• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Fotometer sebagai Alat Ukur Warna Kulit Manusia Secara In Vitro dan In Vivo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kinerja Fotometer sebagai Alat Ukur Warna Kulit Manusia Secara In Vitro dan In Vivo"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

FRENGKI SIBURIAN. Kinerja Fotometer sebagai Alat Ukur Warna Kulit

Manusia Secara

In Vitro dan

In Vivo. Dibimbing oleh RUDI HERYANTO dan

ARYO TEDJO.

Pengukuran kuantitatif warna kulit, khususnya dalam menentukan

perubahan kecerahan warna kulit, digunakan secara luas di dalam penelitian

bahan kosmetika kulit. Alat yang dapat digunakan untuk mengukur warna kulit

adalah Chromameter

®

Konica Minolta CR 400 dengan hasil keluaran berupa nilai

L*a*b*. Alat tersebut tergolong mahal sehingga diperlukan alternatif peralatan

pengukur warna kulit yang lebih murah, fotometer menjadi salah satu solusinya.

Penelitian ini bertujuan mendapatkan model perhitungan yang paling baik untuk

alat fotometer, digunakan pemodelan persamaan (curve fit) dan

partial least

square

(PLS). Pemodelan dilakukan berdasarkan pengukuran secara

in vitro

(menggunakan standar warna dari produk pencerah kulit komersial) dan

in vivo

(langsung pada kulit). Hasil dari analisis komponen utama menunjukkan

kombinasi lampu

light emitting diodes yang memberikan kemiripan pola antara

hasil pengukuran menggunakan chromameter dan fotometer adalah lampu merah,

biru, dan ungu. Pendekatan untuk menghitung nilai L* kulit normal manusia yang

memberikan hasil mendekati nilai L* sebenarnya adalah menggunakan metode

kemometrik (teknik PLS), model tersebut memiliki

R

2

kalibrasi = 0.9936,

R

2

prediksi = 0.9906, RMSEC = 0.8790, dan RMSEP = 1.1334, sehingga fotometer

berpotensi untuk dijadikan alat pengukur perubahan kecerahan warna kulit normal

manusia.

ABSTRACT

FRENGKI SIBURIAN. Perfomances of Photometer as Human Skin Color Meter

According to In Vitro

and

In Vivo

Methods. Supervised by RUDI HERYANTO

and ARYO TEDJO.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Warna kulit ditentukan oleh pigmen seperti hemoglobin, melanin, bilirubin, dan karotenoid. Komponen warna kulit dipengaruhi secara signifikan oleh sinar UV, bekas luka, dan beberapa zat di dalam obat-obatan. Pengukuran secara kuantitatif dalam menentukan perubahan warna kulit secara eksperimen, digunakan secara luas di dalam penelitian bahan kosmetika kulit. Penelitian tersebut menjadi hal yang menarik karena distribusi warna kulit dapat memengaruhi persepsi usia, daya tarik (Matts et al. 2007), serta tingkat kesehatan seseorang (Stephen et al. 2009, Matts 2008), hal ini disebabkan karena kromofor melanin dan hemoglobin tersebut. Oleh karena itu, di dalam bidang tersebut respons warna menjadi hal yang penting, karena dapat digunakan sebagai indikator karakteristik kulit (kemampuan pertahanan kulit dan tingkat sensitivitas), karakteristik obat (konsentrasi dan bioavibilitas), penentuan formulasi bahan pencerah kulit yang baik, serta karakteristik tingkat perlindungan kulit terhadap sinar matahari (Clarys et al. 2000).

Peranan pengukuran warna kulit tersebut mendorong banyak dilakukan penelitian untuk dapat mengukur warna kulit secara kuantitatif baik in vitro maupun in vivo. Pengukuran warna kulit dapat dilakukan dengan analisis tristimulus dengan memanfaatkan sinar yang direfleksikan dari struktur kulit (Fullerton et al. 1996).

Alat tristimulus reflektans yang digunakan dalam menentukan warna kulit adalah Konica Minolta Chromameter® CR 200, 300, dan 400 (diproduksi di Osaka, Jepang). Alat ini menghasilkan nilai keluaran berdasarkan sistem Commission Internationale de

l’Eclairage (CIE) yang dapat digunakan untuk mengukur warna kulit, dan hasil keluaran diekspresikan secara tiga dimensi (L*, a*, b*). Nilai L* dan b* memiliki korelasi yang baik dalam hal distribusi pigmen (Draaijers et al.

2004), sedangkan nilai a* menunjukkan korelasi dengan indeks eritema/kandungan hemoglobin (Stephen et al. 2009, Clarys et al.

2000).

Alat yang telah disebutkan di atas tergolong mahal, sehingga diperlukan alternatif peralatan pengukur warna kulit yang lebih murah dan minimal nilai yang dikeluarkan memiliki kemiripan pola dengan alat standar (chromameter).

Fotometer yang digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan sinar reflektans yang dihasilkan setelah sinar diberikan pada permukaan benda. Salah satu penggunaan fotometer ini, sudah pernah diteliti oleh Zain

et al. (2007), yaitu untuk metode deteksi dini kanker karena dengan menggunakan fotometer ini dapat dibedakan sel dan jaringan karsinoma (kanker) dengan sel jaringan normal menggunakan metode autofluoresensi multieksitasi. Penggunaan fotometer untuk aplikasi lainnya dilakukan pada penelitian ini, dengan tujuan mendapatkan model perhitungan yang paling baik untuk alat fotometer, sehingga nantinya alat ini dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kecerahan warna kulit di dalam proses pengembangan formula bahan pencerah kulit. Model perhitungan yang menjadi target luaran dalam penelitian ini diperoleh melalui dua pendekatan, yang pertama dengan menggunakan model perhitungan yang diperoleh dari optimasi menggunakan pemodelan persamaan (Curve Fit) sehingga menghasilkan koefisien yang dapat ditambahkan di dalam sebuah rumus untuk menghitung nilai L*a*b*. Pendekatan yang kedua, dilakukan menggunakan metode kemometrik yaitu Partial Component Analysis

(PCA) / Analisis Komponen Utama (AKU) dan Partial Least Square (PLS). Pengenalan pola antara nilai yang dihasilkan dari alat

chromameter dan fotometer dapat dilakukan dengan metode AKU, sedangkan model perhitungan yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai L*a*b* dapat dilakukan menggunakan metode PLS. Pengukuran di dalam penelitian ini dilakukan secara in vitro

(menggunakan standar warna dari produk pencerah kulit komersial) dan in vivo

(langsung pada kulit).

TINJAUAN PUSTAKA

Kulit Manusia

(3)

Gambar 1 Tiga lapisan utama kulit beserta distribusi pigmen, M (melanin), O,R (oksi dan hemoglobin tereduksi, C (karoten), S (hamburan cahaya)

Fotometer Reflektans

Fotometer ini memanfaatkan sinar reflektans yang dihasilkan setelah sinar diberikan pada permukaan benda. Refleksi adalah pemantulan radiasi oleh permukaan bahan/benda tanpa mengalami perubahan panjang gelombang (Feather et al. 1988).

Sinar yang direfleksikan oleh kulit dipengaruhi oleh interaksi dengan udara/antarmuka stratum corneum (sudut iluminasi, mikrorelif, sisik pada kulit), penghamburan sinar ke dalam dan ke luar dari struktur bagian dalam, khususnya lapisan dermis.

Pada alat Konica Minolta Chromameter®, pengukuran warna kulit didasarkan pada pengukuran warna sinar yang direfleksikan, di mana fotosel silikon bersensitivitas tinggi berfungsi sebagai penangkap sinar yang telah melewati filteryang telah disesuaikan dengan standar warna dasar dari CIE yaitu biru (450 nm), hijau (550 nm), dan merah (610 nm). Hasil pengukuran berupa nilai X, Y, Z (nilai tristimulus) yang memberikan informasi mengenai jumlah relatif warna sesuai dengan penyesuai warna (Zwinkels 1996).

Gambar 2 Fotometer yang sedang dikembangkan (skematik)

Light Emitting Diodes (LED)

Sumber sinar pada alat fotometer menggunakan Light Emitting Diodes (LED), yang merupakan sebuah peralatan elektronik kecil (semikonduktor) yang memancarkan cahaya saat dilewati arus. LED digunakan untuk mengubah energi cahaya jika diberikan tegangan maju (forward bias) (Chandra et al.

2010). Jenis lampu ini mempunyai banyak keuntungan, seperti ukurannya kecil sehingga dapat digunakan pada pengukuran warna kulit secara langsung, penggunaan energi listrik hanya dengan daya yang kecil (20–100 mA), dapat digunakan dengan tegangan yang rendah (2–5 V) sehingga tepat digunakan pada instrumen jinjing (Menn 2004, Feather et al.

1988). Hampir semua energi yang dipancarkan LED muncul dalam spektrum yang tampak oleh mata (Feather et al. 1988).

Gambar 3 Bentuk fisik lampu LED

Light Dependent Resistor (LDR)

Light Dependent Resistor (LDR) atau disebut juga dengan fotokonduktor merupakan salah satu jenis sensor optik yang digunakan dalam rangkaian elektronika. Seperti fotodioda, LDR juga memanfaatkan intensitas cahaya. LDR berfungsi untuk mengubah intensitas cahaya menjadi tahanan listrik (resistansi) pada rangkaian elektronika. Resistansi yang dihasilkan LDR berubah sesuai perubahan intensitas cahaya yang masuk (Chandra et al. 2010).

(4)

Gambar 4 Bentuk fisik LDR Sistem L*a*b*

Pengukuran warna kulit dapat menggunakan sistem L*a*b*. Nilai L* spesifik untuk posisi sumbu vertikal gelap– terang, jadi merupakan ukuran yang menyatakan kecerahan relatif dari sampel pada kisaran hitam total (L* = 0) hingga putih total (L* = 100). Nilai a* spesifik pada posisi sumbu merah–hijau (positif a* = merah, negatif a* = hijau), dan nilai b* spesifik untuk sumbu kuning–hijau (positif b* = kuning, negatif b* = biru). Sistem L*a*b* memiliki keuntungan karena hasilnya kurang lebih sesuai dengan struktur penglihatan sebenarnya, dan dapat digunakan dalam menduga warna kulit (Muizzuddin et al.

1990).

Gambar 5 Rentang warna CIELAB (Weatherall dan Coombs 1992)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Trujillo et al. (1996), informasi mengenai pigmentasi relatif dapat ditinjau berdasarkan nilai L*, sehingga kulit yang lebih gelap memiliki nilai L* lebih rendah dibandingkan dengan kulit yang cerah. Hal ini ditegaskan lagi oleh Shriver dan Parra (2000),

bahwa terdapat hubungan antara nilai L* (kecerahan relatif) dan M (melanin indeks). Di sisi lain, informasi yang dapat merefleksikan hemoglobin darah, dapat dilihat dari nilai a*, kulit yang mengandung hemoglobin lebih besar dan peningkatan warna kemerahan pada kulit memberikan nilai a* yang lebih tinggi. Sedangkan nilai b* dapat merepresentasikan adanya pigmen karotenoid (Stephen et al. 2009).

Analisis Komponen Utama (AKU)

AKU dikenal juga sebagai metode pereduksi atau penekan data, terkait dengan tujuannya mengurangi jumlah variabel dalam suatu matriks untuk menghasilkan variabel baru dengan tetap mempertahankan informasi yang dimiliki oleh data. AKU memudahkan visualisasi pengelompokkan data, evaluasi awalan kesamaan antar kelompok atau kelas, dan menemukan faktor atau alasan di balik pola yang teramati melalui korelasi dengan sarana kimia atau fisika-kimia contoh.

Setiap variabel baru (skor atau PC) yang dihasilkan AKU merupakan kombinasi linear variabel asli pengukuran (Miller & Miller 2000). Skor dinilai bersama dengan satu set vektor yang disebut loading. Loading

mengukur hubungan di antara variabel. Antara skor dan loading terhubung dalam fungsi

X = TP’ + E

TP’ (1) X adalah matriks data awal, T merupakan matriks dengan kolom berupa skor, P’ adalah matriks dengan kolomnya berupa loading, dan E adalah matriks residual.

Skor disusun berdasarkan proporsi utama varian. Skor pertama mewakili bagian yang paling penting dalam varian. Skor selanjutnya mewakili varian yang lebih kecil daripada skor sebelumnya. Biasanya, jumlah skor yang berguna kurang dari jumlah variabel asli (Miller & Miller 2000).

Partial Least Square (PLS)

PLS lebih umum digunakan dalam kalibrasi multivariat karena mutu model kalibrasi yang dihasilkan dan kemudahan penerapannya. PLS mampu menganalisis data dengan jumlah yang cukup banyak, mewakili tingkat kolinearitas tinggi, sejumlah besar variabel x, dan beberapa variabel respons y

(Wold et al. 2001).

(5)

dari data perkiraan). X adalah matriks penduga yang berisi data hasil sumber percobaan, sedangkan Y merupakan matriks respons dengan data yang dapat menginformasikan tentang proses percobaan. Pada PLS, variabel penduga yang menunjukkan korelasi yang tinggi dengan variabel respons akan diberikan penekanan ekstra karena lebih efektif diprediksi (Miller dan Miller 2000).

Gambar 6 menunjukkan bahwa matriks X

diuraikan menjadi matriks T (matriks scores), matriks P′ (matriks loading) dan matriks error E, sedangkan matriks Y diuraikan menjadi U

dan Q dan error F. Kedua persamaan ini

disebut „hubungan luar‟. Hasil dari T dan P

mendekati data spektrum, sedangkan hasil U

dan Q mendekati konsentrasi sebenarnya. Tujuan dari algoritma PLS adalah untuk meminimumkan F dengan terus menjaga korelasi antara X dan Y dalam „hubungan

dalam‟ U=BT (Lohninger 2004).

Gambar 6 Prinsip PLS

Berbeda dengan metode AKU, kebaikan suatu model klasifikasi pada metode PLS cukup dilihat dari nilai determination coefficient (R2), root mean square error of calibration (RMSEC) dan root mean square error of prediction (RMSEP). Nilai RMSEC merupakan galat yang dihasilkan dari set kalibrasi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan ialah batu baterai, alkohol 70%, dan standar warna dari produk pencerah kulit komersial yang telah dimodifikasi.

Alat-alat yang digunakan adalah fotometer, adaptor (input 220 V, output DC 3– 12 V, current DC 1200 mA), lampu LED (merah, kuning, hijau, biru, ungu), kamera digital, Spektrofotometer tipe USB-2000

Fiber Optic Vis-Nir (Ocean optics), dan

Chromameter Konica Minolta CR 400. Perangkat lunak yang digunakan adalah Corel Draw versi X.5, Microsoft Excel 2007, DataFit 9 (Trial Version), dan Unscrambler X 10.0.1 (Camo Inc.) (Trial Version).

Metode Penelitian

Pembuatan Standar Warna

Standar warna yang mewakili gradasi warna kulit normal manusia (bernomor 1-16) dibuat dengan bantuan perangkat lunak Corel Draw versi X.5, kemudian dicetak pada kertas

Art Paper. Standar warna dicetak sebanyak empat kali dengan komposisi gradasi warna yang sama, diberi kode A (model utama); B, C, dan D (model validasi).

Karakterisasi Panjang Gelombang Lampu LED

Fotometer dihubungkan dengan listrik, ditekan tombol power, lalu ditentukan intensitas awal fotometer dengan meletakkan lampu LED pada karton berwarna putih sebagai kontrol. Lampu LED diletakkan tegak lurus (90°) dengan permukaan karton. Perbedaan intensitas sinar pantul diperiksa pada karton berwarna putih dan hitam. Apabila tidak terdapat perbedaan maka dinaikkan nilai intensitas awal. Detektor alat Spektrofotometer tipe USB-2000 Fiber Optic Vis-Nir (Ocean optics) diletakkan di depan lampu LED yang telah dinyalakan. Spektrum yang terlihat di layar komputer disimpan dengan format Tab Limited. Data yang telah disimpan, disalin di Microsoft Excel 2007, dan dibuat grafik hubungan antara panjang gelombang dan intensitas.

Pengukuran Sinar Reflektans Standar Warna Menggunakan Fotometer dan Chromameter

(6)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Warna kulit ditentukan oleh pigmen seperti hemoglobin, melanin, bilirubin, dan karotenoid. Komponen warna kulit dipengaruhi secara signifikan oleh sinar UV, bekas luka, dan beberapa zat di dalam obat-obatan. Pengukuran secara kuantitatif dalam menentukan perubahan warna kulit secara eksperimen, digunakan secara luas di dalam penelitian bahan kosmetika kulit. Penelitian tersebut menjadi hal yang menarik karena distribusi warna kulit dapat memengaruhi persepsi usia, daya tarik (Matts et al. 2007), serta tingkat kesehatan seseorang (Stephen et al. 2009, Matts 2008), hal ini disebabkan karena kromofor melanin dan hemoglobin tersebut. Oleh karena itu, di dalam bidang tersebut respons warna menjadi hal yang penting, karena dapat digunakan sebagai indikator karakteristik kulit (kemampuan pertahanan kulit dan tingkat sensitivitas), karakteristik obat (konsentrasi dan bioavibilitas), penentuan formulasi bahan pencerah kulit yang baik, serta karakteristik tingkat perlindungan kulit terhadap sinar matahari (Clarys et al. 2000).

Peranan pengukuran warna kulit tersebut mendorong banyak dilakukan penelitian untuk dapat mengukur warna kulit secara kuantitatif baik in vitro maupun in vivo. Pengukuran warna kulit dapat dilakukan dengan analisis tristimulus dengan memanfaatkan sinar yang direfleksikan dari struktur kulit (Fullerton et al. 1996).

Alat tristimulus reflektans yang digunakan dalam menentukan warna kulit adalah Konica Minolta Chromameter® CR 200, 300, dan 400 (diproduksi di Osaka, Jepang). Alat ini menghasilkan nilai keluaran berdasarkan sistem Commission Internationale de

l’Eclairage (CIE) yang dapat digunakan untuk mengukur warna kulit, dan hasil keluaran diekspresikan secara tiga dimensi (L*, a*, b*). Nilai L* dan b* memiliki korelasi yang baik dalam hal distribusi pigmen (Draaijers et al.

2004), sedangkan nilai a* menunjukkan korelasi dengan indeks eritema/kandungan hemoglobin (Stephen et al. 2009, Clarys et al.

2000).

Alat yang telah disebutkan di atas tergolong mahal, sehingga diperlukan alternatif peralatan pengukur warna kulit yang lebih murah dan minimal nilai yang dikeluarkan memiliki kemiripan pola dengan alat standar (chromameter).

Fotometer yang digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan sinar reflektans yang dihasilkan setelah sinar diberikan pada permukaan benda. Salah satu penggunaan fotometer ini, sudah pernah diteliti oleh Zain

et al. (2007), yaitu untuk metode deteksi dini kanker karena dengan menggunakan fotometer ini dapat dibedakan sel dan jaringan karsinoma (kanker) dengan sel jaringan normal menggunakan metode autofluoresensi multieksitasi. Penggunaan fotometer untuk aplikasi lainnya dilakukan pada penelitian ini, dengan tujuan mendapatkan model perhitungan yang paling baik untuk alat fotometer, sehingga nantinya alat ini dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kecerahan warna kulit di dalam proses pengembangan formula bahan pencerah kulit. Model perhitungan yang menjadi target luaran dalam penelitian ini diperoleh melalui dua pendekatan, yang pertama dengan menggunakan model perhitungan yang diperoleh dari optimasi menggunakan pemodelan persamaan (Curve Fit) sehingga menghasilkan koefisien yang dapat ditambahkan di dalam sebuah rumus untuk menghitung nilai L*a*b*. Pendekatan yang kedua, dilakukan menggunakan metode kemometrik yaitu Partial Component Analysis

(PCA) / Analisis Komponen Utama (AKU) dan Partial Least Square (PLS). Pengenalan pola antara nilai yang dihasilkan dari alat

chromameter dan fotometer dapat dilakukan dengan metode AKU, sedangkan model perhitungan yang dapat digunakan untuk memprediksi nilai L*a*b* dapat dilakukan menggunakan metode PLS. Pengukuran di dalam penelitian ini dilakukan secara in vitro

(menggunakan standar warna dari produk pencerah kulit komersial) dan in vivo

(langsung pada kulit).

TINJAUAN PUSTAKA

Kulit Manusia

(7)

dari data perkiraan). X adalah matriks penduga yang berisi data hasil sumber percobaan, sedangkan Y merupakan matriks respons dengan data yang dapat menginformasikan tentang proses percobaan. Pada PLS, variabel penduga yang menunjukkan korelasi yang tinggi dengan variabel respons akan diberikan penekanan ekstra karena lebih efektif diprediksi (Miller dan Miller 2000).

Gambar 6 menunjukkan bahwa matriks X

diuraikan menjadi matriks T (matriks scores), matriks P′ (matriks loading) dan matriks error E, sedangkan matriks Y diuraikan menjadi U

dan Q dan error F. Kedua persamaan ini

disebut „hubungan luar‟. Hasil dari T dan P

mendekati data spektrum, sedangkan hasil U

dan Q mendekati konsentrasi sebenarnya. Tujuan dari algoritma PLS adalah untuk meminimumkan F dengan terus menjaga korelasi antara X dan Y dalam „hubungan

dalam‟ U=BT (Lohninger 2004).

Gambar 6 Prinsip PLS

Berbeda dengan metode AKU, kebaikan suatu model klasifikasi pada metode PLS cukup dilihat dari nilai determination coefficient (R2), root mean square error of calibration (RMSEC) dan root mean square error of prediction (RMSEP). Nilai RMSEC merupakan galat yang dihasilkan dari set kalibrasi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan ialah batu baterai, alkohol 70%, dan standar warna dari produk pencerah kulit komersial yang telah dimodifikasi.

Alat-alat yang digunakan adalah fotometer, adaptor (input 220 V, output DC 3– 12 V, current DC 1200 mA), lampu LED (merah, kuning, hijau, biru, ungu), kamera digital, Spektrofotometer tipe USB-2000

Fiber Optic Vis-Nir (Ocean optics), dan

Chromameter Konica Minolta CR 400. Perangkat lunak yang digunakan adalah Corel Draw versi X.5, Microsoft Excel 2007, DataFit 9 (Trial Version), dan Unscrambler X 10.0.1 (Camo Inc.) (Trial Version).

Metode Penelitian

Pembuatan Standar Warna

Standar warna yang mewakili gradasi warna kulit normal manusia (bernomor 1-16) dibuat dengan bantuan perangkat lunak Corel Draw versi X.5, kemudian dicetak pada kertas

Art Paper. Standar warna dicetak sebanyak empat kali dengan komposisi gradasi warna yang sama, diberi kode A (model utama); B, C, dan D (model validasi).

Karakterisasi Panjang Gelombang Lampu LED

Fotometer dihubungkan dengan listrik, ditekan tombol power, lalu ditentukan intensitas awal fotometer dengan meletakkan lampu LED pada karton berwarna putih sebagai kontrol. Lampu LED diletakkan tegak lurus (90°) dengan permukaan karton. Perbedaan intensitas sinar pantul diperiksa pada karton berwarna putih dan hitam. Apabila tidak terdapat perbedaan maka dinaikkan nilai intensitas awal. Detektor alat Spektrofotometer tipe USB-2000 Fiber Optic Vis-Nir (Ocean optics) diletakkan di depan lampu LED yang telah dinyalakan. Spektrum yang terlihat di layar komputer disimpan dengan format Tab Limited. Data yang telah disimpan, disalin di Microsoft Excel 2007, dan dibuat grafik hubungan antara panjang gelombang dan intensitas.

Pengukuran Sinar Reflektans Standar Warna Menggunakan Fotometer dan Chromameter

(8)

listrik. Perbedaan tegangan listrik yang dihasilkan ini, dideteksi oleh voltmeter dan dicatat sebagai hasil berupa angka, terlihat pada layar voltmeter, angka dicatat setelah nilai yang muncul stabil. Cara yang sama dilakukan untuk lampu LED kuning, hijau, biru, dan ungu. Setiap standar warna dilakukan tiga kali pengukuran untuk setiap lampu.

Untuk mengetahui nilai L*a*b* sebenarnya dari standar warna, dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat

chromameter. Pengukuran standar warna berkode A (model utama) dilakukan dua kali pengukuran, sedangkan standar warna berkode B, C, dan D hanya dilakukan satu kali pengukuran. Pengukuran dilakukan pada daerah cahaya tampak dengan panjang gelombang 400–700 nm.

Analisis Data dengan Pemodelan Persamaan (Curve Fit)

Data yang telah diperoleh dari pengukuran standar warna disalin ke dalam worksheet Microsoft Excel 2007. Perhitungan nilai reflektans dilakukan dengan menggunakan rumus (Wallace et al. 2000):

λ- λ λ- λ

λ) (S Z) / (Y Z)

R(  (2)

dengan Sλ = sinyal standar warna, Zλ = sinyal

standar warna hitam, dan Yλ = sinyal standar

warna putih.

Penentuan koefisien dilakukan dengan menentukan nilai X, Y, Z dari warna obyek ditentukan dengan persamaan (CIE 2000 di dalam McCaig 2002):

 

700 400

)

(

x

)

)S(

R(

k

X

(3)

 

700 400

)

(

y

)

)S(

R(

k

Y

(4)

  700 400

)

(

z

)

)S(

R(

k

Z

(5)

 

700 400

)

(

y

)

S(

100

k

(6) dengan:

X, Y, Z : nilai-nilai tristimulus

R (λ) : nilai reflektans

S (λ) : intensitas spektrum lampu LED

x

(λ),

y

(λ),

z

(λ): fungsi –fungsi

penyesuaian warna pengamat CIE 1931

k : faktor normalisasi yang

menghasilkan nilai Y sama dengan 100

Transformasi nilai X, Y, dan Z ke skala CIELAB menggunakan pendekatan rumus yang dikembangkan oleh Weatherall dan Coombs (1992) berikut ini:

16

-)

116(Y/Y

*

L

n1/3 (7)

1/3

n 1/3

n

)

(Y/Y

)

(X/X

500

*

a

(8)

1/3

n 1/3 n

)

-

(Z/Z

)

(Y/Y

200

*

b

(9)

dengan Xn, Yn, dan Zn merupakan nilai tristimulus XYZ, dengan memasukkan nilai R

(λ) = 1.0 pada rumus XYZ di atas. Setelah itu

akan diperoleh nilai (Y/ Yn), (X/ Xn), dan (Z/ Zn), lalu dengan menggunakan program

DataFit 9 (Trial Version) maka akan diperoleh nilai koefisien sehingga menyebabkan diperolehnya nilai yang setara dengan L*a*b* standar warna yang diukur. Analisis Data Secara Kemometrik

Data yang diperoleh dari pengukuran standar warna disalin ke dalam worksheet Microsoft Excel 2007. Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

Unscrambler X 10.0.1 (Camo Inc.) (Trial Version).

Kalibrasi dan validasi model analisis multivariat dilakukan dengan teknik validasi silang. Kemiripan pola yang dihasilkan dari kedua peralatan tersebut dilihat dari jumlah komponen utama yang terlibat, total variasi yang terwakili, dan visualisasi plot skor, sedangkan keakuratan model prediksi diukur dengan nilai korelasi dan nilai galat yang dihasilkan.

Pengukuran Sinar Reflektans Kulit Normal Manusia Menggunakan Fotometer dan Chromameter

(9)

Nilai XYZ diperoleh dari pengukuran menggunakan fotometer dengan cara yang sama seperti pengukuran sinar reflektans standar warna. Nilai XYZ ditransformasikan ke dalam rumus L*a*b*.

Untuk mengetahui nilai L*a*b* standar dilakukan pengukuran menggunakan

chromameter pada bagian tubuh yang sama. Pengukuran menggunakan Fotometer dan

Chromameter dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap bagian tubuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam mencapai target luaran, yaitu untuk mendapatkan model perhitungan yang paling baik untuk alat fotometer yang sedang dikembangkan ini, yang pada akhirnya alat ini dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kecerahan warna kulit di dalam proses pengembangan formula bahan pencerah kulit, maka kerangka penelitian dilakukan secara in vitro (menggunakan standar warna dari produk pencerah kulit komersial) dan in vivo (langsung pada kulit). Pengukuran secara in vitro dimulai dengan pembuatan standar warna, karakterisasi panjang gelombang lampu LED, pengukuran sinar reflektans standar warna menggunakan fotometer, serta pengukuran nilai L*a*b* standar warna menggunakan chromameter, kemudian data tersebut dianalisis dengan pemodelan persamaan (Curve Fit) dan metode kemometrik (Lampiran 1).

Target awal penelitian ini ialah untuk mendapatkan model perhitungan nilai L*a*b* bagi alat fotometer, tetapi untuk memprediksi a* dan b* tidak diperoleh model yang baik, sehingga penelitan ini difokuskan pada nilai L* saja. Setelah diperoleh rumus untuk menghitung nilai L* melalui pemodelan persamaan, pengenalan pola serta model prediksi nilai L* menggunakan metode kemometrik, maka pengukuran dilanjutkan ke tahap in vivo (langsung pada kulit). Dari hasil pengukuran dan perhitungan pada tahap ini, maka dapat diketahui potensi alat fotometer ini untuk dijadikan alat pengukur perubahan kecerahan warna kulit manusia.

Pembuatan Standar Warna

Standar warna di dalam penelitian ini dibuat mirip dengan color tone produk pencerah kulit komersial yang biasa digunakan untuk mengetahui perubahan warna kulit setelah penggunaan produk tersebut (Lampiran 2). Standar warna yang

dibuat serupa dengan gradasi warna kulit normal manusia, sehingga diharapkan dengan pengukuran standar warna tersebut, diperoleh data model yang nantinya dapat digunakan untuk memprediksi perubahan warna kulit normal manusia.

Pengukuran nilai L*a*b* menggunakan

chromameter juga dilakukan pada standar warna, agar diperoleh data standar yang dapat digunakan untuk tahap karakterisasi selanjutnya.

Karakterisasi Panjang Gelombang Lampu LED

Pengukuran ini menggunakan alat Spektrofotometer tipe USB-2000 Fiber Optic Vis-Nir (Ocean optics). Sebelum dilakukan pengukuran sinar reflektans pada standar warna dan kulit normal manusia, lampu LED dikarakterisasi panjang gelombangnya. Hasil karakterisasi ini memberikan informasi mengenai panjang gelombang dominan yang dikeluarkan oleh lampu LED. Dari hasil karakterisasi (Gambar 7) diperoleh data seperti pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Hasil karakterisasi lampu LED Lampu LED Panjang Gelombang dominan (nm) Intensitas tertinggi

[Sλ)] (a.u.)

Ungu 402.28 3486.03

Biru 462.32 2914.86

Hijau 527.62 3072.42 Kuning 587.72 3049.27 Merah 634.65 2860.41 Panjang gelombang dominan dilihat dari nilai intensitas tertinggi, data panjang gelombang dominan lampu LED tersebut, dapat digunakan untuk proses karakterisasi lebih lanjut alat fotometer.

(10)

Nilai XYZ diperoleh dari pengukuran menggunakan fotometer dengan cara yang sama seperti pengukuran sinar reflektans standar warna. Nilai XYZ ditransformasikan ke dalam rumus L*a*b*.

Untuk mengetahui nilai L*a*b* standar dilakukan pengukuran menggunakan

chromameter pada bagian tubuh yang sama. Pengukuran menggunakan Fotometer dan

Chromameter dilakukan sebanyak tiga kali pada setiap bagian tubuh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam mencapai target luaran, yaitu untuk mendapatkan model perhitungan yang paling baik untuk alat fotometer yang sedang dikembangkan ini, yang pada akhirnya alat ini dapat digunakan untuk memprediksi perubahan kecerahan warna kulit di dalam proses pengembangan formula bahan pencerah kulit, maka kerangka penelitian dilakukan secara in vitro (menggunakan standar warna dari produk pencerah kulit komersial) dan in vivo (langsung pada kulit). Pengukuran secara in vitro dimulai dengan pembuatan standar warna, karakterisasi panjang gelombang lampu LED, pengukuran sinar reflektans standar warna menggunakan fotometer, serta pengukuran nilai L*a*b* standar warna menggunakan chromameter, kemudian data tersebut dianalisis dengan pemodelan persamaan (Curve Fit) dan metode kemometrik (Lampiran 1).

Target awal penelitian ini ialah untuk mendapatkan model perhitungan nilai L*a*b* bagi alat fotometer, tetapi untuk memprediksi a* dan b* tidak diperoleh model yang baik, sehingga penelitan ini difokuskan pada nilai L* saja. Setelah diperoleh rumus untuk menghitung nilai L* melalui pemodelan persamaan, pengenalan pola serta model prediksi nilai L* menggunakan metode kemometrik, maka pengukuran dilanjutkan ke tahap in vivo (langsung pada kulit). Dari hasil pengukuran dan perhitungan pada tahap ini, maka dapat diketahui potensi alat fotometer ini untuk dijadikan alat pengukur perubahan kecerahan warna kulit manusia.

Pembuatan Standar Warna

Standar warna di dalam penelitian ini dibuat mirip dengan color tone produk pencerah kulit komersial yang biasa digunakan untuk mengetahui perubahan warna kulit setelah penggunaan produk tersebut (Lampiran 2). Standar warna yang

dibuat serupa dengan gradasi warna kulit normal manusia, sehingga diharapkan dengan pengukuran standar warna tersebut, diperoleh data model yang nantinya dapat digunakan untuk memprediksi perubahan warna kulit normal manusia.

Pengukuran nilai L*a*b* menggunakan

chromameter juga dilakukan pada standar warna, agar diperoleh data standar yang dapat digunakan untuk tahap karakterisasi selanjutnya.

Karakterisasi Panjang Gelombang Lampu LED

Pengukuran ini menggunakan alat Spektrofotometer tipe USB-2000 Fiber Optic Vis-Nir (Ocean optics). Sebelum dilakukan pengukuran sinar reflektans pada standar warna dan kulit normal manusia, lampu LED dikarakterisasi panjang gelombangnya. Hasil karakterisasi ini memberikan informasi mengenai panjang gelombang dominan yang dikeluarkan oleh lampu LED. Dari hasil karakterisasi (Gambar 7) diperoleh data seperti pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Hasil karakterisasi lampu LED Lampu LED Panjang Gelombang dominan (nm) Intensitas tertinggi

[Sλ)] (a.u.)

Ungu 402.28 3486.03

Biru 462.32 2914.86

Hijau 527.62 3072.42 Kuning 587.72 3049.27 Merah 634.65 2860.41 Panjang gelombang dominan dilihat dari nilai intensitas tertinggi, data panjang gelombang dominan lampu LED tersebut, dapat digunakan untuk proses karakterisasi lebih lanjut alat fotometer.

(11)

Pengukuran Sinar Reflektans Standar Warna Menggunakan Fotometer

Karakterisasi panjang gelombang dominan lima lampu LED telah dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah pengukuran standar warna. Sebelum dilakukan pengukuran sinar reflektans standar warna, alat fotometer harus dikalibrasi menggunakan karton berwarna putih, hal ini bertujuan agar diperoleh data yang konsisten untuk setiap ulangan.

Pengukuran dilakukan pada ruangan yang intensitas pencahayaannya rendah, hal ini dilakukan agar hasil yang diperoleh tidak bias, ketika dilakukan pada ruangan yang intensitas pencahayaannya tinggi, dikhawatirkan ada cahaya yang berasal dari sekeliling tempat pengukuran, ikut terdeteksi oleh detektor LDR sehingga nilai yang dihasilkan lebih besar dari yang seharusnya. Pengukuran standar warna dilakukan dari lampu LED yang memiliki energi lebih rendah (lampu LED merah) ke energi lebih tinggi (lampu LED ungu).

Perhitungan Koefisien Baru untuk Prediksi Nilai L* Menggunakan 5 Lampu

Pengukuran standar warna menggunakan

chromameter dan fotometer telah dilakukan, tahap selanjutnya adalah mengolah data hasil pengukuran tersebut dengan menghitung nilai reflektans [R(λ)] menggunakan rumus nomor 2. Dilanjutkan dengan memasukkan [R(λ)] dan [Sλ)] untuk didapatkan nilai XYZ. Dalam perhitungan nilai XYZ diperlukan data fungsi-fungsi penyesuaian warna pengamat CIE 1931, yang diperoleh dari data sekunder (Soesatyo dan Marwah 2005), seperti pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Fungsi-fungsi penyesuaian warna pengamat CIE 1931

λ (nm)

x

 y 

z

402.28 0.018359 0.000507 0.087162 462.32 0.272379 0.066449 1.603730 527.62 0.138892 0.829251 0.049343 587.72 1.004549 0.784041 0.001237 634.65 0.548935 0.220360 0.000031 *diolah dari Soesatyo dan Marwah (2005)

Pengukuran menggunakan alat

chromameter dilakukan pada panjang

gelombang mulai dari 400 sampai 700 nm,

namun dengan menggunakan alat fotometer hanya dilakukan pada panjang gelombang 402.28, 462.32, 527.62, 587.72, dan 634.65 nm. Hal ini dikarenakan lampu LED yang berwarna monokromatis hanya didapatkan dengan komposisi warna seperti itu, namun tidak mengabaikan panjang gelombang kromofor yang terdapat pada permukaan kulit. Perhitungan dilanjutkan dengan menetapkan koefisien yang ada di dalam rumus L*a*b* sehingga menyebabkan diperolehnya nilai yang setara dengan L*a*b* yang dikeluarkan chromameter, dalam penentuan koefisien ini hanya digunakan standar warna A (sebagai model utama) dan digunakan 5 lampu (merah, kuning, hijau, biru, dan ungu). Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus dan nilai pangkat yang serupa (1/3), dari perangkat lunak DataFit 9 dihasilkan nilai koefisien baru sehingga rumus untuk menghitung L* menjadi:

54.28

-)

142.28(Y/Y

*

L

n1/3 (10)

Penelitian pendahuluan ini hanya meninjau nilai L* dikarenakan sulitnya memperoleh model perhitungan yang menghasilkan nilai a* dan b* dengan kemiripan pola yang sama. Karena menurut Soesatyo dan Marwah (2005) nilai a* dan b* merupakan koordinat kromatisitas, sehingga agak sulit untuk memperoleh nilai-nilai tersebut dengan menggunakan alat fotometer sederhana ini dan hanya melalui pendekatan rumus seperti itu. Sesuai dengan yang telah disebutkan sebelumnya, fotometer ini nantinya akan digunakan sebagai alat untuk memprediksi perubahan kecerahan warna kulit karena penggunaan produk kosmetika pencerah kulit. Kecerahan kulit seseorang dipengaruhi oleh kandungan melanin yang terkandung pada kulit. Menurut Trujillo et al. (1996), informasi mengenai pigmentasi relatif dapat ditinjau berdasarkan nilai L*, sehingga kulit yang gelap memiliki nilai L* lebih rendah dibandingkan dengan kulit yang cerah. Clarys

et al. (2000) dan (Shriver & Parra 2000), menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara nilai L* (kecerahan relatif) dan M (melanin indeks) sehingga pendekatan dengan hanya menghitung nilai L* menggunakan fotometer untuk tujuan tersebut masih dapat diandalkan.

(12)

dengan menggunakan rumus baru (10) untuk perhitungan nilai L*, memang tidak diperoleh nilai prediksi (pengukuran menggunakan fotometer kemudian nilai L* diprediksi menggunakan persamaan baru) yang sama dengan nilai aktual (pengukuran menggunakan chromameter), namun memiliki kemiripan pola. Kemiripan pola yang dimaksud adalah dengan menggunakan rumus tersebut, nilai L* standar warna yang diperoleh dari alat chromameter (aktual) terlihat menurun dari nomor 1 hingga 16, demikian halnya dengan nilai L* yang dihasilkan dari fotometer. Hal yang berbeda ditemukan pada standar warna A, B, C, D bernomor 4, hal ini dikarenakan perbedaan warna yang dimiliki antara standar warna sebelum (nomor 3) dan sesudah (nomor 5), gradasi standar warna nomor 4 tidak percis terletak di antara keduanya.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 8 Nilai aktual dan prediksi standar warna A (a), B (b), C (d), D (d) Walaupun nilai aktual dan prediksi dari setiap standar warna tidak memiliki nilai yang sama, namun bila dilihat nilai korelasi (R2) antara nilai aktual dan prediksi untuk standar warna A, B, C, D berurut-urut adalah sebagai berikut 0.982; 0.990; 0.984; dan 0.987, nilai-nilai secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 12. Hal ini dapat juga menegaskan bahwa terdapat kesesuaian pola antara nilai yang dihasilkan dari alat fotometer dan

chromameter.

Analisis Data dengan Metode Kemometrik

Pengenalan Pola Antara Nilai Keluaran dari Fotometer dan Chromameter

Persamaan baru untuk memperoleh nilai L* (10) telah digunakan dan dapat dilihat hasilnya, namun dengan pendekatan seperti itu, agak rumit di dalam perhitungan variabel-variabel untuk memperoleh nilai Y/Yn, sehingga perlu dilakukan pemodelan dengan metode lain, salah satunya dapat dilakukan menggunakan metode kemometrik. Langkah pertama adalah analisis pengenalan pola antara nilai keluaran dari fotometer (voltase) dan chromameter (L*a*b*) sehingga secara tidak langsung dapat diperoleh gambaran awal mengenai potensi kelayakan hasil pengukuran fotometer untuk dapat disejajarkan dengan hasil pengukuran dari chromamater.

Hal ini dikarenakan, data nilai L*a*b* standar warna yang diperoleh dari alat

(13)

menggunakan teknik Analisis Komponen Utama (AKU), dan digunakan program

Unscrambler versi X 10.0.1 (Trial Version), sehingga nantinya dapat dilihat kemiripan pola antara data yang dihasilkan dari kedua alat tersebut serta diketahui kombinasi lampu LED fotometer yang dapat menyebabkan hal itu.

Dalam analisis AKU langsung digunakan data pengukuran asli hasil pengukuran standar warna berkode A (model utama) menggunakan kedua instrumen. Hasil analisis AKU dikatakan baik bila dengan jumlah komponen utama yang sedikit mampu menggambarkan total variasi yang besar.

Total variasi yang terwakili untuk hasil pengukuran menggunakan chromameter dan fotometer (Gambar 9 dan 10) mencapai 99% dengan rincian masing-masing adalah (PC1 = 93%, PC2 = 6%) dan (PC1 = 98%, PC2 = 1%). Pengelompokkan untuk semua nomor standar warna dari 1-16 berada di keempat kuadran dan beberapa nomor standar warna hasil pengukuran menggunakan chromameter

menempati kuadran yang sama, begitu pula dengan hasil pengukuran yang menggunakan fotometer, walaupun berada di kuadran yang berbeda namun distribusi standar warna pada masing-masing kuadran hasil pengukuran kedua instrumen memiliki kemiripan, dan dapat dikatakan pola yang dihasilkan dari kedua alat ini seperti membentuk bayangan cermin.

Sumbangan panjang gelombang dari alat fotometer yang sangat berperan pada pengelompokkan ini adalah berasal dari lampu LED berwarna merah (634.65 nm) dan biru (462.32 nm), hal ini dapat diketahui dari

loading PCA pada Gambar 11. Hal ini diperkuat dari skor PCA yang dihasilkan (Gambar 12), apabila hanya menggunakan dua lampu saja (merah dan biru), ternyata sudah diperoleh kemiripan pola yang serupa dengan Gambar 10.

Pola yang dihasilkan akibat penggunaan lampu merah dan lampu biru setidaknya sudah dapat merepresentasikan kemiripan pola antara nilai yang dihasilkan dari chromameter

dan fotometer. Hal ini disebabkan karena pada alat chromameter, pengukuran didasarkan pada sinar yang direfleksikan, terdapat fotosel bersensitivitas tinggi yang berfungsi sebagai penangkap sinar yang telah melewati filter, dan telah disesuaikan dengan standar warna dasar CIE yaitu biru (450 nm), hijau (550 nm), dan merah (610 nm) (Zwinkels 1996). Pada alat fotometer digunakan lampu LED merah (634.65 nm) dan lampu LED biru

(462.32 nm), kedua lampu itu memiliki panjang gelombang yang mendekati warna dasar dari CIE pada alat chromameter, dengan penggunaan lampu monokromatis dan asumsi bahwa sinar reflektans memiliki panjang gelombang yang sama dengan panjang gelombang sumber sinar yang diberikan, sehingga hal tersebut dapat terjadi.

Gambar 9 Skor PCA 16 standar warna A hasil pengukuran dengan

chromamater (L*a*b*)

Gambar 10 Skor PCA 16 standar warna A hasil pengukuran dengan fotometer (5 lampu)

Gambar 11 Loading PCA 16 standar warna A dengan fotometer (5 lampu)

(14)

Penggunaan dua lampu LED (merah dan biru) di dalam pengolahan data menggunakan teknik AKU, diperoleh juga pola seperti bayangan cermin, oleh karena itu berdasarkan plot loading (Gambar 11) dilakukan penambahan data dengan metode trial and error (penambahan data dari pengukuran menggunakan lampu LED kuning, hijau, atau ungu) dengan tujuan akhir yaitu dapat diketahui komposisi lampu yang menghasilkan kemiripan pola antara

chromameter dan fotometer.

Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan teknik AKU, diketahui bahwa komposisi lampu yang benar-benar memiliki kemiripan pola dengan hasil pengukuran

chromameter adalah kombinasi lampu merah, biru, dan ungu (Gambar 13), total variasi yang terwakili untuk hasil pengukuran menggunakan fotometer mencapai 100% dengan rincian PC1 = 97%, PC2 = 3%). Hal ini dikarenakan data yang diperoleh dari penggunaan lampu ungu, menjadi pembobot untuk lampu merah dan biru, dan apabila ditinjau dari plot loading (Gambar 11), skor

loading pada PC2 untuk lampu biru dan lampu ungu hampir sejajar, sehingga walaupun panjang gelombang dominan lampu ungu tidak sesuai dengan warna dasar dari CIE, namun apabila ketiga lampu tersebut digabungkan maka dapat menghasilkan kemiripan pola antara nilai dari chromameter

dan fotometer.

Sedangkan kombinasi lampu merah, biru, dan kuning (Gambar 14) dan lampu merah, biru, dan hijau (Gambar 15), kedua kombinasi lampu tersebut menghasilkan pola seperti Gambar 10, hanya saja pada Gambar 15 terdapat penyimpangan pada standar warna bernomor 14, namun tidak terlalu signifikan.

Gambar 13 Skor PCA 16 standar warna A hasil pengukuran dengan fotometer (lampu merah, biru, ungu)

Gambar 14 Skor PCA 16 standar warna A hasil pengukuran dengan fotometer (lampu merah, biru, kuning)

Gambar 15 Skor PCA 16 standar warna A hasil pengukuran dengan fotometer (lampu merah, biru, hijau)

Pembentukan Model Prediksi nilai L* Menggunakan Partial Least Square (PLS)

Setelah diketahui bahwa terdapat kemiripan pola antara nilai yang dihasilkan fotometer dan chromameter berarti dapat dikatakan terdapat adanya hubungan antara hasil pengukuran fotometer dan chromameter, maka tahap selanjutnya adalah membentuk model untuk dapat melihat seberapa dekat hubungan antara variabel-variabel dari hasil pengukuran kedua instrumen tersebut, salah satunya untuk memprediksi nilai L*, dalam hal ini digunakan teknik PLS, yang dapat menghubungkan hasil kedua instrumen.

Model kalibrasi dibentuk dari nilai pengukuran fotometer sebagai variabel x

(prediktor) dan nilai pengukuran chromameter

(L*a*b*) sebagai variabel y (respons). Analisis PLS melibatkan tiga komponen respons, yaitu dalam bentuk nilai L*a*b*. Kesahihan model yang terbentuk diuji dengan validasi silang. Teknik validasi silang bermanfaat untuk menentukan jumlah komponen yang optimal dari jumlah contoh yang sedikit, selain itu juga mampu melakukan tes secara independen (Stchur et al. 2002).

(15)

menggunakan tiga lampu LED (merah, biru, dan ungu) yang didasarkan pada kemiripan pola antara hasil pengukuran fotometer dan

chromameter. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa alat fotometer ini akan difungsikan untuk mengukur tingkat perubahan kecerahan kulit normal manusia yang salah satunya dipengaruhi oleh kandungan melanin yang terkandung di dalam kulit. Menurut Kollias dan Baqer (1985), nilai reflektans yang cukup besar untuk melanin berada panjang gelombang lampu LED berwarna merah, dan Dwyer et al. (2002) menyimpulkan bahwa pada panjang gelombang lampu ungu juga dapat diperoleh hal tersebut, sehingga kombinasi lampu yang diperoleh dari hasil AKU dapat digunakan untuk pengukuran kulit (in vivo).

Informasi yang diperoleh dari pengolahan data pengukuran standar warna berkode A (model utama), diperoleh nilai R2 kalibrasi sebesar 0.9936, R2 prediksi sebesar 0.9906, RMSEC sebesar 0.8790, dan RMSEP sebesar 1.1334. Nilai korelasi, RMSEC, dan RMSEP model utama untuk memprediksi nilai L* tersebut, masih dikatakan baik karena menurut Farkas et al. (2004), model yang memiliki nilai root mean square error of calibration

(RMSEC) dan root mean square error of

prediction (RMSEP) rendah, nilai korelasi antara y prediksi dan nilai y referensi tinggi, dikatakan model tersebut baik.

Model utama tersebut dapat digunakan untuk memprediksi nilai L* standar warna berkode B, C, dan D (Tabel 3). Pengolahan data dengan menggunakan model utama, diperoleh informasi bahwa ketika digunakan model utama (lampu merah, biru, dan ungu) nilai korelasi antara nilai L* aktual dan prediksi untuk standar warna kode B, C, dan D berurut-urut adalah sebagai berikut 0.992; 0.994; 0.994. Hasil-hasil tersebut bisa dikatakan bahwa model utama dapat memprediksi nilai L* dengan cukup baik, walaupun nilai prediksi dan aktual masih terlihat adanya perbedaan (persen deviasi yang masih cukup besar), namun dilihat dari hasil-hasil tersebut adanya kemiripan pola antara hasil pengukuran menggunakan fotometer dan chromameter, dalam arti bahwa nilai L* untuk masing-masing standar warna berkode A, B, C, dan D dari nomor 1–16 sama-sama memiliki pola nilai yang semakin menurun, kecuali pada standar warna berkode C dan D bernomor 4, hal ini dikarenakan perbedaan gradasi antara standar warna bernomor 3 dan 5.

Tabel 3 Hasil prediksi nilai L* standar warna menggunakan teknik PLS Nomor

Standar Warna

A B C D

L* Aktual L * Prediksi % Deviasi L* Aktual L* Prediksi % Deviasi L* Aktual L* Prediksi % Deviasi L* aktual L* Prediksi % Deviasi

1 83.80 82.18 1.93 83.98 83.75 0.27 83.68 83.14 0.65 83.49 83.14 0.42

2 82.14 81.37 0.94 82.07 81.30 0.93 82.11 82.27 0.20 81.72 81.56 0.20

3 78.97 79.92 1.20 78.77 79.98 1.54 78.97 79.27 0.38 78.75 79.01 0.34

4 77.97 79.70 2.22 77.94 79.62 2.15 78.04 79.62 2.02 77.80 79.26 1.88

5 76.60 77.28 0.89 76.51 77.64 1.47 76.34 77.28 1.23 75.97 77.28 1.72

6 74.22 74.07 0.20 73.78 74.73 1.29 73.86 74.38 0.70 73.65 74.38 0.99

7 70.79 72.07 1.81 70.76 72.70 2.74 70.87 72.60 2.43 70.63 71.99 1.92

8 68.87 67.70 1.69 68.64 68.54 0.15 68.52 68.89 0.54 68.35 68.89 0.79

9 66.89 65.45 2.15 66.79 66.60 0.28 66.76 66.70 0.08 66.70 66.00 1.06

10 64.57 64.08 0.75 64.25 65.28 1.60 64.48 65.28 1.24 64.19 65.28 1.70

11 60.53 60.50 0.05 60.14 61.47 2.21 60.52 61.82 2.15 60.27 61.57 2.16

12 57.64 56.69 1.65 57.09 57.77 1.19 57.35 57.77 0.73 57.01 58.12 1.95

13 55.83 55.71 0.21 54.99 57.15 3.94 55.43 57.15 3.11 55.40 57.15 3.17

14 54.42 54.96 0.99 53.25 56.44 6.00 53.40 55.83 4.56 53.15 55.83 5.05

15 52.43 51.70 1.39 50.63 53.35 5.36 51.63 53.09 2.83 51.44 53.09 3.21

(16)

Perhitungan Koefisien Baru untuk Prediksi Nilai L* Menggunakan 3 Lampu

Berdasarkan pengenalan pola menggunakan teknik AKU, diketahui bahwa dengan menggunakan tiga lampu (merah, biru, dan ungu) dapat diperoleh pola yang mirip antara nilai pengukuran menggunakan fotometer dan chromameter, oleh karena itu dilakukan juga pemodelan persamaan (Curve Fit) menggunakan tiga lampu. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus sejenis dan nilai pangkat yang serupa (1/3), dari perangkat lunak DataFit 9 dihasilkan nilai koefisien baru sehingga rumus untuk menghitung L* menjadi:

77.81

-)

164.22(Y/Y

*

L

n1/3 (11)

Setelah diperoleh rumus L* maka dilakukan validasi rumus tersebut dengan memprediksi standar warna berkode B, C, dan D (Gambar 16a-d).

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 16 Nilai aktual dan prediksi standar warna A (a), B (b), C (d), D (d) Seperti hasil prediksi menggunakan lima lampu, ketika digunakan hanya 3 lampu terlihat belum dihasilkannya nilai prediksi yang sama dengan nilai aktual, namun bila dilihat nilai korelasi (R2) antara nilai aktual dan prediksi untuk standar warna A, B, C, D berurut-urut adalah sebagai berikut 0.979, 0.976, 0.977, 0.981, hal ini dapat juga menegaskan bahwa terdapat kesesuaian pola antara nilai yang dihasilkan dari alat fotometer dan chromameter.

Pengukuran Warna Kulit Normal Manusia

Setelah dilakukan pengukuran secara in

vitro, untuk mencapai target luaran maka dilakukan pengukuran secara in vivo

(pengukuran secara langsung pada kulit manusia). Pengukuran kulit manusia hanya dilakukan pada dua mahasiswa saja namun terdapat dua letak target pengukuran pada setiap mahasiswa, hal ini dikarenakan keterbatasan akses dalam penggunaan

(17)

menggunakan pendekatan pemodelan persamaan (Curve Fit) dan kemometrik (PLS) dengan kombinasi tiga lampu LED (merah, biru, dan ungu).

Hasil yang diperoleh (Gambar 17 dan 18) ketika digunakan pendekatan pemodelan persamaan (rumus nomor 11)dan kemometrik memiliki nilai korelasi berurut-urut sebagai berikut 0.979 dan 0.975. Walaupun nilai aktual dan prediksi pengukuran kulit menggunakan pemodelan persamaan memiliki nilai korelasi sedikit lebih tinggi, namun apabila dilihat dari grafik terlihat bahwa pendekatan menggunakan metode kemometrik memiliki nilai prediksi yang mendekati nilai sebenarnya, hal ini dikarenakan proses prediksi menggunakan pemodelan persamaan menggunakan satu rumus saja sehingga kemampuan untuk mendekati nilai sebenarnya agak terbatas, sedangkan ketika digunakan pendekatan kemometrik (PLS), komposisi model yang digunakan lebih kompleks dan menyertakan pembobot (W) sehingga dapat memaksimalkan korelasi antara model skor dari X dan Y.

Berdasarkan Gambar 17 dan 18 dapat terlihat bahwa kemampuan model untuk menghasilkan nilai prediksi yang mendekati nilai aktual belum begitu baik, karena nilai prediksi masih jauh dari nilai sebenarnya. Hal ini dikarenakan model yang digunakan berdasarkan pengukuran secara in vitro

(menggunakan standar warna A yang dicetak pada kertas), tentu saja memiliki matriks yang berbeda dengan kulit manusia sebenarnya, karena warna kulit ditentukan oleh pigmen seperti hemoglobin, melanin, bilirubin, dan karotenoid, sehingga pigmen-pigmen inilah yang diduga dapat memengaruhi hasil pengukuran kulit yang dilakukan secara langsung. Walaupun secara kuantitatif belum diperoleh kecenderungan nilai prediksi yang hampir sama dengan nilai aktual, namun dengan model-model tersebut dapat terlihat kemiripan pola antara pengukuran menggunakan chromameter dan fotometer.

Gambar 17 Nilai aktual dan prediksi kulit normal dari pemodelan persamaan

Gambar 18 Nilai aktual dan prediksi kulit normal dari metode kemometrik (PLS)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pendekatan menggunakan pemodelan persamaan (Curve Fit) dan metode kemometrik (teknik PLS) dapat digunakan untuk memprediksi nilai L* standar warna dan kulit normal manusia. Kombinasi lampu yang memberikan kesamaan pola antara hasil pengukuran menggunakan chromameter dan fotometer adalah lampu merah, biru, dan ungu. Pendekatan untuk menghitung nilai L* kulit normal manusia yang memberikan hasil mendekati nilai L* sebenarnya adalah model yang dihasilkan dari metode kemometrik (teknik PLS). Dari hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa fotometer ini berpotensi untuk dijadikan alat ukur perubahan kecerahan warna kulit normal manusia.

Saran

Pengukuran secara langsung pada kulit normal manusia perlu dilakukan pada beragam variasi kecerahan kulit normal manusia, kemudian pembuatan model prediksi nilai L* dibuat berdasarkan pengukuran tersebut, sehingga dapat lebih dipastikan bahwa alat fotometer ini layak digunakan sebagai alat alternatif selain chromameter

secara khusus untuk digunakan dalam bidang pengembangan formula bahan kosmetika kulit.

DAFTAR PUSTAKA

(18)

menggunakan pendekatan pemodelan persamaan (Curve Fit) dan kemometrik (PLS) dengan kombinasi tiga lampu LED (merah, biru, dan ungu).

Hasil yang diperoleh (Gambar 17 dan 18) ketika digunakan pendekatan pemodelan persamaan (rumus nomor 11)dan kemometrik memiliki nilai korelasi berurut-urut sebagai berikut 0.979 dan 0.975. Walaupun nilai aktual dan prediksi pengukuran kulit menggunakan pemodelan persamaan memiliki nilai korelasi sedikit lebih tinggi, namun apabila dilihat dari grafik terlihat bahwa pendekatan menggunakan metode kemometrik memiliki nilai prediksi yang mendekati nilai sebenarnya, hal ini dikarenakan proses prediksi menggunakan pemodelan persamaan menggunakan satu rumus saja sehingga kemampuan untuk mendekati nilai sebenarnya agak terbatas, sedangkan ketika digunakan pendekatan kemometrik (PLS), komposisi model yang digunakan lebih kompleks dan menyertakan pembobot (W) sehingga dapat memaksimalkan korelasi antara model skor dari X dan Y.

Berdasarkan Gambar 17 dan 18 dapat terlihat bahwa kemampuan model untuk menghasilkan nilai prediksi yang mendekati nilai aktual belum begitu baik, karena nilai prediksi masih jauh dari nilai sebenarnya. Hal ini dikarenakan model yang digunakan berdasarkan pengukuran secara in vitro

(menggunakan standar warna A yang dicetak pada kertas), tentu saja memiliki matriks yang berbeda dengan kulit manusia sebenarnya, karena warna kulit ditentukan oleh pigmen seperti hemoglobin, melanin, bilirubin, dan karotenoid, sehingga pigmen-pigmen inilah yang diduga dapat memengaruhi hasil pengukuran kulit yang dilakukan secara langsung. Walaupun secara kuantitatif belum diperoleh kecenderungan nilai prediksi yang hampir sama dengan nilai aktual, namun dengan model-model tersebut dapat terlihat kemiripan pola antara pengukuran menggunakan chromameter dan fotometer.

Gambar 17 Nilai aktual dan prediksi kulit normal dari pemodelan persamaan

Gambar 18 Nilai aktual dan prediksi kulit normal dari metode kemometrik (PLS)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pendekatan menggunakan pemodelan persamaan (Curve Fit) dan metode kemometrik (teknik PLS) dapat digunakan untuk memprediksi nilai L* standar warna dan kulit normal manusia. Kombinasi lampu yang memberikan kesamaan pola antara hasil pengukuran menggunakan chromameter dan fotometer adalah lampu merah, biru, dan ungu. Pendekatan untuk menghitung nilai L* kulit normal manusia yang memberikan hasil mendekati nilai L* sebenarnya adalah model yang dihasilkan dari metode kemometrik (teknik PLS). Dari hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa fotometer ini berpotensi untuk dijadikan alat ukur perubahan kecerahan warna kulit normal manusia.

Saran

Pengukuran secara langsung pada kulit normal manusia perlu dilakukan pada beragam variasi kecerahan kulit normal manusia, kemudian pembuatan model prediksi nilai L* dibuat berdasarkan pengukuran tersebut, sehingga dapat lebih dipastikan bahwa alat fotometer ini layak digunakan sebagai alat alternatif selain chromameter

secara khusus untuk digunakan dalam bidang pengembangan formula bahan kosmetika kulit.

DAFTAR PUSTAKA

(19)

KINERJA FOTOMETER SEBAGAI ALAT UKUR WARNA

KULIT MANUSIA SECARA

IN VITRO

DAN

IN VIVO

FRENGKI SIBURIAN

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(20)

Elektronika Rangkaian Sistem Otomatis. Jakarta: Kawan Pustaka.

CIE Publication No. E308–99. 2000. Standard practice for computing the colors of objects by using the CIE system. In ASTM standards on color and appearance measurement Ed ke–6. CIE Central Bureau Kegelgasse 27 A-1030 Wien, Austria.

Clarys P, Alewaeters K, Lambrecht R, Barel AO. 2000. Skin color measurements: comparison between three instruments:

the Chromameter®, the

DermaSpectrometer® and the Mexameter®. Skin Research and Technology 6:230–238.

Draaijers LJ, Tempelman FRH, Yvonne, Botman YAM, Kreis RW, Middelkoop E, van Zuijlen PPM. 2004. Colour evaluation in scars: tristimulus colorimeter, narrow-band simple reflectance meter or subjective evaluation?. Burns 30: 103–107.

Dwyer T, Blizzard L, Ashbolt R, Plumb J, Berwick M, Stankovich JM. 2002. Cutaneous melanin density of Caucasians measured by spectrophotometry and risk of malignant melanoma, basal cell carcinoma, and squamous cell carcinoma of the skin. Am J Epidemiol 155:614–621.

Farkas O, Jakus J, Heberger K. 2004. Quantitative Structure antioxidant activity relationship of flavonoid compounds. Molecules 9: 1079-1088. Feather JW, Ellis DJ, Leslie G. 1988. A

portable reflectometer for the rapid quantification of cutaneous haemoglobin and melanin. Phys Med Biol. 33(6):711– 722.

Fullerton A, Fischer T, Lahti A, Wilhelm KP, Takiwaki H, Serup J. 1996. Guidelines for measurement of skin colour and erythema, A report from the Standarization Group of the European Society of Contact Dermatitis. Contact Dermatitis 35:1–10.

Kollias N, Baqer A. 1985. Spectroscopic characteristics of human melanin in vivo. J Invest Dermatol. 85:38–42.

Li M, Urmacher CD. 2007. Histology for Pathologists Ed ke–3. Mills SE, editor. New York: Lippincott William & Wilkins.

Lohninger H. 2004. Multivariate calibration.[terhubung berkala]. http://www.vias.org/tmdatanaleng/cc_m ultivaritae.html [20 Februari 2010]. Marieb EN, 1988. Essentials of Human

Anatomy and Physiology Ed ke–2. California: The Benjamin/Cummings. Matts PJ. 2008. New insights into skin

appearance and measurement. J of Investigative Dermatology Symposium Proceedings 13:6–9.

Matts PJ, Fink B, Grammer K, Burquest M. 2007. Color homogeneity and visual perception of age, health, and attractiveness of female facial skin. J of the American Academy of Dermatology

57:977–984.

McCaig TN. 2002. Extending the use of visible/near-infrared reflectance spectrophotometers to measure colour of food and agricultural product. Food Research Inernational 35:731–736. Menn N. 2004. Practical Optics. New York:

Elsevier.

Miller JC, Miller JN. 2000. Statistic and Chemometrics for Analytical Chemistry. Ed ke-4. Harlow: Pearson Education. Muizzuddin N, Marenus K, Maes D, Smith

WP. 1990. Use of Chromameter in assessing the efficacy of anti–irritants and tanning accelerators. J Soc Cosmet Chem. 41:369–378.

Shriver MD, Parra EJ. 2000. Comparison of narrow–band reflectance spectroscopy and tristimulus colorimetry for measurements of skin and hair color in persons of different biological ancestry.

American J of Physical Anthropology

112:17–27.

Soesatyo B, Marwah SD. 2005. Pengungkapan nilai negatif a,b pada

chromameter dengan analisa

(21)

Soesatyo B, Marwah SD. 2005. Penentuan perbedaan warna bahan ditinjau pada nilai pencahayaan L. Instrumentasi 29: 13-21.

Stchur P, Cleveland D, Zhou J, Michel RG. 2002. A review of recent applications of near infrared spectroscopy, and the characteristics of a novel PbS CCD array-based near infrared spectrometer.

Appl Spect Rev 37:383-428.

Stephen ID, Smith MJL, Stirrat MR, Perrett DI. 2009. Facial skin coloration affects perceived health of human faces. Int J Primatol 30: 845–857.

Trujillo O, Vanezis P, Cermignani M. 1996. Photometric assessment of skin colour and lightness using a tristimulus calorimeter: reliability of inter and intra– investigator observations in healthy adult volunteers. Forensic Science Int

81:1–10.

Wallace VP, Crawford DC, Mortimer PS, Ott

RJ, Bamber JC. 2000.

Spectrophotometric assessment of pigmented skin lesions: methods and feature selection for evaluation of diagnostic performance. Phys Med Biol

45: 735–751.

Weatherall IL, Coombs BD. 1992. Skin color measurement in terms of CIELAB color space values. J Invest Dermatol 99: 468–473.

Wold S, Sjostrom M, Eriksson L. 2001. PLS-regression: a basic tool of chemometrics.

Chem Intel Lab Syst 58: 109-130. Zain H, Tedjo A, Kusmardi. 2007.

Karakterisasi sifat autofluoresensi jaringan adenokarsinoma menggunakan metode analisis multieksitasi. Makara Kesehatan 11:69-75.

Zwinkels JC. 1996. Colour–measuring instruments and their calibration.

(22)

KINERJA FOTOMETER SEBAGAI ALAT UKUR WARNA

KULIT MANUSIA SECARA

IN VITRO

DAN

IN VIVO

FRENGKI SIBURIAN

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(23)

ABSTRAK

FRENGKI SIBURIAN. Kinerja Fotometer sebagai Alat Ukur Warna Kulit

Manusia Secara

In Vitro dan

In Vivo. Dibimbing oleh RUDI HERYANTO dan

ARYO TEDJO.

Pengukuran kuantitatif warna kulit, khususnya dalam menentukan

perubahan kecerahan warna kulit, digunakan secara luas di dalam penelitian

bahan kosmetika kulit. Alat yang dapat digunakan untuk mengukur warna kulit

adalah Chromameter

®

Konica Minolta CR 400 dengan hasil keluaran berupa nilai

L*a*b*. Alat tersebut tergolong mahal sehingga diperlukan alternatif peralatan

pengukur warna kulit yang lebih murah, fotometer menjadi salah satu solusinya.

Penelitian ini bertujuan mendapatkan model perhitungan yang paling baik untuk

alat fotometer, digunakan pemodelan persamaan (curve fit) dan

partial least

square

(PLS). Pemodelan dilakukan berdasarkan pengukuran secara

in vitro

(menggunakan standar warna dari produk pencerah kulit komersial) dan

in vivo

(langsung pada kulit). Hasil dari analisis komponen utama menunjukkan

kombinasi lampu

light emitting diodes yang memberikan kemiripan pola antara

hasil pengukuran menggunakan chromameter dan fotometer adalah lampu merah,

biru, dan ungu. Pendekatan untuk menghitung nilai L* kulit normal manusia yang

memberikan hasil mendekati nilai L* sebenarnya adalah menggunakan metode

kemometrik (teknik PLS), model tersebut memiliki

R

2

kalibrasi = 0.9936,

R

2

prediksi = 0.9906, RMSEC = 0.8790, dan RMSEP = 1.1334, sehingga fotometer

berpotensi untuk dijadikan alat pengukur perubahan kecerahan warna kulit normal

manusia.

ABSTRACT

FRENGKI SIBURIAN. Perfomances of Photometer as Human Skin Color Meter

According to In Vitro

and

In Vivo

Methods. Supervised by RUDI HERYANTO

and ARYO TEDJO.

(24)

KINERJA FOTOMETER SEBAGAI ALAT UKUR WARNA

KULIT MANUSIA SECARA

IN VITRO

DAN

IN VIVO

FRENGKI SIBURIAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(25)

Judul

: Kinerja Fotometer sebagai Alat Ukur Warna Kulit Manusia Secara

In

Vitro dan In Vivo

Nama : Frengki Siburian

NIM

: G44070050

Disetujui

Pembimbing I

Pembimbing II

Rudi Heryanto, S.Si., M.Si.

Aryo Tedjo S.Si., M.Si.

NIP

19760428 200501 1 002

NIP 19750202 200812 1 001

Diketahui

Ketua Departemen Kimia

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS.

NIP 19501227 197603 2 002

(26)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah

memberikan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang

berjudul

Karakterisasi Kinerja Fotometer sebagai Alat Ukur Warna Kulit

Manusia Secara

In Vitro dan

In Vivo

. Penelitian ini bertujuan mendapatkan

model perhitungan yang paling baik untuk alat fotometer, digunakan pemodelan

persamaan (curve fit) dan

partial least square

(PLS). Penelitian dilaksanakan

sejak bulan Februari sampai Juli 2011 di Laboratorium Kimia Analitik,

Departemen Kimia, Laboratorium Spektroskopi Departemen Fisika, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rudi Heryanto S.Si.,

M.Si., dan Bapak Aryo Tedjo S.Si., M.Si. selaku pembimbing atas segala saran,

kritik, dorongan, serta bimbingannya selama penelitian dan penyusunan karya

ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Karya

Salemba Empat (PT Indofood Sukses Makmur, Tbk) yang telah memberikan

bantuan biaya penelitian, serta staf Laboratorium Kimia Analitik atas segala

fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan.

Ucapan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua atas nasihat,

semangat, bantuan materi, dan doa-doanya. Selain itu penulis mengucapkan

terima kasih kepada teman satu bimbingan (

Gambar

Gambar 2
Gambar 5  Rentang warna CIELAB
Tabel 1  Hasil karakterisasi lampu LED
Tabel 1  Hasil karakterisasi lampu LED
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini HPP seharusnya tidak terlalu memfokuskan diri bagaimana mendapatkan dana untuk dikelola secara mandiri namun fokusnya adalah untuk dapat meningkatkan

Judul Skripsi : Pengaruh Konsentrasi Dan Interval Waktu Pemberian Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) Atonik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Selada ( Lactuca

Madrasah memberikan kenyamanan dalam KBM antara lain dengan menyediakan ruang kelas yang menampung rata-rata 35 peserta didik sehingga pembelajaran dapat berjalan lebih

Ketika ada chat dan pesan yang masuk maka setiap saat Anda akan mengecek smartphone Anda, sehingga hal tersebut akan mengganggu tidur Anda, pastinya Anda akan kurang tidur

PROGRAM LAYANAN KONSELING UMTUK MEREDUKSI KECEMASAN AKADEMIK PESERTA DIDIK MENGGUNAKAN TEKNIK RESTRUKTURISASI KOGNITIF. Universitas Pendidikan Indonesia| repository.upi.edu

Dalam menerapkan model pembelajaran langsung diharapkan guru guru dapat memberikan perhatian secara merata kepada setiap peserta didik yang kurang aktif sehingga semua

Hal yang harus diperhatikan dalam protokol di atas adalah pemilihan dari masalah matematika dan transformasi random yang digunakan sehingga orang lain benar-benar tidak

Judul Tesis : HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN