PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN
DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO. 6
TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN
PEREMPUAN DAN ANAK (STUDI KASUS DEWAN
PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA)
SKRIPSI
Oleh:
Septri S. Pasaribu
040906082
Dosen Pembimbing : Dra.Evi Novida Ginting, M.Sp.
Dosen Pembaca : Indra Kesuma, S.IP, M.Si
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 0 9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:
Nama : Septri Stephani Pasaribu
Nim : 040906082
Departemen : Ilmu Politik
Judul : PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO.6 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK (STUDI KASUS DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA)
Medan, Maret 2010
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Evi Novida Ginting,M.Sp Indra Kesuma S.IP, M,Si.
Ketua Departemen,
Drs. Heri Kusmanto, MA
a.n. Dekan FISIP USU Pembantu Dekan I,
NIP: 195 908 091 986 011 002 Drs. Humaizi,MA.
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah di uji dan dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi
Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara Pada:
Hari/ Tanggal : Selasa/02 Maret 2010
Waktu : 08.00 WIB
Tempat : Ruang Sidang FISIP USU
TIM PENGUJI:
Ketua Penguji
Drs.P.ANTHONIUS SITEPU, M.Si. ( _______________ )
Penguji I
Drs. Evi Novida Ginting,M.Sp ( ________________ )
Penguji II
KATA PENGANTAR
Terlebih dahulu penulis mengucap puji dan syukur yang
sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yesus Kristus yang banyak memberikan Berkat serta Kasih-Nya kepada penulis sehingga penulis di berikan kesempatan untuk
menyelesaikan pendidikan dan penyusunan skripsi ini, yang berjudul: Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi Perda No.6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara)
Melalui Skripsi ini penulis memaparkan hasil dari penelitian penulis selama
1 bulan di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara. Penulis
memperoleh gambaran bahwasanya Anggota Legislatif Perempuan, memiliki
kinerja yang cukup baik dalam jajaran anggota legislatif, serta memiliki hak dan
kewajiban serta komitmen dalam menangani persoalan-persoalan sosial yang ada
dalam masyarakat. Penulis menyadari, tidak selamanya perempuan berada
diurutan kedua dalam keaktifan dalam parlemen. Karena melalui tulisan ini,
diharapkan kita dapat melihat peranan perempuan tersebut dalam parlemen.
Pada akhirnya penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam
penulisan ini, mengingat banyaknya keterbatasan yang penulis hadapi sehingga
dengan kerendahan hati diharapkan saran dan kritik yang membangun agar
penulisan ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan serta bagi penulis
khususnya.
Medan, 02 Maret 2010
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat kesulitan tantangan
dari dalam diri penulis maupun dari luar diri penulis sendiri. Tapi berkat bantuan,
motivasi, arahan serta dukungan dari berbagai pihak yang penuh keikhlasan hati,
membantu dan memberikan masukan dan kritikan yang sepedas keripik pada
penulis sehingga penulis tetap semangat untuk menyelesaikannya.
Penulis mengucapkan terimakasih yang setulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Chairudin Lubis, SpA, selaku Rektor Universitas Sumatera
utara,
2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan Pembantu Dekan I,
Bapak Drs. Humaizi, MA,
3. Bapak Heri Kusmanto, MA, selaku Ketua jurusan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara,
4. Ibu Dra. Evi Novida Ginting, M.Sp selaku dosen pembimbing yang
cukup banyak membantu penulis dengan saran dan masukan yang
membangun bagi penulis sehingga menjadi lebih mandiri dan struggle.
5. Bapak Indra Kesuma S.IP, M.Si, Selaku Dosen Pembimbing II sekaligus
reader, makasi banyak ya pak buat saran dan kritiknya.
6. Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si, Selaku Ketua Penguji serta
Dosen Wali penulis,
8. Staf-staf administrasi FISIP USU, kak Uchie, bang Hendra dan bang
Rusdi.
9. Bapak T. Pasaribu ( aku mencintaimu dengan cara yang kompleks ), Ibu
P. Hutagalung ( sembah sujud ku untuk mu mam.. )dan adik-adik ku :
♥ Sofiana Haulian Pasaribu, teman berbagi kamar, cerita dan juga
semangat ♥ Topo Pasaribu ♥ Ferdinand Pasaribu ♥ Erwin Pasaribu
10. Ompung Ny. Hutagalung br. Sitompul untuk doa dan pengharapan yang
tidak pernah habis. Tante tetty Hutagalung untuk desakannya supaya
cepat tamat.
11. Serta Berliana Sitorus, Sastri Hennyta Venensia Simbolon, Mburak
Perianta Ginting, Isabella Josefine Simarmata untuk tawa dan tangis
selama ini. Armada terakhir sudah berangkat menyusul kalian.
Terimakasih berjuta kali untuk semua bantuannya. Kalian pelatuk untuk
senjata ku. I love you guys..
12. Kawan-kawan Ilmu Politik 04 untuk semangat nya. Dari
040906001-040906082. Senior-senior Ilmu Politik, khususnya, Eris Estrada
Sembiring dan Junaedi Lumban Gaol untuk bimbingannya. Dan Ridho
Ananda Syahputra Nasution dan keluarga, untuk bantuannya selama
perkuliahan dan pengerjaan awal skripsi ini.
13. Lafemme Radio Crew. Batman, Eka, Yuni, Lupita, Lisa, Gitta, Diana,
Rika.
15. Yogara Fernandez Pasaribu, Herunata Joseph dan ’ponakan paling
ganteng, Michael untuk bantuannya selama di Jakarta.
16. Sahabat, Saudara, Partner in crime : Deborah Marsaulina Pasaribu,
Maria Adhisty Bintang Indah Putri Hasibuan, Ostovia Romauli Juliana
Hutagalung, Vivi Novita Evelina Manullang ( Biar dunia kebalik-balik,
kita tetep fun )
17. Sparring Partner, Chandran Roladica Lumban Batu. ( Terimakasih
ABSTRAKSI
NAMA : SEPTRI STEPHANIE PASARIBU NIM : 040906082
Judul : Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi Perda No.6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara)
Perempuan seyogianya memiliki kemampuan yang sama dengan pria, terutama dalam kepemerintahan. Sebagai anggota legislatif, perempuan telah diberi hak dan kewajiban untuk mengurus persoalan-persoalan sosial. Dalam persoalan yang berhubungan dengan human trafficking (perdagangan orang), anggota legislatif perempuan di sumatera utara telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penelitian ini dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan tujuan ingin memperoleh gambaran kegiatan dan kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen, serta untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan anggota legislatif perempuan untuk memajukan kesejahteraan kaum perempuan dan anak apabila disesuaikan dengan contoh kasus yang digunakan oleh penulis, yaitu human trafficking (perdagangan orang). Tipe penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu prosedur memecahkan masalah yang diteliti dengan menggunakan keadaan/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat sebagaimana adanya.
Dalam penelitian ini dapat dilihat kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen telah berjalan cukup baik. Hal ini disebabkan anggota legislatif perempuan sudah memiliki kemampuan, terlepas dari sistem pengawasan yang kurang sistematis.
Halaman
1.5.1. Gender di dalam Teori Keterwakilan Politik ... 14
1.5.2. Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen ... 19
1.6. Hipotesa ... 23
1.7. Ruang Lingkup ... 23
1.8. Metodologi Penelitian ... 24
1.8.1. Jenis Penelitian ... 24
1.8.2. Lokasi Penelitian ... 24
1.8.3. Teknik Pengumpulan Data ... 25
1.8.4. Teknik Analisa Data ... 26
1.9. Sistematika Penulisan ... 27
2.1. Fenomena Trafficking di Sumatera Utara ... 29
2.2. Perempuan dalam Parlemen ... 32
2.2.1. Gambaran Umum DPRD Propinsi Sumatera Utara ... 32
2.2.2. Perempuan Sebagai Anggota Legislatif ... 35
BAB III PENGAWASAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN ... 40
3.1. Konsep Dasar pengawasan ... 40
3.2. Kinerja Perempuan dalam Parlemen ... 42
3.3. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ... 44
3.3.1 Bentuk-Bentuk Pengawasan ... 47
BAB IV PENUTUP ... 68
4.1. Kesimpulan ... 68
4.2. Saran ... 69
Halaman
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1.1. Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan
Negara Tujuan Tahun 2001 ... 3
Tabel 1.5.2.1. Dampak Perubahan yang Diusung oleh Anggota Parlemen
Perempuan ... 22
Tabel 2.2.2.1. Perempuan dalam DPR RI 1955-2009 ... 36
Tabel 2.2.2.2. Perempuan dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat
Halaman
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1.1. Perbandingan Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Jenis
ABSTRAKSI
NAMA : SEPTRI STEPHANIE PASARIBU NIM : 040906082
Judul : Peranan Anggota Legislatif Perempuan Dalam Pengawasan Implementasi Perda No.6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan Dan Anak (Studi Kasus Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara)
Perempuan seyogianya memiliki kemampuan yang sama dengan pria, terutama dalam kepemerintahan. Sebagai anggota legislatif, perempuan telah diberi hak dan kewajiban untuk mengurus persoalan-persoalan sosial. Dalam persoalan yang berhubungan dengan human trafficking (perdagangan orang), anggota legislatif perempuan di sumatera utara telah mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penelitian ini dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan tujuan ingin memperoleh gambaran kegiatan dan kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen, serta untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan anggota legislatif perempuan untuk memajukan kesejahteraan kaum perempuan dan anak apabila disesuaikan dengan contoh kasus yang digunakan oleh penulis, yaitu human trafficking (perdagangan orang). Tipe penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu prosedur memecahkan masalah yang diteliti dengan menggunakan keadaan/objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat sebagaimana adanya.
Dalam penelitian ini dapat dilihat kinerja anggota legislatif perempuan dalam parlemen telah berjalan cukup baik. Hal ini disebabkan anggota legislatif perempuan sudah memiliki kemampuan, terlepas dari sistem pengawasan yang kurang sistematis.
PERANAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN
DALAM PENGAWASAN IMPLEMENTASI PERDA NO. 6
TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN PERDAGANGAN
PEREMPUAN DAN ANAK (STUDI KASUS DEWAN
PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH SUMATERA UTARA)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skripsi ini akan membahas bagaimana peranan anggota legislatif
perempuan dalam pengawasan implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004
tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Perdagangan orang
merupakan tindak kejahatan dimana yang menjadi korban pada umumnya adalah
perempuan dan anak-anak. Hal ini merupakan pelanggaran berat atas Hak Asasi
Manusia (HAM). Dikarenakan tindakan ini dilakukan secara paksa melalui orang
ketiga (pelaku kejahatan perdagangan orang) sehingga korban tidak dapat
menentukan jalan hidupnya sendiri (self determination), tidak bebas
mengeluarkan ekspresi atau pendapatnya, tidak dapat bebas melakukan hidup
sesuai dengan keinginannya, tidak dapat bebas melakukan tindakan yang
diinginkan dan selalu merasa terintimidasi, ketakutan, terancam dan penuh
kecurigaan.1
Perdagangan orang untuk keperluan seksual komersial pada dasarnya telah
ada sejak abad ke 19, dan pada abad 21 jaringan perdagangan orang telah menjadi
semakin terorganisir dan terstruktur. Jumlah perempuan dan anak yang menjadi
1
Jurnal, Trafiking terhadap Perempuan: Jaringan Sindikat yang Tak Lekang oleh Panas
korban perdagangan orang tidak lagi terhitung bahkan sulit ataupun sukar untuk
diprediksi berapa jumlah korban perdagangan orang yang sebenarnya. Seperti
kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lainnya, teori fenomena gunung es
berlaku bagi kejahatan ini karena kasus yang berhasil ditangani atau diproses
secara hukum masih jauh lebih sedikit dibandingkan fakta kasus yang terjadi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa sedikitnya
empat juta orang setiap tahunnya menjadi korban human trafficking di dunia.2
Setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan
anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan internasional. International
Organization for Migration (IOM) melaporkan bahwa 500.000 orang perempuan
setiap tahunnya menjadi korban perdagangan orang di wilayah Asia Tenggara.3
2
Melly Setyawati dan Kiki Sakinatul Fuad, Pentingnya Peraturan tentang Perdagangan
(Trafiking) Perempuan dan Anak, Jurnal Suara APIK untuk Kebebasan dan Keadilan, Edisi 31
Tahun 2006, hal. 28.
3
R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak:
Penelitian Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat (Bandung: Institut Perempuan,
2007), hal.5.
Hal ini semakin memperlihatkan buruknya penanganan akan kasus perdagangan
orang yang telah marak terjadi dalam masyarakat, sehingga mampu menghasilkan
angka yang begitu besar dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Buruh migran merupakan kelompok pekerja yang paling sering menjadi
sasaran empuk para pelaku perdagangan orang. Karena kebutuhan hidup yang
tinggi, tak menyurutkan langkah untuk menjadi buruh migran.
Indonesia merupakan negara yang mengirimkan buruh migran dalam
jumlah yang cukup besar untuk kawasan Asia Tenggara. Berikut merupakan data
Tabel 1.1.1. Pekerja Migran di Asia Tenggara Berdasarkan Negara Asal dan Negara Tujuan Tahun 20014
Negara Tujuan
Negara Asal
Malaysia* Thailand** Singapura***
Indonesia 888.000 - 38.000
Filipina 24.000 - -
Myanmar - 450.022 -
Kamboja - 56.252 -
Laos - 56.253 -
Bangladesh 216.000 - 200.000
Lain-Lain 72.000 - -
Sumber: diolah dari Migration News, Vol. 9 No. 3, Maret2002
Keterangan:
* Angka perkiraan merupakan jumlah migran legal dan illegal
** Pekerja migran yang terdaftar selama tahun 2001
*** Migran Indonesia sebagian besar adalah PRT, Sedangkan migran
Bangladesh (dan India) sebagian besar adalah buruh konstruksi
4
Dari data Migration News tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
Indonesia merupakan eksportir terbesar tenaga kerja ke luar negeri dalam kawasan
Asia Tenggara dibandingkan negara Asia lainnya. Hal tersebut tentunya akan
mempengaruhi angka perdagangan orang untuk Indonesia, karena semakin
besarnya jumlah buruh migran keluar negeri maka menunjukkan semakin
besarnya kemungkinan terjadinya perdagangan orang bagi Indonesia mengingat
buruh migran lah yang paling sering menjadi korban perdagangan orang.
Secara spesifik, kasus perdagangan orang di Indonesia sendiri meliputi
jumlah yang besar dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data yang
diperoleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), pada tahun 2000 tercatat 1.683 kasus perdagangan perempuan
berhasil diungkap dan ditangani polisi, sedangkan dari kasus-kasus tersebut yang
diajukan ke pengadilan sebanyak 1.094 kasus.5
Pada perkembangan selanjutnya, menurut data International Organization
for Migration (IOM) mengenai perdagangan orang di tahun 2006, hingga Bulan
April saja jumlah kasus untuk Indonesia telah mencapai 1.022 kasus, dengan
perincian 88,6 persen korbannya adalah perempuan, dimana 52 persen
dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga, dan 17,1 persen dipaksa melacur.6
5
Komnas Perempuan merupakan lembaga independen yang merupakan mekanisme nasional untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181/1998 pada tanggal 15 Oktober 1998.
6
Perdagangan Pelacur Tanpa Ujung, dalam www.kompas.com diakses pada tanggal 10
Januari 2009.
Data IOM tersebut menjelaskan bahwa tidak hanya perempuan saja yang dapat
menjadi korban atas tindak kejahatan perdagangan manusia, namun kejahatan ini
jumlah korban perempuan memang selalu berada jauh lebih besar dibandingkan
jumlah korban laki-laki.
Berikut merupakan grafik yang menunjukkan perbandingan antara korban
perdagangan perempuan dengan laki-laki berdasarkan data IOM tahun 2006.
Grafik 1.1.1. Perbandingan Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Jenis Kelamin
Dalam berbagai studi dan laporan dari sejumlah LSM, dinyatakan bahwa
Indonesia merupakan daerah sumber perdagangan orang, di samping juga sebagai
transit dan penerima perdagangan manusia. Menurut data The United Nation’s
Children’s Fund (UNICEF) tahun 1998, perdagangan orang tersebar di 75.106
tempat di seluruh Indonesia.7
7
Jurnal, Situasi Trafficking Perempuan dan Anak di Indonesia dalam Jurnal Perempuan 29, hal. 49.
International Catholic Migration Commission
(ICMC) dan American Center for International Labor Solidarity (ACILS)
dijadikan sebagai sumber korban perdagangan orang, 16 provinsi dijadikan
sebagai tempat transit, dan sedikitnya 12 provinsi sebagai penerima.8
Upaya untuk mengantisipasi permasalahan perdagangan orang ini pada
dasarnya telah dilakukan sejak tahun 1998 dengan ditandatanganinya Bangkok
Accord and Plan of Action to Combat Trafficking in Women, yang merupakan
sebuah konsensus bagi negara-negara di wilayah regional Asia Pasifik dalam
memerangi perdagangan perempuan di kawasan ini. Namun, karena kesibukan
bangsa ini untuk keluar dari krisis multidimensi yang melanda saat itu, maka
kegiatan penghapusan perdagangan manusia di Indonesia menjadi tidak
terinformasikan dengan baik.
Di Indonesia perdagangan orang yang menonjol terdapat di daerah
perbatasan dengan negara tetangga, khususnya daerah yang berbatasan dengan
Singapura dan Malaysia, seperti Riau (Batam dan sekitarnya), Medan, dan
Kalimantan Barat. Besarnya angka korban perdagangan orang di wilayah
perbatasan ini, dipengaruhi oleh besarnya permintaan buruh migran dari
Singapura dan Malaysia, sementara seperti telah dijelaskan tadi bahwa buruh
migran lah yang ringkih menjadi korban perdagangan orang. Besarnya tingkat
perdagangan orang di wilayah perbatasan menunjukkan adanya tindak kejahatan
yang dilakukan secara lintas regional dan negara.
9
Setelah itu, upaya serius dalam hal mengatasi perdagangan orang terus
dilanjutkan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 88 tahun 2002
tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
8
ACILS, ICMC, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: 2003, dalam R. Valentina Sagala dan Ellin Rozana, Memberantas Trafiking Perempuan dan Anak: Penelitian Advokasi Feminis tentang Trafiking di Jawa Barat, Op Cit., hal. 5-6.
9
Parjoko, Sri Moertiningsih Adidetomo dan Maesuroh, Berbagai Upaya Memerangi
Perempuan dan Anak yang menjadi acuan disusunnya RAN Penghapusan
Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak yang dapat menjadi arahan,
pedoman, dan rujukan dalam penanganan masalah perdagangan orang. Hal ini
juga melahirkan berbagai penyesuaian di tingkat daerah dengan dilahirkannya
berbagai Peraturan Daerah dan Rencana Aksi Daerah tentang pencegahan dan
pemberantasan perdagangan manusia.10
Lahirnya Peraturan Daerah tersebut merupakan sebuah keberhasilan yang
penting bagi Sumatera Utara, khususnya dalam hal perlindungan perempuan dan
anak yang memang menjadi korban mayoritas dalam tindak kejahatan tersebut.
Lahirnya Peraturan Daerah ini juga tidak bisa dilepaskan dari otonomi daerah.
Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang disusul dengan Undang-undang No. 25
Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, adalah merupakan koreksi total atas UU No. 5 Tahun 1974 dalam upaya
memberikan otonomi yang cukup luas kepada daerah sesuai dengan cita-cita UUD
1945. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Gubernur T. Rizal Nurdin mensahkan
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara tentang Penghapusan Perdagangan
(Trafiking) Perempuan dan Anak No. 6 tahun 2004.
11
Perjalanan otonomi daerah di Indonesia sangat menarik untuk diamati,
dikarenakan konsep otonomi daerah selalu berkembang dan terus mengalami
11
penyempurnaan. Heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial
ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, membuat
desentralisasi atau distribusi kekuasaan atau kewenangan, dari pemerintah pusat
perlu dialirkan kepada daerah otonom.
Berikut kronologis perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah12
12
DR. J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta), 2007, hal. 2.
:
UU No. 1 Tahun 1945
↓
UU No. 22 Tahun 1948
↓
UU No. 1 Tahun 1957
↓
UU No. 6 Tahun 1959
↓
UU No. 18 Tahun 1965
↓
UU No. 5 Tahun 1974
↓
UU No. 22 Tahun 1999
↓
Ditandatanganinya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah oleh Presiden B. J. Habibie pada tanggal 4 Mei 1999
menandai berputarnya kembali roda otonomi daerah. Setelah 25 tahun
terpinggirkan oleh pemerintah Orde Baru. Sejak saat itu, daerah-daerah mulai
memperoleh kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
diserahkan kepadanya baik bidang politik, administrasi, keuangan, dan sosial
budaya sesuai dengan prinsip desentralisasi.
Meskipun Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah memberikan
kewenangan yang besar kepada daerah, khususnya melalui DPRD, dalam
praktiknya tidak sedikit perilaku menyimpang yang dilakukan oleh beberapa
anggota DPRD, misalnya dalam proses pemilihan Kepala Daerah, pembahasan,
dan pembentukan peraturan daerah, dan pembahasan laporan pertanggungjawaban
Kepala Daerah.13
Sesuai isi pasal 42, UU Nomor 32 Tahun 2004 tugas dan wewenang
DPRD, diantaranya adalah membentuk peraturan daerah (Perda) yang dibahas
dengan gubernur untuk mendapat persetujuan bersama, dan juga melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan
perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah Banyaknya kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 22 Tahun
1999 membuat Undang-undang ini perlu untuk disempurnakan, sehingga lahirlah
UU No. 32 Tahun 2004. Lahirnya UU yang baru ini diharap membawa
perubahan yang baik, khususnya pada perubahan konfigurasi desentralisasi
(hubungan pusat-daerah-desa) dan demokrasi lokal (hubungan pemerintah daerah,
DPRD, dan rakyat).
13
dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional
di daerah.
Saat ini kebijakan yang berhubungan dengan penyelesaian masalah human
trafficking (perdagangan orang) di Indonesia, merupakan wewenang yang dimiliki
oleh anggota legislatif perempuan, dimana penyelesaian tersebut dilakukan, sesuai
dengan yang telah dirumuskan bersama dalam peraturan daerah (perda). Anggota
legislatif perempuan telah di berikan wewenang untuk merekomendasikan
kebjakan-kebijakan yang mampu memberikan perubahan positif bagi
masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan bidang keahlian yang
ditekunin anggota legislatif perempuan tersebut.
Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers
bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut berhasil dalam implementasinya. Ada
banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan.
Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor,
birokrasi pelaksana atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan
proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik
variabel yang individual maupun variabel organisasional, yang saling berinteraksi
satu sama lain.
Dalam pandangan George C. Edwards III, implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel, yakni14
1. Komunikasi, apabila tujuan dan sasaran kebijakan tidak jelas atau bahkan
tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan
terjadi resistensi dari kelompok sasaran. :
14
2. Sumberdaya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten tetapi apabila implementator kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakannya maka implementasi tidak akan berjalan efektif.
3. Disposisi, yakni watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementator
seperti komitmen, kejujuran dan sifat demokratis. Apabila implementator
memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan
dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
4. Struktur organisasi, terlalu panjangnya struktur organisasi akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi
yang rumit dan kompleks.
Komunikasi
Sumberdaya
Implementasi
Disposisi
Struktur Birokrasi
Melihat gambaran secara umum mengenai kasus sosial (dalam hal ini
membahas mengenai peraturan daerah no.6 tahun 2004, tentang penghapusan
perdagangan perempuan dan anak), yang biasa dihadapi oleh anggota legislatif
perempuan tersebut, timbullah pertanyaan: Apakah anggota legislatif perempuan
telah melaksanakan peranannya dengan baik di dalam jajaran anggota legislatif?
Apakah implementasi peraturan daerah (perda) no.6 tahun 2004 telah diawasi dan
dijalankan dengan baik oleh anggota legislatif perempuan?
Pertanyaan ini menjadi suatu dorongan dan semangat bagi penulis untuk
mengetahui peranan anggota legislatif perempuan, serta kinerja mereka dalam
menghadapi kebijakan yang telah direkomendasikan. Hal inilah yang ingin saya
ketahui dalam penelitian saya.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis
merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:
“Bagaimana anggota legislatif perempuan dalam pengawasan
implementasi Perda No. 6 Tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan
perempuan dan anak”.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ialah pernyataan mengenai apa yang hendak kita
capai.15
a) Bersifat formal akademis yakni untuk menambah wawasan mahasiswa
dalam bidang politik.
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah:
15
b) bersifat ilmiah, dimana hal yang ingin penulis ketahui yakni: melihat
bagaimana anggota legislatif perempuan menjalankan fungsi pengawasan
terhadap implementasi Perda No.6 Tahun 2004 di Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Peenelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan
ilmu politik dan mengembangkan kemampuan dalam menulis karya ilmiah
khususnya di bidang Politik.
.
1.4.2. Manfaat Praktis
• Sebagai masukan bagi penulis dalam usaha mengetahui produk kegiatan
politik.
• Sebagai masukan baru dan sumbangan untuk pemerintah pusat dan daerah,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), institusi lainnya yang berkaitan
secara langsung ataupun tidak dengan pengembangan studi tentang
trafiking di Indonesia dan Sumatera Utara khususnya.
1.4.3. Manfaat Akademis
• Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan mahasiswa ilmu
politik, khususnya bagi mereka yang tertarik dalam konteks
• Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi bagi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara khususnya
Departemen Ilmu Politik.
1.5. Kerangka Dasar Pemikiran
Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan diteliti biasanya
bertolak dari teori-teori yang sudah ada, kemudian penelitian sebaiknya dilakukan
tahap demi tahap secara ilmiah agar menghasilkan suatu kesimpulan yang ilmiah
(scientific research).
Salah satu unsur yang paling penting peranannya dalam observasi adalah
menyusun kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut,
seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk
menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih16.
Teori adalah rangkaian asumsi, konsep, kontruksi, defenisi dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep.17 Pemikiran lain, Teori merupakan seperangkat proposisi
yang dinyatakan secara sistematis dan juga logis, yang didasarkan pada data
empiris (Johnson,1986).18
16
Hadari, Nawawi, MetodologiPenelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1987,hal.40
17
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal.37.
18
Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternative Pendekatan, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 136.
Kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian
1.5.1. Gender di Dalam Teori Keterwakilan Politik
Nilai-nilai kebebasan manusia, keadilan, dan nasib individu diakui dan
dipraktikkan pertama kali di Yunani kuno. Di Yunani kuno pula lah
problem-problem perenial manusia dan negara pertama kali diangkat ke permukaan.
Pemikiran sosial dan politik bangsa Yunani klasik secara umum diakui sebagai
kekuatan vital dalam sumbangan pemikiran barat. Demokrasi Yunani mencapai
tingkat perkembangannya yang tertinggi di Athena selama abad ke-5 SM, suatu
periode yang dikenal dengan “Masa keemasan Pericles“. Unit pemerintahan yang
baku saat itu adalah polis atau negara-kota. Bentuk organisasi politik ini, yang
asing bagi zaman kekuasaan-kekuasaan besar dan negara-negara bangsa, tidak ada
padanannya di dunia modern.
Terdapat beratus-ratus negara-kota Yunani dengan berbagai ukuran dan
bentuk pemerintahan, dan jenjang peradaban yang beragam. Yang paling
berpengaruh dari semua ini bagi perkembangan pemikiran politik Barat adalah
Athena. Di sinilah kehidupan intelektual Yunani mencapai tingkat ekspresi
tertingginya dan bidang pengajaran mulai memiliki kekuatan sosial dan politik.
Karena seluruh warga negara memainkan peran yang langsung dan
komprehensif dalam pemerintahan persemakmuran yang mikrokosmik ini, setiap
individu memiliki rasa memiliki kota tersebut, dan menjadi mitra bukan subyek
baginya.
Kota Athena memiliki jumlah populasi yang diperkirakan antara 300.000
besar, masing-masing memiliki status legal dan politik yang berlainan : warga
negara, warga asing dan budak.
Orang-orang yang berusia di atas 18 tahun yang berasal dari Athena
dikelompokkan pada kelas warga negara. Kewarganegaraan hanya bisa diperoleh
melalui kelahiran, bukan dengan proses naturalisasi. Keuntungan pokok
kewarganegaraan terletak pada keistimewaan politis yang diberikan kepada
penduduk, yakni hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan kotanya dan
pengaturan urusan publik. Tidak ada keistimewaan sosial khusus yang mengiringi
status warga negara. Kelas ini terbuka untuk untuk semua rakyat Athena, kaum
ningrat maupun kalangan awam. Kelas ini meliputi baik mereka yang berasal dari
kalangan ekonomi bawah, orang kaya, buruh maupun orang-orang professional
dan pengusaha.
Namun demikian, ada yang tidak tercantum, yakni perempuan. Yunani
klasik berpandangan bahwa tempat perempuan itu di rumah, bukan di muka
umum, atau menjadi juri atau kantor publik. Karena Yunani tidak memahami
warga negara dengan melepaskan hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan,
maka secara logika mereka memisahkan perempuan dari kategori warga negara.
Di Eropa, seorang ayah memiliki kekuasaan untuk memerintah sang anak
perempuan menikah berdasarkan kehendak dan kesenangannya, tanpa
pertimbangan sedikit pun dari yang bersangkutan. Setelah pernikahan, pria sejak
dahulu, berkuasa atas hidup mati istrinya. Suami adalah satu-satunya tribunal dan
Sekitar tahun 1700-an, di antara para penulis pertama yang menempuh apa yang
sekarang ini kita sebut sebagai posisi feminis, Wollstonecraft berpendapat bahwa
pria dan wanita memiliki kemampuan yang sama dalam bernalar.
Menurut narasi standar sejarah intelektualitas feminis, feminisme modern
di dunia bahasa Inggris bermula dengan seruan-seruan Mary Wollstonecraft untuk
penyertaan kaum wanita ke dalam kehidupan publik yang sangat didominasi kaum
pria. Ia secara gigih menentang segala bentuk kewenangan semena-mena dan
menindas. Argumen esensialnya adalah bahwa prinsip-prinsip reformasi yang
egaliter dan liberal hendaknya diterapkan untuk memperbaiki kondisi wanita.
Meskipun mempercayai kekuatan pendidikan untuk mentransformasi sifat
kehidupan wanita, Wollstonecraft paham terdapat faktor-faktor lain yang
membentuk takdir wanita. Kapasitas wanita bagi tindakan rasional, bagi
keluhuran sejati, telah dikurangi oleh beragam institusi sosial dan
tuntutan-tuntutan budaya. Pembelaan Wollstonecraft adalah bahwa status legal dan
sosialisasi mereka telah membatasi kesempatan-kesempatan yang dimiliki wanita
untuk menggunakan kemampuan-kemampuan alami mereka bagi kebaikan
masyarakat.
Hal-hal itu juga yang menjauhkan wanita untuk berkontribusi sepenuhnya
pada kehidupan moral dan politik. Namun begitu, berdasarkan
kesempatan-kesempatan yang disodorkan pendidikan, setara dengan yang diterima pria, wanita
bisa mengklaim tempat mereka sebagai anggota-anggota masyarakat yang bisa
memberi kontribusi. Semakin baik pendidikan mereka, semakin baik wanita
Wollstonecraft sangat mencermati relatif kurangnya kebebasan kaum
wanita dibandingkan kaum pria. Pria memiliki kewenangan formal atas wanita
dalam negara sebagai satu keutuhan dan dalam komponen institusi-institusi
sosialnya. Hak-hak pria mungkin mengikuti properti dan posisinya, namun wanita
bahkan tidak memiliki properti seandainya mereka menikah dan dihindarkan dari
hampir seluruh posisi kewenangan.
Keadaan ini juga digambarkan dalam The Subjection of Women karya John
Stuart Mill. Dalam karya ini, Mill menggambarkan kesulitan kaum wanita di
dalam sebuah tatanan sosial yang tidak mereka kendalikan. Ia berpendapat bahwa
kaum wanita harus diberi status yang setara dengan kaum pria di keluarga, di
tempat kerja, dan di arena politik. Dalam karya nya ini, Mill menggambarkan
bagaimana posisi wanita berdasarkan hukum-hukum kuno Inggris. Termasuk
tidak adanya pengakuan terhadap wanita untuk mengisi seluruh fungsi dan
kedudukan yang masih menjadi monopoli kaum pria.
Tahun 1960 merupakan masa puncak perjuangan panjang terhadap kajian
gender. Program Studi Perempuan (Kajian Wanita) di Tingkat Perguruan Tinggi
di Amerika Serikat pada masa itu merupakan bukti munculnya perhatian akademis
terhadap studi gender.19 Banyak teori-teori yang membawa ide-ide gender yang
berupaya menentang epistemologi-epistemologi konvensional dengan
mengemukakan paradigma alternatif.20
19
Akhyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari Postmodernisme Teori Kritis Poskolonialisme hingga Cultural Studies (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), hal. 77.
20
Ann Brooks, Posfeminisme & cultural studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif
(Yogjakarta: Jalasutra, 2004), hal. 47, diterjemahkan oleh S. Kunto Adi Wibowo Dengan judul buku asli Postfeminisme: Feminism, Cultural Theory and Cultural Forms diterbitkan oleh Routlegde, London pada tahun 1997.
Termasuk juga dalam hal ini ide-ide yang
Oleh kelompok feminis, negara seringkali diidentifikasi sebagai pemilik
kekuasaan yang dapat membuat dan mengubah kebijakan yang selanjutnya dapat
memiliki pengaruh terhadap perempuan dan hak perempuan. Namun demikian,
negara juga diidentifikasi sebagai pendukung struktur sosial yang telah mapan di
masyarakat, yang seringkali mengopresi perempuan. Yang dimaksudkan dalam
hal ini, bahwa negara menjadi penyambung lidah bagi budaya patriarki melalui
kebijakan-kebijakannya yang memang menyebabkan terjadinya beberapa tindak
opresi terhadap perempuan.
Pada dasarnya, hal ini merupakan suatu pandangan baru atas teori negara.
Jika Marxist dan sosial demokratis memfokuskan peran negara pada aspek kelas
ekonomi, dimana kelas ekonomi atas (borjuis) menggunakan negara untuk
mengopresi kelas ekonomi bawah (proletar), maka hal ini sesuai dengan
pemikiran yang menggunakan aspek gender, dimana negara dijadikan juga
sebagai alat opresi dari budaya patriarki terhadap perempuan.21
Oleh karena kondisi tersebut, maka terdapat dua gagasan untuk
mengantisipasi masalah yang dapat ditimbulkan oleh terdominasinya negara oleh Adanya kemampuan negara dalam pembuatan kebijakan, meletakkan
negara sebagai alat yang penting dalam me-reproduksi nilai-nilai di masyarakat.
Dalam hal ini, negara memiliki kemampuan yang penting dalam memperkuat
nilai-nilai patriarki di dalam masyarakat. Hal ini kemudian berdampak pada
semakin besarnya kemungkinan bagi perempuan untuk mendapatkan opresi,
akibat budaya patriarki yang cenderung timpang dalam melihat kedudukan
perempuan di masyarakat.
21
budaya patriarki. Pertama, mengubahnya dengan meningkatkan keberadaan
perempuan di dalam institusi politik formal, terutama parlemen sebagai pembuat
kebijakan. Dan kedua adalah mengubahnya melalui partisipasi politik dari luar
institusi politik formal.22
Meningkatkan peran perempuan di dalam parlemen merupakan suatau
gagasan yang penting dan dianggap sebagai suatu pemecahan masalah yang
efektif untuk mengubah sikap negara menjadi negara yang berkeadilan gender.
Hal ini sesuai dengan apa yang diargumentasikan John Stuart Mill.23 Mill
menekankan pada peranan penting perempuan dalam dunia politik. Menurutnya,
perempuan harus memiliki hak pilih politik agar dapat menjadi setara dengan
laki-laki, selain itu mereka juga harus mampu mengganti sistem, struktur dan sikap
yang memberikan kontribusi terhadap opresi orang lain, atau opresi terhadap diri
kita sendiri.24
Penjelasan tersebut telah mengambarkan bagaimana keterwakilan
perempuan menjadi begitu penting dalam suatu negara, terutama untuk
menghindarkan segala bentuk opresi terhadap perempuan. Hal ini menjadi relevan Dalam hal ini dimaksudkan bahwa kaum perempuan memiliki dan
dapat menggunakan hak politiknya untuk memperbaiki kondisi masyarakat
melalui keterlibatan secara tidak langsung (dengan menggunakan hak pilih) atau
secara langsung (sebagai anggota parlemen) dalam proses pembuatan
undang-undang.
22
Judith Squires, Gender in Political Theory (Cambridge: Polity Pressm, 1999), hal. 195.
23
John Stuart Mill adalah seorang pemikir liberal dan demokrasi. Kemudian, Mill pun menjadi seorang feminis liberal. Ia memperjuangkan hak individu dan kebebasan yang lebih baik bagi wanita.
24
Angela Y. Davis, Women, Race and Class (New York: Random House, 1981), hal. 42 dalam Rosemarie Putnam Tong, Feminist Though: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus
Utama Pemikiran Feminis (Yogjakarta: Jalasutra, 2004), hal. 30. diterjemahkan oleh Aquarini
dengan apa yang menjadi permasalahan pokok di dalam penelitian skripsi ini.
Dalam ruang publik, khususnya dunia politik, perempuan seringkali terpinggirkan
dibandingkan oleh laki-laki. Hal ini terlihat jelas di Indonesia, dicontohkan salah
satunya oleh keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Padahal seperti yang
dikatakan oleh Mill, melalui hak politiknya, perempuan dapat berkontribusi untuk
menghapuskan perbuatan opresi yang ada di masyarakat. Dengan kata lain,
perempuan diyakini mampu melakukan perubahan baik terhadap masyarakat
dengan keterlibatannya di dalam ranah politik. Hal inilah yang kemudian
dipertanyakan lebih kritis di dalam skripsi ini, dan juga akan dianalisa dengan
teori yang lebih spesifik mengenai keterwakilan perempuan.
1.5.2. Keterwakilan Perempuan di dalam Parlemen
Ilmu politik merupakan lingkup studi yang luas, terutama setelah
berkembangnya isu-isu baru di tahun 60-an isu gender menjadi salah satu isu yang
dekat dengan kajian dan analisa ilmu politik. Oleh karena itu, dalam
perkembangannya muncul penelitian-penelitian dan teori-teori politik yang fokus
terhadap masalah-masalah gender. Masuknya isu gender ke dalam ilmu politik ini,
menurut Sandra Harding dapat membentuk ilmu politik yang baru sebagai ilmu
sosial yang kritis, lebih akurat dan tidak bias.25
Salah satu teori politik yang fokus terhadap masalah gender yakni terkait
dengan masalah keterwakilan perempuan dalam parlemen. Hal ini sesuai dengan
fokus utama yang dipermasalahkan dalam skripsi ini. Teori yang akan digunakan
25
sebagai alat analisa dalam skripsi ini, yakni teori mengenai keterwakilan
perempuan dalam politik yang dituliskan oleh oleh Azza Karam dan Joni
Lovenduski dalam buku berjudul Women in Parliement: Beyond Number.
Karam dan Lovenduski beranggapan bahwa keterwakilan perempuan
merupakan hal penting, karena diyakini dapat memberikan perubahan positif
dalam proses pembuatan kebijakan yang lebih baik untuk masyarakat. Azza
Karam dan Joni Lovenduski tidak hanya sekedar melihat pentingnya jumlah
perempuan di parlemen saja, sebaliknya mengalihkan ke titik apa yang
sebenarnya dapat kaum perempuan lakukan di parlemen (bagaimana mereka dapat
mempengaruhi), berapa pun jumlah mereka. Menurut keduanya, perempuan
mempelajari aturan main, dan menggunakan pengetahuan dan pemahaman ini
untuk mengangkat isu dan persoalan perempuan dari dalam di badan pembuat
undang-undang (legislatur) dunia.26
Karam dan Lovenduski menekankan bahwa kendati hanya satu kehadiran
perempuan pun di dalam parlemen, maka diyakini ia mampu membawa suatu
perubahan. Namun tentunya untuk perubahan yang signifikan diperlukan juga
keterwakilan perempuan dalam jumlah yang signifikan. Perubahan yang diusung
oleh anggota parlemen perempuan ini dikarenakan mereka memiliki perbedaan
dengan kaum laki-laki dalam hal isi dan prioritas pembuatan keputusan. Isi dan
prioritas pembuatan keputusan antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh
kepentingan, latar belakang dan pola kerja kedua jenis kelamin itu. Perempuan
26
Azza Karam dan Joni Lovenduski, Perempuan di Parlemen: Membuat Perubahan
dalam Azza Karm dan Julie Ballington (ed-), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah,
Bukan Sekedar Hiasan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan International Institute for
cenderung memberikan prioritas pada masalah-masalah kemasyarakatan, seperti
jaminan sosial, pelayanan kesehatan masyarakat, isu anak-anak dan perempuan.
Sedangkan laki-laki mendominasi arena politik: laki-laki memformulasikan
aturan-aturan permainan politik.27
Menurut Karam dan Lovenduski anggota parlemen perempuan akan
melalui tiga tahap untuk mewujudkannya. Langkah pertama yang dilakukan
perempuan anggota parlemen adalah untuk memahami bagaimana bekerjanya
legislator dalam rangka untuk dapat menggunakan pengetahuannya sehingga
dapat bekerja secara lebih efektif. Tahap kedua, yakni dengan mempelajari
bagaimana menggunakan aturan-aturan yang ada, sehingga perempuan dapat
meraih peluang untuk ikut serta dalam posisi dan komite-komite kunci, membuat
diri mereka didengar dalam pembahasan dan debat-debat, dan dapat menggunakan
sepenuhnya keahlian dan kemampuan mereka. Hal terakhir yang akan dilakukan
oleh para anggota parlemen perempuan adalah dengan mengawal perubahan
aturan dan struktur yang ada, dan untuk membantu generasi baru politis
perempuan.28
27
Karam dan Ballington (ed-), Ibid., hal. 120-121.
28
Karam dan Ballington (ed-), Ibid., hal. 124-136.
Setelah tiga tahapan tersebut dilewati, maka anggota parlemen yang
perempuan tersebut akan melakukan perubahan di dalam empat bidang yakni
meliputi institusional/prosedural, representasi, pengaruh terhadap output dan
diskursus. Berikut merupakan tabel yang menggambarkan perubahan yang akan
Tabel 1.5.2.1. Dampak Perubahan yang diusung oleh Anggota Parlemen Perempuan29
Institusional/Prosedural Membuat parlemen lebih “ramah perempuan” melalui peraturan-peraturan yang memajukan
kepedulian gender lebih besar.
Representasi Menjamin keberlanjutan perempuan dan meningkatkan akses ke parlemen, dengan
mendorong kandidat-kandidat perempuan,
mengubah undang-undang pemilihan dan
kampanye, serta memajukan legislasi
kesetaraan jenis kelamin.
Dampak/Pengaruh terhadap Produk kebijakan (output)
‘feminisasi” legislasi dengan memastikan
sudah memperhitungkan pada isu dan peran
perempuan
Diskursus Mengubah bahasa parlementer sehingga perspektif perempuan menjadi suatu hal yang
wajar dan mendorong perubahan sikap public
terhadap perempuan
Melihat fungsi anggota parlemen terhadap perubahan tersebut, maka
Karam dan Lovenduski menekankanbahwa keterwakilan perempuan di parlemen
semakin perlu ditingkatkan, karena ketika jumlah perempuan meningkat
menandakan semakin banyaknya perubahan baik yang terjadi. Dari keempat
29
dampak positif itu, penulis akan memfokuskan kepada salah satunya saja yakni
terhadap dampaknya terhadap keluaran kebijakan (output), khususnya isu
mengenai perempuan. Karam dan Lovenduski secara tidak langsung mengartikan
bahwa keterwakilan perempuan mampu secara signifikan memberikan perubahan
terhadap output kebijakan yang dihasilkan. Hal ini secara menjadi relevan untuk
menganalisa studi kasus yang diangkat di dalam penelitian skripsi ini.
1.6. Hipotesa
Adapun hipotesa yang ditarik oleh penulis ialah sebagai berikut;
a. Fungsi Pengawasan anggota legislatif perempuan dalam implementasi
Peraturan darah no. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak berjalan dengan baik.
b. Fungsi Pengawasan anggota legislatif perempuan dalam implementasi
Peraturan darah no. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak tidak berjalan dengan baik.
1.7. Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan pengembangan studi yang dilakukan dengan
pendekatan Studi Kebijakan Publik dimana merupakan salah satu mata kuliah
yang ditawarkan kepada mahasiswa Departemen Ilmu Politik-Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Sumatera Utara. Kebijakan Publik merupakan
interaksi antar pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang berangkat dari
dan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Dimana interaksi
tersebut dapat berupa peraturan maupun perundang-undangan.
1.8. Metodologi Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memakai metode deskriptif analitis sebagai
prosedur pemecah masalah yang diteliti, dengan menggunakan keadaan/objek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat sebagaimana
adanya.
Ciri-ciri pokok metode deskriptif antara lain:
1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada
pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau
masalah-masalah yang bersifat aktual.
2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang
diselidiki sebagaimana adanya, diiringi interprestasi yang
rasional.30
Dalam pemecahan masalah berdasarkan deskriptif analisis ini, bentuk
yang dipakai adalah studi hubungan (interelationship studies) dengan melalui
30
studi korelasi (correlation studies). Cara ini untuk melihat hubungan linier,
berupa hubungan timbal balik antara variabel atau lebih yang disebut korelasi.
Penelitian dengan format deskriptif bertujuan menjelaskan, meringkas
berbagai kondisi, situasi, atau variabel yang timbul dimasyarakat yang menjadi
objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi.31
• Field Research Methods, yakni pengamatan baik dengan dialog atau terjun
langsung ke lokasi dengan cara wawancara tentang masalah yang diteliti
dengan responden yang memiliki pengetahuan tentang masalah penelitian.
untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan informasi yang
diinginkan serta berkaitan dengan variabel yang ada, maka dalam
penelitian lapangan ini dipergunakan teknik komunikasi langsung dengan Tujuan penelitian deskriptif
untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan aktual
mengenai fakta, sifat serta hubungan antar peristiwa yang diselidiki.
1.8.2. Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian berlokasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sumatera Utara.
1.8.3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data baik informasi, keterangan atau fakta yang
diperlukan, penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data
dengan cara sebagai berikut:
31
interview guide atau wawancara yang sifatnya terbuka sehingga peneliti
tidak terjebak untuk mencari data di luar permasalahan dan tujuan
penelitian.
• Library Research Methods, yakni berdasarkan penelitian kepustakaan,
penulis akan menemukan landasan teori yang berhubungan dengan
variabel penulisan ini. Pada dasarnya suatu teori sudah jelas tujuannya,
yakni secara generalisasi mempersoalkan pengetahuan yang bisa
dipergunakan sebagai bahan untuk melakukan perbandingan serta untuk
bisa memahami kenyataan di lapangan. Dalam penulisan ini penulis
membaca dan mempelajari bahan-bahan yang bersumber dari arsip
maupun berupa buku-buku, koran, majalah serta informasi tertulis (library
research) lainnya yang dirasa ada relevansinya dengan masalah yang
hendak diteliti. Segala sesuatu yang didapatkan apabila ternyata
berhubungan dengan variabel penelitian ini akan dimuat sebagai kutipan
dan juga diuraikan sepanjang hal itu memang berhubungan.
• Dokumentasi, yakni mencari data yang telah tersedia dilokasi penelitian
baik berupa peraturan pemerintah, ringkasan riset atau hasil survey yang
dilakukan berhubungan masalah penelitian.
1.8.4. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang diadopsi penulis dalam penelitian ini ialah
dengan menggunakan teknik analisa kualitatif yakni dengan menyajikan data yang
yang sesuai dengan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah
dirumuskan yaitu dengan analisis pendekatan deskriptif dan analitis.
Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan arah tujuan memberikan
gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data–data yang
terkumpul, baik data yang berasal dari wawancara, kepustakaan maupun sumber
lain akan dieksplorasi secara mendalam untuk melihat solusi atas masalah yang
1.9. Sistematika Penulisan
BAB I Pada pendahuluan penulis menyajikan Latar Belakang yang berisikan alasan penulis dalam pemilihan judul penelitian;
Perumusan Masalah yang berisikan kalimat yang merupakan titik tolak bagi perumusan hipotesis, dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan; Tujuan Penelitian, dalam bagian tujuan penelitian disebutkan secara tegas apa saja yang hendak dijawab atau
diperoleh dar penelitian ini; Manfaat Penelitian, dalam manfaat penelitian diuraikan tentang kegunaan skripsi dan operasionalisasi
hasilnya bagi pemerintah pusat dan daerah, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), Institusi lainnya yang berkaitan secara
langsung ataupun tidak dengan pengembangan studi tentang
Trafiking, khususnya di Kota Medan; Kerangka Dasar Pemikiran, merupakan penjabaran dari pemikiran peneliti itu sendiri dari sudut mana peneliti menggambarkan permasalahan
dalam penelitian dengan berpedoman pada tinjauan pustaka;
Hipotesa, yang berisi pernyataan tegas dan memperjelas masalah yang akan diteliti, memberikan arah dan tujuan pelaksanaan
penelitian; Ruang Lingkup, mendefenisikan secara tegas konsep yang digunakan dalam penelitian agar tidak terjadi interpretasi
ganda; Metodologi Penelitian, berisi tentang jenis penelitian yang digunakan peneliti yakni analisis pendekatan deskriptif dan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan; Teknik Analisa Data, mengenai data penafsiran yang sesuai dengan perumusan masalah
dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
BAB II Bab ini akan memberikan gambaran peranan perempuan di DPRD Kota Medan.
BAB III Bab ini berisi penyajian data dan analisa data yang diperoleh dari pengumpulan data. Dan berusaha menganalisa peranan anggota
legislatif dalam pengimplementasian Perda No. 6 Tahun 2004.
BAB IV PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari seluruh hasil
penelitian serta berisi saran membangun untuk perbaikan di masa
BAB II
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH SUMATERA
UTARA (DPRD-SUMUT) DAN PERDAGANGAN
PEREMPUAN DAN ANAK
2.1. Fenomena Trafficking di Sumatera Utara
Praktik trafficking di Sumatera Utara banyak terjadi. Setiap tahunnya,
tindak pidana traffciking di provinsi itu selalu banyak dengan modus operandi dan
target daerah yang berbeda. Berdasarkan data yang ada, terdapat 91 kasus
trafficking pada tahun 2006, 88 kasus pada tahun 2007, di tahun 2008 terdapat 93
kasus dan 95 kasus di tahun berikutnya.
Penggunaan istilah human trafficking seringkali disederhanakan dengan
penyebutan istilah trafficking saja. Dalam sejarah hukum internasional, istilah
trafficking muncul pada tahun 1904 ketika gerakan anti perdagangan manusia
menentang adanya perdagangan budak kulit putih, sehingga melahirkan Perjanjian
Internasional untuk memberantas penjualan budak kulit putih. Karena lebih
bertujuan untuk melindungi korban daripada menghukum pelaku, perjanjian
tersebut menjadi tidak efektif. Berakar dari gerakan anti terhadap perdagangan
manusia tersebut lah, kemudian lahir istilah trafficking untuk perdagangan
manusia.
Kemudian istilah perdagangan orang itu berkembang menjadi banyak
defenisi yang berbeda-beda. Dalam hal ini defenisi perdagangan orang yang
digunakan yakni merujuk pada defenisi yang terumuskan di dalam Peraturan
Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak. Adapun yang isinya, tindak
pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur
perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan perempuan atau anak dengan
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan,
penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau
penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan
dan anak.
Berdasarkan data yang ada, Sumatera Utara tidak hanya dijadikan daerah
transit, tetapi juga menjadi daerah asal dan daerah tujuan untuk kasus
perdagangan manusia. Besarnya angka korban perdagangan manusia di Sumatera
Utara tidak lepas dari posisi strategis yang berbatasan dengan negara lain.
Setiap tahunnya, diperkirakan 600.000 – 800.000 laki-laki, perempuan dan
anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional
(beberapa organisasi internasional dan organisasi swadaya masyarakat
mengeluarkan angka yang jauh lebih tinggi) dan perdagangan terus berkembang.
Para korban dipaksa untuk bekerja pada tempat pelacuran, atau bekerja di
tambang-tambang dan tempat kerja buruh berupah rendah, di tanah pertanian,
sebagai pelayan rumah, sebagai prajurit dibawah umur, dan banyak bentuk
perbudakan di luar kemauan mereka. Diperkirakan lebih dari separuh dari para
korban yang diperdagangkan secara internasional diperjualbelikan untuk
eksploitasi seksual.
Kemiskinan menjadi salah satu faktor yang dituding menjadi pemicu
maraknya kasus perdagangan manusia. Ketidakmampuan untuk membeli
menjangkiti pola pikir sebagian masyarakat membuat orang dengan mudah
terjebak dalam pola human trafficking ini. Sebagian besar korbannya adalah
wanita dan anak-anak.
Perempuan dan anak adalah yang paling banyak menjadi korban
perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat beresiko
khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental
spiritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak
dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS.
Beberapa pihak berpendapat bahwa yang terjebak dalam praktek-praktek
perdagangan ini, seperti para tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri
secara illegal. Mereka dikirim ke Malaysia menggunakan paspor dan visa
kunjungan atau wisata untuk bekerja di sana. Dengan tidak adanya visa kerja,
telah menyebabkan banyak di antaranya yang dieksploitasi dalam bentuk
penahanan paspor, upah rendah, penyekapan, bahkan perlakuan-perlakuan yang
tidak manusiawi. Mereka menjadi ilegal disebabkan visa kunjungan yang telah
habis dan tidak diperpanjang (overstay). Hal ini menjadikannya semakin rentan
untuk dieksploitasi.
Dalam rangka pencegahan perdagangan orang yang salah satu kedoknya
mengatasnamakan pekerja migran, Pemerintah meningkatkan pengawasan
terhadap operasional perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) dalam
merekrut, menampung, melatih, menyiapkan dokumen dan memberangkatkan
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Upaya ini didukung oleh masyarakat
Lahirnya Perda ini tidak lepas dari otonomi daerah, dalam era otonomi, di
tingkat propinsi dan kabupaten/kota ada pembentukan gugus tugas yang akan
menyusun rencana aksi daerah. Menteri Dalam Negeri telah memberikan
dukungan melalui Surat Edaran Departemen Dalam Negeri No.
560/1134/PMD/2003, yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/ Walikota
seluruh Indonesia. Dalam surat edaran tersebut diarahkan bahwa sebagai vocal
point pelaksanaan penghapusan perdagangan orang di daerah, dilaksanakan oleh
unit kerja di jajaran pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan menangani
urusan perempuan dan anak. Pelaksanaan tersebut dilakukan melalui
penyelenggaraan pertemuan koordinasi kedinasan di daerah dengan tujuan:
(1) Menyusun standar minimum dalam pemenuhan hak-hak anak
(2) Pembentukan satuan tugas penanggulangan perdagangan orang di
daerah
(3) Melakukan pengawasan ketat terhadap perekrutan tenaga kerja
(4) Mengalokasikan dana APBD untuk keperluan tersebut.
Pemerintah Propinsi Sumatera Utara mengeluarkan Peraturan Daerah No.
6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dan
membentuk Gugus Tugas RAN-P3A Sumatera Utara.
2.2. Perempuan Dalam Parlemen
2.2.1. Gambaran Umum DPRD Propinsi Sumatera Utara
Sebagai implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945, khususnya yang
mengatur susunan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, maka telah ditetapkan
dan DPRD yaitu Undang-Undang No.4 Tahun 1999 mengatur Susunan,
Kedudukan, Keanggotaan dan Pimpinan MPR, DPR, DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum 1999 yang berlaku sampai dengan
pengucapan sumpah/janji anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum berikutnya.
Sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (2) yang
berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya” telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No.1
Tahun 2001 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD.
Dengan mengacu kepada Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah di atas, maka DPRD Propinsi Sumatera Utara telah
menetapkan keputusan DPRD Propinsi Sumatera Utara tanggal 17 Juni 2002
tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Sumatera Utara.
Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRD Sumatera Utara
a. Kedudukan DPRD
1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan
wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
2) DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan
menjadi mitra pemerintah daerah.
b. Tugas dan Wewenang DPRD Propinsi
1) Memilih Gubernur dan Wakil Gubernur
3) Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan
Wakil Gubernur.
4) Memberikan persetujuan terhadap Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan Peraturan Daerah lainnya yang disampaikan
oleh Gubernur.
5) Melaksanakan pengawasan terhadap :
a) Pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan
perundang-undangan
b) Pelaksanaan peraturan-peraturan dan keputusan gubernur
c) Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
d) Kebijakan Pemerintah Daerah yang disesuaikan dengan
Propeda dan Renstra Propinsi Sumatera Utara
e) Pelaksanaan kerjasama internasional di daerah
f) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah
pusat terhadap rencana perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan daerah.
g) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan
masyarakat.
h) Memilih wakil-wakil daerah sebagai Anggota Pertimbangan
Otonomi Daerah Propinsi Sumatera Utara.
i) Melaksanakan tugas lain dalam batas kewenangannya sesuai
Sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD, Komisi merupakan ujung
tombak dari DPRD, karena komisi yang biasanya secara langsung berhadapan
dengan masyarakat, baik melalui rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat
gabungan. Komisi menerima delegasi/menampung aspirasi masyarakat maupun
dengan peninjauan komisi-komisi ke lapangan untuk mencari masukan yang
berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi rakyat. Komisi adalah
pengelompokan anggota DPRD secara fungsional berdasarkan tugas-tugas yang
ada di DPRD. Komisi merupakan alat kelengkapan DPRD yang bersifat tetap dan
dibentuk oleh DPRD pada permulaan DPRD melakukan kegiatannya. Komisi-Komisi
Sebagai alat kelengkapan Dewan Komisi mempunyai tugas dan kewajiban
sebagai berikut :
1. Melakukan pembahasan terhadap RAPBD sesuai dengan tugas komisi
masing-masing.
2. Melakukan pembahasan terhadap rancangan peraturan daerah, yang
menjadi bidang masing-masing komisi.
3. Sesuai dengan tugas komisi masing-masing melaksanakan pengawasan
terhadap :
a. Pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
b. Pelaksanaan peraturan dan keputusan Gubernur.
c. Kebijaksanaan pemerintahan daerah yang disesuaikan dengan
peraturan daerah.
4. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pimpinan Dewan
terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan
daerah sesuai dengan bidang dan tugas komisi.
5. Menerima, menampung, membahas aspirasi masyarakat dan
menyampaikan pendapat/saran kepada pimpinan DPRD untuk
memperoleh penyelesaian yang tata caranya lebih lanjut diatur dalam
Keputusan Pimpinan DPRD.
6. Dalam jangka melaksanakan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada poin di atas, komisi dapat mengadakan rapat intern, rapat kerja, dan
atau peninjauan bersama pemerintah daerah, serta dengar pendapat dengan
lembaga, badan organisasi kemasyarakatan, LSM, perusahaan, dan
perorangan.
7. Mengajukan kepada Pimpinan DPRD usul dan saran yang termasuk dalam
lingkup bidang dan tugas masing-masing komisi.
8. Menyusun pertanyaan tertulis dalam rangka pembahasan sesuatu masalah
yang menjadi bidang komisi masing-masing.
9. Menyampaikan laporan kepada pimpinan DPRD tentang hasil pekerjaan
komisi.
2.2.2. Perempuan Sebagai Anggota Legislatif
Sebagaimana telah dijelaskan pada poin sebelumnya dalam gambaran
umum DPRD Sumatera Utara dimana anggota legislatif merupakan wakil dari
suara rakyat. Perempuan juga memiliki peranan yang sama dengan pria yang
kewenangan yang harus dijalankan tidak berbeda dengan pria yang duduk sebagai
anggota legislatif.
Dalam tulisan ini, dalam hak dan kewenangannya, perempuan memiliki
kecenderungan untuk bergerak dalam bidang sosial sesuai dengan teori-teori yang
sudah dijelaskan. Seperti halnya dalam persoalan perdagangan orang.
Adanya anggapan masalah perdagangan orang sebagai masalah
perempuan tersebut tentunya memberikan hambatan tersendiri dalam upaya
mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini dikarenakan budaya patriarki yang
masih kental dalam masyarakat turut menyebabkan perhatian yang rendah atas
hal-hal yang dianggap masalah perempuan. Kondisi ini juga ditambah oleh
dominasi laki-laki di dalam parlemen sebagai pembuat undang-undang.
Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya patriarkis, sehingga di
dalam berbagai bidang kehidupan seringkali menempatkan perempuan ke dalam
posisi setelah laki-laki. Kondisi ini terjadi juga di dalam lembaga keterwakilan
rakyat di Indonesia. Berdasarkan catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tahun 2000, dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 209.000.000 orang, jumlah
wanita lebih besar yakni 105 juta dibandingkan dengan populasi laki-laki yang
berjumlah 104 juta.32
32
Annie Leclerc, Parole de Femme (Prancis : Grasset & Fasquelle, 1974), tanpa halaman, dalam Sondang A.Sipayung, “Pemimpin Perempuan di Lingkungan Pemerintahan : Studi Kasus
dalam Organisasi Pemerintahan di PEMDA Propinsi DKI Jakarta”. Karya Tulis tidak diterbitkan
Depok. 2004.
Namun lebih besarnya populasi perempuan tersebut, tidak
menunjukkan hal yang serupa dalam representasinya sebagai wakil rakyat.
Sebaliknya perempuan memiliki proporsi yang jauh lebih sedikit dibandingkan