• Tidak ada hasil yang ditemukan

Habitat, populasi, dan sebaran kukang jawa (Nycticebus javanicus geoffroy 1812) di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Habitat, populasi, dan sebaran kukang jawa (Nycticebus javanicus geoffroy 1812) di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat"

Copied!
269
0
0

Teks penuh

(1)

HABITAT, POPULASI, DAN SEBARAN KUKANG JAWA

(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TALUN TASIKMALAYA DAN

CIAMIS, JAWA BARAT

INDAH WINARTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geffroy 1812), di Talun Tasikmalaya dan

Ciamis, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

Java). Under direction of R. R. DYAH PERWITASARI, ENTANG ISKANDAR

Javan slow loris is an endangered primate that naturely inhabits in some agroforestry garden namely talun in West Java. This study aimed to determine

habitat preferences and to estimate population number. Data collection was conducted during April-December 2008 in four villages in Tasikmalaya District and one village in Ciamis District. The methods used to collect vegetation data were belt transect and nested plot, and method to collect javan slow loris densities was line transects. In total ten observed-belt transects showed that habitat preferences of javan slow loris was talun at two main phases: II (talun kebun or

more opened vegetation) and III (talun sempurna or closely secondary forest

structure). Dominant vegetation in talun habitat indicated by Important Value

Index (IVI) proofed to played role as javan slow loris's food source, sleeping site, and habitat of prey and gave benefits the owner of talun for their financial

investment. The greatest IVI of vegetation in the sites are Gigantochloa sp., Paraserianthes falcataria (L) I. C. Nielsen, and Arenga pinnata Merr. Ten line

transects were used during day and night, therefore the population estimate in each village was 93.67 individuals at Sukamaju which has 4.43 km2 of habitat representative area, 173.79 individuals at Raksajaya (3.23 km2), 119.78 individuals at Kawungsari (6.96 km2), 58.83 individuals at Sarimanggu (3.48 km2), and 20.45 individuals at Sukakerta (1.39 km2). Javan slow loris tends to adapt to the condition of talun habitat, as a result their distributions abundance in

range between 220-985 m height above sea level.

Keywords: Javan slow loris, Nycticebus javanicus, habitat, population,

(4)

RINGKASAN

INDAH WINARTI. Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geffroy 1812), di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat.

Dibimbing oleh R. R. DYAH PERWITASARI, ENTANG ISKANDAR

Kukang jawa merupakan satwa primata yang terancam punah namun informasi dan data ekologi mengenai kehidupannya di alam masih sangat sedikit (Mittermeier et al. 2009). Data perdagangan satwa liar menunjukkan tingginya

jumlah kukang di pasaran (Malone et al. 2002; Montes-Navarro 2008; Sheperd

2010). Tingginya angka perdagangan kukang jawa diduga berkaitan langsung dengan penurunan jumlahnya di alam (Nekaris et al. 2008). Status konservasi

kukang jawa hingga saat ini adalah hampir punah dan Apendiks I (UNEP-WCMC 2007; Nekaris & Shekelle 2008).

Habitat kukang jawa adalah hutan primer, hutan sekunder, dan hutan bambu (Rowe 1996; Wirdateti et al. 2005; Pambudi 2008). Kukang jawa di Sumedang

diketahui hidup di lahan pertanian berupa talun (Winarti 2003). Talun adalah suatu hutan buatan yang terdiri atas beragam jenis pohon bernilai ekonomis dan tanaman tahunan sebagai penutup lantai yang membentuk struktur multistrata (Soemarwoto 1984). Penggunaan talun sebagai habitat oleh kukang jawa menunjukkan potensi talun sebagai habitat di luar kawasan konservasi.

Penelitian ini bertujuan mengumpulkan data habitat berupa spesifikasi dan preferensi habitat, jenis vegetasi untuk tidur dan tumbuhan untuk pakan, kepadatan individiu, komposisi kelompok tidur, populasi, serta sebaran kukang jawa di habitat talun. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Desember 2008 di empat desa di Kabupaten Tasikmalaya dan satu desa di Kabupaten Ciamis.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data vegetasi adalah transek sabuk dengan petak bersarang (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974; Kusmana 1997). Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data populasi adalah transek garis (Setchell & Curtis 2003). Pengamatan di transek garis dilakukan pada siang dan malam hari, dengan tujuan meningkatkan akurasi contoh data. Sebanyak 10 lokasi di kelima desa menjadi lokasi pengambilan data. Transek sabuk-petak bersaran dan transek garis diterapkan pada tiap lokasi penelitian. Lokasi tersebut yaitu sembilan lokasi di Kabupaten Tasikmalaya; Lebak Pari (LP) dan Balangendong (B) di Desa Sukamaju, Cimencek (Cm) dan Citamiang (Ct) di Desa Raksajaya, Pasir Pari (PP), Pasir Raweuy (PR), dan Pasir Cupu (PCu), Pasir Ciputat (PCi) dan Pojok (P) di Desa Sarimanggu, dan satu lokasi di Kabupaten Ciamis; Awilega (AL) di Desa Sukakerta.

Hasil pengamatan menunjukkan pemilihan habitat oleh kukang jawa adalah talun kebun (fase II) dan talun sempurna (fase III) dengan profil vegetasi sedikit bukaan. Tiga spesies yang memiliki indeks nilai penting (INP) tinggi di lokasi habitat adalah Gigantochloa sp., Paraserianthes falcataria (L) I. C. Nielsen, dan

aren Arenga pinnata Merr. Kukang jawa menggunakan bambu tali Gigantochloa apus Kurz., bambu surat G. pseudoarundinaceae (Steud.) Widjaja, bambu haur Dencrocalamus asper, bambu gombong G. gigantae, aren Arenga pinnata Merr.,

bungur Lagerstroemia speciosa (L.) Pers, dan areuy kawao Milletia sericea

(5)

pakan kukang jawa di talun diketahui memiliki INP yang tinggi. Hal ini menunjukkan potensi talun sebagai habitat alami kukang jawa.

Kepadatan individu kukang jawa di talun sempurna lebih tinggi daripada di talun kebun. Kisaran luas habitat representatif, yaitu talun yang dapat dijadikan habitat kukang jawa di tiap desa berturut-turut di Sukamaju, Raksajaya, Kawungsari, Sarimanggu, dan Sukakerta adalah 4,43 km2, 3,23 km2, 6,96 km2, 3,48 km2, dan 1,39 km2. Adapun estimasi populasi kukang jawa di habitat talun di lima desa tersebut berturut-turut adalah 93,67 individu di Sukamaju, 173,79 individu di Raksajaya, 119,78 individu di Kawungsari, 58,83 individu di Sarimanggu, dan 20,45 individu di Sukakerta. Sebaran kukang jawa cenderung sama dengan sebaran habitatnya. Kukang jawa dijumpai di lokasi penelitian pada ketinggian 220-985 meter di atas permukaan laut.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

HABITAT, POPULASI, DAN SEBARAN KUKANG JAWA

(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) DI TALUN TASIKMALAYA DAN

CIAMIS, JAWA BARAT

INDAH WINARTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Mayor Primatologi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Indah Winarti

NRP : P053060031

Program Studi/Mayor : Primatologi

Disetujui, Komisi Pembimbing:

Dr. Ir. R. R. Dyah Perwitasari, M. Sc Dr. Ir. Entang Iskandar, MSi

Ketua Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas seluruh rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian berjudul Habitat, Populasi, dan Sebaran Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geffroy 1812), di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa

Barat.

Tesis ini berhasil diselesaikan atas bantuan dan dukungan banyak pihak. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. R. R. Dyah Perwitasari, M. Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Entang Iskandar, M.Si selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, dukungan dan kesabaran dalam mengarahkan penulis selama perencanaan dan pelaksanaan penelitian, serta penyusunan tesis hingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Ir. Wirdateti, M. Si selaku penguji luar komisi atas masukan serta arahan dan diskusi dalam analisis dan penyempurnaan tesis ini.

3. Prof. Drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD selaku Ketua Program Mayor Primatologi.

4. Mayor Primatologi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menempuh pendidikan di program magister.

5. PT. Wanara Satwaloka selaku sponsor beasiswa program magister.

6. The Rufford Foundation dan IAR-Indonesia selaku sponsor kegiatan penelitian.

7. Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer atas bantuan dan dukungan moril dan materiil dalam penyelesaian penulisan tesis.

8. Rekan-rekan tim The Javan Slow Conservation Program yang telah membantu pengambilan data lapangan serta bersama-sama melakukan kegiatan pelestarian kukang jawa; Ades, Pak Ade, A Dede, Asep, Adit, Anggit, Dewi, Pak Erom, Fadli, Mamat, Nandang, Nasrul, Nina, Pipin, Saep, Ujang, Vina, dan Wawan.

9. Kepala desa dan staf pemerintahan desa atas segala bantuan data dan perijinan selama melakukan kegiatan di lokasi; Desa Sukamaju, Desa Raksajaya, Desa Kawungsari, Desa Sarimanggu, dan Desa Sukakerta.

10.Rekan-rekan yang membantu dalam analisis, diskusi, dan penulisan tesis ini: Aah Desi, Asep MS, Wawan T, Yosep AN, dan Zaenal M.

11.Prof. Cecep Kusmana atas bantuan dan arahan dalam interpretasi data vegetasi.

12.Staf program studi primatologi Mba Yanti, Yana, dan Alfian serta rekan-rekan mahasiswa Primatologi; Mba Febri, Ria, Roland, Kamil, dan Keni atas bantuan dan dukungannya selama masa studi dan penulisan tesis.

(11)

Sumedang, dan keluarga Teh Yati di Tanah Baru Bogor.

14.Umi, abah, suami, dan buah hati kami (Azka R. Ahmad) serta seluruh keluarga tercinta atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya, serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian karya ilmiah ini. 15.Serta semua pihak, baik pribadi maupun lembaga yang telah memberikan

dukungan dan kontribusi dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, oleh karena itu segala bentuk kritisi, masukan, dan saran yang konstruktif akan sangat berharga bagi penyempurnaan lebih lanjut. Semoga karya ilmiah yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Brebes pada tanggal 27 Maret 1980 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Munawar dan Prihati. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Banjarharjo II Brebes pada tahun 1993; pendidikan lanjutan tingkat pertama di SMPN Banjarharjo II Brebes tahun 1996; pendidikan lanjutan tingkat atas di SMUN II Brebes tahun 1998, dan pada tahun yang sama diterima di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung UMPTN. Penulis mengikuti pendidikan di UNPAD pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan lulus pada tahun 2003.

(13)

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Kerangka Pemikiran ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Taksonomi ... 5

Biogeografi dan Sebaran ... 7

Populasi ... 9

Morfologi ... 11

Tapetum lucidum dan rhinarium ... 12

Tooth comb dan toilet claw ... 13

Berat dan panjang tubuh kukang ... 14

Kelas umur kukang ... 15

Perilaku Kukang ... 16

Aktifitas Harian ... 16

Kelompok Spasial dan Interaksi Sosial ... 16

Infant Parking ... 17

Daerah Jelajah dan Teritori ... 17

Habitat dan Sumber Pakan ... 19

Talun sebagai Habitat kukang jawa ... 19

Siklus Rotasi Talun ... 20

Struktur Vegetasi Talun ... 20

Peran dan Fungsi talun ... 22

Sumber Pakan ... 22

Vegetasi Pakan ... 24

Penggunaan Vegetasi dan Tinggi Posisi Tidur ... 25

Status Konservasi kukang jawa ... 27

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 28

Sejarah Pemerintahan ... 28

Letak dan Luas ... 28

Iklim dan Kondisi Geografi ... 30

(14)

METODOLOGI PENELITIAN ... 33

Waktu dan Tempat ... 33

Bahan dan Alat ... 33

Desain Penelitian ... 34

Penentuan Lokasi, Luas Contoh, dan Metode Survei ... 34

Penentuan Waktu Pengamatan ... 37

Pengamatan Populasi Kukang Jawa ... 38

Pengulangan di Transek Garis ... 38

Pengumpulan Data ... 38

Habitat Kukang Jawa ... 38

Populasi dan Sebaran Kukang Jawa ... 40

Analisis Data ... 41

Habitat Kukang Jawa ... 42

Populasi dan Sebaran Kukang Jawa ... 42

HASIL ... 44

Habitat Kukang Jawa ... 44

Spesifikasi Habitat Kukang Jawa ... 44

1. Jumlah jenis vegetasi ... 44

2. Struktur vegetasi pohon (DBH >10 cm) ... 46

3. KR, DR, FR, dan INP vegetasi pohon ... 48

4. Indeks H’dan D ... 52

5. Profil vegetasi ... 53

6. Fase talun ... 62

Preferensi Habitat Kukang Jawa ... 62

Vegetasi untuk tidur ... 63

Vegetasi pakan ... 63

Populasi Kukang Jawa ... 64

Kepadatan Populasi Kukang Jawa ... 64

Komposisi Kelompok Tidur ... 65

Estimasi Populasi Kukang Jawa ... 68

Sebaran Habitat Kukang Jawa ... 69

PEMBAHASAN ... 75

Habitat Kukang Jawa ... 75

Spesifikasi Habitat Kukang Jawa ... 75

1. Jumlah jenis vegetasi ... 75

2. Struktur vegetasi pohon (DBH >10 cm) ... 76

3. KR, DR, FR, dan INP vegetasi pohon ... 78

4. Indeks H’dan D ... 78

5. Profil vegetasi ... 79

6. Fase talun ... 81

(15)

Kepadatan Populasi Kukang Jawa ... 86

Komposisi Kelompok Tidur ... 88

Estimasi Populasi Kukang Jawa ... 89

Sebaran Habitat Kukang Jawa ... 91

SIMPULAN DAN SARAN ... 93

Simpulan ... 93

Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kompilasi data perjumpaan kukang di dunia (individu/km) ... 9

2 Ciri morfologi kukang jawa ... 11

3 Perbedaan berat dan panjang tubuh lima spesies kukang ... 14

4 Vegetasi untuk tidur kukang di Indonesia ... 26

5 Lokasi penelitian habitat dan populasi kukang jawa di Jawa Barat ... 30

6 Kondisi umum lima desa lokasi penelitian kukang jawa ... 32

7 Luas habitat kukang jawa yang diamati di tiap lokasi ... 35

8 Kondisi umum lokasi habitat kukang jawa ... 36

9 Komposisi vegetasi pohon pada setiap tingkat pertumbuhan ... 45

10 Struktur vegetasi pohon (DBH>10 cm) ... 47

11 Tiga vegetasi dengan INP tertinggi di tiap transek ... 48

12 Tiga pohon dengan INP tertinggi di tiap transek ... 50

13 Indeks H’ dan D vegetasi pohon dan lantai di habitat kukang jawa ... 52

14 Komposisi spesies di tiap strata ... 61

15 Fase talun habitat kukang jawa ... 62

16 Vegetasi untuk tidur di habitat kukang jawa ... 63

17 Vegetasi pakan di habitat kukang jawa ... 64

18 Kepadatan individu kukang jawa di tiap transek ... 64

19 Kepadatan individu kukang jawa di tiap fase talun (individu/km2) ... 65

20 Perjumpaan kukang jawa di tiap transek ... 65

21 Perjumpaan kukang jawa berdasarkan komposisi kelompok tidur di tiap transek ... 67

22 Kategori umur kukang jawa dalam kelompok tidur ... 67

23 Luas habitat representatif (km2) di tiap desa ... 67

24 Estimasi populasi kukang jawa (individu) di tiap desa ... 69

(17)

1 Skema kerangka pemikiran penelitian ... 4

2 Keanekaragaman jenis kukang dan sebarannya di dunia (foto: Fitch-Snyder, Streicher, Wirdateti, dan Winarti) . ... 5

3 Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) (foto: Tarniwan) ... 7

4 Biogeografi dan sebaran kukang di dunia (diadaptasi dari Schulze 2003c) ... 8

5 Tapetum lucidum, Rhinarium, Toilet Claw,danIbu Jari yang Opposite pada Kukang Jawa (foto: Tarniwan) ... 12

6 Siklus rotasi talun (foto: Winarti & Tarniwan) ... 20

7 Lokasi lima desa penelitian kukang jawa ... 29

8 Desain transek sabuk untuk pengambilan data vegetasi ... 39

9 Jumlah spesies vegetasi di habitat kukang jawa ... 44

10 Komposisi jumlah spesies vegetasi pohon dan vegetasi lantai di transek vegetasi ... 45

11 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Lebak Pari ... 54

12 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Balangendong ... 55

13 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Cimencek ... 56

14 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Citamiang ... 56

15 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Pasir Pari ... 57

16 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Pasir Raweuy ... 57

17 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Pasir Cupu ... 58

18 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Pasir Ciputat ... 59

19 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Pojok ... 59

20 Profil vegetasi habitat kukang jawa di Awilega ... 60

21 Rerata perjumpaan kukang jawa di tiap fase talun ... 66

22 Komposisi kelompok tidur kukang jawa di habitat talun ... 67

23 Sebaran habitat dan perjumpaan kukang jawa di Desa Sukamaju Tasikmalaya ... 70

(18)

Tasikmalaya ... 72 26 Sebaran habitat dan perjumpaan kukang jawa di Desa Sarimanggu

Tasikmalaya ... 73 27 Sebaran habitat dan perjumpaan kukang jawa di Desa Sukakerta

(19)

1 Daftar nama tumbuhan di habitat kukang jawa ... 105

2 Data vegetasi transek Lebak Pari . ... 109

3 Data vegetasi transek Balangendong ... 110

4 Data vegetasi transek Cimencek ... 111

5 Data vegetasi transek Citamiang ... 113

6 Data vegetasi transek Pasir Pari ... 114

7 Data vegetasi transek Pasir Raweuy ... 115

8 Data vegetasi transek Pasir Cupu ... 116

9 Data vegetasi transek Pasir Ciputat ... 117

10 Data vegetasi transek Pojok ... 118

11 Data vegetasi transek Awilega ... 119

12 Perjumpaan kukang jawa di transek Lebak Pari dan Balangendong Desa Sukamaju ... 120

13 Perjumpaan kukang jawa di transek Cimencek dan Citamiang Desa Raksajaya ... 121

14 Perjumpaan kukang jawa di transek Pasir Pari, Pasir Raweuy, dan Pasir Cupu Desa Kawungsari ... 123

15 Perjumpaan kukang jawa di transek Pasir Ciputat dan Pojok Desa Sarimanggu ... 124

16 Perjumpaan kukang jawa di transek Awilega Desa Sukakerta ... 125

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kukang (Nycticebus sp.) merupakan satwa primata primitif nokturnal,

arboreal, soliter, dan monogami yang secara umum tersebar di seluruh Asia. Kukang mengalami banyak perubahan klasifikasi (Nekaris et al. 2008b). Genus

Nycticebus memiliki lima spesies yaitu N. bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N. menagensis, dan N. javanicus (Schulze & Groves 2004; Nekaris & Nijman

2007; Nekaris et al. 2008b). Tiga di antaranya hidup di Indonesia, yaitu kukang

bukang atau kukang malaya (N. coucang), kukang borneo (N. menagensis), dan

kukang jawa (N. javanicus). Habitat kukang di Indonesia tersebar di Kalimantan,

Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya, serta di Pulau Jawa.

Sejauh ini data sebaran habitat dan populasi kukang di Indonesia masih sangat sedikit. Amandemen CITES tahun 2007 menyebutkan bahwa data sebaran habitat dan populasi kukang di Indonesia pada tahun 1986 adalah sekitar 1,14 juta individu (MacKinnon & MacKinnon 1987; IUCN & TRAFFIC 2007). Jumlah ini merupakan estimasi populasi dari habitat yang ada. Berdasarkan perhitungan MacKinnon dan MacKinnon (1987), hanya 14% dari estimasi habitat tersebut yang berada di kawasan lindung. Satwa liar dilindungi yang hidup di luar kawasan lindung lebih terancam kepunahan daripada mereka yang hidup di kawasan lindung.

Ketidakadaan data kondisi terkini kukang di alam menyulitkan upaya konservasinya. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa kukang merupakan satwa primata ke dua yang paling diminati sebagai satwa peliharaan di sepuluh kota di Jawa-Bali (Malone et al. 2002) dan di Medan selama kurun waktu

(21)

dilakukan ProFauna Indonesia pada tahun 2002 mencatat bahwa sekurangnya 5000 individu kukang telah diselundupkan dari Sumatera ke Jawa melalui Lampung (ProFauna Indonesia 2007). Keberadaan kukang jawa di pasar perdagangan satwa telah tergantikan oleh kukang Sumatera dan Kalimantan hingga 75% (ProFauna Indonesia 2005 & den Haas 2006, diacu dalam CITES 2006). Tingginya angka perdagangan kukang jawa diduga berkaitan langsung dengan penurunan jumlahnya di alam (Nekaris et al. 2008). Fakta ini merupakan

indikasi bahwa kukang jawa sudah semakin sulit ditemukan hidup di habitat alami.

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam upaya konservasi kukang jawa adalah fakta bahwa spesies ini merupakan satwa primata endemik jawa, dan hanya ditemukan di Jawa Barat (Groves 2001). Namun demikian, terdapat juga laporan yang menyebutkan perjumpaan kukang di Jember Jawa Timur (Wirdateti et al. 2000).

Kukang jawa pada awalnya merupakan subspesies dari N. coucang, dan

kemudian sebagian besar ahli taksonomi mengelompokkan sebagai spesies terpisah (Osman-Hill 1953, diacu dalam Nekaris & Jaffe 2007). Endemisitas dan ancaman kepunahan di tingkat spesies memerlukan upaya konservasi yang lebih serius. Oleh karena itu status konservasi kukang jawa berubah. IUCN (International Union for the Conservation of Nature dan Natural Resources) telah

mengubah kategori kukang jawa dari low risk atau kurang terancam, menjadi data

defiecient atau kekurangan data, dan kini menjadi endangered atau hampir punah

(Nekaris et al. 2008; Nekaris & Shekelle 2008). Status ini diperkuat oleh daftar

yang dikeluarkan oleh CITES (Convention on International Trade of Endangered

Species of Flora dan Fauna) yang mengubah status kukang jawa dari Apendiks II

menjadi Apendiks I (UNEP-WCMC 2007). Flora dan fauna yang termasuk dalam Apendiks I merupakan flora fauna yang jumlahnya sudah sangat sedikit dan memiliki kecenderungan untuk punah. Oleh sebab itu perdagangan kukang jawa sama sekali tidak diperbolehkan untuk kepentingan komersial.

Di alam, kukang jawa dapat ditemukan hidup di hutan primer, hutan sekunder, dan hutan bambu di Jawa Barat (Rowe 1996; Wirdateti et al. 2005;

(22)

3

talun atau hutan kebun di Sumedang Jawa Barat (Winarti 2003). Talun adalah hutan buatan berupa kebun pepohonan yang terdiri atas beragam jenis pohon bernilai ekonomis dan tanaman tahunan yang membentuk struktur multistrata (Soemarwoto 1984; Adimiharja 1992). Di Sumedang (Winarti 2003), Tasikmalaya dan Ciamis, kukang jawa dilaporkan mendiami habitat talun yang berdekatan dengan pemukiman penduduk. Karakteristik geografi Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis relatif sama dengan Sumedang yakni berbukit-bukit. Karakteristik sosial dan budaya ketiga kebupaten ini adalah budaya sunda. Keberadaan kukang jawa mendiami talun menunjukkan potensi talun sebagai habitat di luar kawasan konservasi. Keanekaragaman vegetasi talun, berikut proporsi dan dominasi vegetasi di dalamnya dapat menunjukkan preferensi penggunaan habitat oleh kukang jawa.

Tujuan Penelitian

1. Memperoleh data habitat kukang jawa di talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat, yang meliputi spesifikasi habitat berupa struktur dan profil vegetasi, serta preferensi habitat berupa jenis vegetasi untuk tidur dan vegetasi pakan. 2. Memperoleh data populasi kukang jawa di talun Tasikmalaya dan Ciamis,

yang meliputi jumlah individu/km2 dan komposisi kelompok tidur, serta estimasi populasi di tiap lokasi.

3. Memperoleh data sebaran kukang jawa di habitat talun Tasikmalaya dan Ciamis.

Manfaat Penelitian

(23)

Kerangka Pemikiran

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran penelitian Populasi kukang jawa

menurun

Analisis habitat dan populasi kukang jawa

Rekomendasi upaya konservasi kukang jawa

Kukang jawa lestari Perlu ada informasi ekologi kukang jawa di

alam

Habitat: - spesifikasi - preferensi

Populasi: - jumlah &

kepadatan - sebaran

- komposisi umur & jenis kelamin Data sebaran dan

habitat kukang jawa masih sangat sedikit

Tekanan terhadap habitat: - kerusakan vegetasi, - fragmentasi, dan - penyusutan luas

Tekanan terhadap populasi: - perburuan langsung - perburuan tidak

langsung (perburuan satwa lainnya dalam habitat)

Potensi talun sebagai habitat kukang jawa di luar kawasan

konservasi

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi

Kukang di dunia terdiri atas sekurang-kurangnya sembilan spesies yang kemudian digolongkan dalam satu spesies Nycticebus coucang pada tahun 1953

(Osman-Hill 1953, diacu dalam Nekaris & Jaffe 2007). Sekitar dua puluh tahun kemudian, subspesies N. coucang dianggap memiliki perbedaan karakteristik

sehingga digolongkan sebagai spesies terpisah. Perbedaan tersebut antara lain terdapat pada morfologi tengkorak, variasi genetik, ukuran tubuh, pola wajah, gigi, dan warna garis punggung. Pada tahun 1994, kukang pygmy menjadi spesies terpisah dengan nama N. pygmaeus (Zhang et al. 1994, diacu dalam Pro Wildlife

2007; Groves 2001). Kukang bengalensis mulai dianggap spesies berbeda sejak tahun 1998. Pada tahun 2003, tiga kukang resmi terpisah menjadi spesies yaitu N. bengalensis, N. menagensis, dan N. javanicus (Grooves 2001; Roos 2003; Chen et al. 2006). Kini kukang di dunia digolongkan menjadi lima spesies (Gambar 2)

yaitu N. bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N. menagensis dan N. javanicus

(Schulze & Groves 2004; Nekaris et al. 2008b; Nekaris & Nijman 2008).

(25)

Tiga di antara lima kukang hidup di Indonesia yaitu kukang malaya (Nycticebus coucang) di Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya, kukang borneo (N.

menagensis) di Kalimantan, dan kukang jawa (N. javanicus) di Pulau Jawa.

Analisis genetik berdasarkan mitokondria 12S rRNA pada nukleotida kukang menunjukkan terdapat tiga haplotip pada populasi di Sumatera dan dua haplotip pada populasi di Jawa (Wirdateti et al. 2000 & 2006). Pengukuran morfometrik

kukang malaya dan kukang jawa menunjukkan terdapat masing-masing dua kelompok populasi (Nekaris & Jaffe 2007). Dua kelompok yang termasuk kukang malaya yaitu N. coucang dan N. hilleri, dan dua kelompok yang termasuk kukang

jawa yaitu N. javanicus dan N. ornatus. N. hilleri pertama kali diajukan oleh

Stone dan Rehn pada tahun 1902 sebagai N. c. hilleri (Nekaris & Jaffe 2007),

sedangkan N. ornatus diajukan oleh Thomas pada tahun 1921. Beragam penelitian

genetik dan morfologi kukang ini selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan dalam menangani penanganan satwa hasil sitaan ataupun penangkaran kukang baik secara in-situ maupun ex-situ.

Klasifikasi kukang jawa (N. javanicus) (Gambar 3) berdasarkan Napier

dan Napier (1967 & 1985) dan Rowe (1996) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Sub Kelas : Eutheria

Ordo : Primata

Sub Ordo : Prosimii/Strepsirrhini Infra Ordo : Lemuriformes

Super Famili : Loroidea

Famili : Loridae

Genus : Nycticebus

Spesies : Nycticebus javanicus (Geoffroy 1812)

(26)

7

Gambar 3 Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) (foto: Tarniwan)

Biogeografi dan Sebaran

Biogeografi adalah studi distribusi geografik mahluk hidup yang mempengaruhi sebarannya saat ini. Prosimian diduga berawal dari perkembangan famili Adapidae (Napier & Napier 1985). Anggota famili Loridae mulai ada sejak masa Miosin di Afrika Timur sekitar 20.000 tahun yang lalu. Genus Loris dan

Nycticebus kemudian mencapai Asia karena daratan masih menyatu atau mungkin

karena adanya suatu koridor habitat. Penyebaran kukang di seluruh Asia, mulai dari Asia bagian timur hingga Asia Tenggara (Nekaris 2007 & 2008; Schulze 2003c). Penyebaran yang luas ini berawal dari biogeografi kukang sejak jaman es (Schulze 2003c). Sekitar masa Pleistosin (lebih kurang 18.000 tahun yang lalu) daratan Asia masih menyatu dengan pulau-pulau Indonesia bagian barat (Sumatera, Borneo, dan Jawa). Pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau yang berada di sebelah kiri garis Wallace.

Garis Wallace dan juga garis Weber merupakan pembatas fauna yang menjadi pemisah antar daratan. Iklim pada masa itu diperkirakan lebih kering dari masa sekarang karena sebagian besar air masih menjadi es. Menurut Peltz (1999) diacu dalam Schulze (2003c) luasan hutan hujan tropis juga lebih sempit dibandingkan dengan masa sekarang (Gambar 4). Iklim di beberapa area diperkirakan lebih lembab sehingga menjadi indikasi bahwa daratan antara India dan Srilanka merupakan hutan deciduous atau bahkan hutan hujan tropis (Ripley

(27)

adanya suatu migrasi fauna antara India dan Srilanka. Kukang hidup menyebar luas di dataran besar Asia. Hingga saat daratan besar tersebut terpisah-pisah, kukang dapat ditemui hidup di Asia bagian timur hingga Asia Tenggara (Schulze 2003c).

Gambar 4 Biogeografi dan sebaran kukang di dunia (diadaptasi dari Schulze 2003c)

Sebaran habitat kukang berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut (m dpl) berturut-turut adalah kukang malaya 0-920 m dpl, kukang borneo 19-900 m dpl, kukang bengalensis 48-339 m, kukang jawa 200-931 m dpl (Wiens 2002; Schulze 2003b; Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti 2005; Wirdateti et al.

2005; Wirdateti & Suparno 2006; Dahrudin & Wirdateti 2008; Pambudi 2008; Nandini et al. 2009; Pliosungnoen et al. 2008; Swapna et al. 2008).

Data sebaran dan estimasi populasi kukang terutama kukang jawa masih belum banyak tersedia (IUCN & TRAFFIC; Nekaris et al. 2008). Data dan

(28)

9

2008). Berturut turut rata-rata perjumpaan tersebut adalah N. coucang

0,66-0,74/km, N. bengalensis 0,10-0,13/km, N. pygmaeus 0,05-0,08/km dan N.

menagensis 0,12/km. Studi komparatif oleh Nekaris et al. (2007) terhadap data

perjumpaan seluruh spesies kukang di habitat alami dan tidak alami, menghasilkan transformasi nilai tengah perjumpaan individu/km. Nilai tengah perjumpaan N. coucang adalah 0,80/km, N. bengalensis 0,26/km, N. pygmaeus

0,13/km, N. menagensis 0,02/km, dan N. javanicus 0,11/km (Tabel 1).

Tabel 1 Kompilasi data perjumpaan kukang di dunia (individu/km)

Tipe

Habitat N. bengalensis N.

pygmaeus N. coucang N.

menagensis N. javanicus

Alami 0,02a; 0,06-0,18b; 0,02-0,87(1,2);

0,05-0,22 (4,5) 0,4-1,16(6,7) 0,02-0,36(9,10) 0,02(12,13, c)

Tidak Alami

0,03-0,33(3) - 0,01-1,63(7,8) 0,01(11) -

Keterangan:

a = Swapna et al. (2008); b = Das (2009); c = Collins (2007); dan 1-13 merupakan data kompilasi oleh Nekaris et al. 2007 diperoleh dengan pustaka sebagai berikut:

1Duckworth (1998), 2Evans

et al. (2000), 3Rhadakrishna & Singh (2004), 4Fitch-Snyder & Vu (2002), 5Wiens & Zitzmann (2003a), 6Shepherd & Nijman (tidak dipublikasikan), 7Johns (1983), 8Barrett (1984), 9Grieser-Johns (komunikasi pribadi) pendataan tahun 1980-1993, 10Nekaris & Bearder (2007), 11Haydon (1994), 12Gursky & Arisona (komunikasi pribadi), 13Arisona & Nekaris (tidak dipublikasikan).

Nekaris et al. (2007) menyebutkan bahwa perjumpaan kukang lebih sedikit

di habitat yang tidak alami atau terganggu daripada di habitat alami (Tabel 1). Kompilasi data pada tabel 1 menjadi indikasi bahwa perjumpaan kukang secara umum rendah. Namun di beberapa lokasi tertentu terdapat kelompok populasi yang tinggi dibandingkan dengan populasi di daerah sebaran kukang pada umumnya. Populasi ini diduga hanya bersifat sementara karena karakteristik habitat yang tidak stabil.

Populasi

(29)

sebaran kukang (IUCN & TRAFFIC 2007; Nekaris & Bearder 2007; Nekaris & Nijman 2008).

Berdasarkan luas habitat, hanya 14% dari habitat kukang yang berada di kawasan lindung (MacKinnon & MacKinnon 1987). IUCN dan TRAFFIC (2007) memperkirakan populasi kukang bengalensis, kukang pygmy, dan kukang malaya berturut-turut sebesar 17-923.337 individu, 600-72.000 individu, dan 1.140.000 individu.

Beberapa penelitian populasi kukang yang pernah dilakukan antara lain terhadap kukang malaya, kukang bengalensis, dan kukang jawa. Kepadatan populasi kukang malaya di Semenanjung Malaya adalah 20 individu/km2 (Barrett 1981, diacu dalam Wiens & Zitzman 2003a) dan di Cagar Alam Segari Melintang di Malaysia Barat adalah 80 individu/km2 (Wiens & Zitzman 2003a). Kepadatan populasi kukang bengalensis di Khao Ang Rue Nai Wildlife Sanctuary Thailand pada lahan pertanian tua (15-18 tahun sejak awal tanam) cenderung sama dengan hutan primer yaitu 4,26 individu/km2 dan 4 individu/km2, serta lebih besar dari lahan pertanian muda (kurang dari 15 tahun sejak awal tanam) yaitu 1,27 individu/km2 (Pliosungnoen et al. 2010). Sebaliknya, penelitian kukang jawa di

hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menyebutkan bahwa kepadatan kukang jawa di hutan primer lebih rendah dibandingkan dengan kepadatan kukang jawa di hutan sekunder, yaitu 4,29 individu/km2 dibandingkan dengan 15,29 individu/km2 (Pambudi 2008).

Populasi kukang jawa di alam diperkirakan mulai jarang (Nekaris et al.

2008). Data perdagangan satwa menunjukkan kukang jawa secara meningkat mulai digantikan oleh kukang malaya dan kukang borneo (IUCN & TRAFFIC 2007). Mengingat tingkat reproduksinya yang rendah (Nekaris & Bearder 2007), kukang jawa tidak dapat bertahan dengan penangkapan dalam skala besar (IUCN & TRAFFIC 2007). Indikasi penurunan kualitas dan luasan habitat kukang jawa dilaporkan terjadi di Sumedang (Winarti 2003). Di samping itu, beberapa peneliti melaporkan adanya indikasi penurunan populasi atau bahkan kepunahan lokal (Nekaris et al. 2008). Perkiraan empiris terhadap nilai Minimum Viable Population atau jumlah populasi minimum untuk melanjutkan populasi kukang di

(30)

11

indikasi bahwa bahwa kukang jawa akan berkembang biak di alam dengan baik jika populasi minimalnya sejumlah ribuan individu.

Morfologi

Kukang jawa (N. javanicus) merupakan satwa primata primitif yang tidak

[image:30.595.90.513.332.603.2]

berekor, bersifat nokturnal (aktif di malam hari), dan arboreal (tinggal di atas pohon). Spesies ini merupakan anggota ordo primata dari sub ordo Strepsirhine atau Prosimian, yang artinya pra atau sebelum simian atau primata primitif. Ciri utama dari sub ordo ini adalah nokturnal dan soliter (Napier & Napier 1967 & 1985; Rowe 1996; Wiens & Zitzmann 2003a). Berikut ini adalah ciri morfologi kukang jawa berdasarkan taksonominya (Tabel 2).

Tabel 2 Ciri morfologi kukang jawa

Klasifikasi Ciri

Kerajaan Animalia Hewan

Filum Chordata Bertulang belakang

Kelas Mammalia Menyusui, memiliki rambut hampir di seluruh tubuh

Ordo Primata Mata binokuler dan streoskopis, kapasitas otak yang relatif besar, berkuku dan mampu menggenggam

Sub Ordo Strepsirhine/ Prosimian

Nokturnal dan memiliki tapetum lucidum, tooth coomb, toilet

claw, dan rhinarium

Famili Loridae Arboreal, memiliki ibu jari opposite atau berseberangan

dengan keempat jari lainnya, bergerak lamban dengan lokomosi quadrupedal (bergerak berpindah dengan empat anggota gerak) tanpa leaping (meloncat), cantilevering

(berpindah tempat dengan cara meregangkan tubuh), serta metabolisme basal yang rendah, masa bunting yang lama, infan lahir dengan berat yang ringan, masa menyusui yang lama, dan adanya perilaku infant parking

Genus Nycticebus Memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada Loris sp.

Spesies N. javanicus Memiliki pola garpu di wajah yang paling jelas dibandingkan

dengan genus Nycticebus lainnya, dan memiliki frosting

rambut warna putih pada bagian leher

Sumber: Napier & Napier 1967, 1985; Rowe 1996; Schulze 2003d; Nekaris & Bearder 2007

Kukang berjalan dengan keempat anggota geraknya dengan perlahan kecuali pada saat merasa terancam. Kukang memiliki kemampuan cantilevering yakni

(31)

Tapetum Lucidum dan Rhinarium

Kukang memiliki tapetum lucidum, yaitu lapisan di bagian belakang retina

yang sensitif terhadap cahaya. Lapisan ini membantu penglihatan mereka saat aktif di malam hari. Dalam kondisi gelap, mata kukang akan nampak bersinar oranye (Schulze 2003a) (Gambar 5). Kukang di alam berbagi habitat dengan satwa nokturnal lainnya antara lain dengan musang Paradoxurus hermaphroditus

dan kucing Felis chaus (Schulze 2003a). Oleh karena itu paramater yang dapat

digunakan untuk mendeteksi keberadaan kukang adalah deteksi sorot mata oranye yang terang, ukuran lingkar mata yang bulat besar, dan jarak bola matanya (Schulze 2003a).

Gambar 5 Tapetum Lucidum, Rhinarium, Toilet Claw, dan ibu jari yang oposit

(berseberangan) pada kukang jawa (foto: Tarniwan)

Karakteristik lain dari mata kukang adalah kemampuan stereoskopis yang terbatas. Mata stereoskopis berperan untuk membedakan banyak warna dan memperoleh persepsi untuk mengukur jarak. Sel kerucut (short wave-sensitive cone opsins) pada retina kukang tidak mampu membedakan warna (Kawamura &

[image:31.595.127.476.285.516.2]
(32)

13

Kukang memiliki moncong atau ujung hidung yang selalu lembab dan basah. Bagian ini disebut rhinarium (Gambar 5), yang berfungsi untuk membantu

daya penciumannya dalam mengenali jejak bau yang ditinggalkan kukang lainnya (Napier & Napier 1985; Rowe 1996). Moncong kukang pendek dan membulat serta lebih besar jika dibandingkan dengan Loris sp. (Schulze 2003a). Rhinarium

kukang tidak berambut serta memiliki papila yang kasar dan terlihat jelas. Jika dibandingkan dengan tupai, rhinarium kukang lebih kecil dan kurang sensitif

(Loo & Kanagasuntheram 1973).

Tooth Comb dan Toilet Claw

Tooth comb atau gigi sisir adalah empat gigi seri pada rahang bawah yang

arah tumbuhnya lebih horizontal. Fungsi gigi ini adalah sebagai alat untuk menyisir rambutnya saat meyelisik atau membersihkan diri. Sedangkan Toilet claw adalah cakar atau kuku yang panjang dan tajam pada telunjuk atau jari ke

dua pada alat gerak bagian belakang (Gambar 5). Tooth comb dan toilet claw

digunakan untuk menyelisik (Napier & Napier 1985; Rowe 1996).

Pada Prosimian, perilaku menyelisik ini dilakukan dengan menjilati tubuh dan anggota tubuhnya dan menyisir rambutnya dengan tooth comb dan toilet claw.

Kukang melakukan aktifitas menyelisik beberapa saat setelah bangun, yaitu sekitar lepas senja saat matahari sudah tenggelam dan sesaat sebelum tidur, yaitu saat menjelang matahari terbit (Wiens 2002; Pambudi 2008).

Penelitian di kandang atau penangkaran, menunjukkan bahwa kukang memiliki kisaran masa bunting 165-175 hari (Nekaris & Bearder 2007), 186-187 hari (Zimmerman 1989), dan 185-197 hari (Izard 1988). Satwa primata ini melahirkan satu kali setiap tahunnya dengan berat 43,5-75 g, dan menyusui selama 5-7 bulan atau menyapih pada umur anak 85-180 hari (Izard 1988; Zimmermann 1989; Nekaris & Bearder 2007). Siklus estrus N. coucang adalah

(33)

Berat dan panjang tubuh kukang

Kukang memiliki berat tubuh bervariasi dari yang terkecil hingga terbesar, yaitu 230-2000 g (Tabel 3). Kukang jawa merupakan spesies yang memiliki ukuran tubuh ke tiga terbesar di antara semua spesies kukang. Dibandingkan dengan dua kukang Indonesia lainnya, kukang jawa memiliki ukuran tubuh yang paling besar dan berat. Berturut-turut kisaran berat tubuh kukang dari yang terbesar hingga terkecil adalah: N. bengalensis (850-2000 g), N. coucang

(230-1675 g), N. javanicus (530-810 g), N. pygmaeus (300-800 g), dan N. menagensis

[image:33.595.94.518.348.582.2]

(265-511 g). Hal ini berbeda dengan Ravosa (1998) yang menyebutkan bahwa berdasarkan alometri kranial, urutan spesies kukang dari yang terbesar hingga terkecil adalah N. bengalensis, N. javanicus, N. coucang, N. menagensis, dan N. pygmaeus.

Tabel 3 Perbedaan berat dan panjang tubuh lima spesies kukang

Karakteris tik

N.

bengalensis N.

pygmaeus N. coucang

N. menagensis N. javanicus Berat Tubuh (gr)* 1588-16051 1134-16052 850-20003 418-4221,2,4 300-6003 Max. 8005 372-4628 637-7371 599-6852 747+74/739+413 594,2+111,56 1012-1675/ 1105-13707 230-6108 737+111/ 637+619 65410 265-3001,2

51110 565-687

2 670+1406 79810 Panjang Tubuh (kepala-ujung tubuh) (mm)*

260-38011 240-2873 195-2303 1907 210-2908 300-3304 268,2+24,66 265-380/268-3557 265-3808 292+9/293+59 240-3003

2403 272-319/ 220-3323 293,1+13,36

*yang disebut pertama kali merupakan berat atau panjang tubuh jantan, selanjutnya diikuti berat atau panjang tubuh betina

1Nekaris & Bearder (2007), 2Nekaris

et al.(2008), 3Schulze (2002a), 4Streicher (2004), 5 Fitch-snyder et al. (2001), 6Nekaris & Jaffe (2007), 7Napier & Napier (1967), 8Rowe (1996), 9Wiens (2002), 10Ravosa (1998), 11Schulze & Groves (2004)

(34)

15

memiliki warna rambut kuning keabuan dan coklat krem pada bagian leher, serta strip punggung dan pola garpu pada mukanya yang sangat jelas (Groves 2001). Kukang malaya dan kukang borneo memiliki pola garpu di dahi yang tidak jelas. Dalam proposal CITES tahun 2006, Schulze menyatakan adanya indikasi variasi warna pada rambut kukang secara lokal (CITES 2006). Terdapat tiga haplotip pada kelompok populasi kukang malaya dan dua haplotip pada kelompok kukang jawa (Wirdateti et al. 2000 & 2006). Variasi dan morfometrik kukang menjadi

indikasi adanya masing-masing dua kelompok populasi pada kukang malaya dan kukang jawa (Nekaris & Jaffe 2007).

Kelas Umur Kukang

Pembagian kelas umur kukang menurut Setchell dan Curtis (2003) serta Schulze (2002b) adalah dewasa, pradewasa, juvenil, infan, neonate, dan senile

(tua).

1. Dewasa : sudah matang baik secara fisik maupun seksual dan gigi permanen sudah komplit.

2. Pradewasa : belum matang sempurna baik secara fisik maupun seksual namun secara jelas sudah dapat dibedakan dari anak yang masih bergantung pada induknya.

3. Juvenil : belum matang secara fisik maupun seksual dan masih bersama

induk tetapi sudah bergerak sendiri.

4. Infan : belum disapih dan masih bergantung pada induk sehingga masih

dibawa-bawa di pinggang induknya ataupun diparkir untuk sementara.

5. Neonate : infan yang terlihat baru dilahirkan dalam beberapa hari yang lalu.

6.Senile : menunjukkan tanda-tanda penuaan seperti uban pada rambut

(35)

Perilaku Kukang Aktifitas Harian

N. coucang pernah teramati melakukan aktifitas paling awal 2 menit

sebelum matahari terbenam dan aktifitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit (Wiens 2002). Infan N. coucang teramati mulai aktif bergerak pada 0-53 menit

setelah matahari terbenam. Kukang jawa di hutan Bodogol TNGGP mulai aktif segera setelah matahari terbenam, dengan puncak aktifitas pada pukul 20:00-21:00 WIB dan menurun pada pukul 22:00-00:00 WIB (Pambudi 2008).

Kukang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini bersifat soliter atau penyendiri (Wiens 2002; Wiens & Zitzmann 2003a; Napier & Napier 1985; Rowe 1996). Sekitar 93,3+5,4% waktu N. coucang

dihabiskan dengan sendirian dengan 6,7% di antaranya berada minimal lebih dari 10 m dari individu lainnya. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa (Wiens 2002). Berdasarkan penelitian N. coucang di penangkaran,

90% dari waktu aktifnya dihabiskan untuk aktivitas yang baik langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan aktifitas makan (Glassman & Wells 1984).

Kelompok Spasial dan Interaksi Sosial

Meskipun hidup soliter, N. coucang membentuk suatu unit sosial yang stabil

(kelompok spasial) yang masih mempunyai hubungan keluarga, yaitu terdiri atas satu jantan, satu betina, dan hingga tiga individu lainnya yang lebih muda (Wiens 2002). Kelompok spasial ini dapat diidentifikasi dalam suatu kelompok tidur. Interaksi N. coucang dengan individu lainnya antara lain allogroom (menyelisik

individu lain), alternate click calls (suara cericit atau klik-klik yang tajam dan

jelas baik rangkaian pendek maupun panjang), follow (mengikuti individu lain

dengan jarak tidak jauh dari lima meter), pantgrowl (suara menggeram termasuk

nafas mendengus secara berulang) dan contact sleep (tidur dengan berdampingan

atau memeluk pinggang induk), ride/carry (menunggangi induk atau dibawa oleh

induk), suckle (aktifitas menyusui) (Wiens 2002).

(36)

17

aktifnya. Infan N. coucang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk

berjaga-jaga atau mengamati individu lain (40,8%) dibandingkan dengan aktifitas lainnya (26,5% berjalan, 6,1% siaga, 4,2% menyelisik diri sendiri, 2% berdiri, 2% bergerak berpindah dengan cepat, dan 12,3% interaksi sosial termasuk click

calling) (Wiens 2002).

Infant Parking

Infant parking adalah perilaku meninggalkan infan pada saat induk pergi

mencari makan (Napier & Napier 1967; Nekaris & Bearder 2007). Infant parking

pada N. coucang di penangkaran teramati pada hari ke dua setelah lahir

(Zimmermann 1989). Indikasi infant parking di alam teramati dua kali oleh Wiens

(2002) saat menjumpai infan, masing-masing dengan berat tubuh 105 g dan 119

g), sendirian di semak dan pohon pada saat tengah malam (pukul 00:35 dan 02:05). Ketinggian posisi infan dari permukaan tanah adalah 2,2 m di semak dan

3,5 m di pohon. Semak dan pohon tersebut merupakan vegetasi tidur pada siang hari.

Daerah Jelajah dan Teritori

Satu kelompok spasial atau kelompok keluarga N. coucang mendiami suatu

luasan habitat atau daerah jelajah yang tumpang tindih (overlap), dimana individu

jantan dewasa menjadi penguasa daerah yang mencakup seluruh daerah jelajah anggota-anggota keluarganya. Daerah jelajah (home range) merupakan wilayah

yang dikunjungi satwa secara tetap karena dapat menyediakan makanan, minum serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur dan tempat kawin (Alikodra 2002). Luasan daerah jelajah dapat bervariasi dari tahun ke tahun karena perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, kompetisi, atau aktifitas manusia seperti perburuan, penebangan pohon, ataupun pembukaan lahan pertanian (Rowe 1996). Daerah jelajah N. coucang

berbeda-beda tergantung tipe habitatnya, yaitu di hutan primer 0,4-3,8 ha, hutan yang terdapat penebangan 2,8-8,9 ha, dan padang savana 10,4-25 ha (Wiens 2002). Berdasarkan jenis kelaminnya, daerah jelajah N. coucang adalah sebagai berikut:

(37)

penebangan; dan 19-25 ha (padang savana), 2) betina dewasa 0,4-3,8 ha di hutan primer; 4,1-4,8 ha di hutan yang terdapat penebangan; dan 10,4 ha di padang savana.

Daerah jelajah kukang N. coucang jantan dewasa lebih luas daripada

individu betina, serta mencakup sebagian dari daerah jelajah betina dan infan (Wiens 2002). Daerah jelajah betina dewasa yang berada dalam daerah jelajah jantan dewasa di hutan primer sebesar 38,1% , di hutan yang terdapat penebangan 83,8%, dan di padang savana 39,4%.

Daerah jelajah harian (daily range atau night range pada satwa nokturnal)

kukang belum diketahui. N. coucang dilaporkan melakukan pergerakan hingga

400 m/jam setiap malam (Nekaris & Bearder 2007). Asumsi berdasar kisaran ukuran tubuh yang sama dengan anggota Prosimian lainnya seperti galago, menjadi indikasi bahwa kukang berpindah tempat hingga 10 m tiap malam. Jelajah harian kukang bisa lebih luas mengingat prosimian lainnya yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dan lebih kecil dapat memiliki jelajah harian yang bervariasi. Potto Potto potto edwardsii memiliki jelajah harian hingga 6 km tiap

malam, sedangkan slender loris abu-abu Loris lydekkerianus dan slender loris

merah Loris tardigradus memiliki jelajah harian ratusan meter hingga 1 km tiap

malam (Nekaris & Bearder 2007).

Pergerakan atau aktifitas jelajah di pengaruhi oleh intensitas cahaya (Nekaris & Bearder 2007). Kukang cenderung mengurangi aktifitas atau menghindari kondisi gelap total dan sangat sedikit cahaya (Kavanau 1979). Satwa primata ini cenderung bersifat lunar phobia. Pengamatan di penangkaran

menunjukkan bahwa seiring dengan peningkatan cahaya bulan, N. coucang

meningkatkan aktifitas istirahat dan menurunkan aktifititas lokomosi (Trent et al.

1977, diacu dalam Nash 2007). Aktifitas yang tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya bulan adalah makan dan menyelisik. Beberapa satwa primata nokturnal diketahui memiliki kecenderungan lebih aktif pada saat ada cahaya bulan (lunar

philia) dan ada juga yang tidak (lunar phobia). Contoh satwa primata lunar philia

adalah Galago sp. (Nekaris & Bearder 2007) dan satwa primata lunar phobia

(38)

19

Habitat dan Sumber Pakan

Habitat merupakan tempat bagi organisme itu tinggal dan hidup, atau tempat dimana seseorang harus pergi untuk menemukannya (Odum 1998). Di habitat hutan, Famili Lorisidae memiliki kecenderungan mendiami berbagai tipe strata dan substrata (Nekaris & Bearder 2007). Kukang menyukai habitat hutan hujan tropis dan subtropis di dataran rendah dan dataran tinggi, hutan primer, hutan sekunder, serta hutan bambu (Rowe 1996; Nekaris & Shekelle 2007). Kukang menyukai habitat perifer (tepi) karena di bagian inilah terdapat kelimpahan serangga dan faktor pendukung lainnya. Menurut MacKinnon dan MacKinnon (1987), pada tahun 1986 dari seluruh area yang mungkin menjadi habitat kukang, hanya 14% saja yang berada di dalam kawasan dilindungi.

Berdasarkan analisis sistem informasi geografi, luasan habitat kukang jawa mengalami penurunan luas dan degradasi hingga 20%, dimana habitat kukang jawa yang masih ada hanya 17% saja yang berada di dalam daerah lindung (Nekaris et al. 2008b). Kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi

penyebaran dan produktivitas suatu satwa. Habitat yang mempunyai kualitas yang tinggi nilainya, diharapkan akan menghasilkan kehidupan satwa yang lebih baik. Habitat yang rendah kualitasnya akan menghasilkan kondisi populasi satwa yang daya reproduksinya rendah (Alikodra 2002). Habitat talun memenuhi kriteria habitat bagi kukang jawa baik dalam hal pakan, tempat tidur, maupun tingkat keamanannya karena talun jarang dikunjungi oleh penduduk. Vegetasi pakan kukang jawa seperti pasang Quercus sp. dan aren Arenga pinnata Merr. serta

vegetasi untuk tidur berupa bambu merupakan vegetasi yang umum dijumpai tumbuh di talun (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005; Pambudi

2008).

Talun sebagai Habitat Kukang Jawa

Sejak tahun 1980-an sistem pertanian yang umum ditemui di Jawa Barat adalah pekarangan dan kebun talun (Soemarwoto et al. 1985; Christanty et al,

1986). Pada saat itu, luas pekarangan dan kebun-talun mencapai 20% dan 16% dari total wilayah Jawa Barat (Christanty et al. 1986). Kedua sistem pertanian

(39)

adaptasi masyarakat terhadap lingkungan, sosial, budaya, serta kondisi ekonomi masyarakat pedesaan.

1. Pekarangan

Pekarangan adalah sistem pertanian dengan kombinasi tanaman musiman atau palawija dan tanaman tahunan atau perenial, serta hewan peliharaan yang terletak di sekitar tempat tinggal. Pekarangan bernilai penting bagi pemiliknya, antara lain secara ekonomi, sosial budaya, dan pemulihan biofisik lahan. Sistem ini berkembang dari Jawa Tengah dan menyebar ke Jawa Barat (Christanty et al.

1986).

2. Talun atau Kebun-talun

Talun merupakan habitat yang memiliki struktur vegetasi menyerupai kondisi hutan sekunder (Soemarwoto 1984; Soemarwoto et al. 1985; Christanty et al. 1986). Letak talun biasanya di lereng bukit (Soemarwoto 1984; Soemarwoto et al. 1985). Talun dengan sistem rotasi penanaman disebut juga sistem kebun-talun.

Lahan dengan rotasi kebun-talun dikatakan berubah menjadi pekarangan jika di dalamnya dibangun sebuah rumah (Christanty et al. 1986).

Siklus Rotasi Talun

Talun dengan sistem rotasi penanaman memiliki kombinasi suksesi tiga fase, yaitu kebun, talun kebun atau kebun campuran, dan talun sempurna (Gambar 6). Siklus rotasi ini memerlukan waktu selama kurang lebih 6-8 tahun (Soemarwoto 1984; Christanty et al. 1986). Secara umum luas kepemilikan talun

tidak luas atau hanya berkisar antara 400 m2 hingga 1-2 ha (Soemarwoto 1984; Winarti 2003; Parikesit et al. 2004).

(40)

21

[image:40.595.116.513.129.330.2]

tanaman tahunan bercampur dengan tumbuhan perenial. Fase II ini disebut talun. Talun kebun merupakan fase peralihan menuju talun sempurna.

Gambar 6 Siklus rotasi talun (foto: Winarti & Tarniwan)

Fase talun kebun tidak lagi ditanami palawija sehingga nilai ekonomi fase ini tidak setinggi kebun. Fase ini lebih bernilai biofisik. Pada tahap ini berlangsung pemulihan tanah dan konservasi air. Ciri utama fase talun kebun adalah adanya tanaman singkong dengan jarak tanam 0,75 m dengan selingan tanaman bambu di dalamnya (Christanty et al. 1986) serta banyaknya anakan

pohon yang mulai meninggi. Setelah pemanenan atau pengambilan hasil kebun campuran 2-3 kali, lahan dibiarkan selama lebih kurang tiga tahun. Vegetasi yang dominan pada fase ini adalah tumbuhan perenial. Fase ini disebut talun sempurna. Fase talun sempurna memiliki dua fungsi atau bernilai ganda, yaitu secara ekonomi dan biofisik.

Struktur Vegetasi Talun

Talun biasanya merupakan kombinasi beragam spesies tumbuhan perenial yang membentuk tiga strata vegetasi (Christanty et al. 1986). Talun dapat juga

didominasi oleh satu spesies (Soemarwoto et al. 1985). Talun yang didominasi

oleh satu spesies tumbuhan, penamaannya diikuti oleh nama spesies tersebut. Seperti talun bambu, merupakan talun dengan dominasi vegetasi bambu.

Jenis dan jumlah jenis vegetasi yang tumbuh di dalam talun merupakan hasil keputusan pemilik talun yang dipengaruhi oleh alasan tertentu (Suharjito 2002).

1. Kebun 2. Talun kebun 3. Talun sempurna

(41)

Talun di Desa Buniwangi Sukabumi cenderung ditanami pohon yang hasil panennya banyak, aneka ragam jenis, perawatannya mudah, hasilnya mudah dijual, harga hasil panen yang stabil atau meningkat, warisan orangtua sebelumnya, dan cocok dengan kondisi tanah.

Vegetasi talun terdiri atas beragam jenis, umur, dan tinggi, sehingga mirip dengan hutan. Talun memiliki perbedaan dengan hutan tropis dalam hal komposisinya. Komposisi vegetasi di talun sebagian asli dari daerah talun tersebut, sebagian lainnya dapat merupakan hasil introduksi oleh pemiliknya (Soemarwoto et al. 1985).

Ketinggian dan kemiringan tempat merupakan faktor biofisik yang mempengaruhi penyebaran jenis tanaman di talun (Parikesit et al. 2004). Namun

dalam perkembangannya jenis-jenis vegetasi yang tumbuh dengan baik di suatu talun merupakan hasil dari interaksi faktor berupa penyebaran oleh satwa liar, dengan faktor sedikitnya campur tangan manusia dalam penanganan talun (Parikesit 2001).

Peran dan Fungsi Talun

Talun memiliki peran dan fungsi penting, baik bagi pemilik maupun bagi kelestarian alam (Soemarwoto 1984; Soemarwoto et al. 1985). Bagi pemilik, talun

berperan penting dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan memiliki fungsi ekonomi, misalnya untuk kayu bakar dan bahan bangunan, bambu, buah-buahan, dan tumbuhan obat (Soemarwoto et al. 1985; Christanty et al. 1986; Parikesit

2001). Bagi kelestarian alam, talun memiliki peran dan potensi sebagai sumber gen atau sumber kekayaan biodiversitas, dan mendukung konservasi tanah (Soemarwoto et al. 1985). Dengan komposisi jenis dan struktur vegetasi yang

multistrata, talun berfungsi sebagai habitat terutama bagi satwa liar (Parikesit 2001; Parikesit et al. 2004).

Sumber Pakan

Secara umum genus Nycticebus sering disebutkan sebagai omnivor

(42)

23

bunga, nektar, getah, dan cairan bunga atau cairan tumbuhan, serangga, dan telur burung serta burung kecil (Rowe 1996; Nekaris & Bearder 2007). Kukang mendapatkan getah dengan cara mengguratkan gigi ke batang pohon hingga kulit pohon terkelupas atau hanya tergores dan mengeluarkan getah, selanjutnya kukang menjilatinya (Wiens 2002; Streicher 2004; Pambudi 2008; Swapna 2008). Kukang jawa juga dilaporkan menghisap sadapan nira pohon aren yang menetes secara alami maupun yang sedang disadap penduduk (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005). Uji palatabilitas pakan terhadap kukang sumatera dan

kukang jawa di kandang menunjukkan bahwa pakan yang disukai adalah buah-buahan yang lunak, manis, dan mengandung karbohidrat (Napier & Napier 1985; Wirdateti et al. 2001).

Kukang juga memakan sumber pakan asal hewan, terutama serangga. Identifikasi jenis pakan asal hewan terutama serangga biasanya diperoleh berdasarkan pengamatan singkat, identifikasi contoh feses, atau hanya berdasarkan informasi penduduk. Berdasarkan identifikasi feses N. coucang

dewasa dan pradewasa, kukang makan enam jenis serangga pakan yaitu kumbang (Coleopthera), semut (Hymenoptera), kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), jangkrik (Formicidae), belalang (Orthoptera), dan kepik (Hemiptera) (Wiens 2002). Identifikasi feses pada infan umur 13 minggu memperlihatkan sisa kitin

dari semut (Formicidae), kumbang (Coleoptera), dan jangkrik atau belalang (Orthoptera). Infan pertama kali dijumpai memakan ngengat (Lepidoptera) pada

umur 4 minggu (Wiens & Zitzmann 2003b).

Pengamatan N. praygmaeus memperlihatkan sedikitnya terdapat dua jenis

pakan asal serangga yaitu semut (Hymenoptera) dan jangkrik (Formicidae) (Streicher 2004). N. bengalensis diketahui memakan kecoa (Blattaria), rayap

(Isoptera), kumbang (Coleopthera), semut (Hymenoptera), dan ngengat (Lepidoptera) serta telur dan anak burung (Swapna 2008). Kukang jawa di TNGH diduga memakan semut atau serangga saat berada di pohon cengkeh Syzygium

aromaticum (Wirdateti 2003). Kukang jawa terlihat menangkap beberapa ekor

serangga di pohon kasungka Gnetum cuspidatum Bl. di awal aktifitas malamnya. Di

(43)

dijumpai beraktifitas di pohon pempening Lithocarpus benettii selama lebih

kurang satu jam untuk beberapa kali menyambar sesuatu yang terbang yang diperkirakan sebagai serangga (Wirdateti 2005).

Vegetasi Pakan

Secara umum proporsi pakan kukang adalah tumbuhan (50% buah-buahan dan 10% getah, 40% lainnya dari sumber pakan hewan). N. coucang lebih

menyukai sumber pakan berupa getah atau cairan tumbuhan (34,9%) dan bagian dari bunga (31,7%) daripada buah-buahan (22,5%) dan arthopoda. N. bengalensis

menyukai getah atau cairan tumbuhan (94,34% di musim dingin dan 67,3% di musim panas) dan memakan serangga pada musim panas (5,07%). N. pygmaeus

menyukai getah & cairan tumbuhan (63%) daripada serangga (33%) dan sumber pakan lainnya (4%) (Wiens 2002; Streicher 2004; Swapna 2008).

N. coucang di Kabupaten Manjung Malaysia Barat sekurang-kurangnya

menggunakan 27 spesies tumbuhan dari 15 famili sebagai sumber pakan, N. bengalensis di Tripura India 15 spesies dari 10 famili dan di Gibbon Wildllife

Sanctuary Assam India 18 spesies dari 12 famili, dan N. pygmaeus empat spesies

dari empat famili (Wiens 2002; Streicher 2004; Swapna 2008; Swapna et al.

2008; Das 2009). Infan N. coucang diketahui memakan sumber pakan tumbuhan

pertamanya pada umur 4 minggu untuk nektar, 17 minggu untuk sari bunga, dan 19 minggu untuk getah (Wiens & Zitzmann 2003b).

Inventarisasi vegetasi pakan N. menagensis baik berdasarkan pengamatan

(44)

25

hutan Bodogol TNGGP (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005;

Pambudi 2008).

Perjumpaan langsung terhadap aktifitas makan kukang jawa jarang sekali ditemukan. Beberapa peneliti melaporkan perjumpaan langsung terhadap aktifitas makan kukang di alam. Kukang jawa memakan nira dari aren (Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti et al. 2005) dan memakan semut dari serangga atau

cairan dari kulit cengkeh Syzygium aromaticum (Wirdateti 2003). Kukang jawa

juga memakan bunga atau nektar kaliandra Caliandra calothrysus dan memakan

serangga di pohon tersebut, serta menggigit batang pasang kayang Quercus

lineatea untuk menghisap getahnya (Pambudi 2008).

Penggunaan Vegetasi dan Tinggi Posisi Tidur

Kukang tidur di dahan atau lubang pohon di strata yang tinggi. Tempat tidur yang dipilih yaitu dahan, ranting, pelepah palem, ataupun liana yang memungkinkan mereka bersembunyi dengan aman. Selain bagian vegetasi tersebut kukang tidak pernah menggunakan lubang pohon atau tempat tidur lainnya (Wiens 2002).

Pemilihan tempat tidur (sleeping site) N. coucang di Manjung Malaysia

Barat adalah 73,7% pohon; 19,2% palem-paleman; 5,9% semak; 1,2% liana dengan tinggi di atas permukaan tanah 1,8-35 m. Setiap sepuluh hari N. coucang

yang diamati Wiens (2002) menggunakan 7,4 vegetasi untuk tidur yang berbeda. Kisaran area tidur N. pygmaeus adalah 0,1-3,1 ha. Kukang pygmy cenderung

memilih vegetasi untuk tidur yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Jarak antarvegetasi untuk tidur tersebut berkisar 97,2 -289,6 m (Streicher 2004).

(45)
[image:45.595.113.520.101.401.2]

Tabel 4 Vegetasi untuk tidur kukang di Indonesia

N Nama Lokal Nama latin Famili

Ha-bitus

Ketinggian Kukang (m)*

c Nasi-nasi6 Garcinia parvifolia Guttiferae Pohon - c Isol-isol6 Syzygium alembaticum Myrtaceae Pohon -

c Menti6 Calophyllum sp. - Pohon -

c Sage6 Ormosia sumatrana - Pohon -

c, j Kadaka1, 4,6 Asplenium nidus Linn. Polypodiaceae Epifit -

j Kasungka2 Gnetum cuspidatum Bl. Gnetaceae Pohon 10

j Kondang4 Ficus variegata Bl. Moraceae Pohon 12-30

j Beunying4 Ficus septica Burm. F Moraceae Pohon 12-30 j Kiara koneng4 Ficus annulata Bl. Moraceae Pohon 12-30

j Hamerang4 Ficus fulva Reinw. Moraceae Pohon 12-30

j Bambu tali1,7 Gigantochloa apus Kurz. Poaceae Pohon 10-151**

j Bambu surat1 G. pseudoarundinaceae

(Steud.) Widjaja

Poaceae Pohon > 151**

j Puspa2,4 Schima walichii (DC) Korth Theaceae Pohon 102, 12-304

m Slangai7 Swintonia glauca AnnacardiaceaePohon -

m Akar gejuar4 Cnestis platantha Griff. Connaraceae Pohon - m Pempening4 Lithocarpus bennettii

(Miq.) Rehd

Fagaceae Pohon -

m Paring

manis7

Bambusa sp. (1) Poacaea Pohon -

m Buluh7 Bambusa sp. (2) Poacaea Pohon -

Keterangan:

N = Nycticebus; c = coucang, j = javanicus, m = menagensis

* = dari permukaan tanah, ** = pengamatan langsung, - = tidak diketahui/tidak ada data

1 = Winarti (2003); 2 = Wirdateti (2003); 3 = Wirdateti (2005), 4 = Wirdateti et al.

(2005); 6 = Wirdateti & Suparno (2006); 7 = Dahrudin & Wirdateti (2008)

Kukang tidur menyendiri maupun berkelompok dengan kisaran 1-3 individu (Wiens 2002). N. coucang dewasa, induk dengan infan, dan pradewasa tidur

menyendiri atau bertiga dengan individu dewasa atau pradewasa lainnya yang masih dalam kelompok spasial selama 3 dari 10 hari. Kelompok tidur kukang di Manjung Malaysia Barat ini selalu terdiri atas satu infan. Infan tidur memeluk

pinggang induknya. Infan akan tidur terpisah tetapi masih bersebelahan dengan

induk pada umur sekitar enam bulan (Wiens 2002f).

Status Konservasi Kukang Jawa

(46)

27

14 Pebruari 1973, no. 66/Kpts/Um/2/1973, dan kemudian diperkuat oleh Peraturan Perundang-undangan no. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Kukang yang disebutkan dalam undang-undang dan peraturan tersebut adalah N. coucang namun mengingat waktu pembuatan aturan

hukum tersebut sebelum adanya pemisahan spesies kukang menjadi lima, maka perlindungan tersebut juga ditujukan terhadap seluruh jenis kukang di Indonesia.

Kukang jawa termasuk dalam 25 satwa primata yang paling terancam selama kurun waktu 2008-2010 (Mittermeier et al. 2009). Konvensi CITES

(Convention on International Trade of Endangered Species of Flora dan Fauna)

XIV di Den Haag Belanda pada tanggal 3-15 Juni 2007 meningkatkan status kukang jawa dari kategori Apendiks II menjadi Apendiks I (UNEP-WCMC 2007). Sebelum terdaftar dalam Apendiks I, kukang jawa telah dilindungi oleh undang-undang dan peraturan perlindungan satwa Indonesia. Peningkatan kategori Apendiks I semakin menguatkan perlindungan kukang jawa karena dengan termasuk dalam Apendiks I berarti kukang jawa diakui sebagai satwa terancam punah dan perdagangan Internasional untuk tujuan komersil tidak diperbolehkan sama sekali.

Status konservasi kukang jawa menurut IUCN (International Union for the Conservation of Nature dan Natural Resources) (Nekaris & Shekelle 2008)

telah berubah semakin terancam. Pada awalnya kukang jawa termasuk dalam status low risk atau kurang terancam. Pada tahun 2000 statusnya meningkat

menjadi data defiecient atau kekurangan data, dan pada tahun 2008 menjadi

endangered atau hampir punah. Kriteria kukang jawa menurut Redlist Categories and Crietria adalah En A2cd (Nekaris & Shekelle 2008).

(47)

Gambar

Tabel 2  Ciri morfologi kukang jawa
Gambar 5 Tapetum Lucidum, Rhinarium, Toilet Claw, dan ibu jari yang oposit (berseberangan) pada kukang jawa (foto: Tarniwan)
Tabel 3  Perbedaan berat dan panjang tubuh lima spesies kukang
Gambar 6  Siklus rotasi talun (foto: Winarti & Tarniwan)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seruan mengenai bahaya DBD yang ber- sumber dari lingkungan sekitar (tetangga) mengenai penyakit DBD serta pencegahannya tidak pernah didapatkan sekalipun beberapa

Variasi konsentrasi alginat yang digunakan dalam formulasi serbuk effervescent sari jeruk lemon adalah 1, 2, 3 dan 4%.Kisaran konsentrasi ini berdasarkan hasil

Distribusi Triangular dari komponen biaya akan digunakan untuk menjalankan simulasi Monte Carlo. Metode perkiraan biaya proyek Monte Carlo berdasarkan pada

Keselamatan yang ditawarkan dalam Kristus jauh lebih baik ketimbang berkat yang ditawarkan oleh para guru palsu di Kolose. Keutamaan Kehidupan

Menur unnya tingkat kerusa kan wilaya h pesisir dan laut GAMBUT Meningkatnya luasan lahan gambut yang terpulihkan sebesar 5% dari luas KHG yang sudah ditentukan

Sumber-sumber primer kedua yang dimaksud adalah sumber data berupa video yang diambil dari media sosial yaitu youtobe yang terkait dengan penelitian, alasan

Reguler 300 Blok M Rawamangun Patas 16 Rambutan Tanah Abang Reguler 106 Senen Cimone Patas AC 82 Tanjung Priok Depok Reguler 103 Grogol Cimone Patas AC 135 Tanjung Priok Ciputat

”Untuk pelajaran Fikih saya biasanya Sering menggunakan metode Ceramah, akan tetapi dalam materi yang menuntut harus dipraktekkan seperti pelaksanaan ibadah Haji ini,