• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana TERHADAP KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH FREKUENSI APLIKASI ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana TERHADAP KUTU DAUN (Aphis glycines Matsumura) DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PENGARUH FREKUENSI APLIKASI

ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana TERHADAP KUTUDAUN (Aphis glycines Matsumura)

DAN ORGANISME NONTARGET PADA PERTANAMAN KEDELAI

Oleh

Leni Fitri Mandasari

(2)

(tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah bunga dan jumlah polong) serta hasil tanaman kedelai (berat brangkasan basah, berat brangkasan tanpa polong, jumlah polong isi, jumlah polong tidak isi, berat brangkasan kering, brangkasan kering tanpa polong, berat polong kering, dan berat biji kering tanaman kedelai).

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kelurahan Beringin Raya Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung, pada tanggal 29 Juli 1992. Penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Jasiman dan Ibu Sunarti. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Beringin Raya pada tahun 2004; Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 13 Bandar Lampung pada tahun 2007; Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 14 Bandar Lampung pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas pertanian, Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten Dosen di beberapa mata kuliah, yaitu Ilmu Hama Tumbuhan Umum, Bioekologi Hama Tanaman, Pengendalian Hama Tanaman, Bahasa Indonesia, Hama Gudang dan Urban, Pengendalian Terpadu Hama dan Penyakit Tanaman. Selain itu, penulis juga menjadi anggota dan pengurus periode 2012-2013 pada UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Koperasi Mahasiswa Universitas Lampung.

(8)

Dengan tak henti mengucapkan rasa syukur kehadirat

Allah SWT, atas Izin-Nya kupersembahkan karya ilmiah ini kepada :

Keluargaku Tercinta

Ayahanda Jasiman

Dan

Ibunda Sunarti

Mbak Sugi, Mas Harto, Hendi, dan keponakan-keponakan ku tercinta

Seluruh keluarga besar Ayah dan Ibu, terima kasih atas dukungan, semangat

dan motivasinya

Sahabat dan teman-temanku tercinta

Terima kasih atas semua dukungan, kasih sayang, cinta, dan Do’a yang

diberikan.

Serta

Almamater Tercinta

(9)

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai

penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”

( QS . Al-Baqarah: 153)

Hidup tanpa niat itu bagaikan perahu berlayar tanpa dermaga

Hidup tanpa kiat itu bagaikan berjalan seribu langkah dalam mimpi

Hidup tanpa semangat itu bagaikan masakan hambar tanpa bumbu

Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka

usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya

(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Dengan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1.Ibu Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc., selaku pembimbing utama atas bimbingan, arahan, saran, motivasi, dan ilmu selama penulis melakukan penelitian dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

2.Bapak Ir. Agus M. Hariri, M.P., selaku pembimbing kedua atas ilmu, bimbingan, nasehat, dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini. 3.Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku pembahas dan Ketua Bidang

Proteksi Tanaman atas ilmu, saran, nasehat dan pengarahan yang diberikan. 4.Bapak Prof. Dr. Ir. Jamalam Lumbanraja, M.Sc., selaku pembimbing

akademik.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

6. Bapak Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

(11)

8. Rekan penelitianku Erna Wathi, terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya.

9. Sahabat-sahabatku Aldi, Ari, Astri, Dewi, Eko, Erlan, Esti, Fidya, Imelda, Mila, Nico, Novri, Rizqi, Shintya, Tiara dan Wayan terimakasih atas bantuan, semangat, dan kebersamaannya.

10. Teman-teman AGT 2009, 2010, 2011, 2012, 2013 terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya.

11. Teman-teman UKM Kopma Kak Bayu, Desti, Eka, Sis, Arif, Alan, Mbak Yana, Ian, Rizqi, Mbak Wirdha dan Rima terimakasih atas semangat dan kebersamaannya

12. Sahabat seperjuanganku Ratna Sari, Vica Echi Purnamasari, Widya Dwi Hestanti., Amd. Keb., dan Yulisa Solehani., Amd. Keb. terimakasih atas do’a, semangat, kebersamaanya.

13. Bapak Paryadi, Mbak Uum, Mas Iwan, dan Mas Mustofa yang telah banyak membantu keperluan di laboratorium dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Semua pihak yang telah membantu penulis selama kuliah dan penelitian

yang tidak mungkin disebut satu persatu.

Semoga bantuan, bimbingan, do’a dan nasihat yang diberikan kepada penulis

mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

3.7.1.1 Pengamatan mortalitas kutu Aphis glycines secara langsung dengan teknik ground cloth. ... 20

(13)

v

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perlakuan Frekuensi Aplikasi B. bassiana terhadap hama A. glycines. ... 15

2. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan

secara langsung pada 2 MST. ... 24

3. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan

secara langsung pada 3 MST. ... 25

4. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan

secara langsung pada 4 MST. ...,,... 26

5. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan

secara langsung pada 5 MST. ... 26

6. Rata-rata jumlah kutu A. glycines yang mati dan terinfeksi pada perlakuan frekuensi aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan

secara langsung pada 6 MST. ... 27

7. Total mortalitas kutu A. glycines pada perlakuan frekuensi aplikasi

29 B. bassiana dengan teknik ground cloth pada 6 MST. ...

8. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 2 MST. ... 30

9. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 3 MST. ... 31

(15)

vii

B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 4 MST.

... 31

11. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 5 MST. ... 32

12. Rata-rata kepadatan populasi kutu A. glycines pada perlakuan aplikasi B. bassiana dengan teknik pengamatan secara langsung pada 6 MST. ... 32

13. Jumlah famili dan organisme non-target yang ditemukan pada pitfall trap selama 7 kali pengamatan. ... 34

14. Kepadatan populasi organisme non-target pada pitfall trap. ... 34

15. Berat brangkasan basah dan jumlah polong tanaman kedelai. ... 39

16. Berat brangkasan, polong dan biji kering tanaman kedelai. ... 40

17. Jumlah mortalitas A.glycines yang diamati secara langsung. ... 47

18. Jumlah mortalitas A.glycines yang diamati dengan teknik ground cloth. ... 48

19. Rata-rata kepadatan populasi A.glycines yang diamati secara langsung. ... 49

20. Jumlah populasi Gryllidae yang diamati menggunakan pitfall trap. ... 50

21. Jumlah populasi Formicidae yang diamati menggunakan pitfall trap. ... 51

22. Jumlah populasi Lycosidae yang diamati menggunakan pitfall trap. ... 51

23. Populasi organisme non-target minor pada pitfall trap. ... 51

24. Rata-rata tinggi tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan. ... 52

25. Rata-rata jumlah daun tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan. ... 52

(16)

viii

27. Jumlah bunga tanaman kedelai. ... 52

28. Nilai tengah jumlah bunga kedelai. ... 53

29. Jumlah polong per 2 rumpun tanaman kedelai. ... 53

30. Nilai tengah jumlah polong. ... 53

31. Data pengamatan brangkasan basah tanaman kedelai. ... 53

32. Data pengamatan brangkasan kering tanaman kedelai. ... 53

33. Analisis ragam mortalitas kutu A. glycines dengan teknik pengamatan langsung. ... 54

34. Analisis ragam mortalitas kutu A. glycines dengan teknik pengamatan ground cloth. ... 55

35. Analisis ragam populasi kutu A. glycines dengan teknik pengamatan langsung. ... 56

36. Analisis ragam jumlah famili dan total organisme non-target. ... 57

37. Analisis ragam kepadatan organisme non-target pada pitfall trap. ... 58

38. Analisis ragam tinggi tanaman kedelai. ... 58

39. Analisis ragam jumlah daun tanaman kedelai. ... 60

40. Analisis ragam jumlah bunga tanaman kedelai pada 5 MST. ... 61

41. Analisis ragam jumlah polong tanaman kedelai pada 6 MST. ... 61

42. Analisis ragam data brangkasan basah tanaman kedelai. ... 61

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tata letak plot percobaan pengaruh frekuensi aplikasi B. bassiana. ... 1 17

2. Kutudaun Aphis glycines yang dilihat di bawah mikroskop. ... 24

3. Grafik rata-rata tinggi tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan. ... 36

4. Grafik rata-rata jumlah daun tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan. ... 37

5. Grafik rata-rata jumlah bunga tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan. ... 37

6. Grafik rata-rata jumlah polong tanaman kedelai pada 6 MST. ... 38

7. Koloni jamur B. bassiana isolat Tegineneng yang ditumbuhkan di media SDA. ... 64

8. Tepung biomassa spora B. bassiana. ... 64

9. Bahan pembawa formulasi kering B. bassiana. ... 64

10. Formulasi kering B. bassiana yang siap digunakan. ... 65

11. Lahan percobaan yang terletak di Kebun Percobaan Lapangan Terpadu Universitas Lampung. ... 65

12. Pertumbuhan tanaman kedelai. ... 66

13. Tanaman kedelai siap panen. ... 66

14. Kutudaun Aphis glycines pada tanaman kedelai. ... 66

15. Ground cloth yang dipasang pada tanaman kedelai. ... 67

16. Pitfall trap yang dipasang pada pertanaman kedelai. ... 67

17. Sungkup yang dipasang setelah aplikasi B. bassiana. ... 67

18. Organisme non-target yang terjebak pada pitfall trap. ... 69

(18)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang mempunyai peran dan sumbangan besar bagi penduduk dunia. Di Indonesia, tanaman kedelai merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penting setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat karena banyaknya produk makanan yang berbahan kedelai, seperti tempe, kecap, tauco, dan susu kedelai. Kebutuhan rata-rata kedelai di Indonesia mencapai 2 juta ton per tahun, namun kebutuhan tersebut tidak sejalan dengan produksi dalam negeri yang hanya 0,8 juta ton per tahun. Oleh karena itu, Indonesia harus mengimpor kedelai dari negara lain agar dapat mencukupi kebutuhan tersebut (Fatahuddin dan Bumbungan, 2011).

Kemampuan produksi kedelai di Indonesia cukup rendah. Pada tahun 2010 kedelai yang diproduksi mencapai 907,29 ribu ton biji kering, sedangkan pada tahun 2011 hanya mencapai 851,29 ribu ton biji kering. Hal tersebut

(19)

2

Salah satu hama yang menyerang pertanaman kedelai adalah kutudaun. Kutudaun Aphis glycines Matsumura (Hemiptera : Aphididae) termasuk hama yang

memiliki kemampuan bereproduksi yang tinggi. Di Indonesia, kutudaun berkembang biak secara parthenogenesis. Populasi kutudaun pada umumnya mulai meningkat pada akhir musim hujan dan mencapai puncak pada musim kemarau. Selain berperan sebagai hama, kutudaun juga berperan sebagai vektor pada berbagai komoditas tanaman. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada pertanaman kacang-kacangan terinfeksi penyakit virus dengan tingkat penularan yang lebih tinggi pada populasi kutudaun yang semakin meningkat (Saleh, 2007).

Selama ini penggunaan pestisida untuk pengendalian OPT oleh banyak petani seringkali tidak ekonomis karena digunakan secara berlebihan dan tidak teratur sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, keracunan pada manusia, resurjensi, resistensi hama dan matinya musuh alami. Oleh karena itu, diperlukan suatu konsep pengendalian hama dan penyakit yang berkelanjutan dan terpadu yang berpangkal pada prinsip-prinsip ekologi. Pemerintah menganjurkan agar dalam upaya pelaksanaan pengendalian hama berdasarkan atas konsep PHT (pengendalian hama terpadu). Program PHT merupakan teknologi berwawasan lingkungan yang berprinsip pada pendekatan ekologis, ekonomis dan sosial budaya (Adolpina dan Rugaya, 2008).

(20)

3

dilestarikan dan dikelola agar mampu berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang. Secara alamiah, agen hayati menjadi komponen utama dalam pengendalian alami yang dapat mempertahankan semua organisme pada ekosistem tersebut berada dalam keadaan seimbang. Agen hayati yang berada di alam terdiri atas : predator, parasitoid, dan patogen (Marwoto, 2007).

Jamur Beauveria bassiana merupakan salah satu jenis jamur entomopatogen yang merupakan agen pengendali hayati untuk hama berbagai komoditas tanaman. Jamur B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas sehingga kurang selektif terhadap inang sasaran. Hal tersebut memungkinkan B. bassiana dapat

menginfeksi serangga bukan sasaran atau serangga berguna seperti musuh alami hama (Soetopo dan Indrayani, 2007).

Perbedaan tingkat patogenisitas antarjamur entomopatogen dapat disebabkan oleh perbedaan sifat dasar internal (genetik) dan perbedaan sumber inang asal isolat. Selain itu, tingkat patogenisitas dapat juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan jamur tumbuh dan berkembang serta melumpuhkan mekanisme pertahanan serangga inang (Ladja, 2010). Adanya pengaruh faktor internal dan eksternal yang dapat membatasi pertumbuhan jamur mengakibatkan perlunya pengaplikasian jamur B. bassiana secara berulang agar jamur tumbuh dan tetap tersedia di lahan

(21)

4

aplikasi B. bassiana terhadap hama Aphisglycines dan organisme nontarget sangat diperlukan.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. Pengaruh frekuensi aplikasi jamur B. bassiana terhadap populasi dan mortalitas hama kutudaun (Aphis glycines Matsumura)

2. Pengaruh frekuensi aplikasi jamur B. bassiana terhadap populasi musuh alami dan organisme non-target lainnya pada pertanaman kedelai

1.3 Kerangka Pemikiran

Tanaman kedelai sejak tumbuh ke permukaan tanah sampai panen tidak luput dari serangan hama. Salah satu hama penting yang menyerang tanaman kedelai adalah Aphis glycines Matsumura (Hemiptera : Aphididae). Menurut Radiyanto dkk. (2010), A. glycines memiliki populasi tertinggi pada pertanaman kedelai bila dibandingkan populasi hama lain, seperti Phaedonia inclusa, Riptortus linearis, Nezara viridula dan Ophiomya phaseoli.

(22)

5

Serangan hama dapat menurunkan hasil kedelai sampai 80%, bahkan puso apabila tidak ada tindakan pengendalian. Hingga saat ini petani masih mengandalkan insektisida sebagai pengendali hama di lapangan, namun teknik aplikasinya masih sering tidak memenuhi rekomendasi sehingga berakibat timbulnya resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami, dan keracunan pada ternak dan bahkan manusia. Oleh karena itu, Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sangat diperlukan. PHT adalah suatu pendekatan atau cara pengendalian hama yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem yang berwawasan lingkungan. PHT mendukung secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian hama dan penyakit berdasarkan asas ekologi dan ekonomi (Marwoto, 2007).

Salah satu komponen pengendalian secara terpadu yaitu dengan memanfaatkan jamur entomopatogen B. bassiana. Jamur B. bassiana dapat mengendalikan berbagai jenis hama pada berbagai komoditas tanaman. Kemampuan penetrasi B. bassiana yang tinggi pada tubuh serangga menyebabkan jamur tersebut dapat dengan mudah menginfeksi serangga hama pengisap, seperti kutudaun (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. Namun jamur B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas, sehingga terdapat kemungkinan B. bassiana dapat menginfeksi organisme nontarget atau serangga yang bermanfaat, seperti serangga yang berperan sebagai musuh alami hama (Soetopo dan Indrayani, 2007).

(23)

6

diaplikasikan pada tahap awal (yang belum mampu menginfeksi hama sasaran) perlu digantikan oleh konidia yang diaplikasikan pada tahap selanjutnya.

Frekuensi aplikasi dipengaruhi oleh kondisi cuaca, seperti curah hujan, angin, dan sinar matahari. Aplikasi juga perlu memperhatikan stadia serangga hama di lapangan yang saling tumpang tindih (tidak seragam). Perubahan stadia instar (nimfa) akan mengakibatkan perubahan perilaku serangga yang akhirnya berpengaruh pada frekuensi aplikasi. Pengaplikasian jamur B. bassiana dapat dilakukan berulang kali untuk mengindari kegagalan spora tumbuh. Informasi tentang frekuensi aplikasi entomopatogen B. bassiana yang tepat perlu diketahui agar populasi hama Aphis glycimes di bawah nilai ambang kendali.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. Frekuensi aplikasi jamur B. bassiana berpengaruh terhadap populasi dan mortalitas hama kutudaun (Aphis glycines Matsumura)

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedelai (Glycine max L. Merril)

Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dan rendah kolesterol dengan harga

terjangkau. Di Indonesia, kedelai banyak diolah untuk berbagai macam bahan pangan, seperti: tauge, susu kedelai, tahu, kembang tahu, kecap, oncom, tauco, tempe, es krim, minyak makan, dan tepung kedelai. Selain itu, kedelai juga banyak dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak (Atman, 2006). Saat ini kedelai tidak hanya digunakan sebagai sumber protein, tetapi juga sebagai pangan

fungsional yang dapat mencegah timbulnya penyakit degeneratif seperti penuaan dini, jantung koroner, dan hipertensi. Senyawa isoflavon yang terdapat pada kedelai ternyata berfungsi sebagai antioksidan. Beragamnya penggunaan kedelai tersebut menjadi pemicu peningkatan konsumsi kedelai (Ginting dkk. 2009).

(25)

8

mengandung sekitar 18 - 20% lemak dan 25% dari jumlah tersebut terdiri atas asam-asam lemak tak jenuh yang bebas kolesterol (Santoso, 2005).

Kedelai varietas Dering merupakan varietas unggul baru yang toleran di musim kemarau atau di lahan kering. Varietas yang diberi nama Dering ini sudah melewati masa riset selama enam tahun untuk menghadapi risiko kekeringan terhadap kedelai yang ditanam pada musim kemarau kedua Juni-Juli. Galur tersebut mampu beradaptasi dan tumbuh baik setinggi 57 cm meski tanpa

pengairan atau dalam kondisi kekeringan. Keunggulan lainnya yaitu lebih toleran terhadap serangan hama ulat grayak (Spodoptera litura) dan hama penghisap polong (Riptortus linearis) serta toleran terhadap penyakit karat daun (Suhartina, 2012).

2.2 Hama Kutu Daun (Aphis glycines Matsumura)

(26)

9

Kutudaun menyerang daun-daun pucuk, sehingga daun menjadi mengkerut. Di

lapangan kutu daun ini dapat dikendalikan secara alamiah oleh kumbang lady bird

(Coleoptera: Coccinellidae). Kutu daun berbentuk seperti persik, berwarna kehijauan,

berukuran 1-2 mm. Pada ujung posterior abdomen terdapat sepasang kornikel. Kutu

daun mengeluarkan embun madu, sehingga sering dijumpai berasosiasi dengan semut

(Suharti dan Widyani, 2011).

Perbedaan umur tanaman kedelai berpengaruh terhadap populasi A. glycines. Pada tanaman kedelai yang masih muda dapat menyediakan nutrisi lebih baik dibandingkan kedelai yang berumur sudah tua. Hasil percobaan menunjukan bahwa kelahiran Aphis glycines pada tanaman kedelai umur 3 minggu rata-rata mencapai 19,9 nimfa. Sedangkan pada saat tanaman kedelai umur 7 minggu hanya mencapai 12,7 nimfa (Rusli, 1999).

Menurut Tengkano dkk. (2007), di Kabupaten Tulang Bawang dijumpai dua jenis vektor virus, yaitu kutudaun (Aphis glycines) dan kutu kebul (Bemisia tabaci). Spesies Aphis yang lain juga terdapat di berbagai lokasi pengamatan yaitu A. craccivora dan berdasarkan daerah penyebarannya serangga tersebut menduduki rangking pertama. Penggerek polong, pemakan polong, ulat grayak, kutu kebul, kutudaun (Aphis glycines), dan lalat kacang termasuk hama penting kedua.

2.3 Jamur Beauveria bassiana

(27)

10

serangga hama, baik yang hidup pada kanopi tanaman maupun yang di dalam tanah. Rata-rata patogenisitas entomopatogen ini terhadap hama sasaran cukup tinggi, sehingga pemanfaatannya dalam pengendalian serangga hama perkebunan, seperti kapas, kelapa sawit, lada, kelapa dan teh memiliki prospek sangat baik (Soetopo dan Indrayani, 2007).

Konidia merupakan salah satu organ infektif (propagule) jamur yang

menyebabkan infeksi pada integumen serangga yang diakhiri dengan kematian. Oleh karena itu, saat B. bassiana diaplikasikan sebaiknya diberi bahan perekat ataupun bahan pembawa sehingga untuk meningkatkan efektivitasnya.

Keberhasilan konidia jamur entomopatogen menempel pada integumen serangga akan menentukan proses infeksi lebih lanjut yaitu proliferasi dalam organ yang diakhiri dengan kematian serangga. Proses infeksi dapat mengalami kegagalan baik karena faktor internal (viabilitas jamur entomopatogen) maupun faktor eksternal seperti perubahan stadia instar (nimfa) dan lingkungan (angin, sinar matahari, dan hujan) (Prayogo, 2006).

(28)

11

Temperatur dan kelembaban adalah faktor abiotik yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan konidia B. bassiana, tetapi cahaya melalui panjang gelombang sinar ultraviolet juga berpotensi merusak konidia sehingga aplikasi pada pagi (< pkl. 08.00) atau sore hari (> pkl. 15.00) dapat menghindari kerusakan. Temperatur dan kelembapan yang lebih stabil pada ekosistem tanaman akan sangat mendukung peran jamur B. bassiana dalam pengendalian hama utama tanaman sehingga prospek pengembangannya sangat baik (Soetopo dan Indrayani, 2007).

Gejala awal kematian serangga kutudaunditandai dengan tubuh yang kaku serta warnanya menjadi kusam. Pada kutudaun gejala infeksi tidak begitu mudah dilihat (Indriyati, 2009). Kematian kutudaun oleh B. bassiana ditandai dengan adanya miselium berwarna putih pada permukaan tubuhnya. Jamur B. bassiana mulai menyerang inangnya pertama kali pada bagian segmen tungkai serta antara kepala dan toraks (Yusuf dkk. 2011).

(29)

12

Pertumbuhan B. bassiana sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Meskipun demikian, jamur ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu,

(30)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 - Oktober 2014 di Laboratorium Hama Tumbuhan, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Lapangan Terpadu, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sungkup, polibag, karet gelang, cawan petri, jarum ose, bor gabus, mikropipet, bunsen, erlenmeyer, autoklaf, panci, kompor gas, alat tulis, cangkul, sprayer, tali plastik, gelas ukur, ground cloth (kain hampar), pitfall trap, timbangan elektrik, botol film,

mikroskop, kaca pembesar (lup), meteran, dan kertas label.

(31)

14

3.3 Uji Pendahuluan

Uji pendahuluan dilakukan untuk mengetahui virulensi dari beberapa isolat jamur B. bassiana terhadap kutudaun. Isolat yang digunakan pada uji pendahuluan ini yaitu isolat jamur yang berasal dari Tegineneng, Sumber Jaya dan Trimurjo. Pengujian ini dilakukan dengan memasukkan setangkai tanaman kedelai terserang kutudaun pada toples yang ditutup kain kasa. Setiap perlakuan memiliki tiga ulangan. Selanjutnya disemprotkan masing-masing isolat dan diamati dari 1 – 7 hsa (hari setelah aplikasi) dan dihitung persentase kematian kutudaun. Parameter yang diamati yaitu jumlah dan waktu kematian kutudaun terinfeksi jamur B. bassiana. Hasil pengujian isolat yang paling efektif digunakan pada percobaan di lapang. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka diperoleh jamur B. bassiana isolat Tegineneng memiliki tingkat virulensi lebih tinggi dibandingkan isolat Sumber Jaya dan Trimurjo.

3.4Metode Penelitian

(32)

15

Tabel 1. Perlakuan Frekuensi Aplikasi B. bassiana terhadap hama A. glycines.

Perlakuan Keterangan

F0 tanpa aplikasi

F1 1 kali aplikasi B. bassiana pada 2 MST F2 2 kali aplikasi B. bassiana pada 2 dan 3 MST F3 3 kali aplikasi B. bassiana pada 2, 3, dan 4 MST F4 4 kali aplikasi B. bassiana pada 2, 3, 4, dan 5 MST F5 5 kali aplikasi B. bassiana pada 2, 3, 4, 5 dan 6 MST

3.5Persiapan Penelitian

3.5.1 Pembuatan Media Sabouroud Dextrose Agar (SDA)

Pembuatan media ini digunakan dengan mencampur bahan-bahan 40 g dextrose, 15 g agar, 5 g kasein, 10 g pepton, dalam 1 l air destilata. Bahan-bahan yang telah tercampur tersebut dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer kemudian ditutup dengan alumunium foil, dikencangkan dengan karet gelang, dan dibungkus plastik tahan panas. Erlenmeyer berisi media di sterilisasi dengan autoklaf selama 2 jam. Kemudian media tersebut diangkat dan didiamkan hingga agak dingin. Akhirnya, media yang telah siap pakai dituangkan ke masing-masing cawan petri dalam ruangan steril (laminar air flow).

3.5.2 Penyiapan Isolat B. bassiana

(33)

16

Universitas Lampung dengan menggunakan media SDA (Sabouroud Dextrose Agar) kemudian dilakukan inkubasi selama 30 hari.

3.5.3 Perbanyakan B. bassiana menggunakan media beras

Beras yang telah disiapkan dicuci sampai bersih, kemudian disiram dengan air mendidih. Setelah itu, beras dikukus hingga setengah matang (±15 menit), kemudian diangkat dan dikering anginkan. Setelah dingin, beras sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam plastik tahan panas. Beras tersebut disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1200 C, tekanan 1 atm. Setelah diautoklaf, beras tersebut diangkat dan dikeringanginkan. Kemudian B. bassiana diinokulasi dan diinkubasi selama 2-3 minggu.

3.5.4 Pembuatan Formulasi Kering B. bassiana

(34)

17

3.5.5 Penyiapan Lahan dan Pembuatan Plot

Lahan yang digunakan berada di Laboratorium Lapangan Terpadu, Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Lahan diolah agar tanah menjadi gembur dan bersih dari sisa- sisa akar. Kemudian dibuat tiga blok percobaan. Masing-masing plot berukuran 1 m x 2 m dengan jarak antarplot 0,5 m (Gambar 1). Pada setiap plot percobaan terdapat 3 tanaman sampel yang ditentukan secara acak. Jarak antara waktu pengolahan tanah dengan waktu penanaman sekitar 1- 2 hari.

15 m

(35)

18

3.5.6 Penanaman Kedelai

Penanaman dilakukan sekitar 1-2 hari setelah pengolahan tanah. Benih kedelai yang digunakan adalah varietas Dering. Penanaman benih dilakukan dengan cara tugalan, yaitu dengan membuat lubang tugal sedalam 3- 4 cm lalu dimasukkan benih kedelai ke dalam tiap lubang tanaman, kemudian tutup dengan tanah halus dan tipis. Jarak tanam yang digunakan yaitu 30 cm x 30 cm.

3.5.7 Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman berupa pemupukan, penyulaman, penyiraman, dan penyiangan gulma. Pemberian pupuk dilakukan dengan mencampur rata pupuk bersama tanah sewaktu akan tanam. Pupuk yang digunakan adalah pupuk

kandang. Pupuk kandang yang digunakan sebanyak 75 kg untuk lahan seluas 150 m2. Penyulaman dilakukan 5-6 hari setelah tanam apabila benih yang tidak

tumbuh mencapai 10%. Penyiraman dilakukan secara rutin setiap sore, sedangkan penyiangan gulma dilakukan setiap minggunya.

3.6Pelaksanaan Penelitian Aplikasi B. bassiana

Aplikasi B. bassiana dilakukan pada sore hari sesuai dengan perlakuan. Banyaknya B. bassiana yang diaplikasikan (konsentrasi) adalah dengan

(36)

19

Metode aplikasi dilakukan dengan penyemprotan menggunakan sprayer. Penyemprotan dilakukan sedemikian rupa agar tanaman dapat diaplikasikan secara merata. Lama waktu semprot yang digunakan pada saat pengaplikasian di lapang adalah 20 ml/detik, sehingga setiap rumpunnya disemprot selama 3,5 detik. Lama waktu semprot diperoleh dari kalibrasi yang dilakukan sebelumnya.

Perlakuan F0 atau kontrol dilakukan aplikasi tanpa B. bassiana. Perlakuan F1 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 1 kali pada 2 MST (minggu setelah tanam) saja. Perlakuan F2 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 2 kali pada 2 dan 3 MST. Perlakuan F3 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 3 kali pada 2, 3, dan 4 MST. Perlakuan F4 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 4 kali pada 2, 3, 4, dan 5 MST. Sedangkan perlakuan F5 dilakukan aplikasi B. bassiana sebanyak 5 kali pada 2, 3, 4, 5, dan 6 MST.

3.7Teknik Pengamatan dan Pengumpulan Data

(37)

20

3.7.1 Data Utama

3.7.1.1 Pengamatan mortalitas kutu Aphis glycines secara langsung dan dengan teknik ground cloth

Pengamatan mortalitas kutu dilakukan dengan dua metode, yaitu pengamatan secara langsung dan dengan teknik kain hampar. Pengamatan secara langsung dilakukan dengan mengamati kutu A. glycines mati terinfeksi jamur B. bassiana yang menempel pada bagian batang ataupun pada daun tanaman kedelai. Kain hampar (ground cloth) yang digunakan berukuran 30 cm x 30 cm. Sebelum aplikasi, kain hampar diletakkan di tanah pada tanaman sampel. Pengamatan dilakukan setiap hari hingga 7 hari setelah aplikasi. Kain hampar diperiksa untuk dihitung jumlah kutu A.glycines yang terinfeksi dan dilakukan identifikasi di Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.7.1.2Pengamatan populasi Aphis glycines

(38)

21

3.7.1.3Pengamatan organisme non-target

Pengamatan organisme nontarget dilakukan dengan teknik pitfall trap. Pitfall trap terbuat dari gelas plastik berdiameter 7cm dan tingginya 10cm yang diletakkan di dalam sebuah lubang pada tanah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pitfall trap diletakkan dengan bagian permukaan atas setara dengan permukaan tanah. Pitfall trap tersebut diisi dengan air sabun konsentrasi 5%. Untuk menghindari air masuk, bagian atas pitfall trap dinaungi oleh plastikmika yang disangga oleh kayu sepanjang 15cm. Pemasangan pitfall trap dilakukan setelah aplikasi. Pada masing-masing plot percobaan dipasang 2 pitfall trap. Pitfall trap dipasang selama 24 jam dan dilakukan hingga 7 hari setelah aplikasi. Untuk pengamatan, pitfall trap diambil dan dibawa ke Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung untuk penghitungan dan identifikasi organisme yang terjebak di dalam pitfall trap.

3.7.2 Data Penunjang

(39)

22

brangkasan tanaman dan polong di oven selama 48 jam pada suhu 50oC. Brangkasan tanaman dan polong kering dilakukan penimbangan kembali.

3.8 Analisis Data

(40)

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Aplikasi isolat jamur Beauveria bassiana mampu menginfeksi dan

menyebabkan kematian terhadap hama kutudaun Aphis glycines di pertanaman kedelai pada 3 hari setelah aplikasi disetiap minggu pengamatan dan

berpengaruh nyata pada perlakuan tiga kali aplikasi jamur B. bassiana. 2. Aplikasi B. bassiana dengan berbagai frekuensi menunjukkan bahwa jumlah

famili arthropoda non-target dan total organisme non-target lebih rendah dibandingkan tanpa aplikasi.

3. Secara umum frekuensi aplikasi B. bassiana tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai pada fase vegetatif dan generatif.

5.2. Saran

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Adolpina dan Rugaya, A. 2008. Keefektifan beberapa bahan nabati dalam mengendalikan OPT kedelai di kabupaten Maros. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortiukultura Wil.IX. Prosiding seminar ilmiah dan pertemuan tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. 5 November 2008. Atman. 2006. Budidaya kedelai di lahan sawah Sumatera Barat. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Tambua, 5 (3) : 288-296.

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Angka Tetap 2011 dan Angka Ramalan I 2012). Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XV, 2 Juli 2012.

Fatahuddin dan Bumbungan, J. 2011. Efektivitas Jamur Entomopatogen (Fusarium sp.) terhadap Aphis glycines dan Empoasca terminalis pada Tanaman Kedelai. J. Fitomedika 7 (3):186 – 190.

Ginting, E., Satya A.S., dan Widowati, S. 2009. Varietas Unggul Kedelai Untuk Bahan Baku Industri Pangan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3), 79-87. Indriyati. 2009. Virulensi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo)

Vuillemin terhadap Kutudaun (Aphis spp.) dan Kepik Hijau (Nezara Viridula). J. HPT Tropika 9(2):92-98.

Irawan, N. 2014. Pengujian Formulasi Kering Metarhizium anisopliae Isolat UGM dan Tegineneng serta Beauveria bassiana Isolat Tegineneng untuk mematikan Helopelthis spp. di Laboratorium dan di Lapangan (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Ladja, F.T. 2010. Pengaruh Aplikasi Jamur Beauveria bassiana dan Verticillium lecanii Terhadap Mortalitas Nephotettix virescens Sebagai Vektor Virus Tungro. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Sidrap. 27 Mei 2010.

(42)

44

Prayogo, Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Jamur Entomopatogen untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. Jurnal Litbang Pertanian 25(2) : 47-54.

Purnomo., Aeny, T. N., dan Fitriana, Y. 2012. Pembuatan dan Aplikasi Formulasi Kering Tiga Jenis Agensia Hayati untuk Mengendalikan Hama Pencucuk Buah dan Penyakit Busuk Buah Kakao. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Bandar Lampung.

Radiyanto I., Sodiq M., dan Nurcahyani N.M. 2010. Keanekaragaman Serangga Hama dan Musuh Alami pada Lahan Pertanaman Kedelai di Kecamatan Balong-Ponorogo. J. Entomol. Indon., 7(2) : 116-121.

Rusli, R. 1999. Biologi Aphis glycines Matsumura (Homoptera: Aphididae) Pada Beberapa Tingkat Umur Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill). Jurnal Natur Indonesia 11 (1): 80 – 84.

Saleh, N. 2007. Sistem Produksi Kacang-kacangan untuk Menghasilkan Benih Bebas Virus. Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Iptek Tanaman Pangan 2(1) : 66-78.

Santoso. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai. Universitas Widyagama. Malang. Soetopo, D. dan Indrayani, I. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria

bassiana untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan yang Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Perspektif 6(1) : 29 – 46.

Suharti, T. dan Widyani, N. 2011. Identifikasi Hama pada Beberapa Tanaman Hutan di Hutan Penelitian Rumpin, Bogor. Seminar Nasional PEI 16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjadjaran.

Suhartina. 2012. Balitkabi Siap Lepas Kedelai Tahan Kemarau Panjang. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi). Malang.

Syahri, Hanapi, S., dan Thamrin, T. 2011. Tinjauan Pemanfaatan Jamur Beauveria bassiana (Bals.) untuk mengendalikan Hama Wereng pada Tanaman Padi sebagai Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Global. Seminar Nasional PEI 16 – 17 Februari 2011 Universitas Padjajaran.

Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Yusmani P., dan Purwantoro. 2007. Status Hama Kedelai dan Musuh Alami pada Agroekosistem Lahan Kering Masam Lampung. Iptek Tanaman Pangan 2007 3 : 93-109.

(43)

45

Trisawa, I.M. dan Laba, I.W. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. terhadap Kepik Renda Lada Diconocoris hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bul. Littro 17(2) : 99-106.

Gambar

Grafik rata-rata tinggi tanaman kedelai selama 6 minggu pengamatan.
Tabel 1. Perlakuan Frekuensi Aplikasi B. bassiana terhadap hama A. glycines.
Gambar 1. Tata Letak Plot Percobaan pengaruh frekuensi aplikasi B. bassiana;   F0 : Kontrol; F1 : 1 kali aplikasi B

Referensi

Dokumen terkait

Sewajarnya penggunaan konsep wasatiyyah ini perlu diperluaskan dan menjadi panduan dalam pembuatan keputusan dalam kalangan pelabur Muslim agar aktiviti pelaburan tersebut bukan

mendukung siswa dalam melatih kemampuan berpikir kritis. Guru melaksanakan pembelajaran secara terpusat pada soal-soal yang terdapat di buku LKS. Sehingga siswa

ketidak tanggung jawaban Mr.X kepada Mrs.Y karena orang tua Mrs.Y menilai Mr.X tidak melihat faktor-faktor mudharat bila si Mrs.Y melakukan hal tersebut, dan orang tua

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengkaji masalah ketidakefektifan pilihan kata, ketidakefektifan struktur kalimat, dan ketidaktepatan penerapan ejaan dalam

Penulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jadwal praktek dokter rumah sakit yang memberikan informasi berupa nama dokter, jam praktek, ruang praktek, hari praktek dokter

[r]

Dengan adanya perangkat lunak dan berbagai macam pendukungnya, akan membuat game ini menjadi hidup, sederhana dan dapat dimainkan

[r]