• Tidak ada hasil yang ditemukan

Conflict management of fishesries utilization in Pelabuhan Ratu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Conflict management of fishesries utilization in Pelabuhan Ratu"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD NURAMIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Pelabuhan Ratu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, 20 Agustus 2013

(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD NURAMIN. Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Pelabuhan Ratu. Dibimbing oleh SULAEMAN MARTASUGANDA dan EKO SRIWIYONO.

(5)

SUMMARY

MUHAMMAD NURAMIN. Conflict Management Of Fishesries Utilization In

Pelabuhan Ratu. Supervised by SULAEMAN MARTASUGANDA and EKO

SRIWIYONO.

Thesis of Conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu consist any key of study such as: Conflict Indentification among fisheries utilization, Institution development of fisheries utilization, and recommendation of Conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu. Conflict Indentification among fisheries utilization hits three important part such as:type oc conflict, position,will, and need among fisheries utilization stake holders, and cause of conflict. Study about Institution development of fisheries utilization hist the two important aspect such as: Confloct resolution and fisheries utilization institusion role maping. Finally, the recommendations of Conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu are: Human touch for the elements of conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu, Sinergy among elements of conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu, and last, Law, Norm, and Value building and monitoring among all element of conflict management of fisheries utilization in Pelabuhan Ratu

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP

DI PELABUHAN RATU

MUHAMMAD NURAMIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap Di Pelabuhan Ratu Nama : Muhammad Nuramin

NIM : C451090101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Sulaeman Martasuganda Dr. Eko Sriwiyono Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Teknologi Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Mulyono Baskoro Dr. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian berjudul “Pengelolaan Konflik

Perikanan Tangkap Di Pelabuhan Ratu”.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan kepada Dr. Sulaeman Martasuganda dan Dr. Eko Sriwiyono sebagai komisi pembimbing, atas bimbingan, saran dan masukan selama penyelesaian penelitian ini; kepada Prof. Dr. Mulyono Baskoro selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran, masukkan pada penulisan hasil penelitian ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Sawiyah, bapak dan ibu Suparto, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya penulis sampaikan kepada Istri tercinta Damayanti MSi dan ananda tercinta Sri Koesoemaning Nagari atas kesabaran dan ketabahannya dalam mendampingi, memberi motivasi dan inspirasi selama penulis menyelesaikan penelitian. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu selama penelitian diucapkan terima kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Bogor, Agustus 2013

(12)

DAFTAR ISI

Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup

Manajemen Konflik Sumberdaya Perikanan Keadaan Umum Pelabuhan Ratu

7 III. BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian Tahapan Penelitian

Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu Identifikasi Kebutuhan, Kepentingan, dan Posisi Pelaku Konflik Sumber konflik

Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Konflik Pemetaan Peran Institusi Penyelesaian Konflik

Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

Pemuliaan Pengelola Sumberdaya Perikanan; Pendekatan Partisipatif

(13)

DAFTAR TABEL

1. Tipologi konflik perikanan (Charles)

2. Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik

3. Jenis Konflik yang Terjadi di Pelabuhan Ratu

4. Sumber konflik perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu

12 17 27 33

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram Prinsip Manajemen Konflik

2. Prinsip dasar Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap

di Pelabuhan Ratu

3. Kondisi optimal resolusi konlik melalui proses negoisasi (Creigton dan

Priscoli 2001)

4. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus bagan apung

5. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus pengguna bom

6. Konflik yang menggambarkan perbedaan

kebutuhan-kepentingan-posisi pada kasus bagan apung

7. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus purse seine

8. Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi”pada kasus rumpon

9 Konflik“kebutuhan-kepentingan-posisi” pada kasus bakul dan tengkulak 10 Konflik “kebutuhan-kepentingan-posisi” antara nelayan dengan

pemerintah

11 Upaya penyelesaian konflik perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu 12 Peta institusi dalam konflik dan penyelesaian pada kasus bagan apung 13 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaianya pada

kasus penggunaan bom

14 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaiannya pada kasus daerah penangkapan ikan

15 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaianya pada kasus purse seine

16 Peta institusi yang terlibat dalam konflik dan penyelesaian pada rumpon 17 Peta institusi yang terlibat dalam konflik antara bakul dengan tengkulak 18 Peta institusi yang terlibat dalam konflik antara bakul dengan tengkulak

(14)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lebih dari satu dasawarsa, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Indonesia dalam sebuah kendali kementerian kelautan dan perikanan belum menunjukkan kecenderungan perkembangan yang signifikan. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikasi sebagai berikut:

1. Keterpurukan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan

yang terlihat dari rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan, ketimpangan sosial ekonomi antara nelayan dengan pengusaha perikanan tangkap, tingginya praktik patron-klien dalam usaha perikanan, serta rendahnya kepercayaan untuk investasi di bidang perikanan.

2. Degradasi serius sumberdaya alam dan lingkungan kelautan dan

perikanan yang tercermin dalam keadaan jenuh tangkap di beberapa

daerah penangkapan, kerusakan lingkungan, serta rendahnya recovery

sumberdaya kelautan dan perikanan.

3. Tingginya tingkat illegal, unreportred, dan unregullated fisheries.

4. Lemahnya paradigma kelautan dan perikanan sebagai karakter utama

bangsa serta prime mover perekonomian Indonesia, yang tercermin dari

alokasi dan konsentrasi pembangunan yang masih relatif rendah untuk sektor kelautan dan perikanan.

Menurut data yang dipublikasikan FAO pada tahun 2008, 110 juta jiwa penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Empat puluh persen (40%) dari angka tersebut adalah masyarakat nelayan. Artinya terdapat sekitar 44 juta nelayan Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Proporsi nelayan miskin (buruh) dengan pengusaha perikanan tangkap Indonesia adalah 90% dibanding 10%. Dalam hal ini dapat kita simpulkan adanya keterpurukan dan ketimpangan sosial ekonomi masyarakat nelayan Indonesia sangat tinggi.

Berdasarkan publikasi Biro Pusat Statistik Indonesia tahun 2008, secara makro ekonomi, kontribusi sektor perikanan tangkap terhadap PDB negara hanya sebesar 3% tiap tahun dari total sumber pendapatan kotor negara (PDB). Angka ini termasuk angka paling kecil diantara sumber-sumber pendapatan negara berbasis sumberdaya alam lainnya. Fenomena ini tentunya sangat ironis mengingat tingginya potensi perikanan tangkap Indonesia.

Potensi-potensi tersebut antara lain: Indonesia mempunyai wilayah perairan

sebesar 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial; 2,8 juta km2

perairan nusantara dan 2,7 km2 zona ekonomi ekslusif. Sekitar 70 % wilayah

Indonesia berupa laut dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Potensi sumber daya ikan (SDI) laut diperkirakan sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah perairan Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar

1,86 juta ton/tahun. Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh

(15)

Jumlah investasi di sektor perikanan tangkap di Indonesia baik dari dalam maupun luar negeri relatif masih rendah. Berdasarkan data dari BPS tahun 2008, jumlah investasi pada sektor perikanan tangkap di Indonesia sebesar 200 milliar rupiah sedangkan total Investasi di Indonesia mencapai angka 20 triliun rupiah. Hal ini berarti proporsi investasi perikanan tangkap di Indonesia dibanding dengan total investasi di Indonesia sebasar 1 persen. Hal ini secara tegas menunjukkan begitu rendahnya kepercayaan dan ketertarikan investor baik dari dalam maupun luar negeri pada sektor perikanan tangkap di Indonesia. Angka tersebut sangat jauh bila dibandingkan dengan investasi sektor perikanan tangkap negara-negara seperti: Jepang yang mencapai angka 20 %, Thailand 18 %, Filipina 12 %, bahkan Malaysia yang mencapai 10 %.

Penyebab buruknya iklim investasi sektor perikanan tangkap di Indonesia antara lain: faktor demografis kenelayanan, faktor kerumitan dan ketidakpastian birokrasi, ketidakjelasan payung hukum serta penegakan hukum, masalah keamanan, serta iklim strategi perekonomian nasional yang masih belum berwawasan bahari. Beberapa alasan tadi adalah pekerjaan berat pemerintah dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan Indonesia.

Laju degradasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan cukup mengkhawatirkan. Dari sembilan daerah penangkapan di perairan Indonesia, setidaknya tiga diantaranya sudah jenuh tangkap. Daerah penangkapan tersebut antara lain: Selat Malaka, Laut Jawa, dan Laut Sulawesi. Degradasi sumberdaya setidaknya terlihat dari beberapa indikasi antara lain: penurunan jumlah hasil tangkapan, penurunan ukuran hasil tangkapan, mulai jauhnya lokasi penangkapan, serta mulai rusaknya habitat. Berdasarkan publikasi Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton, dan angka ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton pertahun.

Illegal, unreported, dan unregullated fishing merupakan salah satu masalah utama pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia. Menurut Nikijuluw tahun 2005, kerugian negara akibat praktik illegal, unreported, dan unregullated fishing mencapai 2 miliar dollar setiap tahun, atau sebesar 20 triliun setiap tahun. Tujuh triliun dari angka tersebut disumbangkan oleh tidak rapinya pengelolaan perizinan usaha penangkapan ikan yang disertai potensi adanya penyuapan dalam pengurusan usaha penangkapan ikan. Sisanya, angka tersebut disumbangkan oleh adanya praktik pencurian ikan oleh negara-negara lain.

Secara umum penyebab terjadinya praktik illegal, unreported, dan unregullated fisheries antara lain: (1) rentang kendali dan luasnya daerah pengawasan tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada saat ini; (2) terbatasnya kemampuan sarana dan armada pengawasan di laut; (3) lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi atau broker; (4) masih lemahnya penegakkan hukum; dan (5) lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum.

Paradigma pengelolaan perikanan selama ini memberikan access terhadap

(16)

berbagai dimensi spasial dan temporal. Konflik tersebut sangat mengancam

keutuhan dan soliditas stake holders perikanan tangkap, sehingga berpeluang

besar menimbulkan kontraproduksi bagi upaya pengelolaan perikanan tangkap.

Konflik-konflik tersebut bisa bersifat institusional yang melibatkan

pelaku-pelaku dalam perikanan tangkap maupun konflik spasial yang meliputi konflik daerah penangkapan dan konflik otorita kewilayahan. Tentunya kita sering menyimak kasus konflik yang terjadi akibat perebutan daerah penangkapan ikan oleh nelayan di berbagai tempat di Indonesia. Kasus mengenai zonasi penangkapan ikan antar daerah bahkan negara juga merupakan konflik yang lazim terjadi. Contoh-contoh inilah yang dikategorikan sebagai konflik spasial.

Selain jenis konflik spasial konflik-konflik lain juga terjadi seperti kasus pelarangan alat tangkap tertentu yang menjadi akses kepada munculnya konflik antar nelayan maupun antara nelayan dengan pemerintah. Terdapat juga kasus peraturan mengenai perizinan usaha perikanan yang ambigu dan manipulatif oleh pemerintah kepada pengusaha perikanan tangkap. Selain itu konflik yang secara klasik sering terjadi adalah konflik antara nelayan dengan pengusaha perikanan dalam sebuah lingkup patron-klien. Konflik jenis ini terjadi hampir diseluruh wilayah perikanan tangkap di Indonesia

Melihat paparan kerumitan dan banyaknya permasalahan di sektor kelautan dan perikanan tersebut, sangat penting bagi setiap pihak yang terkait dan bertanggungjawab dalam sektor ini memikirkan apa yang menjadi sumber utama penyebab keadaan ini, dan bagaimana solusi sistematis dan komprehensif atas semua permasalahan ini. Diharapkan dengan adanya solusi tersebut, era kebangkitan kelautan dan perikanan Indonesia akan terwujud. Sebuah era dimana kelautan dan perikanan Indonesia mampu berkontribusi signifikan terhadap pencapaian kehidupan bangsa Indonesia yang berkualitas, berbudaya, dan sejahtera.

Sebagai salah satu daerah perikanan tangkap penting di pantai selatan Jawa Barat, Pelabuhan Ratu merupakan ruang contoh ideal dalam penelitian ini. Dalam perkembangannya, pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu tidak terlepas dari adanya konflik. Konflik-konflik tersebut terutama terjadi dalam lingkup institusional antara nelayan dengan nelayan, nelayan dengan pengusaha perikanan, nelayan dengan tengkulak, nelayan dengan pemerintah, merupakan dasar kajian yang strategis. Diharapkan, kajian sistematis mengenai manajemen konflik di Pelabuhan Ratu mampu menjadi alternatif solusi sehingga upaya pengelolaan perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu pada khususnya dan pengelolaan perikanan tangkap Indonesia pada umumnya akan lebih baik.

Perumusan Masalah

Secara filosofis, setiap entitas perikanan tangkap baik individu maupun sosial selalu mempunyai kebutuhan. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, entitas mencoba membangun interaksi dengan lingkungannya (termasuk entitas lain). Lingkungan, diharapkan mampu memenuhi segala kebutuhan entitas-entitas tersebut. Permasalahannya, kapasitas lingkungan untuk memenuhi segala kebutuhan tiap entitas tidak selamanya memadai. Sering kali lingkungan seolah-olah terbatas dan tidak bisa memenuhi kepuasan atas pemenuhan kebutuhan tiap

(17)

Slack of need tidak disebabkan oleh terbatasnya lingkungan. slack of need

disebabkan oleh ketidakbijakan entitas untuk mengukur kuantitas dan kualitas kebutuhan mereka seimbang dengan kapasitas lingkungan. Sering kali mereka memaksakan kapasitas lingkungan untuk senantiasa memenuhi kuantitas dan kualitas kebutuhan mereka secara sempurna (kebutuhan fiktif). Kebutuhan fiktif artinya kebutuhan yang hanya didasarkan pada takaran emosi bukan takaran kebijaksanaan. Hal tersebut diperburuk dengan adanya kecenderungan entitas untuk hanya memikirkan apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingannya saja. Entitas pada umumnya tidak terlalu mempedulikan kebutuhan entitas lain, bahkan cenderung untuk mengambil apa yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan entitas lain. Inilah yang menjadi prinsip dasar dasar lahirnya konflik.

Ketika entitas mencari pemenuh kebutuhan mereka, entitas mengalami satu kondisi yang disebut interaksi. Interaksi tersebut meliputi interaksi dengan alam (nature interaction), ataupun interaksi dengan entitas lain (social interaction). Konsekuensi dari adanya interaksi adalah munculnya pranata. Pranata ini bisa

bersifat formal dalam bentuk hukum, maupun nonformal dalam bentuk custom,

keajegan, ataupun adat istiadat. Pada perjalannya, akibat dari kecenderungan pengutamaan kebutuhan mereka saja, pranata tidak dijalankan secara konsisten dan konsekuen. Banyak terjadi upaya manipulasi pranata hanya untuk mengakomodasi kepentingan satu entitas saja. Hal ini juga menjadi akses munculnya konflik.

Beberapa kasus konflik terjadi akibat tidak tegasnya suatu pranata sehingga terjadi multi tafsir terhadap pranata. Bahkan ada juga yang tidak ada pranata sama-sekali yang menjadi dasar pedoman interaksi karena pranata tersebut terlalu kaku dan tidak mengikuti perkembangan dan perubahan. Beberapa kasus konflik terjadi akibat tidak dinamisnya suatu pranata dalam mengakomodasi dinamika alam dan sosial yang ada.

Kasus konflik yang lazim terjadi adalah akibat dari penegakan pranata yang tidak konsisten. Entitas sering melanggar dan mengabaikan pranata yang ada. Karena itulah penting sekali adanya upaya penegakan pranata melalui adanya tindakan monitoring, controlling, dan punishing. Penegakan pranata memerlukan lembaga yang mengawalnya. Lembaga pranata formal berupa kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, maupun pemangku adat untuk pranata nonformal.

Ketika interaksi entitas dalam upaya pemenuhan kebutuhan didasari oleh semangat kesadaran untuk juga menghargai kebutuhan entitas lain, didasari oleh pranata yang jelas dan tegas, serta didasari oleh ketaan tiap entitas, maka konflik bisa tereduksi secara optimum. Dalam bahasa logika, minimumnya jumlah konflik adalah misi dari suatu interaksi. Jika konflik bisa diminimalisir, maka upaya

pemenuhan kesejahteraan bersama (common prosperity) sebagai visi interaksi

(18)

Kapasitas

Kebutuhan

Tidak selaras

Selaras

Gambar 1 Diagram Prinsip Manajemen Konflik.

Tujuan

Tujuan penelitian dan penyusunan tesis ini adalah:

1) Mengidentifikasi konflik dalam kompleks perikanan tangkap di Pelabuhan

Ratu

2) Menyusun manajemen konflik perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu

3) Merumuskan manajemen konflik perikanan tangkap berdasarkan hasil

kajian di Pelabuhan Ratu

Manfaat

Penelitian dan penyusunan tesis ini diharapkan mampu memberikan upaya solutif terhadap upaya manajemen konflik dalam dunia perikanan tangkap, sehingga progresitas pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu mencapai tahap sinergis untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Lingkungan Entitas

Interaksi

Kesetimbangan kebutuhan

Ketimpangan Kebutuhan

Harmoni dan Sinergi

Common Prosperity

Manajemen konflik Pranata

Konflik

(19)

Ruang Lingkup Penelitian

Perkembangan Kasus konflik pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia sangat sering terjadi. Konflik tersebut tidak mengenal wilayah, status sosial, umur, peranan sosial, bahkan negara dan kewarganegaraan. Penulis menduga bahwa setiap konflik mempunyai pola. Pola-pola setiap konflik akan selalu tertentu. Setiap ketertentuan senantiasa bisa diprogramkan. Oleh karenanya setiap konflik bisa dibahasakan dengan program (diprogramkan). Sebuah program analisis konflik yang berlaku universal untuk setiap konflik dalam segala bidang. Program inilah yang nantinya menjadi dasar bagi metode analisis konflik yang dituju.sehingga perlu pengkajian program analisis konflik perikanan tangkap di Pelabuhan Ratu sebagai permodelan dalam rangka mengatasi konflik perikanan tangkap. Skenario penelitian dan penulisan tesis didasarkan pada prinsip yang tersajikan pada gambar 2.

Gambar 2 Prinsip dasar Pengelolaan Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

Identifikasi Kompleks Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

Identifikasi kebutuhan dan Tupoksi Stake Holders Kompleks Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

Identifikasi Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu Analisis Pola Interaksi Stake Holders Kompleks Perikanan

Tangkap di Pelabuhan Ratu

Formulasi Manajemen Konflik Perikanan Tangkap di Pelabuhan Ratu

(20)

II TINJAUAN PUSTAKA

Teori Manajemen

Manajemen merupakan metode yang ilmiah dan artisitik dalam menjalankan suatu aktivitas meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, serta pengendalian, demi tercapainya tujuan entitas secara efektif, efisien, dan optimum. Manajemen tidak terbatas dalam dalam lingkup entitas bisnis. Manajemen bisa, dan seyogyanya diterapkan dalam setiap aktifitas yang hendak dilaksanakan. Manajemen yang bagus, akan memberi peluang yang besar bagi tercapainya tujuan yang diinginkan.

Sebagai satu kesatuan metodologi, ilmu manajemen memiliki beberapa unsur yang merupakan satu kesatuan yang utuh, antara lain:

1. Adanya kelompok manusia, yaitu kelompok yang terdiri atas dua orang

atau lebih.

2. Adanya interaksi dari kelompok tersebut.

3. Adanya kegiatan proses/usaha atau kegiatan.

4. Adanya tujuan.

Secara struktural teori manajemen muncul mulai tahun 1886 oleh Frederick

W.Taylor dengan melakukan suatu percobaan time and motion study dengan

metode teori ban berjalan. Dari sini lahirlah konsep teori efisiensi dan efektivitas. Manajemen mempunyai ciri-ciri sebagai berikut adanya kelompok manusia, yaitu kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih, adanya kerjasama dari kelompok tersebut, adanya kegiatan proses/ usaha dan adanya tujuan.

Mary Parker Follet mendefenisikan manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Defenisi ini rnengandung arti bahwa para manajer untuk mencapai tujuan organisasi melalui pengaturan orang lain untuk melaksanakan berbagai tugas yang mungkin dilakukan. Manajemen memang bisa berarti seperti itu, tetapi bisa juga mempunyai pengertian lebih dari pada itu. Sehingga dalam kenyataannya tidak ada defenisi yang digunakan secara konsisten oleh semua orang.

Stoner mengemukakan suatu defenisi yang lebih kompleks yaitu manajemen adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumberdaya organisasi lainnya agar rnencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Dari defenisi di atas terlihat bahwa Stoner telah rnenggunakan kata "proses", bukan "seni". Mengartikan manajernen sebagai "seni" mengandung arti bahwa hal itu adalah kemampuan atau ketrampilan pribadi. Sedangkan suatu "proses" adalah cara sistematis untuk rnelakukan pekerjaan. Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa manajemen merupakan kerjasama dengan orang-orang untuk menentukan, menginterpretasikan dan mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan pelaksanaan fungsi-fungsi

perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating),

dan pengawasan (controlling).

Kelembagaan Perikanan Tangkap

(21)

menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Kelembagaan mengatur tiga hal pokok dalam konteks eksploitasi sumberdaya yaitu: (1) pengaturan (2) pemanfaatan (3) transfer serta distribusi sumberdaya. Agar dapat berfungsi dengan baik kelembagaan haruslah mapan selama periode waktu tertentu yang ditujukan oleh dinamikanya yang terus berlangsung berdampingan dengan teknologi dan pola kehidupan bermasyarakat, sehingga interaksi kedua komponen tersebut mampu menciptakan kelembagaan dengan kedua komponen tersebut mampu menciptakan teknologi

baru yang sustainable terhadap sumberdaya (Anwar 2000).

Koentjoroningrat(1974) menandaskan bahwa kelembagaan masyarakat atau lembaga sosial disebut sebagai pranata sosial yang meliputi serangkaian kegiatan tertentu, berpusat pada suatu kelakuan berpola mantap, bersama-sama dengan sistem norma dan tata kelakuan serta peralatan fisiknya yang dipakai dan juga partisipan. Lebih lanjut Koentjoroningrat (1979) membagi kelembagaan

kedalam delapan golongan sebagai berikut; (1) Kinship/Domestic Institutions:

memenuhi kebutuhan kehidupan kekerabatan (2) Economic institution: memenuhi

pencarian hidup, memproduksi, menimbun, mendistribusikan harta benda (3)

Educational institution: memenuhi kebutuhan penerangan dari pendidikan

manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna (4) Scientific institutions:

memenuhi kebutuhan ilmiah manusia dan menyelami alam semesta (5) Estetic

and recreational: memenuhi kebutuhan manusia menyatakan keindahan rekreasi (6) Religious institution: memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan

dengan Tuhan dan alam gaib (7) Political institution: memenuhi kebutuhan

manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar-besaran atau

kehidupan bernegara (8) Somatic institution: memenuhi jasmaniah manusia.

Menurut Uphoff (1986) kelembagaan terdiri atas dua aspek, yakni: “aspek kelembagaan” (aspek kultural) dan “aspek keorganisasian” (aspek structural). Aspek kultural merupakan aspek dinamis yang berisikan hal-hal yang abstrak, dan merupakan jiwa kelembagaan; yang berupa nilai, aturan, norma, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi, dan lain-lain. Sementara aspek structural merupakan aspek statis namun lebih visual yaitu berupa struktur, peran, keanggotaan, hubungan antar peran, integrasi antar bagaian, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, klik, profil, pola kekuasaan, dan lain-lain. Gabungan antara keduanya akan membentuk “perilaku kelembagaan” atau “kinerja kelembagaan”.

Purwaka (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap terdapat berbagai kelembagaan pemerintah yang terlibat, karena sifatnya yang multi sektoral dan multi dimensional. Kelembagaan-kelembagaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan mandat hukum masing-masing tetapi belum terkoordinasi dengan baik, sehingga pembangunan yang dilaksanakan bersifat parsial dan seringkali menimbulkan eksternalitas negatif antara satu dengan lainnya. Kelembagaan kelautan dan perikanan akan kuat dan tangguh, mantab dan tidak goyah apabila dalam pembangunan ada kejelasan tujuan yang ingin dicapai, hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja pembangunan kelautan dan perikanan, yang tercermin dalam tata kelembagaan dan kerangka kerja kelembagaannya.

(22)

maupun kota. Kelembagaan pemerintah berfungsi sebagai fasilitator, regulator dan dinamisator dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Lembaga yang bertanggung jawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan seluruh jajarannya hingga tingkat pemerintah terendah. Namun, keberadaannya juga memerlukan dukungan yang kuat dan baik dari seluruh lembaga pemerintahan yang terkait, seperti: Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Koperasi dan pengusaha kecil serta Departemen Departemen terkait. Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga formal seperti perkoperasian nelayan, nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh.

Prinsip Dasar konflik

Terjadinya konflik dalam setiap organisasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbeda-beda. Di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan.

Penataan konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta kesadaran semua fihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik yang terjadi dalam organisasi. Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat mencium adanya ketidaksepakatan.

Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan konflik sebagai "sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk

hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam

usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya". Dengan demikian yang dimaksud dengan konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya.

Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Lebih jauh Robbins menulis bahwa sebuah konflik harus dianggap sebagai "ada" oleh fihak-fihak yang terlibat dalam konflik.

(23)

"bernuansa konflik" ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena anggota-anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan dengan antara lain, "oposisi" (lawan), "kelangkaan", dan "blokade".

Pengkategorian konflik perdasarkan hubungan antar pelaku konflik antara lain:

1) Konflik individu dengan individu

Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara individu karyawan dengan individu karyawan lainnya.

2) Konflik individu dengan kelompok

Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kempok pimpinan.

3) Konflik kelompok dengan kelompok

Konflik ini terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.

Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fungsional dan konflik infungsional. Konflik dikatakan fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi, sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya justru merugikan organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola dan dikendalikan dengan baik.

Setiap konflik, baik fungsional maupun infungsional akan menjadi sangat merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila konflik menjadi di luar kendali karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku mungkin saja timbul. Pihak-pihak yang bertentangan akan saling mencurigai dan bersikap sinis terhadap setiap tindakan pihak lain. Dengan timbulnya kecurigaan, masing-masing pihak akan menuntut permintaan yang makin berlebihan dari pihak lain.

Secara umum, faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik antara lain adalah :

1) Berbagai sumber daya yang langka

Karena sumber daya yang dimiliki organisasi terbatas/ langka maka perlu dialokasikan. Dalam alokasi sumber daya tersebut suatu kelompok mungkin menerima kurang dari kelompok yang lain. Hal ini dapat menjadi sumber konflik.

2) Perbedaan dalam tujuan

(24)

dalam tingkat yang cukup tinggi. Apabila hal ini dipandang dari sudut keuangan, mungkin tidak dikehendaki karena akan memerlukan tambahan dana yang cukup besar.

3) Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan

Organisasi merupakan gabungan dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. Akibatnya kegiatan satu pihak mungkin dapat merugikan pihak lain. Dan ini merupakan sumber konflik pula. Sebagai contoh: bagian akademik telah membuat jadwal ujian beserta pengawasnya, tetapi bagian tata usaha terlambat menyampaikan surat pemberitahuan kepada para pengawas dan penguji sehingga mengakibatkan terganggunya pelaksanaan ujian.

4) Perbedaan dalam nilai atau persepsi

Perbedaan dalam tujuan biasanya dibarengi dengan perbedaan dalam sikap, nilai dan persepsi yang bisa mengarah ke timbulnya konflik. Sebagai contoh: seorang pimpinan muda mungkin merasa tidak senang sewaktu diberi tugas-tugas rutin karena dianggap kurang menantang kreativitasnya untuk berkembang, sementara pimpinan yang lebih senior merasa bahwa tugas-tugas rutin tersebut merupakan bagian dari pelatihan.

5) Sebab-sebab lain

Selain sebab-sebab di atas, sebab-sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik dalam organisasi misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan organisasi dan masalah-masalah komunikasi.

Secara umum, analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, meskipun terdapat variasi-variasi dalam situasi khusus dan mungkin berulang dalam siklus yang sama. Tahap-tahap ini menurut Fisher et al. (2000) adalah:

(1) Prakonflik : ini merupakan periode dimana terdapat sesuatu ketidaksesuaian

sasaran diantara dua pihak atau lebih,sehingga timbul konflik. Konflik terjadi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara pihak atau keinginan untuk menghindari kontak antara satu sama lain pada tahap ini.

(2) Konfontasi : pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu

pihak yang merasa ada masalah, maka mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demontrasi ataupun perilaku konfrontatif lainya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainya terjadi diantara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konfontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah kepada polarisasi diantara kedua pendukung di masing-masing pihak.

(3) Krisis : ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang ketika orang-orang dari kedua pihak terdapat korban harta maupun nyawa. Komunikasi normal diantara kedua pihak kemungkinan terputus. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lain.

(25)

setuju bernegosiasi. Dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihakyang mempunyai otoritas atau pihak ketiga lainyayang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua belah pihak menghentikan pertikaian. Apapun keadaan tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tingkat ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

(5) Pasca konflik : Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahapan ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.

Tipologi konflik perikanan

Obserchall (1973) mengatakan bahwa tanpa memiliki pemahaman tentang tipologi, maka akan sulit untuk memberikan resolusi konflik yang efektif. Tipologi konflik akan memberikan manfaat yang signifikan dalam memprediksi

outcome dari konflik. Charles (1992) menandaskan bahwa pemahaman terhadap struktur konflik perikanan dapat dilakukan melalui tipologi konflik perikanan (Tabel 1), yang mencakup empat kategori. Dua dari empat kategori tersebut terkait dengan struktur dan implementasi dari sistem pengololaan, sedangkan dua kategori lainya berhubungan dengan alokasi terhadap sumberdaya, baik terjadi di perikanan itu sendiri, maupun antara perilaku perikanan dan pelaku ekonomi lain. Tabel 1Tipologi konflik perikanan (Charles)

1 Yuridikasi perikanan

(1)Hak kepemilikan. Debat mengenai hak kepemilikan (property right)mencakup

pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan control di perikanan. Banyak konflik terjadi karena perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan

perikanan, antara lain: open-acces manajemen terpusat, hak pengolaan

kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individun dan privasi.

(2) Peran pemerintah. Debat mengenai peran pemerintah terkait dengan dua hal

yaitu pengelolaan perikanan yang berfokus pada pengaturan secara terpusat oleh pemerintah dan pengolaan yang lebih terdesentralisasi, yang meliputi

opsi pengelolaan berbasis masyarakat dan pasar dan pengembangan

co-management.

(3) Konflik antar pemerintah. Konflik antar pemerintah mencakup konflik antar

negara, antara beberapa yuridikasi dalam satu negara, seperti pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Yurdikasi Perikanan Mekanisme

pengolaan

Alokasi internal Alokasi

ekternal

Peran pemerintah Konflik

(26)

2 Mekanisme pengolaan

(1) Rencana pengelolaan perikanan. Penyusunan rencana pengelolaan untuk

menentuka tingkat penangkapan yang diperbolehkan, alokasi penangkapan, waktu penangkapan dan/atau alat tangkap yang biasanya ditetakan oleh pemerintah, merupakan sumber konflikra nelayan dan pemerintah.

(2) Interaksi nelayan dengan pemerintah. Sumber konflik adalah seringkali

pengetahuan dan ide-ide nelayan dikesampingkan oleh pemerintah dan para ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan

3 Alokasi Internal

(1) Konflik perang alat tangkap (gear wars). Konflik terjadi karena adanya

perbedaan alat tangkap, atau perbedaan dalam ‘skala’ penangkapan, misalnya perbedaan tegnologi tradisional vs, modern di suatu daerah penangkapan.

(2) Konflik antar pengguna. Konflik ini muncul antara pengguna perikanan yang

memiliki perbedaan segmen atau kelas dalam masyarakat, misalnya nelayan tradisional vs, nelayan industri, atau nelayan komersir vs, nelayan rekreasi.

(3) Nelayan vs, industry perikanan. Konflik antara nelayan dan industri perikanan

biasanya terkait dengan pola pengelolaan ketenaga kerjaan, yang menyakup konflik penetapan harga ikan yang sesuai, upah yang sepatutnya diperoleh , dan masalah ekonomi lainnya yang terkait antara nelayan dan industri perikanan.

4 Alokasi Eksternal

(1) Domestik vs,asing. Konflik terjadi antara nelayan domestik di negara

maritime dengan nelayan atau kapal asing. Konflik ini mencakupmasalah illegal fishing dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) negara maritime, penangkapan ikan merusak, oposisi nelayan domestik terhadap perjanjian bilateral perikanan.

(2) Nelayan tangkap vs, pembudidaya. Konflik terjadi seputar isu pemanfaatan

ruang laut dan kualitas lingkungan laut yang juga di manfaatkan oleh nelayan tangkap.

(3) Kompetisi penggunaan laut. Nelayanjuga menghadapi konflik ekternal, antara

lain dengan kapal besar dan (biasanya karena tumpahan minyak), penambangan di laut, pariwisata, kehutanan.

Penggunaan tipologi konflik merupakan hal penting untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik, karena dengan diketahui tipologi konflik maka penyebab dan alternative resolusi konflik dapat dianalisis. Tipologi tidak berupaya menggambarkan semua bukti-bukti emipiris, tetapi menarik benang merah yang diperkirakan dapat mewakili sesuatu karakteristik (McKinny 1996).

Menyempurnakan kategori yang dibuat Charles (1992), Warner (2000) mengusulkan lima tipe konflik. Tipe pertama adalah konflik berkenaan dengan “who control the fishery,” misalnya masalah akses terhadap wilayah dan

sumberdaya laut. Tipe kedua adalah konflik yang terkait permasalahan”how the

(27)

tidak terkait langsung dengan kegiatan penangkapan tetapi mempengaruhinya. Contoh konflik-konflikdalam tipe ini adalah konflikyang lahir karena kasus-kasus kerusakan lingkungan, perubahan ekonomi(kenaikandengan bahan bakar minyak), korupsi dan lain-lain

Di Indonesia Arif Satriya (2007) membagi konflik menjadi 7 (tujuh) tipe, yakni: (1) konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi kesenjangan teknologi penangkapan ikan (2) konflik kepemilikan sumberdaya, yaitu konflik akibat isu kepemilikan sumberdaya: laut milik siapa? Ikan milik siapa? (3) konflik pengolaan sumberdaya ,yaitu konflik akibat “pelanggaran aturan pengelolaan” Isu: siapa berhak mengelola SD atau SD laut? (4) Konflik cara produksi tangkap, yaitu konflik akibat perbedaan alat tangkap, baik sesama tradisional maupun tradisional-modern yang merugikan salah satu pihak (5) Konflik lingkungan, konflik akibat kerusakan lingkungan akibat praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain (6) Konflik usaha, konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga maupun system bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan (7) Konflik primordial, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan primordial/identitas (ras,etnik,asal daerah).

Resolusi konflik

Meiling (1994) diacu dalam FAO (1998) mendefinisikan resolusi konflik sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melaui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan kepada semua pihak yang memperbesar “kue” dan menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya mendapat “kue” yang lebih besar. Definisi ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua.

Resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian.Resolusi dimana pihak-pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dan membahas isu-isu resolusi tersebut, namun bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan di pihak luar yang bertikai, tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walapun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain (Budiono 2005).

Bennet and Neiland (2009) menandaskan bahwa proses resolusi konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan

(litigasi) dan diluar pengadilan atau penyelesaian sengketa alternative (Alternatif

Dispute Ressolution ADR ). Melalui proses litigasi, akan memunculkan pihak

yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pendekatan ADR output yang

dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih popular digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam.

(28)

Konsep pyramid sering digunakan sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik. Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi

konflik mulaidari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik

menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana sementara

resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi

yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi

untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak (Bannet and

Neiland 2000)

Creighton and Pricoli (2001) mengambarkan situasi ideal yang seharusnya

dicapai dalam resolusi konflik melalui negosiasi seperti dijelaskan pada gambar 3. Dalam proses negoisasi, pihak yang berkonflik akan berupaya bergerak antar titik A (dimana A menang) ke titik B (dimana B menang). Sebagai konsekwensinya, proses negoisasi yang baik seharusnya berada pada daerah B, kedua belah pihak tidak merasa menang atau kalah. Pada kenyatanya untuk mencapai daerah ini sering sulit dilakukan oleh karena itu proses negoisasi dapat diperluas hingga

mencapai daerah “intergratif bargaining collaboration”. Pada daerah ini proses

negoisasi diperluas tidak hanya melibatkan pihak yang berkonflik tetapi juga pihak yang lain dipandang mampu ikut menyelesaikan konlik. Untuk mencapai daerah tersebut juga dapat dilakukan melalui proses mediasi dan fasilitasi. Daerah D adalah daerah yang harus dihindari, karena pada daerah ini yang berkonflik

menjadi “lebih buruk(worse off)”

(29)

Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu

: (1) Substantive interest, yaitu: need, dana, waktu, material dansumberdaya (2)

procedural interest,yaitu: kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana

sesuatu dapat diselesaikan (3) Relationship por phsychological interest, yaitu

kebutuhan yang merajuk pada perasaan seseorang, bagaimana sesorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan.

Pendekatan penyelesain konflik secara umum dapat dikategorikan (Gorre 1999) menjadi : (1) Mekanisme pembangunan consensus di mana ini adalah keterlibatan semua belah pihak yang secara sukarela mencari alternatif penyelesaian yang mengakomodasi semua kepentingan , dan (2) Negosiasi yang mengacu pada dua atau lebih yang secara sukarela memdiskusikan perbedaan yang ada di antara mereka yang berupaya untuk mencapai keputusan bersama dalam kepentingan mereka. Kedua tersebut memerlukan komunikasi yang terbuka dan insetif untuk berkompromi harus tinggi karena keinginan untuk berkompromi yang tinggi menjadi kunci keberhasilan proses ini. Dalam proses ini, pihak ketiga dapat dilibatkan, baik itu mediator atau pihak dalam jalur judikatif(hukum),serta jalur legislative dapat mengarahkan resolusi konflik ini menjadi focus.

Resolusi konflik dapat diharapkan menjadi dasar pengelolaan yang mengkomodasi perbedaan kepentingan semua pihak

(industry,masyarakat-kokonsituen dan stakeholder, pemerintah dan lembaga non pemerintah).

Perencanaan ruang dapat digunakan sebagai produk interprestasi dari keinginan publik setempat dalam bentuk ketetapan tentang arah pemanfaatan yang sesuai dengan kaidah dan kondisi pembangunan yang dicita-citakan. Arah pemanfatan

ini meliputi alternatif dan scenario di masa depan (use plan ) dan alternative cara

(guidance) untuk mencapai kondisi tersebut (Chapin and Kaiser 1985).

(30)

Tabel 2 Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik

Tahapan resolusi konflik Tugas-tugas

Getting started Pertemuan dengan stakeholder yang potensial untuk akses perhatian mereka dan menerangkan proses pembuatan consensus: penanganan logistic dan rapat untuk pertemuan awal

Penyusunan representasi Mengadakan rapat dengan stskeholder untuk membantu memilih juru bicara atau team leader, bekerja dengan

stakeholder awal untuk mengidentifikasi kelompok yang tidak terwakili atau strategi keterwakilan interest yang tersebar

Drafing protocol dan seting agenda

Penyiapan draft pendahuluan yang didasarkan pada pengalaman masa lampau dan pertemuan yang menaruh perhatian; mengelola proses agenda setting

Tahapan resolusi konflik Tugas-tugas Menarik hati dalam

menentukan fakta yang terkait

Membantu untuk draft penemuan fakta pendahuluan; identifikasi konsultan teknik atau advisor untuk kelompok; mengatur pembiayaan dalam resource poll;memelihara kepercayaan atau informasi hak-hak pemilik

Negosiasi

Penemuan pilihan Mengelola proses brainstorming; mengusulkan pilihan-pilihan yang potensial bagi kelompok untuk dipertimbangkan; koordinasi subcommittees untuk draft option

Packiaging Mengadakan rapat secara privat dengan setiap kelompok untuk mengidentifikasi dan menguji kemungkinan traders;mengusulkan kemungkinan packet untuk kelompok untuk dipertimbangkan

Penulisan perjanjian Bekerja dengan subcommittees untuk menghasilkan draft perjanjian; mengelola single-text prosedur; menyiapkan draft pendahuluan dari single-text.

Binding the parties Memelihara sebagai tempat ikatan; pendekatan keluar kelompok; membantu menemukan cara-cara baru untuk mentautkan kelompok yang bertikai ke dalam komitmen Ratifikasi Membantu partisipan menawarkan perjanjian ke pemilih;

menyakinkan bahwa semuanya perwakilan telah tersentuh dengan pemilih-pemilih mereka.

Bekerja dengan pihak yang bertikai untuk menemukan kesepahaman; pendekatan pemilih dari sebagian kelompok; mengidentifikasi kendala hukum pada implementasi

Monitoring Memonitor implementasi; memanggil rapat kelompok monitoring

Renegosiasi Mengumpulkan kembali partisipan jika muncul ketidaksetujuan; membantu untuk mengingatkan kelompok pada tujuan awal.

(31)

perselisihan di dalam wilayah pesisir. Dalam masyarakay maju, konflik pesisir sering diselesaikan melalui upaya mediator yang berpihak (netral) yang membantu pengelola pesisir membawa ke dalam suatu pertemuan bersama dan melakukan negoisasi terhadap suatu pemecahan masalah (Cicin-Saint and Knecht 1998).

Pengelolaan konflik adalah proses non-kekerasan yang mempromosikan dialog dan negosiasi dan memberikan panduan penyelesaian konflik agar

konstruktif ketimbang destuktif. Elemen-elemen utama dalam pendekatan pengelolaan konflik modern terdiri dari: (1) aktor social yang peduli menyelesaikan pertikaian (2) wilayah kepentingan dan beberapa sumber konflik, seperti perbedaan nilai, keinginan dan kebutuhan dari berbagai pihak yang terlibat (3)forum untuk bernegosiasi dan peraturan dasar yang menyediakan kerangka kerja para pihak yang terlibat untuk bertemu dan berdiskusi (4) data yang dapat dipercaya tentang sumber konflik (5) opsi-opsi tindakan yang dihasilkan oleh pelaku yang terlibat dan didis kusikan diantara mereka (6) merumuskan dan menuliskan persetujuandari salah satu pilihan yang disepakati (7)mengesahkan persetujuan dan melaksanakannya (Wallace 2002).

Menurut Asy’ari (2003),terdapat beberapa langkah dalam mengatasi konflik termasuk: (1) menggunakan kekuasaan dalam rangka mencegah konflik yang terjadi menyebar ke wilayah lain. Kekuasaan ini harus berdasarkan tindakan yang bijak dan tidak dipengaruhi motif yang emosional; (2) mempelancar usaha kedua belah pihak untuk menurunkan ketegangan melalui cara-cara diplomatis. Situasi panas harus lebih dahulu didinginkan, dengan cara antara lain, penggunaan metode persuasive tapi bukan dengan paksaan dari yang lain yang pada giliranya akan menimbulkan kerugian pada orang atau kelompok lain; (3) upaya menghindar, itulah watak manusia untuk menghindarikonflik sesudahnya yang berkepanjangan. “menghindarkan diri” adalah salah satu arif yang harus dimiliki masyarakat. Sebuah konfli biasanya berasal dari mulut dan dari ucapan yang menyakiti oran lain.

Agar proses resolusi konflik berlangsung dengan baik, Rijsberman (2000) menyatakan ada dua prekondisi yang harus disiapkan. Prekondisi yang pertama adalah lingkungan hukum atau kebijakan yang menunjang.Prekondisi yang kedua

adalah adanya keseimbangan diantara stakeholder yang terlibat dalam konflik.

Manajemen Konflik Sumberdaya Perikanan

Manajemen konflik sumberdaya perikanan adala upaya sistematis melalui

sebuah proses terpadu (intergrated) dan menyeluruh untuk mencegah ataupun

menyelesaikan permasalahan atau konflik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, demi terwujudnya tujuan bersama secara baik. Manajemen konflik meliputi tiga proses penting antara lain:

1. Pemuliaan Pengelola Sumberdaya Perikanan; Pendekatan Partisipatif

(32)

pengalokasian secara bijak atas segenap pengelola sumberdaya perikanan. Apabila semua pihak pelaksana pengelolaan sumberdaya perikanan termuliakan, maka resiko konflik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan akan kecil.

2. Kesefahaman dan Kesepakatan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan sumberdaya perikanan adalah upaya bersama seluruh pelaksana pengelolaan sumberdaya perikanan untuk pemenuhan bersama kebutuhan setiap pelaksana tersebut. Jika terdapat ketidaksetimbangan atau ketidakadilan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut, maka pihak yang bersangkutan akan menuntut keadilan. Inilah yang menjadi sumber konflik. Oleh karenanya, kesefahaman dan kesepakatan bersama dalam menentukan arah strategi dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan sangat penting. Kesefahaman dan kesepakatan inilah yang akan menjadi ”pemandu” pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Pemuliaan pengelola sumberdaya perikanan; pendekatan partisipatif serta kesefahaman dan kesepakatan pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan metode pencegahan konflik dalam suatu sistem manajemen konflik sumberdaya perikanan.

3. Pranata Penanganan Konflik

Secara alamiah, peluang munculnya kecurangan ataupun pelanggaran dalam pengelolaan sumberdaya perikanan meskipun telah melalui proses dan metode pencegahan yang baik, tetap ada. Hal inilah yang menjadi dasar akan pentingnya sebuah mekanisme sistematis untuk menangani munculnya konflik. Penanganan secara sistematis tersebut tergabung dalam mekanisme pranata penanganan konflik. Pranata penanganan konflik meliputi institusi pelaksana penanganan konflik, peraturan penanganan konflik, serta institusi pendidikan dan sosialisasi penanganan dan pencegahan konflik.

Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah :

1. Metode pengurangan konflik.

Salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan

terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun demikian cara semacam ini

sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.

2. Metode penyelesaian konflik.

Cara yang ditempuh adalah dengan mendominasi atau menekan, berkompromi, dan penyelesaian masalah secara integratif.

a. Dominasi (Penekanan)

Dominasi dan penekanan mempunyai persamaan makna, yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan memaksanya “tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan kepada yang lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan dominasi bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting).

(33)

Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik (win-win solution). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik.

c. Penyelesaian secara integratif

Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan

dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-pihak

yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam praktiknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.

Berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang-kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik:

1)Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari Konflik)

Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.

2)Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)

Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.

3)Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi)

(34)

dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.

4)Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi)

Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.

Keadaan Umum Pelabuhan Ratu

Secara geografis Kecamatan Pelabuhan Ratu terletak diantara 106° 49' - 107 00 BT dan 6°67' - 07°25' LS. Kecamatan Pelabuhan Ratu berjarak sekitar 61 km dari ibukota kabupaten, Sukabumi, 123 km dari ibukota propinsi, Bandung dan 180 km dari ibukota negara, Jakarta. Luas wilayah Kecamatan Pelabuhan Ratu adalah 27.210,07 Ha atau sekitar 6,59% dari total luas wilayah Kabupaten Sukabumi yang mencapai 412.799,54 Ha. Kecamatan Pelabuhan Ratu meliputi satu kelurahan, yaitu Kelurahan Pelabuhan Ratu dan tiga belas desa, yakni Desa Citepus, Cibodas, Buniwangi, Citarik, Cikadu, Tonjong, Cidadap, Loji, Kertajaya, Cihaur, Cibuntu, Mekarasih dan Pasir Suren. Batas-batas kecamatan Pelabuhan Ratu meliputi Kecamatan Cikidang di sebelah utara, Kecamatan Cirenas sebelah selatan, Kecamatan Warung Kiara sebelah timur dan Samudera Indonesia di sebelah barat

Teluk Pelabuhan Ratu yang terletak 60 km arah selatan dari kota Sukabumi, adalah sebuah kawasan yang terletak di pesisir selatan Jawa Barat, di

Samudra Hindia. Wilayah pesisirnya terbentang dengan panjang garis pantai ±

200 km. Potensi wilayah pesisir Pelabuhan Ratu mencakup potensi sumberdaya hayati, non hayati dan jasa-jasa lingkungan. Potensi sumberdaya hayati meliputi ekosistem pesisir, perikanan dan biota laut lainnya. Wilayah pesisir selatan ini secara umum aktivitas pembangunannya belum optimal, padahal tidak sedikit potensi pesisir selatan yang dapat dikembangkan, seperti pariwisata dan budidaya laut dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya (Kinerja Penataan Ruang Jawa Barat, 2006).

Pelabuhan Ratu merupakan lokasi yang sangat cocok untuk dikembangkannya kegiatan budidaya perikanan dengan sistem keramba jaring apung. Selain kemudahan penyediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan budidaya seperti transportasi dan komunikasi, bahan baku instalasi budidaya, ketersediaan benih serta kemudahan menjangkau lokasi, Teluk Pelabuhan Ratu

merupakan kawasan wisata pantai yang menghendaki adanya bahan baku seafood

yang segar. Selain itu, Pelabuhan Ratu memiliki pelabuhan perikanan Nusantara

yang merupakan tempat pelelangan ikan terbesar di Jawa Barat. Dengan

(35)
(36)

III BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Secara menyeluruh, penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Oktober tahun 2011. Lokasi penelitian dilaksanakan di Palabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi.

Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu (1) Survai PISCES merupakan tahap deskripsi yang terdiri dari : identifikasi konflik dan eskalasi konflik, pemetaan konflik, penggambaran akar masalah, tipologi dan faktor penyebab konflik serta peran kelembagaan yang menangani konflik (2) Penyusunan evaluasi mengenai manajemen konflik yang juga menggunakan

media Forum Group Discussion sebagai salah satu piranti dalam penelitian ini.

Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif merupakan data yang berupa angka-angka untuk kebutuhan analisis dalam penelitian ini, meliputi: data demografis kenelayanan serta data-data parameter perikanan tangkap. Adapun data kualitatif dalam penelitian ini adalah data yang tidak dinyatakan dalam angka-angka, meliputi: jenis konflik, penyebab konflik, aktor yang terlibat, sejarah/kronologis kejadian, tempat kejadian, akar masalah, resolusi konflik yang dilakukan, peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah penelitian, dokumentasi surat kesepakatan serta kelembagaan sosial masyarakat baik formal maupun non formal.

Beberapa parameter kualitatif yang menjadi perhatian antara lain: persepsi terhadap faktor penyebab konflik, tingkat kepuasan terhadap teknik resolusi konflik yang digunakan, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, pemahaman masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dan persepsi masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap berasaskan keadilan.

Dilihat dari sumbernya, terdapat dua jenis data dalam penelitian ini antara

lain: Data yang diguanakan bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan di lapangan, pada tahap satu (survai PISCES) yang berfungsi untuk melakukan identifikasi terhadap konflik perikanan tangkap meliputi posisi konflik (PGIE), akar permasalahan konflik

meliputi sumber konflik dan tipologi konflik, perkembangan konflik (times line),

hubungan antar aktor (institutional well). Data tersebut diperoleh melalui

wawancara mendalam (indepth interview) terhadap beberapa orang informan

kunci (key informman) dengan menggunakan pedoman wawancara (interview

guide) dan observasi.

Survei persepsi dilakukan dengan menggunakan kuisioner terstruktur

dilakukan secara puposive terhadap beberapa orang responden yang dianggap

(37)

Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait, hasil penerbitan dari beberapa media, regulasi yang berkaitan dengan konflik dan dokumen surat pernyataan resolusi konflik serta penelusuran pustaka terhadap hasil penelitian terdahulu. Diharapkan data sekunder tersebut selain melengkapi rangkaian data yang dibutuhkan, juga menjadi koreksi terhadap beberapa data primer yang telah diperoleh, sehingga akurasi data semakin baik.

Metode Pengumpulan Data Data primer

Pengumpulan data primer (konflik dan resolusi konflik) dilakukan dengan

pendekatan PISCES (partisipatory institutional survey and conflict evaluated

exercise) yang dikembangkan Bannet and Jolley (2000) yang telah dimodifikasi dengan parameter:

(1) Times Line

Metode ini untuk mengumpulkan data perkembangan perikanan tangkap yang terkait dengan konflik yang pernah terjadi di masa lalu dan disusun berdasarkan waktu kejadiannya. Dalam penelitian ini data yang dihimpun melalui sejarah/kronologis konflik perikanan tangkap termasuk perubahan teknologi perikanan tangkap, implementasi suatu peraturan, runtutan waktu terjadinya konflik serta perkembangan resolusi konflik yang dilakukan.

(2) Institutional Wheels

Metode ini menggambarkan pola hubungan antar kelompok. Metode ini sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi konflik yang muncul antar kelompok.

Selain itu dalam institutional wheels dapat digambarkan peranan kelompok dan

organisasi, pengaruh masing-masing pihak yang terkait terhadap pihak yang lain, serta dampak hubungan tersebut baik yang bersifat positif maupun negatif. Data yang terhimpun dalam pemetaan konflik perikanan tangkap.

(3) Semi Structured Interview (SSI)

Semi structured interview (SSI) ditujukan untuk memeriksa persepsi pengelolaan perikanan tangkap dari tiap komponen perikanan tangkap. Survei ini dilakukan terhadap: Dinas Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajaran fungsionalnya terutama di PPN Pelabuhan Ratu, tokoh masyarakat, nelayan lokal yang terdiri dari pemilik kapal, ABK, pedagang penampung, nelayan andon, organisasi-organisasi kenelayanan, lembaga-lembaga terkait, serta akademisi. Tahap ini penting sebagai dasar upaya pemetaan konflik perianan tangkap di Pelabuhan Ratu.

Sebelum melakukan seurvei persepsi tersebut sebelumnya telah dilakukan identifikasi terhadap akar permasalahan konflik yang dapat ditinjau berdasrkan tipologi konflik dan sumber konflik serta identifikasi kelembagaan pengelolaan

konflik. Pengumpulan data dilakukan melalui wawanacara mendalam (indepth

interview) terhadap beberapa informan kunci (key informman) dengan

menggunakan pedoman wawancara (interview guide).

Data Sekunder

(38)

Analisis Data

Sebagai upaya untuk mencapai tujuan penelitian, skenario analisis data diawali dengan identifikasi konflik yang terjadi di daerah penelitian. Setelah konflik teridentifikasi, upaya selanjutnya adalah pemetaan konflik. Keberhasilan dalam upaya pemetaan konflik sangat ditentukan oleh hasil identifikasi konflik. Hasil dari pemetaan konflik akan menjadi dasar atas perumusan manajemen konflik. Berikut uraian mengenai analisis data yang dilaksanakan:

Identifikasi Konflik

Identifikasi konflik dilakukan dengan pendekatan Bannet and Jolley

(2000), yaitu: (1) spot mapping atau sketch mapping untuk memperoleh informasi

dasar keadaan geografis wilayah dalam bentuk peta transek, (2) times line yaitu

analisis sejarah/kronologis perikanan tangkap termasuk perubahan teknologi alat tangkap, implemmentasi suatu peraturan, runtutan waktu terjadinya konflik.

Kemudian dilengkapi dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Fisher et al.

(2000) melalui penahapan konflik yang bertujuan untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik, disajikan dalam bentuk grafik menunjukkan intensitas konflik yang digambarkan dalam skala waktu tertentu.

Pemetaaan Resolusi Konflik

Pada dasarnya, kompleksitas konflik dapat disimplifikasi melalui peninjau an terhadap dua aspek, yaitu: tipologi konflik dan sumber konflik. Tipologi konflik secara umum dikelompokkan menjadi 4 kelompok Charles (1992), yaitu: (1) yurisdiksi perikanan, meliputi perbedaan kepentingan terhadap beberapa

bentuk kepemilikan perikanan antara lain: open-access, manajemen terpusat, hak

pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu dan privatisasi (2) mekanisme manajemen, meliputi isu-isu relatif jangka pendek yang muncul dalam pengembangan dan implementasi perencanaan manajemen perikanan, keterlibatan nelayan dan pemerintah dalam konflik saat eksploitasi dan proses konsultasi dan pengawasan perikanan (3) alokasi internal, termasuk konflik yang muncul dalam sistem perikanan secara spesifik, antar kelompok dan alat tangkap yang berbeda, seperti antara nelayan, pengolah dan pihak-pihak lain dan (4) alokasi eksternal, menyangkut konflik yang muncul antara pemain perikan internal dan eksternal, seperti dengan kapal asing pembudidaya, industri non perikanan dan lainnya.

Kategori akar permasalahan yang mengacu pada sumber konflik berdasarkan GORRE (1999), yaitu (1) masalah hubungan,meliputi perbedaan persepsi karena faktor emosional yang kuat, asumsi terhadap perilaku pihak lain, kurang atau tidak ada komunikasi, ataupun adanya perilaku negatif yang berulang (2) konflik yang disebabkan oleh data, meliputi kurangnya informasibagi pengguna untuk mengambil keputusan yang tepat (3) konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan, meliputi perbedaan kepentingan antara beragam pengguna dari sumber daya alam yang sama (4) konflik yang disebabkan oleh masalah sruktural, meliputi perbedaan kepentingan tidak dapat diselesaikan karena ketidak mampuan salah satu atau beberapa pihak karena adanya hal-hal yang sifatnya eksternal diluar kendali pihak-pihak tersebut (5) konflik nilai, meliputi perbedaan sistem nilai yang dianut oleh salah satu pengguna dengan nilai yang diterapkan oleh pengguna lain.

Penjelasan terhadap pendekatan Gorre (1999) dilengkapi dengan

Gambar

Gambar 1 Diagram Prinsip Manajemen Konflik.
Gambar 3 Kondisi optimal resolusi konlik melalui proses negoisasi (Creigton dan
Tabel 2 Tugas-tugas mediator pada setiap tahapan resolusi konflik
Tabel 3 Jenis Konflik yang Terjadi di Pelabuhan Ratu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyelesaian persamaan Schrödinger untuk potensial tertentu dapat ditemukan dengan cara mengubahnya menjadi persamaan diferensial tipe hipergeometri dengan melalui

Pada paparan radiasi ionisasi dengan dosis yang lebih besar, maka energi foton dari radiasi ionisasi (efek langsung) dan radikal bebas yang terbentuk (efek tidak langsung)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

d. Kementerian BUMN melalui HIMBARA memberikan kredit pada masyarakat maupun dunia usaha. • Estimasi pendapatan: Rp 750 Miliar. • Jika bisa panen 2 kali dalam setahun dengan adanya

Judul yang penulis ajukan adalah EVALUASI TERHADAP PENERAPAN PROSEDUR PENERBITAN SURAT IZIN USAHA MIKRO KECIL (IUMK) PADA KECAMATAN GONDANG KABUPATEN SRAGEN..

Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi pengganti

Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi. Dengan kata lain, sekolah mempunyai variabel yang

memutakhirkan kebijakan peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit; (2) Melindungi aspek kesehatan masyarakat dengan mempertimbangkan