• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengayaan Pakan Alami terhadap Perilaku Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengayaan Pakan Alami terhadap Perilaku Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mempunyai 36 jenis primata dan menjadi salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman primata (Nursahid 2001). Kartika (2000) menyatakan bahwa primata merupakan salah satu satwa yang memiliki kelebihan tersendiri untuk dijadikan sebagai hewan percobaan, karena secara fisiologis dan anatomisnya satwa ini memiliki banyak kemiripan dengan manusia. Salah satu jenis primata arboreal yang paling diminati dan dianggap paling eksotis yang ada di Indonesia yaitu kukang (Nycticebus coucang) (Nursahid dan Purnama 2007).

Kukang termasuk salah satu satwa primata selain tarsius yang aktif pada malam hari (nokturnal) (Alikodra 2002). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Wachyuni et al. (2008) bahwa nama ilmiah satwa tersebut yaitu Nycticebus yang memiliki arti “Night Ape” atau kera malam, yang memiliki sebaran di Indonesia yaitu di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Kukang merupakan jenis primata yang hidup di hutan tropis, terutama hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan hutan bambu (Nursahid dan Purnama 2007). Data dari IUCN (2011) menunjukkan bahwa kukang merupakan salah satu satwaliar yang berstatus terancam punah (endangered) dan tercantum dalam Appendix 1 CITES sejak tahun 2007 serta termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi sejak tahun 1967. Namun demikian, menurut Nursahid dan Purnama (2007) tingginya tingkat perburuan dan perdagangan menimbulkan ancaman serius terhadap kelestarian kukang khususnya mengingat tingkat kelahiran satwa ini dengan maksimum satu anak setiap satu setengah tahun.

(2)

kawasan taman nasional di Jawa, Sumatera ataupun Kalimantan sesuai dengan asal kukang tersebut. Namun bagi beberapa individu yang mengalami cacat tubuh atau tidak memiliki gigi sehingga tidak memungkinkan untuk dilepasliarkan kembali, IAR juga menyediakan tempat rehabilitasi jangka panjang (sanctuary).

Rehabilitasi merupakan program pemulihan kesehatan dan perilaku satwa sehingga memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di habitat alami setelah dilepaskan kembali ke habitat alami (Ario et al. 2007). Salah satu program rehabilitasi yang perlu dilakukan yaitu dengan memberikan pengayaan (enrichment) pakan alami untuk pembiasaan kukang di habitat aslinya. Pengayaan (enrichment) merupakan suatu upaya untuk memberikan kondisi dan perlakuan tertentu terhadap satwa yang disesuaikan dengan pola perilaku, kebutuhan serta karakteristik habitat alaminya (Purba 2008). Menurut Kartika (2000) perilaku seekor satwa merupakan salah satu indikator yang menentukan tingkat kesejahteraan dan keberhasilan pengelolaan suatu lembaga penyelamatan satwa.

Perilaku satwa tersebut merupakan ekspresi dari suatu kegiatan yang dilakukan satwa terkait dengan faktor dalam (internal) dan faktor luar (lingkungan). Salah satu faktor luar yang terkait yaitu ketersediaan pakan dan pengayaannya (enrichment). Enrichment bertujuan untuk menambah kekayaan kandang sehingga memungkinkan terjadinya kegiatan interaktif, menarik dan kemudian faktor lingkunganlah yang akan merangsang satwa tersebut untuk memperlihatkan perilaku alamiahnya sebanyak mungkin sehingga satwa terhindar dari ancaman kebosanan, kejenuhan, stress dan perilaku menyimpang (Purba 2008). Oleh karena itu, perlu dikaji lebih dalam mengenai pengaruh enrichment pakan alami terhadap perilaku kukang jawa sebagai suatu usaha mengurangi terjadinya perilaku menyimpang dan merangsang satwa untuk berperilaku alami di habitatnya.

(3)

dan sirihan (Piper aduncum L) dari family piperaceae juga merupakan jenis vegetasi yang dimanfaatkan sari bunganya untuk memenuhi kebutuhan pakan kukang jawa di habitat alaminya. Dari keempat jenis pakan alami tersebut, hanya jenis kaliandra yang sudah pernah diberikan kepada seluruh kukang yang ada untuk pengayaan (enrichment) jenis pakannya. Oleh karena itu, perlu diperkenalkan pula tiga jenis pakan alami lainnya, agar kukang jawa terbiasa dengan pakan alami yang terdapat di habitat alaminya. Selain itu, perlu diketahui pula jenis mana yang paling sering dimanfaatkan kukang jawa untuk mengekspresikan perilaku alaminya. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka penelitian tentang pengaruh pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang jawa ini perlu dilakukan.

1.2 Tujuan

Secara umum, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui implementasi manajemen rehabilitasi kukang jawa di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh adanya pengayaan (enrichment) pakan alami yang diberikan terhadap beberapa macam perilaku kukang jawa (Nycticebus javanicus).

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Sebagai panduan lapang mengenai metode konservasi yang terarah untuk kepentingan pengelolaan dan pelestarian kukang secara eksitu.

(4)
(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) menurut Napier dan Napier (1967 & 1985) dan Rowe (1996) dalam Winarti (2011) mempunyai klasifikasi sebagai

Sub Ordo : Prosimii/Strepsirrhini Infra Ordo : Lemuriformes Super Famili : Loroidea

Famili : Loridae f Genus : Nycticebus

Spesies : Nycticebus javanicus (Geoffroy 1812)

Menurut Nursahid dan Purnama (2007) ada delapan genus dari 14 spesies kelompok keluarga loris lambat yang di Indonesia dikenal dengan satwa ‘pemalu’, diantaranya satu dari delapan genus tersebut yaitu Kukang atau Nycticebus yang terdiri dari lima spesies yaitu Nycticebus coucang, Nycticebus javanicus, Nycticebus menagensis, Nycticebus pygmaeus, dan Nycticebus bengalensis. Tiga di antara lima kukang hidup di Indonesia yaitu kukang malaya (Nycticebus coucang) di Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya, kukang borneo (Nycticebus menagensis) di Kalimantan, dan kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Pulau Jawa (Winarti 2011).

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan satwa primata primitif yang tidak berekor, bersifat nokturnal (aktif di malam hari), dan arboreal (tinggal di atas pohon) (Winarti 2011). Primata ini memiliki retikulum khusus dalam tangan dan kakinya yang menghasilkan asam laktat yang membantu

(6)

memungkinkan mereka untuk mencengkeram dengan tangan dan kaki selama berjam-jam. Ibu jari dan jempol kaki memiliki permukaan yang kasar dan tegak lurus dengan jari-jari lainnya sehingga terbentang jarak yang jauh antara ibu jari dengan jari-jari yang lainnya (Nowak 1999).

Kuku pada jari kedua kaki belakangnya berbentuk lebih seperti cakar dan digunakan untuk menggaruk. Tepat setelah menggaruk, satwa ini biasanya menjilati tubuhnya (Tenaza et al. 1969). Kukang memiliki 36 buah gigi dimana keempat gigi seri dan kedua taring rahang bawah letaknya datar dan sejajar berbentuk seperti sisir yang berfungsi untuk grooming dan memakan makanan khusus seperti keong pohon serta tulang lidah yang agak tebal dan berwarna putih dengan ujung lidah bergerigi dan nostril (cuping hidung) agak basah (Lekagul dan Mc Neely 1977). Alterman (1995) menyatakan bahwa spesies ini memiliki air liur yang beracun dan digunakan dalam pertahanan terhadap pemangsa dimana induk kukang akan menyebarkan racun pada anaknya dengan menggunakan gigi sisirnya.

Menurut Choudhury (1992) terdapat sebuah lingkaran coklat berbentuk seperti cincin di mata kukang dengan rambut pada wajah yang berwarna coklat pucat hingga keputihan dan tanda dengan warna yang lebih gelap. Kepala dan bahu yang kemungkinan memiliki warna abu-abu, krem atau putih keperakan. Sisi dorsal yang berwarna coklat kemerahan hingga abu-abu dalam warna tersebut. Sisi-sisi tubuh dan bagian bawah spesies ini berwarna karat atau abu-abu dan yang paling khas dari satwa jenis ini yaitu ada garis punggung coklat yang membentang dari bagian atas kepala hingga ke belakang.

(7)

Tabel 1 Ciri morfologi kukang jawa

Klasifikasi Ciri

Kerajaan Animalia Hewan

Filum Chordata Bertulang belakang

Kelas Mamalia Menyusui, memiliki rambut hampir di seluruh tubuh Ordo Primata Mata binokuler dan streoskopis, kapasitas otak yang relatif

besar, berkuku dan mampu menggenggam Sub Ordo Strepsirhine/

Prosimian

Nokturnal dan memiliki tapetum lucidum, tooth coomb, toilet claw, dan rhinarium

Famili Loridae Arboreal, memiliki ibu jari opposite atau berseberangan dengan keempat jari lainnya, bergerak lamban dengan lokomosi quadrupedal (bergerak berpindah dengan empat anggota gerak) tanpa leaping (meloncat), cantilevering

(berpindah tempat dengan cara meregangkan tubuh), serta metabolisme basal yang rendah, masa bunting yang lama, infan lahir dengan berat yang ringan, masa menyusui yang lama, dan adanya perilaku infant parking

Genus Nycticebus Memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada Loris sp. Spesies N. javanicus Memiliki pola garpu di wajah yang paling jelas dibandingkan

dengan genus Nycticebus lainnya, dan memiliki frosting

rambut warna putih pada bagian leher

Sumber: Napier & Napier 1967, 1985; Rowe 1996; Schulze 2003d; Nekaris & Bearder 2007

dalam Winarti 2011. 2.2 Penyebaran dan Habitat

Penyebaran kukang yang ada di seluruh dunia cukup luas, mulai dari Afrika Selatan, Gurun Sahara, India, Srilanka, Asia Selatan, Asia Timur sampai ke Asia Tenggara (Nursahid dan Purnama 2007) (Gambar 3). Di Asia Tenggara sendiri terdapat di Thailand, Brunei, Vietnam, Laos, Filipina, Semenanjung Malaysia dan tentunya di Indonesia yang hanya terdapat di Jawa, Sumatera dan Kalimantan (Wachyuni 2008).

(8)

Gambar 3 Sebaran kukang di Asia (diadaptasi dari Schulze 2003c dalam Winarti 2011).

Supriatna dan Wahyono (2000) mengungkapkan bahwa kukang tersebar cukup luas dan dapat ditemui hingga pada ketinggian 1300 mdpl serta habitat utamanya yaitu di hutan primer, hutan sekunder, hutan bambu dan hutan bakau, namun kadang-kadang juga dapat dijumpai di daerah-daerah perkebunan. Sebaran habitat kukang berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut (m dpl) berturut-turut adalah kukang malaya 0-920 m dpl, kukang borneo 19-900 m dpl, kukang bengalensis 48-339 m dpl, kukang jawa 200-931 m dpl (Wiens 2002; Schulze 2003b; Winarti 2003; Wirdateti 2003; Wirdateti 2005; Wirdateti et al. 2005; Wirdateti & Suparno 2006; Dahrudin & Wirdateti 2008; Pambudi 2008; Nandini et al. 2009; Pliosungnoen et al. 2008; Swapna et al. 2008 dalam Winarti 2011).

Ketersediaan pakan di alam bergantung pada kondisi habitat utamanya. Kartika (2000) menjelaskan bahwa pencarian makanan menjadi sesuatu yang penting terutama untuk satwa primata. Semua satwa primata mempunyai kesamaan yang umum terhadap kebutuhannya akan energi, asam amino, mineral, vitamin, air dan beberapa asam lemak, tetapi dalam jumlah yang bervariasi antar spesiesnya karena kondisi fisiologis dan anatomis yang berbeda.

(9)

mencukupi kebutuhan proteinnya dengan serangga, dan kukang termasuk ke dalam jenis ini. Jenis Lorisidae akan mengonsumsi pakan dengan kandungan energi tinggi yaitu buah-buahan, getah dan serangga mangsaannya. Lorisidae tidak pernah memakan daun-daunan, ia hanya menjilati embun atau sesuatu yang keluar dari ujung daun.

Supriatna dan Wahyono (2000) menyatakan bahwa kukang memakan buah-buahan berserat sekitar 50%, selain itu kukang juga memakan berbagai jenis binatang sekitar 40% seperti serangga, moluska, kadal, dan sesekali juga memakan telur burung dan 10% getah serta biji-bijian dari biji polong (leguminosae), termasuk buah atau biji coklat. Puspitasari (2003) dalam hasil risetnya menyatakan bahwa buah-buahan yang memiliki palatabilitas tinggi bagi kukang yaitu misalnya pisang ambon, pepaya dan jagung manis dengan pakan tambahannya yaitu roti tawar yang mengandung karbohidrat yang tinggi, dengan rata-rata konsumsi pakan segar sebanyak 317,26 gram/kgBB/hari, atau dalam bahan kering sebesar 114,15 gram/kgBB/hari.

Selain pemberian pakan utama, pengayaan pakan alami juga perlu diberikan. Pengayaan (enrichment) merupakan suatu upaya untuk memberikan kondisi dan perlakuan tertentu terhadap satwa yang disesuaikan dengan pola perilaku, kebutuhan serta karakteristik habitat alaminya (Purba 2008). Menurut Kartika (2000) perilaku seekor satwa merupakan salah satu indikator yang menentukan tingkat kesejahteraan dan keberhasilan pengelolaan suatu lembaga penyelamatan satwa.

(10)

Perilaku satwa tersebut merupakan ekspresi dari suatu kegiatan yang dilakukan satwa terkait dengan faktor dalam (internal) dan faktor luar (lingkungan). Salah satu faktor luar yang terkait yaitu ketersediaan pakan dan pengayaannya (enrichment). Enrichment bertujuan untuk menambah kekayaan kandang sehingga memungkinkan terjadinya kegiatan interaktif, menarik dan kemudian faktor lingkunganlah yang akan merangsang satwa tersebut untuk memperlihatkan perilaku alamiahnya sebanyak mungkin sehingga satwa terhindar dari ancaman kebosanan, kejenuhan, stress dan perilaku menyimpang (Purba 2008).

Ecclestone (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa jenis pengayaan untuk satwa, yaitu yang pertama adalah pengayaan struktural untuk memperbaiki susunan lingkungan kandang. Misalnya, pemberian kandang yang cukup luas supaya satwa dapat melakukan gerakan alami seperti lari atau terbang dan tempat untuk berteduh. Jenis pengayaan yang kedua adalah pengayaan obyek yang dapat digunakan untuk mengurangi kebosanan dan menghindari perkembangan perilaku menyimpang serta merangsang untuk melakukan perilaku alami. Jenis pengayaan yang ketiga adalah pengayaan sosial yaitu mensosialisasikan satwa dengan sejenisnya atau tidak karena tidak semua jenis satwa hidup berkelompok. Dan jenis pengayaan yang terakhir adalah pengayaan pakan, pemberian pakan yang bervariasi dan cukup dengan cara-cara berbeda penting untuk meningkatkan kualitas hidup satwa untuk dapat mengekspresikan perilaku makan alami seperti di habitatnya.

2.3 Reproduksi

(11)

2.4 Kesehatan

Menurut Sanchez (2008) pemeriksaan medis yang utama dilakukan pada saat satwa didatangkan adalah mengidentifikasi status umum seperti mengukur berat badan dan suhu tubuh, menilai tingkat aktifitas (aktif atau tidak aktif), memeriksa kondisi kesehatan (apakah mengalami dehidrasi), memeriksa warna mukosa dan status rambut. Ciri-ciri yang dapat dilihat ketika kukang mengalami dehidrasi adalah matanya menjorok ke dalam dan kulitnya tidak elastis. Berdasarkan protokol kesehatan satwa, setiap satwa yang baru datang harus melalui prosedur medis, diantaranya adalah tes tuberculin (pemeriksaan bakteri tuberculosis), de-worming (pemberian obat cacing), pengecekan suhu internal, pengukuran berat badan, identifikasi jenis (mengambil gambar wajah dan bagian punggung untuk menentukan jenis satwa) dan pengukuran panjang tubuh.

Selanjutnya Sanchez (2008) juga menjelaskan bahwa permasalahan kesehatan yang sering terjadi pada kukang adalah infeksi gigi akibat kerusakan atau pemotongan oleh manusia dan harus diobati dengan antibiotik karena dapat menimbulkan pneumonia yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba. Gejala awalnya bisa berupa hilangnya bunyi sengau, bersin berkepanjangan atau hilangnya nafsu makan. Internal parasit adalah penyebab kematian yang lain pada kukang dan dapat mempengaruhi kondisi kukang. Kukang juga dapat menderita stres dan mengalami perilaku stereotypical (penyimpangan perilaku), salah satu bentuknya adalah mengutui atau menggaruk tubuhnya sendiri (selfgrooming). Selain itu, trichobezoar juga dapat menyebabkan kematian yang diakibatkan oleh penyumbatan saluran pencernaan oleh rambut-rambut yang tidak sengaja tertelan kukang saat menjilati tubuhnya lalu mengakibatkan intussusceptions yang mematikan, serta malnutrisi dan defisiensi merupakan salah satu bentuk penyakit (pathology) yang umum terjadi pada kukang ketika menjadi hewan peliharaan, sehingga penting dilakukan pemberian suplemen vitamin atau protein.

2.5 Perilaku dan Adaptasi

(12)

lebih menyukai tidur di lubang, celah di antara pohon atau di rumpun bambu (Choudhury 1992). Cara tidur kukang yaitu bergulung seperti bola dengan kepala diantara kaki (Supriatna dan Wahyono 2000), dan akan tidur telentang (berbaring) ketika cuaca panas (Tenaza et al. 1969). Asnawi (1991) juga menyatakan bahwa kukang mulai menggulung pukul 04.00 hingga memulai aktivitasnya pada pukul 16.00 jika tidak ada gangguan, serta tidak dipengaruhi oleh suhu dan cahaya pada malam hari.

Kukang merupakan satwa yang cara hidupnya menyendiri (soliter) (Bransilver 1999) atau berpasangan (monogamous) (Asnawi 1991). Selanjutnya Asnawi (1991) juga mengungkapkan bahwa cara makan satwa ini pertama-tama dengan cara mencium makanannya dan kemudian mengambilnya dengan satu tangan kemudian menjilat makanannya sebelum dimakan. Selain itu, Bransilver (1999) menambahkan bahwa kukang juga bisa makan dengan kedua tangannya dengan cara menggantungkan kedua kakinya pada dahan. Sedangkan cara minum kukang yaitu dengan sikap membungkuk dan meminum cairan dengan cara menjilat menggunakan lidah (Tenaza et al. 1969).

Alterman (1995) menjelaskan bahwa kukang memproduksi racun dan polipeptida dari kelenjar brachial pada gigi dan cairan ini akan bersifat racun ketika bercampur dengan air liur (saliva), racun ini berfungsi untuk menangkal predator. Bayi kukang dijaga dengan air liur induknya ketika ditinggalkan, kemungkinan untuk menangkal predator dan satwa ini bisa juga menggunakan gigitan sebagai cara mengantarkan racun.

(13)

atau berpindah ke lokasi baru. Namun beberapa hewan mampu memodifikasi lingkungan sementaranya dengan perilaku sosial yang kooperatif.

Cooper dan Albentosa (2005) menyebutkan bahwa adaptasi merupakan kecenderungan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Perilaku stereotip merupakan salah satu contoh adaptasi satwa yang berada di suatu penangkaran atau di lingkungan baru di luar habitat alaminya. Dan salah satu tantangan yang dihadapi suatu penangkaran yaitu ada aspek dalam lingkungan buatan manusia yang melibatkan satwa tidak mampu beradaptasi, dalam hal ini, adalah tanggung jawab pengelola untuk mengurangi dampak dari tantangan atau memberikan kesempatan untuk beradaptasi. Dampak dari perilaku stereotip ini yaitu akan berpengaruh pada perilaku sosial yang terisolasi serta perilaku makan yang kurang akan konsentrat serat yang tinggi.

Sedangkan Kimball (1983) menyatakan bahwa kebanyakan satwa dapat bertahan hanya dengan kisaran suhu, kelembaban, salinitas dan lain-lain, yang kisarannya relatif tergantung dari masing-masing satwa seperti burung dan mamalia yang memiliki mekanisme efisiensi untuk mempertahankan kontrol homeostatis yang melebihi lingkungan internal mereka. Hasil dari adaptasi reseptor akal dapat ditunjukan oleh fakta bahwa respon bersifat tahan lama. Ketika sudah sepenuhnya terbiasa, satwa tidak akan merespon stimulus lain dari luar. Sehingga adaptasi perlu dilakukan untuk menyetahui penyebab langsung mengapa satwa berperilaku tertentu dalam kehidupan satwa yang telah menghasilkan perilaku yang tidak sesuai.

2.6 Pemanfaatan dan Status Perlindungan

Nursahid dan Purnama (2007) menyatakan bahwa selain diperdagangkan sebagai hewan peliharaan yang eksotis, kukang juga diburu untuk diambil dagingnya yang kemudian dijadikan obat tradisional. Daging kukang dipercaya dapat meningkatkan kekuatan dan stamina bagi kaum pria dan berfungsi sebagai afrodisiak. Selain itu, tulang kukang juga diyakini memiliki kekuatan magis untuk menghindari bahaya atau digunakan sebagai pembawa keberuntungan dan perdamaian bagi kehidupan rumah tangga.

(14)

Pertanian tanggal 14 Februari 1973, no. 66/Kpts/Um2/1973, yang diperkuat oleh undang-undang pemerintah Indonesia no. 7 Tahun 1999 mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, di mana kukang terdaftar sebagai spesies yang dilindungi. Selain itu, menurut undang-undang Negara Indonesia no. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistem (pasal 21 no. 2), perdagangan dan pemeliharaan satwa dilindungi adalah dilarang. Pelaku akan menerima hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 Juta. Sedangkan secara international, selain termasuk satwa yang dilindungi, IUCN menetapkan status terancam punah (endangered), yang berarti terancam oleh tingkat kepunahan dalam waktu 10 tahun. Sedangkan menurut CITES (Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Langka fauna dan flora liar) kukang dimasukkan ke dalam daftar Appendix I.

2.7 Pusat Rehabilitasi Satwa dan Kesejahteraan Satwa (Animal Welfare) Rehabilitasi merupakan program pemulihan kesehatan dan perilaku satwa sehingga memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di habitat alami setelah dilepaskan kembali ke habitat alami (Ario et al. 2007). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi, pada Pasal 1 Ayat 11 dijelaskan bahwa pusat rehabilitasi satwa adalah lembaga konservasi yang melakukan kegiatan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada di lingkungan manusia untuk dikembalikan ke habitatnya. Lembaga konservasi tersebut mempunyai fungsi utama pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Selain itu juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, sarana perlindungan dan pelestarian jenis serta sarana rekreasi yang sehat.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-II/2006 pasal 11 dijelaskan bahwa pusat rehabilitasi satwa memiliki beberapa kriteria seperti:

(15)

b. Memiliki lahan seluas sekurang-kurangnya 3 (tiga) hektar, c. Memiliki ketersediaan sumber air dan pakan yang cukup,

d. Memiliki sarana pemeliharaan satwa, antara lain: kandang pemeliharaan, kandang perawatan, kandang karantina, dan sarana prasarana pendukung pengelolaan satwa,

e. Memiliki kantor pengelola dan sarana informasi pengunjung;

f. Tersedia tenaga kerja sesuai bidang keahliannya antara lain dokter hewan, ahli biologi atau konservasi, kurator, perawat, dan tenaga keamanan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Pasal 18 Ayat 2 disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi satwa meliputi kegiatan mengamati kesehatan satwa, melakukan pengobatan dan pemberian vitamin dan makanan tambahan serta melatih dan mengadaptasikan dengan lingkungan habitat alamnya satwa-satwa yang terpilih untuk dilepaskan ke habitatnya. Selain itu pula dijelaskan bahwa rehabilitasi satwa dilakukan agar satwa yang telah lama berada di lingkungan manusia mempunyai ketahanan hidup yang tinggi untuk dilepaskan kembali ke alam serta tidak mengganggu populasi yang telah mendiami habitat tersebut melalui penyebaran penyakit dan polusi genetik.

Sanchez (2008) menyatakan bahwa kukang adalah salah satu jenis satwa yang tidak mempunyai tingkat ketergantungan tinggi terhadap manusia. Oleh karena itu, kukang yang telah menjalani proses rehabilitasi kemungkinan besar dapat dilepasliarkan bila giginya masih lengkap. Kukang yang sudah siap untuk dilepasliarkan umumnya bersifat pemalu atau menghindari kontak langsung dengan manusia (bersifat liar) dan sudah mampu mencari makan sendiri serta aktif pada malam hari.

(16)

menyebutkan bahwa kesehatan satwa merupakan aspek penting dari kesejahteraan satwa (animal welfare).

Kesejahteraan satwa mengarah pada kualitas hidup dan berhubungan dengan banyak elemen yang berbeda-beda, seperti kesehatan, kesenangan, dan hidup yang lama, yang mana perlakuan yang diberikan manusia berbeda-beda dan dengan kadar kepentingan yang berbeda pula (Tannenbaum, 1991; Fraser, 1995). Pada umumnya terdapat 5 prinsip kesejahteraan satwa yaitu:

1. Bebas rasa lapar dan haus.

Menurut Appbley et al. (1997), satwa memiliki kebutuhan nutrisi (termasuk air) untuk menjaga fungsi fisiologinya, dan kebutuhan tersebut diperlukan pada saat bersamaan. Satwa dapat mengalami malnutrisi atau kekurangan nutrisi. Keadaan tersebut dapat menyebabkan ketidaknormalan atau gangguan perilaku, keadaan stress dan kematian. Pemberian makan yang cukup dan air minum yang bersih setiap harinya adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut.

2. Bebas dari rasa tidak nyaman. Keadaan ini dapat dihilangkan dengan menyediakan suatu lingkungan yang sesuai dengan habitat asli satwa tersebut.

3. Bebas dari sakit, luka dan penyakit

Sakit pada satwa jelas berpengaruh pada kesejahteraan jika diasumsikan bahwa perasaan sakit pada satwa disamakan dengan manusia. Luka, ditimbulkan dari kejadian trauma atau bahkan konsekuensi yang tidak dapat dihindari dari sistem penangkaran (Appbley et al. 1997). Sehingga diperlukan pemberian perawatan untuk satwa yang sakit dan pencegahan terhadap penyakit pada satwa di seluruh lembaga konservasi eksitu. 4. Bebas dari berperilaku liar alami. Perlakuan tersebut dapat dilakukan

dengan memberikan kondisi lingkungan alami dan membebaskan satwa untuk berperilaku secara alami.

(17)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2011 yang bertempat di Pusat Rehabilitasi Primata Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia Jalan Curug Nangka Kampung Sinarwangi Ciapus-Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, alat tulis, tallysheet, termometer dry and wet, stopwatch, meteran, dan komputer. Sedangkan bahan yang digunakan yaitu sepasang kukang jawa (Nycticebus javanicus) yang menjadi objek penelitian di Yayasan IAR Indonesia, dengan kondisi gigi yang masih utuh dan kondisi kesehatan yang baik, serta empat jenis tumbuhan yang menjadi pakan alami di habitat aslinya sebagai pengayaan (enrichment) pakan alami yang diberikan yaitu pohon sengon (Paraserianthes falcataria (L) I. C. Nielsen) dan pete (Parkia speciosa Hassk) yang dimanfaatkan getahnya dan kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan sirihan (Piper aduncum L) yang dimanfaatkan nektar atau sari bunganya sebagai sumber pakan di alam.

3.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data Primer

Jenis data primer yang dikumpulkan meliputi:

1. Manajemen pemeliharaan dan rehabilitasi yang terdiri dari pemeliharaan dengan pengamatan pemberian pakan, meliputi: jenis, sumber, jumlah pakan, cara pemberian pakan, jenis pakan tambahan, waktu pemberian pakan, frekuensi pemberian pakan dan tempat penyimpanan, serta kondisi kesehatan satwa meliputi: jenis penyakit yang sering dialami, ciri-ciri yang terjadi, cara pencegahan dan pengobatan. Metode yang digunakan yaitu pengamatan langsung dan wawancara kepada pihak pengelola.

(18)

Pengamatan dilakukan pada pukul 19.00-24.00 dengan interval waktu 10 menit. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga hari setiap perlakuan untuk mengetahui frekuensi perilaku yang diamati. Selain itu, dilakukan pula wawancara kepada pihak pengelola maupun keeper yang bertugas. Perilaku yang diamati meliputi:

a. Perilaku makan dimulai dengan mencium pakan terlebih dahulu kemudian digigit dengan mulut atau mengambil pakan yang telah digigitnya dengan satu atau kedua belah tangannya sesuai dengan pernyataan Asnawi (1991) kemudian mengunyah hingga selesai menelan pakannya.

b. Perilaku bergerak merupakan semua pergerakan dari suatu tempat ke tempat lain.

c. Perilaku istirahat merupakan perilaku duduk diam atau bergelantungan di dahan atau tenggerannya dengan melihat-lihat kondisi sekitar atau tanpa beraktivitas apapun.

d. Merawat diri (grooming) merupakan perilaku membersihkan bulu dari debu dan kotoran, membersihkan sisa makanan pada tangan dengan menggunakan lidahnya seperti menjilat dan menggaruk bagian yang gatal dengan cakar khusus yang terdapat di kakinya yang dilakukan sambil menggantung atau duduk di dahan/tenggeran. e. Penyimpangan perilaku merupakan perilaku menyimpang yang tidak

biasa terjadi di alam dan dilakukan secara berulang-ulang seperti jalan mondar-mandir.

(19)

perlakuan. Pada tahap awal dilakukan pengamatan perilaku kukang tanpa diberi pengayaan pakan alami selama enam hari, dengan ketentuan tiga hari awal sebagai masa persiapan dan tiga hari selanjutnya dilakukan pengambilan data. Pada tahap perlakuan diberikan tujuh perlakuan yang berbeda dengan memberikan empat jenis pengayaan pakan alami (Tabel 2). Setiap perlakuan dilakukan selama enam hari, dengan ketentuan tiga hari awal sebagai masa persiapan dan tiga hari selanjutnya dilakukan pengambilan data.

Tabel 2 Rancangan pemberian pengayaan pakan alami yang diberikan

Perlakuan Waktu (hari ke-)

Keterangan: P0: pakan pokok sehari-hari tanpa pengayaan pakan P1: pakan pokok dan pengayaan pakan jenis kaliandra P2: pakan pokok dan pengayaan pakan jenis sirihan

P3: pakan pokok dan pengayaan pakan jenis kaliandra dan sirihan secara bersamaan P4: pakan pokok dan pengayaan pakan jenis sengon

P5: pakan pokok dan pengayaan pakan jenis pete

P6: pakan pokok dan pengayaan pakan jenis sengon dan pete secara bersamaan P7: pakan pokok dan pengayaan pakan seluruh jenis tumbuhan secara bersamaan

Masa persiapan selama tiga hari di setiap awal perlakuan

Pengambilan data selama tiga hari berikutnya

4. Lingkungan abiotik, meliputi: suhu, kelembaban, curah hujan, angin, iklim, hari hujan, serta intensitas cahaya yang berada di lokasi penelitian. Metode yang digunakan yaitu pengamatan dan pengukuran langsung dengan menggunakan termometer dry and wet untuk mengukur suhu dan kelembaban yang dilakukan minimal tiga kali pengulangan selama penelitian berlangsung. Sedangkan untuk curah hujan, angin, iklim, hari hujan dan intensitas cahaya dilakukan pengamatan langsung setiap hari selama penelitian.

3.3.2 Jenis Data Sekunder

(20)

2. Data mengenai kondisi riwayat kesehatan satwa sebelum berada di IAR. 3. Data mengenai sumber pakan, kualitas pakan dan harga pakan satwa. 4. Data mengenai jumlah populasi, jenis kelamin dan kelas umurnya serta

mortalitas dan natalitas (jika ada) kukang jawa (Nycticebus javanicus). 5. Fasilitas yang tersedia di lokasi penangkaran.

Metode yang digunakan untuk mendapatkan data sekunder tersebut yaitu dengan studi literatur data-data yang sudah ada yang dimiliki oleh pihak pengelola serta wawancara kepada pihak pengelola.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan mengenai pengaruh pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang jawa, dianalisis dan disajikan secara deskriptif dilengkapi dengan gambar, tabel, dan kurva atau grafik yang relevan. Untuk mengetahui persentase nilai suatu perilaku dari total lamanya pengamatan perilaku dalam sehari, digunakan rumus:

Persentase perilaku (%) =

Keterangan:

X = frekuensi perilaku dalam n menit pengamatan

Y = total frekuensi perilaku dalam 300 menit pengamatan

Selanjutnya, untuk mengetahui persentase penggunaan masing-masing enrichment dari seluruh enrichment yang diberikan digunakan rumus:

Persentase enrichment (%) =

Keterangan:

A = frekuensi penggunaan enrichment dalam n menit pengamatan B = total frekuensi penggunaan enrichment dalam 300 menit pengamatan

Pengujian terhadap hubungan antara parameter yang diukur dan diamati menggunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 = tidak ada pengaruh enrichment terhadap perilaku kukang jawa

(21)

Hipotesis tersebut kemudian diuji menggunakan uji X2 atau Khi-kuadrat (Walpole 1997) melalui rumus:

X2 =

Keterangan:

Oi = nilai pengamatan perilaku kukang jawa Ei = nilai harapan perilaku kukang jawa

Ei =

Pengambilan keputusan atas hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:

Jika X2 hitung > dari X2 tabel, maka tolak H0 Jika X2 hitung < dari X2 tabel, maka terima H0 Untuk mengetahui nilai pada X2tabel, maka digunakan rumus:

db = (p-1) Keterangan:

p = banyaknya ulangan

(22)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia berlokasi di Jl. Curug Nangka Blok Pasir Loji RT 04 RW 05 Kampung Sinar Wangi, Kelurahan Sukajadi Kecamatan Taman Sari Ciapus Bogor. Luas lahan yang digunakan sekitar satu hektar.

4.2 Status dan Sejarah Singkat Lokasi Penelitian

Yayasan IAR Indonesia adalah lembaga non profit yang bergerak di bidang penyelamatan satwaliar Indonesia dan merupakan organisasi cabang dari IAR UK. Yayasan IAR Indonesia berdiri tanggal 29 Januari 2007 dan memfokuskan perhatiannya terhadap beberapa satwaliar Indonesia seperti elang bondol (Haliastur indus), elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), kukang (Nycticebus coucang) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) serta beruk (Macaca nemestrina). Saat ini Yayasan IAR Indonesia memfokuskan kegiatannya pada satwa primata, yaitu kukang, monyet ekor panjang dan beruk di Ciapus, serta orangutan di Ketapang. Walaupun monyet ekor panjang dan beruk adalah satwa yang tidak dilindungi di Indonesia, namun mengingat perlakuan yang sangat kejam dari manusia, bukan hal yang mustahil jika lambat laun mereka akan segera punah juga.

Yayasan IAR Indonesia yang bertempat di Ciapus, Bogor sampai saat ini telah menampung 25 individu monyet ekor panjang, 10 individu beruk serta 93 individu kukang. Kukang itu sendiri terdiri dari 38 individu kukang jawa (Nycticebus javanicus), 48 individu kukang sumatera (Nycticebus coucang) dan 7 individu kukang kalimantan (Nycticebus menagensis). Seluruh individu satwa primata yang berada di Yayasan IAR Indonesia Ciapus Bogor ini ditempatkan pada kandang sosialisasi, kandang isolasi ataupun kandang sanctuary yang sesuai dengan fungsi dan tujuan pemeliharaan individu satwa tersebut.

(23)

Tujuan utamanya dari program Yayasan IAR Indonesia yaitu menghentikan perdagangan satwaliar dan memperjuangkan kesejahteraan yang lebih baik bagi satwa di seluruh dunia.

4.3 Fasilitas

Yayasan IAR Indonesia memiliki satu bangunan kantor utama, dua buah blok besar kandang sosialisasi, satu blok kandang isolasi dan dua blok kandang sanctuary. Selain itu terdapat klinik hewan, gudang pakan, ruang kebersihan kandang dan guesthouse.

4.4 Kondisi Fisik

Yayasan IAR Indonesia terletak di kaki Gunung Salak dengan ketinggian tempat sekitar 750 m dpl. Kondisi topografinya cenderung bergelombang dengan kemiringan lahan sekitar 10-15%. Berdasarkan Klasifikasi Schmid dan Ferguson, wilayah ini termasuk ke dalam tipe iklim A, dengan curah hujan rata-rata tahunan sekitar 4000 mm per tahun. Jumlah hari hujan sebanyak 187 per tahun dengan kelembaban nisbi per tahun sekitar 88%. Temperatur udara tahunan adalah sekitar 20-22o C. Jenis tanah di wilayah ini termasuk ke dalam jenis tanah latosol. Kondisi air yang ada di wilayah ini cukup baik dan sangat melimpah. Sumber air bagi warga sekitar berasal dari sungai ciapus atau air dari pegunungan.

4.5 Kondisi Biotik

Vegetasi di Yayasan IAR Indonesia umumnya berupa vegetasi semak berumput, yang didominasi tegakan bambu dan kaliandra. Selain itu pula ada berbagai jenis pohon buah atau tanaman pakan yang sengaja ditanam di sekitar kandang untuk memenuhi kebutuhan makan satwa yang dipelihara. Sementara beberapa jenis satwa yang dijumpai selama penelitian beraneka ragam mulai dari mamalia, burung dan reptil seperti bajing kelapa, elang jawa, cekakak sungai, kodok, ular daun dan lain-lain.

4.6 Kondisi Sosial Masyarakat

(24)

misalnya singkong, buncis, kacang panjang dan lain-lain. Hasil dari berladang tersebut dapat dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Selain bertani dan berladang, banyak juga yang bekerja sebagai penjaga vila yang disewakan di sekitar objek wisata Curug Nangka yang letaknya tidak begitu jauh dari Yayasan IAR Indonesia.

(25)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Manajemen Pemeliharaan 5.1.1 Jumlah satwa yang dipelihara

Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia yang berada di Ciapus Bogor merupakan pusat penyelamatan dan rehabilitasi primata khususnya jenis kukang dan macaca. Jumlah dari ketiga jenis spesies kukang yang dipelihara di Yayasan IAR Indonesia berdasarkan jenis kelamin dan kelas umurnya ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah kukang di Yayasan IAR Indonesia berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur

Kelas umur Nycticebus javanicus Nycticebus coucang Nycticebus menagensis Total Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

Anak 0 1 0 2 0 0 3

Remaja 2 0 1 1 1 0 5

Dewasa 16 19 20 24 2 4 84

Total 18 20 21 27 3 4 93

Sedangkan jumlah ketiga spesies kukang yang dipelihara dari tahun 2009-2011 dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 Jumlah kukang di Yayasan IAR Indonesia pada tahun 2009-2011

Tahun Nycticebus javanicus Nycticebus coucang Nycticebus menagensis Total Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

2009 25 16 22 19 1 3 86

2010 25 18 21 24 3 4 95

2011 18 20 21 27 3 4 93

(26)

(a) (b) (c) Gambar 4 Jenis spesies kukang (a) sumatera; (b) jawa; (c) kalimantan.

Data keluar-masuk kukang yang ada di Yayasan IAR Indonesia sejak November 2009 hingga Juni 2011 dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada tahun 2009 terdapat 86 individu kukang yang terdiri dari 71 individu yang diterima dan 11 individu yang mati tanpa ada kukang yang dilepasliarkan ke alam karena manajemen dan pengelolaan yang masih baru untuk rehabilitasi kukang. Kemudian pada tahun 2010, terdapat 95 individu kukang yang terdiri dari 47 individu yang diterima, 35 individu yang mati dan 16 individu yang telah dilepasliarkan ke alam. Sedangkan pada tahun 2011 terdapat 93 individu kukang yang terdiri dari 13 individu yang diterima, 12 individu yang mati serta 6 individu yang telah dilepasliarkan.

(27)

5.1.2 Prosedur penerimaan dan pelepasliaran satwa

Kukang yang baru masuk hasil sitaan atau serahan dari masyarakat melalui pelaporan ke Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia pertama kali yang dilakukan yaitu dimasukkan ke dalam rescue. Kemudian dilakukan identifikasi jenis spesies dan jenis kelamin, penimbangan berat badan dan suhu tubuh, tes fisik apakah perlu terapi atau suplemen tambahan, cek keutuhan gigi yang dilakukan dengan isolasi atau karantina selama minimal 30 hari, observasi perilaku serta diagnosa penunjang yang terdiri dari xray thorax dan tuberculin skin test sebanyak minimal tiga kali.

Prosedur penerimaan satwa yang paling utama yaitu pertama dengan pemeriksaan dan pengukuran fisik serta identifikasi tuberkulin. Pemeriksaan fisik tersebut terdiri dari pengukuran tubuh, cek keutuhan gigi, pemeriksaan umum yang terdiri dari pemeriksaan mukosa, suhu tubuh, gizi, dan kesehatan serta keutuhan anggota tubuh. Setelah itu kemudian dilakukan pula pemeriksaan anestesi, tuberculinasi, de-worming, pemeriksaan feses, cek darah, serta pemasangan microchip.

(28)

5.1.3 Kandang

Kukang yang berada di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia seluruhnya berjumlah 93 ekor yang ditempatkan pada beberapa jenis kandang sesuai fungsi dan kegunaannya. Jenis dan fungsi kandang yang terdapat di Yayasan IAR Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis dan fungsi kandang yang ada di Yayasan IAR Indonesia

No. Jenis Kandang Ukuran Unit Fungsi

1. Kandang karantina 2 x 2 m2 6 Karantina satwa baru agar meminimalisir kemungkinan adanya penyakit yang dibawa 2. Kandang individu 2 x 2 m2 20 Rehabilitasi satwa agar mampu

bersifat liar kembali setelah dipelihara manusia

3. Kandang sosialisasi 3 x 3 m2 14 Sosialisasi satwa dengan individu lainnya agar mampu berinteraksi dengan sesamanya

Kandang individu hanya berisi satu individu kukang baik yang jantan atau betina, atau kukang betina bersama anaknya yang masih bayi. Kandang sosialisasi (Gambar 5) berisi tiga atau empat individu dengan ketentuan satu jantan dan banyak betina atau banyak jantan dan banyak betina. Sedangkan kandang sanctuary (Gambar 5) dan kandang sanctuary pre-habituasi berisi empat atau lima individu dengan ketentuan yang sama dengan kandang sosialisasi. Jenis kandang sangat ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu: jenis satwa, jumlah individu, umur satwa, tujuan penelitian, keselamatan kerja pekerja, faktor keselamatan dan kesejahteraan satwa, dan kondisi iklim setempat (Rahman 2011).

(a) (b)

(29)

Rahman (2011) menjelaskan bahwa dalam perencanaan perkandangan terdapat beberapa faktor penting yang harus dipertimbangkan yaitu: 1) kandang harus dibuat sedemikian rupa dengan maksud untuk mendukung kenyamanan psikologis bagi satwa yang ada di dalamnya; 2) kandang dibuat sesuai dengan ukuran satwa dan perilakunya sehingga satwa dapat tumbuh dengan normal dan kandang harus mampu mencegah adanya kemungkinan timbulnya penyakit; 3) kandang harus dilengkapi dengan sarana salinitas yang baik; 4) kandang dibuat sedemikian rupa sehingga memudahkan peneliti dan perawat satwa untuk mengelola satwa; 5) kandang dibuat berdasarkan standar baku yang telah direkomendasikan oleh Animal Welfare Act (1985) yaitu dengan memperhatikan kondisi sanitasi, kebersihan dan ventilasi yang baik.

Menurut Badan National Institute of Health (1985) dalam Rahman (2011) idealnya suatu ukuran kandang individual yang direkomendasikan untuk satwa primata ketika satwa dipisahkan dalam koloni atau dikenakan suatu perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Ukuran kandang individual yang direkomendasikan untuk satwa primata

Berat badan Luas alas minimal Tinggi minimal

< 1 kg 0,15 m² 50,8 cm

1 kg – 3 kg 0,28 m² 76,2 cm

3 kg – 15 kg 0,40 m² 76,2 cm

15 kg – 25 kg 0,74 m² 91,4 cm

> 25 kg 2,33 m² 213,4 cm

Sumber: National Institute of Health (1985) dalam Rahman (2011).

Seluruh jenis kandang tersebut terbuat dari kawat besi dan beratapkan fiberglass. Untuk kandang karantina lantainya sudah berupa keramik dan dindingnya sebagian terbuat dari tembok dan sisanya kawat. Namun untuk kandang sanctuary pre-habituasi lantainya masih berupa tanah dan hanya separuh bagian kandang yang diberi atap. Hal ini dimaksudkan untuk membiasakan kukang yang akan dilepasliarkan dengan kondisi sebenarnya di alam liar. Sedangkan kandang sanctuary, kandang sosialisasi dan kandang individu lantainya sudah tidak berupa tanah lagi melainkan sudah disemen.

(30)

membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar kandang serta membersihkan lantai kandang yang berupa semen dengan menyiram dan menyikatnya. Sedangkan untuk kandang karantina, dibersihkan dengan cara disapu dan dipel. Sistem salinitas yang ada cukup baik untuk mendukung terjaganya kebersihan lingkungan sekitar kandang.

5.1.4 Pakan

Jenis pakan yang diberikan kepada kukang yang berada di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia yaitu beberapa jenis buah-buahan, serangga dan telur serta beberapa jenis makanan tambahan, seperti cicak dan yogurt (Gambar 6). Pola pakan primata umumnya dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan kuantitas jenis pakan yang dikonsumsi yaitu frugivorus (banyak memakan buah), folivorus (banyak makan dedaunan) dan insectivorus (banyak memakan serangga) (NRC 2003, Rowe 1996). Pemilihan jenis pakan ini didasari pada karakteristik gigi dan sistem pencernaan yang dimiliki (Prayogo 2006). Kukang termasuk ke dalam frugivorus yang mencukupi kebutuhan proteinnya dari mengkonsumsi serangga.

(a) (b)

Gambar 6 Jenis pakan kukang (a) buah jambu biji; (b) jangkrik (serangga).

(31)

harian kukang di alam yaitu terdiri dari 50% buah, 40% hewan mangsaan seperti serangga, moluska, dan kadal serta 10% getah dan sisanya adalah telur burung, buah coklat, pucuk atau tunas pohon dan jenis serangga yang berbau dan menjijikan. Pakan tambahan yang biasa diberikan yaitu cicak dan yogurt. Cicak diberikan setiap dua minggu sekali atau tergantung ketersediaannya. Sedangkan yogurt diberikan kepada kukang yang masih remaja atau kukang yang sedang membutuhkan vitamin tambahan.

Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pukul 18.00 dan pukul 23.00 setiap harinya. Kombinasi pakan yang diberikan setiap kali pemberian pakan yaitu satu macam jenis buah dan satu macam jenis serangga. Jenis pakan yang diberikan setiap kali pemberian pakan juga bervariasi sesuai dengan persediaan pakan yang ada. Pakan diberikan dengan cara diletakkan pada tempat pakan atau box serangga yang tersedia (Gambar 7), diletakkan di atas kandang atau diletakkan tersembunyi dibalik batang-batang pohon.

(a) (b)

Gambar 7 (a) tempat meletakkan pakan (bambu) dan air (wadah berwarna hijau); (b) tempat meletakkan serangga (jangkrik).

(32)

5.1.5 Pemeliharaan Kesehatan

Pemeliharaan kesehatan yang dilakukan di Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia terutama tertuju kepada satwa yang dipelihara serta perawat satwa (keeper) kandang. Hal ini dilakukan untuk menghindari penularan penyakit baik dari satwa ke manusia maupun dari manusia ke satwa (zoonosis). Selain itu, pemeliharaan kesehatan juga dilakukan di sekitar lingkungan kandang agar tidak terjangkit penyakit menular kepada satwa yang dipelihara maupun kepada petugas kandangnya.

Pemeliharaan kesehatan bagi satwa yang ditampung di Yayasan IAR Indonesia dilakukan dengan melakukan pemeriksaan medical cek-up keseluruhan pada masing-masing individu setiap tujuh minggu sekali. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan gigi, rambut dan feses, penimbangan berat badan serta pemberian obat cacing atau vitamin tambahan yang dibutuhkan.

Pemeliharaan kesehatan bagi petugas kandang dilakukan dengan memberi vaksinasi kepada seluruh petugas kandang agar tidak mudah terserang penyakit. Selain itu juga petugas kandang wajib menerapkan safety prosedur yang telah ditetapkan oleh Yayasan IAR Indonesia, seperti menggunakan masker, sepatu boot dan baju lapang saat sedang bertugas di kandang. Pemeliharaan kesehatan bagi lingkungan sekitar kandang juga dilakukan dengan disediakannya disinfektan di beberapa plot area yang akan memasuki kandang. Disinfektan juga disediakan di beberapa kandang untuk memudahkan petugas kandang yang sedang membersihkan kandang setiap harinya. Selain itu juga disediakan tempat cuci tangan dan tempat kebersihan peralatan kandang.

5.1.6 Pengelolaan lingkungan di sekitar kandang

(33)

Sedangkan jenis tumbuhan yang berada di sekitar kandang didominasi oleh tanaman kaliandra dan bambu. Selain itu ada juga beberapa jenis bambu yang ditanam di dalam kandang, pohon buah seperti pohon pisang, pohon mangga, pohon kelapa, pohon markisa, pohon pete, pohon kakau, pohon bacang, dan lain-lain. Jenis-jenis tanaman tersebut sengaja ditanam untuk menunjang kebutuhan pakan maupun pengayaan kandang bagi satwa yang dipelihara. Selain itu, ditanamnya berbagai jenis pepohonan tersebut diharapkan mampu menciptakan iklim mikro yang baik di sekitar kandang. Tanaman yang ditanam di dalam kandang kukang seperti bambu krisik, pohon markisa, pohon mangga, pohon nangka, pohon jambu biji, kopi dan kaliandra diharapkan dapat membantu mengurangi penyimpangan perilaku bagi kukang.

Selain itu, untuk melengkapi kondisi kandang menyerupai kondisi di alamnya, diberikan pula potongan-potongan pohon matoa, kakau dan lain-lain untuk menciptakan suasana teduh dan nyaman bagi kukang bersembunyi ketika tidur. Tali karet, ranting-ranting, bentangan karung, anyaman bambu (Gambar 8) dan box yang terbuat dari tripleks yang disediakan di dalam kandang dimaksudkan sebagai suatu sarana agar kukang dapat mengekspresikan perilaku alaminya, baik perilaku makan, perilaku bermain maupun perilaku istirahat (tidur).

(a) (b)

(34)

kelembabannya berkisar antara 75-97%. Hari hujan yang terjadi sepanjang malam hanya terjadi pada beberapa malam di awal pengambilan data. Selanjutnya hujan atau gerimis hanya terjadi beberapa saat bahkan di beberapa malam menjelang akhir pengambilan data cuacanya cerah.

Intensitas cahaya sekitar kandang tidak terlalu terang. Setiap kandang hanya diberi lampu lima watt berwarna kuning atau merah yang akan dimatikan seluruhnya ketika keeper pulang. Pemberian lampu ini dimaksudkan agar mampu mengundang datangnya jenis-jenis serangga malam yang terpengaruh oleh cahaya sehingga melatih kukang untuk dapat berburu serangga (personal communication, Mursid). Selain itu juga untuk memudahkan para keeper observasi tanpa mengganggu aktifitas kukang dengan silaunya cahaya lampu.

5.2 Pengaruh Pengayaan Pakan terhadap Perilaku 5.2.1 Jenis pengayaan pakan

(35)

(a) (b)

Gambar 9 Bagian tumbuhan yang dimakan (a) sari bunga kaliandra; (b) sari bunga sirihan.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan dengan memberikan pengayaan jenis kaliandra dan sirihan yang dimanfaatkan sari bunganya sebagai pakan di alam, dapat dilihat bahwa kukang lebih suka memakan sari bunga kaliandra daripada sirihan. Hal ini dikarenakan rasa sari bunga kaliandra yang lebih manis daripada sari bunga sirihan. Perbandingan penggunaan pemanfaatan kaliandra dan sirihan sebagai tumbuhan pakan kukang dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Perbandingan penggunaan pemanfaatan pengayaan pakan berupa sari bunga.

(36)

selanjutnya kukang menjilatinya (Wiens 2002). Perilaku makan yang seperti ini dikenal dengan nama perilaku gouging. Dari hasil pengamatan selama pengambilan data, dapat dilihat bahwa bekas gigitan yang dimakan oleh kukang lebih banyak terdapat pada batang sengon (Gambar 11). Hal ini terjadi salah satunya karena kulit batang pohon pete lebih tebal daripada kulit pohon sengon. Sehingga kukang cenderung lebih senang memakan getah sengon daripada getah pete. Perbandingan penggunaan sengon dan pete sebagai pengayaan pakan yang dimanfaatkan getahnya dapat dilihat pada Gambar 12.

(a) (b)

Gambar 11 Bekas gigitan kukang pada (a) batang sengon; (b) batang pete.

Gambar 12 Perbandingan penggunaan pemanfaatan pengayaan pakan berupa getah.

(37)

sumber pakan berturut-turut yaitu kaliandra sebesar 41%, sengon 30%, pete 18% dan sirihan 11% (Gambar 13). Hal ini disebabkan salah satunya karena ketersediaan kaliandra dan sengon yang lebih banyak ditemukan di habitat alami kukang, sehingga sudah tidak asing lagi bagi kukang terhadap jenis tumbuhan pakan tersebut. Kaliandra juga merupakan jenis pengayaan pakan yang lebih menarik perhatian kukang, karena selalu dimakan lebih dulu dibandingkan yang lain.

Gambar 13 Perbandingan penggunaan pengayaan pakan secara keseluruhan. 5.2.2 Deskripsi perilaku kukang

Dari hasil pengamatan, diperoleh data frekuensi masing-masing perilaku yang diamati pada perlakuan yang berbeda. Data tersebut kemudian diolah dengan menggunakan uji khi-kuadrat (Lampian 3). Hasil dari pengolahan data tersebut diperoleh X2 hitung sebesar 19,522 dan X2 tabel sebesar 13,277. Karena X2 hitung lebih besar daripada X2 tabel, maka hipotesisnya yaitu tolak H0 terima H1 atau

dengan kata lain ada pengaruh pemberian pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang yang diamati.

(38)

5.2.2.1 Perilaku makan

Frekuensi perilaku makan yang teramati selama pengambilan data baik yang tanpa pengayaan maupun dengan pengayaan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan frekuensi perilaku kukang makan pada setiap perlakuan

Waktu Perlakuan Rata-terjadi antara pukul 19.00-20.00 dan 23.00-24.00. Hal ini dikarenakan pada waktu tersebut merupakan waktu pemberian pakan. Namun dengan adanya perlakuan pemberiaan pengayaan pakan, perilaku makan kukang cenderung merata pada setiap jam pengamatannya. Hal ini terjadi karena walaupun pakan pokok yang diberikan telah habis, kukang masih bisa memilih-milih pengayaan pakan yang diberikan untuk dimakan. Hal ini berarti pemberian pengayaan pakan berpengaruh terhadap peningkatan perilaku makan kukang dan kukang lebih aktif untuk mencari makan.

Persaingan yang terjadi antara individu jantan dan individu betina terlihat setiap kali pada saat pemberian pakan utama. Namun dengan adanya pemberian pengayaan pakan alami, persaingan yang terlihat sedikit berkurang. Hal ini karena masing-masing individu memiliki pilihan yang lebih banyak daripada hanya dengan pemberian pakan utama saja. Persaingan yang terjadi pada waktu makan ini dapat mencapai pada puncaknya ketika kukang yang bersaing sampai mengeluarkan suara yang mengancam individu lainnya.

(39)

rendah daripada posisi kakinya) atau bergelantungan dengan satu atau kedua kakinya dibandingkan makan dengan posisi duduk (Gambar 14).

(a) (b)

Gambar 14 Posisi kukang (a) makan; (b) minum.

(40)

Kukang juga mampu berburu serangga kecil yang berkeliaran di dalam kandang. Serangga yang mendekat ke kandang akibat adanya cahaya lampu di dalam kandang mampu melatih kukang untuk dapat berburu dan memangsa serangga kecil yang berada di sekitar kandang (personal communication, Mursid). Kukang mulai mengintai dan mengamati mangsanya dari jarak tertentu kemudian dengan sigap menangkap dan memakannya. Namun jika serangga tersebut tidak menarik minat kukang untuk memakannya, maka kukang akan menjadikan satwa mangsanya tersebut sebagai sarana untuk bermain mengurangi kebosanan di dalam kandang.

5.2.2.2 Perilaku bergerak

Hasil pengamatan perbandingan perilaku bergerak dengan perlakuan berbeda selama pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Perbandingan frekuensi pergerakan kukang pada setiap perlakuan

Dari hasil pengamatan dan pengambilan data tersebut dapat dilihat bahwa aktivitas bergerak kukang akan meningkat sebagian besar berada antara pukul 22.00-23.00, hal ini terjadi karena seperti di alam, pada waktu-waktu tersebut merupakan waktu yang paling sering dimanfaatkan kukang untuk mencari makan. Nekaris (2001) juga menyatakan bahwa kukang di alam akan menjadi sangat aktif dari pukul 21.00 hingga 24.00. Sehingga walaupun belum disediakan pakan lagi dan hanya sedikit sisa pakan yang tidak habis pada pemberian pakan sebelumnya, kukang tersebut akan terus bergerak hanya untuk sekedar mencari makan, bermain atau hanya bergerak mengamati kondisi sekitar.

Perilaku bergerak yang diamati merupakan aktivitas yang dilakukan kukang dalam keadaan tanpa individu lain didekatnya, sehingga tidak ada interaksi yang terjadi antara individu satu dengan individu lainnya. Perilaku bergerak yang dilakukan sendiri sebagian besar merupakan lokomosi (Haris 2008). Lokomosi yang diamati selama pengamatan yaitu bergerak mengamati

(41)

Rata-kondisi sekitar kandang, mencari makan dan bermain dengan sesuatu untuk mengurangi kebosanan. Nekaris (2001) menyatakan bahwa lokomosi di alam termasuk travelling (pergerakan secara langsung) dan foraging (mencari makan).

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa perilaku bergerak tanpa diberi pengayaan lebih tinggi dibandingkan perilaku bergerak dengan pemberian pengayaan pakan. Hal ini terbukti bahwa dengan pemberian pengayaan pakan dapat mempengaruhi perilaku bergerak. Dengan pemberian pengayaan pakan akan mengurangi perilaku bergerak kukang dan meningkatkan perilaku makannya. Namun demikian, secara keseluruhan dari perilaku yang diamati, kukang memang lebih banyak melakukan pergerakan (lokomosi) secara langsung. Hal ini juga sesuai dengan Haris (2008) yang menyatakan bahwa kukang di alam menghabiskan lebih banyak waktunya untuk beraktivitas sendiri (lokomosi) dengan persentase 93,3 ± 5,4%.

5.2.2.3 Perilaku istirahat

Perbandingan perilaku istirahat pada sebaran waktu tertentu dengan perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Perbandingan frekuensi kukang istirahat pada setiap perlakuan

Waktu Perlakuan

Rata-Dari hasil pengamatan tersebut, sebagian besar kukang istirahat pada selang waktu antara pukul 20.00-21.00. Hal ini terjadi karena kukang biasanya cenderung diam setelah aktivitas makan atau disela aktivitas merawat diri (grooming). Perilaku istirahat pada kukang dapat digambarkan ketika satwa ini duduk diam di atas batang pohon atau berpegangan menempel pada kawat dinding kandang tanpa melakukan aktivitas apapun atau hanya sekedar melihat-lihat keadaan sekitar (Gambar 15).

(42)

kukang belum tentu berarti istirahat. Perilaku non-aktif yaitu kondisi kukang dalam keadaan tidur atau diam di tempat yang sama (Bottcher-Law et al. 2001). Posisi membeku atau freeze merupakan posisi gerakan tiba-tiba dari kukang yang berhenti dan kemudian tidak bergerak sama sekali (Haris 2008). Posisi ini dapat terjadi ketika kukang merasa terkejut atau terganggu dengan sesuatu hal yang terjadi sehingga kukang tiba-tiba diam tidak bergerak dan hanya mengamati kondisi sekitar.

Gambar 15 Posisi kukang pada saat istirahat.

Dengan perlakuan tanpa pemberian pengayaan pakan, perilaku istirahat pada kukang sangat terlihat jelas diantara waktu pemberian pakan yang pertama dan kedua. Namun perilaku istirahat pada kukang terlihat menurun ketika diberikan perlakuan pemberian pengayaan pakan. Hal ini berarti dengan adanya perlakuan pemberian pengayaan pakan dapat mengurangi perilaku istirahat pada kukang.

5.2.2.4 Perilaku merawat diri (grooming)

(43)

Tabel 10 Perbandingan frekuensi kukang grooming pada setiap perlakuan

Dari hasil pengamatan tersebut, dapat dilihat bahwa frekuensi perilaku grooming meningkat pada waktu-waktu setelah pemberian pakan yaitu pada pukul 19.00-20.00. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartika (2000) dalam hasil penelitiannya yang menyebutkan bahwa frekuensi grooming yang diamatinya meningkat pada pukul 17.00-20.00 dan 21.00-01.00. Perilaku ini biasanya dilakukan sambil menggantung, setengah menggantung atau duduk di batang pohon atau tenggeran kayu. Perilaku grooming dilakukan dengan tujuan membersihkan rambut dari debu atau kotoran atau menggaruk bagian yang gatal dan dilakukan pada malam hari atau menjelang tidur (Asnawi 1991).

(44)

Gambar 16 Perilaku grooming (autogrooming).

Dari gambar di atas terlihat bahwa kukang sedang melakukan grooming dengan cara menjilati bagian perutnya dengan posisi tubuh setengah menggantung. Selain itu, teramati pula perilaku grooming kukang dengan posisi duduk di batang pohon. Meregangkan tubuh dengan menggantung, duduk di dahan atau tenggeran juga termasuk merawat diri (grooming) pada kukang (Kartika 2000).

Perbandingan perilaku grooming antara yang diberi perlakuan pemberian pengayaan pakan dan yang tanpa diberi perlakuan pengayaan pakan berbanding terbalik dengan perilaku makannya, walaupun perilaku grooming kukang terlihat beriringan beberapa saat setelah kukang selesai makan. Hal ini terjadi karena ketersediaan pakan yang cukup banyak sehingga kukang cenderung lebih tertarik untuk memilih-milih pakan yang tersedia daripada grooming, walaupun tetap terlihat grooming diantara perilaku kukang makan.

5.2.2.5 Perilaku Menyimpang

Perbandingan frekuensi penyimpangan perilaku pada sebaran waktu tertentu dengan perlakuan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Perbandingan frekuensi penyimpangan perilaku pada setiap perlakuan

Waktu Perlakuan

Rata-rata

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7

19.00-20.00 2 1 0 1 0 0 0 1 0,62

20.00-21.00 0 2 1 0 0 0 1 1 0,62

21.00-22.00 2 0 1 1 1 0 0 1 0,75

22.00-23.00 0 0 0 1 0 0 0 1 0,25

23.00-24.00 2 0 0 0 0 0 0 0 0,25

(45)

Dari hasil pengamatan, dapat dilihat bahwa frekuensi penyimpangan perilaku pada kukang terlihat menyebar secara acak. Bahkan pada perlakuan pemberian pengayaan pete sama sekali tidak terlihat adanya penyimpangan perilaku. Hal ini dapat disebabkan oleh tergantungnya kondisi masing-masing individu dan perbedaan faktor luar yang mempengaruhi masing-masing individu itu pula. Namun secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa dengan adanya pengayaan pakan yang diberikan dapat memperkecil terjadinya penyimpangan perilaku pada kukang.

Penyimpangan perilaku dianggap sebagai perilaku yang muncul di luar perilaku normal, pola tetap kelainan dan termasuk keburukan. Penyimpangan perilaku ini merupakan inti menuju gangguan mental makhluk hidup (Davison dan Neale 1998). Oleh sebab itu perlu lebih dipahami lagi mana pola perilaku khas dan mana yang dapat dianggap sebagai perilaku tidak normal untuk satwa dari kelas tertentu dan usia (Keeling dan Jensen 2009). Keeling dan Jensen (2009) juga menyebutkan bahwa ada tiga bentuk penyimpangan perilaku yaitu perilaku stereotip, perilaku kanibalisme dan penyimpangan perilaku agresi.

Penyimpangan perilaku yang teramati selama penelitian termasuk ke dalam bentuk perilaku stereotip. Keeling dan Jensen (2009) menggambarkan perilaku ini sebagai gerakan yang diulang dengan cara yang sama dan mungkin menempati sebagian besar dari waktu aktif satwa. Perilaku stereotip yang sering terlihat di dalam kandang yaitu perilaku kukang yang bergerak mondar-mandir secara berulang-ulang. Mason (2010) menyatakan bahwa gerakan mondar-mandir secara berulang merupakan penyimpangan perilaku yang tampak santai namun akan berakibat pada perilaku yang lebih membahayakan lagi seperti melukai atau menggigit anggota tubuhnya hingga terluka parah.

5.2.3 Perbandingan pengaruh pengayaan pakan terhadap perilaku

(46)

paling sering dijumpai di habitat alaminya. Oleh sebab itu perlu diadaptasikan jenis pakan alami tersebut sebelum dapat dilepasliarkan kembali.

Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa yang memiliki pengaruh terbesar terhadap perubahan perilaku kukang yang diamati yaitu pada saat diberikan pengayaan kaliandra. Hal ini disebabkan karena selain dimanfaatkan nektarnya, kukang juga memakan lendir floem dari batang tanaman kaliandra. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiens et al. (2006) yang menyebutkan bahwa proporsi waktu terbesar makan kukang di alam yaitu untuk memakan lendir floem (34,9%), nektar bunga (31,7%) dan buah-buahan (22,5%) dimana jenis makanan tersebut menyediakan gula dalam jumlah yang besar sehingga kukang memiliki diet yang kaya energi. Dengan pemberian kaliandra meningkatkan aktivitas perilaku kukang, terutama perilaku makannya.

Selain kaliandra, pemanfaatan pengayaan pakan terbesar selanjutnya berturut-turut yaitu sengon dan pete yang getahnya dijadikan sebagai sumber pakan di habitat kukang jawa (Winarti 2011). Kukang lebih menyukai getah sengon daripada getah pete karena kulit batang pohon pete lebih tebal daripada kulit batang pohon sengon. Sehingga kukang dapat lebih mudah mendapatkan getah dari pohon sengon tanpa harus menggurat atau menggigit kulit batang yang tebal.

Sedangkan untuk pemanfaatan sirihan, selain untuk kebutuhan sumber pakan, tanaman ini juga dimanfaatkan sebagai tempat istirahat ataupun grooming karena tanaman ini merupakan jenis semak yang rimbun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nekaris dan Bearder (2007) yang menyebutkan bahwa kukang menghuni hutan yang lebat dengan semak yang rimbun dan menyukai tutupan kanopi yang lebat.

(47)

daripada kukang jantan. Hal ini juga disebabkan oleh kondisi gigi kukang betina yang lebih baik daripada kukang jantan.

Dari hasil perhitungan dan pengolahan data diperoleh X2 hitung sebesar 19,522 dan X2 tabel sebesar 13,277. Karena X2 hitung lebih besar daripada X2 tabel, maka hipotesisnya yaitu tolak H0 terima H1 atau dengan kata lain ada

pengaruh pemberian pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang yang diamati. Hal ini juga diperkuat dengan hasil pengamatan perilaku yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pengaruh pemberian pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang betina dapat dilihat dengan meningkatnya perilaku makan. Selain itu juga meningkatnya perilaku grooming yang hampir terlihat beriringan sesaat setelah makan. Sedangkan untuk perilaku bergerak, diam dan abnormal terlihat berkurang frekuensinya pada saat pemberian pengayaan pakan. Untuk kukang jantan, walaupun respon terhadap pengayaan pakan yang diberikan tidak sebaik kukang betina, tetapi terlihat juga peningkatan frekuensi pada perilaku makan. Sedangkan untuk perilaku bergerak, diam, grooming, dan perilaku menyimpang mengalami penurunan frekuensi pada saat pemberian pengayaan pakan alami. Menurut Wiens (2002) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pola aktivitas jantan dan betina kukang jawa di alam. Namun demikian, perbedaan respon dan strategi adaptasi terhadap kondisi di dalam kandang dapat tergantung pada kondisi individu masing-masing.

Perbandingan perilaku yang diamati tanpa pemberian pengayaan pakan dan dengan pemberian pengayaan pakan tidak begitu terlihat jelas, kecuali pada peningkatan perilaku makannya. Hal ini terjadi karena di waktu-waktu kosong diantara pemberian pakan pertama dan kedua tersebut dapat dimanfaatkan kukang untuk memilih-milih pengayaan pakan yang diberikan. Sehingga secara umum hal tersebut mengurangi perilaku bergerak, diam, grooming dan perilaku menyimpang yang terlihat di waktu-waktu kosong diantara pemberian pakan pertama dan kedua.

(48)
(49)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Implementasi manajemen rehabilitasi kukang jawa yang dilakukan oleh Yayasan IAR Indonesia meliputi prosedur penerimaan dan pelespasliaran satwa yang sesuai dengan prosedur yang telah dianjurkan, pengelolaan lingkungan sekitar kandang yang sesuai dengan kondisi satwa yang dipelihara serta pemeliharaan kesehatan yang sesuai dengan animal welfare.

2. Pengaruh pemberian pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang jawa dapat dilihat dari meningkatnya perilaku makan serta dapat mengurangi tingkat stres pada kukang sehingga menghindari terjadinya penyimpangan perilaku. Penggunaan pengayaan pakan alami tersebut tidak terpengaruh oleh jenis kelamin kukang dan juga tidak mempengaruhi kondisi kesehatan kukang.

3. Jenis pengayaan pakan alami yang paling sering direspon dan mempunyai pengaruh paling besar terhadap perilaku yang diamati secara keseluruhan berturut-turut yaitu kaliandra sebesar 41%, sengon 30%, pete 18% dan sirihan 11%.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat konsumsi pakannya, baik pakan pokok dan pengayaan pakan yang diberikan.

(50)

PENGARUH PENGAYAAN PAKAN ALAMI TERHADAP

PERILAKU KUKANG JAWA (

Nycticebus javanicus

Geoffroy

1812) DI YAYASAN

INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE

(IAR) INDONESIA

HERMIN WAHYUNI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran.
Gambar 2  Kukang  jawa.
Tabel 1  Ciri morfologi kukang jawa
Gambar 3  Sebaran kukang di Asia (diadaptasi dari Schulze 2003c dalam Winarti
+7

Referensi

Dokumen terkait