meningkatkan distribusi pendapatan pertanian dan dengan demikian mendorong pembangunan pedesaan
Laskar Rakyat Tentara (wajib militer pada masa kolonial Belanda)
Mandor Pengawas perkebunan. Segala kegiatan para kuli
diawasi oleh mandor dan mandor bertanggung jawab atas segala yang terjadi di perkebunan
Maskape Perusahaan
NV Naamloze Vennotshap atau perseroan terbatas
Onderneming Perkebunan Besar
Pondok Pondok dalam bahasa Jawa berarti rumah. Biasanya
bangunannya berbentuk semi-permanen.
re-klaiming Pendudukan kembali
ABSTRAKSI
Skripsi ini mengkaji tentang “Hukum dan Kepentingan”. Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Skripsi mengenai kasus sengketa ini dibuat untuk dapat memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat karena dari kasus-kasus sengketa, dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Kemudian skripsi ini juga menelusuri bagaimana hukum itu membentuk kepentingan yang dilihat dari kasus sengketa tanah yang terjadi di Perkebunan Padang Halaban, Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum itu ternyata “bergerak” dan dinamis, yang berarti hukum itu tidak hanya berhenti pada peraturan yang ada namun lebih dari itu dari tahap peraturan itu dibuat sampai pada peraturan itu selesai dan disahkan ada terselip sesuatu yang bernama “kepentingan” (orang atau kelompok tertentu). Pada hakekatnya kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat yang kerap kali berbenturan satu sama lainnya. Pengorganisasian kepentingan tersebut dilakukan dengan membatasi dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut. Namun, pada kenyataannya kepentingan bersama yang menjadi tujuan dari dibentuknya hukum dikalahkan oleh kepentingan yang mengatasnamakan pribadi dan golongan.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Secara umum skripsi ini menjelaskan tentang kasus sengketa yang terjadi
dalam masyarakat. Skripsi mengenai kasus sengketa ini dibuat untuk dapat
memahami hukum yang sedang berlaku dalam suatu masyarakat karena dari
kasus-kasus sengketa dapat diungkapkan banyak keterangan mengenai
norma-norma hukum yang sedang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan
Llewellyn dan Hoebel bahwa “Kasus-kasus sengketa, yang dipilih dan diteliti
dengan hati-hati merupakan jalan yang paling aman untuk menemukan hukum.
Data dari kasus-kasus itu adalah yang paling pasti. Hasilnya adalah yang paling
kaya dan paling membuka mata” (Ihromi, 1993:108).
Dengan begitu secara umum tulisan terhadap kasus sengketa ini
mengungkap dan menelusuri hukum masyarakat dalam studi antropologis
mengenai hukum. Hal ini karena hukum bukanlah semata-mata sebagai suatu
produk dari individu atau sekelompok orang dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, atau bukanlah sebagai suatu institusi yang terisolasi dari aspek-aspek
kebudayaan yang lain, tetapi hukum merupakan produk dari suatu relasi sosial
dalam suatu sistem kehidupan masyarakat1
1
I Nyoman Nurjaya, pada artikel “Perkembangan Tema Kajian Metodologi dan Model Penggunaannya Untuk Memahami Fenomena Hukum di Indonesia” d
.
Dengan kasus sengketa juga akan dapat dipahami bagaimana hukum
berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai
alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan
sosial (social order) dalam masyarakat atau dengan kata lain, studi-studi
antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan
manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana
menjaga keteraturan sosial (social order) atau alat pengendalian sosial (social
control), (Ihromi, 2000:6). Hukum merupakan aktivitas kebudayaan yang
berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control), atau sebagai alat
untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat2. Sejalan
dengan ini Hoebel menyatakan bahwa untuk memahami tempat hukum dalam
struktur sosial masyarakat, maka harus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial
dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan (Ihromi, 1993:148).
Kenyataan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produk
kebudayaan dari interaksi sosial yang tidak terpisahkan dengan segi-segi
kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial,
ideologi, religi, dan lain-lain3
Lebih fokus lagi sejalan dengan penjelasan di atas secara khusus tulisan ini
bercerita bahwa hukum ternyata bukan hanya peraturan-peraturan tertulis saja;
dalam hal ini undang-undang dalam pemerintahan, melainkan banyak hukum-.
2
(Pospisil, 1967; 1971) dalam artikel Boy Yendra Tamin “Sistem Hukum Adat di Tengah Kuatnya Sistem Hukum Global” d
3
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2222834-hukum-hukum lain yang tidak tertulis dan di dalam http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2222834-hukum-hukum itu sendiri terdapat begitu
banyak kepentingan-kepentingan dari orang-orang tertentu yang akan melakukan
dan menempuh segala cara untuk dapat memenuhi kepentingannya. Dengan
demikian hukum itu ternyata tidak lebih penting dari kepentingan atau dengan
kata lain bahwa karena adanya kepentinganlah maka hukum itu dibuat sehingga
kepentingan itu menjadi hal yang utama dalam proses terbentuknya sebuah
hukum.
Hukum hanyalah sebuah alat untuk bisa mencapai sesuatu yang akan bisa
memenuhi kepentingan karena hukum itu sendiri dapat digerakkan, didinamiskan
dan dimanipulasi oleh siapa pun juga untuk mencapai sesuatu; dalam hal ini
adalah kepentingan. Kepentingan merupakan sesuatu hal yang dianggap penting
sehingga harus diutamakan dan dikejar agar terwujud nyata dalam kehidupan dan
alat untuk mencapainya adalah hukum. Jadi, hukum itu merupakan percampuran
nilai-nilai yang eksis dan memegang peranan yang dominan dalam suatu
masyarakat tertentu yang dikukuhkan oleh; dalam hal ini bisa pemerintah, bisa
juga pemegang kekuasaan, ke dalam sebuah peraturan tertulis yang pada mulanya
untuk kepentingan masyarakat tersebut namun, tidak sedikit juga disusupi
kepentingan para pembuat peraturan tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang maupun kelompok memiliki
kepentingannya masing-masing, baik itu kepentingan yang eksplisit maupun
latent5 untuk menjelaskan sesuatu yang eksplisit dan implisit. Kepentingan yang
saya maksud di sini adalah kepentingan yang implisit/latent yaitu kepentingan
yang tidak tertulis atau tidak dinyatakan secara terang-terangan. Lebih jauh lagi
kepentingan itu bersifat hidden agenda (maksud yang tersembunyi) yaitu
kepentingan yang memiliki maksud atau tujuan yang tersembunyi. Berdasarkan
literatur yang saya baca mengenai hidden agenda6
Hal inilah yang saya lihat terjadi dalam kasus sengketa tanah antara
masyarakat yang mengatasnamakan Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya
(KTPH-S) dengan perusahaan perkebunan PT. Sinar Mas Agro Resources and
Technology Tbk. Padang Halaban (PT. SMART Tbk. Padang Halaban) di mana
sengketa tanah yang terjadi sebenarnya sudah puluhan tahun lamanya yaitu sejak
tahun 1969 dan sejak 18 mei 2009 masalah sengketa tanah ini telah sampai ke
lembaga peradilan. Permasalahan sengketa tanah inilah yang akan saya tuliskan
dalam skripsi ini untuk menjelaskan hukum dalam tinjauan antropologi. Kasus
sengketa tanah seperti yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART
Tbk. Padang Halaban ini adalah merupakan bidang kajian yang saya pilih untuk secara sederhana saya
mendefinisikan hidden agenda sebagi berikut: gagasan tersembunyi atau niat
terselubung yang diungkapkan secara eksplisit dalam negosiasi antara individu
maupun kelompok (tetapi secara implisit di hadapan umum) dan merupakan hal
yang sesungguhnya ingin dicapai oleh pihak yang bersangkutan.
5
Latent adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak dinyatakan secara jelas/terang-terangan (implisit).
6
mencoba mengungkap bahwa dalam aturan-aturan (hukum) yang dikembangkan
oleh pihak yang berwenang dan berkepentingan, melahirkan apa yang dinamakan
pluralisme hukum, hukum-hukum hybrid (hybrid law), maupun hukum-hukum
lain yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation).
Ketertarikan untuk menulis permasalahan tentang sengketa tanah ini
dilatarbelakangi dari berbagai referensi yang saya baca bahwa masalah sengketa
tanah pada saat sekarang ini banyak terjadi. Di Sumatera Utara saja sejak era
reformasi sampai 2011 ini sudah mencapai 800 pengaduan yang ditangani DPRD
Sumut7
Dalam tulisan Jeffrey D. Brewer yang berjudul Penggunaan Tanah
Tradisional dan Kebijaksanaan Pemerintah di Bima, Sumbawa Timur, Brewer
menjelaskan bahwa pemerintah dalam kebijaksanaannya terhadap penggunaan
tanah di Bima ternyata tidak hanya mengurangi pengawasan desa terhadap tanah
dan juga mendorong penerapan metode-metode usaha tani yang lebih intensif,
tetapi juga meningkatkan ketidakadilan dalam pemilikan tanah (Dove, 1985:163). . Secara umum, kasus sengketa tanah tersebut terjadi antara masyarakat
dengan pihak Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN).
Berbicara tentang tanah maka kita akan dihadapkan pada sebuah
pernyataan yang mengatakan bahwa permasalahan tanah tidak akan pernah ada
habisnya. Di sini saya akan menguraikan beberapa literatur yang saya baca
mengenai permasalahan tanah yang bisa dibilang menjadi sebuah masukan yang
sangat berharga bagi saya untuk mengembangkan tulisan dalam skripsi ini,
tentunya untuk mengungkap permasalahan yang menjadi topik dalam skrirpsi ini.
7
Kemudian, Brewer juga menegaskan di awal tulisannya bahwa tindakan
pemerintah dalam mencampuri soal tata guna tanah di dua kampung petani di
Bima selama kurun waktu 50 tahun dengan didasari pertimbangan mengenai
kepentingan kaum petani dan tidak melakukan perundingan dengan kaum petani
mengakibatkan terjadinya permasalahan (Dove, 1985:165). Hal yang menarik
dalam tulisan ini adalah Brewer berhasil mengungkap kenyataan yang terjadi
bahwa tidak selamanya campur tangan pemerintah dalam masyarakat selalu
bergerak ke arah yang baik atau dengan kata lain berpihak pada masyarakat
setempat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah seringkali hanya
menambah masalah baru dikarenakan pemerintah dalam menjalankan
kebijakannya sering tidak memikirkan kebutuhan masyarakat setempat dan malah
lebih memikirkan hasil yang akan mereka dapat dalam pelaksanaan
kebijakan-kebijakan yang mereka susun. Bahkan Brewer menyatakan dalam tulisannya
tersebut bahwa setelah tercapainya kemerdekaan nasional, motif penguasaan
tanah oleh pemerintah ialah hasratnya untuk melenyapkan pengaruh kaum-kaum
tua, yang dipandang sebagai orang berpaham kolot yang menentang aliran
modernisasi (Dove, 1985:183). Lebih jauh lagi Brewer juga menyatakan bukti
bahwa keadilan sosial dan kemakmuran penduduk di Bima telah merosot sebagai
akibat langsung dari usaha pemerintah mengadakan pengawasan tanah dan land
reform yang menurutnya tidak tepat sasaran dalam pelaksanaannya (Dove,
1985:184). Sangat menarik sekali jika ditelusuri isi dari tulisan Brewer ini yang
juga menerangkan kondisi di mana tidak selamanya peraturan yang dibuat oleh
masyarakat melainkan bisa jadi ada hidden agenda yang telah mereka susun pada
saat menerapkan kebijakan-kebijakannya.
Sejalan dengan permasalahan land reform yang dibahas Jeffrey D. Drewer
Endang Suhendar juga mempunyai pendapat sebagai berikut: memperlakukan
tanah sebagai barang dagangan berarti memperbolehkan siapa saja yang
mempunyai kekuatan ekonomi untuk menguasai tanah, siapa yang mempunyai
uang dapat membelinya kapan saja dan di mana saja8. Demikian pula bila
memandang tanah sebagai komoditas strategis, berarti kita menyetujui adanya
pasar tanah yang di dalamnya terkandung pengertian tarik menarik kekuatan
suplai dan demand. Pola ini pada gilirannya akan menciptakan suatu keadaan di
mana pihak yang secara ekonomis kuat akan dapat menguasai tanah, yang pada
akhirnya akan menciptakan terjadinya kepincangan struktur penguasaan tanah9
8
Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 7
9
Endang Suhendar, “Menjadikan Tanah sebagai Komoditas”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli
.
Jadi, di sini Endang Suhendar menekankan bahwa kondisi yang terjadi adalah
kebijakan-kebijakan land reform yang mungkin tujuan dalam wacanannya baik
tetapi sering pada saat penerapannya terjadi sesuatu yang tidak wajar. Bahkan
masalah seperti ini telah mencuat ke permukaan pada zaman Jeffrey D. Brewer
tahun 1985 membahas kasus di Bima, Sumbawa Timur dan sampai saat ini
pola-pola yang sama masih tetap menjadi “langganan” dalam tulisan-tulisan mengenai
Pengkajian terhadap masalah tanah juga dilakukan oleh Arief Budiman
dalam tulisannya yang berjudul Fungsi Tanah dalam Kapitalisme. Yang menarik
dari kajian ini adalah mengungkap secara jelas bagaimana kapitalisme dapat
mengubah keadaan secara total. Arief Budiman menyatakan dalam sistem
kapitalisme semua barang yang ada di sekitarnya akan diusahakan jadi alat
produksi yang bisa menghasilkan laba, bahkan manusia dijadikan komoditas,
yaitu buruh, dan manusia juga tidak lagi diukur atas dasar kejujurannya atau
nilai-nilai moralnya, tetapi dihitung sebagai faktor produksi yang bisa dijadikan
mesin pencetak laba, demikian juga dengan tanah10. Kemudian ditambahkan lagi
olehnya bahwa dalam kapitalisme, tanah menjadi komoditas, tanah-tanah yang
tidak produktif dialihkan fungsinya menjadi alat produksi yang bisa
menghasilkan keuntungan dan mendatangkan pajak bagi pemerintah11
10
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 14.
11
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996,
. Secara
tegas Arief Budiman mengatakan seperti yang saya kutip berikut ini:
Arief Budiman juga menjelaskan bahwa dalam sistem kapitalis, tanah
dimiliki secara pribadi (oleh pemodal) yang melakukan eksploitasi tinggi demi
meraih keuntungan pribadi, oleh karena itu, tanah senantiasa menjadi rebutan
yang kadang- kadang memakai cara-cara kekerasan12. Menurut Yoshihara Kuno,
kapitalisme yang menggejala di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) ditandai oleh
sifat campur tangan pemerintah yang kuat dan ketergantungan teknologi pada
negara industri maju, campur tangan pemerintah yang kuat itu membuat
mekanisme pasar tidak bisa bekerja dengan baik dan akibatnya
pengusaha-pengusaha yang unggul tidak bisa berkembang kalau tidak "dekat" dengan
pemerintah, sementara ketergantungan teknologi membuat surplus negara ini
akhirnya kembali lagi ke negara-negara industri maju13
Hal yang memprihatinkan dalam pertanahan menurut Arief Budiman
adalah yang menggejala di Indopesia bukan merupakan kapitalisme seperti yang
terjadi di Eropa, berdasar pada mekanisme pasar, sebaliknya kapitalisme di
Indonesia merupakan kapitalisme semu yang peralihan pemilikan tanah sering . Pendapat ini sangat
transparan mengingat kondisi yang terjadi saat ini dan mungkin besok dan
seterusnya kan tetap berada pada tatanan pola yang sam persis dengan apa yang
dikatakan Yoshihara Kuno tersebut dan ini pulalah yang akan saya tunjukkan
dalam skripsi ini bahwa pengusaha perkebunan PT. SMART Tbk. Padang
Halaban memiliki “kedekatan-kedekatan” terhadap pemerintah sehingga
perusahaan ini dapat berkembang pesat sampai saat ini.
12
tidak berlangsung melalui mekanisme pasar, melainkan melalui proses
"perampasan" yang melibatkan aparat negara dan akibatnya, masalah konflik
tanah di Indonesia menjadi yang paling menonjol di zaman pemerintahan Orde
Baru14
Permasalahan tanah juga dibahas oleh Noer Fauzi. Sejalan dengan
pendapat-pendapat di atas Noer Fauzi menyatakan bahwa karakter dan
penampakan masalah tanah di Indonesia saat ini tidak lagi bisa ditelusuri dari
dalam tekad, isi, makna dan pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
1960 dan tidak juga bisa dipahami sebagai persoalan planning and management
land resources, sebab secara historis UUPA memiliki strategi (path of change)
yang berbeda dengan pembangunan yang diterapkan oleh Orde Baru yang
mengakibatkan program-program populis, seperti land reform telah
ditinggalkan
. Hal ini sangat sejalan dengan apa yang akan saya bahas dalam skripsi ini
karena peristiwa yang terjadi tahun 1969 di Padang Halaban adalah contoh nyata
eksploitasi tingkat tinggi terhadap kepemilikan atas tanah yaitu dengan cara-cara
kekerasan yaitu penggusuran.
15
14
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 22.
15
Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli
. Dari sini Noer Fauzi ingin menjelaskan bahwa keberadaan Orde
Baru menjadi jalan bagi pengusaha bermodal untuk memiliki tanah-tanah yang
sebenarnya jika ditelusuri adalah kepunyaan orang atau masyarakat yang sah,
Noer Fauzi juga menyatakan bahwa kebijakan awal Orde Baru tidak
menjadikan penataan penguasaan tanah (land reform) sebagai basis, tetapi
memberlakukan kebijakan pengadaan tanah untuk swasta modal besar, dengan
intervensi langsung dari pemerintah yang bersifat ekstra-ekonomi yang
melahirkan konsekuensi berkembangnya dua persoalan mendasar dalam
pertanahan, yaitu penguasaan tanah yang timpang dan sengketa tanah16. Noer
Fauzi juga menambahkan bahwa dominasi modal akan tampak pada konfigurasi
kekuasaan ekonomi dan politik pada zaman Orde Baru dan selanjutnya dan secara
dinamis, dominasi ini mengkondisikan munculnya sengketa tanah yang demikian
meluas di masa sekarang ini yang merupakan indikasi krisis dalam pembangunan
(bukan krisis tanah itu sendiri)17
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah melaksanakan hak menguasai
negara;
.
Dalam bukunya berjudul Petani dan Penguasa, Noer Fauzi mengungkap
ada 4 hal yang membuat land reform gagal yaitu sebagai berikut (Fauzi,
1999:54-55):
2. Tuntutan (organisasi) massa petani yang ingin mendistribusikan tanah secara
segera, sehingga menimbulkan aksi sepihak;
3. Unsur-unsur anti-land reform melakukan pelbagai mobilisasi kekuatan
tandingan dan siasat mengelak bahkan menggagalkan land reform;
16
Noer Fauzi, “Gue Perlu, Lu Jual Dong” Reformasi Menuju Pasar Tanah yang Efisien: Peta Kebijakan, Penguasaan, dan Sengketa Tanah di Akhir Abad 20, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 43.
17
4. Terlibatnya kekerasan antar unsur pro-land reform dengan unsur anti-land
reform yang merupakan pelebaran dari konflik kekerasan pada tingkat elit
negara.
Secara umum tulisan-tulisan di atas berbicara tentang kondisi yang
menurut saya nyata dalam pertanahan di Indonesia yang memang pada akhirnya
akan menunjukkan suatu permasalahan yang kompleks. Ujung dari semua
permasalahan tanah yang ada adalah lahirnya sengketa-sengketa tanah yang
sampai saat ini masih mendominasi di negeri ini18
Seperti kita ketahui bersama bahwa permasalahan tanah tidak akan pernah
ada habisnya karena tanah merupakan sumber penghidupan. Pada saat ini,
masalah tanah merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia, konflik atas . Mengacu pada tulisan-tulisan
di atas, saya dalam skripsi ini ingin mengungkap permasalahan yang telah saya
sebutkan di depan yaitu sengketa tanah yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan
PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang jika ditelusuri dari historis terjadinya
sengketa tanah tersebut memang sangat dekat dengan permasalahan-permasalahan
tanah yang dikaji oleh Endang Suhendar, Arief Budiman, dan Noer Fauzi. Dari
tulisan mereka saya menangkap bahwa permasalahan land reform dan
berpindahnya pemerintahan Orde Lama menuju Orde Baru merupakan fokus dari
kajian-kajian yang mereka teliti dan untuk saya pribadi ini merupakan data-data
yang sangat membantu untuk memahami permasalahan tanah yang ada di
Indonesia.
18
tanah merupakan salah satu konflik yang paling sering terjadi, ini disebabkan
karena tanah adalah alat produksi19. Kemudian Arief Budiman melanjutkan, siapa
yang menguasai tanah, terutama yang terletak di daerah strategis, memiliki
kemungkinan untuk memperoleh laba melimpah, oleh karena itulah, tanah
menjadi rebutan berbagai orang dan kelompok20
19
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996, hal. 11.
20
Arief Budiman, “Fungsi Tanah dalam Kapitalisme”, Jurnal Analisis Sosial, edisi 3 Juli 1996,
. Tidak tertutup kemungkinan
akan terjadi kekerasan apabila kondisinya seperti ini dan terjadilah kemudian hal
yang ekstrem dengan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kepemilikan
atas tanah yaitu dengan cara-cara seperti penggusuran. Itu semua bisa terjadi
akibat dari adanya kepentingan yaitu kepentingan orang-orang tertentu dan alat
yang digunakan untuk melakukan itu adalah hukum.
Atas dasar inilah saya tertarik untuk menulis sengketa tanah yang terjadi di
Perkebunan Padang Halaban ini. Hal menarik yang ingin saya tunjukkan adalah
bagaimana hukum dan kepentingan itu merupakan sesuatu yang berkorelasi.
Kemudian apa sebenarnya masalah yang terjadi sehingga masyarakat merasa
dirugikan dan merasa memiliki hak yang utuh atas tanah yang saat ini masih
mereka perjuangkan. Bagaimana masyarakat yang bersengketa itu memaknai
hukum dan tentunya untuk memperoleh suatu jawaban yang pasti tentang apa
yang dinamakan pluralisme hukum, hukum-hukum hybrid (hybrid law),
peraturan-peraturan yang hidup sebagai mekanisme pengaturan sendiri (s
Kemudian untuk menunjukkan dan memperkuat pendapat saya ini, saya
akan membagi tulisan ini menjadi 4 bab pembahasan. Dua bab (II dan III) saya
akan membahas kronologis, situasi dan kondisi sengketa tanah antara KTPH-S
dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan menyertakan proses-proses
yang sedang berjalan dan akan berjalan dalam kasus tersebut. Kemudian dua bab
lagi (IV dan V) saya fokuskan untuk memperkuat pendapat saya tentang hukum
dan kepentingan. Ilustrasinya sebagai berikut: pada bab IV saya membahas
tentang aneka ragam hukum yang “hidup” dalam kasus sengketa tanah yang
terjadi antara KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban dengan
bukti-bukti yang memang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Selanjutnya pada
bab V saya lebih menekankan lagi kepada pendapat saya tentang hukum dan
kepentingan itu sendiri namun, dengan terlebih dahulu memperlihatkan bahwa ada
suatu “korelasi” antara hukum dan kepentingan yang dilakukan oleh para
“pelaku” hukum dan kepentingan, situasi dan kondisi yang tercipta dari adanya
hukum dan kepentingan, dan di bagian akhirnya saya akan menunjukkan
temuan-temuan di lapangan yang akan menguatkan pendapat saya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah
dalam skripsi ini adalah: menjelaskan bahwa hukum berkaitan dengan
1.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara yang baru dimekarkan. Sebelumnya Kecamatan Aek Kuo
masih cakupan dari Kabupaten Labuhanbatu. Namun, sejak 28 Juli 2008
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2008, Kabupaten Labuhanbatu
telah dimekarkan menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu: Labuhanbatu Utara,
Labuhanbatu, dan Labuhanbatu Selatan. Alasan utama memilih lokasi ini adalah
karena banyaknya terjadi sengketa tanah di daerah ini dan saat ini masalah
sengketa tanah memang mendominasi di 3 (tiga) Kabupaten ini. Setidaknya ada 3
(tiga) kasus besar21
Perjalanan menuju Kecamatan Aek Kuo akan banyak dijumpai ribuan
pohon kelapa sawit milik beberapa perkebunan kelapa sawit swasta. Memasuki
perjalanan menuju kecamatan akan banyak dijumpai sarana jalan yang rusak
dengan kondisi berbatu dan tanah bergelombang. Sarana jalan sudah lama tidak
diaspal kembali padahal sudah rusak parah bahkan ada beberapa kilometer yang
memang tidak pernah diaspal. Bila saat musim kering maka jalan akan berdebu yang saat ini masih ditangani oleh pihak yang berwajib selain
dari kasus yang akan diteliti yaitu sengketa tanah antara Kelompok Petani di Desa
Sukarame Dalam berseteru dengan pihak PT. Sawita Leidong Jaya (Labuhanbatu
Utara), masalah sengketa tanah warga desa di Desa Bagan Bilah, Kecamatan
Panai Hilir berseteru dengan pihak PTPN4 Ajamu (Labuhanbatu), dan
perseteruan warga Desa Sei Meranti dengan pihak PT. Sinar Belantara Indah
(SBI) (Labuhanbatu).
21
dan bila saat musim penghujan maka jalanan akan becek dan berlumpur. Sungguh
ironis bila melihat ada banyak perusahaan perkebunan yang berdiri di Kecamatan
Aek Kuo yang mana mereka setiap harinya dengan truk-truk perusahaan yang
mengangkut hasil kelapa sawit melewati jalan yang rusak tersebut. Padahal sesuai
peraturan pemerintah mengenai pendirian peruasahaan di sekitar pemukiman
penduduk maka perusahaan memiliki tanggung jawab dimana sebagian dari hasil
perusahaan digunakan untuk membantu pertumbuhan desa sekitar perusahaan atau
lebih dikenal dengan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibility yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UUPT – Undang-undang Perseroan Terbatas) dan UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal (UUPM – Undang-undang Penanaman Modal).
Salah satu pasalnya yaitu pasal 74 UUPT menyebutkan bahwa setiap perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Jika tidak
dilakukan, maka perseroan tersebut bakal dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Namun, seperti kebanyakan perusahaan lainnya di
Indonesia perusahaan perkebunan yang ada di Kecamatan Aek Kuo pun kerap
melanggar pertauran ini. Hal ini dapat dilihat dengan kondisi Kecamatan Aek Kuo
sendiri yang dikelilingi begitu luas perkebunan kelapa sawit dengan keuntungan
yang saya kira sangat besar tetapi, keadaan desa-desa di sekitar perkebunan tetap
saja tidak berubah dan yang paling kelihatan memang adalah kondisi jalan lintas
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan skripsi ini adalah tidak hanya melihat hukum-hukum ideal tetapi
menunjukkan perilaku dan persepsi tiap-tiap orang terhadap hukum-hukum lain
yang hidup di tengah-tengah masyarakat secara aktual. Skripsi ini juga
menggambarkan bahwa hukum itu ternyata merupakan alat yang digunakan
orang untuk mencapai apa yang orang tersebut inginkan. Selain itu, skripsi ini
ingin mengungkap hukum itu dalam kenyataannya yang tidak jauh-jauh dari
adanya kepentingan. Bagaimana orang membuat pilihan-pilihan hukum dalam
mengahadapi kasus sengketa; yang dalam hal ini sengketa tanah, juga terlihat
dalam kasus sengketa tanah antara masyarakat KTPH-S dengan perusahaan
perkebunan PT. SMART Tbk. Padang Halaban yang termuat dalam skripsi ini.
Sehingga skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam melihat
permasalahan hukum; dalam hal ini tinjauan secara antropologi hukum. Tulisan
ini diharapkan dapat memperkaya literatur dan wawasan pengetahuan
antropologi yang dikaitkan dengan hukum.
Manfaat penelitian ini sendiri diharapkan secara akademis dapat
menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan
permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebuah kajian dan
pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah wawasan berpikir
terutama dalam bidang antropologi dan kaitannya dengan judul dan
permasalahan dalam tulisan ini yaitu mendeskripsikan kasus sengketa tanah
yang terjadi antara masyarakat KTPH-S dengan perusahaan perkebunan PT.
1.5. Tinjauan Pustaka
Menurut Joyo Winoto (2008), tanah memiliki keterkaitan erat dengan
kebangsaan dan pembangunan. Lebih lanjut lagi Joyo Winoto mengatakan ada
empat hal yang harus diketahui sebelum masuk kepada persoalan tanah. Pertama,
tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagaimana tertera dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa ujung cita-cita negara Indonesia adalah
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, apa yang
dikatakan Joyo Winoto tentang tanah untuk kemakmuran rakyat adalah mengacu
kepada Pembukaan UUD 1945 yang secara nyata harusnya diusahakan
sedemikian rupa oleh negara untuk pencapaian tujuannya tersebut. Kedua, tanah
sebagai identitas kebangsaan. Identitas kebangsaan yang dimaksud di sini adalah
bahwa tanah merupakan kekayaan nasional yang diperjuangkan oleh seluruh
bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sejatinya menjadi hak dari bangsa Indonesia
dan bukan semata‐mata aset pemiliknya. Bagi bangsa Indonesia, hubungan
dengan tanah merupakan hak yang sangat mendasar dan asasi. Hubungan ini
sangat menentukan dalam membentuk kesejahteraan, keadilan, sekaligus
harmonisasi bangsa. Namun, jika hubungannya tidak tersusun baik, sudah dapat
diduga yang akan muncul adalah penderitaan panjang bagi sebagian besar rakyat
Indonesia. Kemiskinan serta konfllk berkepanjangan akan terus berlangsung.
Ketiga, tanah harus memiliki fungsi keadilan sosial. Fungsi keadilan sosial yang
digambarkan Joyo Winoto yaitu pemegang hak atas tanah tidak dibenarkan
mempergunakan atau tidak mempergunakan tanahnya untuk kepentingan pribadi
sifat haknya, sehingga memberikan manfaat sebesar‐besarnya bagi pemegang hak,
masyarakat, dan negara. Hal ini bukan berarti kepemilikan serta kepentingan
perseorangan terabaikan oleh kepentingan umum. Berkaitan dengan ini Joyo
Winoto menambahkan bahwa jika konsentrasi akses terhadap tanah secara
berlebihan dan hanya tertumpu pada segelintir orang, ini indikasi “tidak sehat”.
Namun, pada kenyataannya sekarang ini hal yang “tidak sehat” seperti yang
dikatakan Joyo Winoto inilah yang sering mengisi bangsa ini. Keempat, tanah
untuk kehidupan. Terbukanya akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hak rakyat
atas tanah memberikan kesempatan pada rakyat untuk memperbaiki sendiri
kesejahteraan sosial ekonominya, hak‐hak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya
meningkat, rasa keadilannya tercukupi, dan akan tercipta harmoni sosial. Apa
yang diungkapkan Joyo Winoto ini merupakan ucapan formal yang masih harus
diuji secara empiris untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi di
“lapangan” itu seperti apa.
Bagi sebagian orang Jawa yang masih menggantungkan hidupnya dari
bertani pastilah memandang tanah sebagai aset penting dalam menunjang
keberlangsungan pertaniannya. Hal ini dikarenakan tanah bagi mereka berfungsi
sebagai aset produksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik
untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan. Posisi penting tanah dalam
masyarakat pedesaan Jawa terlihat dari istilah "Sadumuk bathuk, sanyari bumi
ditohi tekan pati" yang berarti sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati22.
memaknai tanah, bahkan dalam mempertahankan tanah harus dibela meskipun
sampai mati. Hal ini menunjukkan bahwa tiap jengkal tanah berselimutkan
kehormatan dan martabat pemiliknya. Tanah dengan demikian merupakan
persoalan hidup mati (survival), kepentingan, harga diri, eksistensi, ideologi, dan
nilai (Sastroatmodjo, 2007:28). Apa yang dikatakan Sudijono Sastroatmodjo ini
tentu sangat mendukung pendapat bahwa orang Jawa memiliki pandangan mereka
sendiri atas tanah. Permasalahan tanah inilah yang menurut Sartono Kartodirdjo
pada akhirnya mampu menggerakan masyarakat, dalam hal ini adalah petani,
untuk melakukan gerakan protes petani, sebuah gerakan protes menentang
pemaksaan oleh tuan tanah maupun pemerintah dan permasalahan tanah ini
pulalah yang dapat memicu gerakan petani lainnya, yakni gerakan messianistis,
yaitu gerakan yang menginginkan terciptanya dunia baru serba adil, dan gerakan
revivalis yaitu gerakan yang ingin membangkitkan kejayaan masa lampau
(Padmo, 2000:1). Keadaan yang seperti ini mungkin akan banyak terjadi melihat
kondisi saat ini, nilai tanah semakin lama semakin tinggi. Ini jugalah yang
menjadi pemicu terjadinya sengketa tanah.
Begitu juga yang terlihat pada masyarakat Madura. Bagi orang Madura,
tanah pertanian merupakan aset kekayaan yang tidak ternilai harganya. Seperti
yang dikatakan A. Latief Wiyata, kehidupan mereka amat bergantung sekaligus
ditopang secara dominan oleh tanah. Lebih penting lagi, A. Latief Wiyata
menambahkan bahwa tanah yang mereka miliki hampir pasti merupakan warisan
ini dalam bahasa Madura tana sangkolan memiliki makna dan kekuatan
sakralitas23
a. Pra-konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang. .
Pentingnya arti tanah bagi orang Jawa dan Madura dalam uraian di atas
menandakan bahwa tanah adalah sumber kehidupan yang akan membuat orang
berlomba-lomba untuk memiliki tanah seluas-luasnya. Berkaitan dengan hal ini,
saat ini kebutuhan akan sebidang tanah di zaman modernisasi ini akan semakin
bernilai jual tinggi bahkan sangat mahal ketika tanah itu memiliki letak yang
strategis untuk didirikan sebuah bangunan, unsur hara yang baik untuk lahan
pertanian, nilai sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, yang pada
akhirnya memiliki nilai ekonomi yang dapat menghasilkan uang. Melihat dari
fisik tanah yang di bumi ini terbatas, tetapi kebutuhan manusia yang tidak terbatas
sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya perebutan kekuasaan atas tanah atau
terjadinya sengketa tanah.
Tinjauan di atas menyatakan bahwa konflik maupun sengketa akan sangat
sering terjadi. Untuk lebih jauh lagi memahami proses-proses itu Nader dan Todd
(Ihromi, 1993:225) mengemukakan pandangan mengenai adanya tiga fase dalam
sengketa, yaitu:
b. Konflik adalah keadaan di mana para pihak menyadari atau mengetahui
tentang adanya perasaan tidak puas tersebut.
c. Sengketa adalah keadaan di mana konflik tersebut dinyatakan di muka umum
atau dengan melibatkan pihak ketiga.
Saya akan mencoba menguraikan apa yang saya tangkap dari tiga fase
dalam sengketa Nader dan Todd ini sebagai berikut: tahap pra-konflik terjadi pada
kondisi di mana seseorang maupun kelompok merasa bahwa telah terjadi suatu
ketidakadilan yang didasari atas rasa ketidakpuasan terhadap suatu masalah yang
melibatkannya sehingga muncul suatu keluhan. Biasanya hal-hal yang demikian
ini sering terjadi pada kondisi di mana ada yang dipermasalahkan atau dengan
kata lain ada kasus yang terjadi baik itu sifatnya individu maupun kolektif, intinya
ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi, perasaan tidak puas tersebut tidak atau
mungkin belum disadari atau dengan kata lain belum diungkapkan dan masih
dipendam sendiri. Pada saat rasa tidak puas akan ketidakadilan ini disadari oleh
pihak-pihak tersebut maka tahap pra-konflik telah berubah menjadi konflik.
Sebenarnya tahap pra-konflik bisa saja selesai jika terjadi perdamaian. Tetapi,
sepertinya yang lebih akan sering terjadi adalah konflik yang berkepanjangan
yang akhirnya konflik dipublikasikan dan melibatkan pihak ketiga dan pada saat
kondisi seperti ini maka tahapan konflik telah masuk ke tahap sengketa. Pihak
ketiga di sini baik individu maupun kelompok akan mulai aktif dalam
permasalahan yang terjadi. Sebenarnya ketiga tahap di atas tidak harus terjadi
secara berurutan, karena bisa saja pihak-pihak yang merasa dirugikan akan
langsung meneruskan keluhan dan rasa ketidakadilan yang didapatnya ke tahap
Sedangkan menurut Comaroff dan Roberts (Ihromi, 1993:225) sengketa
dapat timbul di antara:
1. Individu -individu dari :
a. Kelompok yang berbeda, misalnya pada sengketa tanah yang terjadi antara
individu dari klen yang berbeda.
b. Satu kelompok (within group and inter group), misalnya pada sengketa
tanah waris antar individu dari satu klen. Oleh Comarroff dan Roberts
bentuk sengketa ini dinamakan ‘interhouse’ atau ‘intergenerational’.
2. Kelompok-kelompok (antar kelompok atau intra group), yaitu sengketa antar
sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok atau antar kelompok
yang besar yang otonom dalam masyarakat yang dinamakan sengketa
intrahouse.
Jika mengacu kepada pendapat Comaroff dan Roberts di atas, maka dalam
permasalahan sengketa tanah yang terjadi di Padang Halaban adalah sengketa
intrahouse karena melibatkan sebuah kelompok yang mewakili masyarakat
dengan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta. Tentunya tinjauan ini
akan membantu saya dalam proses mengetahui sengketa-sengketa seperti apa saja
yang sebenarnya dapat terjadi di dalam kenyataan empirisnya.
Permasalahan sengketa yang terjadi tentunya akan sampai kepada
bagaimana proses yang akan ditempuh untuk menyelesaikannya dan penggunaan
hukum lokal, hukum-hukum hybrid (hybrid law), hukum negara; dalam hal ini
hukum peradilan, maupun hukum-hukum lain yang hidup sebagai mekanisme
(unnamed law), merupakan tahapan terhadap proses penyelsaian terhadap masalah
sengketa yang ada. Hal ini akan dapat diketahui jika yang diteliti adalah
kasus-kasus sengketa. Kemudian jika ditelusuri dari apa yang terjadi pada kasus-kasus-kasus-kasus
sengketa tersebut siapakah yang melakukan pelanggaran terhadap norma yang
ada, maka, hal itu akan dapat menunjukkan struktur dari masyarakat yang
bersangkutan.
Kemudian saya meminjam apa yang dinamakan oleh Laura Nader
disputing process untuk memahami masalah sengketa tanah. Berbeda dengan
Hoebel yang menyatakan bahwa dalam penerapan metode kasus sengketa
memaksudkan kajiannya sebagai alat untuk mengungkapkan hukum substantif
dan juga prosedur-prosedur yang ditempuh serta untuk dapat memperlihatkan
nilai-nilai dalam hukum dan postulat-postulat hukum (Ihromi, 1993:207). Nader
lebih menekankan pada kajian tentang proses yang berlangsung mulai dari adanya
keluhan-keluhan, ungkapan perasaan, adanya perlakuan yang tidak adil,
selanjutnya melihat apakah sengketa mengalami proses eskalasi atau tidak,
bagaimana penanganan selanjutnya dan adakah penyelesaian atau tidak (Ihromi,
1993:207). Maka, dari sini dapat dilihat bahwa Hoebel masih terpaut terhadap
pandangan bahwa hukum itu sebagai perangkat aturan sedangkan Nader lebih
cenderung memaknai hukum sebagai sebuah proses. Kedua pendapat para ahli ini
akan saya terapkan dalam usaha saya mencari jawaban apa sebenarnya yang
terjadi pada kasus sengketa tanah yang melibatkan KTPH-S dengan PT. SMART
Tbk. Padang Halaban dalam skripsi ini. Namun, saya pribadi memang lebih
sebuah tatanan yang berisi tentang peraturan-peraturan itu saja tetapi, lebih dari
itu proses berjalannya hukum itu adalah merupakan hukum.
Roscoue Pound mengungkapkan bahwa hukum adalah alat untuk rekayasa
sosial (Ihromi, 1993:148). Sejalan dengan ini, Moore mengatakan pokok yang
mendasari pandangan rekayasa sosial ini adalah bahwa hubungan-hubungan sosial
rentan terhadap kontrol manusia yang terkendali dan bahwa alat yang digunakan
untuk mencapai kontrol ini adalah hukum (Ihromi, 1993:149). Kemudian dari sini
Moore merumuskan bahwa hukum merupakan sebuah istilah ringkasan yang
menggambarkan suatu himpunan yang kompleks dari prinsip-prinsip,
norma-norma, ide-ide, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, dan untuk kegiatan-kegiatan
dari alat-alat perlengkapan negara yang berkenaan dengan perundang-undangan,
pemerintahan, peradilan dan pelaksanaan putusannya yang didukung oleh
kekuatan politik dan legitimasi (Ihromi, 1993:149). Di masyarakat sekitar
perkebunan Padang Halaban sendiri yang mayoritas penduduknya adalah
masyarakat Jawa tentunya mempunyai prinsip-prinsip, norma-norma, ide-ide,
aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan yang merupakan hukum-hukum yang berjalan
dalam segi-segi kehidupan mereka. Kemudian hukum-hukum seperti hukum
lokal, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya yang tidak tertulis mungkin saja
tetap ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat sekitar perkebunan Padang
Halaban.
Kehadiran pluralisme hukum pada dasarnya dimunculkan sebagai
tanggapan terhadap adanya paham sentralisme hukum, yaitu suatu paham yang
seragam untuk semua orang, berdiri sendiri dan terpisah dari semua hukum yang
lain dan dijalankan oleh seperangkat lembaga-lembaga negara “...law is and
should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law,
and administered by a single set of state institutions” Griffith (Ihromi, 1993:243).
Bahkan Griffith berpendirian bahwa pluralisme hukum dan sentralisme hukum
merupakan dua kutub yang secara tegas saling berhadapan (Ihromi, 1993:243).
“Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an
illusion”, “Pluralisme hukum adalah fakta. Sentralisme hukum adalah mitos,
ideal, klaim, ilusi” Griffith (Ihromi, 1993:243). Sedangkan konsepsi pluralisme
hukum menurutnya adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu
arena sosial “By ‘legal pluralism’ I mean the presence in a social field of more
than one legal order” Griffith (Ihromi, 1993:243). Pandangan pluralisme hukum
menolak pandangan sentralisme hukum yang berpendapat bahwa hukum itu hanya
hukum yang berasal dari negara saja atau hukum positif.
Pendekatan prosesual dapat digunakan untuk menjelaskan masalah hukum
yang mendominasi perkembangan antropologi hukum sampai saat ini. Masalah
pluralisme hukum dalam pandangan prosesual yaitu setiap orang menanggapi
suatu aturan hukum tertentu dengan cara yang berbeda, karena mereka tentunya
memiliki pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan, atau lebih
tepat lagi kita sebut budaya hukum yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat ketika
seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan terhadap pranata hukum, maka,
seseorang itu akan memilih suatu pranata hukum yang dianggapnya paling bisa
kepentingannya. Dalam hal ini ia bisa memilih satu jalur hukum tertentu atau
boleh jadi ia akan melakukan kombinasi atau memilih lebih dari satu aturan
hukum untuk proses penyelesaian yang tentunya akan menguntungkannya.
Berkaitan dengan hal ini, saya mengikuti temuan-temuan dari Keebet von
Benda-Beckmann dalam bukunya berjudul Goyahnya Tangga Menuju Mufakat
(2000) bahwa seseorang akan memilih suatu hukum atau kombinasi lebih dari
satu aturan hukum. Suatu konsep yang dimunculkan untuk menggambarkan hal
tersebut yaitu konsep forum shopping yang menerangkan bahwa orang-orang
yang bersengketa dapat memilih berbagai lembaga dan mendasarkan pilihannya
pada hasil akhir apakah yang diharapkan dari sengketa tersebut (K. von
Benda-Beckmann, 2000:64). Sebaliknya, sebagaimana para pihak, institusipun
(sebenarnya yang lebih tepat bukanlah institusinya, tetapi fungsionarisnya)
mempunyai pilihan untuk menolak atau menerima suatu perkara berdasarkan
kepentingan politik. Hal itu tertuang dalam konsep shopping forums yang
menerangkan bahwa bukan orang-orang yang bersengketa saja yang
memilih-milih lembaga penanganan sengketa, melainkan lembaga yang terlibat itu juga
menggunakan sengketa untuk tujuannya sendiri, terutama untuk tujuan politik
lokal (K. von Beckmann, 2000:65). Kemudian Keebet von
Benda-Beckmann juga menambahkan lembaga-lembaga tersebut dengan para pejabat
yang ada di dalamnya, biasanya memiliki kepentingan yang berbeda dari
kepentingan pihak yang bersengketa dan biasanya mereka menggunakan jalur
Jadi, setiap norma tersebut lengkap dengan pranatanya, sehingga
memungkinkan untuk memilih pranata hukum mana yang dapat memberikan
peluang untuk mencapai keinginan mereka (forums shopping) dan sebaliknya juga
tidak tertutup kemungkinan bahwa pranata hukum yang ada juga ikut memilih
kasus mana yang akan mereka tampung dan mana yang ditolak, berdasarakan
kepentingan lembaga itu sendiri (shopping forums). Seperti apa yang
dikemukakan oleh Keebet von Benda-Beckmann tentang forum shopping dan
shopping forums ini, dalam menjelaskan pola pilihan hukum dan pranatanya itu
tidak dapat dilepaskan dari sitem kebudayaan, sistem kepercayaan, dan sistem
hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam tinjauan antropologi hukum kajian mengenai kasus-kasus sengketa
pada dasarnya dimaksudkan untuk mengungkapkan latar belakang dari munculnya
kasus-kasus tersebut, cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa,
mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang digunakan, dan sanksi-sanksi
yang dijatuhkan kepada pihak yang dipersalahkan, sehingga dapat diungkapkan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku, prosedur-prosedur yang ditempuh, dan
nilai-nilai budaya yang mendukung proses penyelesaian sengketa tersebut. Nader dan
Todd mengatakan bahwa materi kasus sengketa yang dapat dikaji untuk
memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat meliputi kasus-kasus sengketa
yang dapat dicermati mulai dari awal sampai sengketa diselesaikan; kasus-kasus
sengketa yang dapat dikaji melalui dokumen keputusan-keputusan pemegang
otoritas yang diberi wewenang menyelesaikan sengketa; kasus-kasus sengketa
pemegang otoritas; dan kasus-kasus sengketa yang masih bersifat hipotetis
(Ihromi, 1993:200). Dengan menggunakan tinjauan ini maka, seluk beluk
permasalahan sengketa tanah yang terjadi antara pihak KTPH-S dengan PT.
SMART Tbk. Padang Halaban yang menjadi objek dalam penelitian ini akan
dapat mengungkap proses-proses apa saja yang berlangsung dari awal sekali
sampai keadaan yang terjadi pada saat ini.
Kemudian meminjam apa yang dirumuskan oleh Nader dan Todd (Ihromi,
1993:210-212) yang mengungkapkan bahwa ada berbagai cara yang dilakukan
dalam menyelesaikan sengketa yaitu:
a. Membiarkan saja atau lumping it. Pihak yang merasakan perlakuan yang tidak
adil, gagal dalam upaya untuk menekankan tuntutannya. Dia mengambil
keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu-isu yang menimbulkan
tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang
ia rasakan merugikannya.
b. Mengelak atau avoidance. Pihak yang merasa dirugikan, memilih untuk
mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya bahkan
sama sekali menghentikan hubungan tersebut.
c. Paksaan atau coercion, satu pihak memaksakan pemecahan pada pihak lain.
Ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau ancaman
untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi kemungkinan
d. Perundingan atau negotiation. Dua pihak yang berhadapan merupakan para
pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan
oleh mereka berdua, mereka sepakat, tanpa adanya pihak ketiga yang
mencampurinya.
e. Mediasi atau mediation. Dalam cara ini ada pihak ketiga yang membantu
kedua pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan.
f. Arbitrase. Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk meminta perantara
pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju bahwa mereka akan
menerima keputusan dari arbitrator itu.
g. Peradilan atau adjudication. Pihak ketiga mempunyai wewenang untuk
mencampuri pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak bersengketa.
Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan
itu artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan.
Karakter khas lain dari antropologi hukum adalah berbagai sistem hukum
dalam masyarakat di berbagai belahan dunia dipelajari dengan memfokuskan pada
proses-proses mikro yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan
masyarakat. Karena itu, metode holistik dalam mengkaji pluralisme hukum dalam
masyarakat sangat membantu menjelaskan mekanisme, prosedur, dan
institusi-institusi hukum dan bekerjanya hukum serta keterkaitannya dengan aspek politik,
ekonomi, religi, organisasi sosial, dan ideologi.
Berkaitan dengan ini saya meminjam pandangan Sulistyowati Irianto yang
menyatakan, hal yang sebenarnya tidak boleh terlewat dalam pluralisme hukum
negara dengan hukum-hukum lainnya terjadi dalam arena sosial (Ihromi,
1993:243). Sulistyowati Irianto menyatakan bahwa arena sosial inilah yang
merupakan tempat di mana terjadi transaksi ekonomi, kontak-kontak kekerabatan
dan sosial, hubungan-hubungan politik dan keagamaan, dan hubungan-hubungan
lain (Ihromi, 1993:243). Di sinilah terjadi interaksi hukum, karena menurut
Sulistyowati Irianto bahwa letak hukum adalah dalam masyarakat. Dengan kata
lain, bahwa yang dinamakan hukum itu bukan hanya sebuah peraturan saja
melainkan proses interaksi yang terjadi dalam kancah peraturan itu sendiri adalah
merupakan sebuah hukum. Jadi, di dalam hukum itu sendiri akan sering terjadi
pelanggaran-pelanggaran. Meminjam apa yang dikatakan Sulistyowati Irianto
tentang arena sosial ini maka, dalam penelitian yang saya lakukan bisa dengan
mudah memahami dan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi di dalam kasus
sengketa tanah antara pihak KTPH-S dengan PT. SMART Tbk. Padang Halaban.
Kemudian, mengutip tulisan Martin Ramstedt yang berjudul Menafsirkan
Kembali Tata Norma Bali Pasca-Orde Baru: Reformasi Negara dan Kegalauan
Makna Ke-Bali-an. Dalam tulisan ini pada satu bagian Ramstedt manggambarkan
bahwa hukum dijadikan sebagai alat untuk membentengi Bali. Lebih jauh lagi
dalam penggambarannya Ramstedt menguraikan bahwa di Bali setelah masa Orde
Baru berakhir dan memasuki era otonomi daerah dibuat Perda-perda yang sengaja
dibuat untuk mengatur agar mereka bisa tetap eksis dalam identitas ke-Balian
mereka. Salah satu contohnya yaitu membentuk Perda Provinsi Bali No. 3/2001
“Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga [tiga rumah ibadah yang dipersembahkan kepada Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai ketiga aspek Tuhan Yang Maha Esa, M.R.] atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.” Windia (Ramstedt, 2011:60).
Dari hal ini memberikan gambaran kepada saya tentang situasi hukum
yang sedang berjalan di Indonesia terlebih lagi tinjauan pustaka Ramstedt ini
tentunya mendukung kepada topik penelitian saya dan ini akan saya pakai dalam
melihat situasi dan kondisi hukum pada sengketa tanah yang terjadi antara
KTPH-S dengan PT. KTPH-SMART Tbk. Padang Halaban.
Kemudian yang berkenaan dengan sengketa tanah di Padang Halaban
dalam kajian kasus yang akan saya teliti saya meminjam pendapat Noer Fauzi
tentang pola sengketa tanah yang pokok terjadi di Indonesia sebagi berikut:
1. Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah sebagai sumber eksploitasi,
seperti hutan untuk eksploitasi kayu dan eksploitasi tambang. Contoh yang
terkenal adalah tanah adat suku Amungme - Irian yang diambil oleh PT.
Freeport dalam rangka eks- ploitasi tambang emas dan tembaga; Tanah suku
Dayak Bentian - Kalimantan Timur yang diambil oleh PT. Kahold Utama
untuk Hutan Tanaman Industri. Variasinya, terjadi pula di Jawa; Perhutani
memaksa petani keluar dari wilayah hutan produksi yang mereka klaim,
2. Sengketa tanah akibat program swasembada beras (revolusi hijau). Prakteknya
mengakibatkan penguasaan tanah yang terkonsentrasi di satu pihak dan
membengkaknya jumlah petani tak bertanah. Gejala ini terjadi di pantai utara
Jawa: penguasaan sawah lebih dari 50 ha di tangan satu orang, lebih dari 50%
petani tak bertanah -- seperti yang terjadi di Subang pantai utara Jawa Barat.
Dalam rangka revolusi hijau, pem- bangunan waduk-waduk besar juga
menggusur tanah-tanah petani seperti di Kedung Ombo - Jawa Tengah dan
Saguling di Jawa Barat.
3. Perkebunan-perkebunan mengambil alih tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai
rakyat. Contoh historisnya adalah tanah rakyat Penunggu (Jaluran) Sumatera
Utara, yang dijadikan lokasi perkebunan. Sengketa yang baru-baru ini meledak
terjadi di Jenggawah - Jawa Timur. Variasi sengketa ini adalah konflik pihak
perkebunan dengan petani dalam hubungan Inti-Plasma dalam program
Perusahaan Inti Rakyat - Perkebunan (PIR-Bub) -- seperti yang terjadi di Arso -
Irian Jaya, Sei Lepan Sumatera Utara, PIRLOK di Silau Jawa Kabupaten Asahan
- Sumut, dan Cimerak - Jawa Barat.
4. Penggusuran tanah untuk industri jasa, seperti untuk perumahan mewah,
hotel-hotel dan fasilitas swasta. Di Jabotabek, luas tanah yang dikuasai oleh
perusahaan- perusahaan real estate sudah lebih luas dari kota Jakarta itu sendiri.
Di Bali, terjadi peng- gusuran dan pengalihan fungsi lahan pertanian untuk
pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Di pesisir Lombok, terjadi
penggusuran rakyat di Pemongkong dan Gilitrawangan untuk kawasan wisata. Di