RINGKASAN
ASEP BARKHAH. Keterkaitan Karakteristik Lahan dengan Produktivitas Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) sebagai Dasar Bagi Evaluasi Lahan. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI dan WIDIATMAKA.
Keragaman produktivitas kelapa sawit disebabkan karena beragamnya sifat tanah dan lahan di areal kelapa sawit. Sehubungan dengan tingginya keragaman tersebut maka informasi yang lebih obyektif tentang kesuburan tanah di setiap jenis tanah sangat diperlukan untuk lebih mengarahkan tindakan manajemen tanah serta upaya pemeliharaan kultur teknis kelapa sawit. Untuk memperoleh informasi mengenai kondisi lahan pada daerah yang ditanami kelapa sawit, maka dilakukan evaluasi lahan.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai potensi suatu lahan agar pengelolaan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman dan produksi kelapa sawit dapat optimal. Survey lapangan dan pengamatan produksi tanaman kelapa sawit dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit Unit Usaha Bentayan, PT Perkebunan Nusantara VII (Persero), Sumatera Selatan. Analisis kimia dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kelas lahan berbasis karakteristik lahan ditentukan berdasarkan derajat dan jumlah pembatas yang dimiliki lahan untuk tanaman tumbuh normal. Dalam hal ini sifat-sifat tanah dibandingkan dengan faktor kelas kesesuaian lahan bagi tanaman kelapa sawit. Penilaian kelas lahan berbasis produksi berdasarkan produksi yang dicapai pada kondisi aktual dikaitkan dengan kriteria batas produksi pada berbagai kelas lahan.
SUMMARY
ASEP BARKHAH. Linkage Characteristics of Land with Palm Oil Productivity as a Basic for Land Evaluation. Supervised by ATANG SUTANDI and
WIDIATMAKA.
Variability of oil palm productivities are various due to land properties and characteristics. These require informations of soil fertility in every soil types. These informations are able to drive land management and technical culture of oil palm. The informations can be obtained through land evaluation.
This study aims to assess the potential land suitability for oil palm. Field surveys and observations carried out at oil palm plantation business unit Bentayan, PT Perkebunan Nusantara VII (Persero), South Sumatra. Chemical analysis conducted at the Laboratory soil of Chemistry and Fertility, Department of Soil Science and Land Resources, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University.
Land classes were determined on land characteristics i.e. based on degree at the limiting factor classifield as actual land suitability classification. In this case, land characteristics were matching with oil palm land suitability criteria. Land suitability for production based was also measured to obtain potential land suitability classification.
The results show that land classes at oil palm based on land characteristics obtained covering S2f, S2wf, S3w, S3wf, and N1w. Actual land suitability at S3w increased to S2 potential class at 5, 7 and 9 years palm oil. Actual land suitability at N1w increased to S3 potential class at 7 years palm oil, and S2wf increased to S1 at 5 years palm oil These increases were caused improvement of the limiting factor i.e. improvement of drainage, application of organic materials, soil ameliorant, and fertilizers.
Judul Penelitian : Keterkaitan Karakteristik Lahan dengan Produktivitas Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis ) sebagai Dasar Bagi Evaluasi Lahan
Nama
: Asep BarkhahNRP
: A14060400
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. NIP. 19541212 198103 1 010 NIP. 19621201 198703 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 2 Oktober 1988 dari pasangan Abdulloh dan Imas Kusmiati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Penulis memulai studinya di Taman Kanak-Kanak (TK) Tunas Karya tahun 1992 dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) Sukatani II dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Cilawu-Garut dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Garut dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Setelah menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun pertama di IPB, penulis diterima di Program Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Keterkaitan Karakteristik Lahan dengan Produktivitas Kelapa Sawit ( Elaeis guineensis ) Sebagai Dasar Bagi Evaluasi Lahan”. Penelitian ini bertujuan untuk menilai potensi suatu lahan agar pengelolaan bagi pertumbuhan tanaman dan produksi kelapa sawit dapat optimal.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi pertama atas
bimbingan, bantuan, saran, motivasi serta kesabaran yang diberikan selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. selaku dosen pembimbing skripsi kedua atas saran-saran dan bentuan selama masa penyusunan skripsi.
3. Kedua orang tua penulis, Bapak Abdulloh dan Ibu Imas Kusmiati serta Teteh dan adik atas doa, kasih sayang, dorongan dan motivasi yang diberikan pada penulis sehingga penulis tetap bersemangat dalam menyelesaikan tulisan ini. 4. Seluruh staf Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB (Pak Ade, Pak Soleh, Pak Dadi, Pak Koyo, Pak Kasmun, Pak Ayang) yang telah memberikan bantuan selama melakukan analisis di laboratorium. Juga untuk seluruh Staf perpustakaan dan Tata Usaha atas seluruh bantuan yang diberikan pada penulis.
5. Teman-teman seperjuangan, Mahro Syihabudin, Bayu Sejati, dan Inpiktus Rudi Sitepu yang telah membantu, saling memberi semangat, dan kebersamaannya selama masa penelitian.
6. Keluarga KKP Luwijawa, Bu de Rohmi, Retha, Arti, Hari, Rendi serta my best friend M. Giri Wibisono atas semua bantuan, motivasi, dan kebersamaannya.
8. Semua pihak-pihak lain yang tidak sempat tersebutkan yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih membutuhkan kritik dan saran. Namun demikian, penulis berharap agar tulisan ini dapat berguna bagi yang pembacanya.
Bogor, Februari 2011
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ...1
1.1. Latar Belakang ...1
1.2. Tujuan ...2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...3
2.1.Botani Kelapa Sawit ...3
2.2.Syarat Tumbuh Kelapa Sawit ...4
2.3.Teknik Budidaya Tanaman Kelapa Sawit ...6
2.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan ...11
III. BAHAN DAN METODE ...18
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ...18
3.2. Bahan dan Alat ...18
3.3. Metodologi Penelitian ...18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
4.1. Kualitas Lahan ...21
4.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan ...22
4.3. Penetapan Kelas Lahan Berbasis Produksi...25
4.4. Keterkaitan Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dengan Kelas Lahan Berbasis Produksi ...27
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...32
5.1. Kesimpulan ...32
5.2. Saran ...32
VI. DAFTAR PUSTAKA ...33
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit ... 22
2. Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit ... 23
3. Analisis Usaha Tani Kelapa Sawit/Ha/Tahun...26
4. Kriteria Kelas Lahan Berbasis Produksi ... 27
5. Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dan Kelas Lahan Berbasis Produksi pada Kelapa Sawit (Tahun tanam 2000) ... 28
6. Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dan Kelas Lahan Berbasis Produksi pada Kelapa Sawit (Tahun tanam 2002) ... 29
7. Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dan Kelas Lahan Berbasis Produksi pada Kelapa Sawit (Tahun tanam 2004) ... 30
Lampiran 1. Hasil Pengamatan Lapangan ... 34
2. Data Analisis Kimia ... 35
3. Karakteristik Lahan (kandungan hara) Untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit ... 39
4. Derajat Pembatas Karakteristik Lahan Kelapa Sawit (iklim, topografi, media perakaran) ... 40
5. Derajat Pembatas Karakteristik Lahan Kelapa Sawit (kandungan hara) ... 41
6. Sebaran Blok-Blok pada Setiap SPT ... 42
7. Legenda Peta Tanah Unit Usaha Bentayan ... 44
8. Biaya Investasi Awal ... 45
10. Biaya Operasional Tanaman Belum Menghasilkan (Tahun 2) ... 49
11. Biaya Operasional Tanaman Belum Menghasilkan (Tahun 3) ... 52
12. Biaya Operasional Tanaman Belum Menghasilkan (Tahun 4-7)... 54
13. Biaya Operasional Tanaman Belum Menghasilkan (Tahun 8-14)... 57
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis), merupakan tanaman perkebunan yang
budidayanya di Indonesia berkembang pesat dan merupakan primadona penghasil
devisa negara dari sektor pertanian. Kelapa sawit adalah tumbuhan industri penting
penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Habitat
aslinya merupakan daerah semak belukar. Kelapa sawit berasal dari Afrika dan
Amerika Selatan, tepatnya Brasilia. Menurut Pahan (2008) produksi TBS yang
tertinggi didapatkan dari daerah yang rata-rata suhu tahunannya berkisar 25-270 C.
Produksi TBS/tahun juga dipengaruhi oleh jumlah jam efektif penyinaran matahari.
Panjang penyinaran yang diperlukan kelapa sawit adalah 5-12 jam/hari dengan
kondisi kelembaban udara 80% .
Lahan-lahan yang secara agronomis sesuai dan diperuntukkan penggunaannya
bagi kelapa sawit telah memberikan dampak positif dalam perkembangan daerah dan
peningkatan taraf hidup masyarakat. Di seluruh provinsi di Indonesia kecuali Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara, kelapa sawit telah dibudidayakan
secara luas dengan produktivitas yang beragam. Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Perkebunan, pada tahun 2010 Indonesia memiliki areal perkebunan kelapa sawit
seluas 7.824.623 hektar yang tersebar pada berbagai kondisi tanah dan lahan.
Keragaman produktivitas kelapa sawit antara lain disebabkan karena
beragamnya sifat tanah dan lahan di areal kelapa sawit. Sifat tanah dan lahan
terbentuk secara alamiah sebagai akibat dari proses pedogenesis (pembentukan tanah)
mulai dari bahan induk yang berkembang menjadi tanah pada berbagai kondisi lahan
(Thomson dan Troeh, 1973). Sehubungan dengan tingginya keragaman tersebut maka
informasi yang lebih obyektif tentang kesuburan tanah di setiap jenis tanah sangat
diperlukan untuk lebih mengarahkan tindakan manajemen tanah serta upaya
2 kondisi lahan pada daerah yang ditanami kelapa sawit, maka dilakukan evaluasi
lahan.
Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk
penggunaan tertentu. Pada prinsipnya evaluasi sumberdaya lahan dilakukan dengan
cara membandingkan antara persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan
lahan tertentu dengan sifat-sifat sumberdaya pada lahan tersebut. Hasil dari evaluasi
lahan bermanfaat untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga lahan
dapat digunakan secara optimal dan lestari dan diperoleh kemungkinan tingkat
produksi kelapa sawit untuk satu musim atau untuk beberapa tahun ke depan. Karena
itu, evaluasi lahan merupakan salah satu mata rantai yang harus dilakukan agar
rencana tataguna lahan dapat tersusun dengan baik.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menilai potensi suatu lahan agar pengelolaan
bagi pertumbuhan tanaman dan produksi kelapa sawit dapat optimal. Secara rinci
tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui faktor pembatas produksi kelapa sawit.
b. Mempelajari pola hubungan berbagai kelas kesesuaian lahan dengan produksi
kelapa sawit.
c. Memberikan rekomendasi pengelolaan tanah yang tepat sesuai dengan
sebaran kesuburan tanah dan faktor pembatas yang ada
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Kelapa Sawit
Tanaman kelapa sawit (Elais guineensis) termasuk dalam divisi Tracheophyta,
Sub-divisi Pteropsida,
Kelas Angiospermae,
Sub-kelas Monocotyledoneae,
Ordo Cocoideae,
Famili Palmae,
Genus Elaeis,
Species Elaeis guineensis Jacq.
Klasifikasi kelapa sawit beragam dengan parameter pembeda seperti tipe
buah, bentuk luar, tebal cangkang, dan warna buah. Dari warna buah, terdapat tiga
varietas kelapa sawit yaitu Nigrescens, Virescens dan Albescens. Varietas Nigrescens
dicirikan oleh warna buah violet kehitaman waktu muda dan menjadi warna oranye
jika matang. Varitas Virescens dicirikan oleh warna buah muda yang hijau dan
menjadi oranye jika matang, sedangkan varitas Albescens dicirikan oleh warna buah
muda yang kuning pucat serta tembus cahaya karena mengandung sedikit karoten,
dan jika masak umumnya berwarna kuning kemerahan. Baik Nigrescens maupun
Virescens biasanya memiliki bentuk buah yang bersayap (mantled). Varietas lainnya
yang disebut Elaeis idolatrica dicirikan oleh anak daun yang bertautan (Adiwiganda,
4
2.2. Syarat Tumbuh Kelapa Sawit
Kelapa sawit memerlukan kondisi lingkungan yang baik agar mampu tumbuh
dan berproduksi secara optimal. Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama
bagi pertumbuhan kelapa sawit, disamping faktor-faktor lainnya seperti genetis,
budidaya, dan penerapan teknologi lainnya.
2.2.1. `Faktor Iklim
` Curah hujan
Jumlah curah hujan yang optimal untuk tanaman kelapa sawit adalah
2.000-3.000 mm per tahun, dengan jumlah hari hujan tidak lebih dari 180 hari per tahun.
Hujan yang merata sepanjang tahun kurang baik karena pertumbuhan vegetatif akan
lebih dominan daripada pertumbuhan generatif, sehingga bunga/buah yang terbentuk
relatif lebih sedikit (Setyamidjaja, 2006). Sebaliknya, curah hujan yang terlalu tinggi
akan mengakibatkan timbulnya masalah terutama sulitnya upaya peningkatan kualitas
jalan, pembukaan lahan, pemeliharaan, pemupukan, dan pencegahan erosi (Pusat
Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
Suhu dan elevasi
Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 24-28ºC.
Di daerah sekitar katulistiwa, tanaman sawit liar masih dapat menghasilkan buah
pada 1.300 m dari permukaan laut. Dengan demikian, tanaman kelapa sawit
diperkirakan masih dapat tumbuh dengan baik sampai kisaran suhu 20ºC, tetapi
pertumbuhannya akan terhambat pada suhu 15ºC (Pahan, 2008).
Suhu udara terutama suhu udara minimum, berhubungan erat dengan elevasi.
Di daerah beriklim tropis, secara umum suhu udara bukan merupakan faktor
pembatas pada elevasi di bawah 400 m dpl. Sebaliknya, di atas 400 m dpl, meskipun
faktor iklim lainnya seperti curah hujan sudah sesuai untuk pertumbuhan kelapa
sawit, suhu udara minimum yang terlalu rendah bisa menjadi faktor pembatas, tetapi
masih berpotensi untuk budidaya kelapa sawit. Elevasi juga berkaitan dengan
5 teknis untuk mengantisipasi masalah yang timbul akibat terbatasnya penyinaran
matahari dan tingginya kelembaban udara (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
Kelembaban dan penyinaran matahari
Kelapa sawit membutuhkan kelembaban udara sekitar 80% dan penyinaran
matahari 5-7 jam/hari. Pada beberapa daerah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan
sering terjadi pada bulan tertentu penyinaran matahari ini kurang dari 5 jam. Hal ini
dapat menyebabkan berkurangnya asimilasi, timbulnya gangguan penyakit, gagalnya
pembukaan lahan, rusaknya jalan karena lambat kering dan lain-lain ( Lubis, 2008).
2.2.2. `Faktor Edafik
Lahan yang optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit mengacu pada tiga
faktor, yaitu lingkungan, sifat fisik lahan, dan sifat kimia tanah atau kesuburan tanah.
Kelapa sawit dapat tumbuh baik pada lingkungan dengan ketinggian 25-200 m dpl,
dengan kemiringan lereng datar hingga berombak (> 10 % ) (Pahan, 2008).
Sedangkan sifat fisik tanah yang baik untuk pertumbuhan kelapa sawit yaitu
solum cukup dalam (> 80 cm) dan tidak berbatu agar perkembangan akar tidak
terganggu, tekstur ringan dan yang terbaik memiliki pasir 20-60 %, debu 10-40 %,
dan liat 20-50 %, struktur tanah baik, konsistensi gembur sampai agak teguh,
permeabilitas sedang, drainase baik dan permukaan air tanah cukup dalam. Tanah
yang berdrainase jelek dengan permukaan tanah yang dangkal sebaiknya dihindari.
Pada tanah yang berdrainase jelek sebaiknya dibuat saluran drainase (Setyamidjaja,
2006).
Sifat kimia tanah yang merupakan faktor penentu keberhasilan budidaya
kelapa sawit adalah pH tanah dan ketersediaan hara. Kelapa sawit dapat tumbuh pada
pH 4,0-6,0, namun pH yang optimal adalah 5-5,5. Pada pH yang terlalu rendah,
ketersediaan hara makro utama seperti P, Ca, dan Mg akan sangat rendah, dan
sebaliknya unsur-unsur lain seperti Al dan Fe justru menjadi terlalu tinggi sehingga
bersifat meracun. Pada tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut air laut,
kedalaman mineral pirit juga harus diperhatikan sehingga tidak teroksidasi dan
6 oleh pasang surut air laut dan memiliki potensi sulfat masam pada kedalaman lebih
dari 1,5 meter masih potensial untuk budidaya kelapa sawit dengan syarat tinggi
muka air tanah tetap dipertahankan pada kedalaman sekitar 75 cm sehingga pirit tetap
dalam keadaan tereduksi (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).
2.3. Teknik Budidaya Tanaman Kelapa Sawit
Teknik budidaya tanaman pada perkebunan kelapa sawit (Elaeis guineensis)
meliputi berbagai hal sebagai berikut:
2.3.1. Pembukaan Lahan
Pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit merupakan komponen biaya
investasi awal. Menurut Lubis (1992) tahapan-tahapan pekerjaan sudah tertentu
sehingga jadwal kerja harus dilaksanakan secara konsekuen. Keterlambatan suatu
pekerjaan akan berlarut pada pekerjaan lain sehingga akan menambah biaya.
Tantangan yang dihadapi cukup banyak misalnya alam (gangguan cuaca, hewan liar),
biaya yang berkesinambungan, sumberdaya manusia dan alat-alat yang harus tersedia
beserta suku cadangnya.
Tahapan-tahapan pekerjaan pada pembukaan lahan adalah :
•Babat pendahuluan
Pekerjaan yang dilakukan sebelum pengimasan. Semak belukar dan pohon
kecil yang tumbuh di bawah pohon perlu dibabat. Pekerjaan ini membutuhkan
5-6 orang/ha.
•Pengimasan
Pekerjaan memotong semak dan pohon kecil yang berdiameter 10 cm dengan
parang atau kapak untuk mempermudah penumbangan pohon besar.
•Penebangan pohon
Penebangan pohon dilakukan dengan gergaji (chain saw) atau kapak, pohon
yang berdiameter 10 cm di tebang. Tinggi penebangan diukur dari tanah
tergantung pada diameternya. Sebelum pekerjaan ini dimulai, kayu besar yang
7
•Merencek/memerun
Pekerjaan memotong-motong cabang/ranting kayu yang sudah tumbang untuk
mempermudah perumpukan
•Perumpukan
Perumpukan adalah cabang dan ranting yang telah dipotong dikumpulkan
sebagai bahan pembakar dari kayu yang lebih besar. Perumpukan dibuat
memanjang utara-selatan agar bisa diterpa panas matahari dan cepat kering.
Jarak antar rumpukan dibuat 50-100 m tergantung kerapatan pohon yang
ditumbang dan keadaan areal.
2.3.2. Konservasi Tanah
Tindakan konservasi tanah mutlak diperlukan terutama di daerah yang memiliki
jumlah dan hari hujan besar serta pada lahan yang berombak-berbukit. Pada daerah
datar yang diutamakan adalah parit drainase dan jembatan, sedangkan teras dan
benteng tidak banyak diperlukan. Untuk mengatasi aliran air permukaan dan
memperbesar daya infiltrasi air ke dalam tanah, diperlukan teras. Pada kemiringan
8-20 derajat dibuat rorak setiap 12 meter dan pada kemiringan lebih dari 20 derajat
dibuat rorak bersambung dengan panjang 4 m dan dalam 30 cm. Pembuatan parit dan
drainase penting terutama pada daerah datar, rendahan dan areal yang sering
kebanjiran. Parit berguna untuk mencegah genangan air dan menurunkan permukaan
tanah dan lain-lain. Banyaknya parit tergantung pada kondisi lahan, keadaan banjir,
dalamnya gambut atau tinggi rendahnya permukaan air tanah (Lubis, 1992). Menurut
Murtilaksono, et al., (2007), aplikasi guludan dan rorak yang dilengkapi dengan
mulsa vertikal memberikan pengaruh yang positif terhadap jumlah pelepah daun,
jumlah tandan, rataan berat tandan dan produksi TBS.
2.3.3. Pemilihan bahan tanam
Bahan tanam yang digunakan di Indonesia pada saat ini adalah Tenera yaitu
8 pengujian (Lubis, 1992). Menurut Asmono (2007) saat ini di Indonesia secara resmi
dikenal 30 varietas kelapa sawit.
2.3.4. Pembibitan
Sistem pembibitan yang digunakan dalam perkebunan kelapa sawit dibagi
menjadi dua yaitu pembibitan satu tahap dan pembibitan dua tahap. Pembibitan satu
tahap artinya penanaman kecambah langsung pada pembibitan utama tanpa tahap
pembibitan awal, sedangkan pada pembibitan dua tahap, terdapat dua tahapan yaitu
tahap pembibitan awal (pre nursery) dan pembibitan utama (main nursery).
Menurut Lubis (1992) pemilihan lokasi pembibitan harus memperhatikan
hal-hal antara lain adalah dekat dari sumber air, dekat dari pengawasan dan mudah untuk
dikunjungi, tidak jauh dari areal yang ditanami jika mungkin di tengah lokasi untuk
mengurangi biaya pengangkutan bibit, dekat dari sumber tanah untuk mengisi
kantong plastik (top soil), areal datar atau jika miring dibuat teras-teras.
Pemeliharaan pada pembibitan awal hampir sama seperti pada pembibitan
utama. Menurut Pahan (2008) pemeliharaan di pembibitan awal (pre nursery) dan
pembibitan utama (main nursery) meliputi proses penyiraman, penyiangan gulma,
pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, serta seleksi bibit.
Secara umum, karakter yang menyimpang dari tanaman kelapa sawit pada
proses seleksi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelainan pada
habitus tanaman, kelainan pada bentuk anak daun, dan kelainan daya pertumbuhan
(Pahan, 2008).
2.3.5.Pemeliharaan
Setelah selesai penanaman, maka dimulai masa pemeliharaan tanaman yang
dibedakan atas pemeliharan tanaman belum menghasilkan (TBM) yang berlansung
sampai tanaman mulai dipanen dan pemeliharaan tanaman menghasilkan (TM).
•Pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
9 a.Konsolidasi, yaitu pemeriksaan situasi blok demi blok yang sudah ditanam
untuk melihat kekurangannya, kemudian memperbaikinya sekaligus dilakukan
inventarisasi tanaman dan permasalahan lainnya. Bibit yang mati, abnormal,
tumbang, terserang berat hama atau penyakit harus disisip, teras yang rusak
diperbaiki dan lain-lain.
b.Pemeliharaan jalan, benteng, teras, parit. Hal ini penting karena frekuensi
pemakaian akan meningkat terus, baik untuk pengangkutan para pekerja,
pupuk, pengawasan, dan lain-lain.
c.Penyisipan tanaman, yaitu menyisipkan tanaman akibat tanaman mati, rusak
berat, sakit dan abnormal. Makin cepat disisip, makin baik agar
pertumbuhannya tidak ketinggalan dan sebaiknya menggunakan bibit yang
telah disediakan untuk sisipan. Penyisipan masih dapat dilakukan sampai
tanaman berumur 5 tahun.
d.Pemberantasan alang-alang. Agar alang-alang tidak meluas, maka perlu
disediakan pekerja khusus yang disebut sebagai mandoran lalang. Untuk lalang
yang sporadik, dilakukan penggalian akar lalang atau disebut garpu lalang.
Akarnya dijemur di atas tonggak kayu hingga kering. Cara lain adalah dengan
menyapukan kain yang telah dicelupkan racun lalang yang disebut wiping.
e.Pemeliharaan piringan pokok atau disebut juga bokoran, dilakukan dengan cara
membersihkan gulma pada bokoran agar pupuk yang ditempatkan tidak diserap
gulma. Pada saat penggarukan piringan ini maka lebar atau radiusnya
diperbesar menurut perkembangan tajuk.
f.Pemeliharaan penutup tanah. Tanaman penutup tanah jenis kacang-kacangan
membutuhkan waktu 4-6 bulan baru dapat menutup dan perlu dipertahankan
untuk beberapa tahun. Selama masa itu, penutup tanah tidak akan luput dari
persaingannya dengan gulma. Oleh karena itu, perlu disiangi sehingga
pertumbuhan tanaman penutup tanah maksimal.
g.Pemupukan TBM. Pupuk yang diberikan sedikit tapi lebih sering diberikan,
10 pupuk N, P, K, Mg, B, unsur mikro seperti Cu dan Zn diperlukan pada tanah
gambut.
h.Kastrasi dan Ablasi, yaitu perkawinan bunga jantan dan betina muda pada saat
TBM yang dilakukan sebulan sekali dan dimulai pada tanaman berumur 14
bulan. Kegunaan kastrasi yaitu untuk merangsang pertumbuhan vegetatif,
menghemat penggunaan unsur hara dan air terutama pada daerah yang
memiliki curah hujan yang relatif kecil, kondisi tanaman menjadi lebih bersih
sehingga mengurangi kemungkinan serangan hama dan penyakit.
i. Penyerbukan. Proses penyerbukan umumnya dilakukan oleh angin dan
serangga. Selain itu juga terdapat penyerbukan bantuan yang dimulai 6 bulan
sebelum panen perdana sampai tanaman berumur 7 tahun.
j. Pemberantasan hama dan penyakit. Serangan hama pada tanaman muda
biasanya pada bagian umbut, daun, dan bunga. Beberapa jenis hama yang
terdapat pada tanaman muda adalah kumbang tanduk, Apogonia sp, belalang,
ulat api, penggerek bunga.
• Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM)
Pekerjaan pada tanaman menghasilkan meliputi :
¾ Pemeliharaan jalan, teras, parit dan lain-lain.
¾ Pemberantasan gulma pada TM. Pemberantasan gulma dilakukan pada
gawangan dan pasar pikul.
¾ Penunasan pelepah daun. Dilakukan dengan cara membuang pelepah yang
rusak, sanitasi mencegah berkembangnya hama dan penyakit,
memperlancar penyerbukan baik yang dilakukan serangga atau angin,
mempermudah panen dan pengamatan tandan masak.
¾ Konsolidasi dan inventarisasi
¾ Penjarangan, bertujuan untuk menghindari kepadatan tanaman yang dapat
menurunkan produksi. Penjarangan dilakukan secara selektif dan
11
¾ Pemupukan. Teknik, aplikasi, dosis, dan jenis pupuk tergantung pada jenis
tanah, umur tanaman, tingkat produksi yang dicapai, realisasi pemupukan
sebelumnya, jenis pupuk yang akan dipakai, tenaga kerja yang tersedia,
keadaan penutup tanah, analisis kadar hara pada daun.
¾ Pemberantasan hama dan penyakit. Secara umum hama dan penyakit pada
fase ini relatif sama. Contoh hama yang menyerang yaitu ulat penggulung
daun, ulat jengkal, ulat anggrung, kumbang, belalang, dan lain-lain.
Penyakit yang menyerang antara lain busuk pucuk, busuk tandan, busuk
pangkal batang.
2.3.6.Pemanenan pada Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit dapat mulai dipanen pada umur 30 bulan. Dalam keadaan normal,
90-100% dari seluruh pokok sudah matang panen. Tandan yang cukup besar dan siap
untuk diolah adalah yang padat isinya dan beratnya sekitar 3 kg. Kriteria panen yang
digunakan yaitu dua brondolan artinya sudah ada 2 buah lepas dari tandannya atau
jatuh ke piringan pohon. Untuk tandan yang beratnya lebih dari 10 kg, dipakai 1
brondolan yang jatuh ke tanah. Kapasitas pemanen tergantung pada produksi/ha yang
dikaitkan dengan umur tanaman, topografi areal, kerapatan pohon, dan intensif.
2.4. Evaluasi Kesesuaian Lahan
2.4.1. Pengertian Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses penilaian potensi sumberdaya
lahan untuk penggunaan yang spesifik. Kegiatan evaluasi lahan antara lain meliputi
pelaksanaan dan interpretasi survei, studi bentuk lahan, tanah, iklim, dan aspek
lainnya agar dapat diidentifikasi untuk membuat berbagai perbandingan penggunaan
lahan yang mungkin dikembangkan. Evaluasi lahan merupakan bagian penting dalam
perencanaan penggunaan lahan. Fungsinya adalah untuk memberikan bimbingan
12 lebih menguntungkan, dan pada waktu yang sama melestarikannya bagi kepentingan
masa mendatang (FAO, 1976).
Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang
dirinci ke dalam kualitas lahan ( land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya
terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristic). Beberapa
karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam
pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan
pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan, misalnya
peternakan, perikanan, dan kehutanan (Djaenudin et al., 2003).
Evaluasi lahan dapat dilakukan dengan dua tahapan. Pendekatan dua tahapan
terdiri atas tahapan pertama adalah evaluasi lahan secara fisik, dan tahapan kedua
secara ekonomi. Kegiatan lahan secara fisik dan ekonomi pada pendekatan paralel
dilakukan secara bersamaan, sedangkan pada pendekatan non paralel dilakukan
secara terpisah. (FAO, 1976).
2.4.2. Asumsi-asumsi dalam Evaluasi Lahan
Asumsi –asumsi Djaenudin et al (2003), dibedakan menjadi dua yaitu yang
menyangkut areal proyek dan yang menyangkut pelaksanaan evaluasi/interpretasi
serta waktu berlakunya dari hasil evaluasi lahan. Beberapa contoh asumsi yang
ditetapkan untuk evaluasi lahan secara fisik :
• Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data
dari satuan lahan atau satuan peta tanah.
• Reabilitas data yang tersedia meliputi rendah, sedang, atau tinggi.
• Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
• Infrastruktur dan aksessibilitas serta fasilitas pemerintah tidak
dipertimbangkan dalam evaluasi.
• Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas tiga tingkatan
yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
13
• Pemasaran hasil produksi serta harga jual tidak dipertimbangkan
dalam evaluasi.
• Evaluasi lahan dilaksanakan secara kualitatif, kuantitatif fisik atau
kuantitatif ekonomi.
• Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar.
Menurut FAO (1976), dengan proses membandingkan ini, evaluasi lahan
diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana lahan sekarang dikelola dan apa yang akan terjadi jika cara
tersebut dilakukan.
2. Perbaikan apa yang mungkin dilakukan terhadap cara pengelolaan
sekarang.
3. Penggunaan-penggunaan lain apakah yang mungkin secara fisik dan
relevan dari segi sosial dan ekonomi.
4. Diantara penggunaan-penggunaan lahan yang memungkinkan tersebut
mana yang memungkinkan untuk produksi yang berkesinambungan atau
memberikan keuntungan lain.
5. Efek negatif apa yang mungkin muncul secara fisik, ekonomi atau sosial
terhadap masing-masing penggunaan tersebut.
6. Masukan apa yang diperlukan untuk mendapatkan produksi yang
diinginkan dan untuk menekan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.
7. Apa keuntungan dari tiap penggunaan lahan tersebut, dan bila berkenaan
terhadap penggunaan baru yang melibatkan perubahan yang nyata pada
lahan, seperti perencanaan irigasi, maka pertanyaan di atas akan ditambah
dengan :
8. Perubahan kondisi lahan apa yang mungkin dan diperlukan dan
bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan, dan
9. Masukan tidak berulang apa yang diperlukan untuk implementasi
14 Meskipun pada proses evaluasi lahan banyak sekali aspek yang perlu ditinjau,
tetapi dalam prakteknya evaluasi lahan tidak menentukan bagaimana perubahan tata
guna lahan dilakukan, akan tetapi hanya menyediakan data/informasi dengan dasar
apa suatu keputusan diambil. Agar efektif dalam peranan ini, keluaran evaluasi harus
memberikan informasi mengenai dua atau lebih bentuk penggunaan lahan yang
potensial termasuk konsekuensi, keuntungan dan kerugiannya.
2.4.3. Lahan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief,
hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi
penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik
pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan
hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam.
Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.4.4. Karakteristik Lahan
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi,
contohnya kemiringan lereng dan curah hujan. Setiap karakteristik lahan yang
digunakan secara langsung dalam evaluasi ada yang sifatnya tunggal dan ada yang
sifatnya lebih dari satu karena mempunyai interaksi satu sama lainnya. Dalam
interpretasi perlu mempertimbangkan atau membandingkan lahan dengan
penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan, misalnya saja ketersediaan air
sebagai kualitas lahan ditentukan dari bulan kering dan curah hujan rata-rata tahunan,
tetapi air yang dapat diserap tanaman tentu tergantung pula pada kualitas lahan
lainnya, seperti kondisi drainase atau media perakaran, antara lain tekstur tanah dan
15
2.4.5. Kualitas Lahan
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kualitas lahan menunjukkan
sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk
penggunaan tertentu, dimana satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa
karakteristik lahan. Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal yang bersifat kompleks
dari sebidang lahan. Dalam evaluasi lahan sering kualitas lahan tidak digunakan
tetapi langsung menggunakan karakteristik lahan, karena keduanya dianggap sama
nilainya dalam evaluasi (Driessen, 1997) & PPT, 1983, dalam Djaenudin et al.,
2003).
Kualitas lahan dapat bersifat positif yaitu dapat memberikan pengaruh yang
menguntungkan bagi suatu penggunaan, akan tetapi dapat juga memberikan pengaruh
negatif dengan menimbulkan kerugian-kerugian atau dengan kata lain merupakan
faktor penghambat atau pembatas terhadap penggunaan lahan tertentu. Kualitas lahan
dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih dari jenis penggunaan lahannya. Begitu
pula sebaliknya penggunaan lahan dipengaruhi oleh kualitas lahan.
2.4.6. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk
penggunaan tertentu (Djaenudin et al., 2003). Kondisi lahan dapat dinilai berdasarkan
kondisi saat ini atau saat setelah dilakukan perbaikan.
Evaluasi Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) pada suatu perkebunan kelapa sawit
sangat diperlukan untuk memprediksi produktivitas kelapa sawit tersebut dalam
jangka panjang. Dua tahap pekerjaan dilakukan dalam evaluasi KKL, yaitu tahap
pertama penentuan KKL-Aktual, dan selanjutnya penentuan KKL-Potensial.
• KKL-Aktual menunjukkan kemampuan lahan itu dalam mendukung
budidaya sesuai dengan kondisi lahan yang terlihat saat ini. Bentangan
lahan yang terlihat secara visual adalah hasil dari proses pembentukan
lahan tersebut sejalan dengan perkembangan bumi.
• KKL-Potensial memberikan informasi kemampuan produktivitas lahan
16 dengan perkataan lain KKL-Potensial akan terjelma jika telah ada input
manajemen (Adiwiganda, 1995)
Metode klasifikasi kesesuaian lahan Sys et al. (1993) dapat dipakai untuk
klasifikasi kuantitatif dan kualitatif, dengan menggunakan 4 kategori dan 5 derajat
pembatas (0-4) yaitu tanpa pembatas (0) sampai pembatas sangat berat (4) yaitu :
Ordo : Keadaan yang menunjukkan apakah lahan tersebut sesuai atau tidak untuk
penggunaan tertentu. Pada tingkat ini, kesesuaian lahan dibedakan antara
lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
Kelas :Keadaan yang menunjukkan tingkat kesesuaian lahan dalam tingkat ordo.
Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan dalam
tiga kelas yaitu sangat sesuai (S1) atau lahan yang tidak mempunyai faktor
pembatas yang berarti sehingga dapat digunakan secara berkelanjutan, cukup
sesuai (S2) atau lahan yang mempunyai faktor pembatas yang akan
mempengaruhi produktivitas akan tetapi faktor pembatas tersebut dapat
diatasi oleh petani sendiri, dan sesuai marjinal (S3) atau lahan yang
mempunyai faktor pembatas yang berat sehingga memerlukan input yang
lebih besar. Lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) merupakan lahan
yang memiliki faktor pembatas yang berat dan sulit diatasi terdiri dari kelas
tidak sesuai saat ini (N1) dan kelas tidak sesuai untuk selamanya (N2).
Subkelas:Keadaan yang menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang
harus dilakukan. Tiap kelas terdiri dari satu atau lebih subkelas. Subkelas ini
berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas
terberat. Kelas kesesuaian lahan ini kemungkinan dapat diperbaiki,
tergantung peranan faktor pembatas pada masing-masing subkelas.
Unit : Keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada
sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Unit yang satu
berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek tambahan dari
17 faktor pembatasnya. Faktor pembatas tingkat unit dapat memudahkan
18
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini terdiri dari survey lapangan dan analisis laboratorium. Survey
lapangan dan pengamatan produksi tanaman kelapa sawit dilakukan di perkebunan
kelapa sawit PTPN VII, Unit Usaha Bentayan, Sumatera Selatan. Analisis kimia
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Juni sampai Oktober 2010.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain contoh tanah komposit,
data primer, data sekunder dan bahan-bahan kimia untuk analisis tanah. Sedangkan
peralatan yang digunakan dalam pengambilan contoh tanah dan pengamatan sifat
fisik lapang diantaranya adalah bor belgi, meteran, pisau lapang, sekop, munsell soil
color chart, kompas, abney level, altimeter, Global Positioning System (GPS),
plastik, spidol, serangkaian peralatan laboratorium untuk analisis tanah dan Software
Microsoft Excel.
3.3. Metodologi Penelitian
Kegiatan dimulai dengan mengumpulkan informasi awal berupa data-data yang
sudah ada dan tersedia, baik yang tersimpan oleh PTPN VII atau di instansi terkait.
Pengamatan morfologi tanah dilakukan melalui pemboran dengan melakukan dua
pengamatan pada setiap blok. Kelas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan derajat
dan jumlah pembatas yang dimiliki lahan untuk tanaman tumbuh normal. Dalam hal
ini sifat-sifat tanah dibandingkan dengan faktor kelas kesesuain lahan bagi tanaman
19 pengambilan contoh tanah, analisis tanah di laboratorium, dan analisis kesesuaian
lahan.
3.3.1. Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan yang dilakukan meliputi telaah pustaka, pengumpulan data-data
agrobiofisik daerah penelitian, dan mempersiapkan bahan dan alat yang akan
dibawa ke lapang.
3.3.2. Survey Lapangan
Kegiatan yang dilakukan pada survey lapangan meliputi :
• Pemetaan dimulai dari pengamatan morfologi tanah melalui
pemboran. Pemboran dilakukan dengan intensitas 2 pengamatan pada
setiap blok.
• Melakukan pengambilan contoh tanah secara komposit.
• Melakukan analisis parameter meliputi pengukuran rata-rata
temperatur tahunan dalam 10 tahun (0C), mengukur kemiringan lereng
(%) dengan menggunakan abney level, mengukur kedalaman efektif
yaitu sampai kedalaman akar menembus tanah, mengukur ketersediaan
udara dengan melihat kondisi drainase tanah di lapangan.
3.3.3. Analisis Laboratorium
Sampel yang berasal dari lapangan dianalisis di laboratorium. Parameter yang
dianalisis meliputi pH, C-organik, Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan
Kejenuhan Basa (KB)
3.3.4. Analisis Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan untuk kelapa sawit dievaluasi dengan membandingkan
karakteristik lahan dan persyaratan tumbuh tanaman yang mengacu pada Sys
et al. (1993), dengan menggunakan empat kategori dan lima derajat pembatas
20
3.3.5. Analisi Usaha Tani
Analisis usaha tani dihitung berdasarkan perkiraan analisis budidaya tanaman
kelapa sawit seluas 1 Ha sampai tanaman menghasilkan. Perkiraan ini
digunakan untuk menentukan BEP (Break Event Point ) atau titik balik modal
produksi tanaman kelapa sawit.
21
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kualitas Lahan
Kualitas lahan yang digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan dalam
penelitian ini adalah iklim, topografi, media perakaran dan kandungan hara
sebagaimana disajikan pada Tabel Lampiran 1, Tabel Lampiran 2, dan Tabel
Lampiran 3. Komponen iklim yang menentukan persyaratan agronomis untuk kelapa
sawit diantaranya adalah temperatur dan curah hujan. Berdasarkan Tabel Lampiran 1
dapat dilihat curah hujan rata-rata per tahun pada kebun kelapa sawit Unit Usaha
Bentayan sebesar 2.074,40 mm/tahun dengan temperatur 260C. Menurut Adiwiganda
(2007) nilai tersebut merupakan curah hujan optimal rata-rata tahunan untuk kelapa
sawit yang berkisar 1250-2500 mm/tahun.
Salah satu komponen topografi adalah kemiringan lereng. Lahan kebun kelapa
sawit Unit Usaha Bentayan rata-rata memiliki lereng yang relatif datar yang berkisar
0-5 %, sehingga kedalaman efektifnya pun dalam. Ini merupakan kondisi optimal
untuk pertumbuhan kelapa sawit.
Karakteristik lahan dari media perakaran yang digunakan untuk evaluasi lahan
kelapa sawit adalah kedalaman efektif dan drainase. Kedalaman efektif yang diamati
pada profil menunjukkan bahwa lahan ini memiliki kedalaman efektif yang cukup
dalam yaitu > 100 cm sehingga cocok untuk perkembangan akar kelapa sawit.
Sementara untuk kondisi drainase, kebun ini memiliki kondisi drainase yang
beragam. Namun, kondisi drainase yang buruk dominan di kebun ini.
Kualitas kandungan hara tanah yang digunakan untuk evaluasi lahan meliputi
C-organik, kemasaman tanah (pH), Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan Kejenuhan
Basa (KB). Berdasarkan hasil analisis kimia kandungan C-organik di daerah
penelitian menunjukkan bahwa kandungan bahan organik masih dalam kondisi
optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit yaitu >1,2 %. Kemasaman tanah di lokasi
penelitian belum optimal untuk pertumbuhan kelapa sawit yang membutuhkan nilai
pH 5 sampai pH 6. Kondisi tanah yang masam atau alkali akan menyebabkan
22 dapat dilihat bahwa sebagian besar profil memiliki nilai KTK <16 cmol/kg,
sementara nilai Kejenuhan Basa (KB) < 20% yang tergolong rendah.
4.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan kelapa sawit, karakteristik lahan
yang digunakan untuk evaluasi lahan dicocokkan dengan kriteria kesesuaian lahan
untuk kelapa sawit sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit
Karakteristik Lahan
Derajat Pembatas dan Kelas Kesesuaian lahan
0 1 2 3 4
S1 S2 S3 N1 N2
Iklim (c)
Curah Hujan (mm/tahun) >2000 2000-1700 1700-1450 1450-1250 <1250
Temperatur (0C) >25 25-22 22-20 20-18 <8
Setelah membandingkan hasil pengamatan lapang dan analisa laboratorium
dengan kriteria tumbuh kelapa sawit, diperoleh derajat pembatas karakteristik lahan
pada blok-blok pewakil yang disajikan pada Tabel Lampiran 4 dan Tabel Lampiran 5,
sehingga dapat diperoleh nilai kesesuaian lahan dari areal penelitian yang disajikan
pada Tabel 2. Penyebaran kelas kesesuaian lahan didasarkan pada sebaran Satuan
Pemetaan Tanah (SPT) yang ditunjukkan pada Peta Tanah (Gambar 1). Sebaran
23
Tabel 2. Kelas Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit Kelas
Kesesuaian Lahan
Faktor Pembatas SPT Luas
Ha %
S2f Kandungan hara 6, 10 1107,6 27,62
S2wf Kedalaman efektif,
kandungan hara
8, 11 645,8 16,13
S3w Drainase 1, 2, 3, 7, 9 1671,4 41,74
S3wf Drainase, kandungan hara
5 334,8 8,36
N1w Drainase 4 246,4 6,15
Total 4.006 100
Unit Usaha Bentayan memiliki kondisi iklim yang relatif seragam. Secara
keseluruhan tanah-tanah di lokasi perkebunan sawit Unit Usaha Bentayan tergolong
cukup sesuai (S2), sesuai marjinal (S3) dan tidak sesuai (N1). Lahan yang memiliki
kelas kesesuaian lahan S2 seluas 1.753,4 Ha (43,75%), penyebarannya terletak pada
SPT 6, SPT 8, SPT 10 dan SPT 11 dengan faktor pembatas utama adalah kandungan
hara dan media perakaran. Kelas lahan S3 seluas 2.006,2 Ha (50,1 %), penyebarannya
terletak pada SPT 1, SPT 2, SPT 3, SPT 5 SPT 7, dan SPT 9 dengan faktor pembatas
utama adalah drainase dan kandungan hara. Kelas lahan N1 seluas 246,4 Ha (6,15 % )
24
25
4.3. Penetapan Kelas Lahan Berbasis Produksi
Kelas lahan berbasis produksi ditetapkan berdasarkan praktek FAO secara
umum yaitu S1 sesuai untuk 80-100% dari hasil yang optimum, S2 pada 60-80%, dan
S3 pada BEP produksi-60% (FAO dalam Rossitter, 1994). Menurut Adiwiganda
(1995) produksi optimum yang dicapai pada kelapa sawit umur 5 tahun sebesar 18
ton/ha/tahun, kelapa sawit umur 7 tahun sebesar 26 ton/ha/tahun, dan umur 9 tahun
sebesar 31 ton/ha/tahun. Nilai Break event point yang didapat berlaku untuk setiap
umur yang berbeda.
Break event point produksi kelapa sawit dihitung berdasarkan perkiraan
analisis budidaya tanaman kelapa sawit seluas 1 Ha selama 25 tahun. Break Even
Point (BEP) merupakan suatu analisis untuk menentukan dan mencari jumlah barang
atau jasa yang harus dijual kepada konsumen pada harga tertentu untuk menutupi
biaya-biaya yang timbul serta mendapatkan keuntungan /profit. Break event point
produksi kelapa sawit yang merupakan batas bawah kelas S3.
Berdasarkan data analisis usaha tani pada Tabel Lampiran 8, 9, 10, 11, 12, 13
dan 14, maka biaya produksi budidaya kelapa sawit per tahun adalah Rp. 15.
26
Tabel 3. Analisis Usaha Tani Kelapa Sawit/Ha/Tahun
Biaya Investasi Awal TOTAL
Keterangan Harga (Rp)
Harga lahan 10.000.000
Land clearing 2.407.000
Pengawetan tanah 1.413.750
Penanaman kacang-kacangan 1.343.135
Penanaman kelapa sawit 1.619.420
Pembuatan prasarana 2.803.566
Survey dan sensus 140.000
Subtotal 19.726.871
Biaya per tahun ( Sub Total/ 22 tahun ) 896.676 896.676 Biaya Operasional Tanaman Belum Menghasilkan (TBM)
Keterangan Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
Biaya Pemeliharaan
Piringan dan gawangan 1.260.000 343.600 343.600
Pengendalian ilalang 258.000 193.500 129.000
Pemupukan tanaman 763.088 1.154.977 1.814.123
Pengendalian hama & penyakit 169.287 169.287 169.287
Kastari dan sanitasi 140.000 280.000
Penyisipan dan konsolidasi pokok doyong
136.057 70.000 70.000
Perawatan parit dan konservasi tanah 199.000 164.000
Perawatan prasarana 675.305 520.314 520.314
Survey dan Sensus 140.000 140.000 70.000
Total biaya TBM 3.401.737 2.393.578 3.560.324 9.355.639
Biaya Operasional Tanaman Menghasilkan (TM)
Umur Tanaman Biaya
pemeliharaan
Tahun 5 3.258.943 1.241.253 4.500.196
Tahun 6 3.258.943 1.829.225 5.088.168
Tahun 7 3.258.943 2.258.896 5.517.839
Tahun 8 2.668.438 1.952.594 4.621.032
Tahun 9 2.668.438 2.153.695 4.822.133
Tahun 10 2.668.438 2.283.551 4.951.989
Tahun 11 2.668.438 2.252.057 4.920.495
Tahun 12 2.668.438 2.422.619 5.091.057
Tahun 13 2.668.438 2.495.297 5.163.735
Tahun 14 2.668.438 2.515.082 5.183.520
Tahun 15 2.444.603 2.515.082 4.959.685
Tahun 16 2.444.603 2.810.292 5.254.895
Tahun 17 2.444.603 2.814.354 5.258.957
Tahun 18 2.444.603 2.822.035 5.266.638
Tahun 19 2.444.603 2.845.886 5.290.489
Tahun 20 2.444.603 2.843.576 5.288.179
Tahun 21 2.444.603 2.851.468 5.296.071
Tahun 22 2.444.603 2.804.115 5.248.718
Tahun 23 2.444.603 2.751.355 5.195.958
Tahun 24 2.444.603 2.692.906 5.137.509
Tahun 25 2.444.603 2.628.474 5.073.077
Total Biaya TM (22 Tahun) 58.605.471 52.395.632 111.001.103
Rata-rata total biaya TM/tahun 2.663.885 2.381.620 5.045.505 5.045.505
27 Perhitungan :
BEP Produksi (ton/ha) = Jumlah Biaya Produksi(Rp)
Harga TBS (Rp/ton)
= Rp 15.297.820,-
Rp. 1.800.000/ton/ha
= 8,5 ton/ha/tahun
Rata-rata produksi tanaman menghasilkan
= 8,5 ton/ha/tahun x 100 %
24 ton/ha/tahun
= 35 %
Tabel 4. Kriteria Kelas Lahan Berbasis Produksi Kelas Kesesuaian
Lahan
Batas Produksi (%)
Batas Produksi (ton/ha/tahun)
Tahun Tanam
2000 2002 2004
S1 80-100% 24.8- 31 20,8-26 14,4-18
S2 60-80% 18,6-24,7 15,6-20,7 10,8-14,3
S3 35- 60 % 10, 9-18,5 9,1-15,5 6,3-10,7
4.4. Keterkaitan Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dengan Kelas Lahan Berbasis Produksi
Kelas lahan berbasis karakteristik lahan merupakan kesesuaian lahan aktual
karena lahan dalam keadaan alami tanpa pengelolaan untuk mengatasi faktor-faktor
pembatas yang ada. Sedangkan, kelas lahan berbasis produksi merupakan kelas lahan
potensial karena dicapai setelah dilakukan usaha perbaikan terhadap faktor-faktor
pembatas pertumbuhan kelapa sawit sebagaimana disajikan pada Tabel 5, Tabel 6,
28
Tabel 5. Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dan Kelas Lahan Berbasis Produksi pada Kelapa Sawit ( Tahun tanam 2000 )
Kelas Lahan Perbaikan yang Telah
Dilakukan
S2f I(879)
VI(599)
16,9-20,26 S3-S2 Penambahan bahan organik dan pemupukan
S2wf I(723)
I(836)
14,32-22,4 S3-S2 Penambahan bahan organik dan pemupukan
15,51-20,36 S3-S2 Perbaikan drainase,
penambahan bahan organik, pemupukan,penambahan dolomit dan suplemen pupuk daun
Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa terdapat tiga kelas lahan berbasis karakteristik
lahan yaitu S2f, S2wf, dan S3w. Hasil evaluasi kesesuaian lahan akhir adalah sebagai
berikut :
• S2f, artinya lahan termasuk kelas S2 dengan faktor pembatas retensi hara,
dikarenakan bahan organik yang rendah, nilai pH dan Kejenuhan Basa yang
kurang optimal untuk pertumbuhan tanaman. Perbaikan yang dilakukan belum
optimal sehingga kelas lahan berbasis produksi berada pada kelas S3-S2
dengan produksi yang dicapai sebesar 16,9-20,26 ton/ha/tahun.
• S2wf, artinya lahan termasuk kelas S2 dengan faktor pembatas media
perakaran dan retensi hara. Perbaikan yang dilakukan belum optimal sehingga
kelas lahan berbasis produksi berada pada kelas S3-S2 dengan produksi yang
dicapai sebesar 14,32-22,4 ton/ha/tahun.
• S3w, artinya lahan termasuk kelas S3 dengan faktor pembatas drainase. Bila
faktor pembatas tersebut diperbaiki dengan perbaikan drainase, penambahan
bahan organik, pemupukan, penambahan dolomit dan suplemen pupuk daun,
maka kelas lahan berbasis produksi berada pada kelas S3-S2, dengan produksi
29
Tabel 6. Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dan Kelas Lahan Berbasis Produksi pada Kelapa Sawit ( Tahun tanam 2002)
Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan Perbaikan yang Telah
Dilakukan
S2f VII(401) 16,88 S2 Penambahan dolomit
S2wf I(723)
II(922) VI(516)
16,26-18,69 S2 Penambahan bahan
organik dan pemupukan
S3w II(886)
VII(446)
15,66-20,26 S2 Perbaikan drainase,
penambahan bahan organik, pemupukan, penambahan dolomit dan suplemen pupuk daun
S3wf VII(485) 14,85 S3 Perbaikan drainase,
penambahan bahan organik, pemupukan, penambahan dolomit dan suplemen pupuk daun
N1w III(1010) 14,37 S3 Perbaikan drainase,
penambahan bahan organik,
pemupukan,penambahan dolomit dan suplemen pupuk daun
Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa pada kelapa sawit tahun tanam 2002, terdapat
lima kelas lahan berbasis karakteristik lahan yaitu S2f, S2wf, S3w, S3wf, dan N1w .
Hasil evaluasi kesesuaian lahan akhir adalah sebagai berikut :
• S2f, artinya lahan termasuk kelas S2 dengan faktor pembatas retensi hara,
dikarenakan kemasaman tanah yang rendah. Dolomit yang diberikan belum
mencukupi untuk meningkatkan kemasaman tanah sehingga masih menjadi
pembatas. Produksi yang dicapai pada kelas lahan tersebut sebesar 16,88
ton/ha/tahun yang merupakan kelas S2.
• S2wf, artinya lahan termasuk kelas S2 dengan faktor pembatas media
perakaran dan retensi hara. Perbaikan yang dilakukan belum optimal sehingga
kelas lahan berbasis produksi berada pada kelas S2 dengan produksi yang
dicapai sebesar 16,26-18,69 ton/ha/tahun.
• S3w, artinya lahan termasuk kelas S3 dengan faktor pembatas drainase.
30 drainase. Bila faktor pembatas tersebut diperbaiki dengan perbaikan drainase,
penambahan bahan organik, pemupukan, penambahan dolomit dan suplemen
pupuk daun, maka kelas lahan berbasis produksi berada pada kelas S2 dengan
produksi yang dicapai pada kelas lahan tersebut sebesar 15,66-20,26
ton/ha/tahun. Begitu pun kelas lahan N1 dengan produksi yang dicapai
sebesar 14,37 ton/ha/tahun kelas lahan berbasis produksi berada pada kelas
S3.
• S3wf, artinya lahan termasuk kelas S3 dengan faktor pembatas drainase dan
kemasaman tanah yang rendah. Perbaikan drainase yang dilakukan belum
optimal, dikarenakan muka air tanah belum berada pada kondisi optimal untuk
pertumbuhan kelapa sawit yaitu sekitar 75 cm, sehingga masih menjadi
pembatas. Produksi yang dicapai pada kelas lahan tersebut sebesar 14,85
ton/ha/tahun. Berdasarkan kriteria produksi, kelas lahan lahan termasuk S3.
Tabel 7. Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan dan Kelas Lahan Berbasis Produksi pada Kelapa Sawit ( Tahun tanam 2004)
Kelas Lahan Berbasis Karakteristik Lahan Perbaikan yang Telah
Dilakukan
S2wf VII(401) 21,75 S1 Perbaikan drainase,
penambahan bahan organik,
pemupukan,penambahan dolomit dan suplemen pupuk daun.
S3w II(886)
VII(444) VII(446)
6,9-11,41 S3-S2 Perbaikan drainase,
penambahan bahan organik,
pemupukan,penambahan dolomit dan suplemen pupuk daun
S3wf VII(485) 8,81 S3 Perbaikan drainase,
penambahan bahan organik,
31 Berdasarkan Tabel 7. terlihat bahwa terdapat tiga kelas lahan berbasis
karakteristik lahan yaitu S2wf, S3w dan S3wf. Hasil evaluasi kesesuaian lahan akhir
adalah sebagai berikut :
• S2wf, artinya lahan termasuk kelas S2 dengan faktor pembatas drainase dan
retensi hara. Bila faktor pembatas tersebut diperbaiki dengan perbaikan
drainase, penambahan bahan organik, pemupukan,penambahan dolomit dan
suplemen pupuk daun, maka kelas lahan berbasis produksi berada pada kelas
S1, dengan produksi yang dicapai pada kelas lahan tersebut sebesar 21,75
ton/ha/tahun.
• S3w, artinya lahan termasuk kelas S3 dengan faktor pembatas drainase.
Produksi yang dicapai pada kelas lahan tersebut sebesar 6,9-11,41
ton/ha/tahun. Berdasarkan kriteria produksi, kelas lahan termasuk S3-S2.
Peningkatan ini terjadi karena perbaikan drainase dengan mengatur muka air
tanah berada pada kedalaman 75 cm.
• S3wf, artinya lahan termasuk kelas S3 dengan faktor pembatas drainase dan
retensi hara. Perbaikan drainase yang dilakukan belum optimal, dikarenakan
muka air tanah belum berada pada kondisi optimal untuk pertumbuhan kelapa
sawit yaitu sekitar 75 cm, sehingga masih menjadi pembatas. Produksi yang
dicapai pada kelas lahan tersebut sebesar 8,81 ton/ha/tahun. Berdasarkan
32
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Setelah membandingkan hasil pengamatan lapang dan analisa laboratorium
dengan kriteria tumbuh kelapa sawit, diperoleh nilai kelas lahan berbasis karakteristik
lahan pada perkebunan kelapa sawit PTPN VII, Unit Usaha Bentayan meliputi S2f,
S2wf,S3w, S3wf, dan N1w. Selanjutnya kelas lahan tersebut dihubungkan dengan
produksi , sehingga terlihat peningkatan pada kelas lahan berbasis produksi pada tiga
tahun tanam yang berbeda yaitu pada kelapa sawit tahun tanam 2000, kelas lahan
S3w mengalami peningkatan menjadi S2, kelapa sawit tahun tanam 2002, kelas lahan
S3w mengalami peningkatan menjadi S2 dan kelas lahan N1w menjadi S3, dan
kelapa sawit tahun tanam 2004, kelas lahan S2wf mengalami peningkatan menjadi
S1 dan kelas lahan S3w menjadi S2. Berdasarkan analisis usaha tani, produksi kelapa
sawit di kebun Bentayan, PTPN VII berada di atas nilai BEP yang artinya kebun
masih dalam kondisi menguntungkan.
5.2. SARAN
Agar terjadi peningkatan produksi pada lahan-lahan yang belum mengalami
peningkatan kelas kesesuaian lahan, maka berbagai upaya harus dilakukan untuk
mengatasi faktor-faktor pembatas yang ada meliputi perbaikan drainase, penambahan
bahan organik dari bahan-bahan yang ada di sekitar lahan seperti pangkasan cover
crops pelepah sawit, dan tandan kosong kelapa sawit. Seteleh drainase diperbaiki
perlu dilakukan pemupukan, suplemen pupuk daun untuk mengatasi retensi hara yang
buruk dan penambahan amelioran guano organik. Amelioran ini mempunyai
keuntungan selain sebagai sumber P yang akan larut dalam suasana asam, juga dapat
menetralisir Al baik oleh P yang terbebaskan atau oleh basa yang dikandungnya,
serta senyawa organik yang dikandungnya untuk memperbaiki kehidupan
33
DAFTAR PUSTAKA
Adiwiganda, R. 1995. Karakterisasi Lahan dalam Managemen Pemupukan Kelapa Sawit. Kursus Managemen Perkebunan dasar Bidang Tnaman, Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Medan, 1995, 95 pp.
Adiwiganda, R. 2007. Manajemen Tanah dan Pemupukan Perkebunan Kelapa Sawit. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Asmono, S dan U. Sudadi. 2007. Kimia Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB. Bogor
Djaenudin D, H. Marwan, H. Subagjo, A. Hidayat . 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
F.A.O.1976.A Framework For Land Evaluation. Soils Bull. No 32. FAO, Rome.
Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lubis, A.U. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia. Pusat
Penelitian Kelapa sawit. Medan
Lubis, A.U. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia. Pusat
Penelitian Kelapa sawit. Medan
Murtilaksono, K., E.S. Sutarta, N.H. Darlan, dan Sudarmo. 2007. Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air dalam Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit. Prosiding Solusi Miskelola Tanah dan Air Untuk Memaksimalkan Kesejahteraan Rakyat. UPN “Veteran” Yogyakarta Press. Hal. 310-314. Yogyakarta.
Pahan, I. 2008. Panduan lengkap kelapa sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2006. Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Rossitter D.G. 1994. Lecture Notes: ”Land Evaluation”. Cornell University, College of Agriculture & Life Sciences, Departement of Soil, Crop, and Atmospheric Sciences.
Setyamidjaja, D. 2006.Kelapa Sawit. Kanisius. Yogyakarta.
Sys, C., V. Rants, E. J Debeveye and Beenmaert, 1993. Land Valuation Part III. Crop Requrement. General Administration for Development Cooperation Placedu Cham de Mars 5 bte 57-1050 Brussels-Belgium.
Thompson, L.M. and F.R. Troeh. 1973. Soils and soil fertility. McGraw-Hill Publ. Company New Delhi, p 1-108.
34
Data Lapangan
Tabel Lampiran 1. Hasil Pengamatan Lapangan
AFD
Blok
Iklim (c) Topografi (t) Media Perakaran (w)
Temperatur Curah Hujan Kemiringan Drainase Kedalaman
35
Tabel Lampiran 2. Data Analisis Kimia
36
Tabel Lampiran 2. Lanjutan
37
Tabel Lampiran 2. Lanjutan
38
Tabel Lampiran 2. Lanjutan
AFD Blok Horison Kedalaman pH C-Organik KTK KB
H₂O (%) (cmol/kg) (%)
VII 485 A 0-10 4,2 6,86 31,45 8,4
Bg 10—40 4,3 3,91 22,81 10,7
Bgt1 40-60 3,9 7,66 32,72 7,2
Bgt2 60-120 3,9 6,38 31,96 4,7
VII 441 A 0-5 4,4 4,95 23,36 11,6
Bt1 5—20 4,9 0,64 14,52 14,4
Bt2 20-70 4,9 0,56 13,44 6,6
VII 446 A 0-10 5 2,87 11,46 22,6
Bw 10—25 5,1 0,47 6,86 48,5
2Bw2 25-50 4,7 1,11 8,09 40,7
2Bg1 50-70 4,3 0,47 6,93 32,1
Cg 70-120 4,3 0,32 6,54 33,3
VII 444 A 0-5 4,3 3,83 14,25 14,2
Bw1 5—40 4,3 0,71 8,98 15,3
Bw2 40-60 4,4 0,63 10,01 14,2
39
Tabel Lampiran 3. Karakteristik Lahan (kandungan hara) Untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kelapa Sawit
Karakteristik Lahan
AFD BLOK
Kandungan Hara (f)
40
Tabel Lampiran 4. Derajat Pembatas Karakteristik Lahan Kelapa Sawit (iklim, topografi, media perakaran)
AFD BLOK
Karakteristik Lahan
Iklim (c) Topografi (t) Media Perakaran (w)
Temperatur Curah Hujan Kemiringan Drainase Kedalaman
41
Tabel Lampiran 5. Derajat Pembatas Karakteristik Lahan Kelapa Sawit (kandungan hara )
AFD BLOK
Karakteristik Lahan
Kandungan Hara (f)
42
Tabel Lampiran 6. Sebaran Blok-Blok pada Setiap SPT
SPT Afdeling Blok Luas 974, 975, 1013, 1014, 1015
265,8 6,64 1009, 1010, 1011
43
Tabel Lampiran 6. Lanjutan
SPT Afdeling Blok Luas
Ha % 10 2 882, 883, 884, 885, 886, 922, 923, 924, 925, 926,
959, 960, 961, 962, 963, 964, 965, 999, 1000, 1001, 1002, 1003, 1004, 1040, 1041, 1042
387,8 9,68
879, 880, 881, 918, 919, 920, 921
111,3 2,78
2 882 0,4 0,01
3 927, 928, 930, 931, 932, 933, 967, 968, 969, 970, 971, 1007, 1008, 1009
44
Tabel Lampiran 7. Legenda Peta Tanah Unit Usaha Bentayan
SPT Tanah Landform Bahan
Induk
Aluvium Datar 0-1 579,8 14,4
7
Batuliat Berombak 3-5 498,0 12,4
3
45
Tabel Lampiran 8. Biaya Investasi Awal
PEKERJAAN BIAYA KETERANGAN
Jenis Deskripsi Rp/Ha Standar
Input/ha
Rotasi/tahun Rp/unit
HARGA LAHAN 10.000.000 1 kali 10.000.000
LAND CLEARING
‐ Rumpuk Mekanis Bulldozer 2.250.000 5,00 HM 1 kali 450.000
‐ Semprot lalang
Tenaga 2 HK (40% area) 70.000 2 HK 1 kali 35.000
Bahan Initial Amyphosate 6 ltr/ha (40%
area)
70.800 6 liter 1 kali 11.800
Fol-up-Amyphosate 1 ltr (40%) 11.800 1 liter 1 kali 11.800
‐ Alat-alat Knapsack Sprayer (1 unit/100
Ha/tahun)
4.400 0,01 Unit 1 kali 440.000
Sub Total 2.407.000
46
Tabel Lampiran 8. Lanjutan
Jenis Deskripsi Rp/Ha Standar
Input/ha
Rotasi/tahun Rp/unit
‐ Pemupukan kacang-kacangan
Urea 15 kg 22.770 15 kg 1 kali 1.5
RP 158 kg 168.238 158 kg 1 kali 1.065
Tenaga kerja 0,5 HK/ha 70.000 0,5 HK 4 kali 35.000
Sub Total 1.343.135
PENANAMAN KELAPA SAWIT
‐ Bibit 136 pokok/ha 952.000 136 pokok 1 kali 7.000
‐ Pancang 4 HK/ha 140.000 4 HK 1 kali 35.000
‐ Lobang, ngecer, dan tanam 455.000 13 HK 1 kali 35.000
‐ Pupuk lubang tanam (Rp) 136 pokok/ha x 0,50 kg 72.420 136 pokok 0,50 kg 1.065
Sub Total 1.619.420
PEMBUATAN PRASARANA
‐ Jalan access (100%) 1.k. 10.000 m 10.588 0,02 HM 1 kali 450.000
‐ Jalan utama (100%) 10 m/ha, SO – 33,33 m/HM 132.353 0,29 HM 1 kali 450.000
‐ Jalan pengumpuk (100%) 33,33 m/ha, SO = 45,45 m/HM 333.300 0,74 HM 1 kali 450.000
‐ Timbun jalan utama/pengumpul (100%)
Lebar 7 m, tebal 0,1 m 2.274.825 30,33 m3 1 kali 75.000
‐ Timbun jalan utama/pengumpul (100 %)
‐ Initial patok/pancang rumpuk/titik tanam
140.000 4 HK 1 kali 35.0000
Sub Total 140.000
TOTAL BIAYA INVESTASI AWAL
19.726.871
47
Tabel Lampiran 9. Biaya Operasional Tanaman Belum Menghasilkan ( Tahun 1)
PEKERJAAN BIAYA KETERANGAN
Jenis Deskripsi Rp/Ha Standar
Input/ha
Rotasi/tahun Rp/unit
RAWAT PIRINGAN DAN GAWANGAN
\Rawat kacangan 2 HK/ha/rotasi 840.000 2 HK 12 kali 35.000
PEMUPUKAN TANAMAN (pada bulan ke 2, 6, dan 8)
Bahan :
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT Meracun tikus
Bahan 250 pcs/ha x 1 kampanye 64.287 4 kg 3 kali 12.000
Tenaga kerja 1 HK/ha/rot 105.000 1 HK 3 kali 35000