• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa Dengan Pemakaian Mulsa Plastik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa Dengan Pemakaian Mulsa Plastik"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

UJI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS TANAMAN

CABAI (Capsicum annum L.) TERHADAP SERANGAN

PENYAKIT ANTRAKNOSA DENGAN

PEMAKAIAN MULSA PLASTIK

SKRIPSI

OLEH :

ERIK MELPIN GIRSANG 030302003

HPT

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UJI KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS TANAMAN

CABAI (Capsicum annum L.) TERHADAP SERANGAN

PENYAKIT ANTRAKNOSA DENGAN

PEMAKAIAN MULSA PLASTIK

SKRIPSI

OLEH :

ERIK MELPIN GIRSANG 030302003

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar sarjana Di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan,

Fakultas pertanian , Universitas Sumatera Utara, Medan.

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

( Dr. Ir. Hasanuddin, MS. ) ( Ir. Syamsinar Yusuf, MS. )

Ketua Anggota

DEPARTEMEN ILMU HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

Erik Melpin Girsang, Uji Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman

Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Serangan Penyakit Antraknosa Dengan Pemakaian Mulsa Plastik dibawah bimbingan Dr. Ir. Hasanuddin, MS. selaku ketua dan Ir. Syamsinar Yusuf, MS. sebagai anggota.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan beberapa varietas tanaman cabai (Capsicum annum L.) terhadap serangan penyakit antraknosa dan untuk mengetahui pemakaian mulsa plastik terhadap penyakit antraknosa pada tanaman cabai (Capsicum annum L.).

Jenis penyakit yang merusak tanaman cabai adalah penyakit antraknosa menyerang tanaman cabai dengan menginfeksi kulit buah yang muda maupun tua sehingga buah akan mengerut, mengeriting, warna buah berubah menjadi kehitaman dan membusuk dan keguguran, akhirnya produksi menurun kalau serangannya dibiarkan maka tanaman akan mati.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial yang terdiri dari dua faktor perlakuan, yaitu faktor varietas cabai :V1 (Varitas TM-999), V2 (Varietas Hot Beauty), V3 (Varietas Laris), V4 (Varietas Lokal) dan faktor mulsa : M0 (tanpa Mulsa), M1 (Mulsa Plastik Hitam Perak), M2 (Mulsa Plastik Hitam), dan diulang sebanyak 3 kali. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Merek, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, dari bulan September 2007 sampai April 2008.

(4)
(5)

ABSTRACT

Erik Melpin Girsang, Resistence Test of Chilli Varieties

(Capsicum annum L.) on Attact of Antracnosa diseases Using Plastic Mulsa Under Supervision of Dr. Ir. Hasanuddin, MS. As Chairman and Ir. Syamsinar Yususf, MS. as member.

This research aims to test the resistence of any varieties of chilli (Capsicum annum L.) on the attact of Antracnosa disease on chilli (Capsicum annum L).

The disease damage the chilli crop is antracnosa by infect the young or od fruit of chilli that make the chilli folded in black color, demaged and fall and the production will decrease if the disease is not eliminated.

This research applies the Faktorial Group Random Sampling (RAK) that consists of two treatments, i.e chilli variety factor : V1 ( Variety TM-999), V2 (Variety Hot Beauty), V3 ( Variety of Laris), V4 (Local Variety) and mulsa factors : M0 (Without mulsa), M1 (Silver Black plastic mulsa), M2 (Black plastic mulsa) and repeated for 3 times. This reseach was conducted at village of Merek, subdistrict of Merek, regency of Karo since September 2007 up April 2008.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Erik Melpin Girsang, lahir pada tanggal 04 april 1985 di Medan,

anak ke 4 dari 5 bersaudara. Bapak Drs. St. Apul Girsang dan Ibu Sarianna Br. Sembiring Meliala.

Pendidikan yang ditempuh :

Tahun 1997 : Lulus dari SD Negeri 064026 Ladang Bambu, Medan Tuntungan.

Tahun 2000 : Lulus dari SLTP Negeri 1 Pancur Batu, Deli Serdang.

Tahun 2003 : Lulus dari SMU Negeri 1 Pancur Batu, Deli Serdang.

Tahun 2003 : Diterima di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan. Juni – Juli 2007 : Melaksanakan PKL (Praktek Kerja

Lapangan) di Desa Kerasaan, Kecamatan Kerasaan Kabupaten Simalungun.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “ UJI KETAHANAN

BEBERAPA VARIETAS TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.)

TERHADAP SERANGAN PENYAKIT ANTRAKNOSA DENGAN

PEMAKAIAN MULSA PLASTIK ” yang disusun sebagai salah satu syarat

untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Hasanuddin, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan ibu Ir. Syamsinar Yusuf, MS. Selaku anggota yang telah banyak memberikan

saran dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaannya dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

(8)

DAFTAR ISI

Tanaman Cabai (Capsicum annum L.)………..6

Botani tanaman cabai………...…6

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit……….12

Pengendalian………...…13

Varietas Tahan………15

Pengaruh Pemberian Mulsa………..19

BAHAN DAN METODA………23

Tempat dan Waktu Penelitian………..23

Bahan dan Alat………23

1. Persentase Serangan Buah………..28

(9)

Pembahasan………34

1. Persentase Serangan Buah……….34

2. Produksi Buah……….39

KESIMPULAN DAN SARAN………44

Kesimpulan………..44

Saran………45

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

1. Persentase serangan pada buah dengan uji jarak duncan 30 dengan faktor mulsa dan varietas

2. Persentase serangan pada buah dengan uji jarak duncan 30 dengan interaksi mulsa dan varietas

3. Produksi buah dengan uji jarak duncan dengan faktor 33 mulsa dan varietas

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal

1. Gambar 1. Histogram Persentase serangan pada buah 34 dengan faktor mulsa

2. Gambar 2. Histogram Persentase serangan pada buah 35 dengan faktor varietas

3. Gambar 3. Histogram Persentase serangan pada buah 37 dengan interaksi faktor varietas dan mulsa

4. Gambar 4. Histogram produksi buah dengan faktor mulsa 39 5. Gambar 5. Histogram produksi buah dengan faktor 41 varietas

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum spp.) merupakan sayuran dan rempah paling

penting di dunia. Genus Capsicum berasal dari dunia baru, spesies C. annum dari Meksiko dan spesies lain (C. frustescens, C. Baccatum,

C. Chinense, dan C. Pubescens) dari Amerika Selatan. Oleh pedagang

portugis dan Spanyol, cabai diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16, dan

spesies cabai pedas tersebar paling luas di Asia Tenggara (Sanjaya, dkk, 2002).

Aspek penting pertanian berkelanjutan antara lain, bagaimana sistem budidaya pertanian tetap memelihara kesehatan tanaman dengan kapasitas produksi maksimum, serta mengurangi dampak kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Berbagai jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat mengganggu kesehatan tanaman, yang mengakibatkan penurunan hasil produksi dan penurunan kualitas produk ( Siwi, 2006).

(13)

Sekarang ini, sisa pestisida pertanian telah menjangkau air permukaan dibanyak tempat di dunia, dan yang telah menjadi masalah internasional sehingga memerlukan upaya detoksifikasi (penyehatan) air-air permukaan terkontaminasi tersebut. Dalam hal ini termasuk teknik yang mengkombinasikan pengelolaan hama terpadu (PHT), praktik pengolahan tanah sesuai kondisi, dan pengembangan tanaman lebih tahan hama (Hanafiah, dkk, 2005).

Dewasa ini penggunaan insektisida sangat tinggi untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Diperkirakan 50 % dari biaya produksi digunakan untuk membeli insektisida. Penggunaan insektisida oleh para petani bawang-cabai dilapangan sudah sangat intensif, baik jenis maupun dosis yang digunakan, serta interval penyemprotan yang sudah sangat pendek tenggang waktunya. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai permasalahan serius karena insektisida dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu, pada sistem pertanian sekarang diperkenalkan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu) yaitu suatu sistem yang menggunakan berbagai cara selain insektisida agar populasi hama/penyakit tetap berada dalam ambang toleransi (Sanjaya, 2004).

(14)

Untuk mengatasi penyakit antraknosa pada tanaman cabai, umumnya dilakukan pengendalian secara kimiawi. Cara ini memberikan hasil yang memuaskan, tetapi akan mengakibatkan terjadinya kekebalan penyebab penyakit terhadap fungisida. Selain itu berdampak negatif terhadap lingkungan, terjadinya resurgensi, dan kecenderungan konsumen memilih produk yang bebas pestisida (Tenaya, 2001).

Tingkat keberhasilan suatu program perbenihan sangat ditentukan oleh keunggulan benih yang tersedia bagi konsumen. Penggunaan benih yang unggul dan bermutu tinggi merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan produksi tanaman yang menguntungkan secara ekonomis. Sebaliknya, penggunaan benih yang bermutu rendah akan menghasilkan persentase pemunculan bibit yang rendah dan kurang toleran terhadap cekaman abiotik, lebih sensitif terhadap penyakit tanaman, serta memberikan pengaruh negatif terhadap mutu dan hasil tanaman (Syamsuddin, 2007).

Menurut Muhuria (2003) suatu varietas disebut tahan apabila : (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau

pulih kembali dari serangan hama/penyakit pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan pada varietas lain yang tidak tahan,

(2) memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama,

(15)

(4) mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi hama/penyakit yang sama.

Penggunaan mulsa ditujukan untuk mencegah terjadinya pemadatan tanah, terutama pada lapisan tanah bagian atas, mengurangi fluktuasi suhu tanah, dan mencegah terjadinya kontak langsung antara

buah dengan tanah yang dapat menyebabkan busuk buah (Wardjito, 2001).

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui ketahanan beberapa varietas tanaman cabai (Capsicum annum L.) terhadap serangan penyakit antraknosa.

2. Untuk mengetahui pengaruh pemakaian mulsa plastik terhadap serangan penyakit antraknosa.

3. Untuk mengetahui varietas tanaman cabai (Capsicum annum L.) yang tahan dan pemakaian mulsa plastik yang sesuai untuk menekan serangan penyakit antraknosa.

Hipotesa Penelitian

1. Varietas tanaman cabai yang berbeda mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda terhadap serangan penyakit antraknosa. 2. Dengan pemakaian mulsa plastik dapat mengurangi serangan

(16)

3. Dengan tingkat ketahanan varietas cabai dengan pemakaian mulsa plastik dapat mengurangi serangan penyakit antraknosa.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai salah syarat untuk dapat menempuh ujian sarjana di Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai (Capsicum annum L.)

Botani Tanaman Cabai

Tanaman cabai (Capsicum annum Linn) adalah merupakan tanaman sayuran yang tergolong tanaman setahun, berbentuk perdu, dari suku (famili) terong-terongan (Solanaceae). Menurut Tindall (1983) tanaman ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub-divisio : Angiospermae Ordo : Polemoniales Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annum L.

Tanaman cabai termasuk tanaman semusim yang tergolong ke dalam famili Solanaceae, buahnya sangat digemari, karena memiliki rasa pedas dan merupakan perangsang bagi selera makan. Selain itu buah cabai memiliki kandungan vitamin-vitamin, protein dan gula fruktosa. Di Indonesia tanaman ini mempunyai arti ekonomi penting dan menduduki tempat kedua setelah sayuran kacang-kacangan (Rusli dkk, 1997).

(18)

spesies C. frustescens, C. baccatu, C. chinense, dan C. pubescens berasal dari Amerika Selatan. Oleh pedagang Portugis dan spanyol, cabai diintroduksikan ke Asia pada abad ke-16, dan spesies cabai pedas tersebar paling luas di Asia Tenggara (Sanjaya, dkk, 2002).

Morfologi Tanaman Cabai

Secara umum cabai merah dapat di tanam di lahan basah (sawah) dan lahan kering (tegalan) dan dapat di budidayakan di saat musim dan kering. Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya akan bahan organik dengan pH 6-7, tekstur tanah remah (Sudiono, 2006).

Cabai merupakan salah satu komoditi hortikultura yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, karena selain sebagai penghasil gizi, juga sebagai bahan campuran makanan dan obat-obatan. Daerah pertanaman cabai di Indonesia tersebar di Pulau Jawa seperti Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan kawasan luar Jawa meliputi Lampung, Sumatera Barat dan Aceh bagian Timur (Rompas, 2001).

(19)

dengan bentuk bunga keluarga solanaceae lainnya. Bunga cabai merupakan bunga sempurna dan berwarna putih bersih, bentuk buahnya berbeda-beda menurut jenis dan varietasnya (Tindall, 1983).

Buahnya bulat sampai bulat panjang, mempunyai 2-3 ruang yang berbiji banyak. Letak buah cabai besar pada umumnya adalah bergantung pada varietasnya. Tetapi buah yang telah tua (matang) umumnya kuning sampai merah dengan aroma yang berbeda sesuai dengan varietasnya. Bijinya kecil, bulat pipih seperti ginjal (buah pinggang) yang warnanya kuning kecoklatan. Berat 1000 biji kering berkisar antara 3-6 gram. Proses penuaan buah berlangsung antara 50-60 hari sejak bunga mekar (Sunaryono, 1996).

Penyakit Antraknosa

Penyebab Penyakit

Menurut Alexopoulus (1952) jamur yang disebut Colletotrichum capsici dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Phylum : Eumycophyta

Class : Deuteromycetes (Fungi Imperfecti) Ordo : Melanconiales

Family : Melanconiales Genus : Colletotrichum

(20)

Salah satu kendala rendahnya produksi adalah adanya gangguan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), satu diantaranya penyakit antraknosa. Penyebab penyakit antraknosa pada cabai adalah jamur Colletotrichum capsici. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit

penting pada tanaman cabai karena dapat menyebabkan kerugian antara 20 – 50 % (Rompas, 2001).

Rendahnya tingkat produksi diberbagai daerah disamping disebabkan oleh faktor-faktor agronomis juga oleh adanya serangan penyakit. Kerusakan oleh penyakit seringkali mencapai 80 % hingga 100 %. Dari hasil inventarisasi didapatkan bahwa antraknosa merupakan penyakit yang sering menimbulkan kerugian. Penyakit disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp (Wiratma, dkk, 1983).

Serangan antraknosa ini disebabkan cendawan genus Colletotrichum. Cendawan ini mempunyai enam spesies utama yaitu C. gloeosporiodes, C.acutatum, C.dematium, C.capsici dan C.acutatum. Colletotrichum gloeosporiodes dan C.acutatum mengakibatkan kerusakan buah dan kehilangan hasil paling besar. Lebih dari 90 persen antraknosa yang menginfeksi cabai diakibatkan Colletotrichum gloeosporiodes. Namun akhir-akhir ini, Colletotrichum acutatum menggantikan 'posisi' gloeosporiodes (Syukur, 2007).

(21)

menyebabkan penyakit tumbuhan yang dikenal dengan antraknosa (Dwidjoseputro, 1978).

Ordo dari class Deuteromycetes ini mempunyai konidiofor yang pendek dan beragrasi pada permukaan yang tipis dari parenkimoid dan stroma (suatu aservulus) konidia dibentuk dalam aservulus (Djas, 1980).

Acervulus tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih , kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai dengan pigmen yang dikandung konidia. Diantara melanconiales yang konidianya cerah (hialin) adalah gleosporium dan colletrotichum, keduanya mempunyai konidia yang memanjang dengan penciutan di tengah (Dwidjoseputro, 1978).

Colletotrichum mempunyai stroma yang terdiri dari massa miselium yang berbentuk aservulus, bersepta, panjang antara 30-90 µm, umumnya

berkembang merupakan perpanjangan dari setiap aservulus. Konidia berwarna hialin, bersel tunggal dan berukuran 5-15 µm(Daniel, 1972).

Gejala Serangan

Kehilangan hasil buah cabai merah yang disebabkan penyakit antraknosa ini bervariasi antara 21 % - 65 %. Terdapat dua jamur yang

(22)

Penyakit antraknosa pada tanaman mudah kelihatan oleh ciri becak yaitu bulat panjang, berwarna merah kecoklatan, dengan meninggalkan sepanjang becak luka. Infeksi ini terjadi dalam lokasi potongan kecil tersebar kemana-mana dan menyerang daun (Dehne, et all, 1997).

Gejala penyakit ini berupa bercak kecil pada buah cabai. Selama musim hujan bercak ini berkembang cepat. Bahkan pada lingkungan kondusif penyakit ini dapat menghancurkan seluruh areal pertanaman cabai (Syukur, 2007).

Serangan terjadi pada buah muda maupun yang sudah masak. Gejala segera nampak berupa titik gelap, sedikit cekung dan bergaris tengah 1 mm. Bercak akan segera berkembang hingga mencapai seluruh permukaan buah. Patogen dapat masuk menginfeksi buah melalui luka maupun secara langsung. Sedangkan keadaan yang basah dan adanya air hujan sangat berperanan dalam penyebaran spora dari satu tanaman ke tanaman lain (Wiratma, dkk, 1983).

Penyakit antraknosa ini menyerang buah cabai yang masih muda melalui luka akibat lalat buah. Gejalanya ialah noda lekukan berwarna hitam kelam pada buahnya, dan dapat pula pada batang serta ranting-rantingnya. Penyakit ini dapat ditularkan melalui benih (biji) yang ditanam (Seed borne). Pada serangan hebat dapat merusakkan tanaman sehingga tidak dapat dipanen karena buahnya tidak dapat dijual. Biji cabai yang terserang penyakit ini biasanya berkerut dan berwarna kehitaman hitaman (Sunaryono, 1992).

(23)

Jamur menyerang daun dan batang, kelak dapat menginfeksi buah-buah. Jamur pada buah masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji. Kelak jamur menginfeksi semai yang tumbuh dari biji buah sakit. Jamur hanya sedikit sekali mengganggu tanaman yang sedang tumbuh, tetapi memakai tanaman ini untuk bertahan sampai terbentuknya buah hijau. Selain itu jamur dapat mempertahankan diri dalam sisa-sisa tanaman sakit. Seterusnya konidium disebarkan oleh angin (Semangun, 2004).

Jamur Colletotrichum dapat menginfeksi, cabang ranting, daun dan buah. Infeksi pada buah terjadi biasanya pada buah menjelang tua dan sudah tua. Gejala diawali berupa bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit melekuk. Serangan lebih lanjut mengakibatkan buah mengerut, kering, membusuk dan jatuh. Jamur dapat terbawa biji dari buah sakit dan menginfeksi tanaman di persemaian (Rusli, dkk, 1997).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit

Antraknosa adalah penyakit terpenting yang menyerang cabai di Indonesia. Penyakit ini distimulir oleh kondisi lembab dan suhu relatif tinggi. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari persemaian sampai sampai tanaman cabai berbuah, dan merupakan masalah utama pada buah masak, serta berakibat serius terhadap penurunan hasil dan penyebaran penyakit (Syamsuddin, 2007).

(24)

Perkembangan becak dari kedua penyakit tersebut paling baik terjadi pada suhu 30 o C, sedang sporulasi jamur G. piperatum pada suhu 23 o C, dan C. capsici pada suhu 30 o C. Buah yang muda cenderung lebih rentan dari pada yang setengah masak. Tetapi perkembangan becak karena C. capsici lebih cepat terjadi pada buah yang lebih tua, meskipun buah

muda lebih cepat gugur karena infeksi ini (Semangun, 2004).

Serangan penyakit antraknosa pada buah masak lebih parah dibandingkan dengan buah yang belum masak (masih hijau). Buah cabai yang masak, selain mengandung glukosa dan sukrosa, juga mengandung fruktosa, sedangkan buah yang hijau hanya mengandung sukrosa dan glukosa. Dengan demikian, diduga fruktosa merupakan jenis gula mempunyai korelasi dengan penyakit antraknosa, sehingga fruktosa dalam buah dapat dijadikan karakter seleksi ketahanan tanaman cabai terhadap serangan antraknosa (Tenaya, 2001).

Pengendalian

(25)

Pada tanaman cabai secara in-vitro dan in-vivo menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak daun nimba dapat digunakan untuk mengendalikan patogen Gloeosporium piperatum yang juga menyebabkan penyakit antraknosa pada cabai. Beberapa jenis tanaman lain yang dapat menghasilkan produk baik dalam bentuk tepung, ekstrak atau minyak atsiri yang memiliki potensi sebagai pengendali patogen

tanaman adalah cengkeh (Syzgium aromaticum), kencur (Kaempferia galanga) dan kunyit (Curcuma domestica) (Syamsuddin, 2007).

Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum capsici dan Gloeosporium piperatum merupakan penyakit penting pada tanaman cabai merah. Usaha pengendalian penyakit antraknosa salah satunya adalah dengan menginduksi ketahanan tanaman cabai. Pengendalian yang sering digunakan oleh petani adalah dengan menggunakan fungisida. Prinsip penggunaan fungisida didasarkan pada prinsip antibiotik terhadap tanaman. Prinsip lainnya yang berpotensi untuk mengendalikan penyakit yaitu penggunaan bahan kimia sintetik yang mampu memicu ketahanan tanaman (Hersanti, dkk, 2001).

(26)

Usaha pengendalian penyakit antraknosa dengan cara biologis adalah paling ekonomis yaitu dengan penanaman kultivar yang tahan. Usaha pemuliaan untuk mendapatkan varietas cabai yang tahan dapat dilakukan dengan cara persilangan antarspesies antara cabai rawit dengan cabai merah (Tenaya, 2001).

Menurut Muhuria (2003) menggunakan varietas resisten dalam pengendalian hama/penyakit antara lain :

(1) mengendalikan populasi hama/penyakit tetap di bawah ambang kerusakan dalam jangka panjang,

(2) tidak berdampak negative,

(3) tidak membutuhkan alat dan teknik aplikasi tertentu, dan (4) tidak membutuhkan biaya tambahan.

Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) bertujuan untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman dan mengurangi masalah-masalah hama dan penyakit. Mulsa dapat menjadi salah satu komponen PTT. Penggunaan mulsa sintetis dapat menjadi salah satu metode untuk menolak serangga tertentu, untuk mengendalikan beberapa patogen yang ditularkan melalui tanah dan rumput-rumputan, untuk memodifikasi suhu tanah, mengurangi penguapan, mengendalikan pencucian unsur hara, untuk meningkatkan hasil pane dan memperbaiki kualitas produk panen (Vos, 1994)

(27)

Banyak kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi cabai di Indonesia, kendala produksi yang paling penting yaitu sebagai berikut :

a. kurangnya kuantitas benih cabai yang tersedia dan bermutu tinggi

b. kehilangan hasil yang tinggi karena serangan hama penyakit di pertanaman dan kehilangan hasil karena penanganan pasca panen c. menurunnya tingkat kesuburan tanah karena penanaman cabai dan

sayuran lainnya secara terus menerus (Duriat dan Sastrosiswojo, 1995).

Produksi cabai yang dipanen umumnya hasilnya rendah, ini dikarenakan pertumbuhan tanaman kurang baik, kualitas benih rendah dan pengetahuan petani yang kurang tentang aspek budidaya. Teknik pembudidayaan akan dapt mengubah lingkungan tanaman dan

menurunkan kemampuan hidup dan virulensi jasad pengganggu (Vos, 1994)

Peningkatan produksi cabai dapat dilakukan dengan menggunakan varietas yang berdaya hasil tinggi. Varietas yang berdaya hasil tinggi yang ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai, tentunya perlu didukung dengan teknologi kultur teknis yang memadai (Hayati, 2001).

(28)

batas-batasnya yang tajam. Jika suatu kultivar tumbuhan disebut tahan terhadap serangan patogen tertentu, sedangkan kultivar lainnya dikatakan rentan, maka ini berarti bahwa kultivar yang pertama mempunyai ketahanan lebih tinggi dari pada kultivar kedua. Bahkan ketahanan dan kerentanan ini dapat bervariasi karena pengaruh lingkungan dan ras patogen (Semangun, 1996).

Setiap spesies tanaman diganggu oleh hampir seratus jenis cendawan, bakteri, molikut, virus dan nematoda yang berbeda-beda. Seringkali, satu tanaman diserang oleh ratusan bahkan ribuan patogen. Walaupun tanaman mungkin menderita kerusakan ringan atau berat, tetapi banyak diantaranya yang tetap dapat bertahan hidup dari semua serangan itu, bahkan bukan tidak mungkin dapat membuatnya untuk

tumbuh lebih baik dan memberikan hasil yang memuaskan (Lisnawita, 2003).

Jenis ketahanan tanaman yang bersifat palsu atau sering disebut dengan ketahanan fungsional, dimana tanaman akan terbebas dari patogen karena pengaruh lingkungan yang belum mendukung patogen tersebut melakukan infeksi terhadap tanaman tersebut (Fry, 1982).

(29)

interaksi yang kompatibel antara inang dan patogen akan menyebabkan patogen mampu menekan kemampuan tanaman untuk menghambat inokulasi berikutnya dari patogen yang tidak kompatibel dan sebaliknya interaksi yang tidak kompatibel dapat melidungi tanaman dari infeksi patogen yang kompatibel

(Lisnawita, 2003).

Ketahanan suatu varietas tahan tidak berlangsung lama, karena satu varietas yang semula tahan, kemudian menjadi rentan setelah ditanam 2-3 musim berturut-turut. Dominasi populasi ras di suatu daerah berbeda pada lokasi dan musim yang berbeda sehingga varietas yang tahan disuatu daerah, di daerah lain rentan (Sudir, dkk, 1999).

Setiap varietas cabai memiliki ketahanan yang berbeda dengan varietas lainnya terhadap penyakit. Ketahanan tanaman mempunyai beberapa macam ketahanan tanaman terhadap penyakit yaitu ketahanan mekanis, ketahanan kimiawi dan ketahanan fungsional. Ketahanan mekanis dan ketahanan kimiawi dapat terdiri atas ketahanan pasif dan ketahanan aktif. Pada ketahanan pasif atau statis sifat-sifat tersebut baru terjadi setelah tumbuhan terinfeksi (Semangun, 1996).

(30)

setelah inang mengalami invasi patogen. Mekanisme ketahanan aktif merupakan hasil interaksi antara sistem-sistem genetik tumbuhan inang dengan patogen. Pertahanan mekanis yang aktif terutama terdiri atas reaksi ketahanan yang bersifat histologis. Ini terjadi dengan pembentukan lapisan sel yang membatasi bagian tumbuhan yang terinfeksi dan terbentuknya bengkakan mirip kalus (kalosit) pada dinding sel. Di sekitar bagian yang terinfeksi dapat terbentuk lapisan pemisah yang terdiri atas lapisan gabus, sel-sel yang terisi gom (blendok), sel-sel absisi dan tilosis (Semangun, 1996).

Ketahanan fungsional terjadi karena pertumbuhan tanaman yang sedemikian rupa sehingga tanaman dapat menghindari penyakit, meskipun tanaman itu sendiri rentan. Tumbuhan melewati fase rentannya pada saat tidak ada patogen atau pada waktu lingkungan tidak cocok untuk infeksinya. Karena itu ketahanan ini sering disebut ketahanan palsu (Semangun, 1996).

Menurut Muhuria (2003) pemanfaatan varietas unggul dengan tipe ketahanan vertikal hanya akan efektif bila :

(1) hama/penyakit yang dikendalikan merupakan satu-satunya hama yang menyebabkan turunnya produksi (tidak ada hama lain)

(2) varietas ini tidak ditanam secara terus menerus tetapi harus dirotasikan dengan tanaman lain

(31)

Penyerangan suatu penyakit meliputi tahapan inokulasi, penetrasi, infeksi sampai berkembang menjadi penyakit sehingga tanaman digolongkan sebagai tanaman peka (Utami, 1999).

Pengaruh Pemberian Mulsa

Mulsa adalah setiap bahan yang dapat diaplikasikan ke permukaan tanah, terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik. Mulsa anorganik (sintetis) misalnya plastik hitam perak digunakan untuk memodifikasi suhu tanah, mengurangi penguapan, mengendalikan pencucian hara, memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman untuk meningkatkan hasil panen serta memperbaiki kualitas produk (Vos, 1994).

(32)

yang diterima tanaman akan mempengaruhi aktivitas fotosintesis; makin besar energi yang diterima tanamanmakin tinggi aktivitas fotosintesisnya (Abdurahman, 2004).

Pengaruh mulsa organik dan mulsa sintetis terhadap beberapa hama dan penyakit utama pada tanaman cabai diantaranya adalah busuk buah antraknosa, bercak daun cercospora, lalat buah, trips, virus dan tungau (Vos, 1994).

Untuk keberhasilan tanaman sayuran selain perlu dipenuhi persyaratan tumbuh pokok, diperlukan teknik budidaya yang tepat. Penggunaan mulsa sudah dianggap kebutuhan karena banyak manfaatnya antara lain dapat meningkatkan produksi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mulsa berperan baik dalam mempertahankan suhu optimum dan kandungan air dalam tanah

sehingga tercipta kondisi yang baik untuk pertumbuhan tanaman (Asnawi dan Dwiwarni, 2000).

(33)

Pemberian mulsa pada tanaman, selain ditujukan untuk mempertahankan kelengasan tanah, menekan pertumbuhan gulma, memantapkan agregat tanah, menekan terjadinya erosi juga untuk menambahkan unsur hara kedalam tanah untuk dimanfaatkan oleh tanaman (Priyambada, 2005).

(34)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Merek. Kecamatan Merek, Kabupaten Karo. Dengan ketinggian 1350 m dpl. Dimulai dari bulan September 2007 sampai dengan April 2008.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mulsa plastik , bibit dari 4 varietas cabai merah, pupuk kandang, pupuk urea, SP-36 dan KCL.

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cangkul, gembor, plakat nama, timbangan, tali, pacak, gembor, label, alat tulis dan kalkulator.

Metoda Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)

Faktorial yang terdiri dari dua faktor perlakuan, yaitu :

(35)

II. Jenis Mulsa, yaitu : M0 = Tanpa mulsa

M1 = Mulsa plastik hitam perak M2 = Mulsa plastik hitam

Sehingga didapat 12 kombinasi perlakuan, yaitu : M0V1 M1V1 M2V1

M0V2 M1V2 M2V2 M0V3 M1V3 M2V3 M0V4 M1V4 M2V4

Jumlah ulangan : 3

Jumlah plot : 36

Jarak tanam : 55 cm x 60 cm Jumlah tanaman per plot : 20 tanaman Jumlah tanaman sampel : 3 tanaman Jarak antar plot : 1 meter Ukuran Plot : 2 x 3 meter

Dari hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam berdasarkan model linier sebagai berikut :

Yiijk = µ + i + j + k + ( )jk + jk

dimana :

Yiijk : Hasil pengamatan dari plot yang mendapat perlakuan varietas

(36)

i : Pengaruh blok taraf ke-i

j : Pengaruh varietas cabai taraf ke-j

k : Pengaruh jenis mulsa taraf ke-k

( )jk : Pengaruh interaksi antara varietas cabai taraf ke-j dan jenis

mulsa taraf ke-k

jk : Pengaruh eror dari blok ke-i yang mendapat perlakuan varietas

cabai taraf ke-j dan jenis mulsa taraf ke-k

Bila dalam pengujian sidik ragam diperoleh pengaruh perlakuan berbeda nyata atau sangat nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan.

Pelaksanaan Penelitian

Pembibitan

Benih cabai disemaikan dalam media campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 dan tempat persemaian diberi naungan. Persemaian disiram tiap hari pada pagi dan sore hari.

Persiapan lahan

Pengolahan lahan dilakukan 2 minggu sebelum tanam. Lahan yang akan ditanam diolah sebanyak 2 kali, kemudian tanah dihaluskan. Tanah dibagi menjadi 3 blok sebagai ulangan. Dalam setiap plot 2 x 3 m, jarak antar blok 100 cm. Jumlah plot sebanyak 36 plot. Dalam setiap plot dibuat lubang untuk memberi pupuk kandang atau kompos 1-1,5 kg/tanaman.

(37)

Setelah bibit berumur 14 hari, bibit cabai dapat dipindahkan kepertanaman. Penanaman dilakukan pada sore hari.

Perawatan Tanaman

Perawatan yang dilakukan terhadap tanaman meliputi penyiraman, pemupukan dan pengendalian gulma atau penyulaman. Penyulaman dilakukan dua minggu setelah tanam. Bila terdapat tanaman yang mati atau menunjukkan pertumbuhan yang kurang baik.

Pemupukan dilakukan pada saat tanaman cabai ditanam, saat berumur 30 hari dan 60 hari dengan menggunakan pupuk urea, SP-36, KCL masing-masing 10 gram : 13,5 gram : 10 gram. Pemupukan kedua, yaitu urea : SP-36 : KCL masing-masing 10 gram : 6,5 gram : 13,5 gram. Pemupukan dilakukan dengan jarak 10-15 cm dari tanaman.

Pemasangan Mulsa

Cara pemasangan mulsa plastik yaitu dengan menarik kedua ujungmulsa ke masing-masing ujung bedengan dengan arah memanjang, kemudian dikuatkan dengan jepitan yang terbuat dari bilah bambu yang berbentuk “V”, yang ditancapkan di setiap sisi bedengan, kemudian mulsa plastik tersebut ditarik ke bagian sisi kanan bedengan hingga tampak rata menutupi seluruh permukaan bedengan.

Parameter Pengamatan

Persentase Serangan Buah

(38)

MST (Minggu Setelah Tanam). Pengamatan dilakukan sebanyak 10 kali pengamatan dengan interval 1 minggu sekali dengan rumus sebagai berikut :

P = a x 100 % b

keterangan :

P : Persentase serangan buah

a : Jumlah buah yang terserang / sampel b : Jumlah buah / sampel

(Moekasan, dkk, 2000).

Produksi Cabai

Produksi dihitung mulai dari cabai siap panen yaitu pada saat 15 MST (Minggu Setelah Tanam), dilakukan sebanyak 10 kali pemanenan dengan interval 1 minggu sekali, dengan menimbang berat cabai yang dipanen dari setiap plot perlakuan (Kg/plot) dari 3 tanaman sampel, kemudian dikonversikan kedalam ton/Ha dengan menggunakan rumus :

Data Pendukung

Data pendukung yang digunakan adalah data curah hujan dan kelembaban selama musim tanam.

Kategori ketahanan cabai terhadap antraknosa berdasarkan kriteria Intensitas Serangan adalah :

Produksi Ton/Ha = Luas areal dalam 1 ha (10.000 m

2

)

(39)

0 – 20 % = tahan 41 – 50 % = sedang 21 – 40 % = agak tahan > 50 % = peka (Wardani dan Ratnawilis, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Persentase Serangan Buah

Hasil pengamatan persentase serangan pada buah pada pengamatan 12,13,14,15,16,17,18,19,20,21 MST (Minggu Setelah Tanam) dapat dilihat pada lampiran 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10.

Dari hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa mulsa berpengaruh sangat nyata pada pengamatan 17,18,19,20,21 MST terhadap persentase serangan pada buah. Demikian juga pengaruh varietas terhadap persentase serangan pada buah berpegaruh sangat nyata pada pengamatan 18,19,20,21 MST. Tetapi interaksi varietas dengan mulsa tidak nyata pada pengamatan 12,13 MST.

Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata dan sangat nyata maka dilakuakan Uji Jarak Duncan dengan faktor varietas dan mulsa dapat dilihat pada tabel 1.

Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata dan sangat nyata maka dilakuakan Uji Jarak Duncan dengan interaksi kedua faktor varietas dengan mulsa yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.

(40)

pada pengamatan 17 MST yaitu sebesar 33,60 % dan yang tertinggi dengan faktor mulsa terdapat pada M0 (tanpa mulsa) pada pengamatan 17 MST yaitu sebesar 41,38 %.

Dari tabel 1 diperoleh bahwa persentase serangan pada buah yang terendah pada faktor varietas pada V1 (TM-999) yaitu sebesar 30,60 % pada pengamatan 17 MST dan yang tertinggi pada V3 (varietas laris) yaitu sebesar 41,83 % pada pengamatan 17 MST.

(41)
(42)

Tabel 1. Persentase serangan pada buah dengan uji jarak duncan dengan faktor mulsa dan varietas

ket: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 1 % dan 5 %

Tabel 2. Persentase serangan pada buah dengan uji jarak duncan dengan interaksi mulsa dengan varietas

Perlakuan Persentase Serangan (%) / Pengamatan Minggu Setelah Tanam

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

(43)

Tabel 3. Produksi buah dengan uji jarak duncan dengan faktor mulsa dan varietas

ket: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 1 % dan 5 %

Tabel 4. Produksi buah dengan uji jarak duncan dengan interaksi kedua faktor mulsa dan varietas

Perlakuan produksi buah (ton/ha) / Pengamatan Minggu Setelah Tanam

(44)

M2V4 0.26 cde 0.43 c 0.66 ABC 0.81 bc 1.48 cd 2.14 CDE 0.53 BC 0.15 tn 0.25 AB 0.00 tn

(45)

2. Produksi Buah

Hasil pengamatan produksi buah pada pengamatan 15,16,17,18,19,20,21,22,23,24 MST (Minggu Setelah Tanam) dan sidik ragamnya dapat dilihat pada lampiran 11,12,13,14,15,16,17,18,19,20.

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa mulsa berpengaruh sangat nyata pada pengamatan 15,16,17,20,21,23 MST terhadap produksi buah. Demikian juga pengaruh varietas terhadap produksi buah berpengaruh sangat nyata pada pengamatan 15,16,20,21,23 MST. Tetapi interaksi varietas dengan mulsa tidak nyata pada pengamatan 22 dan 24 MST.

Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata dan sangat nyata maka dilakukan Uji Jarak Duncan dengan faktor varietas dan mulsa yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.

Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata dan sangat nyata maka dilakukan Uji Jarak Duncan dengan interaksi kedua faktor varietas dan mulsa yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.

Dari tabel 3 diperoleh produksi buah yang tertinggi dengan faktor mulsa terdapat pada M1 (Mulsa Perak Hitam) pada pengamatan 20 MST yaitu sebesar 3,66 ton/ha dan yang terendah terdapat pada M0 (tanpa mulsa) pada pengamatan 20 MST yaitu sebesar 2,73 ton/ha

(46)
(47)
(48)

Pembahasan

1. Persentase serangan buah

Dari tabel 1 diperoleh bahwa persentase serangan pada buah yang terendah dengan faktor mulsa terdapat pada M1 (Mulsa Hitam Perak) pada pengamatan 17 MST yaitu sebesar 33,60 % dan yang tertinggi pada M0 (tanpa mulsa) pada pengamatan 17 MST yaitu sebesar 41,38 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1. histogram persentase serangan pada buah dengan faktor mulsa sebagai berikut :

Gambar 1. Histogram persentase serangan pada buah dengan faktor mulsa

pengamatan Minggu Setelah Tanam (MST)

p

(49)

penyakit) antraknosa pada tanaman cabai. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Wardjito (2001) yang menyatakan bahwa mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma, mereduksi penguapan dan kecepatan alir permukaan, sehingga kelembaban tanah dan persediaan air dapat dapat terjaga.

Dari tabel 1 diperoleh bahwa persentase serangan pada buah yang terendah dengan faktor varietas terdapat pada V1 (varietas TM-999) pada pengamatan 17 MST yaitu sebesar 30,60 % dan yang tertinggi pada V3 (varietas laris) pada pengamata 17 MST yaitu sebesar 41,83 % yang dapat dilihat pada gambar 2. histogram persentase serangan pada buah dengan faktor varietas sebagai berikut :

Gambar 2. Histogram persentase serangan pada buah dengan faktor varietas

pengam atan Minggu Setelah Tanam (MST)

p

(50)

menurunkan persentase serangan pada buah hal ini disebabkan karena varietas TM-999 memiliki morfologi yang strukturnya menyebabkan varietas TM-999 tahan terhadap serangan penyakit antraknosa, yaitu adanya lapisan kutikula pada kulit buah yang tebal dibandingkan dengan varietas lain. Ketahanan yang dimiliki tanaman cabai yang mekanismenya seperti ini disebut dengan ketahanan mekanis pasif. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Semangun (1996) yang menyatakan bahwa Ketahanan mekanis pasif, yaitu ketahanan yang dimiliki oleh tanaman karena memiliki suatu struktur-struktur morfologis yang sukar diinfeksi oleh patogen, misalnya tanaman yang memiliki epidermis yang tebal, adanya lapisan lilin, mempunyai mulut kulit yang sempit dan sedikit, adanya bulu-bulu di permukaan daun dan sebagainya.

(51)

Gambar 3. Histogram persentase serangan pada buah dengan interaksi kedua faktor varietas dengan mulsa

0.000

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

pengamatan Minggu Setelah Tanam (MST)

p

er

en

tase

ser

an

g

an

(

%

)

(52)
(53)
(54)

2. Produksi

Dari tabel 3 diperoleh bahwa produksi buah yang tertinggi dengan faktor mulsa terdapat pada M1 (Mulsa hitam perak) pada pengamatan 20 MST yaitu sebesar 3,66 ton/ha dan yang terendah pada M0 (tanpa mulsa) pada pengamatan 21 MST yaitu sebesar 2,73 ton/ha yang dapat dilihat pada gambar 4. histogram produksi buah dengan faktor mulsa sebagai berikut :

Gambar 4. Histogram produksi buah dengan faktor mulsa

0

pengamatan Minggu Setelah Tanam (MST)

p

(55)

penggunaan mulsa merupakan slah satu alternatif atau cara untuk mengendalikan gulma dalam upaya untuk peningkatan produksi.

Rendahnya produksi pada M0 sebesar 2,733 ton/ha pada pengamatan 20 MST juga disebabkan oleh persentase serangan buah oleh antraknosa dengan faktor mulsa M0 cukup tinggi dengan persentase serangan tertinggi mencapai 41,38 % pada pengamatan 17 MST . hal ini disebabkan karena pada bulan desember (16,17,18 MST) menunjukkan curah hujan yang cukup tinggi mencapai rata-rata 7,7 mm dengan kelembaban 89,1 % sehingga membantu perkembangan penyakit antraknosa karena dengan kelembaban relatif antara 80-92 % merupakan saat yang tepat untuk periode inkubasi antraknosa. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Syamsuddin (2007) yang menyatakan bahwa antraknosa adalah penyakit terpenting yang menyerang cabai di Indonesia. Penyakit ini distimulir oleh kondisi lembab dan suhu relatif tinggi. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari persemaian sampai sampai tanaman cabai berbuah, dan merupakan masalah utama pada buah masak, serta berakibat serius terhadap penurunan hasil dan penyebaran penyakit.

(56)

Gambar 5. Histogram produksi buah dengan faktor varietas

pengamatan Minggu Setelah Tanam (MST)

p

Faktor varietas yang ditunjukkan pada gambar 5 menandakan bahwa perlakuan dengan varietas V1 (TM-999) dapat menaikkan jumlah produksi buah. Hal ini disebabkan karena varietas V1 (TM-999) memiliki ukuran buah yang lebih besar dibandingkan dengan varietas lainnya. Selain itu juga varietas TM-999 merupakan varietas yang super tahan terhadap penyakit antraknosa. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Hayati (2001) yang menyatakan bahwa peningkatan produksi cabai dapat dilakukan dengan menggunakan varietas yang berdaya hasil tinggi.

(57)

Gambar 6. Histogram produksi buah dengan interaksi kedua faktor varietas dengan mulsa

0.000

pengamatan Minggu Setelah Tanam

p

(58)
(59)

dan kecepatan alir permukaan, sehingga kelembaban tanah dan persediaan air dapat terjaga

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Persentase serangan pada buah yang terendah dengan faktor mulsa terdapat pada M1 (Mulsa Hitam Perak) pada pengamatan 17 MST yaitu sebesar 33,60 % dan yang tertinggi pada M0 yaitu sebesar 41,38 % pada 17 MST sedangkan persentase serangan pada buah yang terendah dengan faktor varietas pada V1 (TM-999) sebesar 30,60 % pada pengamatan 17 MST dan yang tertinggi pada V3 yaitu sebesar 41,83 % pada pengamatan 17 MST.

2. Persentase serangan buah yang terendah dengan interaksi kedua faktor adalah pada perlakuan M1V1 (Mulsa hitam perak dengan varietas TM-999) yaitu sebesar 16,97 % pada pengamatan 17 MST dan yang tertinggi pada perlakuan M0V3 (tanpa mulsa dengan varietas laris) yaitu sebesar 29,65 % pada pengamatan 17 MST. 3. Produksi pada buah yang tertinggi dengan faktor mulsa terdapat

(60)

tertinggi dengan faktor varietas pada V1 (TM-999) sebesar 3,61 ton/ha pada pengamatan 20 MST dan yang terendah pada V3 yaitu sebesar 2,73 ton/ha pada pengamatan 20 MST.

4. Produksi buah yang tertinggi dengan interaksi kedua faktor adalah pada perlakuan M1V1 (Mulsa hitam perak dengan varietas TM-999) yaitu sebesar 2,63 ton/ha pada pengamatan 20 MST dan yang terendah pada perlakuan M0V3 (tanpa mulsa dengan varietas laris) yaitu sebesar 1,40 ton/ha pada pengamatan 20 MST.

5. Dengan perlakuan M1V1 (Mulsa Hitam Perak dengan Varietas TM-999) dapat menekan perkembangan penyakit antraknosa.

Saran

(61)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, 2004. Teknik Pemberian Pupuk Organik dan Mulsa Pada Budidaya Mentimun Jepang., Buletin Teknik Pertanian Vol.

10 No.2, 20005 diakses dari http://www.pustaka .deptan .go.id /publication/bt102054,pdf pada tanggal 5 maret 2007.

Asnawi, R. dan Dwiwarni, I., 2000. Pengaruh Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Enam Varietas Cabai (Capsicum annum Liin). Jurnal Agrotropika Vol. V No. 1 Juni 2000 : 5-8.

Alexopolus, C. J., 1952. Introductory Mycology. Jhon Willey and Son. New York. Chapman and Hall. Limited . London. Page :324-332.

Daniel, A., 1972. Fundameantal Of Plant Pathology. W.H.Reemen and Company. San Fransisco. Toppan Limited Tokyo. Japan. P:409. Dehne, W.H., Adam, G., Diekmann, M., Frahm, J., Machnik, M.A., and

Halteren, V.P., 1997. Diagnosis and Identification of Plant Pathogens, Kluwer Academic Publishers, London.

Duriat, A.S., dan S., Sastrosiswojo, 1995. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu Pada Agribisnis Cabai. Dalam Santika A., (1995) Agribisnis Cabai : Penebar Swadaya , Jakarta. Hal : 98-99.

Djas, F., 1980. Classification Of Fungi and Spesific Characteristic of Each Class. Fakultas Pertanian USU. Medan. Hal:29.

Dwidjoseputro, 1978. Pengantar Mikologi. Penerbit Alumni Bandung. Hal : 123.

Fry, W.W., 1982. Principles of Plant Diseases Management, Academic Press. New York.

Hanafiah, A. K., Anas, I., Napoleon, A., dan Ghoffar, N., 2005. Biologi Tanah Ekologi dan Mikrobiologi Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

(62)

Hayati, M., 2001. Pengujian Pertumbuhan, Hasil dan Rendemen Oleoresin Pada Dua Varietas Cabai Merah (Capsicum annum L.) Dengan Pemberian Dekamon. Jurnal Agrista Vol. 5 No. 3, 2001:266.

Hidayat, I. M., Sulastrini, I., Kusandriani, Y. dan Permadi, A. H., 2004. Lesio Sebagai Komponen Tanggap Buah 20 Galur dan atau Varietas Cabai Terhadap Inokulasi Colletotrichum capsici dan Colletotrichum gloeosporioides. Jurnal Hortikultura Vol. 14 No. 3 2004: 161-162.

Kusbiantoro, B., Sukarna, E. dan Djakaria, M., 2007. Pengaruh Penggunaan Mulsa Plastik Hitam dan Pola Tanam Pada Produksi Cabe Merah., Seminar hasil pengkajian

dan desiminasi 12 januari 2007. Diakses dari http://jabar.litbang.deptan.go.id/html/tp-023html. Pada tanggal 5 maret 2007.

Lisnawita, 2003. Penggunaan Tanaman Resisten: Suatu Strategi Pengendalian Nematoda Parasit Tanaman. Laporan Penelitian 2003 Digitized by USU digital library. Diakses dari http://www.library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Do wnloads&file=index&req=getit&lid=742. Pada tanggal 10 maret 2007.

Muhuria, L., 2003. Strategi Perakitan Gen-Gen Ketahanan Terhadap Hama. Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor November 2003. diakses dari http://tumoutou.net/702_07134/la_muhuria.pdf. Pada Tanggal 10 Maret 2007.

Priyambada, 2005. Pengaruh Pengolahan Tanah Latosol & Penggunaan Mulsa Alang-Alang Untuk Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Buletin Ilmiah Instiper Vol. 12 No. 12, oktober 2005, 17-25.

Pranoto, I., 2005. Pengujian Khamir Untuk Menghambat Patogen Penyakit Antraknosa Pada Buah Cabai Merah ((Capsicum annnum L.) di Laboratorium. Undergraduate Theses dari JIPTUMMPP/2005.

Diakses dari

(63)

Rusli, I., Mardinus dan Zulpadli, 1997. Penyakit Antraknosa Pada Buah Cabai Di Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah, Palembang, 27-29 Oktober 1997. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. 187,190.

Sanjaya, Y., 2004. Perbandingan Penggunaan Insektisida dan Sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Terhadap Kelimpahan Plankton. Journal of Biological Science, Biosmart. Volume 6, nomor 2., 135.

Sanjaya, L. Wattimena , G.A., Guharja, E., Yusuf, M., Aswidinnoor, H. dan

Stam, P., 2002. Keragaman Ketahanan Aksesi Capsicum Terhadap Antraknosa (Colletotrichum capsici) Berdasarkan Penanda RAPD. Jurnal Bioteknologi Pertanian. Vol.

7.No. 2. 2002. pp 37-42.

Siwi, S. S., 2006. Peran Ilmu Biotaksonomi Serangga Dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Era Globalisasi. Berita Biologi Vol. 8, No. 1. April 2006:1.

Sudir, Wahyuni, T., Suparyono, dan Amir, M., 1999. Pengaruh Varietas, Pupuk dan Cara Bertanam Terhadap Penyakit Blas Leher Padi. Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI Purwokerto, 16-18 September 1999: 140.

Sudiono., 2006. Pengaruh Fungisida dan Waktu Aplikasi Terhadap Penyakit Antraknosa Buah Cabai, LAPTUNILAPP, diakses dari http://digilib.unila.ac.id/go.php?id=laptunilapp-gdl-res-2006-sudiono-127&node=19&start=185.

Sumaryono, H., 1992. Budidaya Cabai Merah (Capsicum annum L.). Sinar Baru Algesindo. Bandung. Hal :27-28.

____________, 1996. Budidaya Cabai Merah, Sinar Baru Algesindo, Bandung. Hal : 9-10.

Semangun, H., 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

___________, 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Syukur, M., 2007. Mencari Genotip Cabai Tahan Antraknosa, diakses dari http://ipb.bogor.Agricultural.university/mencari.genotip.cabai.tahan. antraknosa.htm.

(64)

Tenaya, I. M. N., 2001. Pewarisan Kandungan Fruktosa dan Kapsaisin Serta Aktivitas Enzim Peroksidase Pada Tanaman Hasil Persilangan Cabai Rawit Dengan Cabai Merah. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Agritop Vol 20, No. 2, Juni 2001:80.

Tindall, H.D., 1983. Vegetable in the Tropics. Mac Milan Press Ltd., London.

Syamsudin, 2007. Pengendalian Penyakit Terbawa Benih (Seed Born Diseases) pada Tanaman Cabai (Capsicum annnum Liin).menggunakan agen Biokontrol dan Ekstrak Botani, diakses darihttp://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobio/abstrak/agrobio-vol2-no2-1999-dwinita.php. Pada tanggal 10 maret 2007.

Utami, D. W., 1999. Interaksi Poligenik Ketahanan Tanaman Padi Terhadap Patogen Blas. Buletin Agrobio, Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian Vol. 2 No. 2. Tahun 1999. diakses dari http://www.indobiogen.or.id/ terbitan /agrobio /abstrak/agrobio_vol2_no2_1999_Dwinita.php. Pada tanggal 10 maret 2007.

Vos, J.G.M., 1994. Pengolahan Tanaman Terpadu Pada Tanaman Cabai (Capsicum spp) Dataran Rendah Tropic. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang.

Wardjito, 2001. Pengaruh Penggunaan Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Zuchini (Cucurbitae pepo L.). Jurnal Hortikultura. Vol. 11 No. 4:244, 2001.

Wardani, N. dan Ratnawilis, 2002. Ketahanan Beberapa Varietas Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Antraknosa (Colletotrichum sp). Jurnal Agrotropika, Vol. VII No. 1. Juni 2002: 25.

Wiratma, D. A., Murwani, E. R. dan Sastrahidayat, I. R., 1983. Pengaruh Komponen Cuaca Terhadap Tingkat Serangan Jamur Colletotrichum sp. Penyebab Antraknose Pada Cabe Rawit di Laboratorium. Kongres Nasional PFI Ke VII Medan, 21-23 September 1983.

(65)

Lampiran 1.

Intensitas serangan pengamatan 1

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Transformasi Arcsin Vp Data pengamatan presentase Pengamatan 1

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 1

Mulsa Varietas Total Rataan

V1 V2 V3 V4

M0 15.090 15.090 15.090 15.090 60.360 24.144

M1 15.090 15.090 15.090 15.090 60.360 24.144

(66)

Total 45.270 45.270 45.270 45.270 181.080

Rataan 22.635 22.635 22.635 22.635 24.144

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 1

SK db JK KT Fh F0.05 F0.01

Ulangan 2.000 0.000 0.000 0.000 tn 3.420 5.660

Perlakuan 11.000 0.000 0.000 0.000 tn 2.240 3.140

M 2.000 0.000 0.000 0.000 tn 3.420 5.660

V 3.000 0.000 0.000 0.000 tn 3.030 4.760

MxV 5.000 0.000 0.000 0.000 tn 2.640 3.940

Galat 23.000

Total

Keterangan : FK = 910.832 Ket : tn : tidak nyata

KK = * : nyata

(67)

Lampiran 2.

Intensitas serangan pengamatan 2

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Transformasi Arcsin Vp Data pengamatan presentase Pengamatan 2

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 2

Mulsa Varietas Total Rataan

V1 V2 V3 V4

M0 15.090 23.750 29.250 15.090 83.180 33.272

M1 15.090 15.090 15.090 15.090 60.360 24.144

(68)

Total 45.270 53.930 59.430 45.270 203.900

Rataan 22.635 26.965 29.715 22.635 27.187

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 2

SK db JK KT Fh F0.05 F0.01

Ulangan 2 28.931 14.465 1.094 tn 3.420 5.660

Perlakuan 11 77.368 7.033 5.349 ** 2.240 3.140

M 2 28.931 14.465 4.375 * 3.420 5.660

V 3 16.146 5.382 1.628 tn 3.030 4.760

MxV 5 32.292 9.766 2.311 tn 2.640 3.940

Galat 23 76.053 3.307

Total 46 259.721

Keterangan : FK = 1154.867 Ket : tn : tidak nyata

KK = 4.218 % * : nyata

** : sangat nyata

(69)

Lampiran 3.

Intensitas serangan pengamatan 3

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Transformasi Arcsin Vp Data pengamatan presentase Pengamatan 3

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 3

(70)

Rataan 50.860 68.810 79.455 66.005 70.701

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 3

SK db JK KT Fh F0.05 F0.01

(71)

Lampiran 4.

Intensitas serangan pengamatan 4

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 4

Mulsa Varietas Total Rataan

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 4

(72)

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan C.Capsici Pengamatan 4

Sy = 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737 1,737

P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

SSR0.05 2,93 3,08 3,17 3,24 3,29 3,32 3,35 3,37 3,39 3,42 3,44

LSR0.05 5,089 5,349 5,506 5,627 5,714 5,766 5,818 5,853 5,888 5,940 5,975

Perlakuan M1V1 M1V4 M2V1 M1V2 M1V3 M2V4 M2V2 M0V1 M2V3 M0V4 M0V2 M0V3

Rataan 4,377 5,007 5,940 6,173 7,453 7,667 8,003 8,207 9,047 9,067 11,157 14,107

B

C

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Intensitas Serangan

C.capsici

Sy = 1,737 1,737 1,737 1,737

P 2 3 4

SSR0.05 2,93 3,08 3,17

LSR0.05 5,089 5,349 5,506

Perlakuan V1 V4 V2 V3

Rataan 9,293 10,905 12,667 15,303

a

(73)

Lampiran 5.

Intensitas serangan pengamatan 5

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 5

Mulsa Varietas Total Rataan

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 5

(74)

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan C.Capsici Pengamatan 5

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

Sy = 4.097 4.097 4.097 4.097

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

(75)

Lampiran 7.

Intensitas serangan pengamatan 7

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 7

Mulsa Varietas Total Rataan

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 7

(76)

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan C.Capsici Pengamatan 7

Sy = 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290 0,290

P 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

SSR0.05 2,93 3,08 3,17 3,24 3,29 3,32 3,35 3,37 3,39 3,42 3,44

LSR0.05 0,850 0,893 0,919 0,940 0,954 0,963 0,972 0,977 0,983 0,992 0,998

Perlakuan M1V1 M1V4 M0V1 M2V1 M1V2 M2V4 M0V4 M1V3 M2V2 M0V2 M2V3 M0V3

Rataan 16,973 19,543 20,167 21,183 22,317 23,053 23,540 24,327 26,442 26,887 27,127 29,657

A

B

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

Sy = 0,290 0,290 0,290 0,290

P 2 3 4

SSR0.05 2,93 3,08 3,17

LSR0.05 0,850 0,893 0,919

Perlakuan V1 V4 V2 V3

Rataan 51,535 55,715 59,755 62,575

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

Sy = 0,290 0,290 0,290

P 2 3

SSR0.05 2,93 3,08

LSR0.05 0,850 0,893

Perlakuan M1 M2 M0

Rataan 56,964 62,880 63,820

a

b

(77)

Lampiran 8.

Intensitas serangan pengamatan 8

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 8

Mulsa Varietas Total Rataan

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 8

(78)

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan C.Capsici Pengamatan 8

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

Sy = 0,244 0,244 0,244 0,244

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

Sy = 0,244 0,244 0,244

P 2 3

SSR0.05 2,93 3,08

LSR0.05 0,714 0,751

(79)

Rataan 48,100 49,548 55,880

a

b

(80)

Lampiran 9.

Intensitas serangan pengamatan 9

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 9

Mulsa Varietas Total Rataan

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 9

(81)

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan C.Capsici Pengamatan 9

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

Sy = 0,434 0,434 0,434 0,434

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

(82)

a

b

(83)

Lampiran 10.

Intensitas serangan pengamatan 10

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Total Serangan C.capsici Pada Pengamatan 10

Mulsa Varietas Total Rataan

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 10

(84)

Uji Jarak Duncan Intensitas Serangan C.Capsici Pengamatan

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

Sy = 0,433 0,433 0,433 0,433

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Intensitas Serangan C.capsici

(85)

b

(86)

Lampiran 11.

Data Produksi pengamatan 15 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Rataan Produksi Pada Pengamatan 15 MST

Mulsa Varietas Total

Transformasi Arcsin Vp Data Produksi Pengamatan 15 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(87)

Mulsa Varietas Total Rataan

V1 V2 V3 V4

M0 3,340 2,730 2,430 2,607 11,107 4,443

M1 3,703 3,373 2,960 3,323 13,360 5,344

M2 3,473 3,017 2,583 2,923 11,997 4,799

Total 10,517 9,120 7,973 8,853 36,463

Rataan 5,258 4,560 3,987 4,427 4,862

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 15 MST

SK

db JK KT Fh F0.05 F0.01

Ulangan 2 25,733 12,866

M 2 9,917 4,959 10,551 ** 3,420 5,660

V 3 7,356 2,452 5,217 ** 3,030 4,760

MxV 11 18,287 1,662 3,537 * 2,640 3,940

Galat 18 8,459 0,470

Total 36 69,753

Keterangan

: FK = 1,970 Ket : tn : tidak nyata

KK = 62,043 % * : nyata

(88)

Uji Jarak Duncan Data Produksi Pengamatan 15 MST

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Produksi

Sy = 0,167 0,167 0,167 0,167

UJD Pengaruh Mulsa TerhadapProduksi

(89)
(90)

Lampiran 12.

Data Produksi pengamatan 16 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Rataan Produksi Pada Pengamatan 16 MST

Mulsa Varietas Total Rataan

Transformasi Arcsin Vp Data Produksi Pengamatan 16 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Rataan Produksi Pada Pengamatan 16 MST

Mulsa Varietas Total Rataan

(91)

V1

M0 3,673 3,470 3,070 3,373 13,587 5,435

M1 4,440 4,223 3,643 4,153 16,460 6,584

M2 4,250 3,687 3,470 3,777 15,183 6,073

Total 12,363 11,380 10,183 11,303 45,230

Rataan 6,182 5,690 5,092 5,652 6,031

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 16 MST

SK

db JK KT Fh

F0.05 F0.01

Ulangan 2 39,589 19,795

M 2 15,264 7,632 10,501 ** 3,420 5,660

V 3 11,242 3,747 5,156 ** 3,030 4,760

MxV 11 27,920 2,538 3,492 * 2,640 3,940

Galat 18 13,083 0,727

Total 36 107,099

Keterangan

: FK = 3,031 Ket : tn : tidak nyata

KK = 69,096 % * : nyata

(92)

Uji Jarak Duncan Data Produksi Pengamatan 16 MST

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Produksi

Sy = 0,067 0,067 0,067 0,067

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Produksi

(93)
(94)

Lampiran 13.

Data Produksi pengamatan 17 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Rataan Produksi Pada Pengamatan 17 MST

Mulsa Varietas Total Rataan

Transformasi Arcsin Vp Data Produksi Pengamatan 17 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Rataan Produksi Pada Pengamatan 17 MST

Mulsa Varietas Total Rataan

(95)

M0 4,290 4,063 3,733 4,077 16,163 6,465

M1 5,033 4,693 4,453 4,503 18,683 7,473

M2 4,820 4,610 4,183 4,647 18,260 7,304

Total 14,143 13,367 12,370 13,227 53,107

Rataan 7,072 6,683 6,185 6,613 7,081

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 17 MST

SK

Uji Jarak Duncan Data Produksi Pengamatan 17 MST

Sy = 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167 0,167

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Produksi

Sy = 0,167 0,167 0,167 0,167

P 2 3 4

SSR0.05 2,93 3,08 3,17

(96)

Perlakuan V3 V4 V2 V1

Rataan 6,185 6,613 6,683 7,072

A

B

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Produksi

Sy = 0,167 0,167 0,167 0,167

P 2 3

SSR0.05 2,93 3,08

LSR0.05 0,488 0,513

Perlakuan M0 M2 M1

Rataan 6,465 7,304 7,473

A

(97)

Lampiran 14.

Data Produksi pengamatan 18 MST

Perlakuan Ulangan Total Rataan

Dwikasta Rataan Produksi Pada Pengamatan 18 MST

Mulsa Varietas

Analisis Sidik Ragam Pengamatan 18 MST

(98)

Uji Jarak Duncan Data Produksi Pengamatan 18 MST

UJD Pengaruh Varietas Terhadap Produksi

Sy = 0,183 0,183 0,183 0,183

UJD Pengaruh Mulsa Terhadap Produksi

Gambar

Tabel 1.  Persentase serangan pada buah dengan uji jarak duncan dengan faktor mulsa dan varietas
Tabel 3. Produksi buah dengan uji jarak duncan dengan faktor mulsa dan varietas
Gambar 1. Histogram persentase serangan pada buah dengan faktor mulsa
Gambar 2. Histogram persentase serangan pada buah dengan faktor varietas
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diuji menunjukkan bahwa varietas berbeda nyata pada parameter tinggi tanaman 6 – 11 MST, umur berbunga, jumlah bunga/tanaman, umur panen, jumlah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji perkecambahan pada tiap varietas berbeda terhadap parameter persentase perkecambahan yang paling tinggi yaitu varietas Romario (98%),

Tingkat persentase kerusakan beras ini memiliki hubungan dengan kadar air pada tiap perlakuan varietas beras, dimana varietas Siboras, Ramos dan verietas Sikembiri

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian berbagai mulsa dan bokashi kulit jengkol beserta interaksi antara kedua perlakuan tersebut berpengaruh tidak nyata

Varietas Kuriek Kusuik dan Junjuang adalah varietas dengan kecenderungan lebih tahan dari varietas lainnya, dengan persentase serangan terendah pada hari ke 14

Hasil analisis sidik ragam yang disajikan dalam Tabel 1 menunjukan bahwa perlakuan interaksi musim x varietas tidak nyata terhadap intensitas serangan penggerek batang

Laju kecepatan infeksi pada masing- masing perlakuan ini sejalan dengan hasil persentase intensitas penyakit, dimana varietas Bonanza yang memiliki laju infeksi paling

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penggunaan mulsa berpengaruh nyata terhadap produksi cabai merah dan produksi tertinggi diperoleh pada penggunaan mulsa plastik