• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Strategy of Secondary Educational Development and Stakeholder Participation in Bangka Regency after Regional Proliferation.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Strategy of Secondary Educational Development and Stakeholder Participation in Bangka Regency after Regional Proliferation."

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH

DAN PARTISIPASI

STAKEHOLDER

DI KABUPATEN

BANGKA PASCA PEMEKARAN WILAYAH

HARI SUBARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

Hari Subari

(4)

RINGKASAN

HARI SUBARI. Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi

Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan FREDIAN TONNY NASDIAN.

Kabupaten Bangka adalah salah satu wilayah administratif yang terletak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dimekarkan pada tahun 2003 menjadi empat kabupaten terdiri dari satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru. Saat ini Kabupaten Bangka sedang dalam tahap untuk meningkatkan akses pendidikan yang luas di jenjang pendidikan menengah karena saat ini nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah adalah sebesar 82.29 persen, sedangkan target nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah secara nasional pada tahun 2020 adalah sebesar 97 persen.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan pendidikan menengah dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka setelah pemekaran wilayah. Metode analisis yang digunakan yaitu: 1) Analisis Regresi Data Panel untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai angka partisipasi kasar (APK), 2) AnalisisDeskriptif (Metode Diskusi Objektif, Reflektif, Interpretatif dan Decision atau ORID) untuk menganalisis tingkat partisipasi

stakeholder, dan 3) Analisis Proses Hirarki (AHP) untuk menentukan skala prioritas pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.

Hasil penelitian menunjukkan nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah dipengaruhi oleh jumlah penduduk usia pendidikan menengah, jumlah ruang kelas pendidikan menengah, dan luas wilayah kecamatan. Berdasarkan pada delapan tangga Arstein, secara keseluruhan tingkat partisipasi

stakeholder termasuk dalam tingkat partnership (kemitraan). Hal ini berarti bahwa terdapat kesepakatan bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta adanya kesamaan pandangan antara stakeholder dalam perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan. Pandangan stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka menilai penyediaan dana jauh lebih penting dibandingkan peningkatan partisipasi stakeholder dan partisipasi masyarakat. Selanjutnya, pengembangan tenaga pendidik serta sarana dan prasarana dinilai jauh lebih penting dari pengembangan aparatur negara.

(5)

SUMMARY

HARI SUBARI. The Strategy of Secondary Educational Development and Stakeholder Participation in Bangka Regency after Regional Proliferation. Supervised by ERNAN RUSTIADI and FREDIAN TONNY NASDIAN.

Bangka regency is one of the administratif areas in the Province of Bangka Belitung island and becomes four regency with one old district and three new districts after the regional proliferation process in 2003. Now, Bangka regency is in processing to increase the secondary education because gross enrollment rate is 82.29 percent and the national target of gross enrollment rate for secondary education in 2020 is 97 percent.

This research was aimed to study secondary educational development and stakeholder participation aftermath regional proliferation in Bangka regency: 1) to analyze the factors that will affect the gross enrollment rate of secondary education, 2) to analyze the participation rate of stakeholder in the developmental of secondary education, and 3) to formulate the strategy for development of secondary education. The analysis methods used in this study were: regression analysis of panel data, descriptive analysis such as objective discussion, reflective, interpretative and decisions, analytical hierarchy process (AHP).

The results showed that the gross enrollment rate was influenced by the the number of secondary education age population, the number of the classrooms secondary education, and the land area of district. Based on eight stars Arstein, the overall participation rate of stakeholders was included in the partnership level. This meant that there was a mutual agreement for sharing the responsibility and the same perception between the stakeholders in the planning and decision-making for the development of education. The views of stakeholders in the development of secondary education in Bangka regency assess the provision of funds is much more important than the increased participation of stakeholder and public participation. Furthermore, the development of teaching staff and facilities assessed far more important than the development of the state apparatus.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER SAINS

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

STRATEGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN

PARTISIPASI

STAKEHOLDER

DI KABUPATEN BANGKA

PASCA PEMEKARAN WILAYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)
(9)

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi

Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah Nama : Hari Subari

NIM : A156110204

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ernan Rustiadi, MAgr Ketua

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji Syukur dipanjatkan kepada Allah SWT. atas Ridho-Nya maka penyusunan hasil penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian yang berjudul Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder di Kabupaten Bangka Pasca Pemekaran Wilayah ini merupakan tahap akhir dalam menyelesaikan pendidikan.

Penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada: Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr dan Ir Fredian Tonny Nasdian, MS. selaku komisi pembimbing, Prof Dr Ir Santun RP Sitorus selaku Ketua Program Studi PWL beserta seluruh dosen pengajar dan staf, H Yusroni Yazid, SE selaku Bupati Bangka, Drs Yunan Helmi, MSi. (Kepala Dinas) dan Zuniar, SE (Kepala Bidang Perencanaan) pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka beserta teman-teman sekantor. Special thank you to ibunda Holiyah beserta Eddy (first bro) Sil dan Dinda, Eddo (second bro),

ibunda mertua Zubaidah, A’ Irma dan Bang Narto, Yuk Elis dan Bang Toni, My

lovely family: Firdia Agustin (istri) dan Fatih Annafis (anak) untuk doa, pengorbanan, pengertian, dan dukungannya, serta kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu.

(11)
(12)
(13)

Dan apabila hamba

-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah

bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila

ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku dan

segala larangan-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku (Yakin bahwa Aku selalu

hadir dikehidupannya), agar mereka selalu berada dalam kebenaran .

(Q.S. Al-Baqarah: 186)

Ku persembahkan karya ini kepada:

Ayahanda Sopiyan (alm) dan Ibunda Holiyah,

Ibunda mertua Zubaidah,

Adik-adikku tersayang: Eddy Sugara dan Hamdu Santoso,

My Lovely wife

(Firdia Agustin)

and our hero

(Fatih Annafis),

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 11

Pemekaran Wilayah 11

Pendidikan 13

Partisipasi Stakeholder 16

Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan

Menengah dan Partisipasi Stakeholder 19

METODE PENELITIAN 23

Lokasi dan Waktu 23

Bahan dan Alat 23

Metode dan Teknik Analisis Data 24

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 27

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka 27

Letak Geografis dan Administratif Wilayah 28

Keadaan Alam 30

Profil Sosial Budaya 31

KERAGAAN PENDIDIKAN MENENGAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI ANGKA PARTISIPASI KASAR (APK) 33

Keragaan Pendidikan Menengah 33

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) 36 TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN MENENGAH 45

Bentuk Partisipasi Stakeholder 45

Tingkat Partisipasi Stakeholder 48

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH PASCA PEMEKARAN

KABUPATEN BANGKA 57

Pemekaran Wilayah, Tingkat Partisipasi dan Pendidikan 57

Strategi Pengembangan Pendidikan Menengah 59

SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

(16)

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 71

(17)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun

2003 5

2 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun

2011 6

3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008) 26

4 Jarak dari Sungailiat ke daerah lainnya 28

5 Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010 31 6 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum

dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka 33

7 Jumlah gedung sekolah jenjang pendidikan menengah sebelum dan

setelah pemekaran di Kabupaten Bangka 34

8 Daya tampung pendidikan menengah (ruang kelas) sebelum dan setelah

pemekaran Kabupaten Bangka 35

9 Hasil regresi data panel 36

10 Hasil uji korelasi 37

11 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan 45 12 Bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan kegiatan 46

13 Jumlah skor tiap tangga tingkat partisipasi 48

14 Perhitungan tingkat kehadiran dalam pertemuan 48 15 Perhitungan tingkat keaktifan dalam berdiskusi dan mengemukakan

pendapat 50

16 Perhitungan tingkat keaktifan untuk terlibat dalam kegiatan fisik 52

17 Perhitungan tingkat kesediaan untuk membayar 53

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan 3

2 Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan 3

3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

tahun 2003 5

4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

tahun 2011 6

5 Delapan tangga tingkat partisipasi (Arnstein 1969 dalam Chusnah

2008) 18

6 Lokasi penelitian 23

7 Bagan alir penelitian 24

8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008) 26

9 Lokasi kecamatan sampel 29

10 Adat sepintu sedulang atau lebih dikenal dengan sebutan nganggung

atau nganggong di Pulau Bangka 32

11 Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah sebelum

dan setelah pemekaran Kabupaten Bangka 34

12 Sebaran rasio penduduk usia pendidikan menengah pada tahun 2011 38 13 Sebaran rasio daya tampung pendidikan menengah pada tahun 2011 39 14 Sebaran jumlah ruang kelas pendidikan menengah pada tahun 2011 40 15 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 41 16 Sebaran jumlah prasarana pendidikan menengah pada tahun 2011 42

17 Sebaran kepadatan penduduk pada tahun 2011 43

18 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap awal kegiatan 45 19 Diagram bentuk partisipasi stakeholder pada tahap pelaksanaan

kegiatan 47

20 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kehadiran dalam

pertemuan 49

21 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan dalam

berdiskusi dan mengemukakan pendapat 51

22 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat keaktifan untuk terlibat

dalam kegiatan fisik 52

23 Diagram partisipasi stakeholder pada tingkat kesediaan untuk

membayar 54

24 Hasil AHP dari level alternatif 59

25 Hasil AHP dari level kriteria 60

26 Hasil AHP dari faktor partisipasi stakeholder 61

27 Hasil AHP dari faktor partisipasi masyarakat 61

28 Hasil AHP dari faktor ketersediaan dana 62

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Pemali 71 2 Rekapitulasi jawaban kuesioner ORID Kecamatan Mendo Barat 71 3 Rekapitulasi jawaban wawancara mendalam kepada stakeholder sektor

pendidikan tingkat Kabupaten Bangka 71

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemekaran wilayah semakin marak terjadi sejak diterapkannya sistem otonomi daerah sebagai implikasi penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang kepada suatu daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-undang ini mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus, dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih dengan syarat yang diatur dalam undang-undang. Pemekaran wilayah diharapkan akan membentuk daerah yang mampu menghidupi kebutuhan pembangunan secara mandiri. Adapun tujuan pemekaran wilayah sebagaimana tertuang dalam berbagai peraturan perundangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui: 1) Peningkatan pelayanan kepada masyarakat, 2) Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, 3) Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, 4) Percepatan pengelolaan potensi daerah, 5) Peningkatan keamanan dan ketertiban, 6) Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

Menurut Mardiasmo dalam Hermani (2007), otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: 1) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, 2) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan. Selanjutnya Effendy (2008) menyatakan bahwa pemekaran wilayah yang dilakukan pada beberapa daerah dimaksudkan agar terjadi peningkatan kemampuan pemerintah daerah, berupa makin pendeknya rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.

(22)

2

Todaro (1998) menyatakan bahwa sumber daya manusia dari suatu bangsa merupakan faktor paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi dari bangsa yang bersangkutan. Keberhasilan pembangunan di suatu daerah tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan pengembangan sumber daya manusia, disamping ketersediaan sumber alam, modal dan teknologi yang dimiliki. Selain itu juga, terdapat empat unsur yang menjadi modal dalam upaya pengembangan wilayah yaitu sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya infrastruktur, dan sumber daya sosial. Kemudian Iwahashi (2004) menyatakan bahwa pengembangan suatu wilayah bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi penduduknya. Meningkatnya taraf kehidupan ekonomi akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi penduduk untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Penduduk yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan memiliki peran untuk mengisi sektor-sektor pembangunan karena memiliki nilai keunggulan komparatif yang memadai. Selanjutnya Nasution (2011) menyatakan bahwa pendidikan dapat merupakan faktor yang menentukan kedudukan, rasa harga diri, rasa ketentraman hidup yang turut menentukan prasangka. Pendidikan adalah suatu aktivitas masyarakat yang berfungsi mentransformasikan keadaan suatu masyarakat menuju keadaan yang lebih baik. Pendidikan merupakan wadah untuk membentuk kepribadian dan watak masyarakat yang berilmu dan berbudaya serta dapat menunjukkan tingkat peradaban suatu bangsa.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs.) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Adapun usia jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar yaitu 7-12 tahun dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu 13-15 tahun, jadi dapat dikatakan bahwa jenjang pendidikan dasar berusia antara 7-15 tahun. Kemudian untuk jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/MAK) yaitu 16-18 tahun.

(23)

3

Gambar 1 Wilayah Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan

Kabupaten Bangka sebelum dimekarkan memiliki wilayah seluas 11 554 km², terdiri dari 22 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat, Pemali, Bakam, Riau Silip, Puding Besar, Toboali, Payung, Simpang Rimba, Lepar Pongok, Air Gegas, Koba, Pangkalan Baru, Namang, Sungai Selan, Mentok, Simpang Teritip, Kelapa, Jebus, dan Tempilang. Wilayah Kabupaten Bangka setelah dimekarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 2.

(24)

4

Kabupaten Bangka setelah dimekarkan memiliki wilayah seluas 2 950.68 km², terdiri dari 8 kecamatan yaitu Sungailiat, Belinyu, Merawang, Mendo Barat, Pemali, Bakam, Riau Silip, dan Puding Besar.

Salah satu indikator kinerja utama yang digunakan untuk menilai keberhasilan program pendidikan dan juga indikator keberhasilan sistem pendidikan dalam mendidik anak-anak dan remaja adalah nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) yang dapat juga memberikan gambaran secara umum banyaknya anak-anak yang sedang atau telah menerima pendidikan pada jenjang tertentu. Angka Partisipasi Kasar (APK) merupakan indikator yang paling sederhana dalam mengukur daya serap penduduk usia sekolah untuk masing-masing jenjang pendidikan. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) dapat diperoleh dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut atau jumlah siswa jenjang pendidikan tertentu dibagi jumlah penduduk kelompok usia tertentu dikalikan seratus persen. Makin tinggi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah disuatu daerah, atau makin banyak anak usia di luar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan tertentu. Nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah diperoleh dengan cara sebagai berikut: jumlah penduduk yang sedang bersekolah (jumlah siswa) tingkat SMA/SMK/MA negeri dan swasta dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia pendidikan menengah (16-18 tahun) kemudian dikalikan dengan 100 persen. Semakin tinggi Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah, berarti semakin banyak penduduk usia sekolah SMA/SMK/MA yang bersekolah sehingga akan semakin baik (Kemdiknas 2009).

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Kabupaten Bangka pada tahun 2011 untuk jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Dasar (SD) Angka Partisipasi Kasar (APK) sudah mencapai 114.25 persen dan untuk jenjang pendidikan dasar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 109.13 persen. Hal ini dapat menjadi gambaran keberhasilan pemerintah Kabupaten Bangka dalam melaksanakan program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun karena nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) ditargetkan secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar (SD/SMP) sebesar 95 persen sudah tercapai. Tetapi pada jenjang pendidikan menengah Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk tingkat SMA/SMK/MA di Kabupaten Bangka sebesar 82.29 persen dan masih jauh untuk target secara nasional pada tahun 2020 sebesar 97 persen.

Salah satu penyebab tingginya nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan dasar dikarenakan ketersediaan prasarana yang sangat memadai. Setiap desa sudah memiliki Sekolah Dasar (SD) atau sederajat minimal dengan daya tampung enam ruang kelas. Demikian juga untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat minimal tiap kecamatan sudah memiliki dua unit minimal dengan daya tampung enam ruang kelas. Beda halnya dengan jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA) yang tidak terdapat di setiap desa atau pun kelurahan. Bahkan di Kabupaten Bangka ketersediaan prasarana pendidikan menengah terdapat di setiap kecamatan baru dapat terealisasi pada tahun 2009.

(25)

5 dan 5 MA (1 berstatus negeri dan 4 berstatus swasta) yang tersebar hampir di seluruh kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2003

No. Nama kecamatan Sekolah (N/S) Jumlah

SMA SMK MA

1 Sungailiat 7 6 1 14

2 Mendo Barat 2 1 2 5

3 Belinyu 4 2 0 6

4 Merawang 1 1 1 3

5 Riau Silip 0 0 1 1

6 Puding Besar 1 0 0 1

7 Pemali 1 0 0 1

8 Bakam 0 0 0 0

Jumlah 16 10 5 31

Sumber: DISDIK (2004)

Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2003 sebagaimana terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2003

(26)

6

Tampak pada Tabel 2, menggambarkan kondisi prasarana pendidikan menengah sudah hampir tersebar merata diseluruh kecamatan, namun masih ada satu kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah yaitu Kecamatan Bakam.

Kemudian, setelah delapan tahun pemekaran atau tepatnya pada tahun 2011, Kabupaten Bangka telah memiliki 15 SMA (8 berstatus negeri dan 7 berstatus swasta), 7 MA (1 berstatus negeri dan 6 berstatus swasta) serta 9 SMK (4 berstatus negeri dan 5 berstatus swasta) dan sudah terdapat atau tersebar merata diseluruh kecamatan, sebagaimana tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah prasarana pendidikan menengah di Kabupaten Bangka tahun 2011

No. Nama kecamatan Sekolah (N/S) Jumlah

SMA SMK MA

1 Sungailiat 6 5 0 11

2 Mendo Barat 1 1 3 5

3 Belinyu 3 3 0 6

4 Merawang 1 0 2 3

5 Riau Silip 1 0 1 2

6 Puding Besar 1 0 0 1

7 Pemali 1 0 1 2

8 Bakam 1 0 0 1

Jumlah 15 9 7 31

Sumber: DISDIK (2012)

Kondisi keragaan pendidikan untuk sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2011 atau delapan tahun setelah pemekaran Kabupaten Bangka sebagaimana terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4 Sebaran nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah tahun 2011

(27)

7 peningkatan yaitu sudah di atas 85 persen. Bahkan untuk Kecamatan Belinyu sudah mencapai di atas 90 persen. Demikian juga halnya untuk Kecamatan Riau Silip, Puding Besar dan Merawang yang sudah berkisar di atas 70 persen. Kecamatan yang memiliki nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah paling rendah adalah Kecamatan Bakam yang masih berkisar di bawah 70 persen, yaitu 54,12 persen.

Terwujudnya pemekaran Kabupaten Bangka menjadi empat kabupaten dengan satu kabupaten induk dan tiga kabupaten baru menarik minat penulis untuk mengadakan penelitian bagaimana strategi pengembangan pendidikan menengah dan partisipasi stakeholder di Kabupaten Bangka pasca pemekaran wilayah. Hal ini perlu dilakukan karena bukan suatu hal yang mustahil setelah dimekarkan, pengembangan pendidikan menengah mengalami kemunduran ataupun jalan ditempat sehingga berpengaruh terhadap daya serap pendidikan menengah yang akan mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.

Perumusan Masalah

Salah satu kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah dalam sistem otonomi daerah yaitu urusan bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan pendidikan menengah karena urusan pendidikan tinggi masih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam konteks pemekaran wilayah diharapkan pelayanan pendidikan akan lebih mempercepat tersedianya sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dan keterampilan ilmiah sehingga dapat berperan dalam pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya.

Pemekaran wilayah telah memberikan ruang dan kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat dan pemerintah melalui stakeholder untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan daerah karena tranformasi sentralisasi menjadi desentralisasi mengharuskan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Pemekaran Kabupaten Bangka pada tahun 2003 merupakan implikasi dari pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2001. Setelah dimekarkan tentu saja ruang lingkup wilayah menjadi lebih kecil namun hal ini harus menjadi motivator bagi pemerintah daerah untuk berbuat lebih baik dalam hal pelayanan masyarakat.

Realita sekarang ketersediaan prasarana pendidikan menengah terutama untuk pendidikan menengah kejuruan belum terdistribusi secara merata. Masih ada empat kecamatan yang belum memiliki prasarana pendidikan menengah kejuruan. Demikian juga untuk sarana penunjangnya, keberadaan laboratorium dengan peralatan yang lengkap masih menjadi sarana penunjang yang langka bila dibandingkan dengan sekolah jenjang pendidikan menengah yang berada di Kecamatan Sungailiat.

(28)

8

prasarana pendidikan memadai karena sebagian peserta didiknya melanjutkan pendidikan menengah ke kecamatan lain.

Dari permasalahan diatas, petanyaan penelitian dalam karya ilmiah ini yaitu: 1 Bagaimana dampak pemekaran Kabupaten Bangka terhadap nilai Angka

Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah?

2 Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?

3 Bagaimana tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?

4 Bagaimana persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?

5 Bagaimana arahan strategi pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pemekaran Kabupaten Bangka diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Upaya memperluas dan memberikan kemudahan akses pendidikan bagi masyarakat, percepatan pembangunan infrastruktur pendidikan seharusnya menjadi prioritas untuk ditingkatkan karena pemerintah daerah dapat lebih fokus untuk membangun dalam ruang lingkup wilayah yang tidak terlalu luas serta alokasi dana bantuan pembangunan infrastruktur pendidikan dari pemerintah pusat akan langsung dikelola oleh pemerintah kabupaten masing-masing. Namun, pembangunan infrastruktur pendidikan harus diikuti dengan peningkatan daya serap untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan.

Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan:

1 Menganalisis tingkat Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran

2 Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka 3 Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan

pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

4 Menganalisis persepsi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka dan merumuskan arahan strategi pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi pendidikan menengah sehingga menjadi bahan masukan dalam menyusun rencana strategis pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka.

Ruang Lingkup Penelitian

(29)

9 1 Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung,

2 Jenjang pendidikan menengah (SMA, SMK, MA negeri/swasta),

(30)
(31)

11

TINJAUAN PUSTAKA

Pemekaran Wilayah

Pengertian, maksud dan tujuan

Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponennya memiliki arti di dalam pendeskripsian perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Terlepas dari unsur politis yang menyelimutinya, bahwa tujuan mulia dilakukannya pembangunan daerah dalam konteks pemekaran wilayah adalah kesejahteraan. Pemekaran wilayah juga akan mewujudkan birokrasi pemerintahan menjadi lebih efektif dan efisien. Secara umum, pemekaran wilayah merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah, dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan. Menurut Juanda (2007), tujuan ideal dari pemekaran wilayah adalah dapat diwujudnyatakannya melalui peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efektif dan efisien, dapat meningkatkan pelayanan dasar publik, menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat serta dapat akses langsung pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dengan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota.

(32)

12

antar sektor, memperkuat integrasi nasional yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas hidup.

Riyadi dan Bratakusumah (2004) berpendapat bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Tentu saja upaya ini sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan keadaan geografis yang ada disetiap wilayah sangat berbeda-beda, sehingga diperlukan perlakuan yang berbeda-beda pula dan pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Beberapa konsep pengembangan wilayah, antara lain: 1) mendorong dekonsentrasi wilayah, dimana konsep ini bertujuan untuk menekan tingkat konsentrasi wilayah dan untuk membentuk struktur ruang yang tepat, terutama pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan, 2) membangkitkan kembali daerah terbelakang sebagai daerah yang memiliki karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapata perkapita yang rendah, dan rendahnya tingkat fasilitas pelayanan masyarakat, 3) memodifikasi sistem kota, merupakan sebagai pengontrol urbanisasi menuju pusat-pusat pertumbuhan, yakni dengan adanya pengaturan sistem perkotaan maka telah memiliki hirarki yang terstruktur dengan baik. Hal ini diharapkan akan dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar.

Dasar Hukum dan Syarat Teknis Pemekaran Wilayah

Payung hukum terjadinya pemekaran wilayah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Oleh karena itu, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan bahwa undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah. Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat (3) yang menyatakan bahwa pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Kemudian ayat (4) menyebutkan bahwa pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

(33)

13 DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini, antara lain: 1) kemampuan ekonomi, merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung disuatu daerah propinsi, kabupaten/kota, yang dapat diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penerimaan daerah sendiri, 2) potensi daerah, merupakan cerminan tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari lembaga keuangan, sarana ekonomi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi, sarana pariwisata dan ketenagakerjaan, 3) sosial budaya, merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatan, tempat kegiatan institusi sosial dan budaya, serta sarana olahraga, 4) sosial politik, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari partisipasi masyarakat dalam politik dan organisasi kemasyarakatan, 5) kependudukan, merupakan jumlah total penduduk suatu daerah, 6) luas daerah, merupakan luas tertentu suatu daerah, 7) pertahanan dan keamanan merupakan kesiapan system pertahanan dan kondisi keamanan yang kondusif, 8) faktor-faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, meliputi paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, dan paling sedikit 5 kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Pembentukan daerah otonom baru tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Oleh karena itu dalam usulan pembentukan daerah baru harus dilengkapi dengan kajian daerah.

Pendidikan

(34)

14

langsung terhadap pembangunan ekonomi. Pendidikan, misalnya merupakan investasi yang meningkat mungkin dapat dicarikan alasan bahwa di satu pihak Infrastruktur Pendidikan

Menurut Amirin (2011), bahwa infrastruktur pendidikan disebut juga sarana dan prasarana pendidikan. Kerap kali istilah itu digabung begitu saja menjadi sarana-prasarana pendidikan. Dalam bahasa Inggris sarana dan prasarana itu disebut dengan facility (facilities). Jadi, sarana dan prasarana pendidikan akan disebut

educational facilities. Sebutan itu jika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan artinya segala sesuatu (alat dan barang) yang memfasilitasi (memberikan kemudahan) dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Definisi secara umum tentang sarana pendidikan sebagai segala macam alat yang digunakan secara langsung dalam proses pendidikan dan

prasarana pendidikan adalah segala macam alat yang tidak secara langsung digunakan dalam proses pendidikan. Sarana pendidikan adalah segala macam alat yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, sementara prasarana pendidikan tidak digunakan dalam proses atau kegiatan belajar-mengajar. Erat terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan itu, dalam daftar istilah pendidikan dikenal pula sebutan alat bantu pendidikan (teaching aids), yaitu segala macam peralatan yang dipakai guru untuk membantunya memudahkan melakukan kegiatan mengajar. Alat bantu pendidikan ini yang pas untuk disebut sebagai sarana pendidikan. Jadi, sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan guru untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran.

Selanjutnya Amirin (2011) juga menyatakan jika dilihat dari sudut murid, sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan murid untuk memudahkan mempelajari mata pelajaran dan prasarana pendidikan adalah segala macam peralatan, kelengkapan, dan benda-benda yang digunakan guru (dan murid) untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan. Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana pendidikan adalah pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk memudahkan penyampaian/mempelajari materi pelajaran sedangkan prasarana pendidikan untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan

Terdapat lima faktor yang harus ada pada proses belajar mengajar yaitu ; guru, murid, tujuan, materi dan waktu. Ketidakadanya salah satu dari faktor tersebut, maka proses belajar mengajar tidak mungkin terjadi. Walaupun sudah memenuhi lima faktor tersebut, proses belajar mengajar terkadang memperoleh hasil yang tidak maksimal. Hasil yang maksimal dapat ditingkatkan apabila didukung dengan sarana dan prasarana penunjang yang memadai. Bafadal (2004) menyatakan bahwa prasarana pendidikan adalah semua perangkat perlengkapan dasar yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses pendidikan di sekolah.

Fungsi dan Tujuan

(35)

15 mencerdaskan dan mendewasakan anak didik. Dalam pengertian sempit, pendidikan berarti pembuatan atau proses pembuatan untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Marimba (1981) bahwa pendidikan merupakan suatu bimbingan atau pimpinan dilakukan secara sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak menuju terbentuknya kepribadian prima. Upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang berperadaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang sadar akan hak dan kewajibannya, demokratis, bertanggung jawab, berdisiplin, menguasai sumber informasi dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi dan seni, budaya dan agama. Proses pendidikan yang berlangsung haruslah menciptakan arah yang sejalan dengan upaya pencapaian masyarakat madani. Dampak dari proses perubahan dunia yang cepat berdampak pada perubahan nilai dan menciptakan perbedaan dalam melihat berbagai nilai yang berkembang dalam masyarakat. Pendidikan memegang peranan penting dalam membentuk dan menciptakan masyarakat sesuai dengan yang diharapkan. Keberadaan pendidikan, apa yang dicita-citakan masyarakat dapat diwujudkan melalui anak didik sebagai generasi masa depan. Adapun tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Sastrawijaya dalam Idi (2011) adalah mencakup kesiapan jabatan, keterampilan memecahkan masalah, penggunaan waktu senggang secara membangun, dan sebagainya karena tiap siswa/anak mempunyai harapan yang berbeda. Tujuan pendidikan secara umum menyangkut kemampuan luas yang akan membantu siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat.

(36)

16

masyarakat sangat besar manfaat dan artinya bagi kepentingan pembinaan dukungan moral, materiil, dan pemanfaatan masyarakat sebagai sumber belajar.

Partisipasi Stakeholder

Pengertian partisipasi

Terdapat banyak definisi mengenai partisipasi diantaranya adalah sebagai berikut: 1) bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja, yang berarti keterlibatan pikiran dan perasaannya (Allport dalam Sastropoetro 1988:12), 2) partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan (Davis dalam Sastropoetro 1988:13), 3) partisipasi adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan (Soetrisno 1995:207)

Menurut FAO dalam Mikkelsen (2003:64): 1) partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan, 2) partisipasi adalah pemekaan (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan, 3) partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu, 4) partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social, 5) partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri, 6) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.

Schubeller (1996:3) menyatakan, bahwa partisipasi tidak dapat dipisahkan dari pemberdayaan dan menurutnya ada 4 pendekatan strategi partisipasi yaitu: 1)

community–based strategies merupakan bentuk paling dasar dari pembangunan partisipatif, 2) area-based strategies merupakan bentuk umum dari program-program pemerintah, 3) functionally-based strategies merupakan struktur fungsional dari sistem infrastruktur sebagai kerangka referensi, 4) process-based strategies merupakan seluruh proses manajemen infrastruktur sebagai kerangka referensi.

Pengertian tentang partisipasi secara formal adalah turut sertanya seseorang, baik secara mental maupun emosional untuk memberikan sumbangan kepada proses pembuatan keputusan mengenai persoalan dimana keterlibatan pribadi orang yang bersangkutan melaksanakan tanggung jawab untuk melakukannya (Talizuduhu 1990:103 dalam Chusnah 2008). Selanjutnya Korten dalam

(37)

17 Menurutnya, partisipasi diartikan sebagai dana yang dapat disediakan atau dapat dihemat sebagai sumbangan atau kontribusi masyarakat pada proyek-proyek pemerintah.

Pengertian stakeholder

Istilah stakeholder sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagai ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana.

Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Menurut Hatry dalam Rosyada (2004:276) menyatakan bahwa stakeholder

adalah salah satu kategori masyarakat sekolah, yang merupakan unsur-unsur sekolah yang jika salah satu unsur tersebut tidak ada, maka proses persekolahan tersebut menjadi terganggu. Definisi ini lebih diperjelas dalam Kamus Manajemen Mutu yang menyatakan bahwa stakeholder adalah kelompok atau individu di dalam atau luar organisasi yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi oleh pencapaian misi, tujuan dan strategi organisasi biasanya terdiri atas pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemerintah dan peraturannya.

Tingkatan dalam partisipasi

Arstein (1969) dalam Chusnah (2008), menyatakan delapan tangga tingkat partisipasi yaitu: kesatu, manipulation (manipulasi). Tingkat partisipasi ini merupakan tingkatan paling rendah yang memposisikan masyarakat hanya dipakai sebagai pihak yang memberikan persetujuan dalam berbagai badan penasehat. Dalam hal ini tidak ada partisipasi masyarakat yang sebenarnya dan tulus, tetapi diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi dari pihak penguasa. Kedua,

theraphy (terapi/penyembuhan) yaitu berkedok melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, para ahli memperlakukan anggota masyarakat seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi. Meskipun masyarakat terlibat dalam kegiatan namun pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mendapatkan masukan dari masyarakat demi kepentingan pemerintah. Ketiga, informing

(38)

18

Meskipun masyarakat terlibat digunakan adalah survei, pertemuan lingkungan masyarakat, dan dengar pendapat dengan masyarakat.

Selanjutnya, kelima, placation (penentraman/perujukan) yaitu pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerjasama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya wakil dari berbagai instansi pemerintah. Walaupun usulan dari masyarakat diperhatikan sesuai dengan kebutuhannya, namun suara masyarakat seringkali tidak didengar karena kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding anggota dari instansi pemerintah. Keenam, partnership (kerjasama) yaitu pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggung jawab dalam perencanaan dan pembuatan keputusan serta pemecahan berbagai masalah. Terdapat kesamaan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat. Ketujuh, delegated power (pelimpahan kekuasaan) yaitu pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk memberikan keputusan dominan pada rencana atau program tertentu. Upaya memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan harus mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. Jadi masyarakat diberi wewenang untuk membuat keputusan rencana dan rencana tersebut kemudian ditetapkan oleh pemerintah, dan kedelapan, citizen control

(kontrol masyarakat) yaitu pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihak-pihak luar yang hendak melakukan perubahan. Hal ini terdapat usaha bersama warga bisa langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk mendapat bantuan atau pinjaman tanpa melalui pihak ketiga. Jadi masyarakat memiliki kekuasaan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program yang dibuatnya. Delapan tangga tingkat partisipasi menurut Arstein (1969), sebagaimana terdapat pada Gambar 5.

(39)

19 Tampak pada Gambar 5, pada tingkat 1 dan 2 disimpulkan sebagai tingkat yang bukan partisipasi atau non participation. Tingkat 3, 4, dan 5 disebut tingkatan penghargaan/ tokenisme atau Degree of Tokenism. Tingkat 6, 7, 8 disebut tingkatan kekuatan masyarakat atau Degree of Citizen Power.

Beberapa Metode Analisis untuk Kajian Pengembangan Pendidikan Menengah dan Partisipasi Stakeholder

Analisis Regresi Data Panel

Menurut Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau crosssection.

Data panel merupakan analisis untuk menjelaskan hubungan antara peubah respon (variabel dependen) dengan faktor-faktor yang mempengaruhi lebih dari satu prediktor (variabel independen). Data panel (longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya, jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit

cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan

time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.

Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun teori ekonomi. Manfaat penggunaan panel data adalah sebagai berikut: 1) mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini melakukan estimasi secara eksplisit dengan memasukkan unsur heterogenitas individu, 2) memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, sehingga diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien, 3) mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section

murni atau time series murni, 4) dapat menguji dan membangun model prilaku yang lebih kompleks, 5) lebih baik untuk studi dynamic of adjustments karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Berdasarkan keunggulan tersebut maka tidak harus dilakukan pengujian asumsi klasik dalam model data panel (Verbeek 2000; Gujarati 2006; Wibisono 2005; Aulia 2004, dalam Shochrul dan Ajija 2011 ).

Terdapat tiga macam estimasi model yang dapat digunakan dalam analisis regresi data panel yaitu model common effects, fixed effects, dan random effects. Pada dasarnya, perbedaan yang mendasari ketiganya adalah keberadaan efek spesifik individu (αi). Keberadaan efek spesifik individu dan korelasinya dengan variabel penjelas yang teramati (Xit) sangat menentukan spesifikasi model yang akan digunakan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

(40)

20

untuk mengestimasi model data panel. Pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi individu maupun waktu, dan dapat diasumsikan bahwa perilaku data antar wilayah sama dalam berbagai rentang waktu.

Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t) digunakan untuk menguji parameter secara parsial, dengan kata lain untuk mengetahui apakah variabel independent (x) berpengaruh secara signifikan (nyata) terhadap variabel dependent (y).

H0: βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5,6

H1: βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5,6

Tolak H0 jika p-value (masing-masing koefisien x) < alpha (0,05).

Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) digunakan untuk menguji kelayakan model dan menguji parameter regresi secara keseluruhan :

H0: βi = 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model tidak layak digunakan)

H1: βi ≠ 0, i = 0,1,2,3,4,5, 6 (model layak digunakan)

Tolak H0 jika p-value (prob F-statistic) < alpha (0,05).

Uji korelasi digunakan untuk menentukan terjadi atau tidaknya multikolinearitas. yaitu apabila nilai R-square yang tinggi namun banyak variabel yang tidak signifikan maka dapat dikatakan terjadi multikolinearitas, dan demikian juga sebaliknya. Cara lain yaitu dengan melihat angka korelasi. Apabila korelasi antara variabel penjelas tidak lebih besar dibanding korelasi variabel terikat dengan masing-masing variabel penjelas, maka dapat dikatakan tidak terdapat masalah yang serius sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila angka korelasi lebih kecil dari 0,8 maka dapat dikatakan telah terbebas dari masalah multikolinearitas (Gujarati 2004).

Metode Deskriptif

Menurut Walpole (1992) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan, yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.

Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan data primer dan gagasan, dari hasil diskusi dengan isu yang disepakati, kemudian melakukan refleksi atas isu dan peristiwa yang muncul dan dilakukan suatu pengambilan keputusan. Adapun penarikan sampel digunakan metode pengambilan sampel gugus bertahap (multistage random sampling).

Tahapan yang dilakukan dalam metode ini sebagai berikut: 1) objective, yaitu menyampaikan data-data/fakta-fakta/permasalahan yang ada, 2) reflective, yaitu melihat refleksi/reaksi responden terhadap data-data/fakta-fakta yang telah disampaikan, 3) interpretative, yaitu menggali/mengundang pemikiran kritis responden terhadap data-data/fakta-fakta yang disampaikan, 4) decision, yaitu menentukan keputusan/saran/langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.

(41)

21 analisis sebelumnya. Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi yang digunakan oleh Arstein (1969), yaitu delapan tangga tingkatan partisipasi. Delapan tangga tersebut diberi skor masing-masing berkisar antara 1-8. Berdasarkan hasil penjumlahan skor tersebut akan didapatkan tingkat partisipasi. Analisis Proses Hirarki (Analytic Hierarchy Process atau AHP)

Menurut Falatehan (2009), untuk memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip yaitu prinsip menyusun hirarki, menetapkan prioritas dan konsistensi. Salah satu model analisis data yang dapat digunakan untuk menelaah kebijakan adalah AHP (Analytical Hierarchy Process) yang dikembangkan oleh Saaty pada tahun 1970-an. AHP merupakan suatu teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat

tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006). AHP juga merupakan suatu teori pengukuran relatif dengan skala mutlak dari suatu kriteria baik yang bersifat

tangible maupun intangible yang didasarkan pada penilaian perbandingan berpasangan dari para ahli (Ozdemir dan Saaty 2006).

Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi stakeholder, kemudian diberi bobot mengunakan skala perbandingan (Saaty 2008). Komponen-komponen utama penelitian dibuat urutan secara hierarki lalu diberi nilai (skoring) dalam angka kepada setiap bagian yang menunjukkan penilaian subjektif. Tahap selanjutnya penilaian tersebut kemudian disintesiskan (dengan eigen vector) guna menentukan variabel mana yang mempunyai prioritas tertinggi. Model ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik. Aplikasi AHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu : 1) choice (pilihan), yang merupakan evaluasi atau penetapan prioritas dari berbagai alternatif tindakan yang ada, dan 2) forecasting (peramalan), yaitu evaluasi terhadap berbagai alternatif hasil di masa yang akan datang (Saaty dan Niemira 2006).

(42)
(43)

23

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

[image:43.595.110.502.182.727.2]

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bangka, Provinsi kepulauan Bangka Belitung, dengan luas wilayah 2 950.68 km² atau 295.068 ha persegi terdiri dari 8 kecamatan, 9 kelurahan dan 60 desa. Lokasi penelitian sebagaimana terdapat pada Gambar 6.

Gambar 6 Lokasi penelitian

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bangka merupakan salah satu kabupaten yang dimekarkan pada tahun 2003 sebagai implikasi dari pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang terbentuk pada tahun 2000.

Bahan dan Alat

(44)

24

Untuk keperluan analisis data, perangkat lunak yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah ArcGis ver. 9.3, Eviews 6.0, Expert Choice 11, dan Ms. Office 2010.

Tahapan penelitian mulai dari persiapan sampai pengolahan data terdapat pada Gambar 7.

Gambar 7 Bagan alir penelitian

Metode dan Teknik Analisis Data

Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Bangka, laporan hasil studi terdahulu, serta instansi lainnya yang dapat membantu ketersedian data, terdiri dari: 1) jumlah penduduk usia pendidikan menengah, 2) jumlah daya tampung ruang kelas jenjang pendidikan menengah, dan 3) luas wilayah kecamatan. Adapun profil pendidikan yang dipakai yaitu tahun 1998, 2000 dan 2003 (sampel tahun sebelum pemekaran wilayah) serta tahun 2009 sampai dengan 2011 (sampel tahun setelah pemekaran wilayah).

Data primer diperoleh dengan melakukan kegiatan wawancara langsung menggunakan kuesioner dan diajukan kepada responden (para stakeholder). Metode pengumpulan data: 1) wawancara terstruktur menggunakan kuesioner kepada responden, 2) wawancara mendalam dengan informan, dan 3) data sekunder. Responden dan informan ditentukan secara purposive yaitu stakeholder

bidang pendidikan tingkat Kabupaten Bangka, kecamatan sampel yaitu: Kecamatan Mendo Barat yang mewakili kecamatan tipikal kota dan Kecamatan Pemali yang mewakili kecamatan tipikal desa.

Tahap Persiapan :

1. Pemilihan Topik dan Judul Penelitian 2. Penyusunan Proposal Penelitian 3. Studi Pustaka

4. Pemilihan Metode untuk Analisis Data Tahap Persiapan :

1. Pemilihan Topik dan Judul Penelitian 2. Penyusunan Proposal Penelitian 3. Studi Pustaka

4. Pemilihan Metode untuk Analisis Data

Tahap Pengumpulan Data : - Data Primer :

kuesioner/wawancara/ studi pustaka

- Data Sekunder : studi pustaka

Tahap Pengumpulan Data :

- Data Primer :

kuesioner/wawancara/ studi pustaka

- Data Sekunder : studi pustaka

Tahap Analisis Data

Tahap Analisis Data

Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(ANALISIS REGRESI DATA PANEL)

Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(ANALISIS REGRESI DATA PANEL)

Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam pengembangan pendidikan menengah di

Kabupaten Bangka

(METODE DISKUSI (Objectif, Replectif, Interpretatif, Decision atau ORID))

Menganalisis tingkat partisipasi stakeholder

dalam pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(METODE DISKUSI (Objectif, Replectif, Interpretatif, Decision atau ORID))

Merumuskan arahan strategi pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka

(ANALISIS HIERARCHY PROCESS)

(45)

25 Analisis Regresi Data Panel

Analisis regresi data panel ini dilakukan untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini, yaitu menganalisis tingkat Angka Partisipasi kKasar (APK) pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran.

Hubungan indeks angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan menengah terhadap variabel-variabel bebas terlihat dalam bentuk persamaan berikut:

dimana :

= Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan menengah

a = Konstanta

= Koefisien jumlah penduduk usia pendidikan menengah

= Koefisien jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah

= Koefisien luas wilayah kecamatan

= Jumlah penduduk usia pendidikan menengah

= Jumlah daya tampung ruang kelas pendidikan menengah

= Luas wilayah kecamatan

D = Peubah Dummy pemekaran wilayah

D = 0 : sebelum pemekaran wilayah

D = 1 : setelah pemekaran wilayah

ε = Error / residual

Alasan pemilihan variabel tersebut diatas adalah: 1) penduduk usia pendidikan menengah merupakan angka pembilang dan penentu utama nilai Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan menengah, 2) jumlah ruang kelas merupakan parameter daya tampung sebagai tolok ukur daya serap peserta didik jenjang pendidikan menengah, dan 3) luas wilayah kecamatan merupakan indikator pemekaran wilayah karena ada kecamatan yang baru terbentuk.

Metode Deskriptif ORID

Metode Deskriptif Objektif, Reflektif, Interpretatif dan Decision (ORID) digunakan untuk menganalisis tingkat partisipasi stakeholder dalam upaya pengembangan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka pasca pemekaran. Tingkat partisipasi stakeholder akan diukur melalui penjumlahan skor kuesioner dari indikator dengan responden dari stakeholder tingkat kabupaten adalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Anggota DPRD Kabupaten Bangka, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua MKKS Kabupaten Bangka, LSM Pendidikan dan pihak swasta. Responden untuk stakeholder tingkat kecamatan dan desa yaitu camat, kepala UPTD Pendidikan kecamatan, ketua PGRI kecamatan, kepala desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), tokoh masyarakat dan pihak swasta. Masing-masing indikator dikaitkan dengan jenjang partisipasi yaitu delapan tangga tingkatan partisipasi yang digunakan oleh Arstein (1969).

Analisis Proses Hierarki (Analytical Hierarchy Process)

Analisis ini dilakukan untuk menentukan arahan strategi pembangunan pendidikan menengah di Kabupaten Bangka. Responden dari Stakeholder yang

(46)

26

diminta pendapatnya adalah anggota DPRD Kabupaten Bangka, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Tingkat Kabupaten Bangka, tokoh masyarakat, pihak swasta dan LSM bidang pendidikan yang kesemuanya berjumlah enam orang. Adapun struktur analisis proses hirarkinya dapat dilihat pada Gambar 8.

Penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai level terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan judgment para pengambil keputusan/para pakar berdasarkan nilai skala komparasi 1-9. Nilai skala perbandingan secara berpasangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Pengembangan pendidikan Menengah

di Kabupaten Bangka Pengembangan pendidikan Menengah

di Kabupaten Bangka

Partisipasi Stakeholder

Partisipasi Stakeholder Partisipasi MasyarakatPartisipasi Masyarakat Ketersediaan DanaKetersediaan Dana

Sarana dan Prasarana

Sarana dan Prasarana Sumberdaya AparaturSumberdaya Aparatur Tenaga PendidikTenaga Pendidik

Level 1

Level 2

[image:46.595.55.484.51.803.2]

Level 3

[image:46.595.78.480.345.772.2]

Gambar 8 Struktur AHP untuk penentuan kebijakan (diadopsi dari Saaty 2008) Tabel 3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008)

Tingkat Kepentingan

Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya

Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuannya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lain

5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibanding yang lain

7 Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain

Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek

9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada kompromi diantara dua pilihan

(47)

27

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Bangka

Selama lebih dari seratus tahun, Bangka dikepalai oleh residen secara administratif dan taktis operasional berada dibawah Pemerintahan Pusat di Batavia (Jakarta). Demikian juga dengan Belitung yang pada mulanya merupakan suatu asisten residen, berdiri sendiri langsung di bawah Pemerintah Pusat. Atas dasar ordonansi tanggal 2 Desember 1933 (Stbl.No.565), terhitung dari tanggal 11 Maret

1933 terbentuklah “Residentie Bangka en Ouderhoregheden” yang menetapkan

Biliton (Belitung) menjadi salah satu “onderafdeling” dikepalai oleh seorang “controleur” dengan pangkat asisten residen dari Karesidenan Bangka, berikut pulau-pulau lain sekitarnya. Pulau Bangka sendiri terbagi dalam lima

onderafdeling, yang masing-masing dikepalai oleh seorang controleur. Lima

onderafdeling kemudian menjadi Kawedanan Residen Bangka yang terakhir menjelang perang dunia kedua adalah P. Brouwer. Ketika kekuasaan kolonial Belanda atas kepulauan Indonesia direbut oleh Nippon pada tahun 1942, semasa berkobarnya perang Asia Timur Raya, Karesidenan Bangka-Belitung diperintah

oleh Pemerintah Militer yang dinamakan “Bangka Biliton Gunseibu”. Pemerintah

administratif menurut sistem pemerintahan Belanda diteruskan, dengan mengganti nama/istilah saja, yaitu dengan istilah-istilah Jepang dan atau Indonesia. Sehingga

Residence menjadi “chokan” dan controleurmenjadi “sidokan”. Namun disamping

petugas-petugas Jepang diangkat pembantu-pembantu bangsa Indonesia seperti

gunco” dan “fuku gunco”. Pada waktu Dai Nippon sudah terdesak didalam peperangan melawan Sekutu, barulah di Bangka dibentuk semacam DPRD, yang dinamakan Bangka Syu Sangikai, yang diketuai oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo.

Setelah Jepang ditaklukkan oleh sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 kemudian diikuti dengan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, atas inisiatif tokoh-tokoh Sumatera Selatan dibentuklah Pemerintahan Otonomi Sumatera Selatan dibawah pimpinan Gubernur Militer. Pulau Bangka termasuk didalamnya, dimana pimpinan pemerintahan dipegang oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, bekas ketua Bangka Syu Sangikai, dengan gelar Residen yang dibantu oleh seorang asisten residen dan seorang kontrolir yang diperbantukan. Letnan Gouveneur General Nederlandsch Indie mempergunakan kekuasaannya menjadi daerah otonom dengan membentuk Dewan Bangka Sementara (Voorlopige Bangka Raad) dengan surat keputusan tanggal 10 Desember 1946 nomor 8 (Stbl.1946.Nomor 3

Gambar

Gambar 6.
Tabel 3 Skala perbandingan berpasangan (Saaty 2008)
Gambar 9.
Tabel 5 Jumlah penduduk di Kabupaten Bangka tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Det første som bør belyses er om forholdet mellom principalen og agenten, i den aktuelle analysen utøvende politisk myndighet og Norges Bank, har en tydelig over- og

463 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN HALMAHERA BARAT 464 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN HALMAHERA TENGAH 465 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN KEPULAUAN SULA 466 DINAS PENDIDIKAN

Researchers try to do research with the title Development of Interactive Multimedia Based Learning Media Using Adobe Flash CS3 and Camtasia in Mathematics Problem

Melakukan Pencatatan dan Pelaporan Kegiatan Program Rabies Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai Tidak ada Sesuai Sesuai Belum semua dianalisa Sesuai Tidak ada 6.. Penemuan dan Pelacakan

REKAPITULASI RENCANA KERJA ANGGARAN PERUBAHAN BELANJA LANGSUNG MENURUT PROGRAM DAN KEGIATAN SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH. URAIAN BERTAMBAH/(BERKURANG) KODE

Hasil kali sisir antara graf

Universitas Kristen Maranatha Mengingat pentingnya saluran distribusi fisik yang tepat serta pengaruhnya terhadap volume penjualan maka penulis tertarik untuk

Unit analisis pada penelitian ini adalah tentang perlindungan hah-hak pekerja/buruh baik pada saat hubungan kerja ataupun setelah pemutusan kerja dalam proses kepailitan