TESIS
O l e h :
VINELIA AUGUSTINA MARPAUNG
047018022 / EP
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tanggal Lulus : 28 Juni 2007
Judul
Penelitian :
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tunggakan Pajak di Sumatera Utara
Nama
: Vinelia Augustina Marpaung
Nomor
Pokok
: 047018022
Program Studi : Magister Ekonomi Pembangunan (MEP)
Menyetujui
Komisi Pembimbing:
Prof.Dr. Djamaluddin Ahmad
Ketua
Kasyful Mahalli, SE, M.Si.
Anggota
Ketua Program Studi
Direktur,
TUNGGAKAN PAJAK DI SUMATERA UTARA
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan
Pada Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh :
VINELIA AUGUSTINA MARPAUNG
047018022 / EP
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TELAH DIUJI PADA
HARI/TANGGAL : KAMIS / 28 JUNI 2007
PANITIA PENGUJI TESIS :
KETUA
:
Prof.Dr. Djamaluddin Ahmad
ANGGOTA : 1. Kasyful Mahalli, SE, M.Si.
VINELIA AUGUSTINA MARPAUNG
047018022
ABSTRACT
Tax represent one of the source of domestic income, obtained of taxpayer. State
income not yet as expected because still level of tax arrears. This research has a purpose to
know growth of tax arrears in North Sumatera and to analyze the influence of economics
growth of North Sumatera, numer of taxprayer, inflation and economic condition to tax
arrears in North Sumatera.
The analysis uses
Ordinary Least Square (OLS) method. For this analysis aim, use a
secondary database in time series form, 1984 – 2005, that is data of tax arrears, number of
taxprayer, economics growth of North Sumatera, and inflation in North Sumatera. The data
obtained form Regional Office DJP Sumbagut I, and Central Bureau of Statistics of Nort
Sumatera Utara, and other sources that is research result and journals.
Based on the estimating result, this research found that economics growth of North
Sumatera, number of taxprayer, inflation rate, and economic condition simultaneously had
significantly influence to the tax arrears in North Sumatera with a determination coefficient
value (R
2), in the amount of 97,39 percents. It means that the economics growth of North
Sumatera, number of taxprayer, inflation rate and economic condition can explain the tax
arrears variation in North Sumatera equal to 97,39 percents. Partially, this analysis result
showed that economics growth of North Sumatera had a significantly negative influence to
tax arrears in North Sumatera; number of taxprayer, inflation and economic crisis had a
significantly positif influence to tax arrears in North Sumatera.
Hence to lessen tax arrears in North Sumatera, governmental require to strive to
improve economics growth, with stabilization and repair of makroekonomic variables.
Referring to taxpayer, to Directorate Generaling of Tax suggested to lay to really potential
taxpayer. Besides by improving execution of counselling to taxpayer to increase awareness
of taxpayer of its obligation, and conduct the regulation of taxation properly.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TUNGGAKAN PAJAK DI SUMATERA UTARA
VINELIA AUGUSTINA MARPAUNG
047018022
ABSTRAK
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan dalam negeri, yang diperoleh dari
wajib pajak. Penerimaan negara dari pajak belum sebagaimana diharapkan karena masih
besarnya tunggakan pajak.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan
tunggakan pajak di Sumatera Utara dan untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi
di Sumatera Utara, jumlah wajib pajak, inflasi dan kondisi ekonomi terhadap peningkatan
tunggakan pajak di Sumatera Utara.
Metode analisis yang digunakan adalah
Ordinary Least Square (OLS). Untuk tujuan
analisis digunakan data sekunder berupa data time series, 1984 – 2005, yaitu data tunggakan
pajak, jumlah wajib pajak, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi di Sumatera Utara. Data
tersebut diperoleh dari Kanwil DJP Sumbagut I, BPS, dan sumber-sumber lainnya yaitu
jurnal-jurnal dan hasil penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekomoni Sumatera Utara, jumlah
wajib pajak, tingkat inflasi, dan kondisi ekonomi secara serempak berpengaruh signifikan
terhadap peningkatan tunggakan pajak di Sumatera Utara. Nilai koefisien determinasi (R
2)
sebesar 0,9739 berarti bahwa pertumbuhan ekonomi, jumlah wajib pajak, inflasi dan kondisi
perekonomian (dummy) mampu menjelaskan variasi tunggakan pajak di Sumatera Utara
sebesar 97,39 %. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh negatif signifikan terhadap penunggakan pajak, kemudian jumlah wajib pajak,
inflasi dan krisis ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap penunggakan pajak di
Sumatera Utara.
Berdasarkan hasil penelitian, maka untuk mengurangi penunggakan pajak,
pemerintah perlu melakukan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melalui perbaikan
dan stabilisasi terhadap variabel-variabel makroekonomi. Sehubungan dengan wajib pajak,
kepada Direktorat Jenderal Pajak disarankan untuk membebankan pajak kepada wajib pajak
yang benar-benar potensial. Selain itu dengan meningkatkan pelaksanaan penyuluhan
terhadap wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak atas kewajibannya,
sekaligus melakukan peraturan perpajakan sebagaimana mestinya.
Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan rahmat-Nya kepada kita,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tunggakan Pajak di Sumatera Utara
”.
Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini sehingga
dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditetapkan berkat bimbingan dan
arahan dari Bapak dan Ibu Dosen Magister Ekonomi Pembangunan khususnya
Bapak Dosen Pembimbing dan Bapak Dosen Penguji dengan kesabarannya telah
meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk dan arahan.
Dalam penyelesaian penulisan tesis ini, penulis banyak dibantu oleh
berbagai pihak, baik dalam bentuk moril, bimbingan maupun arahan, sehingga
sesuai dengan syarat dan tatacara yang telah ditentukan. Untuk itu penulis dalam
kesempatan ini, dengan kerendahan hati dengan rasa hormat menyampaikan
terima kasih yang tulus kepada :
1. Ibu Prof.Dr.Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Murni Daulay, S.E.,M.Si., Ketua Program Studi Magister Ekonomi
Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Djamaluddin Ahmad sebagai Ketua Pembimbing atas arahan
dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan pengerjaan tesis ini
4. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si sebagai Anggota Pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dan arahan dalam penyusunan tesis ini.
5. Ibu Dr. Murni Daulay, S.E.,M.Si., Bapak Drs. Rujiman, MA., Drs. Iskandar
Syarief, M. A. sebagai Pembanding yang telah banyak memberikan
saran-saran perbaikan dalam penyusunan tesis ini.
7. Bapak dan Ibu Staf Administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
8. Kepada orang-orang tercinta penulis, ibunda penulis Rumina Siagian, dan
seluruh keluarga besar yang telah memberikan perhatian, motivasi, semangat,
saran dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
9. Khusus kepada suamiku tercinta, Justom Malau yang telah memberikan kasih
sayangnya, dukungan dan pengertian selama penulis melakukan perkuliahan
serta anakku tersayang Darrell Stefanus Malau yang selalu membuatku
semangat dan bahagia serta tenang menyelesaikan tesis ini.
10. Dalam kurun waktu tiga semester selama menjalani masa perkuliahan, telah
terjadi interaksi yang baik antara penulis dengan rekan-rekan kuliah terutama
angkatan VII, maka untuk itu penulis memberikan ucapan terima kasih
kepada mereka semua, khususnya rekan Inggrita Gusti Sari Nasution, Novita
L. Sitompul yang tetap saling menguatkan dan mengingatkan dalam
perjuangan menyelesaiakan tesis ini.
11. Rekan-rekan sekerja di Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan
Pajak Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I ang selalu memberikan
semangat dan pengertian dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun harapan
penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Mohon maaf atas segala
kesalahan dan kesilapan penulis selama ini. Semoga Allah Bapa Yang Maha
Pengasih memberikan berkat-Nya kepada kita. Aminn...
Medan, 30 Juni 2007
Penulis,
1. Nama
: Vinelia Augustina Marpaung
2. Agama
: Kristen
3. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 25 Agustus 1975
4. Pekerjaan
: PNS pada Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I
5. Nama Suami
: Justom F. Malau, SE
6. Anak
: Darrell Stefanus Malau
7. Nama Ayah
: H. Wilson Marpaung (alm)
Ibu
: Rumina Siagian
8. Nama Ayah Mertua : Jamin Malau (alm)
Ibu Mertua
: Taruli Donata Siringo-ringo
9. Pendidikan :
a. SD HKBP Sidorame I : Lulus Tahun 1987
b. SMP Negeri 12 Medan : Lulus Tahun 1990
c. SMA Negeri 7 Medan
: Lulus Tahun 1993
d. Prodip III Perbendaharaan Negara
: Lulus Tahun 1996
e. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia : Lulus Tahun 2002
Jurusan Akuntansi
DAFTAR ISI
ABSTRACT
... iii
ABSTRAKSI
... iv
KATA PENGANTAR
... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
... viii
DAFTAR ISI
... ix
DAFTAR TABEL
... xi
DAFTAR GAMBAR
... xii
DAFTAR LAMPIRAN
... xiii
DAFTAR SINGKATAN
... xiv
BAB I. PENDAHULUAN
... 1
1.1.
Latar Belakang ...
1
1.2.
Perumusan Masalah...
5
1.3.
Tujuan Penelitian...
5
1.4.
Manfaat Penelitian...
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
... 7
2.1.
Kerangka Teoritik ...
7
2.1.1.
Pengertian Pajak ...
7
2.1.2.
Fungsi Pajak ...
9
2.1.3. Struktur Pajak yang Baik ... 11
2.1.4. Pemungutan Pajak ... 12
2.1.5. Wajib Pajak... 17
2.1.6. Penagihan Pajak (
Tax Efforts) ... 20
2.1.7. Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi ... 25
2.2. Kerangka Konsepsi ... 29
2.3. Penelitian Sebelumnya ... 33
2.4.
Hipotesis... 36
BAB III. METODE PENELITIAN
... 38
3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 38
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 38
3.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 41
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
... 44
4.1. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara ... 44
4.2.
Inflasi... 46
4.3. Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara...
47
4.4. Perkembangan Tunggakan Pajak di Sumatera Utara ...
49
4.5. Analisis Estimasi ... 50
4.5.1. Uji Asumsi Klasik ... 51
4.5.2. Uji Kesesuaian (Goodness of Fit)... 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
... 61
5.1.
Kesimpulan... 61
5.2.
Saran... 62
DAFTAR PUSTAKA
... 64
DAFTAR TABEL
Tabel
Judul
Halaman
1.1 Tunggakan Pajak di Kanwil DJP Sumbagut I, 2003 – 2005 ...
3
1.2. Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Tunggakan Pajak di
Sumatera Utara, 2002 – 2004 ...
4
4.1. Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara , Tahun 1984 – 2005 ...
45
4.2. Tingkat Inflasi di Sumatera Utara Tahun 1984 – 2005 ...
46
4.3. Perkembangan Jumlah Wajib Pajak di Sumatera Utara Tahun
1984 – 2005 ...
48
4.4. Perkembangan Tunggakan Pajak di Sumatera Utara Tahun 1984
– 2005 ... 50
4.5. Ringkasan Hasil Analisis Model Estimasi ...
51
4.6. Hasil Estimasi Uji Multikolinieritas ...
52
Gambar
Judul
Halaman
2.1. Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Judul
Halaman
APBN
= Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
BBM
= Bahan Bakar Minyak
BI
= Bank Indonesia
BPHTB
= Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BPS
= Badan Pusat Statistik
DBH
= Dana Bagi Hasil
DJP
= Direktorat Jenderal Pajak
GNP
= Gross National Product
KHL
= Kondisi Layak Hidup
OLS
= Ordinary Least Square
NPWP
= Nomor Pokok Wajib Pajak
PBB
= Pajak Bumi dan Bangunan
PDB
= Produk Domestik Bruto
PDRB
= Produk Domestik Regional Bruto
PE
= Pertumbuhan Ekonomi
PPh
= Pajak Penghasilan
PPN
= Pajak Pertambahan Nilai
PPnBM
= Pajak Penjualan atas Barang Mewah
PTKP
= Penghasilan Tidak Kena Pajak
RAPBN
= Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
SKPKB
= Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar
SKPKBT = Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
SPT
= Surat Pemberitahuan
STP
= Surat Tagihan Pajak
TDL
= Tarif Dasar Listrik
UU
= Undang-undang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur memerlukan dana yang besar.
Peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan dan penyelenggaraan
roda pemerintahan sangat diperlukan, antara lain dengan melakukan
kewajibannya dalam membayar pajak sebagai sumber penerimaan negara yang
dominan. Dalam hal ini dibutuhkan dukungan berupa peningkatan kesadaran
masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara
jujur dan bertanggung jawab.
Pajak merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah terhadap wajib
pajak tertentu berdasarkan undang-undang yang ada tanpa harus memberikan
imbalan langsung. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di
Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu
direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan
Republik Indonesia
Peranan pajak sebagai penerimaan dalam negeri, ditunjukkan dengan
terus meningkatnya rencana penerimaan negara yang berasal dari pajak. Untuk
tahun 2005 meningkat sebesar 28,05 % dibandingkan dengan rencana
penerimaan pajak tahun 2004 yaitu sebesar Rp. 232,55 triliun.
Salah satu sumber penerimaan pajak adalah dengan berhasilnya
penagihan pajak terhadap tunggakan pajak Wajib Pajak. Direktorat Jenderal
Pajak melakukan penagihan pajak dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak
melalui Juru Sitanya. Utang pajak timbul karena adanya
taatbestan
, yaitu suatu
keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut peraturan
perundang-undangan perpajakan menimbulkan utang pajak. Utang pajak adalah utang
pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga,
denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penagihan pajak dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 1997
yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa penagihan
pajak diawali dengan surat teguran yang diterbitkan setelah tujuh hari sejak
saat jatuh tempo pembayaran STP/SKPKB/Surat Keputusan Pembetulan/Surat
Keputusan Keberatan/Putusan Banding. Apabila utang pajak tidak dilunasi
setelah lewat waktu 21 hari sejak diterbitkannya Surat Teguran, maka segera
diterbitkan Surat Paksa.
3
Tabel 1.1. Tunggakan Pajak di Kanwil DJP Sumbagut I, 2003 – 2005
Tahun
Tunggakan Pajak (Juta Rp.)
2003
607.314,45
2004
642.527,13
2005
646.129,56
Sumber : Kanwil DJP Sumbagut I, 2006.
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Tunggakan Pajak di Sumatera
Utara, 2002 – 2004
Tahun Pertumbuhan
Ekonomi
(%)
Inflasi (%)
Tunggakan Pajak
(Milyar Rp.)
2002
4,07
10,17
572,55
2003
4,48
3,75
607,31
2004
5,58
7,40
642,53
Sumber: BPS Sumatera Utara, 2004.
Apabila dihubungkan data pada Tabel 1.1. dan data pada Tabel 1.2.
dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara semakin baik
yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat pada tahun
2003 dan 2004 dibarengi dengan kenaikkan tunggakan pajak pada tahun 2003
dan 2004. Begitu juga apabila dilihat dari kondisi inflasi pada tahun 2003 dan
2004 yang lebih rendah dari tahun 2002, jumlah tunggakan pajak juga pada
tahun 2003 dan 2004 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2002.
Pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dan inflasi yang lebih rendah
seharusnya dapat menurunkan tunggakan pajak, karena terjadinya perbaikan
kondisi makro ekonomi. Namun demikian, di Sumatera Utara perbaikan
ekonomi tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah
tunggakan pajak. Terjadinya kenaikan tunggakan pajak tersebut kemungkinan
disebabkan peningkatan jumlah wajib pajak pribadi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah wajib pajak badan dan bendaharawan.
5
peningkatan tunggakan pajak, perlu dilakukan suatu penelitian terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan tunggakan pajak di Sumatera Utara.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pertumbuhan ekomoni
daerah Sumatera Utara, jumlah wajib pajak, tingkat inflasi, dan kondisi
ekonomi berpengaruh terhadap peningkatan tunggakan pajak di Sumatera
Utara ?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, jumlah wajib pajak,
inflasi dan kondisi ekonomi terhadap peningkatan tunggakan pajak di
Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian yang dilakukan ini, mampu memberikan manfaat
yang antara lain adalah :
2. Sebagai bahan masukan bagi Kanwil DJP Sumbagut I dalam meningkatkan
penerimaan pajak dari pencairan tunggakan pajak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritik
2.1.1. Pengertian Pajak
Istilah pajak berasal dari bahasa Jawa, yaitu ”ajeg”, yang berarti
pungutan teratur pada waktu tertentu.
Pa-ajeg berarti pungutan teratur
terhadap hasil bumi sebesar 40 persen dari yang dihasilkan petani untuk
diserahkan kepada raja dan pengurus desa. Besar kecilnya bagian yang
diserahkan tersebut hanyalah berdasarkan adat kebiasaan semata yang
berkembang pada saat itu (Devano dan Rahayu, 2006: 21)
Beberapa pengertian atau definisi tentang pajak yang diberikan para
ahli di bidang keuangan negara, ekonomi, maupun hukum mancanegara, untuk
menjadi bahan perbandingan sebagaimana dikutip Devano dan Rahayu (2006:
21-23), antara lain sebagai berikut :
1. Seligman (1925), dalam
Essay on Taxation,
menyatakan bahwa, “Tax is
compulsory contribution from person, to the government to defray the
expenses, the expenses incurred in the common interest of all without
reference to special benefits conferred.
Banyak yang keberatan atas
"without reference"
karena bagaimanapun
juga uang-uang pajak tersebut digunakan untuk produksi barang dan
jasa, jadi
"benefit"
diberikan kepada masyarakat, hanya tidak mudah
ditunjukkan apalagi secara perorangan.
2. Beaulieu (1906), dalam
Traite de la Science des Finances tahun 1906,
menyatakan bahwa,
"L' impot et la contribution, soft directe soft
dissimulee, que la Puissance publique
exige des habitants ou des biers
pur subvenir aux depenses du gouvernment." Pajak adalah bantuan,
baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik
dari penduduk atau dari barang, untuk menutupi belanja pemerintah.
3. Bastable dalam (Nurmantu: 2005) dalam bukunya
Public Finance
menyatakan bahwa,
"Tax is a compulsory contribution of the wealth of a
person or body for the service of the public powers".
4. Adams dalam buku
The Science of Finance
merumuskan pajak sebagai ”a
contribution from the citizen to the public powers"
(Nurmantu: 2005).
5. Andriani dalam Brotodihardjo (2003) merumuskan pajak sebagai iuran
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
9
Beberapa unsur yang dapat disimpulkan dari beberapa definisi pajak
tersebut adalah:
·
A compulsory,
merupakan suatu kewajiban yang dikenakan pada rakyat
yang dikenakan kewajiban perpajakan. Jika tidak melaksanakan
kewajibannya tersebut, maka dapat dikenakan tindakan hukum berdasarkan
undang-undang. Dapat dikatakan bahwa kewajiban ini dapat dipaksakan oleh
pemerintah.
·
Contribution,
diartikan sebagai iuran yang diberikan oleh rakyat yang
memenuhi kewajiban Perpajakan kepada pemerintah dalam satuan
moneter.
·
By individual or organizational,
iuran yang dapat dipaksakan tersebut
dibayar oleh perorangan atau badan yang memenuhi kewajiban perpajakan.
·
Received by the government,
iuran yang diberikan tersebut dibayarkan
kepada pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan suatu negara.
·
For public purposes,
iuran yang diberikan dari rakyat yang dapat
dipaksakan yang merupakan penerimaan bagi pemerintah dijadikan sebagai
dana untuk pemenuhan tujuan kesejahteraan rakyat banyak.
2.1.2. Fungsi Pajak
a. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin
negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya.
Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pahak. Dewasa ini pajak
digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri
dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun
harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang
semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari pajak.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan
pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal,
baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri,
pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
c. Fungsi stabilitas
11
peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang
efektif dan efesien.
d. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai
berbagai kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada
akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.1.3. Struktur pajak yang baik
Sistem perpajakan di berbagai negara telah berkembang sebagai reaksi
dari perubahan-perubahan ekonomi, politik, dan sosial. Sistem tersebut belum
disusun dengan suatu rancangan utama untuk memenuhi persyaratan yang
optimal untuk suatu struktur pajak yang baik. Menurut Musgrave & Musgrave
(1993: 230), beberapa persyaratan struktur pajak yang baik adalah:
1. Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat.
2. Distribusi beban pajak harus adil, setiap orang harus dikenakan
pembayaran sesuai dengan kemampuannya.
3. Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik-titik
mana pajak tersebut harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut
pada akhirnya harus ditanggung.
4. Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimumkan terhadap
keputusan perekonomian, dalam hubungannya dengan pasar yang
5. Struktur pajak harus memudahkan pengguna kebijakan fiskal, untuk
mencapai stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.
6. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas/pasti
serta harus dapat dipahami oleh wajib pajak.
7. Biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya harus serendah mungkin
jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain.
Syarat-syarat di atas dan persyaratan lainnya dapat digunakan sebagai
kriteria untuk menilai kualitas struktur pajak. Berbagai tujuan itu tidak selalu
sejalan, sehingga seringkali harus dilakukan
trade-off. Jadi untuk
mempermudah struktur pajak yang adil, diperlukan administrasi yang cukup
rumit, dan hal ini akan mengganggu sifat kenetralan. Rancangan kebijakan
pajak yang efisien akan berbenturan dengan masalah keadilan, dan seterusnya.
2.1.4. Pemungutan pajak
13
a. Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum, pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam
perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya:
1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat
sebagai wajib pajak
3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai
dengan berat ringannya pelanggaran
b. Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang menentukan: ”Pajak dan pungutan
yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak,
yaitu:
·
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara berdasarkan UU
tersebut harus dijamin kelancarannya
·
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara
umum
·
Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak
c. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak
maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan
masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak,
terutama masyarakat kecil dan menengah.
d. Pemungutan pajak harus efisien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada
biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak
harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib
pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari
segi penghitungan maupun dari segi waktu.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam
pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak
dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan
memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan
kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan
pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Contoh:
·
Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam
tarif
15
·
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang
berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
Menurut Markus (2005) dalam (Devano dan Rahayu, 2006: 49-50), ada
beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk
melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan
jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan
tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi
diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini
dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini
banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan
perusahaan asuransi.
Ada dua penggolongan jenis pajak, yaitu pajak langsung (direct tax)
dan pajak tidak langsung (indirect tax). Pajak langsung adalah pajak yang
apabila beban pajak dipikul seseorang atau badan (tax burden) tidak dapat
dilimpahkan (no tax shifting) kepada pihak lain. Pihak yang ditunjuk oleh UU
Pajak untuk memikul beban pajak sudah jelas, yaitu seseorang atau badan yang
memiliki sesuatu, bukan pada sesuatunya, tetapi kepada seseorang atau
badannya. Rahmat Soemitro sebagaimana dikutip Devano dan Rahayu (2006)
mengemukakan berdasarkan pada tata usaha negara (administrasi), pajak
langsung diartikan sebagai pajak yang dikenakan berdasar atas surat, ketetapan
(kohir) dan pengenaannya dilakukan secara berkala pada tiap tahun dan waktu
tertentu. Contohnya, pajak penghasilan.
Pajak tidak langsung adalah beban pajak yang dipikul seseorang (tax
burden) dapat dilimpahkan (tax shifting) baik seluruhnya maupun sebagian
kepada pihak lain.
Tax incidence dari pelimpahan adalah bahwa pajak pada
akhirnya dibebankan seluruhnya pada konsumen akhir. Pajak tidak langsung
merupakan pajak yang pemungutannya tidak dilakukan berdasar atas kohir dan
pengenaannya tidak dilakukan secara berkala, misalnya dikaitkan dengan suatu
kegiatan tertentu yang menyertainya. Contoh, pajak penjualan dan pajak
pertambahan nilai.
Beberapa konsep teknis tentang perpajakan adalah :
17
2. Basis pajak (
tax base
) adalah dasar penetapan pajak kepada wajib pajak,
seperti berdasarkan pekerjaan, berdasarkan jumlah upah, dan lain-lain
berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
3. Tarif pajak (
tax rate
) adalah besarnya pajak yang wajib dibayarkan oleh
wajib pajak berdasarkan objek pajak sesuai ketentuan
perundang-undangan. Secara struktural menurut tarif pajak dibagi dalam empat jenis
yaitu :
1. Tarif proporsional (
a proportional tax rate structure
) yaitu tarif pajak
yang presentasenya tetap meskipun terjadi perubahan dasar pengenaan
pajak.
2. Tarif regresif (
a regresive tax rate structure
) yaitu tarif pajak menurun
ketika dasar pengenaan pajak meningkat.
3. Tarif progresif (
a progresive tax rate structure
) yaitu tarif pajak akan
semakin naik sebanding dengan naiknya dasar pengenaan pajak.
4. Tarif degresif (
a degresive tax rate structure
) yaitu kenaikan
persentase tarif pajak akan semakin rendah ketika dasar pengenaan
pajaknya semakin meningkat.
2.1.5. Wajib Pajak
Wajib pajak adalah sekumpulan orang atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut pajak dan pemotong
adalah wajib pajak. Jadi wajib pajak menurut Soemitro dalam (Devano dan
Rahayu, 2006: 144) adalah orang atau badan yang bertempat tinggal di
Indonesia, yang menerima atau memperoleh penghasilan bagi perorangan yang
jumlah setahun melampui batas pajak, yaitu yang mempunyai penghasilan
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mempunyai NPWP
walaupun kepadanya belum atau tidak dikenakan pajak atau belum atau tidak
diberikan Surat Ketetapan Pajak.
Wajib pajak dapat dikelompokkan menjadi : wajib pajak orang pribadi,
wajib pajak badan, dan wajib pajak pemungut/pemotong (bendaharawan).
Adanya kewajiban pajak subjektif dalam Pasal 2A Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984, sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 17
Tahun 2000, yaitu dimulai pada saat :
b. orang pribadi tersebut dilahirkan
c. berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan, atau berniat untuk
bertempat tinggal di Indonesia
d. badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia
e. warisan yang belum terbagi dalam satu kesatuan, menggantikan yang
berhak
f. subjek pajak luar negeri, orang pribadi tidak tinggal di Indonesia kurang
dari 183 hari dalam 12 bulan
g. bentuk usaha tetap (BUT) atau badan yang tidak didirikan dan tidak
19
Wajib pajak dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya memerlukan
suatu sistem yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan
perwakilan. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia menuntut
wajib pajak untuk turut aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Sistem pemungutan yang berlaku di Indonesia adalah
self assesment system
,
dimana segala pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh
wajib pajak, fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur
pemeriksaan.
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak
dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak
yang tinggi yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang
sesuai dengan kebenarannya. Karena sebagian besar pekerjaan dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak, bukan fiskus
selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan dalam
self assesment
system
, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal.
Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kondisi
sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak,
penegakan hukum perpajakan, pemeriksaan pajak, dan tarif pajak. Dengan
administrasi perpajakan yang baik, maka akan memotivasi wajib pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan tidak hanya
kemauan wajib pajak juga, sampai sejauh mana wajib pajak tersebut akan
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Membayar pajak bukanlah merupakan tindakan yang semudah dan
sesederhana membayar untuk mendapatkan sesuatu (konsumsi) bagi
masyarakat, tetapi di dalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat
emosional. Pada dasarnya tidak seorang pun yang menikmati kegiatan
membayar pajak seperti menikmati kegiatan berbelanja. Di samping itu,
potensi bertahan untuk tidak membayar pajak sudah menjadi
taxpayers
behavior. Pada umumnya wajib pajak cenderung meloloskan diri dari setiap
pajak, karena sebagian besar rakyat di seluruh negara tidak akan pernah
menikmati kewajibannya membayar pajak sehingga memenuhinya tidak ada
yang tanpa menggerutu. Sedikit saja wajib pajak yang merasa benar-benar rela
dan merasa ikut bertanggung jawab membiayai pemerintahan suatu negara.
Tidak banyak yang merasa bangga sudah membayar pajak dan ikut
berpartisipasi dalam pembiayaan negara. Karena banyaknya wajib pajak yang
mencoba meloloskan diri dari setiap pajak, maka banyak wajib pajak tidak
melaporkan dan menyetor pajak yang telah diambil dari pihak yang telah
dipotong atau dipungut pajaknya, sehingga timbullah tunggakan pajak atas
keterlambatan penyetoran tersebut.
2.1.6. Penagihan Pajak (
Tax Efforts
)
21
Ketetapan Pajak oleh fiskus) asalkan dipenuhi syarat terdapatnya suatu
tatbestand
karena oleh undang-undang timbulnya utang pajak
dihubungkan dengan adan ya suatu
tatbestand
yang terdiri dari
keadaan-keadaan tertentu dan/atau juga peristiwa ataupun perbatasan tertentu. (Devano
dan Rahayu, 2006: 106)
Soemitro dalam (Devano dan Rahayu, 2006: 174) memberi pengertian
penagihan pajak adalah perbuatan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal
Pajak, karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan undang-undang.
Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh petugas Direktorat Jenderal Pajak
adalah agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak dengan menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika
dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang
yang telah disita. Penjualan barang yang telah disita biasanya dilakukan
melalui pelelangan, kecuali untuk aset-aset sitaan berupa uang tunai, deposito
berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain (Rusdji,
2004).
Penanggung pajak tidak harus sama dengan wajib pajak. Wajib pajak
adalah subjek pajak, baik orang pribadi atau badan, yang telah menurut
ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan atau
pemotongan pajak tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan penanggung
pajak menurut Pasal 1 angka 3 UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun
2000, adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak atau memenuhi
kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak,
bila: jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus
dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka
waktu yang ditetapkan.
Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 19 Tahun 2000, apabila utang
pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan
dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut:
a. Surat Teguran
Utang pajak yang tidak dilunasi setelah lewat 7 (tujuh) hari dari tanggal
jatuh tempo pembayaran, akan diterbitkan Surat Teguran.
b. Surat Paksa
Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal Surat
23
Jurusita Pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa
sebesar Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi
dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh
Jurusita Pajak.
3. Surat Sita
Utang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa
diberitahukan oleh Jurusita Pajak tidak dilunasi, Jurusita Pajak dapat
melakukan tindakan penyitaan, dengan dibebani biaya pelaksanaan Surat
Perintah Melakukan Penyitaan sebesar Rp 75.000 (tujuh puluh lima ribu
rupiah).
4. Lelang
Dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan
penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan
pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang
melalui Kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita, dilaksanakan
paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang.
Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum
dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk
pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat
pelelangan. Dengan catatan barang dengan nilai paling banyak
5. Daluwarsa Penagihan
a. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda,
kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu
10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang
bersangkutan.
b. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila :
1) diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa;
2) ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung; diterbitkan SKPKB atau SKPKBT.
Tindakan penagihan pajak tersebut adalah rangka mencapai target
penerimaan negara dari pajak. Target penerimaan negara Indonesia di sektor
pajak tahun 2006 secara nasional sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami
peningkatan 20 persen dari tahun 2005. Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun
dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas.
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai
Rp.402,1 triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari:
·
Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun
·
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun
·
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
25
·
penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun,
bea masuk Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar.
Total penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah
mencapai 1.040 triliun.
2.1.7. Teori Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Teori pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penjelasan mengenai
faktor-faktor yang menentukan kenaikan
output perkapita dalam jangka
panjang, dan penjelasan mengenai interaksi faktor-faktor tersebut satu sama
lain sehingga terjadi proses pertumbuhan (Boediono, 1999).
Teori pertumbuhan ekonomi dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu:
(1) Teori-teori klasik, mencakup teori pertumbuhan Adam Smith, David
Richard, dan Arthur Lewis. Perbedaan teori Lewis dengan teori-teori
Klasik Smith dan Ricardo terletak pada penekanan oleh Lewis pada
aspek dualisme perekonomian, yaitu adanya sektor moderen dan sektor
tradisional, yang masing-masing memiliki ciri-ciri ekonomi khusus.
(2) Teori-teori modern, yang mencakup empat sub golongan, yaitu:
a. Teori pertumbuhan yang tumbuh dari teori makro Keynes
(Keynesian). Termasuk dalam hal ini teori pertumbuhan
b. Teori Pertumbuhan Neo Klasik, diawali terutama oleh teori Robert
Solow dan Trevor Swan.
c. Teori pertumbuhan optimum
Teori ini bertujuan mencari jalur pertumbuhan yang paling baik
(optimum) bagi suatu perekonomian. Termasuk dalam hal ini teori
Dalil Emas dan Teori Jalan Raya.
d. Teori pertumbuhan dengan uang
Teori ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari pertumbuhan
Neo Klasik, tetapi dengan tambahan adanya uang di dalam
perekonomian sebagai alat penyimpan kekayaan. Teori pokoknya
berawal dari karya James Tobin.
Dalam hal ini diambil satu teori pertumbuhan ekonomi, yaitu teori
pertumbuhan Harrod-Domar. Teori Harrod-Domar adalah perkembangan
langsung dari makro Keynes jangka pendek menjadi suatu teori jangka
panjang. Harrod-Domar melihat pengaruh investasi (I) dalam perspektif waktu
yang lebih panjang. Menurut Harrod-Domar, pengeluaran investasi (I) tidak
hanya mempunyai pengaruh (lewat proses
multiplier) terhadap permintaan
agregat (Z), tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya
terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang, I
menambah stok kapital, misalnya pabrik-pabrik, dan jalan-jalan. Jadi I =
D
K,
dimana K adalah stok kapital dalam masyarakat. Hal ini berarti pula
27
Harrord-Domar mengatakan bahwa setiap penambahan stok kapital
masyarakat (K) meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk
menghasilkan
output
(QP). QP adalah
output
yang potensial bisa dihasilkan
dengan stok kapital yang ada. Hubungan antara K dan QP digambarkan
sebagai:
QP = hK ...(2.1)
dimana h, menunjukkan berapa unit
output
yang bisa dihasilkan dari setiap
unit kapital. Koefisien ini diberi nama
out-put capital ratio
, dan kebalikannya,
yaitu 1/h adalah
capital-output ratio
.
Hubungan antara K dan QP adalah proporsional, apabila misalnya K naik dua
kali lipat maka QP juga naik dua kali lipat. Jadi apabila dalam satu tahun ada
investasi sebesar I, maka stok kapital pada akhir tahun tersebut akan
bertambah sebesar
D
K = I. Selanjutnya penambahan kapasitas ini akan
meningkatkan
output
potensial sebesar:
D
QP = h
D
K = hI hK ...(2.2)
Semakin besar I, semakin besar tambahan
output
potensial.
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari PDB, merupakan total nilai
pasar dari barang jadi dan jasa yang dihasilkan di dalam suatu negara selama
satu tahun tertentu. PDB merupakan jumlah nilai konsumsi, investasi bruto,
pembelanjaan pemerintah atas barang dan jasa, dan ekspor netto yang
dihasilkan di dalam suatu negara selama satu tahun tertentu (Samuelson dan
Dampak utama kebijakan fiskal terhadap
output
kapasitas mungkin
bekerja melalui tabungan dan pembentukan modal. Karena tenaga kerja akan
lebih produktif jika penggunaannya digabungkan dengan stok modal yang
lebih besar, maka pembentukan modal akan semakin meningkatkan
produktivitas. Semakin besar bagian penghasilan yang ditabung dan
diinvestasikan, maka semakin besar pula tingkat penghasilan yang akan
datang. Jadi dengan mempengaruhi besarnya bagian ini, kebijakan fiskal akan
memberikan dampak penting terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu tingkat
penghasilan perkapita yang akan datang. Dampak kebijakan pajak terhadap
sektor swasta adalah pembagian penggunaan sumberdaya antara konsumsi
dengan pembentukan modal, karenanya mempengaruhi pertumbuhan
output
kapasitas, dan akan mempengaruhi efek kebijakan fiskal atas tingkat
permintaan agregat.
Tingkat pertumbuhan ekonomi merefleksikan kinerja ekonomi dari
tahun ke tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
adalah inflasi. Inflasi terjadi ketika tingkat harga umum naik, yang
menunjukkan berbagai tingkat kesulitan. Tingkat inflasi adalah perubahan
persentase pada tingkat harga. Penyimpangan harga relatif menghasilkan dua
akibat inflasi, yaitu: (1) redistribusi pendapatan dan kekayaan di antara
kelompok yang berbeda, dan (2) penyimpangan pada harga relatif dan
output
barang yang berbeda, atau kadang-kadang pada
output
dan ketenagakerjaan
29
Laju inflasi per tahun dihitung berdasarkan persentase perubahan indeks harga
konsumen (IHK) dari tahun ke tahun.
Dalam hubungannya dengan pajak, jika harga naik, maka nilai riel dari
pengecualian (
exemptions
) dan pengurangan standar akan turun. Akibatnya
tingkat penghasilan riel akan turun. Selain itu, jika harga naik, nilai riel dari
batas kelompok akan turun, sehingga tingkat tarif kelompok yang dapat
dikenakan terhadap tingkat penghasilan tertentu akan naik. Karena kedua
alasan ini, kewajiban pajak penghasilan naik lebih cepat dibandingkan harga,
artinya kewajiban pajak naik dalam arti riel. Jika harga naik, maka pemulihan
yang didasarkan pada biaya mula-mula tidak akan menghasilkan penghematan
pajak dalam jumlah yang memadai untuk mempertahankan keutuhan modal
riel. Akibatnya, pendapatan kena pajak akan dinyatakan terlalu besar, yang
mengakibatkan kenaikan secara implisit dalam tarif pajak efektif jika dikaitkan
dengan pendapatan riel. Kenaikan ini menyebabkan meningkatnya penyusutan
atau penunggakan pajak, dan merupakan salah satu bagian dari masalah inflasi
(Musgrave dan Musgrave, 1993: 386,413).
2.2. Kerangka Konsepsi
Salah satu sumber penerimaan pemerintah adalah tabungan nasional,
termasuk pajak. Menurut Ana (2003), persoalan dari beberapa negara,
termasuk Pilipina, adalah bahkan pada saat pertumbuhan, pungutan pajak
berada di bawah prestasi. Dimana ketika terjadi pemulihan atau pertumbuhan
menantang teori konvensional bahwa hasil pungutan pajak meningkat pada
saat pertumbuhan. Pertumbuhan bukan merupakan satu-satunya faktor penentu
dari penerimaan pajak. Variabel lain yang penting termasuk efisiensi
administrasi pajak, luasnya dan tingkat usaha menghindari pajak, kepercayaan
pada pemerintahan, dan kualitas pertumbuhan itu sendiri. Sedangkan di Korea
Selatan, dalam hal perekonomian dengan tingkat pertumbuhan tinggi di mana
tabungan nasional bersama-sama dengan pungutan pajak secara relatif adalah
tinggi.
Beberapa target pencapaian ekonomi Indonesia sesuai RAPBN 2001
sukar dipenuhi, seperti target defisit anggaran, rasio penerimaan pajak
terhadap PDB, dan daya ekpansi yang akan diharapkan dari budget tersebut.
Hal ini karena target inflasi dan nilai tukar lebih sukar dipenuhi dan
kemungkinan meleset sangat besar. Tentu penyebabnya adalah berbagai
gejolak baik politik dan ekonomi yang selalu berimbas secara langsung kepada
nilai tukar Rupiah yang melemah, dan pada akhirnya akan merembes dalam
bentuk
imported inflation yang sangat meresahkan (Indrawaty, 2001). Maka
kemudian dapat digambarkan kerangka konsepsi pada Gambar 2.1.
31
pertimbangan realisasi pertumbuhan selama 5 tahun terakhir dan rencana
[image:46.595.117.511.172.508.2]kinerja pendapatan daerah (www.jatim.go.id).
Gambar
2.1. Kerangka Pemikiran Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tunggakan Pajak di Sumatera Utara
Data realisasi penerimaan pajak hingga November 2006 mencapai 65%
dari target APBN-P. Hal itu merupakan sinyal terus melemahnya sektor riil.
Akhirnya, kondisi itu akan menurunkan
output
(pasar) investasi, produksi,
konsumsi, dan tabungan sebagai objek pajak itu sendiri. Untuk meningkatkan
output
ekonomi, langkah strategis yang harus diambil adalah memperbaiki
iklim usaha dengan meningkatkan daya saing bangsa dibandingkan negara
lain. Beberapa kalangan beranggapan penetapan upah minimum di Indonesia
tidak fleksibel. Akibatnya nilai penetapan upah buruh terhadap
output
ekonomi
di Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan negara lainnya (tidak
kompetitif). Perlu disadari upah minimum berpatokan pada kondisi hidup
Penerimaan Negara
Pajak
Pertumbuhan
Ekonomi
Jumlah Wajib Pajak
Inflasi
Krisis Ekonomi
layak (KHL). Penetapan upah minimum di banyak provinsi sebenarnya belum
mencapai angka KHL. Daya serap pasar pun terus melemah, karena tekanan
harga membuat daya beli upah semakin turun. Terus menurunnya impor
barang konsumsi merupakan sinyal terjadinya pelemahan daya serap pasar.
Memperhatikan strategi meningkatkan
tax ratio
dari sisi permintaan (pull
demand factor), keinginan untuk menekan upah minimum di bawah KHL akan
dihindari. Sebab, kebijakan tersebut akan menurunkan kinerja dunia usaha
yang sulit mencari pembeli. Solusi dilematis tersebut di banyak negara
ditempuh dengan jalan revitalisasi sistem jaminan sosial sebagai
trade off
dikeluarkannya beban transaksi sosial dari tanggung jawab korporasi.
Penyisihan pajak untuk transaksi
hedging
(asuransi pengangguran), pada
akhirnya akan melindungi stabilitas penerimaan pajak pemerintah, karena
terhindarnya risiko sosial. Tak terelakkan, peningkatan
tax ratio
dalam APBN
harus menjadi target utama, karena hanya dengan itulah beragam persoalan
dilematis dapat dipecahkan. Dari sisi penawaran (
push suply factor), strategi
peningkatan
tax ratio
tidak dapat dilepaskan dari masuknya investasi. Alhasil,
daya kerja dapat meningkat sebagai komponen pembentuk daya beli pasar.
Dari sisi ini, sayangnya strategi pemerintah terjebak kondisi memancing
investasi asing, tanpa kail investasi lokal (Rizky, 2006).
Menurut Purnama (2006), pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan
meningkatkan penerimaan pemerintah dari pajak dan menambah lapangan
33
pemerintah dari pajak (PPN dan PPh) serta memberikan lapangan kerja dan
perolehan/ penghematan devisa.
Menurut Djohanputro (2006), terdapat hubungan antara inflasi dengan
beban pajak riil. Semakin tinggi inflasi, maka semakin tinggi beban pajak
secara riil. Inflasi menyebabkan nilai riil menurun, namun pemotongan pajak
tetap berdasarkan persentase, sehingga dengan peningkatan inflasi, beban
pajak riil justru meningkat. Meningkatnya beban pajak riil sedangkan nilai riil
uang semakin menurun cenderung akan meningkatkan tunggakan pajak.
2.3. Penelitian Sebelumnya
Arni (1999), melakukan studi analisa dampak kebijakan fiskal terhadap
keseimbangan internal ekonomi makro Indonesia. Dari hasil analisa
disimpulkan bahwa, kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah
memberikan dampak positif yang cukup berarti terhadap pertumbuhan PDB,
dan penyerapan tenaga kerja, walaupun terjadi peningkatan inflasi yang relatif
kecil. Kebijakan peningkatan pajak pendapatan memberikan dampak yang
positif terhadap pertumbuhan PDB tetapi menurunkan penyerapan tenaga
kerja, sementara tingkat inflasi masih dalam batas normal. Kebijakan
penambahan uang beredar memberikan dampak yang sangat buruk terhadap
ekonomi makro Indonesia. Berdasarkan hasil analisa ada beberapa hal yang
dapat direkomendasikan, yaitu: kebijakan meningkatkan pengeluaran
pemerintah dan pajak pendapatan sangat berarti dalam perbaikan ekonomi
Studi Aschauer (2000), menggunakan data 46 negara pendapatan
rendah dan menengah dengan periode waktu 1970-1990. Selain menganalisis
aspek penerimaan, studi tersebut sekaligus juga menganalisis aspek besaran
investasi pemerintah serta efisiensinya. Berkaitan dengan aspek penerimaan,
Aschauer menggunakan utang luar negeri sebagai proksi dari total utang
pemerintah. Dalam hal ini, beban pajak sehubungan dengan pengakumulasian
modal publik dapat memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Pengaruh negatif tersebut misalnya melalui pajak yang secara
berlebihan dibebankan kepada sektor swasta sehingga pada akhirnya akan
menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. Dari estimasinya, Aschauer
menemukan bahwa peningkatan investasi pemerintah yang dibiayai dengan
utang luar negeri membawa pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dengan kata lain, pembiayaan dengan utang luar negeri telah mengurangi
manfaat positif dari investasi sektor publik.
35
Nasution (2003) melakukan studi analisis potensi dan pertumbuhan
penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia Periode 1990 – 2000. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa potensi dan pertumbuhan penerimaan pajak
penghasilan (PPh) selama dasawarsa 1990-2000 diantaranya dipengaruhi baik
secara langsung maupun tidak langsung oleh faktor-faktor Produk Domestik
Bruto, Jumlah Wajib Pajak, dan Jumlah Kantor Pelayanan Pajak yang tersebar
di seluruh Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam pengembangan sumber-sumber penerimaan pajak
penghasilan (PPh) pada masa yang akan datang. Dari hasil analisis tersebut
dapat diketahui bahwa untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui PPh
maka prioritas utama yang perlu diperhatikan adalah peningkatan jumlah WP,
sehingga cukup tepat kebijakan pemerintah saat ini yang mewajibkan lapor
pajak bagi pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi kepada
seluruh masyarakat yang telah memenuhi syarat untuk memiliki NPWP
tersebut. Hal ini untuk lebih mengitensifkan penerimaan pajak dan untuk lebih
meningkatkan kesadaran membayar pajak bagi para wajib pajak yang telah
memenuhi syarat memiliki NPWP maupun bagi badan usaha yang
bersangkutan. Dari studi ini pula maka secara nasional untuk meningkatkan
penerimaan PPh, prioritas utama yang perlu dipertimbangkan adalah
meningkatkan jumlah wajib pajak dan kesejahteraan masyarakat sehingga
tingkat pendapatan dapat meningkat, sedangkan penambahan daya dukung
pemungut pajak seperti penambahan KPP diperlukan sesuai perkembangan
kebutuhan pelayanan pajak di wilayah yang bersangkutan. Peningkatan
pajak langsung dan tak langsung. Peningkatan basis pajak langsung terjadi
disebabkan pajak langsung baru dikenakan bila melewati tingkat pendapatan
tertentu atau penghasilan tidak kena pajak. Peningkatan pendapatan per kapita
akan meningkatan jumlah wajib pajak orang pribadi maupun badan.
Pertumbuhan sektor riil selama proses pembangunan ekonomi diikuti oleh
pertumbuhan sektor moneter. Bersamaan dengan proses industrialisasi dan
peningkatan di sektor moneter disamping mencerminkan peningkatan surplus
obyek pajak, juga mendukung kemudahan dalam pengumpulan pajak.
Hasil studi yang dilakukan Brata (2004) tentang komposisi penerimaan
sektor publik dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, diketahui
bahwa dua komponen pendapatan penting yang berpengaruh secara positif
terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Sumbangan
dan Bantuan. Salah satu unsur Pendapatan Asli Daerah adalah pajak.
Salah satu hasil studi yang dilakukan Afdal (2005) tentang analisis
kemampuan fiskal daerah dan kebijakan dalam menghadapi sumber
pendapatan daerah tanpa DBH minyak bumi di kabupaten Kampar, adalah
bahwa sumber pajak dan retribusi daerah bersifat elastisitas terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDRB) setelah pemberlakuan UU 22 dan 25 tahun
1999 cukup besar yaitu 2,36.
2.4. Hipotesis
1. Pertumbuhan ekonomi daerah Sumatera Utara berpengaruh negatif
37
2. Jumlah wajib pajak berpengaruh positif terhadap peningkatan
tunggakan pajak,
ceteris paribus
.
3. Tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap peningkatan tunggakan
pajak,
ceteris paribus
.
4. Krisis ekonomi berpengaruh positif terhadap peningkatan tunggakan
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi penunggakan pajak di Sumatera Utara selama kurun waktu
1984 – 2005. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penunggakan pajak
yang dianalisis adalah pertumbuhan ekonomi, jumlah wajib pajak, inflasi dan
kondisi perekonomian sebelum dan sesudah krisis ekonomi.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait yaitu Kanwil DJP Sumbagut
I, BPS, BI, dan sumber-sumber lainnya yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian
Data yang dibutuhkan untuk menjadi bahan analisis dalam penelitian
ini adalah tunggakan pajak, jumlah wajib pajak, pertumbuhan ekonomi di
Sumatera Utara, dan inflasi.
3.3. Model Analisis
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penunggakan
pajak di Sumatera Utara maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode
Ordinary Least Square (OLS). Spesifikasi model dalam penelitian ini adalah
39
Sebagai variabel terikat (
dependent variable
) dalam penelitian ini adalah
jumlah tunggakan pajak, variabel bebasnya (
independent variable
) adalah
pertumbuhan ekonomi, jumlah wajib pajak pada tahun lalu mempengaruhi
tunggakan pajak pada tahun sekarang, inflasi, dan krisis ekonomi (sebagai
dummy variabel). Dengan demikian spesifikasi model yang akan dijadikan
sebagai model penelitian merupakan fungsi matematis, sebagai berikut :
TgP = f (PE, WP, INF, DM) ... (1)
Tunggakan pajak dalam hal ini diukur dalam milyar rupiah. Disebabkan
besarnya ukuran data tersebut dibandingkan dengan variabel lain, maka
menurut Gujarati (2004) sebelum dianalisis data dengan ukuran besar terlebih
dahulu ditransformasi logaritma. Dengan demikian tunggakan pajak dalam
model menjadi dalam bentuk logaritma.
Dalam penelitian ini variabel wajib pajak (WP) merupakan variabel
dengan nilai pada waktu yang lalu (lag). Oleh karena itu model regresi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi
distributed-lag
(Arief,
1993). Dari fungsi tersebut diatas kemudian dispesifikasikan ke dalam model
regresi
distributed-lag
dengan spesifikasi modelnya sebagai berikut:
LTgP = a0 - a1
PE + a2
WPt-1 + a3
INF + a4
DM +
m
... (2)
Dimana :
LTgP = Logaritma jumlah tunggakan pajak
PE
= Pertumbuhan ekonomi (%)
WP
t-1= Jumlah wajib pajak pada tahun lalu
DM = dummy variabel krisis ekonomi, D=0 sebelum krisis ekonomi
(1984-1996), D=1 setelah terjadi krisis ekonomi (1997-2005).
Persamaan di atas adalah persamaan tunggal, oleh karena itu metode
yang digunakan untuk mengoperasikan persamaan tersebut menggunakan
metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square). Untuk memudahkan dalam
pengolahan data maka sebagai alat analisis yang digunakan dalam mengolah
data tersebut adalah Program
Eviews versi 4.1.
3.4. Uji Kesesuaian (Test of goodness of fit)
a. R2 (coefficient determinant), untuk melihat kekuatan variabel bebas
(independent variable) menjelaskan variabel terikat (dependent
variable).
b.
Partial test (t-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi
statistik koefisien regresi secara parsial. Jika t
hit> t
tabel, maka H
0ditolak
dan H
1diterima.
c.
Overall test (F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi
statistik koefisien regresi secara serempak. Jika F
hit> F
tabel, maka H
0ditolak dan H
1diterima.
3.5. Definisi Operasional Variabel
Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dari variabel yang
digunakan pada penelitian ini, maka berikut ini dijelaskan perihal batasan
41
a. Tunggakan pajak (LTgP) adalah pajak yang seharusnya dibayar dalam
periode waktu pembayaran, tetapi belum dibayar oleh wajib pajak, diukur
dalam milyar rupiah.
b.
Pertumbuhan ekonomi (PE) dilihat dari pertumbuhan produk domestik
regional bruto Sumatera Utara atas dasar harga konstan 1993, dihitung
dalam persen.
c.
Wajib Pajak (WP
t-1) adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan dan memiliki NPWP, dihitung dalam
orang. Dan jumlah wajib pajak pada tahun lalu dapat mempengaruhi
tunggakan pajak pada tahun sekarang.
d.
Inflasi (INF), kenaikan harga barang di Sumatera Utara, dihitung dalam
persen.
e. Dummy (DM), merupakan krisis ekonomi, dimana D=0 sebelum krisis
ekonomi (1984-1996), D=1 setelah terjadi krisis ekonomi (1997-2005).
3.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Penelitian ini juga mungkin tidak terlepas dengan modal regresi bias
yang terjadi secara statistik yang dapat mengganggu model yang telah
ditentukan. Dalam penghitungan regresi mungkin akan dapat menyesatkan
kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu
dilakukan uji penyimpangan asumsi klasik (Gujarati 2004).
a. Multikolinieritas
Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear
diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari
persamaan regresi linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa
variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Bila
variabel-variabel bebas berkorelasi dengan sempurna, maka disebut
multikolinieritas sempurna. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan
besaran-besaran regresi yang didapat, yaitu :
1) Variasi besar (dari taksiran OLS)
2) Interval kepercayaan lebar (karena variasi besar, maka standar error
besar sehingga interval kepercayaan lebar).
3) Uji-t tidak signifikan. Suatu variabel bebas secara substansi maupun
secara statistik jika dibuat regresi sederhana bias tidak signifikan karena
variasi besar akibat kolinieritas. Bila standar error terlalu besar, maka
besar pula kemungkinan taksiran koefisien regresi tidak signifikan.
4) R
2tinggi tetapi tidak banyak variabel yang signifikan dari t-test.
5) Terkadang nilai taksiran koefisien yang didapat akan mempunyai nilai
yang tidak sesuai dengan substansi sehingga dapat menyesatkan
interpret