PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA
ANTARA PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENEMUAN TERBIMBING
DI SMP NEGERI 5 STABAT
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan pada
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh:
RISKYKA NIM. 8146171075
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
i ABSTRAK
RISKYKA. Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa antara Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing di SMP Negeri 5 Stabat. Tesis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan, 2016.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang diajar pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing, (2)interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis, (3) perbedaan kemandirian belajar antara siswa yang diajar pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing, (4)interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap kemandirian belajar, (5) proses penyelesaian jawaban siswa yang diajar melalui pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Stabat, kemudian dipilih dua kelas dari 9 kelas. Instrumen yang digunakan terdiri dari: (1) tes kemampuan pemecahan masalah matematis, dan (2) skala kemandirian belajar siswa. Analisis data dilakukan dengan analisis varians (ANAVA) dua jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang diajar pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing, dimana penerapan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing untuk kemampuan pemecahan masalah matematis, (2) tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi secara bersama-sama yang disumbangkan oleh model pembelajaran dengan kemampuan awal matematika siswa tidak berpengaruh signifikan pada berkembangnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, (3) terdapat perbedaan kemandirian belajar antara siswa yang diajar pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing, dimana penerapan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing untuk kemandirian belajar, (4) tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap kemandirian belajar. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi secara bersama-sama yang disumbangkan oleh model pembelajaran dengan kemampuan awal matematika siswa tidak berpengaruh signifikan pada berkembangnya kemandirian belajar siswa, (5) proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan soal tes kemampuan pemecahan masalah matematis pada pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada proses penyelesaian jawaban siswa pada pembelajaran penemuan terbimbing, dan tingkat kesalahan jawaban siswa dalam menyelesaikan soal tes kemampuan pemecahan masalah matematis pada pembelajaran berbasis masalah lebih sedikit daripada tingkat kesalahan jawaban siswa pada penemuan terbimbing. Hal ini dilihat dari perolehan persentase skor jawaban siswa pada model pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing untuk setiap indikator kemampuan.
ii ABSTRACT
RISKYKA. The Differences of Problems Solving Mathematics Ability and Student’s Self Regulated Learning Between Problem Based Learning Model with Guided discovery at SMP Negeri 5 Stabat. Thesis. Medan: Post Graduate Programme, State University of Medan, 2016.
This research aims to know: (1) the differences of problems solving mathematics ability between the students who taught problem-based learning with guided discovery, (2) the interaction between the learning model and the initial ability of mathematics towards problem-solving mathematis ability, (3) the differences of self-regulated learning between students who taught problem-based learning with guided discovery, (4) the interaction between the learning model and the initial ability of mathematics towards self-regulated learning, (5) the process of solution of the answers the students taught through problem-based learning and guided discovery. This research is a quasi-experimental research. The research population was eighth grade junior high school students of SMP Negeri 5 Stabat, then have two classes of ninth grade. The instrument used consisted of: (1) test of problems solving mathematics ability, and (2) self-regulated learning scale. Data analysis is used by analysis of variance (ANOVA) two lines. The results showed that (1) there are differences of problems solving mathematics ability between between the students who taught problem-based learning with guided discovery, where the application of problem based learning model is better than students who received learning guided discovery to problems solving mathematics ability, (2) there is no interaction between the learning model and initial ability of mathematics towards problem-solving mathematics ability. This shows that the contribution of jointly given by learning model with the initial ability of mathematics students do not have a significant effect on the development of students‘s problems solving mathematics ability, (3) there are differences of self-regulated learning between the students who taught problem-based learning with guided discovery, where the application of problem based learning model is better than students who received learning guided discovery to self-regulated learning, (4) there is no interaction between the learning model and initial ability of mathematics towards self-regulated learning. This shows that the contribution of jointly given by learning model with the initial ability of mathematics students do not have a significant effect on the development of students‘s self-regulated learning (5) the process of solution of the answers the students taught through on problem-based learning is better than the resolution process students' answers on the guided discovery learning, and the error rate students' answers in solving a problems solving mathematics ability test on problem-based learning less than the error rate students' answers on the guided discovery. It is seen from the acquisition of the percentage of students answer scores on problem based learning and guided discovery for each indicator of ability.
vi
2.11 Hakikat Belajar dan Pembelajaran Matematika ... 21
2.12 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 23
2.13 Kemandirian Belajar ... 31
2.14 Model Pembelajaran ... 36
2.1.4.1 Model Pembelajaran Berbasis Masalah ... 37
2.1.4.2 Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing ... 44
2.15 Perbedaan Pedagogik antara Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing ………... 54
2.16 Teori yang Mendasari Pembelajaran Berbasis Masalah dan Penemuan Terbimbing ... 56
2.17 Kemampuan Awal Matematika ... 59
2.18 Interaksi ... 61
2.19 Proses Penyelesaian Jawaban ... 62
2.2 Penelitian yang Relevan ... 63
3.7 Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ... 76
3.8 Uji Instrumen ... 82
3.9 Teknik Analisis Data ... 87
3.10 Prosedur Penelitian ... 96
3.11 Jadwal Penelitian ... 99
vii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 102
4.1 Hasil Penelitian ... 102
4.1.1 Deskripsi Kemampuan Awal Matematika ... 103
4.1.2 Hasil Penelitian tentang Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 107
4.1.3 Hasil Penelitian tentang Skala Kemandirian Belajar Siswa ... 118
4.1.4 Rangkuman Hipotesis ... 128
4.1.5 Analisis Proses Penyelesaian Jawaban Siswa pada Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 129
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 144
4.2.1 Faktor pembelajaran ... 144
4.2.2 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 148
4.2.3 Kemandirian Belajar ... 152
4.2.4 Interaksi antara Model Pembelajaran (PBM dan Penemuan Terbimbing) dan KAM terhadap (Kemampuan Pemecahan masalah matematis dan Kemandirian Belajar Siswa) ... 155
4.2.5 Proses Penyelesaian Jawaban Siswa……….. 159
4.3 Keterbatasan Penelitian ... 163
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 165
5.1 Simpulan ... 165
5.2 Saran ... 167
viii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah Berdasarkan
Tahap Pemecahan Masalah oleh Polya ……… 30
Tabel 2.2 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah …… 42
Tabel 2.3 Sintaks Model Penemuan Terbimbing ………. 52
Tabel 2.4 Perbedaan Pedagogik antara Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Penemuan Terbimbing. ……….. 54
Tabel 3.1 Desain Penelitian ……… 74
Tabel 3.2 Tabel Weinner Keterkaitan antar Variabel Bebas, Variabel Terikat, dan Variabel Kontrol ……….. 74
Tabel 3.3 Kriteria Pengelompokan Kemampuan Siswa Berdasarkan KAM . 78 Tabel 3.4 Kisi-kisi Tes (Post Test)Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……… 79
Tabel 3.5 Panduan Penskoran Tes (Post Test) Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……… 80
Tabel 3.6 Skor Jawaban Angket Kemandirian Belajar ………..….. 81
Table 3.7 Kisi-kisi Angket Kemandirian Belajar ………..……. 82
Tabel 3.8 Penilaian Kurikulum 2013 ……… 88
Tabel 3.9 Keterkaitan Permasalahan, Hipotesis, dan Jenis Uji Statistik yang Digunakan dalam Analisis Data Kuantitatif …….………. 95
Tabel 3.10 Jadwal Kegiatan Penelitian Yang Direncanakan ……… 99
Tabel 3.11 Rangkuman Hasil Perhitungan Validitas Setiap Butir Soal Post Test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……….. 100
Tabel 4.1 Deskripsi Kemampuan Matematika Siswa Tiap Kelas Sampel Berdasarkan Nilai Tes Kemampuan Awal Matematika ………… 103
Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Nilai Kemampuan Awal Matematika Siswa ………. 104
Tabel 4.3 Hasil Uji Homogenitas Nilai Kemampuan Awal Matematika Siswa ……… 105
Tabel 4.4 Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Data KAM Siswa Kedua Kelompok Pembelajaran ………. 106
Tabel 4.5 Sebaran Sampel Penelitian ……… 107
Tabel 4.6 Post-test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kelas Pembelajaran Berbasis Masalah secara Kuantitatif ……….. 108
Tabel 4.7 Post-test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kelas Penemuan Terbimbing secara Kuantitatif ………. 109
Tabel 4.8 Data Hasil Postes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis .. 111
Tabel 4.9 Hasil Uji Normalitas Post test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis (SPSS 17.0) ……….. 113
Tabel 4.10 Hasil Uji Homogenitas Varians Post-test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis (SPSS 17.0) ……… 114
Tabel 4.11 Hasil Uji ANAVA Dua Arah Post Test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Kelompok Pembelajaran Berbasis Masalah dan Penemuan Terbimbing ... 116
ix
Tabel 4.13 Rata-Rata Persentase Kemandirian Belajar untuk Indikator
Inisiatif Belajar pada Pernyataan Positif dan Negatif …………... 120 Tabel 4.14 Rata-Rata Persentase Kemandirian Belajar untuk Indikator
Bertanggungjawab pada Pernyataan Positif dan Negatif ………. 120 Tabel 4.15 Rata-Rata Persentase Kemandirian Belajar untuk Indikator
Menetapkan Target dan Tujuan Belajar pada Pernyataan
Positif dan Negatif ……… 121 Tabel 4.16 Rata-Rata Persentase Kemandirian Belajar untuk Indikator
Memanfaatkan dan Mencari Sumber yang Relevan pada
Pernyataan Positif dan Negatif ……….. 122 Tabel 4.17 Rata-Rata Persentase Kemandirian Belajar untuk Indikator
Percaya Diri pada Pernyataan Positif dan Negatif ……….. 122 Tabel 4.18 Hasil Uji Normalitas Pertemuan Terakhir Skala Kemandirian
Belajar Siswa (SPSS 17.0) ………. 123 Tabel 4.19 Hasil Uji Homogenitas Varians Pertemuan Terakhir
Kemandirian Belajar Siswa (SPSS 17.0) ………. 124 Tabel 4.20 Hasil Uji ANAVA Dua Arah Pertemuan Terakhir Kemandirian
Belajar Siswa Kelompok Pembelajaran Berbasis Masalah dan
Penemuan Terbimbing ... 126 Tabel 4.21 Rangkuman Hasil Pengujian Hipotesis Penelitian Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis dan Kemandirian Belajar
Siswa pada Taraf Signifikansi 5% ……… 128 Tabel 4.22 Skor Perolehan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis pada Indikator Memahami Masalah ………... 132 Tabel 4.23 Skor Perolehan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis pada Indikator Merencanakan Penyelesaian
Masalah ………. 135
Tabel 4.24 Skor Perolehan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah pada
Indikator Melaksanakan Penyelesaian Masalah ……… 139 Tabel 4.25 Skor Perolehan Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Proses Penyelesaian Jawaban yang Dibuat oleh Siswa pada Tes
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 7 Gambar 3.1 Prosedur Penelitian ……… 98 Gambar 4.1 Tingkat Post Test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa pada Kelas Pembelajaran Berbasis Masalah ……… 109 Gambar 4.2 Tingkat Post Test Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Siswa pada Kelas Penemuan Terbimbing ……….. 111 Gambar 4.3. Diagram Rerata Post test Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis ... 112 Gambar 4.4 Tidak Terdapat Interaksi antara Model Pembelajaran dan KAM
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ……... 117 Gambar 4.5 Diagram Rerata Kemandirian Belajar Siswa Pertemuan
Terakhir ... 119 Gambar 4.6 Tidak Terdapat Interaksi antara Model Pembelajaran dan KAM
terhadap Kemandirian Belajar Siswa ………. 127 Gambar 4.7 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 1a ... 130 Gambar 4.8 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 2a ... 130 Gambar 4.9 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 3a ... 130 Gambar 4.10 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 4a ... 131 Gambar 4.11 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 5a ... 131 Gambar 4.12 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 1b ... 133 Gambar 4.13 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 2b ... 134 Gambar 4.14 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 3b ... 134 Gambar 4.15 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 4b ... 134 Gambar 4.16 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 5b ... 135 Gambar 4.17 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 1c ... 137 Gambar 4.18 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 2c ... 137 Gambar 4.19 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
xi
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 4c ... 138 Gambar 4.21 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 5c ... 138 Gambar 4.22 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 1d ... 140 Gambar 4.23 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 2d ... 141 Gambar 4.24 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 3d ... 141 Gambar 4.25 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah (a) dan Penemuan Terbimbing (b) Butir 4d ... 141 Gambar 4.26 Hasil Jawaban Siswa Kelas Pembelajaran Berbasis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu
bangsa, karenanya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan
pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari
kemajuan yang dimulai dari pendidikannya, pernyataan tersebut juga diyakini
oleh bangsa ini. Pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan
manusia-manusia berkualitas. Pendidikan memerlukan inovasi-inovasi yang
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa mengabaikan
nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan juga dipandang sebagai sarana untuk
melahirkan insan-insan yang cerdas, kreatif, terampil, bertanggungjawab,
produktif dan berbudi pekerti luhur. Pendidikan merupakan hal yang terpenting
dalam kehidupan kita, ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapatkan
pendidikan yang baik. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus-menerus
dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus
setelah diamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
meningkatkan mutu pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dengan
meningkatkan kualitas pendidikan diharapkan akan menghasilkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkemampuan unggul, sehingga sumber daya manusia
unggul tersebut akan mampu menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang demikian pesat. Dengan demikian, semakin banyak tuntutan untuk
2
mengimbangi kemajuan tersebut, tentunya diperlukan peningkatan kualitas
pendidikan dalam berbagai bidang, di antaranya matematika.
Matematika adalah salah satu mata pelajaran universal yang melingkupi
berbagai bidang dalam kehidupan. Matematika merupakan pengetahuan yang
mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Peran dan
fungsi matematika dalam kehidupan sehari-hari seperti tertuang pada tujuan
umum matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yaitu:
1. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan
di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui
latihan, bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis,
cermat, jujur, efektif dan efisien.
2. Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan
pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Sejalan dengan itu pemerintah juga terus berupaya mengembangkan sistem
pembelajaran matematika di sekolah supaya menjadi lebih baik. Salah satu
kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan dikeluarkannya
Permendiknas tentang tujuan mata pelajaran matematika. Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 22 tahun 2006 Tentang Standar
Isi, tujuan Mata Pelajaran Matematika adalah:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
3
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (BSNP, 2006).
Hal di atas sesuai juga dengan tujuan umum pembelajaran matematika
yang dirumuskan National Council of Teacher of Mathematics atau NCTM (2000)
yaitu: (1) belajar untuk memecahkan masalah (problem solving); (2) belajar untuk
bernalar (reasoning and proof); (3) belajar untuk mengaitkan ide (connections);
(4) belajar untuk berkomunikasi (communication); (5) belajar untuk
merepresentasi (representations).
Beberapa uraian di atas, menunjukkan pentingnya mempelajari
matematika dalam menata kemampuan berpikir para siswa, bernalar, memecahkan
masalah, berkomunikasi, mengaitkan materi matematika dengan keadaan
sesungguhnya, serta mampu menggunakan dan memanfaatkan teknologi,
sehingga akan berdampak pada meningkatnya kualitas pendidikan suatu negara.
Peningkatan kualitas pendidikan selalu ditempatkan sebagai subjek
penting di dalam sistem pendidikan di setiap Negara. Oleh karenanya,
mata pelajaran ini harus dipelajari oleh semua siswa di setiap jenjang pendidikan,
baik itu SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah
Menengah Atas), maupun Perguruan Tinggi yang mendasari perkembangan dan
kemajuan sains serta teknologi, dengan harapan akan melahirkan sumber daya
manusia Indonesia yang berkualitas. Akan tetapi, pada kenyataannya mutu
4
dibandingkan dengan mutu output pendidikan di negara lain, baik di Asia maupun
kawasan ASEAN. Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya prestasi belajar yang
dicapai siswa. Seperti yang dilansir oleh PISA (Programme for International
Student Assessement), hasil studi PISA 2006, Indonesia berada di peringkat ke-50
dari 57 negara peserta dengan skor rata-rata 391, sedangkan skor rata-rata
internasional 500 (Kemendikbud, 2011). Kemudian, hasil studi PISA 2009,
Indonesia berada di peringkat ke-61 dari 65 negara peserta dengan skor rata-rata
371, sedangkan skor rata-rata internasional 500 (OECD, 2010). Dan hasil studi
PISA 2012, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara peserta dengan
skor rata-rata 375, sedangkan skor rata-rata internasional 500 (OECD, 2014).
Hasil PISA di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun prestasi yang
dicapai oleh siswa mengalami penurunan, baik di bidang matematika maupun
sains. Artinya daya saing yang dimiliki siswa Indonesia, khususnya dalam bidang
matematika masih cenderung rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain
yang merupakan salah satu cerminan bagaimana rendahnya mutu pendidikan
Indonesia. Selain itu, banyak siswa memandang matematika sebagai bidang studi
yang sulit untuk dipahami. Hal tersebut terjadi karena matematika disajikan dalam
bentuk yang kurang menarik dan terkesan sulit untuk dipelajari siswa, akibatnya
siswa sering merasa bosan dan tidak merespon pelajaran dengan baik. Selain itu
metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang bervariasi dan cenderung
membatasi siswa untuk berkreasi mengungkapkan pemikirannya saat belajar
sehingga siswa kurang berminat belajar matematika dan hasil belajar yang kurang
optimal. Akibatnya siswa tidak memahami apa arti penting matematika dalam
5
belajar matematika sehingga siswa lebih pasif saat belajar matematika, enggan,
takut ataupun malu dalam mengungkapkan ide yang dimilikinya dalam
pemecahan masalah matematika. Hal ini sesuai dengan pendapat Abdurahman
(2012) bahwa “Dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika
merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang
tidak berkesulitan belajar, dan lebih-lebih bagi siswa yang berkesulitan belajar”.
Oleh karena itu, diperlukan suatu penanganan menyeluruh, karena dalam
kehidupan suatu bangsa, pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk
menjamin kelangsungan hidup suatu negara dan bangsa, serta sebagai sarana
untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan perubahan yang cukup mendasar
dalam sistem pendidikan nasional. Perubahan mendasar tersebut berkaitan dengan
kurikulum, yang dengan sendirinya menuntut dan mempersyaratkan berbagai
perubahan pada komponen-komponen pendidikan lain. Sehingga nantinya dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa dalam mencapai tujuan belajarnya. Oleh
karena itu, pemerintah mengembangkan kurikulum 2013 untuk memperbaiki
pendidikan menjadi lebih baik. Karena kurikulum 2013 bertujuan untuk
meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pembentukan budi pekerti dan akhlak mulia siswa. Melalui implementasi
kurikulum 2013 diharapkan dapat menumbuhkan generasi masa depan yang
produktif, kreatif, inovatif, dan berkarakter.
Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan keterampilan berpikir
siswa yang erat kaitannya dengan karakteristik matematika. Keterampilan berpikir
6
konkret berangsur dibawa ke bentuk abstrak (model). Menekankan pentingnya
prosedur (algoritma) dalam pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan
masalah merupakan proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh
sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika merupakan pendekatan dan tujuan yang harus dicapai.
Pemecahan masalah sebagai pendekatan digunakan untuk menemukan dan
memahami materi atau konsep matematika. Sedangkan pemecahan masalah
sebagai tujuan diharapkan agar siswa dapat mengidentifikasi unsur yang
diketahui, ditanya serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah
dan menjelaskan hasil sesuai dengan permasalahan asal. Pemecahan masalah
merupakan bagian dari standar proses matematika yang sangat penting karena
dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan untuk
menggunakan keterampilan dan pengalaman yang mereka miliki untuk diterapkan
dalam penyelesaian soal-soal yang tidak rutin karena setelah menempuh
pendidikan, para siswa akan terjun ke masyarakat yang penuh dengan
masalah-masalah kemasyarakatan.
Polya (1973) menjelaskan dalam How to Solve It secara garis besar
mengemukakan empat langkah utama dalam pemecahan masalah yaitu: Understanding the problem, Devising a Plan, Carrying out the Plan, dan Looking
Back. Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat membantu siswa dalam
memecahkan masalah. Dengan kata lain, kemampuan pemecahan masalah sangat penting bagi perkembangan kognitif siswa dan mempengaruhi hasil belajar
7
(b)
Banyak fakta telah mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa masih rendah. Berdasarkan hasil observasi peneliti,
rendahnya kemampuan pemecahan masalah tersebut dapat dilihat pada hasil kerja siswa terhadap soal kemampuan pemecahan masalah matematis sebagai berikut: “Pak Danu akan membuat taman berbentuk lingkaran dengan diameter 21 m. Di
tengah-tengah taman tersebut akan dibuat kolam berbentuk lingkaran dengan diameter 14 m. Jika tanah di sekeliling kolam akan ditanami rumput dengan biaya
Rp8.500,- per m2, berapakah biaya untuk menanam rumput?”
Gambar di bawah ini adalah contoh model penyelesaian jawaban yang dibuat oleh siswa terhadap soal pemecahan masalah di atas
Tidak melakukan pemeriksaan kembalidengan jawaban yang ada Menuliskan yang diketahui dan
ditanya tidak secara lengkap
Merencanakan pemecahan masalah tetapi tidak lengkap
Melakukan perhitungan Salah melakukan perhitungan
Salah menuliskan yang diketahui dan ditanya
Tidak melakukan pemeriksaan kembalidengan jawabanyang ada
Salah merencanakan pemecahan masalah
Gambar 1.1 (a) dan (b) Proses Penyelesaian Jawaban yang Dibuat oleh Siswa pada Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
8
Berdasarkan hasil jawaban siswa tersebut, peneliti dapat menganalisis bahwa dari 35 orang siswa, hanya ada satu orang siswa atau 2,86% yang terlihat
mampu memahami soal, 10 orang siswa atau 28,57% siswa yang terlihat mampu merencanakan penyelesaian, 18 orang siswa atau 51,43% yang terlihat mampu melakukan rencana penyelesaian, dan tidak ada siswa atau 0% yang terlihat
mampu menguji/memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dibuat. Hasil di atas menunjukkan bahwa banyak siswa masih belum mampu memahami
permasalahan dalam soal, seperti apa yang diketahui dan ditanyakan. Siswa cenderung langsung membuat rencana penyelesaian dan melakukan perhitungan/penyelesaian, sehingga sering terjadi salah perhitungan dikarenakan
siswa tidak memeriksa kembali langkah-langkah yang telah mereka buat. Seharusnya untuk menyelesaikan persoalan di atas terlebih dahulu siswa perlu
memahami permasalahan yang dihadapi yaitu dengan menuliskan apa yang diketahui dan ditanya pada soal, agar memudahkan langkah berikutnya dalam penyelesaian soal. Contohnya diketahui dtaman = 21 m, dkolam = 14 m, dan biaya/m2
= Rp 8.500,00 dan yang ditanyakan adalah biaya untuk menanam rumput. Selanjutnya, siswa membuat perencanaan penyelesaian dengan menuliskan
cara/rumus penyelesaian masalah yang digunakan. Untuk itu, perlu mencari luas
taman dan luas kolam dengan menggunakan rumus lingkaran 1
4��2 atau ��2
kemudian mengurangkan kedua luas daerah tersebut. Selanjutnya siswa
melakukan perhitungan dengan menggunakan rumus yang telah mereka tuliskan sebelumnya sehingga diperoleh luas taman 346,5 m2 dan luas kolam 154 m2. Maka, luas bagian rumput adalah luas taman – luas kolam menjadi 192,5 m2,
9
biaya untuk menanam rumput sebesar Rp 1.636.250. Kemudian, setelah siswa memperoleh biaya untuk menanam rumput, diharapkan siswa memeriksa kembali
jawaban yang telah mereka buat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa memecahkan masalah masih sangat rendah.
Hal di atas didukung pula oleh beberapa hasil penelitian mengenai
rendahnya kemampuan pemecahan masalah siswa yaitu Santosa dkk (2013)
menyatakan bahwa masih banyak siswa yang tidak mampu mengaitkan masalah
yang dihadapi dengan konteks kejadian yang ada dalam kehidupan nyata, tidak mampu memanfaatkan data/informasi pada soal, sehingga perencanaan menuju langkah berikutnya menjadi terhenti dan kesulitan di dalam menerapkan
pengetahuan yang dipelajari sebelumnya. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Saragih dan Habeahan (2014) yang menyatakan bahwa dalam
pemecahan masalah sering ditemukan bahwa siswa hanya fokus dengan jawaban akhir tanpa memahami bagaimana proses jawabannya benar atau tidak. Hasil yang sering muncul bahwa jawaban siswa salah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
siswa tidak terbiasa dalam menyelesaikan masalah-masalah kontekstual yang non
rutin, sehingga menyebabkan siswa kesulitan dalam menyelesaikan masalah
tersebut. Itu berarti kemampuan pemecahan masalah dalam matematika perlu
dilatih dan dibiasakan kepada siswa sedini mungkin. Karena kemampuan ini
diperlukan siswa sebagai bekal dalam memecahkan masalah matematika dan
masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, bila
siswa dilatih menyelesaikan masalah, maka siswa itu akan mampu mengambil
10
informasi yang relevan, menganalisis informasi dan menyadari betapa perlunya
meneliti kembali hasil yang telah diperolehnya.
Selain kemampuan pemecahan masalah, kemandirian belajar siswa juga
perlu diperhatikan. Karena kemandirian belajar juga berpengaruh terhadap
keberhasilan siswa dalam belajar. Masruri (2012) berpendapat bahwa
“kemandirian belajar adalah hasil suatu proses dan pengalaman belajar itu sendiri”. Hal ini berarti proses dan pengalaman memiliki pengaruh yang cukup
besar dalam membentuk karakter mandiri seorang siswa dalam belajar. Siswa
harus mampu mengatur pembelajarannya sendiri dengan mengaktifkan kognitif, afektif dan perilaku yang ada pada dirinya. Siswa yang mandiri akan
mempersiapkan materi yang akan dipelajari. Sesudah proses belajar mengajar, siswa akan belajar kembali mengenai materi yang sudah disampaikan sebelumnya
dengan cara membaca atau berdiskusi. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh akan bertahan lama dalam ingatan sehingga tujuan belajar yang diinginkan dapat tercapai sesuai dengan indikator (1) inisiatif (2)
bertanggungjawab (3) menetapkan target dan tujuan belajar (4) memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan (5) percaya diri. Indikator-indikator tersebut dapat
menjadi salah satu acuan bagi guru untuk melihat sejauh mana kemandirian belajar siswa di kelas. Selain itu, menurut Fauzi (2011) pentingnya kemandirian belajar dalam belajar matematika karena tuntutan kurikulum agar siswa dapat
menghadapi persoalan di dalam kelas maupun di luar kelas yang semakin kompleks dan mengurangi ketergantungan siswa dengan orang lain dalam
11
Pada umumnya kemandirian belajar siswa, khususnya dalam mempelajari
matematika, masih rendah. Dari hasil observasi dan wawancara dengan guru
matematika di sekolah tersebut, peneliti menemukan banyak siswa kurang
memiliki kemandirian dalam belajar. Hal itu terlihat saat proses belajar mengajar
berlangsung seperti masih tergantungnya siswa dengan penjelasan dari guru.
Siswa tidak percaya diri dengan apa yang telah mereka ketahui, sehingga siswa
lebih sering mencontek temannya yang mereka anggap pintar dalam menjawab
soal, daripada mengerjakan sendiri. Siswa juga tidak bisa menjawab soal tanpa
penjelasan dari guru terlebih dahulu. Selain itu, kurangnya inisiatif siswa untuk
belajar sendiri bersama dengan teman-temannya membuat pembelajaran lebih di
dominasi oleh guru. Hal ini sesuai dengan penelitian Wijiastuti (2015) yang menunjukkan bahwa kurangnya sifat inisiatif pada siswa dalam menjawab
pertanyaan atau mempresentasikan tugas yang diberikan guru. Selain itu, hal yang sama ditunjukkan dengan hasil penelitian Andista (2015) sebagian besar siswa kurang bertanggungjawab, kurang inisiatif, masih banyak juga siswa yang masih
bergantung pada orang lain. Begitu pula menurut hasil penelitian dari Sulistiyaningsih (2014) terlihat masih adanya fenomena mencontek saat ulangan,
rendahnya minat baca, rendahnya usaha menambah wawasan dari berbagai sumber, rendahnya penggunaan sumber perpustakaan, dan masih tingginya ketergantungan belajar pada kehadiran guru serta ketidaksiapan siswa dalam
menghadapi ulangan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kurangnya kemandirian belajar siswa.
Rendahnya tingkat kemampuan pemecahan masalah matematis dan
12
yang diterapkan. Pada saat proses pembelajaran terkadang guru masih
menggunakan strategi atau metode ceramah dalam mengajar, di samping
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013. Guru menyampaikan materi
secara berstruktur, utuh dan menyeluruh. Kemudian siswa mengikuti pola yang
ditetapkan oleh guru secara cermat. Seperti yang diungkapkan oleh Sanjaya
(2011) mengenai strategi pembelajaran ekspositori, bahwa guru memegang peran
yang sangat dominan. Melalui strategi ini, guru menyampaikan materi
pembelajaran secara terstruktur, dengan harapan materi pelajaran yang
disampaikan itu dikuasai dengan baik. Hal tersebut dilakukan, karena siswa masih
terbiasa dengan pembelajaran yang lebih banyak menggunakan indera
pendengaran dalam pembelajaran. Hasil pengamatan aktivitas belajar siswa di
kelas, terlihat siswa jarang berdiskusi pada kelompok-kelompok belajar, sedikit
tanya jawab, mencatat dari papan tulis, mengerjakan latihan yang diberikan guru
dan hasilnya ditulis di papan tulis serta jawaban siswa yang benar hanya diberi
sedikit penjelasan terhadap hasil yang diperoleh kepada teman lain. Dengan
demikian, peran siswa dalam pembelajaran kurang optimal dan belum sesuai
dengan pembelajaran pada kurikulum 2013. Hal tersebut menunjukan bahwa
model pembelajaran yang diterapkan belum dapat memenuhi kebutuhan pada kemampuan matematika siswa sehingga belum dapat memaksimalkan hasil belajar siswa.
Selain itu, dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk dapat
menemukan solusi dari masalah sampai selesai. Solusi tersebut dapat ditemukan
apabila siswa memiliki kemampuan awal. Kemampuan awal merupakan prasyarat
13
dilakukan karena kemampuan awal amat penting peranannya dalam meningkatkan
kebermaknaan pengajaran, yang selanjutnya membawa dampak dalam
memudahkan proses-proses internal yang berlangsung dalam diri siswa ketika
belajar (Uno, 2012). Selain itu, kemampuan awal siswa sangat menentukan
keberhasilan siswa selanjutnya, karena materi pelajaran matematika yang tersusun
secara terstruktur sehingga apabila seseorang mengalami kesulitan pada pokok
bahasan awal, maka dia juga otomatis akan mengalami kesulitan untuk
mempelajari pokok bahasan selanjutnya. Sebaliknya, siswa dengan latar belakang
kemampuan awal yang baik maka dia juga akan mampu mengikuti pelajaran
berikutnya dengan baik pula.
Pada dasarnya kemampuan setiap siswa dalam belajar matematika tidak
sama. Perbedaan kemampuan tersebut selalu ditentukan berdasarkan tinggi,
sedang dan, rendahnya tingkat pencapaian hasil belajar siswa. Maka, bagi siswa
yang memiliki kemampuan awal tinggi dalam belajar matematika, penggunaan
model pembelajaran tidak besar pengaruhnya terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematis maupun kemandirian belajarnya, akan tetapi bagi siswa yang
memiliki kemampuan awal sedang ataupun rendah, penggunaan model
pembelajaran yang sesuai dengan tingkat berpikir sangat membantu untuk
memberikan pemahaman terhadap masalah matematika, selain itu pembentukan
kemandirian belajar dalam diri siswa dapat memberikan hasil yang baik. Dengan
demikian, kemampuan awal siswa yang berbeda mempengaruhi model
pembelajaran yang diterapkan.
Berdasarkan hal tersebut, diduga terdapat interaksi antara model
14
pemecahan masalah matematis serta terdapat interaksi antara model pembelajaran
dan kemampuan awal matematika terhadap kemandirian belajar siswa. Dalam
menghadapi ragam kemampuan siswa tersebut merupakan tugas guru memilih
lingkungan belajar dan model pembelajaran yang sesuai. Dengan harapan siswa
tidak akan mengalami kesulitan ketika mereka menghadapi permasalahan dalam
kehidupannya atau ketika melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun hasil observasi dilapangan menunjukkan bahwa kemampuan
pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa menjadi kurang
berkembang, sehingga proses penyelesaian jawaban siswa terhadap permasalahan
yang diajukan oleh guru pun tidak bervariasi karena siswa hanya mengikuti
aturan-aturan/cara yang sering diselesaikan oleh gurunya sehingga pembelajaran
menjadi kurang maksimal. Hal tersebut menyebabkan siswa tidak terbiasa untuk
memecahkan permasalahan-permasalahan matematika yang membutuhkan
rencana, strategi dan mengekspolasi kemampuan menggeneralisasi dalam
penyelesaian masalahnya.
Berdasarkan fenomena di atas sudah seharusnya guru menggunakan suatu
model yang dapat membuat siswa menjadi aktif dalam belajar, di samping itu juga
dapat mengasah kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian belajarnya.
Model pembelajaran tersebut yaitu pembelajaran berbasis masalah dan penemuan
terbimbing. Menurut Trianto (2011) pembelajaran berdasarkan masalah
merupakan model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan
yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan
15
mengorganisir siswa untuk belajar, (3) membimbing penyelidikan seseorangan maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5)
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Model ini juga merupakan suatu pengajaran yang menantang pelajar untuk ”learn to learn”,
bekerjasama dalam sebuah grup untuk mencari solusi dari masalah-masalah yang
nyata di dunia ini. Masalah-masalah ini digunakan untuk menarik rasa
keingintahuan pelajar dan menginisiasikan pokok-pokok perkara dalam
memperkenalkan konsep-konsep matematika. Konsep-konsep tersebut akan
ditemukan sendiri oleh siswa. Jika dari masalah-masalah yang dikenal siswa dapat
ditemukan konsep-konsep matematika, maka konsep-konsep tersebut bukan lagi
merupakan hapalan, melainkan suatu pemahaman. Dan penemuan tersebut
merupakan hal yang menarik perhatian bagi siswa dan terintegrasi dengan
kehidupannya sehingga lebih mudah untuk dikembangkan atau diterapkan untuk
menyelesaikan masalah-masalah matematika yang lainnya. Sehingga melalui
PBM ini dapat membuat siswa menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika
siswa belajar maka siswa dapat memilih strategi belajar yang sesuai, terampil
menggunakan strategi tersebut untuk belajar dan mampu mengontrol proses
belajarnya, serta termotivasi untuk menyelesaikan belajarnya itu. Adapun
kelebihan dari model pembelajaran berbasis masalah adalah dapat membantu
siswa dalam mentransfer pengetahuan siswa untuk memahami masalah di
sekelilingnya. Selanjutnya Lubis (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran matematika lebih baik untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan metakognisi
16
pembelajaran matematika yang inovatif. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
Rohantizani (2014) yang menyatakan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan
masalah melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah (kelompok
eksperimen) lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran langsung
(kelompok kontrol).
Sedangkan model pembelajaran penemuan terbimbing adalah suatu model
pembelajaran yang menekankan pada kegiatan siswa untuk menemukan
pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Selain itu, Model ini efektif untuk mendorong keterlibatan dan motivasi siswa
seraya membantu mereka mendapatkan pemahaman mendalam tentang
topik-topik yang jelas (Yulianti dkk, 2014). Mayer (dalam Sulistyowati dkk, 2012)
menyatakan bahwa, “guided discovery learning merupakan salah satu model
pembelajaran yang bertujuan melatih siswa untuk menemukan konsep secara
mandiri. Siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran dengan menjawab
berbagai pertanyaan atau persoalan dan memecahkan persoalan untuk menemukan
suatu konsep”. Jadi, penemuan terbimbing bertujuan mengaktifkan siswa dalam
proses pembelajaran dan melatih siswa untuk menemukan suatu konsep dengan
menjawab berbagai pertanyaan atau persoalan yang diberikan oleh guru dalam
proses pembelajaran
Kegiatan yang dilaksanakan dalam pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran penemuan terbimbing kegiatan pembelajaran yang mencakup: 1) memberikan stimulus, 2) identifikasi masalah, 3) melakukan
17
dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan dan menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry (mencari-temukan) (Marzano dalam
Markaban, 2008). Selanjutnya Sihombing (2013) menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang mendapat pembelajaran penemuan terbimbing berbasis masalah open-ended lebih baik dibanding siswa yang mendapat
pembelajaran ekspositori.
Perbedaan yang mendasar diantara kedua model tersebut adalah masalah
yang diberikan oleh guru. Pada model pembelajaran penemuan terbimbing,
masalah yang digunakan adalah masalah yang direkayasa oleh guru. Sedangkan,
pada pembelajaran berbasis masalah, guru memberikan masalah-masalah
kontekstual, agar siswa lebih dekat dengan pengalaman-pengalaman dunia nyata.
Jadi, dapat dikatakan bahwa antara model penemuan terbimbing dan pembelajaran
berbasis masalah memiliki karakter yang hampir sama satu sama lain. Meskipun
dalam penyajian masalahnya berbeda, namun keduanya merupakan model
pembelajaran yang dirancang untuk meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya
pada kemampuan pemecahan masalah. Dan kedua model tersebut merupakan
student center yang bertujuan mengaktifkan siswa serta terdapat dalam rancangan
kurikulum 2013.
Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti mengajukan sebuah studi
dengan judul “Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis dan
Kemandirian Belajar Siswa antara Pembelajaran Berbasis Masalah dengan
18
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang ditemukan sebagai berikut: 1. Hasil belajar matematika siswa masih rendah.
2. Kemampuan siswa memecahkan masalah masih rendah.
3. Kemandirian belajar siswa dalam mempelajari matematika masih rendah.
4. Model pembelajaran yang diterapkan belum dapat memenuhi kebutuhan pada kemampuan matematika siswa sehingga belum dapat memaksimalkan hasil belajar siswa.
5. Kemampuan awal siswa yang berbeda mempengaruhi model pembelajaran
yang diterapkan.
6. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
7. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal matematika terhadap kemandirian belajar siswa.
8. Proses penyelesaian jawaban siswa terhadap permasalahan yang diajukan
oleh guru tidak bervariasi.
1.3 Pembatasan Masalah
Masalah yang teridentifikasi di atas merupakan masalah yang cukup luas dan kompleks, agar penelitian ini lebih fokus dan mencapai tujuan. Peneliti
membatasi masalah yang akan diteliti yaitu
1. Kemampuan siswa memecahkan masalah masih rendah.
19
3. Model pembelajaran yang diterapkan belum dapat memenuhi kebutuhan pada kemampuan matematika siswa sehingga belum dapat memaksimalkan hasil belajar siswa.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
antara siswa yang diajar pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan
terbimbing?
2. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal
matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis?
3. Apakah terdapat perbedaan kemandirian belajar antara siswa yang diajar
pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing?
4. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal
matematika terhadap kemandirian belajar?
5. Bagaimana proses penyelesaian jawaban siswa yang diajar melalui
pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis
antara siswa yang diajar pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan
20
2. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal
matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis.
3. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian belajar antara siswa yang diajar
pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing.
4. Untuk mengetahui interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal
matematika terhadap kemandirian belajar.
5. Untuk mengetahui proses penyelesaian jawaban siswa yang diajar melalui
pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil dari pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat: 1. Bagi peneliti sebagai bahan pegangan dan masukan dalam menjalankan tugas
mengajar kelak dan sebagai bahan pertimbangan serta sumbangsih pemikiran bagi para peneliti lain dalam melakukan penelitian yang lebih lanjut.
2. Bagi siswa, diharapkan pembelajaran berbasis masalah dan penemuan
terbimbing dapat melibatkan siswa secara aktif dan mandiri dalam belajar matematika, dibawah bimbingan guru sebagai fasilitator.
3. Bagi guru sebagai acuan dan menambah wawasan khususnya dalam menyusun strategi pembelajaran matematika.
165
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, temuan dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya diperoleh beberapa simpulan yang berkaitan
dengan faktor pembelajaran, kemampuan awal matematika, kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa. Simpulan tersebut sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa
yang diajar pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing,
dimana penerapan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing untuk
kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini terlihat dari hasil analisis
varians (ANAVA) dua jalur untuk Fhitung > Ftabel yaitu 10,147 > 4,019 atau
nilai Sig < 0,05 yaitu 0,000 maka H0 ditolak. Skor rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematis pada kelas pembelajaran berbasis masalah
sebesar 47,6, sedangkan skor rata-rata pada kelas penemuan terbimbing
sebesar 42. Pada kedua kelas eksperimen, aspek yang tertinggi dicapai siswa
pada indikator memahami masalah dengan rata-rata persentase 42,67% dan
43,33% dan merencanakan penyelesaian masalah dengan rata-rata persentase
62% dan 27,33%.
2. Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal
matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis. Hal ini
166
terlihat dari hasil analisis varians (ANAVA) dua jalur untuk Fhitung < Ftabel
yaitu 1,871 < 3,168 atau nilai Sig > 0,05 yaitu 0,164 maka H0 diterima.
Dengan demikian menunjukkan bahwa kontribusi secara bersama-sama yang
disumbangkan oleh model pembelajaran dengan kemampuan awal
matematika siswa tidak berpengaruh signifikan pada berkembangnya
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Namun, kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa pada model pembelajaran berbasis
masalah lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran penemuan
terbimbing untuk kemampuan awal siswa tinggi, sedang, dan rendah.
3. Terdapat perbedaan kemandirian belajar antara siswa yang diajar
pembelajaran berbasis masalah dengan penemuan terbimbing, dimana
penerapan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing untuk kemandirian
belajar. Hal ini terlihat dari hasil analisis varians (ANAVA) dua jalur untuk
Fhitung > Ftabel yaitu 22,559 > 3,16 atau nilai Sig < 0,05 yaitu 0,000, maka H0
ditolak. Skor rata-rata tes kemandirian belajar pada kelas pembelajaran
berbasis masalah sebesar 58,69, sedangkan skor rata-rata pada kelas
penemuan terbimbing sebesar 52,62 . Pada kedua kelas eksperimen, aspek
yang tertinggi dicapai siswa pada indikator memanfaatkan dan mencari
sumber yang relevan dengan rata-rata persentase 46,67% dan 36,67%.
4. Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal
matematika terhadap kemandirian belajar. Hal ini terlihat dari hasil analisis
varians (ANAVA) dua jalur untuk Fhitung < Ftabel yaitu 0,596 < 3,168 atau
167
menunjukkan bahwa kontribusi secara bersama-sama yang disumbangkan
oleh model pembelajaran dengan kemampuan awal matematika siswa tidak
berpengaruh signifikan pada berkembangnya kemandirian belajar siswa.
Namun, kemandirian belajar siswa pada model pembelajaran berbasis
masalah lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran penemuan
terbimbing untuk kemampuan awal siswa tinggi, sedang, dan rendah.
5. Proses penyelesaian jawaban siswa dalam menyelesaikan soal tes
kemampuan pemecahan masalah matematis pada pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada proses penyelesaian jawaban siswa pada pembelajaran penemuan terbimbing, dan tingkat kesalahan jawaban siswa
dalam menyelesaikan soal tes kemampuan pemecahan masalah matematis pada pembelajaran berbasis masalah lebih sedikit daripada tingkat kesalahan
jawaban siswa pada penemuan terbimbing. Hal ini dilihat dari perolehan persentase skor jawaban siswa pada model pembelajaran berbasis masalah untuk indikator memahami masalah sebesar 42,67%, merencanakan
penyelesaian masalah sebesar 62%, melaksanakan penyelesaian masalah sebesar 35,33% dan memeriksa kembali sebesar 28%, sedangkan pembelajar
penemuan terbimbing untuk indikator memahami masalah sebesar 43,33%, merencanakan penyelesaian masalah sebesar 27,33%, melaksanakan penyelesaian masalah sebesar 23,33% dan memeriksa kembali sebesar 18%.
5.2 Saran
168
1. Bagi Guru
a. Pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing baik diterapkan
pada pembelajaran matematika di kelas, karena dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemandirian belajar siswa.
b. Dari empat indikator kemampuan pemecahan masalah matematis, yaitu
memahami masalah, merencanakan penyelesaian, melaksanakan penyelesaian masalah dan memeriksa kembali, kelemahan siswa paling
banyak ditemui adalah memeriksa kembali. Oleh karena itu, dalam setiap pembelajaran sebaiknya siswa dibiasakan untuk memeriksa kembali jawaban dengan menggunakan strategi lain dalam memeriksa hasil yang
diperoleh pada cara sebelumnya.
c. Guru matematika sebaiknya harus membuat perencanaan mengajar yang
baik dengan daya dukung sistem pembelajaran berupa buku-buku yang relevan, LAS, RPP, dan media pembelajaran yang baik pula agar model pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing lebih efektif
diterapkan pada pembelajaran matematika di kelas.
d. Guru sebaiknya menciptakan suasana belajar yang lebih banyak
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan dalam meningkatkan kemampuan matematika siswa dengan cara mereka sendiri sehingga dalam belajar matematika mereka lebih berani
169
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Untuk peneliti selanjutnya, hendaknya melakukan penelitian tentang
pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing, pada pokok bahasan yang berbeda dengan waktu penelitian yang lebih lama, agar hasil yang diperoleh mencapai maksimal.
b. Untuk penelitian lebih lanjut hendaknya penelitian ini dapat dilengkapi
dengan melakukan penelitian aspek-aspek kemampuan matematis yang
lain yaitu kemampuan pemahaman, penalaran, koneksi, dan representasi matematis secara lebih terperinci dan melakukan penelitian di tingkat sekolah yang belum terjangkau oleh peneliti saat ini.
c. Untuk peneliti yang ingin meneliti kemampuan pemecahan masalah
matematis lebih lanjut, ataupun kemampuan matematis lain, hendaknya
perlu diperhatikan perkembangan siswa untuk setiap indikator kemampuan yang akan diukur, agar hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
3. Bagi Lembaga Terkait
Model pembelajaran berbasis masalah dan penemuan terbimbing dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pembelajaran dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemandirian belajar siswa sehingga dapat dijadikan masukan dan bahan referensi bagi sekolah untuk dikembangkan sebagai strategi pembelajaran yang efektif untuk materi atau
170
DAFTAR PUSTAKA
Abdisa, G. & Getinet, T. 2012. T he Effect of Guided Discovery on Students’
Physics Achievement. Lat. Am. J. Phys. Educ. (online), vol. 6, No. 4, Dec.
2012. ISSN 1870-9095, (http://www.lajpe.org/dec2012/4_
LAJPE_715_Tesfaye_Getinet_preprint_corr_f.pdf diakses 22 September 2015).
Abdurrahman, M. 2012. Anak Berkesulitan Belajar:Teori, Diagnosis, dan
Remediasinya. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Ajai, J. T., Imoko, B. I. & O’kwu, E.I. 2013. Comparison of the Learning Effectiveness of Problem Based Learning (PBL) and Conventional Method
of Teaching Algebra. Journal of Education and Practice,(online), vol. 4
No.1, (www.iiste.org/Journals/index.php/JEP/.../4092, diakses 12 April
2015).
Akanbi, A.A. & Kolawole. 2014. Guided-discovery Learning Strategy and Senior
School Students Performance in Mathematics in Ejigbo, Nigeria. Journal
of Education and Practice, (online), vol.4, No.12, 2013. ISSN 2222-1735 (Paper). ISSN 2222-288X. (http://www.cenresinpub.org/pub/ JUNE2014
/JELD/Page%2019%20-%2042%20%20%20_0097_pdf, diakses 22
September 2015)
Akınoğlu, O. & Tandoğan, R.Ö. 2007. The Effects of Problem-Based A ctive Learning in Science Education on Students’ Academic Achievement,
Attitude and Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Science
& Technology Education, (online) 2007, 3(1), 71-81. ISSN: 1305-8223. (http://files.eric.ed.gov/ fulltext/ED495669.pdf, diakses 22 September 2015).
Andista, W. 2015. M eningkatkan Kemandirian Belajar melalui Model Problem
Based Learning pada Siswa Kelas VII B Smpn 43 P urworejo. Jurnal
Ekuivalen, (online) ,vol 16, N o 3 ( 2015). ISSN 2337-4411.(http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/ ekuivalen/ article/view/2253, diakses 22 September 2015).
Arends, R.I. & K ilcher, A. 2010. Teaching for Student Learning Becoming an
Accomplished Teacher. Routledge : New York.
Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Arsefa, D. 2014. Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Dalam Pembelajaran
2355-171
0473.(http://publikasi.stkipsiliwangi.ac.id/ files/2014/01/ Prosiding -15-Januari-2014.pdf, diakses 16 Oktober 2015).
Asmin & Mansur, A. 2014. Pengukuran dan Penilaian Hasil Belajar dengan
Analisis Klasik dan Modern. Medan : Larispa Indonesia.
Aydoğdu, M. Z. & Keşan, C. 2014. A Research on Geometry Problem Solving
Strategies Used by Elementary Mathematics Teacher Candidates. Journal
of Educational and Instructional Studies in The World, (online), February 2014, Volume: 4 Issue: 1 Article: 07 I SSN: 2146-7463.
(http://www.wjeis.org/FileUpload/ds217232/ File /07a.aydogdu.pdf,
diakses 22 September 2015).
Baumgartner, L. M. 2003.Self-directed Learning: A Goal, Process, and Personal
Atribute. In L. Baumgartner (Ed.), Adault Learning Theory: A Primer (hlm
24-28). (online) Columbus, OH: Center on Education and Training for Employment. (http://www. calpro-online.org/eric/docs/theory.pdf, diakses 20 Oktober 2015)
BSNP.2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Pertama. Jakarta : Depdiknas.
Cahyo, A. N. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar. Jogjakarta :
DIVA Press.
Effendi, L.A. 2012. Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Dan
Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan,
(online), vol. 13 N o. 2 Oktober 2012. U niversitas Pendidikan Indonesia. ISSN 1412-565X. (http://undana.ac.id/jsmallfibtop/jurnal/ pendidikan/ pendidikan_2012/pembelajaran%20matematika%20dengan%20metode%2 0%20penemuan%20terbimbing.pdf, diakses 22 September 2015)
English, M. C. & Kitsantas, A. 2013. Supporting Student Self-Regulated Learning
in Problem- and Project-Based Learning. Interdisciplinary Journal of
Problem-Based Learning,(online) volume 7, Issue 2 Article 6. (http://docs.lib.purdue.edu/ijpbl/vol7 /iss2/6/, diakses 22 September 2015).
Fahradina, N., Ansari, B.I. & Saiman. 2014. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP dengan
Menggunakan Model Investigasi Kelompok. Jurnal Didaktik Matematika.
(online), vol. 1, N o. 1, S eptember 2014. I SSN: 2355-4185. (http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/DM/article/view
/2077, diakses 12 Agustus 2015).
172
Schools and Tertiary Education: An Integratif Approach. Educational
Research and Reviews-Academic Journal, (online) vol. 8(11), pp. 663-667, 10 June, 2013. D OI: 10.5897/ERR08.154. ISSN 1990-3839 © 2013 Academic Journals. (www.academicjournals.org/.../Fatokun %20and%2, diakses 22 September 2015)
Fauzi, Kms. M. A. 2011. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan
Kemandirian Belajar Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. (online) Proceeding ISBN : 978 – 979 – 16353 – 7 – 0. (http://core.ac.uk/download/pdf/11059384.pdf, diakses 12 Agustus 2015).
Giyantra, R. 2015. Perbandingan Kemampuan Representasi dan Pemecahan
Masalah Matematik Antara Siswa yang Mendapat Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Siswa yang Mendapat Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Tesis Tidak Dipublikasikan. (online) Bandung : Program Studi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.( http://repository.upi.edu/17116/ diakses 5 Oktober 2015)
Gunantara, Gd., Suarjana, Md. & Riastini, Pt. N. 2014. P enerapan Model
Pembelajaran Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas V. Jurnal Mimbar PGSD
Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (online) Vol, 2 No: 1 Tahun 2014. (http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPGSD/article/ /view/2058, diakses 17 September 2015).
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran
Abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor : Ghalia Indonesia.
Joolingen, W.V. 1999. Cognitive tools for discovery learning. International
Journal of Artificial Intelligence in Education, (online) 10, 385-397. (http://citeseerx.ist.psu.edu
/viewdoc/download?doi=10.1.1.108.5673&rep=rep1&type=pdf,diakses 20
Oktober 2015).
Jumaisyaroh, T., Napitupulu,E.E. ,& Hasratuddin. 2014. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa
SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Kreano, ISSN :
2086-2334. Diterbitkan oleh Jurusan Matematika FMIPA UNNES. Volume 5 Nomor 2 Bulan Desember Tahun 2014.
Kemendikbud. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013
173
____________. 2011. Survei Internasional PISA. (online) Lembaga Penelitian
dan Pengembangan : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
(http://litbang.kemdikbud .go.id/index.php/survei-internasional-pisa,
diakses 20 Oktober 2015).
____________. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 104 T ahun 2014 t entang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik, pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta : Kemendikbud.
Kerlinger, F.N. 1986. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Terjemahan oleh Landung R. Simatupang. 1996. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Lavine, R.A. 2005. Commentary Guided Discovery Learning with Videotaped
Case Presentation in Neurobiology. JIAMSE © I AMSE 2005. (online), volume 15. ( http://www.iamse.org/member/article/volume15-1/15-1-4-7.pdf, diakses 22 september 2015).
Lubis, N. 2013. Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Metakognisi
Matematika Antara Siswa Yang Diberi Model Pembelajaran Berbasis Masalah Dengan Model Pembelajaran Ekspositori. Tesis tidak diterbitkan. Medan :Program Studi Pendidikan Matematika Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan.
Mardianto. 2012. Psikologi Pendidikan Landasan untuk Pengembangan Strategi
Pembelajaran. Medan : Perdana Publishing.
Markaban. 2008. Model Penemuan Terbimbing pada Pembelajaran Matematika
SMK. (online) Yogyakarta : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.
(http://p4tkmatematika.org/fasilitasi/38-penemuan-terbimbing-matematika-smk.pdf, diakses 22 September 2015).
Masruri. 2012. Implementasi Kemandirian Belajar Dan Prestasi Belajar
Mahasiswa. Cakrawala Pendidikan, (online), volume 14, Nomor 1, April
2012. ISSN 1410-9883. (http://digilib.stkippgri-blitar.ac.id/206/1/MASRU
RI_APR_2013.pdf, diakses 22 September 2015).
NCTM. 2000. Principles and Standarts for SchoolMathematics. Reston VA: The
National Council of Teachers of Mathematics Inc.
Novotná, J., Eisenmann, P., Přibyl, J., Ondrušová, J. & Břehovský, J. 2014. Problem Solving in School Mathematics Based on Heuristic Strategies. Journal on Efficiency and Responsibility in Education and Science, (online), vol. 7, N o. 1, pp. 1 -6, online ISSN 1803-1617, printed ISSN
2336-2375. doi: 10.7160/eriesj.2013.07010.(http://www.eriesjournal.com/
174
Nurdalilah., Syahputra, E. & Armanto, D. 2013. Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematika Dan Pemecahan Masalah Pada Pembelajaran Berbasis Masalah Dan Pembelajaran Konvensional Di SMA Negeri 1 K ualuh
Selatan. Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, (online), vol 6
Nomor 2, hal 109-119. (http://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/ paradikma/article/view/1056/836, diakses 22 November 2014).
OECD. 2010. Pisa 2009 Results:What Students Know And Can Do Student
Performance In Reading, Mathematics And Science Volume I.(Online),
(http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852548.pdf., diakses 20
Oktober 2015).
______. 2014. Pisa 2012 Results:What Students Know And Can Do Student
Performance In Mathematics, Reading And Science Volume I.(online),
(http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2012-results-volume-I.pdf,
diakses 20 Oktober 2015).
Ozan, C., Gundogdu, K., Bay, E. & Celkan, H.Y. 2012. A Study On University Student’ Self-Regulated Learning Strategiesskills And Self-Efficacy
Perceptions In Terms Of Different Variables. Procedia - Social and
Behavioral Sciences, (online), 46 ( 2012 ) 1806 – 1811. (http://www.sciencedirect .com/science/article/pii/S1877042812015121, diakses 22 September 2015)
Padmavathy, R.D. & Mareesh .K. 2013. E ffectiveness of Problem Based
Learning In Mathematics. (online) Vol-II, Issue-I, Jan -2013
(http://www.shreeprakashan.com/Documents/2013128181315606.6.%20P adma%20Sasi.pdf, diakses 22 November 2014).
Pimta, S., Tayruakham, S. & Nuangchalerm, P. 2009. Factors Influencing
Mathematic Problem-Solving Ability of Sixth Grade Students. Journal of
Social Sciences, (online), 5 (4): 381-385, 2009. I SSN 1549-3652.(http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED506983.pdf,diakses 17 September 2015)
Polya, G. 1973. How To Solve It A New Aspect Of Mathematical Method.
Princeton New jerssey : Princeton University Perss.
Purba, Y. O. 2015. Perbedaan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa yang diberi Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pembelajaran PAIKEM. Tesis tidak diterbitkan. Medan :Program Studi Pendidikan Matematika Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan.
Purnomo, Y.W. 2011. Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan
Cooperative Learning Pada Pembelajaran Matematika. Jurnal