• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transmission of Solar Radiation and Extinction Coefficient Potato (Solanum tuberosum L.) in Galudra, Cipanas – West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transmission of Solar Radiation and Extinction Coefficient Potato (Solanum tuberosum L.) in Galudra, Cipanas – West Java"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

DI GALUDRA, CIPANAS - JAWA BARAT

ARIYANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ARIYANI. Transmission of Solar Radiation and Extinction Coefficient Potato (Solanum tuberosum L.) in Galudra, Cipanas – West Java. Supervised by HANDOKO.

Potatoes are one of the important vegetable crops in Indonesia. In general, potato can grow in the tropics and subtropics. In an effort to develop this plant in Indonesia is necessary to study the environmental conditions suitable for the growth and development, in relation to climate variables. One of the important climatic variables is the solar radiation. The study was conducted in the Village of Galudra, Cipanas, West Java with the aim to find the proportion of radiation transmitted by the potato crop and canopy extinction coefficient. Transmission of radiation is the radiation energy that passes on the ground under the canopy while the canopy extinction coefficient is the rate of reduction of radiation by the plant canopy. Transmission of radiation is a function of LAI, where LAI higher LAI will result in reduced transmitted radiation. The canopy extinction coefficient and radiation interception (Qint) increased with LAI. This is because the ability of canopy to cover the soil surface decreases by which so much radiation escapes into the ground under the canopy.

(3)

ARIYANI. Transmisi Radiasi Surya dan Koefisien Pemadaman Tajuk Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Galudra, Cipanas – Jawa Barat. Dibimbing oleh HANDOKO.

Kentang merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Indonesia. Secara umum tanaman kentang termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropik dan subtropik. Dalam usaha pengembangan tanaman ini di Indonesia diperlukan kajian mengenai kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangannya terutama unsur iklim. Salah satu unsur iklim yang penting adalah radiasi surya. Penelitian dilakukan di Desa Galudra, Cipanas, Jawa Barat dengan tujuan mengetahui proporsi radiasi yang ditransmisikan oleh tanaman kentang dan nilai koefisien pemadaman tajuk. Transmisi radiasi adalah energi radiasi surya yang lolos pada permukaan tanah bawah tajuk sedangkan koefisien pemadaman tajuk adalah laju pengurangan radiasi surya oleh kanopi tanaman. Transmisi radiasi merupakan fungsi dari LAI, yang semakin besar LAI maka transmisi radiasi semakin kecil. Koefisien pemadaman tajuk dan radiasi intersepsi (Qint) meningkat dengan LAI yang makin tinggi. Hal ini dikarenakan kemampuan tajuk untuk menutupi permukaan tanah semakin berkurang sehingga banyak radiasi yang lolos ke permukaan tanah bawah tajuk.

(4)

DI GALUDRA, CIPANAS - JAWA BARAT

ARIYANI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Cipanas

Jawa Barat

Nama :

Ariyani

NIM : G24062516

Menyetujui:

Dosen Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc)

NIP : 19591130 198303 1 003

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS)

NIP: 19600305 198703 2 002

(6)

dapat diselesaikan. Judul dari karya ilmiah ini adalah Transmisi Radiasi Surya dan Koefisien Pemadaman Tajuk Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Galudra, Cipanas – Jawa Barat.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc. selaku pembimbing penelitian yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Salwati, SP. M.Si atas saran dan nasehat yang diberikan, serta Bapak Agus yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian di lapang. Selain itu, rasa terima kasih juga disampaikan kepada Kak Wahyu Suprapto atas bantuannya dalam pemasangan alat di lapang, teman – teman di Galudra Ria H. Agustina, Titik Kodarsih, dan Kak Hardie terima kasih atas kerjasamanya.

Terima kasih sedalamnya untuk Ibu, Bapak, Kakak, dan Adikku atas doa dan kasih sayangnya, serta untuk Anang atas dukungannya. Teman – teman di GFM, Sarah, Sandro, Willy, Maya dan GFM 43 lainnya, terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya serta sahabat – sahabat terbaikku Siska, Lina, Nira, Mbak Reikha, Mbak Vika, Meri, Mbak Jane, dan adikku Novi terima kasih atas kasih sayang, kebersamaan dan dukungannya selama ini.

Akhir kata, penulis harapkan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan informasi bagi yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2011

(7)

Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 1 Agustus 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, anak dari pasangan Bapak Rimin dan Ibu Pariyem.

Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sukoharjo tahun 2006 dan diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun yang sama. Penulis memilih mayor Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(8)

DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1Tanaman Kentang ... 1

2.1.1 Karakteristik Tanaman Kentang ... 1

2.1.2 Pertumbuhan dan Produksi Tanaman ... 2

2.2 Radiasi Surya ... 2

2.3 Pengaruh Cahaya terhadap Pertumbuhan Tanaman ... 2

2.3.1 Radiasi Transmisi dan Intersepsi ... 3

2.3.2 Indeks Luas Daun (LAI) ... 4

2.3.3 Koefisien Pemadaman Tajuk (k) ... 4

BAB III METODOLOGI ... 5

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 5

3.2 Bahan dan Alat ... 5

3.3 Pelaksanaan ... 5

3.4 Koefisien Pemadaman Tajuk ... 5

3.4.1 Pengukuran Kalibrasi Tube Solarimeter ... 5

3.4.2 Pengukuran Transmisi Radiasi ... 6

3.4.3 Pengukuran Indeks Luas Daun (LAI) ... 6

3.4.4 Penurunan Koefisien Pemadaman (k) ... 6

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6

4.1 Kurva Kalibrasi Tube Solarimeter ... 6

4.2 Perubahan Transmisi Radiasi Surya ... 6

4.3 Koefisien Transmisi Radiasi... 7

4.4 Koefisien Pemadaman Tajuk ... 8

4.5 Hubungan LAI dengan Intersepsi Radiasi ... 9

BAB V KESIMPULAN ... 9

Kesimpulan ... 9

DAFTAR PUSTAKA ... 9

(9)

DAFTAR TABEL

(10)

DAFTAR GAMBAR

Hal 1. Kalibrasi antara solarimeter untuk pengukuran

radiasi transmisi (Qτ) dengan solarimeter standar (Qo) ... 6 2. Hubungan antara radiasi surya di atas tajuk tanaman (Qo)

dengan radiasi transmisi (Qτ) pada LAI yang berbeda ... 7 3. Koefisien transmisi radiasi minggu ke 3, 4, 5, dan 7

(Garis vertikal menunjukkan 2 x standar deviasi) ... 7 4. Hubungan antara indeks luas daun (LAI) dengan

koefisien pemadaman tajuk (k) ... 8 5. Hubungan antara intersepsi radiasi (Qint) dengan

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal 1. Hasil pengukuran radiasi datang dan radiasi transmisi

tanaman kentang pada minggu ke 3 ... 12 2. Hasil pengukuran radiasi datang dan radiasi transmisi

tanaman kentang pada minggu ke 4 ... 14 3. Hasil pengukuran radiasi datang dan radiasi transmisi

tanaman kentang pada minggu ke 5 ... 17 4. Hasil pengukuran radiasi datang dan radiasi transmisi

tanaman kentang pada minggu ke 7 ... 20 5. Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k)

pada minggu ke 3 ... 23 6. Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k)

pada minggu ke 4 ... 24 7. Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k)

pada minggu ke 5 ... 25 8. Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k)

9. pada minggu ke 7 ... 26 10. Solarimeter yang digunakan untuk pengukuran radiasi surya

dan kondisi fisik tanaman kentang di lapang ... 27 11. Cara pemasangan solarimeter untuk pengukuran

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan bahan pangan masyarakat Indonesia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Keadaan tersebut mendorong pencarian dan pengembangan sumber bahan pangan baru dalam usaha perluasan aneka bahan pangan (diversifikasi pangan), agar kondisi rawan pangan dapat dihindari.

Salah satu sumber bahan pangan yang dapat menjadi alternatif adalah kentang, sebab kentang merupakan bahan pangan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dan merupakan salah satu bahan makanan pokok di dunia selain beras, gandum, dan jagung.

Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Indonesia. Produksi kentang telah berkembang pesat selama dekade terakhir dan kini Indonesia telah menjadi Negara penghasil kentang terbesar di Asia Tenggara (Anonim 2008).

Dalam usaha pengembangan tanaman kentang di Indonesia diperlukan pengkajian yang mendalam mengenai keadaan lingkungan terutama kondisi iklim yang sesuai bagi tanaman ini, sehingga dapat diketahui tingkat produksi dan efisiensinya. Unsur iklim yang cukup penting bagi tanaman ialah radiasi surya. Radiasi surya merupakan sumber energi utama bagi tanaman untuk pertumbuhan, perkembangan, dan produksi bahan kering (Boer 1999).

Radiasi surya merupakan faktor penting bagi tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung radiasi dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan dan secara tidak langsung radiasi dimanfaatkan dalam proses fotosintesis.

Diharapkan pada akhirnya tanaman ini dapat terus dikembangkan, sehingga dapat menjadi salah satu komoditas pertanian di Indonesia yang dapat diandalkan.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi radiasi surya yang ditransmisikan oleh tanaman kentang dan nilai koefisien pemadaman tajuk tanaman.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kentang

2.1.1 Karakteristik Tanaman Kentang

Kentang adalah tanaman semusim yang hanya sekali berproduksi dan berumur pendek 90 – 180 hari. Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan ke dalam divisi

Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, family Solanaceae, genus Solanum, dan spesies Solanum tuberosum L. Kentang berasal dari daerah subtropika yaitu dataran tinggi Andes, Amerika Utara. Secara umum kondisi iklim yang sesuai untuk budi daya kentang adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian 1000 – 1300 m.dpl, curah hujan 1500 mm/tahun, suhu rata – rata harian 18 – 21ºC, serta kelembaban udara 80 -90% (Astawan 2004). Sementara itu, kentang di Indonesia ditanam pada ketinggian 600 – 2000 m dpl dengan kondisi iklim dan tanah yang berbeda – beda (Sunarjono et al. 1980).

Karakter luas daun pada tanaman kentang diklasifikasikan dalam 4 kelas, yaitu sangat luas (>10 cm), luas (8 – 10 cm), sedang (6 – 8 cm), dan kecil (<6 cm). Karakter ini dapat membantu untuk membedakan jenis kentang yang tumbuh pada tempat yang sama, tetapi perbedaan luas daun tersebut juga dapat disebabkan karena kondisi lingkungannya (Burton 1989).

Kentang merupakan salah satu makanan pokok di dunia selain beras, gandum, dan jagung. Menurut Jaya (1998) menyebutkan bahwa setiap 100 g kentang mengandung kalori 83 kal, 2.0 g protein, 19.1 g karbohidrat, 11 mg kalsium, 56 mg fosfor, 0.7 mg besi, 0.11 mg vitamin B1, 17 mg vitamin C, 77.8 g air, dan yang paling rendah kandungan lemaknya yaitu 0.1 g.

Oleh sebab itu, tanaman kentang merupakan tanaman penunjang program diversifikasi pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat (Nurmayulis 2005).

2.1.2 Pertumbuhan dan Produksi Tanaman

(13)

pascapanen yang kurang baik juga dapat menyebabkan kerusakan umbi kentang sebesar 2 – 10% serta menimbulkan bagian terbuang mencapai 10% (Astawan 2004).

Jawa Barat merupakan penyumbang terbesar kentang di Indonesia, tetapi produktivitas rata – rata yang dicapai masih rendah yaitu 16.20 ton/ha. Produktivitas tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas rata – rata nasional yang mencapai 19.20 ton/ha (Bachrein et al. 1997 dalam Koswara 2007).

2.2 Radiasi Surya

Radiasi surya merupakan sumber utama proses – proses fisika atmosfer yang menentukan keadaan cuaca dan iklim atmosfer bumi. Selain itu, radiasi surya mempunyai ciri yang khas yaitu sifat keberadaannya selalu berubah – ubah tergantung pada keadaan atmosfer dan geometri matahari. Radiasi surya yang sampai puncak atmosfer 1360 W/m2 sedangkan yang sampai permukaan bumi setengah dari radiasi surya yang sampai puncak atmosfer dan 30% dari radiasi surya yang sampai permukaan bumi dipantulkan kembali ke luar angkasa. Energi radiasi surya yang sampai ke permukaan bumi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu (1) jarak antara matahari dan bumi, setiap perubahan jarak matahari dan bumi menimbulkan variasi terhadap penerimaan energi radiasi surya. (2) Intensitas radiasi matahari yaitu besar kecilnya sudut datang matahari pada permukaan bumi. Jumlah radiasi surya yang diterima permukaan bumi berbanding lurus dengan besarnya sudut datang matahari. Radiasi surya dengan sudut datang miring kurang memberikan energi pada permukaan bumi dikarenakan energinya tersebar pada permukaan yang luas dan harus menempuh lapisan atmosfer yang lebih jauh jika dibandingkan dengan radiasi surya yang sudut datangnya tegak lurus. (3) Panjang hari (sun duration) yaitu lama antara matahari terbit dan terbenam. (4) Pengaruh atmosfer, radiasi surya yang datang sebagian akan diserap oleh gas – gas, debu dan uap air, dipantulkan kembali, dipancarkan, dan sisanya diteruskan ke permukaan bumi (Handoko 1995).

Intensitas radiasi surya di permukaan bumi tergantung dari lintang tempat, ketebalan awan, topografi, dan musim. Awan di atmosfer menyebabkan penerimaan radiasi surya di permukaan bumi bervariasi, 40% di daerah basah dengan banyak awan dan 80% di daerah gurun yang kering (Larcher 1980). Hal

yang sama juga dikemukakan oleh Handoko (1994) bahwa faktor dominan yang mempengaruhi penerimaan radiasi surya di permukaan bumi adalah keadaan awan. Daerah padang pasir dengan keawanan rendah akan menerima jumlah radiasi surya yang besar. Sebaliknya daerah banyak hujan seperti Indonesia, radiasi surya akan lebih banyak dipantulkan oleh awan pada musim hujan sehingga lebih sedikit radiasi surya yang sampai di permukaan bumi.

Di Indonesia yang beriklim tropis, intensitas radiasi surya dipengaruhi oleh musim, letak geografis, dan ketinggian tempat. Pada musim hujan dimana terdapat banyak awan penerimaan intensitas radiasi surya berkisar 47% dan pada musim kemarau dimana pembentukan awan relatif berkurang, radiasi surya dapat mencapai 70% (Lawlor 1993). Selain itu, menurut Larcher (1980) banyaknya gunung di daerah tropis juga mempengaruhi penerimaan intensitas radiasi surya. Pada dataran tinggi, karena rendahnya derajat kekeruhan (polusi udara) maka penerimaan intensitas radiasi surya akan lebih besar dibandingkan dengan dataran rendah.

2.3 Pengaruh Cahaya terhadap Pertumbuhan Tanaman

Cahaya merupakan faktor esensial pertumbuhan dan perkembangan tanaman disamping unsur hara dan air (Purnomo dan Sitompul 2006). Hal ini dikarenakan cahaya memegang peranan penting dalam proses fisiologi tanaman, terutama fotosintesis, respirasi, dan transpirasi.

Unsur radiasi surya yang penting bagi tanaman adalah intensitas cahaya, kualitas cahaya, dan lamanya penyinaran. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah (Gardner et al. 1991, dalam

(14)

gelombang tersebut dan paling jelas pada spectrum hijau ( = 0.52 m) (Sitompul 2002).

Sebagian besar radiasi surya yang sampai ke permukaan daun pada awal pertumbuhan tanaman dimanfaatkan untuk penambahan luas daun. Penambahan luas daun ini akan meningkatkan penyerapan energi radiasi surya oleh daun (Fitter dan Hay 1994).

Menurut Nurmayulis (2005), cahaya yang diterima permukaan daun terdiri atas empat komponen, yaitu cahaya langsung, cahaya difus, cahaya refleksi, dan cahaya transmisi. Cahaya langsung banyak diperoleh oleh daun yang berada pada kanopi bagian atas (yang tidak ternaungi) sedangkan daun – daun bagian bawah memperoleh cahaya tidak langsung dalam bentuk cahaya difus, cahaya yang direfleksikan, dan ditransmisikan oleh daun lain. Hal ini berarti distribusi cahaya dalam tajuk berhubungan erat dengan karakteristik daun dan arsitektur tajuk. Arsitektur tajuk meliputi bentuk daun, sudut daun, dan pola distribusi daun (filotaksis) dalam ruang tajuk. Penyebaran daun dalam ruang tajuk yang menyebar sedemikian rupa dapat mengakibatkan jumlah cahaya yang diterima oleh setiap helaian daun tidak sama. Hal ini dapat mengakibatkan laju fotosintesis daun – daun di lapisan tajuk bawah lebih rendah (Raden et al. 2008)

2.3.1 Radiasi Transmisi dan Intersepsi

Radiasi surya yang diintersepsi selain digunakan untuk pemanasan udara juga digunakan untuk evapotranspirasi dan fotosintesis. Rendahnya radiasi intersepsi juga menyebabkan rendahnya fotosintesis (Sulistyono et al. 2006).

Radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung pada radiasi surya yang datang yaitu yang sampai pada permukaan tajuk tanaman, indeks luas daun, kedudukan atau sudut daun dan distribusi daun dalam tajuk (Sitompul 2002).

Menurut Sitompul (2002) radiasi surya yang diintersepsi dalam tajuk tanaman dapat diperoleh dari selisih radiasi surya yang sampai pada permukaan atas tajuk tanaman dengan radiasi surya yang lolos pada permukaan tanah dibawah tajuk. Dengan demikian radiasi intersepsi sangat dipengaruhi oleh faktor indeks luas daun dan kerapatan tanaman (Perdinan 2002).

Menurut Sugito (1995) salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi intersepsi cahaya dapat dilakukan dengan meningkatkan populasi atau dengan cara memperpendek

jarak tanam sehingga kanopi tanaman lebih cepat menutup permukaan tanah sehingga cahaya yang jatuh tidak banyak yang lolos.

Menurut Handoko (1994) Hukum Beer digunakan untuk menghitung besarnya radiasi intersepsi dengan persamaan :

Qint = Qo*(1 –τ) (1)

ditransmisikan oleh tajuk tanaman

o k : koefisien pemadaman o LAI : indeks luas daun

Menurut Le Roux et al. (1996) fraksi radiasi intersepsi (fQint) oleh kanopi dapat dirumuskan

sebgai berikut :

fQint = 1- τ (3)

τ adalah rasio antara radiasi surya yang ditransmisikan dengan radiasi surya yang datang, fQint harian dapat dirumuskan sebagai

rasio antara radiasi intersepsi harian dengan radiasi harian yang datang antara matahari terbit dan terbenam. Nilai dari persamaan fQint

sesuai untuk radiasi intersepsi pada tanaman yang masih hijau daunnya.

Menurut Monteith (1976) cahaya yang menimpa daun dapat sebagian dipantulkan dan ditransmisikan, dan banyaknya cahaya yang dipantulkan dan ditransmisi tergantung pada sifat daun yang dinyatakan dengan koefisien τ untuk transmisi.

(15)

Radiasi surya yang dipantulkan, ditransmisi, dan diabsorbsi daun dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Sumber : Mavi dan Tupper 1984

Transmisi radiasi surya yang melewati tajuk tanaman akan konstan setelah LAI maksimum tercapai.

2.3.2 Indeks Luas Daun (LAI)

Istilah indeks luas daun (LAI) diperkenalkan oleh Watson pada tahun 1947 yang merupakan nisbah luas daun dengan luas lahan, karena cahaya matahari tersebar merata, maka LAI secara kasar juga dapat diartikan sebagai ukuran luas daun per unit cahaya matahari yang tersedia (Gardner et al.

1985, dalam Indradewa 1997)

LAI dapat dihitung dengan menggambar bentuk daun pada kertas kemudian kertas diukur dengan planimeter, setelah itu dibuat hubungan antara luas daun dengan berat daun, sehingga luas daun dapat diduga dengan perbandingan antara luas daun dengan berat daun (Sudjatmiko 1984)

LAI yang menyebabkan laju pertumbuhan tanaman maksimum disebut LAI optimum yang biasanya terjadi pada saat tanaman dapat menerima 95% cahaya matahari dan LAI ini disebut LAI kritik. Laju pertumbuhan tanaman maksimum akan terjadi jika cukup luas daun dapat dipertahankan untuk menerima sebagian besar cahaya matahari. Peningkatan luas daun di bawah nilai tertentu akan meningkatkan laju pertumbuhan tanaman dan di atas nilai tersebut penambahan luas daun akan menyebabkan laju pertumbuhan tanaman menurun kembali (Gardner et al. 1985, dalam Indradewa 1997). LAI setiap tanaman berbeda – beda tergantung morfologi daun masing – masing tanaman. Jumlah populasi juga sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai LAI. Semakin rapat tanaman akan meningkatkan nilai LAI. Kondisi tersebut terjadi karena jarak antar tajuk tanaman semakin dekat, sehingga kemampuan tajuk tanaman untuk

menutupi permukaan tanah tempat berdirinya tegakan menjadi semakin besar. Hal ini juga dijelaskan oleh Sassenrath-Cole (1995), dalam

Khasanah (2008) bahwa LAI bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman dan mencapai maksimum pada saat pertumbuhan kanopi telah rapat. Selain itu, faktor eksternal juga mempengaruhi nilai LAI optimal seperti jarak tanam (kerapatan tanaman) maupun sistem tanam.

Menurut Biscoe dan Gallagher (1977) pada beberapa tanaman dengan LAI berkisar 4 – 5 dapat mengintersepsi sekitar 80% radiasi yang datang di atas tajuk, sedangkan untuk tanaman kentang menurut Burke (2010) pada LAI 3 dapat mengintersepsi sekitar 85% radiasi yang datang di atas tajuk.

2.3.3 Koefisien Pemadaman Tajuk (k)

Pemadaman adalah suatu istilah yang mencakup semua kejadian dimana radiasi yang melewati suatu medium akan menjadi lemah atau berkurang intensitasnya. Kemampuan pemadaman cahaya oleh kanopi tanaman dapat diketahui melalui nilai koefisien pemadaman (k). Penyerapan cahaya oleh tanaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai k. Semakin besar nilai koefisien pemadaman (k) pada tajuk tanaman maka kemampuan menghambatnya akan semakin tinggi, sehingga cahaya yang masuk ke tajuk tanaman akan terhambat (Sudjatmiko 1984)

Koefisien pemadaman tajuk (k) menggambarkan besar kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (Boer dan Las 1994). Setiap jenis tanaman memiliki koefisien pemadaman (k) yang berbeda tergantung pada indeks luas daun (LAI). Nilai k dipengaruhi oleh sudut datang matahari dan sudut daun serta sebarannya. Jika sudut datang matahari kecil maka hampir seluruh radiasi matahari akan diintersepsi tajuk. Jika sudut daun besar (daun vertikal) sebagian besar radiasi matahari dapat sampai ke dasar tajuk, tetapi jika sudut daunnya kecil (daun horizontal) maka sebagian besar radiasi dapat diintersepsi oleh tajuk bagian atas (Monteith 1976) sedangkan menurut Saeki (1960) koefisien pemadaman suatu tanaman dipengaruhi oleh sifat optik daun, sudut daun, dan transmisibilitas daun.

(16)

menurut Squire et al. (1984), dalam Boer dan Las (1994) menyatakan bahwa nilai koefisien pemadaman tanaman tidak bergantung pada LAI.

Namun, bertambahnya LAI tidak selalu diikuti dengan menurunnya koefisien pemadaman sebab koefisien pemadaman juga dipengaruhi oleh perbandingan Qt / Qo dan sudut daun.

Koefisien pemadaman tajuk dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan Hukum Beer untuk transmisi. Pola pemadaman tajuk sesuai dengan hukum absorbsi Lambert – Beer yang menyatakan bahwa setiap lapisan yang tebalnya sama akan menyerap bagian radiasi yang sama dan yang melewatinya. Untuk tajuk tanaman, lapisan yang sama tebalnya didasarkan pada satuan LAI. Jadi, jumlah cahaya matahari yang menembus melalui tajuk dipengaruhi oleh LAI dan pola penempatan daun. Koefisien pemadaman (k) memberikan petunjuk numerikal penipisan cahaya dalam tajuk. Menurut Awal et al. (2006) persamaan nilai k (koefisien pemadaman tajuk) yang diturunkan dari Hukum Beer adalah sebagai berikut :

(4)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan data primer radiasi surya pada tanaman kentang dilakukan pada bulan April 2010 – Mei 2010 di Desa Galudra, Cugenang, Cipanas, Puncak Bogor, Jawa Barat. Daerah ini terletak pada 06º46’50’’ LS dan 107º02’01’’ BT, memiliki karakteristik iklim seperti ketinggian 1250 m.dpl dan CH 1000 – 4000 mm/tahun (150 mm/bulan). Pengambilan data diambil seminggu sekali setiap hari Jumat pukul 08.30 – 16.00 WIB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit kentang, varietas Granola, pupuk, dan obat pengendali hama penyakit tanaman. Alat – alat yang digunakan adalah tube solarimeter untuk mengukur radiasi surya, kabel yang digunakan untuk menghubungkan solarimeter dengan AVO Meter, AVO (Ampere Volt Ohm) meter, water pass, dan seperangkat komputer untuk pengolahan data. Perangkat lunak yang

digunakan untuk pengolahan data adalah Microsoft Excel.

3.3 Pelaksanaan

Radiasi surya diukur menggunakan tube solarimeter pada ketinggian 10 cm di atas tanah dan solarimeter standar pada 1 m di atas tempat terbuka.

Pengambilan data dilakukan setiap 15 menit dengan 3 kali pencatatan data untuk mendapatkan data yang akurat. Selain pengambilan data radiasi di lapangan, dilakukan juga pengambilan data kalibrasi yang dilakukan di kampus IPB Darmaga untuk membandingkan setiap alat dengan input radiasi yang sama.

Data yang diperoleh dibuat grafik linier antara radiasi datang (Qo) dengan radiasi transmisi (Qτ) dalam satuan W/m2 untuk mencari nilai koefisien transmisi (τ).

3.4 Koefisien Pemadaman Tajuk

3.4.1 Pengukuran Kalibrasi Tube Solarimeter

Pengukuran kalibrasi alat dilakukan pada hari Kamis tanggal 8 April 2010 di Kampus IPB, Dramaga. Pengambilan data dilakukan pukul 07.30 sampai pukul 13.00 WIB. Data kalibrasi ini digunakan untuk membandingkan setiap alat dengan input radiasi yang sama dengan satuan mV.

3.4.2 Pengukuran Transmisi Radiasi

Transmisi radiasi surya diukur menggunakan tube solarimeter yang dihubungkan dengan AVO (Ampere Volt Ohm) meter yang diletakkan di atas dan di bawah tajuk tanaman kentang yang digunakan untuk menghitung besarnya koefisien transmisi radiasi surya yang datang pada tanaman tersebut dengan persamaan sebagai berikut :

τ = Qτ/Qo

3.4.3 Pengukuran Indeks Luas Daun (LAI)

(17)

3.4.4 Penurunan Koefisien Pemadaman (k)

Koefisien pemadaman berdasarkan Hukum Beer dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

τ = e-k. LAI

-k. LAI = Ln τ

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kurva Kalibrasi Tube Solarimeter

Kalibrasi alat dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran solarimeter yang digunakan dengan pengukuran menggunakan solarimeter standar.

Gambar 1 Kalibrasi antara solarimeter untuk pengukuran radiasi transmisi (Qτ) dengan solarimeter standar (Qo) Gambar 1 menyajikan hasil kalibrasi solarimeter yang digunakan untuk pengukuran transmisi radiasi yang dibandingkan dengan solarimeter standar yang juga digunakan untuk pengukuran radiasi diatas tajuk tanaman.

4.2 Perubahan Transmisi Radiasi Surya

Transmisi radiasi surya adalah energi radiasi surya yang lolos pada permukaan tanah dibawah tajuk. Transmisi radiasi berbeda diantara daun sehubungan dengan perkembangan daun (ketebalan daun dan kandungan pigmen seperti klorofil). Menurut Rosenberg (1997), dalam Sulistyono et al.

(2006) besarnya radiasi transmisi dipengaruhi oleh karakter kanopi yaitu luas daun, sudut daun, filotaksis, jumlah daun, dan ukuran daun.

y = 0.6438x R2= 0.9975

0 2 4 6 8 10 12 14

0 10 20 30

Qo

(

mV

)

(18)

Gambar 2 Hubungan antara radiasi surya di atas tajuk tanaman (Qo) dengan radiasi transmisi (Qτ) pada LAI yang berbeda

Berdasarkan Gambar 2, nilai transmisi radiasi surya selalu berubah setiap minggu yang dipengaruhi oleh nilai LAI. Pada minggu ketiga (LAI = 1.98) diperoleh nilai transmisi radiasi surya 0.369, pada minggu keempat (LAI = 1.33) diperoleh nilai transmisi radiasi surya 0.787, dan pada minggu kelima (LAI = 0.84) diperoleh nilai transmisi radiasi surya 0.862. Berdasarkan nilai LAI dan transmisi radiasi surya dari minggu ketiga sampai minggu ketujuh terlihat bahwa semakin kecil nilai LAI maka transmisi radiasi surya semakin besar.

Peningkatan transmisi radiasi surya dan penurunan LAI setiap minggu dikarenakan tanaman terserang hama dan penyakit hawar daun yang terlihat dari jumlah daun yang semakin berkurang setiap minggu sehingga kemampuan tanaman untuk menyerap radiasi juga berkurang yang menyebabkan banyak radiasi yang ditransmisikan.

4.3 Koefisien Transmisi Radiasi

Indek luas daun (LAI) merupakan nisbah luas daun terhadap luas lahan atau bidang di bawahnya, sedangkan koefisien transmisi radiasi merupakan rasio antara radiasi yang lolos pada permukaan tanah bawah tajuk dengan radiasi yang datang pada permukaan tajuk.

Gambar 3 Koefisien transmisi radiasi minggu ke 3, 4 , 5, dan 7 (Garis vertikal menunjukkan 2 x standar deviasi) Gambar 3 menyajikan grafik hubungan antara LAI dengan koefisien transmisi (τ) dan standar deviasinya (STD). Grafik tersebut menunjukkan bahwa koefisien transmisi radiasi dan LAI berbanding terbalik, semakin besar nilai LAI maka koefisien transmisi radiasinya semakin kecil. Hal ini dikarenakan, semakin besar nilai LAI, permukaan daun semakin luas sehingga kemampuan tajuk tanaman untuk menutupi permukaan tanah semakin besar.

Dalam persamaan yang dibuat Saeki (1960) untuk menentukan sebaran radiasi surya dalam tajuk tanaman, disebutkan bahwa sebaran radiasi surya dalam tajuk tanaman merupakan fungsi dari LAI dengan persamaann Qτ / Qo = f (LAI).

Koefisien transmisi radiasi surya tertinggi dicapai ketika nilai LAI paling rendah yaitu

0.0 200.0 400.0 600.0 800.0 1000.0 1200.0

(19)

0.84 dan koefisien transmisi radiasi surya terkecil dicapai pada minggu ketiga yaitu 0.39 dengan LAI 1.98.

Nilai koefisien transmisi radiasi surya meningkat setiap minggu sedangkan indeks luas daun (LAI) semakin menurun. Hal ini dikarenakan tanaman terserang hama dan penyakit hawar daun sehingga jumlah daun semakin berkurang. Pengurangan jumlah daun menyebabkan radiasi yang diintersepsi semakin berkurang sehingga fotosintesis pada daun terganggu yang menyebabkan produksi biomassa untuk pertumbuhan tanaman juga terganggu.

4.4 Koefisien Pemadaman Tajuk

Nilai koefisien pemadaman tajuk (k) dipengaruhi oleh sudut datang cahaya matahari dan sudut daun, sedangkan menurut Saeki (1960) nilai k dipengaruhi oleh sifat optik daun, sudut daun, dan transmisibilitas daun. Saeki (1960) berpendapat bahwa koefisien pemadaman berbanding terbalik dengan indeks luas daun (LAI), semakin besar LAI menyebabkan koefisien pemadaman menjadi kecil dan sebaliknya. Namun, pertambahan LAI tidak selalu diikuti dengan penurunan koefisien pemadaman sebab koefisien pemadaman juga dipengaruhi oleh perbandingan Qt / Qo dan sudut daun. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 yang menunjukkan nilai koefisien pemadaman tanaman kentang meningkat dengan peningkatan LAI. Hal ini mungkin disebabkan semakin besar LAI maka daun – daun tanaman semakin horizontal. Selain itu juga dikarenakan laju pengurangan radiasi yang semakin besar sehingga radiasi yang sampai permukaan tanah semakin kecil.

Tabel 2 Indeks luas daun (LAI) dan koefisien pemadaman tajuk (k) menurut

Gambar 4 Hubungan antara indeks luas daun (LAI) dengan koefisien pemadaman tajuk (k)

Berdasarkan Tabel 2 nilai koefisien pemadaman (k) berkisar antara 0 - 1, dimana jika nilai k = 0 maka semua radiasi surya yang datang lolos sampai permukaan tanah sedangkan k = 1 berarti sebagian besar radiasi surya yang datang diintersepsi oleh tajuk tanaman.

Menurut Purnomo dan Sitompul (2006) penurunan jumlah energi radiasi surya yang diserap oleh kanopi tanaman disebabkan oleh pemangkasan daun dan umur tanaman. Hal inilah yang menyebabkan mengapa jumlah energi radiasi surya yang diserap tanaman kentang menurun dikarenakan adanya pemangkasan daun pada bagian yang terserang hama dan penyakit hawar daun. Selain itu, semakin bertambah umur akan diikuti dengan pertambahan daun yang semakin tegak (vertikal).

Gambar 4 menyajikan grafik hubungan antara LAI dengan nilai k yang terlihat bahwa semakin besar LAI maka nilai k juga semakin meningkat. Namun, pada hasil penelitian Sudjatmiko (1984) pada tanaman jagung (Zea mays L.) dan hasil penelitian Widiyatno (1998) pada tanaman lada perdu (Piper nigrum L.) diperoleh bahwa semakin besar nilai LAI maka koefisien pemadaman (k) pada tanaman semakin kecil.

4.5 Hubungan LAI dengan Intersepsi Radiasi

(20)

permukaan tajuk (Qo), LAI, sudut daun, dan distribusi daun dalam tajuk.

Tabel 3 Nilai intersepsi radiasi (Qint) dan koefisien transmisi (τ)

Gambar 5 Hubungan antara intersepsi radiasi (Qint) dengan indeks luas daun (LAI)

Hubungan antara Qint dengan LAI disajikan pada Gambar 5 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai LAI maka Qint akan semakin besar. Nilai Qintersepsi tertinggi terjadi pada minggu ketiga yaitu 172 W/m2 dan terendah pada minggu keempat digunakan untuk mengukur radiasi transmisi mengalami gangguan sehingga data yang diperoleh tidak dapat digunakan, sedangkan untuk minggu keenam tidak dilakukan perhitungan LAI dikarenakan contoh daun tanaman yang digunakan untuk menghitung LAI busuk sehingga LAI pada minggu keenam tidakdimasukkan dalam analisis.

V. KESIMPULAN

Proporsi radiasi surya yang ditransmisikan oleh tanaman kentang meningkat dengan LAI yang menurun, atau transmisi radiasi surya dan LAI berbanding terbalik.

Dalam penelitian ini nilai koefisien pemadaman tajuk (k) tanaman kentang tidak konstan, melainkan semakin besar nilai LAI, koefisien pemadaman (k) pada tanaman kentang juga semakin besar. Hal ini mungkin dikarenakan sudut daun pada tanaman yang masih horizontal pada awal pertumbuhannya.

Semakin kecil LAI maka radiasi surya yang diserap oleh tajuk tanaman (Qint) juga semakin kecil. Hal ini dikarenakan kemampuan tajuk untuk menutupi permukaan tanah semakin berkurang sehingga banyak radiasi surya yang lolos ke permukaan tanah bawah tajuk.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kemampuan Indonesia untuk Produksi Kentang sangat Membanggakan. Jakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Astawan, M. 2004. Kentang : Sumber

Vitamin C dan Pencegah Hipertensi.

Kompas Cyber Media – Senior

Awal, M.A., H. Koshi, dan T. Ikeda. 2006. Radiation Interception and Use by Maize/Peanut Intercrop Canopy. Agricultural and Forest Meteorology 139 : 74 – 83.

Biscoe, P.V. dan J.N. Gallagher. 1977. A Physiological Analysis of Cereal Yield and Production of Dry Matter. Agr. Progress, Vol 53 : 34 – 69

Boer, R dan I. Las. 1994. Koefisien Pemadaman Kedelai pada Beberapa Tingkat Radiasi. Agromet, J. Vol 10 (1&2): 29.

Boer, R. 1999. Hubungan Cuaca/Iklim terhadap Produksi Pertanian. Makalah dalam Pelatihan Penyuluh Pertanian. Bogor : IPB, FMIPA, Geofisika dan Meteorologi.

Burke, J. 2010. Growing The Potato Crop.

http://www.teagasc.ie [2 November 2010]

Burton, W.G. 1989. The Potato. 3rd ed. New York : John Wiley & Sons.

(21)

Toleransi Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian 10 : 17 – 25.

Fitter, A.H. dan R.K.M.Hay. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta : Gajah Mada University Press

Geiger, R. 1959. Climate Near The Ground.

Cambridge : Harvard University Press Haeder, H.E., dan H. Beringer. 1983. Potato.

Symposium on Potential Productivity of Field Crops Under Different Environment. Philippines : IRRI Los Banos.

Handoko. 1994. Dasar penyusunan dan aplikasi model simulasi komputer untuk pertanian. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Jurusan Geofisika dan Meteorologi.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya.

Indradewa, D. 1997. Indeks Luas Daun Kritik dan Optimum Pada Tanaman Kedelai yang Diairi Dengan Cara Genangan Dalam Parit. 6(1) : 55 – 60.

Jaya, U. November 1998. Pangan Alternatif Menopang Swasembada Pangan. Semai

: 9.

Khasanah, N. 2008. Potensial Air Daun dan Efisiensi Penggunaan Cahaya dalam Sistem Karet (Hevea brasiliensis) Monokultur dan Karet Campuran dengan Akasia (Acacia mangium). [Thesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Geofisika dan Meteorologi.

Koswara, E. 2007. Teknik Pengamatan Penggunaan Pupuk Anorganik Majemuk dan Tunggal pada Beberapa Varietas Kentang. Buletin Teknik Pertanian 12 (2) : 54.

Larcher, W. 1980. Physiological Plant Ecology. New York : Trans. M.A. Biederman – Thorson

Lawlor, D.W. 1993. Photosynthesis, Molecular, Physiological, and Environmental Processes. Hongkong : Longman Scl.Tech

Le Roux X, H. Gauthier, A. Begue, and H. Sinoquet. 1997. Radiation Absorption and Use by Humid Savanna Grassland : Assessment Using Remote Sensing and Modelling. Agriculture and Forest Meteorology 85 : 117 – 132

Mavi, H.S. dan G.J. Tupper. 1984.

Agrometeorology : Principles and Applications of Climate Studies in

Agriculture. New York : Food Products Press.

Monteith, J.L. 1976. Vegetation and the Atmosphere. London : Academic Press Inc. (London) LTD.

Nurmayulis. 2005. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) yang Diberi Pupuk Organik Difermentasi, Azospirillum sp., dan Pupuk Nitrogen di Pengalengan dan Cisarua [Thesisi]. Bandung : Universitas Padjadjaran.

Pahlevi, F. 2006. Pendugaan Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum

L.) Berdasarkan Suhu Udara dan Radiasi Surya [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Geofisika dan Meteorologi.

Perdinan. 2002. Efisiensi Pemanfaatan Radiasi Surya, Profil Suhu Udara, dan Akumulasi Panas Tanaman Soba (Fagopyrum esculentum Moench.) di Dataran Tinggi Pasir Sarongge, Cianjur-Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Geofisika dan Meteorologi. Purnomo, J dan S.M Sitompul. 2006. Irradiasi

Dalam System Agroforestri Berbasis Jati dan Pinus Serta Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai7 : 251 – 255.

Raden, I., B.S. Purwoko, Hariyadi, M. Ghulamahdi, dan E. Santosa. 2008. Karakteristik Daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dan Hubungannya dengan Fotosintesis. Bul. Agron Vol 36 (2) : 168

Saeki, T. 1960. Interrelationships Between Leaf Amount, Light Distribution and Total Photosynthesis in Plant Community. Vol 73 : 55 - 63

Sitompul, S.M. 2002. Radiasi dalam Sistem Agroforestri. Bogor.

Sudjatmiko, S. 1984. Koefisien Pemadaman dan Efisiensi Penggunaan Radiasi Matahari pada Tanaman Jagung (Zea mays L.). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Sugito, Y. 1995. Metode Ilmiah Metode Percobaan dan Penelitian Karya Ilmiah. Malang : Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

(22)

Kualitas Organoleptik Tembakau. Bul. Agron 34 : 165 – 172.

Sunarjono, S.Sahat, dan Sulaeman. 1980. Potato Varietal Improvement in Indonesia Cipanas and COsima Varieties. Symposium on Potato Production in the Humid Tropics. Bogor : Badan Litbang Pertanian. Widiyatno, T. 1998. Koefisien Penyirnaan

(23)
(24)

Lampiran 1 Hasil pengukuran radiasi datang dan radiasi transmisi tanaman kentang pada minggu ke 3

Jam pengukuran

Qo (mv)

Qτ (mv)

Qo* (mv)

Qo (w/m2)

Qτ* (mv)

Qτ (W/m2) τ 8.45 4.8 2.5 4.5 379 2.4 130 0.3

4.4 2.4 4.3 2.3

9.00 9.6 5 9.9 837 5.3 286 0.3 10 5.3

10.2 5.5

9.15 7.1 4.2 7.9 666 4.6 248 0.4 8.4 4.9

8.2 4.6

9.30 5.2 3.3 4.8 407 3.2 172 0.4 4.7 3.2

4.6 3

9.45 6.4 4.1 7.5 632 4.4 239 0.4 6.6 4.1

9.5 5

10.00 4.3 2.8 4.2 351 2.7 147 0.4 4.2 2.7

4 2.6

10.15 3.8 2.3 3.6 306 2.2 118 0.4 3.7 2.2

3.4 2

10.30 3.9 2.4 3.7 312 2.3 125 0.4 3.7 2.3

3.5 2.2

10.45 1.5 0.9 1.8 152 1.0 56 0.4 1.7 1

2.2 1.2

11.00 1 0.6 1.3 107 0.7 40 0.4 1.2 0.7

1.6 0.9

11.15 5.3 3 5.4 458 3.1 168 0.4 5.4 3.1

5.6 3.2

11.30 1.2 0.6 1.4 118 0.8 43 0.4 1.3 0.7

(25)

Keterangan : Qo = radiasi datang Qτ = radiasi transmisi τ = transmisi

*= rata - rata Jam pengukuran

Qo (mv)

Qτ (mv)

Qo* (mv)

Qo (w/m2)

Qτ* (mv)

Qτ (W/m2) τ 11.45 2.8 1.7 2.9 244 1.8 96 0.4

2.9 1.8 3 1.8

12.00 0.4 0.3 0.3 22 0.2 11 0.5 0.2 0.2

0.2 0.1

12.15 0.6 0.4 0.7 62 0.5 25 0.4 0.7 0.5

0.9 0.5

12.30 0.1 0.1 0.1 8 0.1 5 0.6 0.1 0.1

0.1 0.1

12.45 0.1 0.1 0.1 8 0.1 5 0.6 0.1 0.1

0.1 0.1

13.00 0.1 0.1 0.1 8 0.1 5 0.6 0.1 0.1

(26)

Lampiran 2 Hasil pengukuran radiasi datang dan radiasi transmisi tanaman kentang pada minggu ke 4

Jam pengukuran

Qo (mv)

Qτ (mv)

Qo* (mv)

Qo (w/m2)

Qτ* (mv)

Qτ (W/m2) τ 8.45

6.6 6.4 5.1 427 5.7 309 0.7

4.2 5.6 4.4 5.1 9.00

3.1 3.5 3.1 261 3.5 188 0.7

3 3.4

3.2 3.5 9.15

4.2 4.5 4.5 382 4.8 259 0.7

4.6 4.8 4.8 5 9.30

13.8 13.5 12.6 1062 12.2 662 0.6 11.4 10.8

12.6 12.3

9.45 3.2 3.6 3.2 270 3.6 197 0.7

3.3 3.7 3.1 3.6

10.00 6.8 6.6 7.0 587 6.9 373 0.6

7 6.9

7.1 7.1 10.15

4.7 5.3 4.9 410 5.3 289 0.7

4.9 5.3

5 5.4

10.30

1.8 2 1.8 155 2.0 109 0.7

(27)
(28)

Jam pengukuran

Qo (mv)

Qτ (mv)

Qo* (mv)

Qo (w/m2)

Qτ* (mv)

Qτ (W/m2) τ 3.8 4.2

3.7 4.2

14.15 5.2 6.1 5.4 452.4 6.2 336.5 0.7 5.4 6.2

5.5 6.3

14.30 3.8 4.4 3.9 326.0 4.4 238.8 0.7 3.9 4.3

3.9 4.5

14.45 10.5 12.5 10.1 854.2 12.4 673.0 0.8 10.3 12.4

9.6 12.3

15.00 5.2 6.5 5.4 452.4 6.7 361.8 0.8 5.8 6.8

5.1 6.7

15.15 1.8 2.2 1.8 151.7 2.1 114.0 0.8 1.8 2.1

1.8 2

15.30 1.3 1.5 1.4 118.0 1.6 86.8 0.7 1.4 1.6

1.5 1.7

15.45 1.3 1.5 1.4 115.2 1.6 85.0 0.7 1.4 1.6

1.4 1.6

16.00 1.5 1.7 1.6 132.1 1.8 95.9 0.7 1.6 1.8

(29)
(30)
(31)

Jam pengukuran

Qo (mv)

Qτ (mv)

Qo*

(mv) Qo (w/m2)

Qτ* (mv)

Qτ (W/m2) τ 15.15 1.8 2.5 1.8 148.9 2.4 132.1 0.9

1.8 2.4 1.7 2.4

15.30 2 3.7 2.1 174.2 3.7 202.6 1.2 2.1 3.7

2.1 3.8

15.45 1.5 2 1.4 120.8 2.0 106.7 0.9

1.4 2

1.4 1.9

16.00 1.2 1.6 1.1 95.5 1.6 85.0 0.9 1.1 1.6

(32)
(33)
(34)

Jam pengukuran

Qo (mv)

Qτ (mv)

Qo* (mv)

Qo (W/m2)

Qτ* (mv)

(W/m2) τ 0.9 1

0.8 0.9

15.45 0.7 0.8 0.73 61.82 0.80 43.42 0.70 0.8 0.8

0.7 0.8

16.00 0.5 0.5 0.50 42.15 0.53 28.95 0.69 0.4 0.5

(35)

Lampiran 5 Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k) pada minggu ke 3 LAI :

1.98 Qo (w/m2) Qτ (w/m2) τ ln τ k

8.45 379.4 130.3 0.3 -1.06898 0.5 9.00 837.4 285.8 0.3 -1.07487 0.5 9.15 666.0 247.8 0.4 -0.98845 0.5 9.30 407.5 171.9 0.4 -0.86322 0.4 9.45 632.3 238.8 0.4 -0.97367 0.5 10.00 351.3 146.5 0.4 -0.87423 0.4 10.15 306.3 117.6 0.4 -0.95733 0.5 10.30 311.9 124.8 0.4 -0.91579 0.5 10.45 151.7 56.1 0.4 -0.99536 0.5 11.00 106.8 39.8 0.4 -0.98691 0.5 11.15 458.0 168.2 0.4 -1.00152 0.5 11.30 118.0 43.4 0.4 -0.99998 0.5 11.45 244.5 95.9 0.4 -0.93598 0.5

12.00 22.5 10.9 0.5 -0.72805 0.4

(36)

Lampiran 6 Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k) pada minggu ke 4 LAI :

1.33 Qo (w/m2) Qτ (w/m2) τ ln τ k

8.45 427.1 309.4 0.7 -0.32258 0.2 9.00 261.3 188.1 0.7 -0.32858 0.2 9.15 382.2 258.7 0.7 -0.39018 0.3 9.30 1062.2 662.1 0.6 -0.47263 0.4 9.45 269.8 197.2 0.7 -0.31337 0.2 10.00 587.3 372.7 0.6 -0.45483 0.3 10.15 410.3 289.5 0.7 -0.3488 0.3 10.30 154.6 108.5 0.7 -0.35336 0.3 10.45 297.9 237.0 0.8 -0.22861 0.2 11.00 134.9 108.5 0.8 -0.21722 0.2

11.15 39.3 34.4 0.9 -0.13499 0.1

11.30 22.5 19.9 0.9 -0.12191 0.1

(37)

Lampiran 7 Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k) pada minggu ke 5 LAI :

0.84 Qo (w/m2) Qτ (w/m2) τ ln τ k

9.00 682.8 522.8 0.8 -0.267 0.3

9.15 699.7 566.2 0.8 -0.21162 0.3 9.30 654.7 548.2 0.8 -0.17767 0.2 9.45 519.9 441.4 0.8 -0.16355 0.2 10.00 803.7 687.4 0.9 -0.15619 0.2 10.15 859.9 739.9 0.9 -0.15024 0.2 10.30 879.5 720.0 0.8 -0.20012 0.2 10.45 1025.7 866.5 0.8 -0.16856 0.2 11.15 1081.9 966.0 0.9 -0.11321 0.1 11.30 1028.5 884.6 0.9 -0.15064 0.2 11.45 1110.0 984.1 0.9 -0.1203 0.1 12.00 1115.6 982.3 0.9 -0.12719 0.2 12.15 1008.8 870.2 0.9 -0.14782 0.2 12.30 1095.9 955.2 0.9 -0.13742 0.2 12.45 1056.6 944.3 0.9 -0.11229 0.1 13.00 1104.3 995.0 0.9 -0.10426 0.1 13.15 977.9 812.3 0.8 -0.18555 0.2 13.30 820.5 696.5 0.8 -0.16388 0.2 13.45 859.9 689.3 0.8 -0.22115 0.3 14.00 843.0 794.2 0.9 -0.05965 0.1 14.15 227.6 211.7 0.9 -0.07264 0.1 14.30 781.2 729.1 0.9 -0.06905 0.1 14.45 660.4 616.9 0.9 -0.06807 0.1 15.00 213.6 188.1 0.9 -0.12671 0.2 15.15 148.9 132.1 0.9 -0.1202 0.1 15.45 120.8 106.7 0.9 -0.12403 0.1

(38)

Lampiran 8 Hasil perhitungan koefisien pemadaman tajuk (k) pada minggu ke 7 LAI :

(39)

Lampiran 9 Solarimeter yang digunakan untuk pengukuran radiasi surya dan kondisi fisik tanaman kentang

Solarimeter yang digunakan untuk pengukuran radiasi surya

(40)

Lampiran 10 Cara pemasangan solarimeter untuk pengukuran radiasi surya datang (Qo) dan radiasi surya transmisi (Qτ)

Pemasangan solarimeter untuk mengukur radiasi surya datang (Qo)

Gambar

Gambar 1 Kalibrasi antara solarimeter untuk pengukuran radiasi transmisi (Qτ) dengan solarimeter standar (Qo)
Gambar 2 Hubungan antara radiasi surya di atas tajuk tanaman (Qo) dengan radiasi t ransmisi (Qτ)
Gambar  4 Hubungan antara indeks luas daun (LAI) dengan koefisien pemadaman tajuk (k)

Referensi

Dokumen terkait

Masalah ekonomi tidak bisa terlepas dari kehidupan Bu Tum, beliau adalah ibu rumah tangga biasa sedangkan suaminya bekerja sebagai buruh bangunan yang

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas membuat laporan “Penelitian Tindakan Kelas”

Pengujian dilakukan pada ciri data uji yang dihasilkan dari proses ekstraksi ciri MFCC dengan menggunakan model codebook dari data latih.. Output yang dihasilkan berupa jumlah orang

Selanjutnya pada aspek kontrol dan perhatian orang tua terhadap anak sangat kurang yaitu pada observasi pertama, tanggal 11 Juli 2016 pukul 14.20 WIB peneliti melihat

Dengan nilai signifikasi lebih kecil dari 0,05 (0,000 &lt; 0,05 ), maka dapat disimpulkan bahwa “ Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi secara bersama-sama

Karakteristik pati biji durian yang dimodifikasi dengan metode HMT dengan perlakuan suhu HMT yang tinggi cenderung menghasilkan kadar amilosa, kadar air, kadar abu dan

Konsentrasi asam organik yang lebih tinggi disebabkan oleh karena meningkatnya konsentrasi asam sitrat dalam hal ini asam sitrat merupakan produk siklus asam sitrat yang selalu

Menurut Sudjana (1991) Yang harus diingat, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja.