I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi yang terjadi dewasa ini, perdagangan internasional
dianggap semakin penting karena dapat menciptakan hubungan antar negara
menjadi semakin erat. Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang
dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar
kesepakatan bersama. Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh karena
melakukan perdagangan internasional, diantaranya adalah dapat mendorong
industrialisasi, kemajuan transportasi, dan kehadiran perusahaan multinasional
(Oktaviani dan Novianti, 2009).
Impor merupakan salah satu kegiatan dalam perdagangan internasional
yang memegang peranan penting bagi perekonomian. Dengan melakukan impor,
maka dapat memudahkan bagi suatu negara dalam memenuhi kebutuhan
masyarakatnya yang semakin banyak dan beragam yang tidak dapat dipenuhi oleh
pasar dalam negeri atau pasar domestik. Selain itu, impor juga dapat mendorong
kelancaran arus perdagangan luar negeri dan memberikan multiplier effect
terhadap kegiatan ekonomi lainnya. Dengan melakukan impor, maka
industri-industri di suatu negara dapat memenuhi kebutuhannya dalam penyediaan bahan
baku yang tidak terdapat di dalam negeri sehingga dapat meningkatkan kinerja
industri lokal.
Impor memiliki banyak peran dalam suatu negara, tetapi peningkatan
impor secara terus menerus dapat berbahaya bagi perekonomian. Peningkatan
impor yang terus menerus dapat menyebabkan neraca pembayaran menjadi defisit
dan defisit tersebut harus ditutupi oleh negara. Defisit yang terjadi dalam jangka
panjang perlu diwaspadai karena membutuhkan pendanaan terus menerus.
Pendanaan ini biasanya berupa pijaman dari luar negeri yang tentu saja harus
dikembalikan di masa depan. Sehingga defisit neraca pembayaran secara tidak
langsung akan berakibat pada posisi pinjaman hutang luar negeri suatu negara.
Sebagian besar perekonomian dunia adalah perekonomian terbuka karena
mereka mengekspor barang dan jasa keluar negeri, mengimpor barang dan jasa
Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem perekonomian terbuka.
Secara teoritis, impor di negara dengan sistem perekonomian yang terbuka
memiliki hubungan yang positif dengan pendapatan riil serta berhubungan negatif
dengan harga relatif. Namun, sejak terjadinya krisis finansial di Asia yang
menyebabkan Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate) maka nilai tukar menjadi berfluktuasi dan memiliki volatilitas (resiko). Hal ini menyebabkan impor di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh
pendapatan riil dan harga relatif saja, tetapi volatilitas nilai tukar juga
diperkirakan memiliki pengaruh terhadap impor di Indonesia.
Krisis Finansial Asia (Asian Financial Crisis) terjadi karena adanya aliran modal ke luar negeri secara besar-besaran sehingga neraca pembayaran
internasional menjadi defisit dan terpuruknya nilai tukar mata uang lokal sehingga
terjadi pembengkakan hutang luar negeri yang dihadapi oleh beberapa negara di
Asia Tenggara dan Asia Timur. Krisis finansial Asia merupakan krisis finansial
yang dimulai pada tahun 1997 di Thailand. Pelarian modal secara besar-besaran
yang tejadi di Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan ini berpuncak
pada tanggal 2 Juli 1997 dimana pemerintah Thailand tidak sanggup lagi menjaga
nilai tukar Bath terhadap Dolar Amerika Serikat dengan menggunakan dana
cadangannya. Hal ini membuat pemerintah Thailand menyerahkan nilai tukar
mereka kepada mekanisme pasar. Indonesia juga melakukan hal yang sama
dengan Thailand, dimana pada tanggal 14 Agustus 1997 Menteri Keuangan
Indonesia mengumumkan untuk menerapkan rezim nilai tukar mengambang. Hal
yang sama juga dilakukan oleh Korea Selatan yang tidak sanggup lagi menjaga
nilai tukar Won terhadap Dolar Amerika Serikat (Hadiwinata, 2002). Krisis
finansial ini menyebabkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN.
Contagion effect merupakan salah satu faktor yang muncul karena mekanisme pasar yang semakin bebas dan juga sistem ekonomi atau moneter yang
diterapkan. Efek ini muncul dengan mengasumsikan ekspektasi kesamaan reaksi
dari satu negara dengan negara lainnya, yang diakibatkan persamaan profil dan
kondisi ekonomi dan politik. Selain itu, efek ini muncul karena sebuah kiblat
lainnya). Contohnya depesiasi Bath Thailand mempengaruhi depresiasi Rupiah
karena antara Thailand dan Indonesia mengalami persamaan ekonomi (Fauzi,
2007).
Sejak terjadinya krisis Asia tahun 1997, negara yang dulunya menerapkan
sistem nilai tukar tetap, beralih ke sistem nilai tukar mengambang, termasuk
Indonesia. Pada saat pergantian sistem nilai tukar mengambang, Indonesia juga
mengalami krisis moneter sehingga nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika
Serikat menjadi terdepresiasi dan mempunyai tingkat volatilitas yang cukup
tinggi. Tidak hanya Indonesia saja yang mengalami depresiasi nilai tukar, krisis
ini juga menyebabkan nilai tukar negara-negara ASEAN dan beberapa negara
Asia Timur terdepresiasi tajam.
Volatilitas nilai tukar tidak hanya mengukur perubahan, tetapi lebih
menunjukan resiko dari mata uang. Semakin volatile mata uang berarti semakin besar resiko mata uang tersebut. Menurut Arize (1998), volatilitas nilai tukar
berhubungan negatif dengan arus perdagangan internasonal. Hal ini karena
volatilitas nilai tukar akan menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi karena
adanya biaya yang digunakan untuk menghindari resiko dalam perdagangan.
Namun menurut Cheong (2004), hubungan volatilitas nilai tukar terhadap
perdagangan internasional bisa berbeda antar negara, tergantung perilaku dari
masing-masing pelaku perdagangan internasional di negara tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka sangat penting untuk meneliti bagaimana
hubungan antara volatilitas nilai tukar terhadap impor di berbagai negara. Terkait
dengan upaya mendorong liberalisasi perekonomian, saat ini perekonomian Asia
diwarnai dengan peningkatan kerjasama antara ASEAN dengan India, Cina, New
Zealand, Korea Selatan, Australia, dan Jepang, yang dikenal dengan ASEAN+6.
Bersama dengan Uni Eropa dan Amerika Utara kini ketiga lingkup kerjasama
regional ini menjadi pusat perekonomian dunia. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor, khususnya
hubungan volatilitas nilai tukar riil dan impor di kawasan ASEAN+6, selain itu
juga akan dibandingkan dengan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika
1.2 Rumusan Masalah
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berkaitan dengan
kondisi perekonomian Amerika Serikat yang memburuk. Krisis keuangan yang
terjadi di Amerika Serikat telah berkembang menjadi masalah yang serius.
Guncangan yang terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah
memberikan dampak terhadap perekonomian dunia. Dampak krisis keuangan
global di setiap negara akan berbeda, karena sangat bergantung pada kebijakan
yang diambil dan fundamental ekonomi negara yang bersangkutan. Perekonomian
Amerika Serikat diprediksi akan melemah, sehingga negara-negara di kawasan
Eropa dan Asia akan melemah pula.
Sumber: WDI, diolah
Gambar 1.1. Pergerakan Indeks Volume Impor (2000=100) ASEAN Tahun 2002-2010
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 menyebabkan
macetnya sistem keuangan dunia sehingga menyebabkan merosotnya aktivitas
dunia dan perdagangan dunia. Dampak krisis keuangan global sudah mulai terjadi
pada tahun 2008. Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa dampak penurunan indeks
volume impor di Indonesia sebagai akibat dari krisis keuangan global terjadi pada
tahun 2009 dimana indeks volume impor turun dari indeks 173,96 pada tahun
2008 menjadi 138,76 pada tahun 2009 atau turun sekitar 20,24 persen. Hal ini
juga terjadi pada negara ASEAN lainnya. Di Malaysia penurunan indeks volume
impor terjadi sejak tahun 2008 yaitu sebesar 1,2 persen dan turun kembali pada
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
tahun 2009 yaitu sebesar 19,5 persen. Hal yang sama juga terjadi di Filipia,
penurunan indeks volume impor sudah terjadi sejak tahun 2008 dimana pada
tahun tersebut, impor di Filipina turun sekitar 9,3 persen dan kemudian turun
kembali pada tahun 2009 sebesar 15,8 persen.
Penurunan indeks volume impor juga terjadi di salah satu negara maju di
ASEAN yaitu Singapura. Penurunan impor di Singapura merupakan penurunan
yang paling kecil dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar
14,11 persen. Sedangkan penurunan indeks volume impor yang paling besar di
antara negara-negara ASEAN terjadi di Thailand, dimana impor Thailand turun
sebesar 22,33 persen.
Mengingat semakin pentingnya impor bagi suatu negara maka dalam
penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi impor
suatu negara, khususnya hubungan volatilitas nilai tukar dan impor. Penelitian
tentang hubungan volatilitas nilai tukar riil dengan impor telah menjadi banyak
perhatian bagi para ekonom di dunia. Hal ini karena dampak volatilitas nilai tukar
riil terhadap impor dapat berbeda di setiap negara, sehingga akan berpengaruh
terhadap kebijakan apa yang harus diterapkan oleh negara tersebut. Oleh karena
itu, permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi impor di seluruh kawasan
(ASEAN+6 dan non ASEAN+6)?
2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6
dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara)?
1.3 Tujuan Penelitian
Bertolak dari latar belakang dan permasalahan yang sudah dijelaskan,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di seluruh kawasan
(ASEAN+6 dan non ASEAN+6).
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi impor di kawasan
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi impor
di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6
2. Memberikan informasi tentang hubungan antara volatilitas nilai tukar riil
dengan impor di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6
3. Bagi para pembuat kebijakan, dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
membuat kebijakan di tingkat nasional maupun internasional.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis secara eksploratif dan kuantitatif
dengan menggunakan ekonometrika. Analisis dalam penelitian ini hanya terbatas
pada analisis mengenai faktor-faktor yang memengauhi impor di kawasan
ASEAN+6 dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Oleh karena itu,
dalam analisis ini faktor-faktor eksternal yang mungkin memengaruhi dalam
analisis dianggap konstan.
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan lima negara ASEAN yaitu
Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Terkait dengan kerjasama
perdagangan bebas ASEAN yang melibatkan India, Cina, New-Zealand, Korea
Selatan, Australia, dan Jepang, maka penulis memasukkan enam negara tersebut
dalam lingkup kawasan ASEAN+6. Sebagai pembanding, untuk kawasan non
ASEAN+6 diwakili oleh Uni Eropa dan Amerika Utara. Untuk kawasan Uni
Eropa diwakili oleh Jerman, Perancis, dan Inggris, sedangkan untuk kawasan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka beberapa teori yang
digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yangn memengaruhi impor di
kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara) adalah
sebagai berikut:
2.1.1 Nilai Tukar (Exchange Rate)
Nilai tukar adalah harga relatif dari satu mata uang dalam perdagangan
(Hossain dan Chowdhury, 1998). Nilai tukar antara dua negara merupakan tingkat
harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan
perdagangan (Mankiw, 2003). Para ekonom membedakan nilai tukar menjadi dua,
yaitu nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Hossain dan Chowdhury (1998) merumuskan nilai tukar nominal ( ) sebagai berikut:
(2.1)
dimana adalah tingkat harga domestik dan adalah tingkat harga luar negeri.
Nilai tukar riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara dua negara (Mankiw, 2003). Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita
bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari
negara lain. Nilai tukar riil kadang-kadang disebut term of trade. Hossain dan Chowdhury (1998) merumuskan nilai tukar riil ( ) sebagai berikut:
(2.2)
dimana adalah nilai tukar nominal (domestic currency/ foreign currency), adalah tingkat harga domestik, dan adalah tingkat harga luar negeri. Jika nilai
tukar riil di suatu negara terapresiasi maka harga barang-barang domestik relatif
lebih mahal daripada harga barang-barang luar negeri, sehingga negara tersebut
akan cenderung untuk melakukan impor. Sebaliknya, jika nilai tukar riil di suatu
negara terdepresiasi maka harga barang-barang domestik relatif lebih murah
daripada harga barang-barang luar negeri, sehingga negara tersebut akan
2.1.2 Sistem Nilai Tukar
Sistem nilai tukar di suatu negara memiliki pengaruh dan peranan terhadap
resiko dari fluktuasi nilai tukar yang akan memengaruhi perekonmian negara
tersebut. Sistem nilai tukar dalam keuangan internasional diklasifikasikan menjadi
dua jenis, yaitu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate).
Dalam sistem nilai tukar tetap, nilai mata uang dipagu relatif terhadap nilai
mata uang lain, sehingga nilai tukar dibuat tetap (Mishkin, 2009). Menurut
Mankiw (2003), nilai tukar tetap merupakan nilai tukar yang ditetapkan oleh
kehendak bank sentral untuk membeli dan menjual mata uang domestik terhadap
mata uang asing pada harga yang sudah ditetapkan sebelumnya. Nilai tukar tetap
mengarahkan kebijakan moneter pada satu tujuan tunggal, yaitu mempertahankan
nilai tukar pada tingkat yang telah diumumkan. Dengan kata lain, esensi dari
sitem nilai tukar tetap adalah komitmen bank sentral untuk membiarkan jumlah
uang beredar menyesuaikan berapapun nilai tukar yang menjamin nilai tukar
ekuilibrium sama dengan nilai tukar yang diumumkan. Selain itu, selama bank
sentral siap membeli atau menjual mata uang asing pada nilai tukar tetap, jumlah
uang beredar menyesuaikan secara otomatis pada tingkat yang diperlukan.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, sebagian besar perekonomian dunia
beroperasi dengan sistem Bretton-Woods, yaitu sistem moneter internasional yang disepakati sebagian besar negara untuk menetapkan nilai tukar. Dengan sistem
nilai tukar Bretton-Woods maka nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain menjadi pasti, sehingga eksportir dan importir dapat
memperhitungkan keuntungan dari transaksi perdagangan internasional. Dunia
membatalkan sistem ini pada tahun 1973, dan nilai tukar dibiarkan mengambang.
Nilai tukar mengambang merupakan nilai tukar yang dibiarkan oleh bank
sentral untuk berubah dalam menanggapi perubahan kondisi ekonomi dan
kebijakan ekonomi (Mankiw, 2003). Dengan sistem nilai tukar mengambang, nilai
tukar dibiarkan berfluktuasi dengan bebas untuk menanggapi kondisi
perekonomian yang sedang berubah. Tetapi nilai tukar mengambang memiliki
dampak negatif karena nilai tukar menjadi tidak stabil sehingga sewaktu-waktu
terhadap perdagangan internasional karena hal ini dapat membuat eksporir dan
imporir tidak dapat dengan mudah memperhitungkan keuntungan yang dapat
dihasilkan dari kegiatan perdagangan internasional.
2.1.3 Teori Permintaan
Kurva permintaan adalah kurva yang memperlihatkan hubungan antara
harga dari suatu produk dan jumlah dari produk yang diminta. Hukum permintaan
menjelaskan bahwa ketika harga suatu produk turun, maka jumlah yang diminta
dari produk tersebut akan meningkat, sebaliknya jika harga dari suatu produk naik
maka jumlah yang diminta dari produk tersebut akan turun (Hubbard dan O’Brien, 2009). Terdapat beberapa variabel yang dapat menggeser permintaan pasar,
diantaranya adalah:
a. Pendapatan: pendapatan yang dimiliki konsumen untuk dibelanjakan
memengaruhi keinginan dan kemampuan mereka untuk membeli barang.
Suatu barang disebut barang normal ketika permintaan barang tersebut
meningkat mengikuti peningkatan pendapatan, dan sebaliknya. Suatu
barang disebut barang inferior ketika permintaan barang tersebut turun
mengikuti peningkatan dalam pendapatan , dan sebaliknya.
b. Harga relatif: harga barang lain dapat memengaruhi permintaan terhadap
suatu barang.
Secara umum perdagangan internasional dibedakan menjadi dua, yaitu
ekspor dan impor. Ekspor merupakan barang dan jasa yang diproduksi di dalam
negeri dan kemudian dijual di luar negeri. Sedangkan impor merupakan barang
dan jasa yang diproduksi di luar negeri dan kemudian dijual di dalam negeri
(Delong, 2002).
Impor merupakan salah satu kegiatan dalam perdagangan internasional
dari sisi permintaan. Jika dilihat dari teori permintaan, maka terdapat beberapa
faktor yang dapat memengaruhi permintaan impor, diantaranya adalah:
2.1.3.1Kaitan Impor dengan Pendapatan Riil
Pendapatan riil merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi
dimiliki asing (Mankiw, 2003). Salah satu komponen dalam GDP adalah ekspor
bersih, yang merupakan selisih antara ekspor dan impor. Ekspor merupakan
barang dan jasa yang diproduksi didalam negeri dan kemudian dijual diluar
negeri. Sedangkan impor adalah barang dan jasa yang diproduksi diluar negeri
dan kemudian dijual didalam negeri (Delong, 2002).
Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik dapat diukur dengan GDP
riil. Hal ini karena GDP riil menghitung output barang dan jasa dalam
perekonomian dan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga, dengan kata lain
nilai barang dan jasanya diukur dengan menggunakan harga konstan. Sehingga
GDP riil menunjukan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika
jumlah berubah tetapi harga tidak. GDP riil dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.3)
GDP nominal mengukur nilai uang yang berlaku dari output perekonomian,
sedangkan GDP deflator mengukur harga output relatif terhadap harganya pada
tahun dasar (Mankiw, 2003).
Permintaan untuk impor dipengaruhi oleh pendapatan riil (Delong, 2002).
Secara teori antara impor dengan pendapatan riil berhubungan positif. Jika
semakin tinggi pendapatan riil maka ini sama saja dengan semakin banyak uang
yang dimiliki atau digunakan oleh konsumen dan investor yang dapat dihabiskan
atau digunakan untuk impor, sehingga impor akan meningkat.
Teori permintaan standar menunjukan bahwa turunan secara parsial dari
permintaan impor terhadap pendapatan domestik adalah positif (Akpokodje dan
Omojimite, 2009). Terdapat dua alasan kenapa impor riil diperkirakan akan
meningkat karena pendapatan riil. Pertama, jika peningkatan dalam pendapatan
riil akan meningkatkan konsumsi riil sehingga akan menyebabkan lebih banyak
barang luar negeri yang akan dibeli, dengan asumsi distribusi pendapatan riil tidak
berubah. Kedua, jika peningkatan pendapatan riil menyebabkan peningkatan
dalam investasi riil sehingga investasi untuk barang-barang yang tidak diproduksi
secara domestik harus dibeli dari luar negeri, hal ini berarti impor akan
2.1.3.2Kaitan Impor dengan Harga Relatif
Harga relatif merupakan salah satu faktor yang memengaruhi impor.
Menurut Mankiw (2003), harga relatif sama saja dengan nilai tukar riil. Nilai
tukar riil diantara kedua negara dihitung dari nilai tukar nominal (mata uang
domestik/mata uang luar negeri) dan tingkat harga diantara kedua negara. Hossain
dan Chowdhury (1998) merumuskan nilai tukar riil ( ) sebagai berikut:
(2.4)
dimana adalah nilai tukar nominal (domestic currency/ foreign currency), adalah tingkat harga domestik, dan adalah tingkat harga luar negeri.
Hubungan antara nilai tukar riil dengan permintaan impor adalah negatif
(Akpokodje dan Omojimite, 2009). Ini mengimplikasikan bahwa depresiasi dari
nilai tukar riil akan meningkatkan biaya impor sehingga menyebabkan permintaan
impor riil akan turun, dengan asumsi faktor lainnya dianggap konstan. Sebaliknya,
apresiasi nilai tukar riil akan menyebabkan biaya untuk impor menjadi lebih
rendah sehingga permintaan untuk impor menjadi meningkat.
2.1.3.3Kaitan Impor dengan Volatilitas Nilai Tukar
Salah satu perhatian utama sejak diperkenalkannya sistem nilai tukar
mengambang adalah apakah peningkatan volatilitas nilai tukar (resiko)
memengaruhi aliran perdagangan internasional. Volatilitas nilai tukar tidak hanya
mengukur perubahan, tetapi lebih menunjukan faktor resiko dari mata uang.
Semakin volatile mata uang berarti semakin besar resiko mata uang tersebut. Volatilitas nilai tukar riil ( ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
(2.5)
dimana RER adalah nilai tukar riil.
Volatilitas nilai tukar berkaitan dengan arus perdagangan internasonal
karena semakin besar volatilitas mata uang maka akan berdampak negatif
terhadap arus perdagangan internasional (Arize, 1998). Peningkatan volatilitas
nilai tukar merupakan resiko dalam melakukan perdagangan internasional,
termasuk impor. Semakin tinggi volatilitas nilai tukar, akan menyebabkan biaya
untuk impor menjadi lebih tinggi karena adanya biaya yang digunakan untuk
menghindari resiko perdagangan yang pada akhirnya akan berdampak pada
disepakati pada kontrak perdagangan, sedangkan pembayaran terhadap
perdagangan tersebut dilakukan sampai pengiriman barang dilakukan dimasa
depan (pembayaran dilakukan setelah pengiriman terjadi). Jika perubahan nilai
tukar menjadi tidak terduga atau tidak dapat diprediksi, hal ini akan menciptakan
ketidakpastian mengenai keuntungan yang akan dibuat dari pengadaan kegiatan
impor tersebut, dan karenanya akan mengurangi manfaat dari perdagangan
internasional. Tetapi, hubungan antara volatilitas nilai tukar dan impor juga dapat
positif. Menurut De Grauwe (1988), bahwa jika efek pendapatan lebih
mendominasi efek substitusi maka akan menyebabkan hubungan positif antara
perdagangan dan volatilitas.
Dampak volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan internasional juga
dipengaruhi oleh perilaku dari pelaku perdagangan internasional (Cheong, 2004).
Jika pedagang bersikap risk-neutral, maka volatilitas nilai tukar dapat dijadikan kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan keuntungan sehingga akan
menyebabkan peningkatan terhadap impor. Sebaliknya, jika pedagang bersikap
menghindari resiko, maka volatilitas nilai tukar dianggap sebagai resiko dalam
kegiatan impor yang dapat mengurangi keuntungan mereka dalam melakukan
kegiatan impor tersebut sehingga akan cenderung mengurangi impor. Pengetahuan
tentang sejauh mana volatilitas nilai tukar memengaruhi impor penting untuk
desain kebijakan antara nilai tukar dan kegiatan impor. Misalnya, jika volatilitas
nilai tukar menyebabkan peningkatan impor, maka program penyesuaian
perdagangan untuk menghambat ekspansi impor tidak bisa berhasil jika nilai tukar
tidak stabil.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian sebelumnya telah dikaji pengaruh dari volatilitas nilai
tukar terhadap impor di berbagai negara dengan menggunakan beberapa metode.
Dari penelitian terdahulu, hubungan antara volatilitas nilai tukar dengan impor
menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Sebagian besar penelitian
menunjukan bahwa hubungan antara volatilitas nilai tukar dengan impor adalah
negatif, tetapi terdapat pula penelitian yang menghasilkan kesimpulan bahwa
Penelitian yang memberi hasil bahwa hubungan antara volatilitas nilai
tukar dengan impor adalah positif yaitu penelitian yang dilakukan oleh Arize
(1998) yang meneliti tentang efek volatilitas nilai tukar terhadap impor di
Amerika Serikat. dalam penelitian ini, dia menggunakan Johansen,
Stock&Watson, Phillips&Loretan. Hasil menunjukan bahwa pendapatan riil
berpengaruh positif terhadap impor, sedangkan harga relatif dan volatilitas nilai
tukar bepengaruh negatif terhadap impor di Amerika Serikat. Selain itu, dengan
menggunakan Error Correction Model (ECM) menunjukan bahwa volatilitas nilai
tukar memiliki efek negatif dalam jangka pendek dan jangka panjang pada
permintaan impor di Amerika Serikat.
Penelitian yang dilakukan Arize dan Shwiff (1998), tentang pengaruh
volatilitas nilai tukar terhadap impor di negara G-7 dengan menggunakan
Multivariate Johansen Cointegration. Hasil menunjukan bahwa pendapatan riil
berpengaruh positif terhadap impor di semua negara G-7 dan terdapat respon yang
cukup besar dari impor terhadap perubahan pendapatan riil. Untuk harga relatif
berpengaruh negatif terhadap impor di semua negara G-7 kecuali Perancis.
Sedangkan volatilitas nilai tukar memiliki efek negatif terhadap impor di semua
negara G-7 kecuali untuk Kanada. Dengan menggunakan Stock&Watson
estimates dan Phillips&Loretan estimates menghasilkan tanda dan signifikansi dari koefisien yang mirip dengan menggunakan Multivariate Johansen
Cointegration.
Alam dan Ahmed (2011) menganalisis pengaruh volatilitas nilai tukar dan
beberapa variabel penjelas terhadap impor bilateral di Pakistan terhadap mitra
dagang utamanya yaitu Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, Jerman, dan Kuwait. Dalam penelitiannya, mereka menggunakan model
Autoregressive Distributed Lag (ARDL). Hasil menunjukan bahwa ada bukti
hubungan jangka panjang antara bilateral impor, pendapatan riil, harga relatif,
nilai tukar riil efektif, dan volatilitas nilai tukar riil di Amerika Serikat, Inggris,
Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Jerman. Volatilitas nilai tukar
berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap impor bilateral Pakistan untuk
Inggris. Untuk impor bilateral Pakistan terhadap Amerika Serikat dan Jepang,
bilateral. Sedangkan volatilitas nilai tukar berpengaruh positif tetapi tidak
signifikan terhadap impor bilateral Pakistan untuk Jerman, Arab Saudi, dan Uni
Emirat Arab.
Alam dan Ahmed (2010) mengkaji hubungan volatilitas nilai tukar
terhadap impor di Pakistan. Dalam peneliannya, mereka menggunakan model
Autoregressive Distributed Lag (ARDL) untuk mengidentifikasi pengaruh
volatilitas nilai tukar terhadap impor. Hasil menunjukan bahwa volatilitas nilai
tukar riil berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan terhadap impor di Pakistan.
Abdul H. Sukar meneliti pengaruh nilai tukar yang tidak terduga terhadap
impor di Amerika Serikat. Dalam penelitiannya, ia menggunakan Error Correction
Model (ECM) dan hasilnya menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar memiliki
pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap impor di Amerika Serikat.
Koray dan Lastrapes (1989) menganalisis dampak yang ditimbulkan dari
adanya volatilitas nilai tukar terhadap impor bilateral Amerika Serikat dengan
Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, dan Kanada. Dalam penelitiannya, mereka
menggunakan VAR. Hasil menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang lemah dari
volatilitas nilai tukar terhadap impor dan volatilitas nilai tukar cenderung
mengurangi impor.
Cheong (2004) memeriksa pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap impor
di Inggris. Dalam penelitiannya, dia menggunakan model GARCH untuk
mengukur resiko dari fluktuasi nilai tukar. ECM digunakan untuk melihat
pengaruh volatilitas nilai tukar terhadap impor di Inggris. Hasil penelitian
menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap impor di Inggris.
Selain itu Kayis dan Ozturk (2005) dengan menggunakan GARCH
meneliti hubungan volatilitas nilai tukar terhadap perdagangan bilateral antara
Amerika serikat dengan Hongkong, Korea, dan Singapura. Hasil menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang negatif antara volume perdagangan dengan
volatilitas nilai tukar, yang artinya bahwa peningkatan volatilitas nilai tukar
menurunkan perdagangan internasional.
Terdapat pula penelitian yang menyimpulkan hubungan yang positif antara
(2008), tentang hubungan volatilitas nilai tukar terhadap impor riil di Inggris dari
Kanada, Jepang, dan New-Zealand. Dalam penelitiannya, dia menggunakan Error
Correction Model (ECM). Hasil menunjukan bahwa terdapat pengaruh signifikan
dan positif dari volatilitas nilai tukar terhadap impor riil di Inggris dari Kanada,
Jepang, dan New-Zealand.
Akpokodje dan Omojimite (2009) mengkaji mengenai pengaruh volatilitas
nilai tukar terhadap impor di negara ECOWAS. Mereka menggunakan GARCH
dalam menghitung volatilitas nilai tukar. Dengan menggunakan panel data, hasil
menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar memiliki dampak yang negatif terhadap
impor di semua negara ECOWAS, tetapi setelah dipisah antara negara-negara
CFA dan non CFA maka hasilnya menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar
memiliki dampak positif terhadap impor di negara CFA, dan sebaliknya di negara
non CFA. Sedangkan pengaruh nilai tukar riil dan pendapatan domestik terhadap
impor adalah sama, baik di negara CFA maupun non CFA, dimana nilai tukar riil
berhubungan negatif dengan impor sedangkan pendapatan domestik berhubungan
positif dengan impor.
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian terdahulu. Perbedaan
penelitian ini adalah bahwa penelitian ini menganalisis hubungan volatilias nilai
tukar riil terhadap impor dengan menggunakan sampel negara yang berbeda
dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu di kawasan ASEAN+6 dan
kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Selain itu perbedaan
penelitian ini adalah cakupan time series (periode penelitian), dan metode yang digunakan adalah dengan menggunakan panel dinamis (dynamic panel).
2.3 Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini menggunakan tiga variabel yang diduga berpengaruh
terhadap impor. Variabel tersebut yaitu pendapatan riil, harga relatif, dan
volatilitas nilai tukar riil. Permintaan untuk impor diukur dengan menggunakan
indeks volume impor (M), pendapatan riil diukur dengan menggunakan GDP riil
(Y), harga relatif diukur dengan menggunakan nilai tukar riil (RER), dan
Impor dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing kawasan. Tetapi,
dalam penelitian ini, lebih berfokus pada pengaruh volatilitas nilai tukar riil
terhadap impor. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis bagaimana
respon impor terhadap perubahan yang terjadi pada volatilitas nilai tukar riil di
kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 dengan menggunakan analisis
eksploratif dan model panel data dinamis.
Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang mempengaruhi impor
Volatilitas Nilai Tukar Riil Nilai tukar
Riil Pendapatan
Riil
Karakteristik Kawasan Asian Financial Crisis
Impor
Granger Causality test
Analisis Eksploatif Estimasi model panel
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
negara-negara di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan
Amerika Utara) yang diperoleh dari beberapa sumber diantaranya World Development Indicators (WDI), World Bank, CEIC, dan beberapa sumber lainnya. Data yang digunakan dalam bentuk data panel yaitu gabungan data deret waktu
dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 dan data cross-section. Penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal dan artikel yang terkait dengan
penelitian ini.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah permintaan impor
dengan menggunakan data indeks volume impor, pendapatan riil dengan proxy
GDP riil, harga relatif dengan proxy nilai tukar riil, dan volatilitas nilai tukar riil. Berikut adalah variabel yang digunakan dalam penelitian ini:
M : Indeks volume impor (2000 = 100)
Y : GDP riil (constant 2005 LCU)
RER : Nilai tukar riil (2005 = 100), dimana peningkatan mengindikasikan
depresiasi
V : Volatilitas nilai tukar riil yang diperoleh dengan menggunakan standar
deviasi.
3.2 Metode Analisis
Dalam penelitian ini, untuk mendukung analisis mengenai hubungan
impor dengan volatilitas nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6
(Uni Eropa dan Amerika Utara), maka digunakan berbagai metode analisis data
dengan bantuan software Microsoft Excel 2007, Eviews 6, dan Stata 12.
3.2.1 Granger Causality Test pada Data Panel
Hubungan kausalitas (causality) adalah hubungan jangka pendek antara
kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang mencakup
juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari analisis spektrum,
Dari pandangan ekonometrik, ide utama dari kausalitas adalah sebagai berikut.
Pertama, jika X memengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu
dalam memprediksikan Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke
regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas
(explanatory power) dari regresi. Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu
dalam memprediksikan X karena jika X dapat membantu dalam memprediksikan Y,
dan Y dapat membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar terdapat
variabel lain, katakan Z, yang memengaruhi X dan Y (Fauzi, 2007).
Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat antara dua
variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas tiga kategori,
yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua arah dan hubungan
timbal balik. Dengan panjang lag optimal, p, maka prinsip kerja dari Granger
Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana
diuraikan sebagai berikut:
(3.1)
(3.2)
Pada persamaan regresi model pooled pertama (3.1), X memengaruhi Y atau
hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien tidak sama dengan nol
(0). Hal yang sama juga untuk persamaan regresi model pooled kedua (3.2), Y
memengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika
koefisien tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka
dikatakan terdapat hubungan timbal balik (feedback relationship) antara X dan Y atau
terdapat hubungan kausalitas dua arah (bidirectional causality) antara X dan Y.
Dalam penelitian ini, Granger Causality Test dilakukan untuk menganalisis hubungan variabel-variabel independen dan impor pada data penel.
Dengan menggunakan software ekonometrik, hipotesis nol yang digunakan untuk hubungan dua variabel adalah X tidak memengaruhi Y dan Y tidak memengaruhi
X. Dasar penolakan hipotesis nol dengan menggunakan kriteria probabilitas < 0.1.
3.2.2 Data Panel Dinamis
Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai
ketersediaan data (data availability) untuk mewakili variabel yang digunakan
dalam penelitian. Misalnya, terkadang bentuk data dalam series yang tersedia
berkaitan dengan persyaratan jumlah data yang minim. Lain halnya terkadang
ditemukan bentuk data dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula, sehingga sulit untuk dilakukan proses pengolahan data cross section untuk mendapatkan informasi perilaku dari model yang hendak diteliti. Dalam teori
ekonometrika, kedua kondisi seperti yang telah disebutkan di atas salah satunya
dapat diatasi dengan menggunakan data panel (pooled data) agar dapat diperoleh
hasil estimasi yang lebih baik/efisien dengan terjadinya peningkatan jumlah
observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom) (Fauzi, 2007).
Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut
unbalanced panel.
Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak
digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur
mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini
merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan
oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang
tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.
Menurut Baltagi (1995), penggunaan data panel telah memberikan banyak
keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari
penggunaan data panel antara lain adalah:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2. Memberikan lebih banyak informasi, lebih bervariasi, mengurangi
kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom, dan lebih efisien.
4. Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak
dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni. 5. Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks.
Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak
yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat
dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi data panel dinamis
dalam Indra (2009) adalah sebagai berikut:
(3.3)
dengan menyatakan suatu skalar, menyatakan matriks yang berukuran 1 x K
dan matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini diasumsikan mengikuti model
one way error component sebagai berikut:
(3.4)
dengan menyatakan pengaruh individu dan
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa
literatur disebut sebagai transient error.
Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan
efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model
(REM) terkait perlakuan terhadap . Dalam model dinamis, situasi ini secara
substansi sangat berbeda, karena merupakan fungsi dari maka juga
merupakan fungsi dari . Karena adalah fungsi dari maka akan terjadi
korelasi antara variabel regresor dengan . Hal ini akan menyebabkan
penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila tidak berkorelasi serial sekalipun.
Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel
autoregresif (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen:
(3.5)
dengan dimana dan saling bebas
satu sama lain. Penduga fixed effect bagi diberikan oleh:
dengan dan . Untuk menganalisis sifat
dari , dapat disubstitusi persamaan (3.5) ke (3.6) untuk memperoleh
persamaan sebagai berikut:
(3.7)
Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk dan T tetap, bentuk
pembagian pada persamaan (3.7) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak
konvergen menuju nol bila . Secara khusus, hal ini dapat ditunjukan
(Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2004)) bahwa:
sehingga, untuk tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.
Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) menyarankan suatu
pendekatan Generalized Method of Moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari,
pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.
Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan.
Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah
asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite), dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak
(software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM (Indra, 2009).
Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk
mengestimasi model linear autoregresif, yakni:
First-differences GMM (AB-GMM)
Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten dimana dengan
tertentu, akan dilakukan first-difference pada persamaan (3.5) untuk mengeliminasi pengaruh individu sebagai berikut:
(3.9)
namun, penduga dengan least square akan menghasilkan penduga yang inkonsisten karena dan berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan jika
. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, akan
digunakan sebagai instrumen. Disini, berkorelasi dengan
tetapi tidak berkorelasi dengan , dan tidak berkorelasi serial. Disini,
penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai berikut:
(3.10)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah:
penduga (3.11) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan
Hsiao (1981). Mereka juga mengajukan penduga alternatif dimana
digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi disajikan
sebagai berikut:
(3.12)
syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah:
Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan
periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran
sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa:
yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh:
yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV (2))
selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui
penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga.
Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004), menyatakan bahwa daftar
instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan
membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T
= 4 diperoleh:
Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya,
untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel
yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan:
(3.16)
(3.17)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh
kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai:
(3.18)
yang merupakan kondisi bagi . Untuk menurunkan penduga
GMM, tuliskan persamaan sebagai:
(3.19)
Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang
belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel
yang bersesuaian, yaitu:
(3.20)
dengan adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan
mendiferensiasikan terhadap akan diperoleh penduga GMM sebagai:
(3.21)
Sifat dari penduga GMM (3.21) bergantung pada pemilihan yang konsisten
selama definit positif, sebagai contoh yang merupakan matriks
identitas.
Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik
terkecil bagi . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek,
2004), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks
kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal
dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks
kovarian , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator)
(3.23)
dengan menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator.
Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi
tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi
dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan
matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat
dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan
autokorelasi pada vit dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi sebagai berikut:
(3.24)
matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator)
(3.25)
sebagai catatan bahwa persamaan (3.25) tidak mengandung parameter yang tidak
diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu
langkah bila error diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.
Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka persamaan
(3.3) dapat ditulis kembali menjadi:
(3.26)
Parameter persamaan (3.26) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi
variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat
strictly exogenous dalam artian bahwa tidak berkorelasi dengan sembarang
error , akan diperoleh:
(3.27)
sehingga dapat ditambah kedalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat sejumlah baris pada menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen:
Matriks instrumen dapat ditulis sebagai:
(3.28)
Bila variabel tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus dimana dan tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan
diperoleh . Dalam kasus dimana hanya
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai:
(3.29)
Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan
predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Zi kemudian dapat disesuaikan. Baltagi (1995), menyajikan contoh dan diskusi tambahan untuk kasus
ini.
Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal ini terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Dalam model AR(1) pada persamaan (3.5), fenomena ini terjadi karena parameter
autoregresif mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu
meningkat relatif terhadap varian transient error .
Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa penduga AB-GMM dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang
metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah deret waktu
yang relatif kecil.
Keberadaan bias sampel terbatas dapat dideteksi dengan mengkomparasi
hasil AB-GMM dengan penduga alternatif dari parameter autoregresif. Sebagaimana diketahui dalam model AR (1), least square akan memberikan suatu estimasi dengan bias yang ke atas (biased upward) dengan keberadaan pengaruh spesifik individu (individual-spesific effect) dan fixed effect akan memberikan dugaan dengan bias yang ke bawah (biased downward). Selanjutnya penduga konsisten dapat diekspektasi di antara penduga least square atau fixed effect. Bila penduga AB-GMM dekat atau di bawah penduga penduga fixed effect, maka kemungkinan penduga AB-GMM akan biased downward, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya instrumen.
System GMM (SYS-GMM)
Indra (2009), ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada
level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences
dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Salah satunya dengan membuat model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
(3.30)
dengan untuk
. Dalam hal ini, Blundell dan Bond (1998) memfokuskan pada ,
oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh
sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just Indentified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan
meregresikan pada . Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari
persamaan (3.30) yang dievaluasi pada saat dengan mengurangi kedua ruas
persamaan tersebut, yakni:
(3.31)
Dikarenakan ekspektasi akan bias ke atas (upward
(3.32)
dengan . Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari
variabel instrumen mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi
variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke dengan parameter non-centrality
Karena maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell
dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference
GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari
parameter konsentrasi .
Menurut Firdaus (2011), beberapa kriteria yang digunakan untuk
menemukan model dinamis atau GMM terbaik adalah:
1. Tidak bias. Estimator dari pooled least squares bersifat biased upwards
dan estimator dari fixed-effects bersifat biased downmwards. Estimator yang tidak bias berada di antara keduanya.
2. Instrumen valid. Validitas ini diperiksa dengan menggunakan Uji Sargan.
Instrumen akan valid bila Uji Sargan tidak dapat menolak hipotesis nol.
3. Konsisten. Sifat konsistensi dari estimator yang diperoleh dapat diperiksa
dari statistik Arellano-Bond dan , yang dihitung secara otomatis
pada beberapa perangkat lunak. Estimator akan konsisten bila statistik
menunjukan hipotesis nol ditolak dan menunjukan hipotesis nol tidak
ditolak.
3.3 Model Penelitian
Dalam penelitian ini, model umum yang digunakan adalah fungsi regresi
untuk seluruh kawasan. Model umum yang digunakan dipelopori oleh Kenen dan
Rodrick (1986). Penulis mengembangkan model tersebut dengan menambahkan
variabel baru yaitu variabel lag dependent sebagai regresor. Model umum seluruh kawasan yang akan diestimasi adalah sebagai berikut:
dimana:
= logaritma natural dari indeks volume impor
= logaritma natural dari lag indeks volume impor = logaritma natural dari GDP riil
= logaritma natural dari nilai tukar riil; peningkatan menandakan
depresiasi
= Volatilitas nilai tukar riil
= Koefisien
= koefisien regresi yang menunjukan slope dari variabel penjelas
= error.
Data yang digunakan adalah dari negara-negara berikut:
Kawasan ASEAN+6 : Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand,
Cina, Korea Selatan, Jepang, India, Australia, dan
New Zealand.
Kawasan non ASEAN+6 : Perancis, Jerman, Inggris, Kanada, Meksiko, dan
Amerika Serikat.
3.4 Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini, akan dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi
impor di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6, khususnya hubungan volatilitas
nilai tukar riil tehadap impor. Pertimbangan memilih nilai tukar riil sebagai
variabel penjelas fungsi permintaan impor dikarenakan nilai tukar riil sudah cukup
dapat menggambarkan posisi daya saing suatu negara relatif terhadap negara
lainnya. Dalam analisis ini faktor-faktor eksternal yang mungkin berpengaruh
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Eksploratif
Analisis eksploratif dilakukan dengan maksud untuk memberikan
deskripsi, gambaran secara sistematis mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki (Fauzi, 2007). Analisis eksploratif
dalam penelitian ini akan dijelaskan mengenai kondisi umum dari masing-masing
variabel yang digunakan yang dilakukan terhadap negara di kawasan ASEAN+6
dan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan Amerika Utara). Analisis akan dimulai
dengan memberikan gambaran mengenai hubungan antara impor dan
variabel-variabel yang diperkirakan berpengaruh, sehingga akan diperoleh gambaran
umum mengenai fakta-fakta dan hubungan antar variabel.
4.1.1 Hubungan Impor dengan Gross Domestic Product (GDP) Riil
Pada Gambar 4.1 menunjukan hubungan antara indeks volume impor dan
GDP riil di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan
Amerika Utara) periode 2002 sampai 2010. Pada gambar tersebut semua data
dihitung dalam logaritma natural.
Pada Gambar 4.1 merupakan hubungan rata-rata impor dengan GDP riil
untuk kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa negara-negara di kawasan non ASEAN+6, cenderung memiliki pendapatan
riil yang relatif tinggi dengan impor yang rendah daripada negara-negara di
kawasan ASEAN+6. Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki GDP riil
paling tinggi daripada negara lainnya, hal ini disebabkan karena Amerika Serikat
merupakan negara yang memiliki ekonomi terbesar di dunia. Dibidang
perekonomian, Amerika Serikat banyak memegang peran penting. Sebagai negara
yang menganut paham ekonomi kapitalis dan perdagangan bebas, perdagangan di
Amerika Serikat mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hampir semua
negara di dunia menjalin hubungan dagang dengannya. Impor Amerika Serikat
biasanya berupa bahan-bahan baku industri dan ekspornya biasanya berupa
produk-produk olahan seperti mesin-mesin, pesawat, alat-alat kedokteran yang
Sumber: World Development Indicators, diolah
Keterangan : IDN = Indonesia; MYS= Malaysia; SGP = Singapura; PHL = Filipina; THA = Thailand; CHN = China; KOR = Korea Selatan; JPN = Jepang; IND = India; AUS = Australia; NZL = New Zealand; DEU = Jerman; FRA = Perancis; GBR = Inggris; MEX = Meksiko; CAN = Kanada; USA = Amerika Serikat
Gambar 4.1 Hubungan Indeks Volume Impor dan GDP Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 Periode 2002-2010
Untuk negara-negara di kawasan ASEAN+6 memiliki GDP riil yang
relatif lebih kecil daripada negara non ASEAN+6, kecuali untuk salah satu negara
maju di kawasan ASEAN+6 yaitu Jepang. Jepang merupakan negara dengan
ekonomi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Jepang memiliki GDP riil
yang paling besar daripada negara-negara di kawasan ASEAN+6 lainnya dengan
impor yang paling rendah. Hal ini dapat disebabkan karena Jepang mengimpor
bahan-bahan baku. Bahan baku tersebut mereka produksi terlebih dahulu sebelum
diekspor, yang menyebabkan mereka memperoleh nilai tambah yang tinggi
dengan cara memproduksi bahan baku tersebut yang didukung dengan teknologi
4.1.2 Hubungan Impor dengan Nilai Tukar Riil
Pada Gambar 4.2 menunjukan hubungan antara indeks volume impor dan
nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6 (Uni Eropa dan
Amerika Utara). Pada gambar tersebut semua data dihitung dalam logaritma natural sehingga menyebabkan terdapat rata-rata nilai tukar riil yang bernilai negatif. Semakin besar rata-rata nilai tukar riil menandakan rata-rata nilai tukar
riil di negara tersebut semakin lemah.
Sumber: World Development Indicators, diolah
Gambar 4.2 Hubungan Indeks Volume Impor dan Nilai Tukar Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 Periode 2002-2010
Dari Gambar 4.2 terlihat bahwa hubungan antara indeks volume impor dan
nilai tukar riil untuk kawasan non ASEAN+6 cenderung mengumpul di satu
tempat dengan nilai tukar riil yang relatif lebih kuat dan impor yang relatif lebih
rendah daripada negara di kawasan ASEAN+6. Untuk kawasan non ASEAN+6,
Inggris merupakan negara yang memiliki nilai tukar riil yang paling kuat daripada
negara lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena Poundsterling adalah mata uang
Selain itu, Inggris memiliki impor yang kecil karena mereka lebih percaya
terhadap produk yang ada di pasar lokal Inggris daripada harus mengimpor barang
dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan mereka tidak perlu menukarkan banyak
Poundsterling untuk mendapatkan mata uang negara lain karena mereka jarang
mengimpor dalam jumlah besar, sehingga jarang mata uang Poundsterling yang
ditukar ke mata uang negara lain, akibatnya Poundsterling lebih bertahan nilai
tukarnya.
Pada Gambar 4.2 terlihat bahwa Indonesia memiliki nilai tukar riil yang
paling lemah dengan indeks volume impor yang hampir sama dengan negara
lainnya. Lemahnya nilai tukar riil Indonesia dapat disebabkan karena Indonesia
merupakan negara berkembang yang cenderung mengekspor bahan baku atau
bahan mentah ke negara maju. Bahan baku tersebut kemudian diolah oleh negara
maju tersebut dan dijual kembali ke negara Indonesia dengan biaya yang lebih
mahal, hal ini membuat cadangan devisa Indonesia menjadi rendah. Cadangan
devisa yang rendah ini memengaruhi posisi tawar (permintaan dan penawaran)
dan mata uang Rupiah. Sehingga cadangan devisa yang rendah yang dimiliki
Indonesia ini membuat nilai mata uang (nilai tukar riil) Indonesia menjadi lemah.
4.1.3 Hubungan Impor dengan Volatilitas Nilai Tukar Riil
Pada Gambar 4.3 menunjukan hubungan antara indeks volume impor dan
volatilitas nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 dan kawasan non ASEAN+6.
Semakin besar rata-rata volatilitas nilai tukar riil menandakan semakin besar
resiko mata uang negara tersebut.
Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa volatilitas nilai tukar riil di Kanada
memiliki nilai yang paling tinggi, ini berarti bahwa resiko mata uang negara
Kanada adalah yang paling tinggi daripada mata uang negara lain. Hal ini dapat
disebabkan karena dampak dari krisis keuangan global yang terjadi pada tahun
2008 yang menyebabkan nilai tukar di Kanada berfluktuasi dan memiliki
volatilitas yang cukup tinggi. Peningkatan volatilitas nilai tukar riil di Kanada
sebagai dampak dari krisis keuangan global mulai terjadi pada tahun 2008.
Volatilitas nilai tukar riil di Kanada mangalami peningkatan yang besar pada
Sumber: World Development Indicators, CEIC, Bank of Canada, Australia Bureau Statistic, diolah
Gambar 4.3 Hubungan Indeks Volume Impor dan Volatilitas Nilai Tukar Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 Periode 2002-2010
Pada Gambar 4.4, adalah gambar hubungan antara indeks volume impor
dan volatilitas nilai tukar riil di kawasan ASEAN+6 maupun non ASEAN+6 tanpa
menyertakan Kanada, karena apabila Kanada disertakan dalam gambar, maka
akan menyebabkan negara yang lainnya sulit untuk dilihat atau dibandingkan,
maka Kanada akan disingkirkan dalam analisis pada Gambar 4.4.
Pada Gambar 4.4 terlihat bahwa volatilitas nilai tukar riil di Amerika
Serikat memiliki nilai yang paling rendah, hal ini berarti bahwa resiko mata uang
negara Amerika Serikat adalah rendah. Rendahnya volatilitas nilai tukar Amerika
Serikat dapat disebabkan karena, mata uang negara di seluruh dunia mengacu
kepada mata uang Amerika Serikat, sehingga menyebabkan nilai tukar mereka
menjadi lebih stabil dan memiliki resiko yang kecil.
Dalam Gambar 4.4, terlihat bahwa untuk negara-negara di kawasan non
ASEAN+6 memiliki hubungan antara indeks volume impor dan volatilitas nilai
kawasan non ASEAN+6 memiliki titik yang cenderung mengumpul di satu
tempat. Oleh karena itu, dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi
impor, maka dalam penelitian ini akan dibandingkan faktor-faktor yang
memengaruhi impor di kawasan ASEAN+6 dan non ASEAN+6.
Sumber: World Development Indicators, CEIC, Australia Bureau Statistic, diolah
Gambar 4.4 Hubungan Indeks Volume Impor dan Volatilitas Nilai Tukar Riil Kawasan ASEAN+6 dan Non ASEAN+6 (Tanpa Kanada) Periode
2002-2010
4.2 Granger Causality Test pada data panel
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara
dua variabel yang diuji. Pengujian ini dilakukan terhadap beberapa variabel yang
terkait dengan model umum penelitian.
Tanda “√” menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak, dengan menggunakan probabilitas < tingkat kritis α=10% (hasil granger causality test untuk seluruh kawasan dan tiap kawasan dapat dilihat pada Lampiran 1. Hipotesis nol untuk
baris pertama adalah ln(Y) tidak memengaruhi ln(M) dan ln(M) tidak
memengaruhi ln(Y). Dari tabel dapat terlihat bahwa hasil untuk kasus seluruh
kawasan sama seperti kasus untuk kawasan ASEAN+6, dimana terdapat 4.6
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006 0.007 0.008 0.009 0.01
hubungan kausalitas satu arah antara ln(M) dan ln(Y) pada lag 1 dan lag 2. Pada
lag 1 ln(M) secara signifikan memengaruhi ln(Y), sedangkan pada lag 2 ln(Y)
secara signifikan memengaruhi ln(M). Hal ini berarti bahwa impor secara
signifikan mempengaruhi GDP riil pada lag 1, sedangkan pada lag 2 GDP riil
secara signifikan memengaruhi impor. Untuk kawasan non ASEAN+6 ditemukan
hubungan kausalitas satu arah yaitu ln(M) secara signifikan memengaruhi ln(Y).
Tabel 4.1. Granger Causality Test
Keterangan: Periode sample 2002-2010; M = indeks volume Impor; Y = GDP riil; RER = nilai tukar riil; V = volatilitas nilai tukar riil; = tidak mempengaruhi, dan √ = tolak hipotesis nol. (Hasil Granger Causality Test dapat dilihat pada Lampiran 1).
Hipotesis nol untuk baris kedua adalah ln(RER) tidak memengaruhi ln(M)
dan ln(M) tidak memengaruhi ln(RER). Dari hasil terlihat bahwa untuk kasus
seluruh kawasan dan kawasan ASEAN+6 memberikan hasil yang sama yaitu
terdapat hubungan kausalitas satu arah antara ln(M) dan ln(RER) hanya pada lag
2 dan lag 3, dimana impor secara signifikan memengaruhi nilai tukar riil.
Sedangkan untuk kawasan non ASEAN+6, terdapat hubungan kausalitas satu arah
antara impor dan nilai tukar riil pada seluruh lag, dimana impor secara signifikan