• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Potensi Ruang Terbuka Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Potensi Ruang Terbuka Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah."

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH

SA’DIATUL ISTIKOMAH

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

Benefit Analysis of Green Open Space as a Mitigation Facility at Mount Merapi Eruption in Magelang, Province of Central Java

Sa’diatul Istikomah1 Bambang Sulistyantara2 1

Mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

2

Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Abstract

Indonesia appears to be one of countries which is located in disaster area, including volcanic eruption. Mount Merapi is one of volcanoes in Indonesia which has a great danger potential when erupted. Magelang regency is one of regions that are impleid in dangerous area of Mount Merapi eruption. The eruption causes large losses, it is necessary to mitigate the eruption in order to minimize the impact of the damage and to minimize number of victims by utilizing green open space as evacuation area. The purpose of this research is to analyze the benefit of green open space as evacuation area when eruption occurs. This study used descriptive and spatial analyze of green open space. Unit of analyze consists of seven subdistricts in Magelang regency that are Dukun, Mungkid, Muntilan, Ngluwar, Salam, Sawangan, and Srumbung which have direct impact of eruption.

The analyze result is land suitability map for evacuation area. It consists of three categories suitable, quite suitable and unsuitable. The evacuation area consists of macro evacuation area, micro evacuation area, transition area and buffer area of evacuation. The final result of this study is utilization plan of green open space as evacuation area.

(3)

Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh BAMBANG SULISTYANTARA.

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang terletak diantara lempeng tektonik dunia yang menyebabkan timbulnya jalur gunung api aktif. Gunung Merapi memiliki potensi bahaya yang besar ketika meletus dan menimbulkan kerugian yang beragam dan jatuhnya korban jiwa. Kabupaten Magelang merupakan salah satu daerah yang terletak pada kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi yang seharusnya dikembangkan menjadi daerah yang waspada bencana. Bencana akibat letusan tersebut menimbulkan kerugian yang besar sehingga diperlukan upaya untuk meminimalkan kerugian dan resiko jatuhnya korban jiwa dengan mitigasi bencana, salah satunya dengan memanfaatkan elemen ruang terbuka hijau sebagai area evakuasi.

Penelitian ini mengkaji tentang potensi ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi melalui pendekatan sumberdaya, fisik dan sosial, upaya mitigasi bertujuan untuk mengurangi jumlah korban jiwa akibat bencana yang terjadi dengan memanfaatkan RTH di Kabupeten Magelang sebagai alternatif ruang evakuasi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai upaya meminimalkan kerugian dan jatuhnya korban jiwa akibat bencana letusan Gunung Merapi dan dapat menjadi saran bagi pemerintah setempat untuk memanfaatkan potensi ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi.

(4)

Konsep pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang evakuasi dibagi menjadi ruang evakuasi makro, ruang evakuasi mikro, ruang evakuasi transisi, dan ruang penyangga evakuasi. Sirkulasi pada ruang evakuasi dibagi menjadi jalur utama berupa jalur evakuasi primer dan jalur evakuasi sekunder serta jalur pendukung berupa jalur evakuasi tersier. Vegetasi yang digunakan terdiri vegetasi endemik dan introduksi dan penataan vegetasi pada RTH evakuasi dibedakan berdasarkan fungsinya. Rekomendasi terdiri dari pemanfaatan ruang terbuka hijau evakuasi, rencana jalur sirkulasi, rencana vegetasi, rencana aktivitas dan fasilitas. Kesesuaian dibagi menjadi tiga kategori yakni sesuai, cukup sesuai, dan tidak sesuai. Area yang sesuai seluas 2.876,39 ha atau 9,62%, area yang cukup sesuai seluas 11.562,5 ha atau 38,66%, area yang tidak sesuai seluas 15.466,1 ha atau 51.72%.

Luas ruang evakuasi makro 5.554,96 ha, area sebagai ruang evakuasi mikro memiliki luas sebesar 5.598,33 ha dan area sebagai ruang penyangga evakuasi memiliki luas sebesar 1.385 ha. Luas ruang transisi evakuasi 331,05 km2 dengan panjang 86,4 km. RTH evakuasi dapat dikembangkan dalam bentuk ruang evakuasi berupa taman evakuasi, jalur penyelamatan berupa koridor pada jalur evakuasi, serta sebagai kawasan penyangga dari ancaman bahaya lain dan kawasan konservasi, ruang terbuka hijau yang paling berpotensi dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas dan ketersediaannya sebagai titik evakuasi sementara terdapat di tiga kecamatan, yaitu kecamatan Dukun terdapat di enam desa yakin desa Banyudono, desa Dukun, desa Ketunggeng, desa Mangunsoko, desa Sewukan, dan desa Wates dengan luas RTH 706,35 ha, kecamatan Sawangan terdapat di dua desa yakni desa Kapuhan dan desa Krogowan dengan luas RTH 166,92 ha, serta kecamatan Srumbung dengan enam desa yakni desa Banyuadem, desa Kaliurang, desa Kemiren, desa Mranggen, desa Polengan dan desa Srumbung dengan luas RTH 539,23 ha.

(5)

dengan desa Pabelan dan desa Ramesanak seluas 429,43 ha, kecamatan Muntilan dengan desa Congkrang, desa Muntilan, desa Ngawen, desa Pucungrejo, desa Sedayu, desa Sriwedari dan desa Tamanagung dengan luas 976,52 ha, kecamatan Ngluwar dengan desa Plosogede seluas 174,42 ha dan kecamatan Salam dengan desa Jumoyo, desa Kadiluwih, desa Salam, desa Tersenggede dan desa Tirto seluas 963,54 ha serta kecamatan Sawangan dengan desa Gondangwangi seluas 92 ha.

(6)

DI KABUPATEN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH

SA’DIATUL ISTIKOMAH

Skripsi

Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

(8)

Judul Penelitian : Analisis Potensi Ruang Terbuka Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Nama Mahasiswa : Sa’diatul Istikomah

NRP : A44070008

Departemen : Arsitektur Lanskap

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr NIP. 19601022 198601 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001

(9)

RIWAYAT HIDUP

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul Analisis Potensi Ruang Terbuka Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi, dukungan, serta nasehat yang sangat membantu penulis, yaitu kepada:

1. Orang tua tersayang, Bapak dan Mama atas segala do’a, cinta, kasih sayang, perhatian yang tak pernah habis diberikan selama ini, Nurul Khasanah, Titik Kurniawati, Hanifa, Agung Saputro saudaraku tercinta atas kasih sayang, semangat dan canda tawanya.

2. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan masukan berupa saran dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsipenelitian ini.

3. Dr. Ir. Tati Budiarti, M.S dan Dr. Ir. Afra D.N. Makalew, M.Sc selaku dosen penguji atas saran dan nasehatnya untuk kesempurnaan skripsi penelitian ini.

4. Dr.Ir. Aris Munandar, M.S dan Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si selaku pembimbing akademik atas nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan.

5. Dr. Gunawan atas informasi dan perkuliahan singkatnya yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Drs. Budi Santoso dan keluarga atas bantuannya.

7. Dinas terkait dalam penelitian ini, Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM Kabupaten Magelang, BPN Kabupaten Magelang, BPPTK, BPS Kabupaten Magelang dan masyarakat Kabupaten Magelang yang telah membantu dalam pengumpulan data sehingga skripsi ini dapat terlaksana. 8. Seluruh dosen dan staff Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan

bantuan yang telah diterima oleh penulis.

(11)

10. Rekan satu bimbingan Lina, Rara, Rizky terima kasih atas semangat dan dukungan yang telah diberikan.

11. Dhedhe dan Rini atas bantuannya dalam pengumpulan data, motivasi dan semangat yang diberikan.

12. Teman- teman Arsitektur Lanskap 44 atas kebersamaannya selama 4 tahun ini.

13. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga saran dan kritik membangun dalam perbaikan dan kesempurnaan tulisan ini.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 4

Manfaat ... 4

Kerangka Pemikiran ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Ruang Terbuka Hijau ... 6

Bahaya Letusan Gunung Api ... 8

Karakteristik Gunung Merapi ... 10

Mitigasi Bencana ... 11

Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Berapi ... 14

Evakuasi Bencana ... 18

Mekanisme Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi ... 20

Sistem Informasi Geografi (GIS) ... 23

METODOLOGI ... 25

Lokasi dan Waktu ... 25

Alat dan Bahan ... 26

Batasan Studi ... 26

Metode ... 26

Data ... 27

KONDISI UMUM ... 29

Aspek Biofisik ... 29

Letak Geografis dan Batas Administrasi... 29

Topografi ... 32

Penggunaan Lahan ... 32

(13)

Geologi dan Tanah ... 33

Hidrologi ... 33

Vegetasi ... 35

Aksesibilitas dan Sirkulasi ... 35

Sarana dan Prasarana... 36

Aspek Sosial ... 36

Kependudukan ... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

Analisis Aspek Biofisik ... 38

Topografi ... 38

Pengunaan Lahan ... 41

Iklim ... 48

Geologi dan Tanah ... 50

Kawasan Rawan Bencana ... 54

Hidrologi ... 57

Vegetasi ... 61

Aksesibilitas dan Sirkulasi ... 62

Sarana dan Prasarana... 64

Ruang Terbuka Hijau Evakuasi ... 66

Aspek Sosial ... 68

Kependudukan dan Keinginan Masyarakat ... 68

Sintesis ... 70

Konsep Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau untuk Ruang Evakuasi ... 74

Konsep Ruang ... 74

Konsep Sirkulasi ... 76

Konsep Vegetasi... 78

Konsep Aktivitas dan Fasilitas ... 78

Rencana Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi ... 79

Rencana Vegetasi ... 81

Rencana Sirkulasi Evakuasi ... 83

Rencana Aktivitas dan Fasilitas ... 86

(14)

Program Strategi Mitigasi ... 91

KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

Kesimpulan ... 93

Saran ... 94

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jenis, Bentuk Pengambilan, Sumber dan Bentuk Data ... 28

2. Kawasan Rwawan Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang ... 31

3. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2009 .... 37

4. Peruntukan Ruang Pada Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Berapi. ... 43

5. Arahan Struktur Ruang Kawasan Letusan Gunung Berapi... 45

6. Fungsi Dan Penerapan RTH Pada Beberapa Tipologi Kawasan ... 81

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran... 5

2. Manajemen Bahaya Vulkanis... 14

3. Lokasi Penelitian ... 25

4. Peta Administrasi Kabupaten Magelang... 30

5. Peta Analisis Kemiringan Lahan ... 40

6. Peta Analisis Penggunaan Lahan ... 47

7. Pengaruh Vegetasi Terhadap Iklim ... 50

8. Erosi Alur Akibat Erupsi ... 52

9. Analisis Kepekaan Tanah Terhadap Erosi... 53

10. Peta Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Merapi Kabupaten Magelang...56

11. Kondisi Sungai Pasca-Erupsi... 59

12. Peta Aliran Lahar Dingin Gunung Merapi... 60

13. Kondisi Jalur Evakuasi di Kecamatan Srumbung... 63

14. Kondisi Jalan Evakuasi Yang Rusak... 64

15. Fasilitas Penunjang Proses Evakuasi... 65

16. Lokasi Pengungsian... 67

17. Tingkat Kesulitan Proses Evakuasi... 70

18. Peta Kesesuaian Ruang... 73

19. Peta Rencana Ruang Evakuasi... 77

20. Ilustrasi Sarana dan Prasarana Pada Ruang Evakuasi Transisi... 84

21. Rencana Jalur Evakuasi ... 85

22. Ilustrasi Aktivitas di Ruang Evakuasi ... 87

23. Ilustrasi Fasilitas Penunjang Ruang Evakuasi ... 87

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Kepulauan Indonesia termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan gunung berapi Pasifik), juga terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi tiga gerakan, yaitu gerakan sistem Sunda di bagian barat, gerakan sistem pinggiran Asia Timur, dan gerakan sirkum Australia. Faktor-faktor tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi. (Oktarina, 2008)

Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi di Indonesia memiliki potensi bahaya yang besar ketika gunung tersebut meletus. Bencana letusan Merapi diikuti dengan kerugian yang besar. Kerugian yang ditimbulkan oleh letusan gunung Merapi sangat beragam, mulai dari kerugian materi hingga korban jiwa, kerugian yang ditimbulkan oleh letusan gunung Merapi sangat beragam, mulai dari kerugian materi hingga korban jiwa. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011,saat Merapi meletus jumlah korban meninggal sebanyak 374 jiwa dan jumlah pengungsi sebanyak 279.702 jiwa sedangkan kerugian pasca letusan berupa lahar dingin di Kabupaten Magelang menyebabkan 2.836 warga mengungsi serta 286 rumah rusak dan hanyut akibat terjangan lahar dingin.

Selain itu, bencana letusan Merapi juga menyebabkan aktivitas warga sekitar lereng Gunung Merapi menjadi lumpuh. Gunung Merapi terletak di perbatasan dua provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Kabupaten Magelang merupakan daerah yang terletak pada zona bahaya letusan merapi. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi menyebabkan keprihatinan yang mendalam terhadap bencana yang menimpa masyarakat di Kabupaten Magelang dan sekitarnya.

(19)

kerugian tersebut. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa pada saat terjadi bencana adalah dengan perencanaan mitigasi yang efektif. Dengan adanya perencanaan mitigasi yang baik, setidaknya penduduk yang menjadi korban letusan akan terbantu dalam menemukan rute jalan untuk menuju ke tempat yang aman, paling dekat dan cepat.

Mitigasi merupakan upaya pencegahan bencana dengan tujuan dapat meminimalkan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana serta untuk menimimalkan jumlah korban. Upaya ini membutuhkan mekanisme dan prosedur yang tepat, salah satunya dengan memanfaatkan elemen ruang terbuka hijau.

Ruang terbuka hijau (RTH) berfungsi menurut Joga (2009), kota sebaiknya dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau (RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau pertahanan hidup dari bencana. Langkah tersebut dapat ditempuh dengan cara menjadikan peruntukan kawasan rawan bencana sebagai ruang terbuka publik.

Ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai konektor antar ruang permukiman akan memudahkan dalam evakuasi saat terjadi bencana sehingga dapat meminimalkan jatuhnya korban. Dalam hal ini ruang terbuka berfungsi sebagai ruang evakuasi bencana maupun menjadi akses bagi masyarakat untuk mencapai lokasi evakuasi yang aman.

(20)

modul untuk pemasangan cepat tenda tenda darurat untuk tempat tinggal sementara dapur umum, sekolah dan ruang bermain anak serta dilengkapi toilet umum, pompa hidran untuk cadangan persediaan air bersih dan cadangan listrik.

Pada beberapa peristiwa bencana alam seperti saat terjadi bencana, baik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam, Nias, Yogyakarta maupun di wilayah lainnya, masyarakat berlari menuju ruang terbuka baik yang bersifat publik maupun yang bersifat privat sebagai langkah reaktif dan spontan untuk menghindari bencana tersebut. Masyarakat berlari menjauhi bahaya melalui ruang terbuka yang ada maupun berlindung pada ruang terbuka yang ada.

Pada daerah yang memiliki konsep waspada bencana, jaringan ruang terbuka hijau digunakan sebagai ruang evakuasi dengan sistem menyatu dan tidak terputus, mulai dari alun-alun, taman kota dan lapangan olahraga (ruang evakuasi), taman makam (pemakaman massal), jalur hijau jalan raya dan bantaran sungai (jalur evakuasi), hingga tepi pantai (hutan mangrove) dihubungkan oleh taman-taman penghubung dengan dominasi pohon-pohon besar dan hamparan padang dan/atau bukit rumput.

Kabupaten Magelang yang merupakan salah satu daerah rawan bencana dapat dikembangkan menjadi wilayah yang tanggap bencana dengan upaya mitigasi bencana. Saat bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 terlihat kurangnya persiapan dalam mengahadapi bencana. Hal ini terlihat pada upaya evakuasi masyarakat yang tinggal di daerah bahaya dimana banyak fasilitas evakuasi yang kurang memadai sehingga dapat menghambat proses evakuasi dan dapat menimbulkan korban jiwa yang seharusnya dapat diantisipasi sebelumnya. Selain itu, lokasi evakuasi banyak ditempatkan di sekolah dan bangunan fasilitas umum lainnya yang menyebabkan terganggunya aktivitas dan kepentingan masyarakat yang berada di sekitar lokasi evakuasi. Kabupaten Magelang memiliki ruang terbuka hijau yang sangat luas dan menyebar di seluruh wilayah sehingga dapat dimanfaatkan potensinya sebagai alternatif ruang evakuasi yang saat ini masih belum dimanfaatkan secara optimal.

(21)

terjadi bencana, warga diperintahkan lari ke taman-taman kota. Alun-alun dan lapangan bola merupakan tempat ideal penampungan darurat dan posko penanggulangan bencana yang aman. Hal tersebut merupakan contoh dari pemanfaatan ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi yang efektif. (Joga, 2009)

Dari uraian diatas, nampak jelas bahwa ruang terbuka mempunyai fungsi yang sangat signifikan khususnya sebagai ruang evakuasi. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya revitalisasi ruang terbuka yang ada serta pengadaan ruang terbuka publik secara terarah dan terencana sebagai ruang evakuasi dan mitigasi bencana untuk meminilisir jatuhnya korban akibat bencana tersebut.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi ruang terbuka hijau sebagai suatu upaya alternatif mitigasi bencana melalui perencanaan ruang evakuasi. Ruang terbuka hijau diharapkan dapat dijadikan sebagai ruang evakuasi yang menjadi salah satu bentuk rangkaian tindakan mitigasi yang dapat memberikan rasa keamanan, mengantisipasi kepanikan dan mengakomodasikan ruang untuk menciptakan kenyamanan bagi masyarakat. Studi potensi ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi bencana letusan Gunung Merapi dapat diketahui dengan menganalisis peranan ruang terbuka hijau sesuai fungsinya berdasarkan aspek kebutuhan, aspek ekologis, dan sumberdaya yang ada.

Manfaat

(22)

Kerangka Pemikiran

Kondisi geografis Kabupaten Magelang terletak di daerah yang merupakan zona bahaya letusan Gunung Merapi. Selain itu, kabupaten tersebut memiliki sumberdaya alam yang potensial. Upaya mitigasi untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan materi pada saat terjadi bencana sangat diperlukan. Potensi sumberdaya alam yang potensial dapat digunakan sebagai fasilitas mitigasi. Dalam hal ini digunakan potensi ruang terbuka hijau sebagai alternatif ruang evakuasi bagi masyarakat saat terjadi bencana melalui perencaaan mitigasi yang efektif dengan mensosialisasikan informasi kepada masyarakat terkait evakuasi bencana. Saat terjadi bencana masyarakat telah mengetahui kemana mereka harus menyelamatkan diri menuju ruang evakuasi yang telah disediakan, sehingga dapat meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Kerangka pemikiran penelitian ini tertera pada Gambar 1.

Potensi Bahaya Potensi RTH Potensi SDM

Analisis Bahaya Letusan Gunung

Merapi

Analisis Potensi RTH

Analisis Kebutuhan

Manusia

Pembagian Zona RTH untuk Evakuasi

Rencana Pemanfataan RTH untuk Ruang Evakuasi Letusan Gunung Merapi Zona Bahaya Letusan Gunung

Merapi (Kabupaten Magelang)

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah maupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter suatu kawasan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa ruang terbuka hijau akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya.

Tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, antara lain:

1. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan.

2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan manusia.

Peraturan pada Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang terbuka hijau merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH adalahtotal area atau kawasan yang ditutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun buatan atau budidaya. Menurut Purnomohadi (2006), RTH memiliki fungsi utama yaitu fungsi bio-ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial dan ekonomi. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi.

(24)

1. Taman

Fungsi utamanya adalah menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi.

2. Jalur hijau

Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya.

3. Kebun dan pekarangan

Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung kenyamanan lingkungan. 4. Hutan

Merupakan penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi, dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecendrungan menurunnya kualitas lingkungan.

5. Tempat-tempat rekreasi

Di samping jenisnya yang beragam, RTH memiliki manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat RTH, antara lain:

1. Meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis. 2. Mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang

sosial antarpenggunanya.

3. Menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan. 4. Menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan

pejalan kaki.

5. Mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain:

1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan.

(25)

3. Sebagai pengaman lingkungan hidup.

4. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarkat untuk membentuk kesadaran lingkungan.

5. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.

6. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. 7. Sebagai pengatur air.

Bahaya Letusan Gunung Api

Bahaya letusan gunung api dibagi dua berdasarkan waktu kejadiannya, yaitu bahaya utama atau bahaya langsung (primer) dan bahaya ikutan atau bahaya tidak langsung (sekunder). Bahaya primer adalah bahaya yang langsung terjadi ketika proses letusan sedang berlangsung sedangkan bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi setelah proses letusan berlangsung. Kedua jenis bahaya tersebut masing-masing mempunyai risiko merusak dan mematikan serta menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa manusia. Bahaya gunung api adalah bahaya yang ditimbulkan oleh letusan atau kegiatan yang menyemburkan benda padat, cair dan gas serta campuran diantaranya yang mengancam dan cenderung merusak serta menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta dalam tatanan kehidupan manusia.

Bahaya langsung (primer) merupakan bahaya yang ditimbulkan secara langsung pada saat terjadi letusan gunung api. Hal ini disebabkan oleh lemparan material yang langsung dihasilkan oleh letusan gunungapi seperti : aliran lava, atau leleran batu pijar, aliran piroklastika atau awan panas, jatuhan piroklastika atau hujan abu lebat, lontaran material pijar. Selain itu, bahaya primer juga dapat ditimbulkan oleh hembusan gas beracun. Bahaya tidak langsung (sekunder) merupakan bahaya akibat letusan gunung api yang terjadi setelah atau selama letusan gunungapi tersebut terjadi. Bahaya tidak langsung yang umumnya terjadi di Indonesia adalah bahaya lahar, baik lahar dingin maupun lahar panas.

Bahaya langsung (primer) letusan gunung api yaitu: a. Leleran lava (lava flow)

(26)

umumnya mengalir mengikuti lereng/lembah dan membakar apa saja yang dilaluinya. Bila lava tersebut sudah dingin, maka berubah wujud menjadi batu (batuan beku) dan daerah yang dilaluinya menjadi ladang batu.

b. Awan panas (piroclastic flow)

Awan panas adalah campuran material letusan antara gas dan bebatuan (segala ukuran) terdorong ke bawah akibat densitasnya yang tinggi dan merupakan adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gulungan awan yang menyusuri lereng. Suhunya sangat tinggi antara 300 - 700°C dan kecepatan luncurnya pun sangat tinggi yaitu > 70 km/jam.

c. Hujan abu lebat

Material yang berukuran halus (abu dan pasir halus) diterbangkan angin dan jatuh sebagai hujan abu dengan arah yang tergantung pada arah angin. Karena ukurannya halus, maka berbahaya bagi pernafasan dan mata serta dapat mencemari air tanah, merusak tumbuhan (terutama daun), korosif pada atap seng karena mengandung unsur-unsur kimia yang bersifat asam.

d. Lontaran material (bom vulkanik)

Jatuhnya lontaran bisa mencapai ratusan meter jauhnya, sangat bergantung dari besarnya energi letusan. Suhunya tinggi (> 200°C) dan ukurannya besar (garis tengah >10 cm) sehingga dapat membakar sekaligus melukai bahkan mematikan mahluk hidup.

e. Lahar letusan/ lahar primer

Lahar letusan/ lahar primer terjadi pada gunung api yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas.

f. Gas racun

(27)

biasa muncul adalah CO2, H2S, HCl, SO2 dan CO. Jenis gas yang paling

sering dan merupakan penyebab utama kematian adalah CO2. Sifat gas

jenis ini lebih berat dari udara sehingga cenderung menyelinap di dasar lembah atau cekungan terutama bila malam hari dan cuaca kabut atau tidak berangin, karena dalam suasana tersebut konsentrasinya akan bertambah besar.

g. Tsunami gunung api

Umumnya terjadi pada gunung api pulau. Ketika terjadi letusan, materialnya masuk ke dalam laut dan mendorong air laut ke arah pantai sehingga menimbulkan gelombang pasang.

Bahaya sekunder yaitu lahar hujan yaitu bila suatu gunung api meletus, akan terjadi penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas. Pada saat musim hujan tiba, sebagian material tersebut akan terbawa oleh air hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan yang disebut lahar.

Karakteristik Gunung Merapi

Tingkat bahaya dari Gunung Merapi sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar Gunung Merapi tersebut. Suplai magma Merapi dari kedalaman terkait dengan sistem tektonik yaitu subduksi oleh tumbukan antara lempeng samudera Indo-australia dan lempeng benua Asia. Gunung Merapi merupakan gunung api yang dapat dimasukkan dalam tipe vulkanian lemah dengan ciri khas adanya peranan kubah lava dalam tiap-tiap erupsinya.

(28)

kemudian asap tersebut melebar menyerupai cendawan. Asap erupsi membawa abu dan pasir yang kemudian akan turun sebagai hujan abu dan pasir.

Merapi terdapat dua zona tampungan magma yang menentukan sifat khas Merapi karena letaknya relatif tidak jauh maka kenaikan tekanan di dapur magma akan menyebabkan aliran magma menuju kantong magma di atasnya menyebabkan naiknya tekanan di sana. Dalam hal ini, kantong magma berfungsi sebagai katup bagi magma yang naik ke permukaan. Waktu tenang antar erupsi di Merapi merupakan fase dimana terjadi proses peningkatan tekanan magma di dalam kantong magma. Apabila tekanan melebihi batas ambang tertentu magma akan keluar dalam bentuk erupsi explosive atau efusif berupa pembentukan kubah lava.

Awan panas Merapi dibedakan atas awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi karena hancuran magma oleh suatu letusan. Partikel-partikel terlempar secara vertikal dan horizontal. Kekuatan penghancuran material magma saat letusan ditentukan oleh kandungan gas vulkanik dalam magma. Awan panas guguran terjadi akibat runtuhnya kubah lava bersuhu sekitar 500-600°C oleh tekanan magma dan pengaruh gravitasi.

Awan panas yang terjadi di Gunung Merapi umumnya termasuk dalam awan panas guguran. Gaya berat kubah lava atau bagian dari kubah lava yang runtuh menentukan laju dari awan panas. Semakin besar volume yang runtuh akan semakin cepat laju awan panas dan semakin jauh jarak jangkaunya. Orientasi dari kubah lava ini yang menentukan arah awan panas yang akan terjadi. Namun, demikian kubah lava di puncak Merapi tidak tunggal dalam arti ada banyak kubah lava yang tidak runtuh dan kemudian menjadi bagian dari morfologi puncak Merapi.

Mitigasi Bencana

(29)

proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi.

Mitigasi, menurut Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Selain itu, juga bertujuan untuk mengurangi dan mencegah risiko kehilangan jiwa serta perlindungan terhadap harta benda.

Mitigasi merupakan salah satu upaya manajemen bencana yang bertujuan untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis. Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu:

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini.

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian.

3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting. Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.

(30)

memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti tidak mengubah lingkungan alam yang dapat melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, bukit pasir, pantai, danau, laguna, hutan dan lahan vegetatif, kawasan perbukitan karst dan unsur geologi lainnya yang dapat meredam dan mengurangi dampak bencana, menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.

1. Penilaian bahaya (hazard assestment) diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan peta potensi bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya.

2. Peringatan (warning) diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.

(31)

ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).

Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Berapi

Deskripsi bahaya vulkanis tentang karakter fisik dari sebuah letusan perlu dilakukan. Ketika erupsi sebuah gunung berapi terjadi dapat menciptakan bahaya yang beragam. Bahkan ketika gunung berapi tidak bererupsi, bahayanya seperti runtuhan batu/ material atau lahar yang masih dapat terjadi. Mitigasi untuk bahaya vulkanis dapat dilakukan selama periode krisis ketika erupsi terjadi. Manajemen dan mitigasi tidak hanya dilakukan saat periode krisis. Memulai untuk melaksanakan manajemen bahaya vulkanis pada periode aman, sebelum erupsi, pra perencanaan yang akan menjamin tindakan mitigasi dapat berjalan dengan sukses.

.

Manajemen Bahaya Gunung Berapi

Pengurangan risiko Persiapan Manajemen Kondisi Krisis

 analisis risiko

(32)

A. Mitigasi Pra-erupsi: Teknik Mitigasi untuk periode non-krisis 1. Studi bidang geologi

Hal ini penting untuk menangani investigasi geologi secara ekstensif pada potensi keaktifan gunung berapi selama masa non-aktif. Mempelajari catatan letusan sebelumnya, dari informasi ini dapat dipastikan jenis dan besar bahaya yang ditumbulkan dan seberapa sering gunung berapi tersebut aktif. Informasi ini penting dan merupakan titik awal perencanaan dan persiapan untuk letusan yang akan terjadi.

2. Perencanaan

Selama gunung berapi berada pada periode tidak aktif, perlu dilakukan perencanaan untuk menjamin efek erupsi dapat diminimalkan. Perencanan penting dilakukan tingkat nasional, regional, lokal bahkan tingkat individu. Aspek pendukung perlu dipertimbangkan untuk perencanaan terjadinya erupsi. Aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan ketika perencanaan mitigasi, antara lain:

• perkembangan penggunaan lahan dan regulasi tata guna lahan untuk mencegah pembangunan di daerah yang berisiko tinggi terhadap bahaya vulkanis, rencana mengenai prosedur selama erupsi harus ditetapkan, dibutuhkan prosedur yang detail untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya letusan,

• rencana dan prosedur harus cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi selama letusan gunung berapi,

• contoh peraturan darurat harus dipersiapkan sebelumnya, • pembuatan daftar fasilitas yang harus tetap beroperasi,

• pertimbangan kebutuhan konseling psikologi untuk masyarakat umum dan para relawan,

• pengujian sebelum perencanaan agar para pihak terkait untuk mengetahui peranan yang harus terpenuhi.

3. Evakuasi

(33)

4. Kebutuhan untuk merencanakan transportasi, perlindungan (shelter), persediaan makanan, pakaian, kesehatan dan kebersihan sebagai kebutuhan utama setiap pengungsi. Selama letusan terjadi mungkin sejumlah besar pengungsi akan membutuhkan perawatan, dan pra-perencanaan akan sangat berarti untuk menentukan tempat tinggal mereka. Sebelum terjadinya letusan, perlu mengidentifikasi sumberdaya yang dapat digunakan untuk membantu dalam evakuasi penduduk.

5. Peralatan penting yang mungkin diperlukan selama letusan termasuk filter udara, pembersih peralatan, pakaian pelindung, masker wajah, kendaraan ekstra untuk penggunaan darurat.

6. Pendidikan

Pendidikan publik tentang bahaya vulkanik dan cara mengurangi dampak dari sebuah letusan gunung berapi. Pendidikan akan mengurangi dampak psikologis dan fisik. Peringatan lebih dapat dipahami jika masyarakat memahami sifat bahaya. Kemungkinan komunikasi dapat terganggu selama dan setelah letusan terjadi maka perlu untuk menyebarkan informasi sebelum letusan sehingga diharapkan masyarakat mengetahui hal yang harus dilakukan. Masyarakat dapat diberi pengetahuan melalui koran, televisi, internet, radio, pameran, brosur, seminar, sekolah.

7. Media

Kebanyakan orang bergantung pada media untuk mendapatkan informasi, survey yang dilakukan menyimpulkan bahwa pengetahuan dan kesadaran masyarakat selama letusan hampir seluruhnya berasal dari media. Manajemen media yang efektif membutuhkan informasi yang akurat sehingga dapat disampaikan kepada publik selama letusan terjadi.

8. Koneksi

(34)

B. Mitigasi Saat Erupsi: Teknik Mitigasi untuk periode krisis

Beberapa aspek yang penting untuk diprioritaskan saat terjadinya erupsi gunung berapi, yaitu:

1. Manusia

Tindakan terbaik untuk menjaga dari kemungkinan terhirupnya partikel abu adalah tetap dalam ruangan. Jika diperlukan untuk meninggalkan tempat penampungan maka tindakan pelindungan terbaik dengan memakai masker wajah ketika keluar dari bangunan.

2. Struktur Bangunan

Atap gedung harus segera dibersihkan dari abu sehingga sistem ventilasi dapat diaktifkan kembali. Kemungkinan atap akan runtuh jika terdapat abu yang tersisa di atap.

3. Jaringan Lisrik

Untuk mencegah pemadaman listrik luas perlu bahwa semua sistem listrik permukaan sistem harus dibersihkan segera setelah abu jatuh. Abu kering harus dibersihkan oleh atau menyikat permukaan yang terkena. Abu basah lebih sulit untuk dihilangkan. Pembersihan dan perlindungan sistem kelistrikan harus terus menerus sampai ancaman selasai.

4. Mitigasi Guguran Material Balistik

Ketika material balistik letusan gunung berapi yang jatuh, tindakan mitigasi terbaik adalah merelokasi penduduk atau membatasi mereka untuk memasuki daerah yang berbahaya. Jika tidak memungkinan untuk meninggalkan daerahnya kemudian dianjurkan tinggal di bawah gedung yang kokoh. Namun, jika diperlukan untuk keluar gedung, lapisan pelindung tubuh harus digunakan khususnya pelindung kepala.

5. Mitigasi Lahar

(35)

6. Mitigasi Arus Piroklastik

Aliran material piroklastik sangat merusak, perlindungan yang terbaik bagi kehidupan manusia adalah mengevakuasi daerah berbahaya sebelum letusan terjadi. Kebanyakan kematian yang terjadi dari aliran piroklastik dapat dikaitkan dengan sesak napas, luka bakar dan pukulan dari lemparan batu.

7. Langkah-langkah Mitigasi untuk Gas Vulkanik

Masker wajah harus dirancang untuk gas beracun serta debu vulkanik yang terespirasi, sehingga orang dapat dilindungi dari bahaya gas vulkanik. Mungkin perlu untuk mengevakuasi penduduk di mana ada potensi munculnya sesak napas, atau gas beracun dalam tingkat tertentu.

Evakuasi Bencana

Evakuasi merupakan upaya penyelamatan korban atau upaya memindahkan korban secara aman dari lokasi yang tertimpa bencana ke wilayah yang lebih aman untuk mendapatkan pertolongan. Evakuasi membutuhkan suatu ruang untuk relokasi korban melalui tempat penampungan korban baik bersifat sementara maupun bersifat akhir. Tempat penampungan sementara (TPS) adalah tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana yang digunakan sebagai meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke TPA pada saat terjadi peningkatan status aktivitas gunung api dan diutamakan untuk menampung penduduk yang tidak termasuk kelompok risti (kelompok risti sangat dianjurkan untuk segera dievakuasi ke TPA). Tempat Penampungan Aman (TPA) adalah tempat penampungan pengungsi yang berada di luar wilayah rawan bencana yang biasanya lebih luas dan memiliki fasilitas lebih baik daripada TPS.

Dalam menentukan lokasi penampungan pengungsi ada beberapa hal yang perlu dinilai yaitu :

(36)

2. Terdapat fasilitas jalan dari pemukiman ke tempat penampungan untuk memudahkan evakuasi. koordinasi dengan dinas pekerjaan umum diperlukan untuk memperoleh data mengenai infrastruktur di daerah rawan gunung api.

3. Terdapat fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadah, puskesmas dll. koordinasi dengan pemda setempat diperlukan untuk memperoleh data tersebut.

4. Tersedia sarana air bersih, MCK, penerangan/listrik, dll yang mencukupi. Tempat Penampungan Sementara (TPS) adalah tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana. TPS berfungsi sebagai

meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke TPA

pada saat status aktivitas gunung api meningkatTempat Penampungan Sementara (TPS) sebaiknya tersedia :

1. Pos kesehatan untuk pelayanan kesehatan pengungsi.

2. Pos komunikasi dengan sarana yang mudah digunakan (ht, telepon). 3. Pos keamanan untuk melindungi dan mengatur proses evakuasi pengungsi. 4. Sarana air bersih dan air minum.

5. Sarana sanitasi dan MCK.

6. Sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum.

7. Sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain. 8. Alat peringatan dini.

Tempat Penampungan Aman (TPA) merupakan tempat penampungan pengungsi yang berada diluar wilayah rawan bencana. TPA biasanya lebih luas untuk menampung pengungsi dalam jumlah yang lebih banyak dan memiliki fasilitas lebih baik dari TPS.

Tempat penampungan aman sebaiknya tersedia:

1. Pos koordinasi dengan alur komando yang jelas untuk mengkoordinir semua hal yang terkait penanganan pengungsi.

2. Pos kesehatan untuk pelayanan kesehatan pengungsi.

(37)

4. Pos keamanan untuk memberikan perlindungan bagi pengungsi di tempat penampungan.

5. Sarana air bersih dan air minum.

6. Sarana sanitasi dan mck baik yang bersifat temporer maupun permanen. 7. Sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain.

8. Sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum.

9. Gudang logistik termasuk terdapat bahan dan alat kesehatan lingkungan seperti bahan-bahan disinfektan dan alat vektor kontrol.

Mekanisme Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi

Menurut Joga (2009), mekanisme pemanfaatan RTH sebagai kawasan evakuasi dapat dilakukan dengan cara sosialisasi kepada masyarakat mengenai ruang-ruang yang telah ditentukan sebagai kawasan untuk evakuasi, penggunaan tanda yang dapat membantu dalam keadaan darurat, dan perencanaan jalur mitigasi bencana. Kawasan waspada bencana atau biasa disebut ruang mitigasi ini harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya:

1. Lokasi 2. Luas lahan

3. Ketinggian tempat

4. Fasilitas (sarana evakuasi) 5. Utilitas (air dan energi)

6. Akses (bagi korban dan bantuan) 7. Pendekatan desain

(38)

taman, serta sangat bermanfaat saat bencana terjadi aliran listrik mati total. Tangga atau ramp melingkar mengelilingi bangunan taman, jalur jogging, jalur sepeda dan pengadaan berbagai kegiatan anak-anak akan memudahkan proses evakuasi saat terjadi bencana.

Departemen PU Cipta Karya tahun 1987 mengeluarkan standar kebutuhan taman yang ditentukan berdasarkan tingkatan wilayah pelayanannya mulai dari tingkat RT, RW sampai dengan tingkat kota. Bentuk urban space yang dimuat dalam standar ini meliputi fasilitas/ sarana olah raga, taman bermain serta kuburan, sebagaimana uraian di bawah ini:

1. Sarana Olah Raga dan Daerah Terbuka

Disamping fungsi utama sebagai taman, tempat main anak-anak dan lapangan olah raga juga akan memberikan kesegaran pada kota (cahaya dan udara segar), dan netralisasi polusi udara sebagai paru-paru kota. Oleh karena fungsinya yang sangat penting, maka sarana-sarana ini harus benar-benar dijaga, baik dalam besaran maupun kondisinya. 2. Taman untuk 250 Penduduk

Setiap 250 penduduk dibutuhkan minimal satu taman dan sekaligus tempat bermain anak-anak dengan luas minimal 250 m², atau dengan standar 1 m²/penduduk.

3. Taman untuk 2.500 Penduduk

Untuk setiap kelompok 2.500 penduduk diperlukan sekurang-kurangnya satu daerah terbuka di samping daerah-daerah terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk. Daerah-daerah terbuka sebaiknya merupakan taman yang dapat digunakan untuk aktivitas olahraga seperti volley, badminton dan sebagainya. Luas area yang diperlukan untuk ini adalah 1.250 m² atau dengan standar 0,5 m²/penduduk.

4. Taman dan Lapangan Olahraga untuk 30.000 Penduduk

(39)

lapangan sepak bola sehingga berfungsi serba guna dan harus tetap terbuka. Untuk peneduh dapat ditanam pohon-pohon di sekelilingnya. 5. Taman dan Lapangan Olahraga untuk 120.000 Penduduk

Setiap kelompok penduduk 120.000 penduduk sekurang-kurangnya harus memiliki satu lapangan hijau yang terbuka. Sarana ini dilengkapi dengan sarana-sarana olah raga yang diperkeras seperti tennis, bola basket, juga tempat ganti pakaian dan WC umum. Luas area yang diperlukan untuk sarana-sarana ini adalah 2,4 Ha dengan standar 0,2 m²/penduduk. Lokasinya tidak harus di pusat Kecamatan, sebaiknya dikelompokkan dengan sekolah.

6. Taman dan Lapangan Olahraga untuk 480.000 Penduduk

Sarana ini untuk melayani penduduk sejumlah 480.000 penduduk. Berbentuk suatu kompleks yang terdiri dari stadion, taman-taman/tempat bermain, area parkir, dan bangunan-bangunan fungsional lainnya. Luas tanah yang dibutuhkan untuk aktivitas ini adalah 144.000 m² atau 14,4 Ha, dengan standar 0,3 m²/penduduk.

7. Jalur Hijau

Disamping taman-taman dan lapangan olahraga terbuka masih harus disediakan jalur-jalur hijau sebagai cadangan kekayaan alam. Besarnya jalur-jalur hijau ini adalah ±15 m²/penduduk. Lokasinya bisa menyebar dan sekaligus merupakan filter dari daerah-daerah industri dan derah-daerah yang berpotensi menimbulkan polusi.

8. Kuburan

(40)

Sistem Informasi Geografi (GIS)

Sistem Informasi Geografi merupakan suatu sistem yang dapat menangkap, menyimpan, menganalisis, melakukan query, dan menampilkan data geografi. SIG dapat dibagi menjadi empat komponen, yaitu:

1. Sistem komputer

Sistem komputer berupa komputer dan sistem operasi yang digunakan untuk mengoperasikan SIG

2. Perangkat lunak SIG

Perangkat lunak SIG berupa program dan antarmuka pengguna untuk menjalankan perangkat keras

3. Perangkat pikir

Perangkat pikir menunjuk pada tujuan, sasaran, dan alasan penggunaan SIG

4. Infrastruktur

Infrastruktur menunjuk pada kebutuhan fisik yang berhubungan dengan ketatausahaan organisasi, dan lingkungan penggunaan SIG

SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer

(hardware), perangkat lunak (software), data geografi dan pengguna yang disain

(41)
(42)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu

Penelitian tentang analisis kebutuhan mitigasi dalam bentuk ruang terbuka hijau untuk mitigasi bencana dilakukan di daerah bencana letusan Gunung Merapi di Provinsi Jawa Tengah tepatnya pada Kabupaten Magelang yang tertera pada Gambar 3.

(Sumber: Bappeda Kabupaten Magelang, 2010)

Gambar 3. Lokasi Penelitian

(43)

Studi ini dilakukan pada bulan Februari-Juli 2011 meliputi tahap pengamatan lapang, pengumpulan data primer dan sekunder dan pengolahan data kemudian dilanjutkan dengan tahap análisis data, perumusan rencana hasil penelitian serta penyusunan laporan akhir hingga bulan April 2012.

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan bahan berupa peta tematik serta beberapa alat berupa perangkat keras dan peragkat lunak. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Peta tematik Kabupaten Magelang

2. Software Arc View 3.2, AutoCad 2008, Adobe Photoshop CS4 3. Laptop, kamera digital

Batasan Studi

Studi tentang penelitian ini menggunakan pendekatan sumberdaya, fisik dan sosial. Unit analisis juga dibatasi hanya beberapa kecamatan yang berkaitan langsung dengan bencana letusan Gunung Merapi yakni kecamatan Dukun, kecamatan Mungkid, kecamatan Muntilan, kecamatan Ngluwar, kecamatan Salam, kecamatan Sawangan dan kecamatan Srumbung. Analisis dilakukan secara deskriptif dan spasial untuk melihat potensi ruang terbuka hijau sebagai alternatif ruang evakuasi dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas dan ketersediaannya.

Metode

Tahap-tahap penelitian, meliputi persiapan, analisisis, sintesis dan pembuatan rekomendasi.

(44)

sosial-ekonomi penduduk. Data yang diambil berupa data primer yangr diperoleh dari hasil pegamatan di lapangan, wawancara kepada masyarakat dan pihak bersangkutan serta data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, laporan-laporan kegiatan dan informasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BPPTK, Pemerintah Kabupaten Magelang, serta instansi terkait lainnya.

2. Tahap analisis, analisis yang dilakukan secara deskriptif dan spasial dengan mengidentifikasikan peta tematik Kabupaten Magelang dan peta kawasan rawan bencana Gunung Merapi dan peta bencana Kabupaten Magelang untuk menjelaskan jenis dan sifat bahaya bencana, daerah rawan bencana, daerah bahaya bagi penduduk. Analisis secara spasial menggunakan Geographical Information System (GIS) untuk mengidentifikasi penutupan lahan serta melihat karakter RTH secara spasial.

3. Tahap sintesis, tahap ini merupakan tahap pemaduan hasil analisis berupa peta-peta identifikasi zona dengan sistem overlay. Pada tahap selanjutnya, hasil overlay menghasilkan zona potensial tata ruang dan sirkulasi. Hasil tersebut yang menjadi dasar penentuan ruang evakuasi.

4. Tahap pembuatan rekomendasi, hasil sintesis akhir berupa zona potensial ruang evakuasi yang berupa ruang terbuka hijau dengan dilengkapi fasilitas yang mengakomodasikan kebutuhan pengungsi.

Data

(45)

Tabel 1. Jenis, Bentuk Pengambilan, Sumber dan Bentuk Data

Jenis Data Bentuk Pengambilan

Data

Sumber

Data Umum

Peta Tata Ruang Sekunder BAPPEDA

Peta Zona Bahaya Sekunder BAPPEDA

Peta Penggunaan Tanah Sekunder BAPPEDA, Dinas PU dan ESDM Kab Magelang

Letak Geografis dan administrasi

Sekunder BAPPEDA

Topografi dan Kemiringan Lahan

Sekunder BAPPEDA, BPN Kab. Magelang

Hidrologi Primer dan

Sekunder

BAPPEDA, Lapangan

Vegetasi Sekunder BAPPEDA

Iklim Sekunder BAPPEDA, BMKG

Sarana dan Prasarana Primer dan Sekunder

Dinas PU dan ESDM Kab Magelang

Geologi dan Tanah Sekunder BAPPEDA, BPN Kab. Magelang

Data Sosial

Demografi Sekunder BPS

Ketergantungan masyarakat terhadap tapak

Primer dan Sekunder

Lapangan

Potensi pengguna Primer dan Sekunder

(46)

KONDISI UMUM

Aspek Biofisik

Letak Geografis dan Batas Administrasi

Kabupaten Magelang merupakan salah satu Kabupaten yang secara administrasi termasuk dalam bagian dari Provinsi Jawa Tengah, dengan luas wilayah 108.573 ha. Kabupaten Magelang berada pada posisi yang strategis dan menguntungkan karena terletak pada jalur persimpangan dari berbagai arah. Dilihat dari peta orientasi Propinsi Jawa Tengah, wilayah Kabupaten Magelang memiliki posisi yang strategis karena keberadaannya terletak di tengah, sehingga mudah dicapai dari berbagai arah. Secara geoekonomis, Kabupaten Magelang merupakan daerah perlintasan, jalur kegiatan ekonomi yaitu Semarang-Magelang-Purwokerto dan Semarang-Magelang-Yogyakarta-Solo.

Secara geografis Kabupaten Magelang terletak diantara 110° 01’ 51” dan 110° 27’ 08” bujur timur, 7° 19’ 33” dan 7° 42’ 13” Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Magelang merupakan salah satu wilayah rawan bencana geologi karena termasuk dalam wilayah ring of fire. Daerah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi yang terdapat di Kabupaten Magelang dapat dilihat pada Tabel 2.

Batas Kabupaten Magelang meliputi :

Sebelah Utara : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang Sebelah Timur : Kabupaten Semarang dan

Kabupaten Boyolali. Sebelah Selatan : Kabupaten Purworejo dan

Provinsi D.I.Y.

(47)
(48)

Tabel 2. Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang

No Kecamatan Desa Keterangan

1 Dukun

Banyubiru KRB I Banyudono KRB I

Dukun KRB I

Kalibening KRB I Keninggar KRB III Krinjing KRB III Mangunsoko KRB II, KRB I Ngadipuro KRB I

Ngargomulyo KRB III, KRB II Paten KRB III, KRB II

Wulunggunung KRB I

7 Srumbung

Pandanretno KRB I

Polengan KRB I

(49)

Topografi

Wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah dengan topografi beragam. Daerah topografi datar memiliki luas 8.599 ha, daerah yang bergelombang seluas 44.784 ha, daerah yang curam 41.037 ha dan sangat curam 14.155 ha dengan ketinggian wilayah antara 0 – 3.065 m di atas permukaan laut, ketinggian rata-rata 360 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Magelang secara topografi merupakan dataran tinggi yang berbentuk menyerupai cawan (cekungan) karena dikelilingi oleh 5 (lima) gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Kondisi ini menjadikan sebagian besar wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah tangkapan air sehingga menjadikan tanah yang subur karena berlimpahnya sumber air dan sisa abu vulkanis.

Penggunaan Lahan

Luas tanah menurut penggunaan Kabupaten Magelang pada tahun 2010 terdiri dari wilayah hutan seluas 13.468 ha sedangkan lahan persawahan seluas seluas 37.221 ha, terdiri dari sawah irigasi teknis 6.624 ha, sawah irigasi setengah teknis 5.412 ha, sawah irigasi sederhana 16.529 ha dan sawah irigasi tadah hujan 8.236 ha. Lahan kering seluas 60.528 ha dengan rincian ladang atau tegalan seluas 36.237 ha, perkebunan negara/swasta seluas 234 ha padang rumput seluas 6 ha dan lahan yang belum atau tidak diusahakan seluas 3.401 ha. Luas lahan industri atau kawasan industri seluas 51 ha, kolam air tawar 129 ha, lahan permukiman 17.025 ha, padang rumput alam 239 ha.

Iklim

Kabupaten Magelang merupakan daerah yang sejuk, dengan suhu rata-rata 25,6 °C dengan kelembaban udara rata-rata 82 %. Curah hujan rata-rata 2.589 mm/thn dengan kecepatan angin 1,8 knot. Berdasarkan pembagian iklim menurut L.R Oldeman kondisi iklim merupakan tipe iklim C 3 dengan jumlah bulan basah selama 7 bulan dan bulan kering selama 5 bulan.

(50)

hujan kurang dari 100 mm. Bulan basah jatuh pada bulan November sampai dengan bulan Mei dan bulan kering jatuh pada bulan Juni sampai dengan Oktober. Curah hujan maksimum rata-rata bulanan jatuh pada bulan Februari dengan intensitas 473 mm, sedangkan curah hujan minimum bulanan jatuh pada bulan Agustus dengan intensitas 10 mm Curah hujan rata-rata tahunan dalam kurun waktu antara 2003 sampai dengan 2007 adalah 2562 mm dengan jumlah hari hujan 151 hari.

Geologi dan Tanah

Batuan penyusun daerah Kabupaten Magelang terdiri dari batuan sedimen, batuan gunung api, batuan beku terobosan dan endapan aluvial. Batuan sedimen merupakan formasi andesit tua yang terdiri dari breksi, andesit, tufa, tufa lapili, aglomorat dan lava andesit. Formasi ini menempati sisi tepi bagian barat daya Kabupaten Magelang, yakni daerah Salaman dan Borobudur bagian selatan. Batuan ini mengandung potensi bahan galian golongan C (berupa batuan andesit).

Batuan gunung api merupakan material batuan yang dihasilkan oleh Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Sumbing menempati satuan geomorfik lereng dan puncak gunung api tersebut terdiri dari breksi piroklastik, lelehan lava, batu pasi tufaan dan lahar.

Di Kabupaten Magelang terdapat endapan aluvial. Endapan aluvial menempati satuan geomorfik dataran aluvial di sepanjang sungai-sungai yang besar yaitu sungai Progo dengan cabang-cabangnya yang mengalir di wilayah Kecamatan Salaman sampai Kecamatan Borobudur. Endapan aluvial terdiri dari material-material lepas berupa kerakal, kerikil, pasir lanau lumpur dan lempung. Endapan aluvial sangat baik sebagai batuan akuifer (penyimpan air tanah) sekaligus sebagai penghasil pasir dan batu.

Jenis tanah di Kabupaten Magelang sebagian besar latosol dan regosol, sebagian lainnya adalah andosol, litosol, dan aluvial. Rata-rata mempunyai kedalaman efektif tanah yang cukup 30 – 90 cm.

Hidrologi

(51)

91% dari keseluruhan DAS yang ada di Kabupaten Magelang dan DAS Pabelan yang memiliki luas 103 km2 atau sekitar 2,89% DAS yang ada di Kabupaten Magelang.

Pada Gunung Merapi sebagian besar air tanah yang keluar pada lereng selatan dan barat gunung dipengaruhi oleh akuifer yang terbentuk oleh formasi hasil proses vulkanis dan endapan dari Gunung Merapi. Kawasan tersebut merupakan kawasan dengan sumberdaya airtanah yang bagus, dengan cadangan yang melimpah.

Daerah kaki gunung Merapi bagian selatan mayoritas mempunyai kemiringan lereng yang terjal hinggga mendekati datar, hal ini menyebabkan banyak terbentuknya sungai-sungai di bagian selatan Gunung Merapi. Sungai-sungai tersebut pada bagian hulu bersifat ephemeral (mengalir saat musim hujan), dan memiliki kemiringan dasar yang tinggi, tetapi sebagian juga bersifat perennial (mengalir sepanjang tahun) walapun pada musim kemarau mengalami penurunan debit aliran. Daerah hulu ini merupakan daerah resapan air yang menjadi komponen air tanah dan aliran dasar (base flow).

Pada tipe gunung api strato seperti Gunung Merapi pada umumnya terdapat sabuk mata air (spring belt). Di wilayah Gunung Merapi terdapat 4 sabuk mata air dan terdapat 212 buah mata air di wilayah Gunung Merapi. Persebaran mata air mulai dari satuan lereng Gunung Merapi hingga dataran fluvio Gunung Merapi, dengan pola mengikuti kontur lereng. Hal ini menunjukan bahwa proses infiltrasi curah hujan dibagian atas, yaitu pada satuan lereng dan kaki lereng Gunung api cukup intensif, dan akibat adanya perubahan lereng pada takik lereng maka mata air banyak bermunculan di bagian bawah.

(52)

Vegetasi

Vegetasi yang ada di Kabupaten Magelang terdiri atas vegetasi budidaya dan vegetasi non budidaya. Vegetasi budidaya meliputi komoditas produk pertanian seperti tanaman holtikultura dan tanaman perkebunan. Pada daerah lereng merapi banyak ditanami tanaman salak sebagai komoditas utama perkebunan. Beberepa pohon buah seperti pohon mangga, duku, rambutan, durian, jeruk yang juga menjadi komoditas tanaman buah. Vegetasi non budidaya meliputi beberapa jenis pohon yang tersebar di wilayah Magelang. Vegetasi mulai dari semak, perdu dan jenis-jenis pohon, seperti pinus (Pinus merkusii), akasia

(Acacia decurens), puspa (Schima noronhae), bintami (Poducarpus, sp), kina

(Chimchus spec), kelapa (Cocos nucifera), bambu, albasia, beringin. Selain itu,

palem raja (Roystonea regia ) dan glodokan tiang (Polyathia longifolia ) pada

welcome area pusat pemerintahan kabupaten dan jalur hijau jalan.

Aksesibilitas dan Sirkulasi

Jalan di Kabupaten Magelang yang berstatus jalan nasional sepanjang 27,31 km, jalan provinsi 126,78 km, jalan kabupaten 641,11 km dan jalan desa/lokal 183,49 km. Kondisi jalan yang sudah beraspal 637,11 km. Jalan berbatu 2,5 km. Beberapa jalan memiliki kondisi yang kurang baik, Untuk jembatan (nasional dan propinsi) terdapat 298 buah jembatan dengan panjang total jembatan 2.530,75 km.

Kabupaten Magelang yang berada diantara kabupaten/kota lainnya yang dihubungkan melalui akes menuju beberapa wilayah di sekitarnya, yakni Semarang, Salatiga, Temanggung, Boyolali, Yogyakarta, Purworejo, Wonosobo yang dihubungkan dengan jalan antar kabupaten/kota dan antar provinsi.

Jalan dalam kota berfungsi sebagai jalur alternatif, jalur antar kabupaten, jalur pariwisata, jalur evakuasi, dan jalur penambangan. Pola jalan yang radial konsentris direkomendasikan untuk diterapkan di Kabupaten Magelang namun berjalan kurang sempurna karena kurangnya sarana transportasi.

(53)

Sirkulasi jalan primer terdapat di pusat kota yang menghubungkan kota/kabupaten di sekitar wilayah Kabupaten Magelang. Beberapa jalur jalan menerapkan sistem sirkulasi satu arah untuk daerah yang strategis di pusat kota. Jalan lingkungan dan jalan lokal terdapat pada daerah.

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Kabupaten Magelang yang mengakomodasi aktivitas masyarakat berupa sarana transportasi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, fasilitas pendukung kegiatan ekonomi dan sosial.

Fasilitas kesehatan di Kabupaten Magelang sampai dengan bulan Juni 2010terdiri dari 223 buah Posyandu, 71 buah poliklinik desa, 29 buah puskesmas induk, 62 puskesmas pembantu dan 34 armada puskesmas keliling, serta 3 buah puskesmas perawatan. Pada saat ini belum ada pembangkit tenaga listrik yang berada di wilayah Kabupaten Magelang, Jangkauan pelayanan energi listrik di Kabupaten Magelang pada tahun 2007 menjangkau 372 listrik pedesaan sehingga semua desa 100 % sudah dijangkau listrik. Untuk daerah perkotaan listrik sudah menjangkau 5 daerah dan semua sudah terjangkau pelayanan listrik. Namun masih ada 40 dusun yang tersebar di Kabupaten Magelang yang belum terjangkau pelayanan listrik.

Berkaitan dengan penanggulangan bencana, terdapat pula jalur evakuasi bencana namun masih terdapat kendala seperti kondisi jalur evakuasi yang kurang baik, fasilitas evakuasi yang masih kurang, lokasi pengungsian yang masih kurang terorganisir.

Aspek Sosial Kependudukan

(54)

Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2009

Kecamatan Jumlah

Penduduk

Jenis

Laki-laki

Kelamin

Perempuan

01. Salaman 69.215 34.094 35.121

02. Borobudur 56.589 28.094 28.094

03. Ngluwar 30.241 15.064 15.064

04. Salam 44.408 22.945 21.462

05. Srumbung 45.344 22.842 22.502

06. Dukun 44.056 21.833 22.223

07. Muntilan 73.570 36.446 37.124

08. Mungkid 69.523 33.753 35.771

09. Sawangan 57.245 28.401 28.844

10. Candimulyo 48.362 24.527 23.835

11. Mertoyudan 97.509 48.443 49.066

12. Tempuran 48.041 24.192 23.849

13. Kajoran 56.849 28.708 28.142

14. Kaliangrik 57.115 28.404 28.712

15. Bandongan 56.249 28.247 28.002

16. Windusari 51.019 25.210 25.881

17. Secang 75.830 38.046 37.785

18. Tegalrejo 52.519 27.329 25.189

19. Pakis 55.951 27.804 28.147

20 Grabag 87.067 43.310 43.756

21. Ngablak 40.897 20.503 20.394

Kabupaten Magelang 1.217.672 608.710 608.962

(55)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Aspek Biofisik

Topografi

Kabupaten Magelang merupakan wilayah yang dikelilingi oleh beberapa pegunungan. Pada wilayah barat dan timur Kabupaten Magelang berbatasan langsung dengan beberapa pegunungan diantaranya, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Andong, Gunung Telomoyo dan Pegunungan Menoreh. Kabupaten Magelang memiliki topografi yang beragam dengan sebagian besar daerahnya memiliki topografi berbukit. Kondisi topografi sebagian besar wilayah Kabupeten Magelang yang berbukit menyajikan keindahan panorama alam namun juga berpotensi bahaya terutama bahaya lanskap. Pada daerah tersebut, bahaya lanskap dapat berupa erosi dan longsor. Bahaya lanskap dapat diminimalkan dengan pengembangan ruang terbuka hijau pada daerah tersebut.

Kabupaten Magelang memiliki beberapa gunung yaitu gunung Merapi (2.911 m dpl), Merbabu (3.199 m dpl), Sumbing (3.296 m dpl), Telomoyo (1.894 m dpl) dan Andong (1.736 m dpl). Ketinggian wilayah dari permukaan laut berkisar antara 154 m dpl – 3.296 m dpl dengan wilayah dengan ketinggian 154 - 500 m dpl sebanyak 47%, wilayah dengan ketinggian 500 – 1000 m dpl dengan 35%, wilayah dengan ketinggian > 1000 m dpl dengan 18%. Hal ini memberikan indikasi bahwa Kabupaten Magelang memiliki potensi untuk budidaya berbagai jenis tanaman dataran rendah maupun dataran tinggi.

Kemiringan lahan di Kabupaten Magelang terbagi menjadi daerah datar (kemiringan 0–15%) meliputi Kecamatan Mertoyudan, Mungkid, Muntilan, Salam, Ngluwar dan Secang. Daerah bergelombang – berbukit (kemiringan 16– 40%) meliputi Kecamatan Tempuran, Salaman, Borobudur, Srumbung, Dukun, Sawangan, Candimulyo, Tegalrejo, Grabag dan Bandongan dan daerah bergunung-gunung dengan lembah yang curam (kemiringan >40%) meliputi Kecamatan Ngablak, Pakis, Windusari, Kaliangkrik dan Kajoran.

(56)

daerah yang curam memiliki luas 41.037 ha dan sangat curam dengan luas 14.155 ha yang berada di kawasan pegunungan.

Topografi datar bersifat cenderung stabil dan sesuai untuk dijadikan sebagai ruang evakuasi. Pada topografi yang berbukit, pembangunan fisik dapat diminimalkan dan mengembangkan ruang terbuka hijau di beberapa daerah untuk budidaya yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk maupun ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai konservasi.

Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan wilayah terkait kemiringan lahan, lahan dengan kemiringan 0%-15% dapat dikembangkan menjadi RTH pusat kota, RTH kawasan indusrti, RTH pada kawasan pariwisata, RTH tepi pantai dan RTH kawasan DAS. Kawasan dengan kemiringan 15%-45% dapat dikembangkan RTH pertanian, RTH perkebunan, maupun RTH pariwisata, kawasan dengan kemiringan <45% telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

(57)
(58)

Pengunaan Lahan

Luas keseluruhan Kabupaten Magelang adalah 108.573 ha dengan luas ruang terbuka hijau sebesar 93.298,15 ha dengan persentase 85,85%. Penggunaan lahan didominasi oleh hutan, sawah, semak, tegalan, kebun, padang rumput, permukiman, kawasan jasa dan penunjang aktivitas masyarakat.

Pada kawasan Kabupaten Magelang yang termasuk dalam kawasan rawan bencana letusan gunung berapi, prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi yang memiliki fungsi lindung, harus dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan lindung dan pada kawasan yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat yang memanfaatkannya untuk kegiatan budidaya.

Secara garis besar penggunaan ruang Kabupaten Magelang dibagi berdasarkan peruntukan budidaya dan non budidaya, alokasi penggunaan lahan di Kabupeten Magelang meliputi kawasan non budidaya lindung yang dapat dikelompokkan menjadi kawasan lindung hidrologi, kawasan budaya (cagar budaya), dan flora-fauna (suaka alam) sedangkan untuk pembagian kawasan budidaya di Kabupaten Magelang dikelompokkan menjadi kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya non pertanian. Kawasan lainnya tergolong sebagai kawasan perkotaan yang terdiri atas kawasan pemukiman, kawasan industri.

Penggunaan lahan untuk mendukung upaya penanggulangan bencana sebagai ruang evakuasi dapat diuraikan berdasarkan pembagian penggunaan lahan di Kabupaten Magelang yang meliputi kawasan budidaya, kawasan lindung atau konservasi dan kawasan perkotaan. Kawasan budidaya baik kawasan budidaya pertanian maupun kawasan budidaya non pertanian termasuk dalam ketegori sesuai untuk dikembangkan sebagai ruang evakuasi bencana namun perlu penambahan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. Kawasan lindung atau konservasi yang berfungsi untuk mencegah ancaman bahaya dari bencana geologi lainnya seperti erosi dan longsor yang sangat rentan terjadi di Kabupaten Magelang, kawasan konservasi di daerah bantaran sungai juga perlu dikembangkan untuk mencegah penyebaran bahaya dari aliran lahar. Kawasan ini termasuk dalam ketegori cukup sesuai. Kawasan perkotaan termasuk dalam ketegori tidak sesuai untuk dikembangkan sebagai Gambar 2. Peta Analisis Kemiringan Lahan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 3.
Tabel 1. Jenis, Bentuk Pengambilan, Sumber dan Bentuk Data
Tabel 2. Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian yang diperoleh dari upaya ketahanan bermukim masyarakat kawasan rawan bencana leeng Gunung Merapi, didapatkan kesimpulan bahwa alasan bertahan

Yogyakarta ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman masyarakat sekitar Gunung Merapi mengenai istilah komunikasi mitigasi bencana, upaya yang dilakukan Badan Geologi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui efektivitas bahan ajar buku Panduan Pembelajaran Kebencanaan Kabupaten Klaten pada bencana letusan gunung berapi

Berdasarkan hasil studi kesesuaian lahan permukiman pada kawasan rawan bencana gunung berapi di Kota Tomohon berdasarkan persebaran kawasan permukiman menunjukkan kawasan

Tesis yang berjudul “ANALISIS RISIKO SEKOLAH TERHADAP BENCANA ERUPSI PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA DI KAWASAN RAWAN BENCANA MERAPI KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2013”

Pinkan Bening Ajuba Studi Kebijakan Mitigasi Bencana Gunung Api Berbasis Kearifan Lingkungan di SDN Ngablak Srumbung Magelang Deskriptif Kualitatif Kearifan

21/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata

Sekolah yang dijadikan tempat penelitian memiliki karakter yang unik dengan bencana, khususnya erupsi Gunung Merapi, berdasarkan peta kawasan rawan bencana gunungapi merapi dari Pusat