• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seaweed and Rice Hulls as Fiber Sources to Decrease Carcass Fat and Meat Cholesterol of Pigs

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Seaweed and Rice Hulls as Fiber Sources to Decrease Carcass Fat and Meat Cholesterol of Pigs"

Copied!
300
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)
(132)
(133)
(134)
(135)
(136)
(137)
(138)
(139)
(140)
(141)
(142)
(143)
(144)
(145)
(146)
(147)
(148)
(149)
(150)
(151)
(152)
(153)
(154)
(155)
(156)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akhir-akhir ini ada kecenderungan masyarakat menghindari makanan yang me- ngandung kolesterol tinggi. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan peningkatan kejadian penyakit jantung koroner dan aterosklerosis, seperti yajlg sering dipublikasikan dalam berbagai media. Sumber utama yang dicurigai menjadi penyebab adalah daging dan produk hewan lainnya.

Linder (1985) melaporkan bahwa di negara-negara maju yang konsumsi daging per kapitanya cukup tinggi, kejadian aterosklerosis juga relatif tinggi. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara konsumsi kolesterol dengan kematian karena penyakit jantung. Orang-orang Amerika pria usia 55

-

59 tahun yang mengkonsumsi kolesterol di atas 500 mgthari, mengalami kematian karena penyakit jantung koroner lebih dari 700 orang per 100.000 populasi. Srilangka yang masyarakatnya mengkonsumsi kolesterol di bawah 100 mg/hari, hanya mengalami kematian akibat penyakit jantung koroner sekitar 100 orang/100.000 populasi pada usia yang sama. Konsumsi yang direkomendasikan oleh United States Deparement of Agria~ltlrre (USDA) tahun 1985 adalah sekitar 250 mglhari untuk anak-anak dan I 300 mglhari untuk orang dewasa.

Melihat kenyataan seperti itu, kebanyakan masyarakat sekarang terutama dari golongan ekonomi menengah ke atas, mulai mengurangi konsumsi daging dan protein hewani lainnya. Fenomena demikian merupakan kondisi yang dilematis bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, mengingat daging sebagai sumber protein hewani dengan asam-asam amino esensialnya misih sangat diperlukan bagi masyarakat Indonesia.

(157)

untuk memenuhi konsumsi protein hewani 4.5 gramkapitalhari. Bahkan pola harapan pangan tahun 2019 yang direkomendasikan bagi penduduk Indonesia ialah konsumsi protein hewani sebesar 15 gram/kapitabi yang setara dengan 25.2 kg daging, 10.4 kg telur dan 19.3 kg susu/kapita/tahun. Sebenarnya untuk kalangan masyarakat tertentu target tersebut sudah tercapai, namun bagi sebagim besar masyarakat di pedesaan keadaannya masih jauh dari harapan.

Proyeksi produksi daging pada pelita

VI

addah 1674 ribu ton. Untuk rnemenuhi target tersebut, khusus dari ternak

babi

populasinya diproyeksikan sebanyak 10.2 juta ekor. Selama ini sumbangan tenrak b&i &lam menyediakan daging sebanyak 12.6 % dari total produksi daging n a s k d .

Hasil pendtian pedahduan menunjukkan kandungan kolesterol daging babi yang ada di pasaran

sekarang

ini

rela@

masih tin& yaitu 274 mgf100 g. Salah satu

faktor penyebabnya adalah kandungm kolesterol ransum yang diberikan (ransum kometsial) relatif tinggi (sekitar 156 mg/lOOg). Standar kolesterol daging babi menurut USDA (1985) adalah 83.5 mg/100 g. Sedangkan babi lokal yang diberi ransum tradisional berserat tinggi (dedak padi dan batang pisang) kandungan kolesterol dagingnya hanya 56.08 mg/l00 g (Bagiada, 1986).

Mengantisipasi pertnasalahan di atas perlu dilakukan penelitian-penelitian yang mampu menghasilkan daging ataupun produk ternak lainnya dengan kandungan lemak dan kolesterol yang lebih rendah.

(158)

peranan serat dalam menurunkan lemak, kolesterol dan mencegah kanker usus pada manusia banyak diulas oleh Linder (1985).

Sekam padi yang produksinya berlimpah di Indonesia menarik untuk dikaji, mengingat kandungan seratnya sangat tinggi yakni sekitar 43%. Walaupun batasan kandungan serat ransum babi belum ada angka yang pasti, dan mengingat struktur saluran pencernaan babi sangat mirip dengan rnanusii, maka pendekatan yang telah dilakukan pada manusia sangat mungkin diterapkan

pada

babi. Untuk itu sekam padi sebagai sumber serat yang

d i a h

dan tidak terlalu askg bagi tern& babi perlu diuji kemampuannya dalam menumnkan

kadar

kolesterol daging.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemikiran di atas, ada dorongan untuk mengetahui potensi yang ada pada rumput laut dan sekam padi sebagai bahan makanan untuk menurunkan persentase lemak karkas dan kolesterol daging babi. Selain itu, dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana kualitas daging yang dihasilkan, melalui uji organoleptik di laboratorium.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan informasi ilmiah mengenai mekanisme kerja serat dalarn menurunkan kadar lemak karkas dan kolesterol daging babi. Manfaat aplikatifnya adalah penemuan bahan dan formula ransum yang mampu menurunkan kandungan lemak dan kolesterol daging babi, sehingga mutu daging babi dapat ditingkatkan.

Hipotesis

(159)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Komponen Lemak

Pengertian antara lemak dan fipida masih sering dipertentangkan. Demikian

juga antara lemak dan minyak. Lipida adalah kumpulan zat makanan yang larut dalam

eter, kloroform dan benzetl. Umumrtya dalam praktek dise6ut lemak. Sedimgkan

lemak dan minyak secara

kimiawi

sehmrnya

adalah

sama.

Hanya, lemak pada suhu

kamar berwujud padat, sedq&an

minyak

berwujud cair (Anggorodi, 1985).

Lipida digolongkan metljadi tiga gdongan, sebagai berikut:

Lipida saderhanr. Merupakan ester

asam-asam

lemak

dan

alkohol tertentu

terutama gliserol. L e d dan minyak adalah ester gliserol dengan asam-asam

lemak.

Ester asam lemak dengan alkohol selain gliserol disebut tiin.

Lipida senyawa. Ester gliserol yang mengandung dua residu asam lemak

ditambah kumpulan kimiawi lain seperti kholin. Terpenting di antaranya adalah:

fosfolipid, lesithin, sefalin dan spingomielin.

Lipida hasil hidrolisis. Zat-zat yang diperoleh melalui hidrolisis dari kedua

golongan di atas, di antaranya 1) asam-asam lemak; 2) alkohol, seperti : gliserol, etanol; dan 3) sterol, seperti kolesterol, ergosterol dan stetosterol.

Formula empiris lemak adalah Cs7HlO5o6. Dibandingkan dengan glukosa

yang mempunyai formula empiris C6Hl2O6, lemak mengandung beberapa kali lebih banyak atom karbon dan hidrogen. Lemak mengandung kelebihan karbon dan

hidrogen yang sanggup dibakar menjadi C02 dan H20. Dengan demikian per satuan berat yang sama, lemak akan menghasifkan energi yang jauh lebih banyak

dibandingkan glukosa dan karbohidrat lainnya.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lemak murni dan minyak meng-

(160)

Oleh karena itu lernak sering diperhitungkan dalam penyusunan ransum babi, karena dianggap sumber energi yang cukup ekonomis.

Di antara komponen lemak yang paling penting adalah asam lemak. Asam lemak diolongkan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh antara lain: laurat, miristat, palmitat dan stearat. Asam- asam lemak tidak jenuh meliputi palmitoleat, oleat, linoleat, linolenat dan arakhidonat. Di antara asam-asam lemak tersebut ada yang esensial, antara lain: linoleat, linolenat, dan arakhidonat

.

Metabolisme Lemak dan Pembentukan Lemak Tubuh

Pemecahan lemak makanan menjadi asam lemak dan monogliserida, kholin dan lain sebagainya, hampir semuanya terjadi dalam hodemrm dan jejz~mrm. Di sini peran garam empedu dan lipase pankreas sangat tinggi. Kedua sekresi pencernaan tersebut bekeja dalam pH yang lebih tinggi akibat adanya sekresi bikarbonat. Dalam duodenum, garam-garam empedu mengemulsikan lemak, dan dengan gerakan-gerakan peristaltik terdispersi menjadi butir-butir kecil dengan penambahan luas sekitar 10.000 kali. Kemudian diikuti oleh masuknya lipase. Lipida yang sudah tercema dan sebagian larut dalam air, membentuk misel-rnisel yang stabil. Misel tersebut terdiri atas asam lemak rantai panjang, monogliserida, dan asam-asam empedu yang terdihsi ke permukaan sel-sel mukosa, kemudian melepaskan materi untuk diserap. Produk- produk pencernaan yang lebih bersifat polar, seperti asam l e d rantai pendek, fosfat, kholin dan sebagainya, terdihsi melalui medium cair, terserap ke dalam sel mukosa USUS.

(161)

Hampir semua lemak yang disimpan pada jaringan lemak atau daging dalam

bentuk trigliserida. Nantinya trigliserida tersebut akan dirombak kmbali sebagai

sumber energi bila glukosa dari makanan tidak cukup, atau dalam keadaan puasa.

Pada babi yang diberi makan berkecukupan, sangat sedikit lemak tubuh dipakai

untuk sumber energi. Di dalam tubuh jaringan lemak ini berada dalam rongga badan,

termasuk sekitar jantung dan ginjal,

di

bawah kulit, inter muskuler dan intra muskuler.

Lemak di bawah kulit pada temak babi sekitar 50% atau paling banyak dibandingkan dengan ternak lain.

Dalam proses metabolisme lemak di dalam sel peranan lipoprotein sebagai

alat angkut lipida sangat besar. Lipoprotein adalah molekul yang terdiri atas protein

dan lipida yang bergabung dengan ikatan non-kovalen yaitu interaksi hidrofobk antara

gugus nonpolar dari lipida dengan molekul protein. Lipoprotein plasma darah

digolongkan menjadi lima golongan yaitu: kilomikron, lipoprotein berkerapatan sangat

rendah (very low density lipoprotein disingkat VLDL), lipoprotein berkerapatan rendah (low density lipoprotein disingkat LDL), lipoprotein berkerapatan tinggi (high density lipoprotein disingkat

HDL)

dan lipoprotein berkerapatan sangat tinggi (very

high density lipprotein disingkat VHDL).

Kilomikron merupakan kompleks molekul yang sangat besar dengan berat

molekul mencapai 1 x lo9. Fungsi utama kilornikron adalah pengangkutan lemak diet, terutama dalarn bentuk trigliserida ke dalam tubuh. Lipida lain yang diangkut dalarn

kilomikron adalah kolesterol, yang sebelumnya diubah dulu menjadi ester kolesterol.

Kilomikron ddam plasma dikatabolisme menjadi partikel-pertikel yang lebih kecil yang

mempunyai kepadatan lebih tinggi. Produk katabolieme yang disebut sisa kilomokron

terbentuk bila sebagian besar trigliserida yang mula-mula ada dalam kilomikron

terhidrolisis oleh lipase 1ipoprotein.Produk ini mengandung fosfolipid, kolesterol, ester

kolesterol, apo-E dan sedikit trigliserida yang tersisa. Daur transport lemak dalam

(162)
(163)

Lipoprotein berkerapatan sangat rendah (VLDL) diproduksi di dalarn hati. Dalam proses perjalanatulya menuju sel tepi (perijer), VLDL mengalami proses penguraian lipida secara bertahap di sepanjang pembuluh darah. Gliserol dan asam lemak dilepaskan secara bertahap dikatalisis oleh enzim lipopoleein lipvlse yang terdapat pada permukaan jaringan endotelium otot dan jaringan lemak. Akibat a h y a penguraian tersebut maka lama kelamaan VLDL berubah menjadi LDL. Berdawkan - mekanisme tersebut jelaslah bahwa LDL itu berasal dari VLDL (Deckelbaum, Tall dan Small, 1997).

Di dalam sel tepi LDL beihtedcsi dengan molekul reseptornya yang berada pada dinding sel, kemudian kompleks LDLreseptor yang terbentuk itu masuk ke dalam sel. Di dalam sel komponen protein kompleks tersebut diuraikan menjadi asam

amino, dan komponen

lipida

terutama ester kolesterol diiidrolisis menjadi kdesterol sebagai cadangan kolesterd

di

dalam

sel tepi yang juga diperlukan sebagai komponen membran sel. Kolesterd yang berlebii akan dikeluarkan dari membran set baik dalam bentuk kolesterol

bebas

maupun dalam bentuk senyawa esternya.

Sementara itu HDL yang terdapat dalam plasma darah mengikat kolesterol atau ester kolesterol dan mengangkutnya bersarna aliran darah dari set tepi ke sel hati. Di dalam hati, kolesterol yang telah terikat tersebut mengalami perombakan meng- hasilkan cadangan k o l e s t d hati, yang diperlukan untuk sintesis VLDL dan senyawa lainnya (Schaefer, 1991). Pengikatan LDL oleh reseptor dalam membran seI tepi secara berlawanan dihambat oleh HDL, sehingga kadar HDL yang tinggi akan mencegah penimbunan LDL pada dinding pembuluh darah.

Biosin tesis Koles terol

(164)

kan 1,l g kolesterolhari untuk m e d i h a r a dinding sel dan hngsi fisiologis lain. Dari jumlah tersebut, 25

-

40% (200

-

300 mg) secara normal berasal dari m a k a m dan selebihnya disintesis dalam tubuh. Tempat sintesis kolesterol terutama pada hati, korteks adrenal, usus, kuEt, testis

dm

aorta.

Kolesterol dalam makanan

akan

mempengamhi biosintesis kolesterol. Penelitian pada tikus menunjukkan, jika hanya terdapat 0,05% kolesterol dalam makanan maka 70 -80% kolesterol hati, usus

halus

dan kelenjar adrenal disintesis dalam tubuh. Tetapi jika kandungan kolesterol

dalm

makanan naik menjadi 2%, maka biosintesis tumn sampai 10

-

30%. Usaha untuk menurunkan kolesterol plasma pada manusia dengan mengurangi jumlah kolesterol dalam

makanan

adalah efektif Namun sebaliknya

biosintesis

tidak dapat seluruhnya ditekan dengan menaikkan konsumsi kolesterol rnelalui makanan.

Kolesterol dalam makanan diabsorpsi dalam usus, dan bersama-sama dengan lipida lainnya, termasuk kolesterol yang disintesis dalam usus (kolesterol endogenus), digabungkan dalam kilomikron dan VLDL (Vahouny et a]., 1997). Dalam limfa kolesterol yang diserap, 80

-

90% diesterkan dengan asam lemak rantai panjang, namun pengesteran dapat juga terjadi dalam mukosa usus. Bila sisa kilomikron masuk ke hati, banyak ester kolesterolnya dihidrolisis dan kolesterolnya diambil oleh hati. Kemudian

VLDL

yang dibentuk akan mengangkut kolesterol ke dalam plasma.
(165)

yang akan dikeluarkan dari tubuh masuk dulu ke hati, dan disekresikan ke dalam empedu, baik sebagai kolesterol maupun asam kolat dalam garam-garam empedu.

Pada mamalia, jaringan -jaringan yang diketahui marnpu mensintesis kolesterol antara lain: hati, kortek adrenal, kulit, usus, testis, lambung, otot, jaringan adiposa dan otak. Sedangkan yang bertanggung jawab atas sintesis kolesterol adalah fiaksi mikrosom dan sitosol sel. Asetil-KoA merupakan sumber seluruh atom karbon pada kolesterol.

Biosintesis kolesterol berlangsung dalarn empat tahap. 1) Konversi asam asetat menjadi mevalonat. 2) Konversi mevalonat menjadi squalen. 3) Konversi squalen menjadi lanosterol. 4) Metabolisme lanosterol menjadi kolesterol.

Konversi asam asetat menjadi mevalonat. Mevalonat adalah senyawa enam karbon yang merupakan kondensasi dari tiga molekul asetil-KoA. Pembentukan asam mevalonat terlebih dahulu melalui senyawa antara yaitu 3-hidroksi-3- metilglrrtaril-KoA (HMG-KoA). Selanjutnya HMG-KoA akan direduksi oleh NADPH unt uk menghasilkan asam mevalonat .

(166)

Konversi squalen menjadi lanosterol. Perubahan squalen menjadi lano- sterol melalui zat-antara yang disebut 2,3-oksidosqualen. Proses ini merupakan penutupan atau pelingkaran spontan untuk menjadi lanosterol dan tejadi tanpa peranan enzim. Sebelum penutupan terjadi, gugus metil pada C14 dipindah ke C13 dan yang ada pada C8 ke C 14, dan dihidroksilasi pada C3. Pada tahap ini t e h t u k empat lingkaran yang merupakan inti steroid. Reaksi terakhir melibatkan molekul oksigen, dan reaksi ini dikatalisis oleh sistem hidroksilase mikrosom.

Metabolis me lanos terol menjadi kolesterol. Tahapan reaksi ini melibatkan perubahan inti steroid dan rantai samping. Gugus metil pada C14 dioksidasi menjadi C 0 2 untuk membentuk 14-desmetil lanosterol. Begitu juga dua gugus metil lainnya pada C4 dibuang untuk membentuk zimosterol oleh pemindahan ikatan rangkap antara C8 dan C9 ke posisi antara C8 dan C7. Kolesterol dihasilkan setelah ikatan rangkap pada rantai samping direduksi.

[image:166.568.42.511.8.770.2]
(167)

1

HMG-CoA reduktase

lipoprotein VLOL (luarset)

-

(skualin + lanosterol)

Sintesis 4-Mailsterol oksidase reseptor

7a-hidroksilase

membran (diikat Kolesterol dalam

mernbran cel

kelulusan rnembm

&lam hati :

[image:167.541.45.452.59.743.2]

Sintesis VLDL

(168)

Proses pengeluaran kolesterol melalui pengikatannya dengan VLDL (dari sel hati) atau dengan HDL (dari sel tepi) akan naik ( reaksi 1 1, 12 dan 14 dirangsang). Bila kadar kolesterol rendah, maka kolesterolgenesis akan dirangsang, dan berbagai proses kegiatan akan terjadi. Kolesterol yang rendah akan merangsang kerja enzim HMG- KoA reduktase dan HMG-KoA sintase (reaksi 1, 2 dan 3 diransang). Hasil katabolisme kolesterol, 7 P-hidroksikolesterol dan asam empedu akan menghambat kegiatan enzim kolesterol 7 a-hidroksilase melalui mekanisme penghambatan balik, sehingga menurunkan laju reaksi perubahan kolesterol menjadi 7 $-hidroksikolesterol (reaksi 10 terhambat). Reaksi pembentukan ester kolesterol dengan asiltransferase akan berjalan ke kiri sehingga lebih banyak kolesterol yang terbentuk (reaksi 8 be jalan ke kiri). Biosintesis reseptor lipoprotein tidak mengalami penekanan lagi sehingga pemasukan lipoprotein dari luar sel akan naik karena jumlah reseptor dalam membran sel juga naik (reaksi 6 dan 7 dirangsang ).

Komponen Serat

Menumt Linder (1985) serat adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh manusia) sehingga tidak di- golongkan sebagai sumber zat makanan. Yang termasuk dalam kategori serat adalah selulosa, hemiselulosa, pektin dan lignin. Lignin termasuk serat tetapi bukan karbohidrat. Penggunaan kata serat sebenarnya pemberian nama yang kurang tepat, karena materi tersebut bukanlah berserat, tidak panjang bempa benang, dan ternyata ada yang larut. Demikian halnya penggunaan istilah pencernaan memerlukan definisi lebih lanjut, karena kenyataannya bakteri dan flora saluran pencernaan dapat merombak serat tersebut, terutama-dalam kolon, walaupun dalam jumlah yang terbatas.

Serat merupakan salah satu komponen penyusun dinding sel tumbuhan Ditinjau dari segi nutrisi, serat sulit dicerna oleh enzim pencernaan ternak (Van

(169)

bahan organik yang tidak larut dalam NaOH 1.25 % dan H2S04 1.25 %. Banyak penelitian yang telah mengungkapkan bahwa serat hanya dapat dimanfaatkan oleh tubuh melalui proses fennentasi gastrointestinal. Proses tersebut pada ternak monogastrik sangat terbatas, sehingga pakan yang mengandung serat tinggi umumnya sukar dimanfaatkan.

Penentuan serat kasar (crudefiber) dengan metode AOAC (1975) sebelumnya sering digunakan, namun kelemahan metode tersebut adalah banyak komponen serat yang terlewatkan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, Van Soest dan Wine (1967) merintis suatu sistem analisis yang lebih relevan untuk menilai kualitas bahan makanan yang berasal dari hijam. Dalam sistem tersebut hijauan dibagi atas beberapa fraksi berdasarkan kelarutmnya dalam deterjen. Secara garis besar hijauan dibagi menjadi isi dan dinding sel. Isi sel terbagi menjadi fraksi protein, karbohidrat, mineral dan lemak. Dinding sel terdiri atas tiga komponen utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Seluiosa merupakan komponen yang paling banyak (50

-

80%) dalam dinding sel tanaman. Hemiselulosa menempati lo%, sedangkan lignin antara 10

-

50%. Ketiga komponen serat tersebut dapat ditentukan dengan analisis neutral detergent fiber (NDF). Sedangkan untuk menentukan selulosa dan lignin digunakan analisis acid detergetitfiber (ADF). Selisih antara nilai NDF atau serat deterjen netral (SDN) dan ADF atau serat deterjen asam (SDA) adalah kandungan hemiselulosa dari bahan tersebut (Gambar 3). Selain bahan organik, dinding sel juga mengandung silika (SiOz) .
(170)

Bahan Makanan Nabati

'I

Deterjen Netral

Serat Deterjen Netral

Det 'en asarn

'i"

[~ignoselulosa (tidak larutl)

(

Deterjen asam

1

Selulosa (larut)

i

Lignin (tidak larut)

(1-

[image:170.588.103.496.58.673.2]

Pengabuan

)

(171)

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kandungan serat tanaman antara lain: spesies tanaman, tingkat kematangan (kedewasaan), bagian dari tanaman dan periakuan yang diperoleh dari tanaman tersebut. Pada dinding sel tanaman tingkat tinggi, selulosa mentpakan komponen utama, pada alga silan dan mannan menjadi kerangka poli- sakarida utama, sedangkan pada fungi (jamur) banyak mengandung kitin.

Komponen serat makanan terdiri atas dinding sel struktural dan substansi nonstruktural. Bagian yang struktural mengandung poli-sakarida dan komponen polimer nonkarbohidrat. Polisakarida tersebut meliputi selulosa, hemiselulosa dan substansi pektin, sedangkan yang nonkarbohidrat adalah lignin. Komponen nonstruktural meliputi: pektin, gum, musilase dan polisakarida yang termodifikasi. Komponen-komponen di atas sangat dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan tanaman, variasi individu dan metode analisis yang digunakan. Penentuan serat dengan metode NDF mendapatkan hail yang akurasinya 2 sampai 4 kali lebih baik dibandingkan dengan metode analisis serat kasar. Itulah sebabnya metode analisis serat kasar model lama telah ditinggalkan.

(172)

Sekarn Padi sebagai Surnber Serat

.

Sekam padi merupakan salah satu limbah pertanian yang sangat melimpah di Indonesia dan pemanfaatannya masih sangat terbatas. Pada proses penggilingan padi akan dihasilkan sekitar 17% sekam padi (Devendra, 198 1). Selama ini sekam padi banyak digunakan sebagai litter peternakan ayam pedaging, atau untuk bahan bakar pada usaha batu bata. Walaupun dianggap tidak penting dari sudut pakan ternak, sekam padi sebenarnya masih mempunyai potensi yang belum diungkap.

Berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui sekam padi mengandung: bahan kering 86%, serat kasar 43.3%, bahan ekstrak bebas nitrogen 31.7%, abu 19.7%, protein kasar 3.8%, ekstrak eter 1.5%, fosfor 0.15% dan kalsium 0.10% (Hartadi, Reksohadiprodjo dan Tillman, 1990). Lubis (1992) melaporkan sekarn padi mengandung : bahan kering 87.5%, serat kasar 35%, bahan ekstrak bebas nitrogen 29.2%, abu 17.5%, protein 3.1% dan lemak 2.7%. Kecernaan secara keseluruhan sangat rendah bahkan kadar protein yang dapat dicerna hanya 0.3%. Sementara menurut Jackson (1977), sekam padi (paddy hull) mengandung bahan kering 86% serta dinding sel tanaman yang terdiri atas: selulosa 39%, hemiselulosa 14%, dan lignin 11%.

(173)

Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan nilai cerna sekam padi, misalnya dengan meningkatkan kandungan protein melalui amoniasi, delignifikasi dan desilifikasi. Amoniasi sekam padi sebanyak 6% dalarn ransum penggemukan telah mampu meningkatkan persentase karkas sapi. Di Malaysia sekam padi telah dicoba untuk makanan domba pada ransum dasar molases yang iso-nitrogen. Sekam padi yang ditambahkan berturut-turut: 5, 10, 15, 20, 25 dan 30%. Dilaporkan bahwa koefisien cerna dan retensi nitrogen terbaik terjadi pada penarnbahan sekam padi 5% (Tabel 1). Konsumsi digestible energy (DE) harian dari enam taraf perlakuan yang diberikan berturut-turut: 1.428, 0.993, 1.105, 0.942,0.83 1 and 0.696 Mkal.

Tabel 1. Kecernaan Komponen Utama Ransum Domba yang Diberi Beberapa Taraf Sekam Padi (Devendra , 198 1)

Taraf sekam padi (96) Komponen utama

ransum

5 10 15 20 25 30

Bahan kering

Bahan organik

Protein kasar

Serat kasar

Ekstrak eter

Abu

Bahan ekstrak bebas N

Energi

[image:173.591.99.521.44.741.2]
(174)

Kecernaan abu menurun secara nyata disebabkan oleh kandungan silika dalam sekam padi yang sangat sulit dicerna. Rendahnya kecernaan komponen di atas memberi gambaran bahwa sebagian besar sekam padi akan dieskresikan dalam feses. Dari data di atas dapat disimpulkan, penggunaan sekam padi yang terbaik adalah pada taraf 5%. Temuan ini didukung oleh hasil penelitian Tillman et al. (1986) yang membandingkan pemberian sekam padi 5 dan 20% pada anak sapi. Kecernaan energi dan persentase karkas yang terbaik diperoleh pada taraf 5%. Penggunaan sekam padi untuk ternak ruminansia lebih memungkinkan dengan adanya mikroba dalam rumen. Kecernaannya jauh lebih baik jika sekam padi tersebut digiling. Penggunaan sekam padi akan lebih bermanfaat pada ransum padat energi.

Toleransi Ternak Babi terhadap Serat

Ternak babi tidak mempunyai tempat khusus dalam saluran pencernmnnya untuk aktivitas mikroorganisme atau proses ferrnentasi yang intensif seperti pada ternak rurninansia. Kapasitas larnbungnya sangat kecil dibandingkan ternak ruminansia ataupun kuda. Oleh karena itu, kemampuan untuk mencerna serat sangat rendah, demikian juga kecernaan zat-zat makanan lainnya akan menurun bila kandungan serat kasar dalam ransum meningkat.

Pada tabel kebutuhan zat-zat makanan yang direkomendasikan oleh NRC (1 988) tidak tercantum kandungan serat yang disyaratkan untuk babi. Demikian juga hasil penelitian yang dilaporkan para peneliti sangat beragam dalam ha1 kandungan serat optimum dalam ransum. Penelitian di Stasiun Wisconsin, Amerika yang disitir oleh Cunha (1977) dianjurkan kandungan serat 6 sampai 8% untuk babi yang sedang tumbuh dan 10 sampai 12% untuk babi induk. Pertumbuhan babi lebih bagus jika sumber serat tersebut digiling sebelum dicampurkan dalam ransum.

(175)

tersebut bertujuan untuk mengurangi deposit lemak, dengan demikian porsi lemak pada karkas menurun. Pemberian serat dengan taraf yang lebih tinggi pada akhir periode penggemukan merupakan salah satu cara untuk pembatasan makanan, yang berarti juga menghasilkan karkas dengan daging yang lebih baik dan sedikit lemak. Masih menurut laporan Cunha (1977) jika jelai (barley) dalam ransum babi diganti sebanyak 25% dengan dedak gandum ternyata menghasilkan karkas berkualitas prima tanpa menekan pertumbuhan maupun konsumsi ransum. Kandungan serat pada dedak jelai lebih dari 20%. Penurunan kandungan lemak tubuh babi induk akibat pemberian serat yang lebih tinggi dilaporkan juga memperbaiki reproduksi.

Secara umum pemberian serat yang tinggi akan menurunkan kecentaan ransum. Bergner et a!. (1985) melaporkan, kandungan serat 12.1% dari bahan kering ransum menurunkan kecernaan semua asam-asam aminonya. Demikian juga yang dilaporkan oleh Hartog et a1.(1985) pada babi yang beratnya 40 kg diberi ransum dengan kadar serat 9.2%, kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum lebih rendah dibandingkan babi yang mendapat serat 5.2%. Oleh karena itulah Campbell (1987) menganjurkan agar kandungan serat dalam ransum jangan lebih dari 5% untuk babi yang bobot badannya 20

-

50 kg .

Jika energi metabolis yang dikonsumsi mencukupi kebutuhan tubuh, penggunaan serat yang sumbernya adalah dedak padi giling, dedak gandum, dan kulit biji kapas tidak menurunkan laju pertumbuhan babi (Cdvert, 1991). Memperkecil partikel serat tersebut akan meinbantu meningkatkan kecernaannya. Penggunaan serat tidak lebih dari 5% masih dapat dianjurkan dan tidak ber- pengaruh buruk terhadap kinerja babi. Taraf serat lebih besar pengaruhnya dibandingkan sumbernya sendiri. Serat yang tinggi akan menyebabkan rate of pas.~age meningkat Kandungan serat 22

-

30% mempercepat waktu transit
(176)

Hal yang belum banyak diketahui adalah bagaimana serat itu sebenarnya mampu dicerna (walaupun tidak semua) dalam sekum dan usus besar babi dengan bantuan fermentasi mikroorganisme. Usus besar volumenya antara 35

-

45% dari seluruh volume saluran pencemaan. Pada usus besar terdapat mikroba yang melakukan aktivitas fermentasi. Hasil fermentasi tersebut adalah asam-asam lemak yang mudah menguap. Asam-- lemak tersebut memberikan kontribusi antara 5

-

28% kebutuhan ME ternak babi (Farre1 dan Johnson, 1972).

Kemampuan babi mencerna serat sangat ditentukan oleh sumber serat, taraf serat dalam ransum, taraf zat nutrisi lain, umur dan berat ternak, karakter komponen zat nutrisi

di

luar serat dalam ransum. Selain itu komposisi serat sendiri juga berpengaruh pada kecernaan. Bahan ransum yang proporsi lignin dalam seratnya tinggi lebih sulit dicerna (Zhao et af. 1995).

Walaupun babi tidak mampu mencema serat seperti rurninansia, namun penggunaan serat dalam bentuk hijauan segar banyak memberi manfaat. Hijauan yang baik dan segar mengandung protein, vitamin dan meneral yang cukup. Hijauan mengandung faktor-faktor reproduksi (belum teridentifikasi) yang penting untuk memperbaiki fertilitas induk dan daya hidup anak babi yang lahir (Parakkasi, 1983). Di samping itu penggunaan serat dapat menekan harga ransum. Jurnlah hijauan yang dapat diberikan pada babi ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Hijauan yang Dapat Diberikan pada Berbagai Golongan Ternak Babi (Parakkasi, 1983).

Golongan ternak -Jumlah pemberian (% dari konsentrat)

Sedang tumbuh dan digemukkan Sedang menyusui

(177)

Kalau serat itu sumbernya adalah hijauan segar sebenarnya dapat digunakan untuk semua golongan ternak babi, baik yang sedang tumbuh atau digemukkan, bunting, maupun yang menyusui. Tetapi yang paling banyak dapat menggunakan hijauan adalah babi yang sedang bunting. Pemberian hijauan segar yang berlebihan akan berdampak kurang baik karena sifatnya yang kamba akan rnembatasi konsumsi konsentrat. Kadar airnya yang tinggi a h mengurangi bahan kering yang terkonsumsi, ternak babi sudah merasa kenyang, namun sebenarnya zat-zat makanan yang diperlukan belum cukup.

Pengaruh Serat pada Kecernaan Zat Makanan

Men@tung kecernaan zat-zat makanan dari ransum yiing mengandung serat sebenarnya sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh beragamnya sumber dan sistem analisa serat itu sendiri. Kecernaan karbohidrat secara umum menurun dengan meningkatnya kandungan serat dalarn ransum, namun akan meningkat sejalan dengan meningkatnya umur babi (Low, 1985). Pengaruh serat pada kecernaan zat-zat makanan diperlihatkan pada Tabel 3.

Zebrowska dan Low (1987) telah meneliti pengaruh serat dalam ransum babi pada sekresi pankreas. Penelitiannya menggunakan empat taraf serat masing-masing 2.05, 3.90, 4.08 dan 6.37%. Serat yang digunakan bersumber dari dedak gandum dan selulosa. Dilaporkan, volume sekresi cairan pankreas meningkat secara nyata selama 24 jam pengamatan dengan meningkatnya taraf serat dalam ransum. Babi yang diberi ransum dengan serat 2.05%, volume sekresi cairan pankreasnya 2556 mV24 jam, sedangkan yang diberi ransum dengan kandungan serat 6.37% adalah 4560

-

(178)

Tabel 3. Pengaruh Serat pada Kecernaan Zat-zat Makanan (Low 1985)

-

-Serat kasar ( g k g ransum)

Zat makanan Berat babi

50 100 1 70

Nitrogen

225 0.85 0.80 0.72

20 0.62 0.53 0.55

Lemak 90 0.64 0.61 0.65

225 0.65 0.61 0.63

20 0.42 0.30 0.25

Serat 90 0.49 0.44 0.32

225 0.39 0.47 0.45

20 0.81 0.70 0.56

Energi bruto 90 0.83 0.75 0.61

Bergner at a1.(1985) meneliti penambahan serat pada ransum babi jantan yang bobot badannya antara 55

-

56 kg dengan taraf berturut-turut 3.0, 5.3, 10.0 dan

12.1 %. Dilaporkan, te jadi penurunan kecernaan protein dan asam-asam amino dengan meningkatnya kandungan serat. Kecernaan lisin 9 1.1% pada serat 3%, turun menjadi 7 1.4% pada kandungan serat 12.1 %. Meningkatnya Candungan serat dalam ransum akan merangsang sekresi asam-asam empedu dan ini akan berkaitan dengan kecernaan lemak. Kandungan asam empedu dalam feses dapat dijadikan indikator mengenai laju sekresi asam tersebut. Pada tikus yang diberi getah guar (gilar gum),

[image:178.588.89.521.81.742.2]
(179)

yang diberi selulosa, dedak gandum dan serat gula bit (Overton et al., 1994). Gerak laju digesta (isi saluran pencernaan) babi yang diberi ransum berserat tinggi Iebih cepat dibanclingkan dengan serat rendah (Hartog et a]., 1985). Laju gerak digesta tersebut meningkat karena serat dalam saluran pencernaan menyerap air sehingga konsistensi

feses

menjadi lembek. Karena geraknya cepat, maka kesempatan untuk dicerna dalam saluran pencernaan Iebih singkat, dan akibatnya kecemaan zat nutrisi yang terkandung juga lebih rendah. Koefisien kecernaan zat-zat makanan babi yang diberi serat ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Koefisien Kecernaan Zat-zat Makanan Babi yang Diberi Ransum Berserat (Hartog et al. 1 985)

Ileum Feses

Zat

-

zat makanan Kadar serat (% )

Bahan kering 67.4" 58.6b 83.7" 74. 7b

Bahan organik 70.7' 62.

ob

85.9" 76.5b

Protein kasar 72.9" 68.3b 85.9" 78. 5b

Lemak kasar 61.6" 58.8b 60.4" 49.6b

Serat kasar 10.5" 5.26b 41.6" 28.2b

[image:179.584.88.521.37.719.2]
(180)

Penambahan serat menumnkan konsentrasi digestible energy (DE) dan

metabolism energy (ME) dalarn ransum. Jika kandungan serat dalam ransum babi melebihi 10 atau 1 5%, kemungkinan akan menurunkan konsumsi akibat ransum menjadi lebih h i @ , atau citarasa ransum juga menurun. Kecernaan lemak menumn antara 1.3 sampai 1.5% setiap penambahan serat 1% dalam ransum. Kenaikan serat

1 % , menyebabkan penurunan kecernm energi 3.5%.

Peningkatan kandungan serat dalam ransum secara linier menurunkan kemampuan usus halus mencerna bahan kering, nitrogen (N), serat diterjen netra (SDN) dan abu (Schulsze, 1994). Rendahnya kecernaan N, diperkuat dengan tingginya total pengeluaran N dan N endogen. Tingginya N endogenus akibat tingginya N yang diekskresikan ke usus dan rendahnya penyerapan kembali. Ditemukan hanya 20% dari SDN yang dikonsumsi tercerna pada usus halus.

Sistem kanula telah digunakan oleh Graham et a/. (1985) untuk meneliti kecernaan zat makanan pada babi yang diberi tiga jenis serat. Tiga jenis serat yang digunakan adalah: dedak ' gandum, polong kacang hijau dan arnpas gula bit. Ketiga jenis serat tersebut masing-masing digunakan 33,3% dari ransum basal. Dedak gandum dan arnpas gula bit sangat kecil pengaruhnya pada kecernaan protein kasar dan lemak kasar. Polong kacang hijau justru meningkatkan kecernaan protein kasar. Hal ini menguatkan dugagn mereka bahwa polong kacang hijau masih mengandung protein yang dapat dimanfaatkan oleh babi. Arnpas gula bit menurunkan kecernaan lemak pada usus halus. Pada dedak gandum dan ampas gula bit, kecernaan pati terlarut sekitar 95%. Rendahnya kecernaan pati terlarut pada babi yang mendapat polong kacang hijau karena memang kesediaan zat tersebut rendah.

(181)

antara 10'

-

l og/gram isi sekum. Jika babi diberikan makanan berserat tinggi, maka jenis mikroorganisme yang dominan hampir sama dengan yang terdapat dalam rumen antara lain Bacteroides succirmgenes dan Ruminococczis flavefaciefis (Varel et al. 1987). Komposisi rata-rata asam lemak atsiri dalam sekum babi terdiri atas asam asetat 62%,

propionat 28% dan butirat 10%.

Pengaruh Serat pada Kinerja Babi

Kalau dilihat dalam tabel komposisi zat-zat makanan, hampir sebagian besar bahan ransum ternak babi mengandung selulosa, hanya saja persentasenya bervariasi. Demikian juga toleransi tern* babi terhadap kandungan serat ransum sangat terbatas maka ha1 tersebut akan berpenganth pada performance (kinerja) babi tersebut. Jin et al. (1994) telah membandingkan kdompok babi yang diberi ransum tanpa serat (OYo)

dengan kelompok babi yang dl'beri ransum berserat tinggi (10%). Rataan berat awal babi yang digunakan adalah 14.3 kg. Penelitian dilakukan selama 14 hari dan hasilnya seperti tercantum pada Tabel 5.

Selain data yang disajikan pada Tabel 5 juga diamati panjang dan lebar villi- villi usus halus. Villi-villi usus halus mempunyai cabang-cabang lagi yang disebut mikrovilli atau brush-border memegang peranan penting dalarn proses penyerapan zat makanan (Sihombing, 1997). Dilaporkan oleh Jin et al. (1994) bahwa perlakuan serat tidak berpengaruh nyata pada panjang villi-villi usus halus, namun kandungan serat yang tinggi mengakibatkan pelebaran villi-villi usus halus. Kemudian disimpul- kan bahwa ransum dengan serat tinggi pada babi yang sedang tumbuh mengakibatkan perubahan morfologi dan laju pergantian sel-sel mukosa. Pada tikus peningkatan kandungan serat dalam ransum juga menurunkan kecernaan protein, bahan kering dan energi ransum yang selanjutnya akan menurunkan pertambahan berat badan harian dari - 3 72 gram rnenjadi 3 14 gram (Zhao el nl., 1995). Tikus yang diberi empat macam

(182)

Tabel 5. Pengaruh Serat Makanan pada Kinerja Babi yang Sedang Tumbuh (Jin el al., 1994).

Peubah Tanpa serat Serat tinggi SEM

- - - - - -- ---

Berat awal, kg 14.30 14.20 1.22

Berat akhir, kg 24.70 22.70 2.00

Rataan Pbb./hari, kg 0.74 0.61 0.04

Konsumsi ransudhari, kg 1.35 1.13 0.12

Pbbkonsumsi ransurnlhari 0.55 0.54 0.03

Bobot tubuh tanpa jeroan, kg 18.10 16.40 1.50

Total berat jeroan, kg 6.70 6.30 0.60

Pbb = pertambahan bobot badan

Rumput Laut Sabagai Salah Satu Sumber Zat Hypokolesterolemik.

Rumput laut merupakan istilah yang diterjemahkan dari kata seaweed padahal

rumput laut sebenarnya adalah alga laut berzthik dan sama sekali tidak tepat kalau digolongkan grcrmirlae (rumput-rumputan). Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah dengan struktur botani yang tidak jeias antara akar, batang dan daun Sepintas memang kelihatan ada akar ataupun batang, namun semua itu sebenarnya talus. Sekarang rumput laut dikaji dalam satu kelompok ilmu tersendiri yakni Algology atau Phycology yaitu ilmu yang mempelajari hal-hal-yang berhubungan dengan alga.

(183)

dipersembah-kan kepada kaisar. Di Jepang kegemaran mengkonsumsi rumput laut sudah diketahui sejak dulu. Mereka menyebutnya hijiki, nori, wakane, ararne, tezrgusa, h b u dan lain sebagainya. Konon makanan tersebut menyebabkan mereka awet muda (Winarno, 1990).

Indonesia dengan perairan 70 persen dari luas wilayah merupakan potensi yang luar biasa untuk usaha budidaya rumput laut. Penduduk di sekitar pantai telah lama memanfaatkan rumput laut sebagai makanan tambahan, baik dalam bentuk mentah (lalapan) maupun yang sudah dimasak. Kebiasaan ini diduga menyebabkan rendahnya kadar kolesterol mereka. Rumput laut telah menjadi komoditas ekspor yang potensial. Belakangan ini banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan makanan. Beberapa jenis rumput laut telah digunakan sejak dulu sebagai makanan ternak domba, kambing dan lembu di Irlandia dan Scotlandia.

Hasil analisis proksimat yang dilakukan oleh Pond dan Maner yang dikutip oleh Sutji (1985), rumput laut mengandung ME 1614 kkal/kg, protein kasar 13.86%, serat kasar 5.61%, ekstrak ester 0.28%, bahan ekstrak bebas N 38.52%, kalsium 1.96% dan fosfor 0.36%. Hasil analisis di Laboratorium Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar, rumput laut Gracilaria spp rnengandung agar 42% (dikerjakan menurut prosedur Winarno, 1990). Dihubungkan dengan sifat hipokolesterolernik ada beberapa komponen yang dikandung oleh rumput laut di antaranya:

(184)
[image:184.589.100.506.50.769.2]

Gambar 4. StruLtur Asam Alginat (Aslan, 1995)

Agar-agar. Agar-agar merupakan ester

dari

gahktm

liniet

yang banyak digunakan sebagai stabilisator dab pembuatan makanan Agar-agar termasuk dalarn komponen karbohidrat, struktur k h b y a dituyukkan pa& Gainbar 5. Rumput Iaut dari spesies Gracilaria yang tumbuh di Indonesia mengandung agar berkisar antara 16 hingga 45%.

As-

Garnbar 5. Struktur Agar-agar (Aslan, 1995)

(185)

~ a r n b h 6. Struktur Karagenan (Aslan, 1995)

Aliginat, agar dan karagenan sebenarnya tidak lain adalah polisakarida mudah larut yang telah banyak digunakan sebagai bahan perekat pakan ikan. Menurut Heslet (1996) mekanisme kerja serat yang larut tersebut dalarn penurunan kadar kolesterol diterangkan sebagai berikut. Serat larut tersebut dalam usus halus mengikat asam empedu kemudian membawa keluar bersama feses, dengan demikian hati harus memproduksi asam empedu yang lebih banyak untuk mengganti asam empedu yang hilang. Asam empedu diproduksi dari kolesterol, dengan adanya serat maka akan semakin banyak kolesterol yang hilang bersama asam empedu. Hilangnya kolesterol melalui asam empedu merupakan faktor yang sangat menentukan pada akumulasi kolesterol dalam hati (Lakshmanan dan Veech, 1977).

(186)

78 mg/100 ml, sedangkan yang diberi 7% agar adalah 72 mg/100ml. Demikian juga yang dilaporkan Kelley dan Tsai (1978) pada tikus yang ditambahkan agar 5% dalam ransumnya, kandungan kdesterol dalam serumnya menurun. Serum tikus yang berperan sebagai kontrd mengandung kolesterol 1 10 mg/dl, sedangkan yang diberi perlakuan agar 5% kdesterd serumnya 108 mg/dl. Dijelaskan bahwa karbohidrat

-

komplek kperti pektin

dsn

agar menghambat penyerapan kolesterol karena kemampuannya mengikat

kdesterol

ddam saluran pencemaan. Melihat struktur kimia agar di atas maka kemungkinan terjadi ikatan kovalen antara gugus glikosidis yang aktif dari agar tersebut dengan gugus hidroksil aktif kolesterol membentuk ikatan P(1-3). Reaksinya adalah reaksi estedikasi seperti reaksi antara kolesterol dengan asam lemak (Gambar 7). Mekanisme lain yang mungkin adalah mekanisme yang menyerupai mekanisme pada pektin seperti yang dilaporkan oleh Nagyvary dalam Inglett dan Falkehag (1 952). Dijelaskan bahwa polisakarida terlarut seperti alginat dan pektin memiliki kernampuan untuk mengikat berbagai anion termasuk asam lemak atau asam empedu, melalui pembentukan kompleks dengan kation trivalen aluminium. Misel bemuatan negatif &&at melalui jembatan aluminium terhadap molekul pektat atau agar (Gambar 8).
(187)

Gambar 8. Struktur Pengikatan Asam Empedu dan Pektin atau Agar (Nagyvaqr dalam Inglett dan Falkehag, 1952)

Ventura et al. (1 994) meneliti rumput laut (Ulva rigida) pada ransum ayam dengan taraf 0, 10, 20 dan 3Ph. Dilaporkan bahwa pengaruh rumput laut lebih jelek dari ransum kontrol. Hasil yang h a n g baik tersebut dilihat dari konsurnsi ransum, pertambahan berat badan per hari dan efisiensi. Ayam yang menerima rarwm kontrol mengkonsumsi ransum 272 gram, sedangkan ayam yang meneiima perlakuan nunput laut konsumsinya berturut-turut 268,261 dan 258 gram. Pertambahan bobot badannya masing-masing 102,90,85 dan 77 gram per hari .

Pengaruh Serat pada Lemak dan Kolesterol Tubuh

[image:187.597.62.520.66.760.2]
(188)

b u l b (kamba) sangat efektif dalam mengurangi karsinogenesis pada hewan dan juga paling efektif dalam mengencerkan empedu dan derivatnya, sehingga penyerapan

lemak berkurang.

Bagiada (1986), meneliti pengaruh substitusi ransum tradisional dengan rumput laut 7% pada kadar kolesterol serum dan daging babi Bali. Dilaporkan, kelompok babi yang mendapat substitusi rumput laut, rataan kadar kolesterol serumnya adalah 96.15 mg/100 ml, sedangkan babi yang tidak mendapat perlakuan rumput laut 103 mgf100 ml. Walaupun kadar kolesterol pada kelompok yang diberi rumput laut lebih rendah, namun perbedaan tersebut secara statistik tidak nyata ( P O . 05). Kadar kolesterol dalam daging pada kelompok kontrol 60.90 mg%, sedangkan kelompok babi yang diberi rumput laut kadar kolesterolnya 56.08 mg%. Rendahnya kadar kolesterol serum dan daging pada kelompok yang diberi substitusi rumput laut, diduga karena rumput laut yang mengandung

asam

amino triptopan dan serat cukup tinggi itu mampu mengaktifkan bakteri pada usus bagian bawah yang dapat mengubah kolesterol menjadi koprostanol. Selanjutnya koprostanol dikeluarkan bersama feses. Dengan demikian kolesterol yang terserap lewat sistem enterohepatik akan berkurang dan hiperkolesterolemi dapat dikurangi.
(189)

Menurut Hallgren (1 98 1) pengaruh fisiologi pemberian serat adalah: meningkatkan berat dan volume feses, menurunkan transit time, mengikat asam empedu, menurunkan kolesterol darah dan penyerapan mineral.

Penelitian pada manusia juga menunjukkan terjadinya penurunan kolesterol plasma akibat pengaruh serat makman. Hunninghake et al. (1 994) telah melakukan penelitian pada sejumlah pasiennya. Pasien-pasien yang menderita hiper- kolesterolemia setelah di'beri serat sebanyak 20 gram/hari ternyata total kolesterol, LDL, serta rasio LDL

-

HDL plasmanya mengalami penurunan masing-masing 6, 8 dan 9%. Mereka menyimpulkan bahwa kandungan serat dalarn makanan merupakan terapi konvensional bagi penderita hiperkolesterolemia. Demikian juga yang dilaporkan oleh Langkdde et al. (1993) bahwa penambahan serat yang bersumber dari ampas gula bit sebanyak 32 ghari pada menu pasiennya telah meningkatkan ekskresi kolesterol sampai 52% dibandingkan menu basal. Akibatnya kolesterol dalam serum menurun.

Penelitian mengenai pengaruh pektin yang berasal dari labu siam dalam menurunkan kolesterol serum tikus telah dilakukan oleh Sajuthi et al. (1995). Dilaporkan bahwa pemberian pektii 5% pada ransum tikus secara nyata menurunkan kandungan kolesterol plasma. Kadar kolesterol plasma tikus kontrol adalah 71.76

+

4.09 mg/100 ml, sedangkan yang diberi pektin 63.37

+

2.49 mg/100 rnl. Pektin dalam saluran pencemaan membentuk gel yang dapat mengikat senyawa-senyawa organik, anion-anion termasuk asarn lemak dan empedu, sehingga penyerapannya menurun. Mekanisme ini diduga menyebabkan menurunnya kolesterol dalam plasma.
(190)

pembentukan kolesterol yang pada gdirannya diekskresikan lewat getah empedu ke dalam usus, sementara penyerapan kolesterol dalam usus dapat dihambat dengan pengikatan sebagian getah empedu, maka penyerapan kembali kolesterol di dalam usus akan berkurang sehingga kadarnya dalam darah dapat menurun.

Berdasarkan kenyataan ini, beberapa pabrik obat terkenal telah membuat kolestipol dan kolestiramin. Kerja

obat

ini

mengdcat kolesterol di dalam usus sehingga terbentuk senyawa komplek yang tidak bisa diserap usus dan akan dikeluarkan bersama-sama feses. Keja serat kasar dalam menghalangi penyerapan lemak semakin jelas lagi pada jenis serat yang larut (soluble dietaryfiber). Serat ini mempunyai sifat yang kental seperti pada agar-agar yang dihasilkan oleh rumput laut.

Serat kasar dari dimding sel tanaman dalam usus akan menyerap banyak air. Serat kasar yang banyak mengandung air ini akan mengikat asam empedu yang sangat diperlukan dalam penyerapan lemak dalam usus. Selain itu propionat sebagai hasil fermentasi serat dalam usus besar mempunyai kemampuan untuk menghambat sintesis kolesterol dalam hati dengan jalan menekan aktivitas enzim 3-hydrohi 3-metil glutaril

CoA reduktase (Harianto, 1996). Enzim tersebut sangat penting dalam sintesis kolesterol dalam hati. Jadi serat makanan yang mudah larut akan mengikat bukan saja kolesterol yang berasal dari makanan, tetapi juga kolesterol hasil produksi tubuh yang masuk ke dalam usus lewat getah empedu.

(191)

Penelitian pada ayam broiler yang diberi ransum kaya serat jelai menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol dalam plasma, namun perbandingan antara HDL dan total kolesterol meningkat. Efek hipokolesterolemik tersebut erat hubungannya dengan kandungan senyawa P-glukan dalam ransum (Sundberg et al., 1995). Senyawa

P-

glukan

-

tersebut merupakan komponen utama dalarn dinding sel jelai.

Peubah Spesifik Kualitas Daging

Warna daging. Warna daging dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya ransum, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, aktivitas otot, pH dan oksigen. Faktor- faktor tersebut secara langsung dapat mempengaruhi konsentrasi rnioglobin, yakni pigmen penentu utama warna daging. Pigmen lain adalah hemoglobin. Mioglobin adalah protein dalam sarkoplasmik yang terbentuk dari suatu rantai polipeptida tunggal yang terikat di sekelilig suatu grup heme yang membawa oksigen. Grup heme tersusun dari satu atom Fe dan satu cincin porfirin.

(192)

Daya ikat air. Daya ikat air atau water holdng mpci@ ((WHC) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Ada tiga jenis air yang terikat dalam daging yaitu air yang terikat sangat kuat secara kirniawi oleh gugus reaktif protein otot yang bermuatan

-

listrik besarnya kira-kira 4-5%. Air yang terikat agak lemah terhadap gugus hidrofilik atau disebut air dalam keadaan tidak bergerak (immobil) sebesar kira-kira 5%. Air ini keadaannya sangat dipengaruhi oleh besarnya tekanan atau perlakuan dari luar terhadap daging tersebut. Air yang ketiga adalah air bebas yang berada di antara molekul protein, jumlahnya kira-kira 10%. Lapisan air yang pertama dan kedua bebas dari perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan air yang ketiga akan menurun jika protein daging mengalami denaturasi (Wismer dan Pederson dalarn Soeparno 1992).

Sifat fisik daging seperti warna, tekstur, ketegaran, sari minyak dan keempukan daging sebagian besar dipengaruhi oleh daya ikat air. Sepertiga dari daya ikat air dipengaruhi oleh pH. Daya ikat air menurun dari pH 7 sampai pada pH isoelektrik (5

-

5.1) protein daging. Pada pH isoelektrik protein daging dalam keadaan netral karena jumlah muatan positif dan negatif sama. Pada pH yang lebih tinggi sejumlah muatan

positif dibebaskan dan terdapat kelebihan muatan negatif yang akan mengikat air.

Keadaan rigor mortis setelah hewan dipotong dapat juga menurunkan daya ikat air. Sumber energi dalam otot untuk mencegah pertautan antara aktin dan miosin adalah ATP yang berikatan dengan ~ g disebut Mg-ATP komplek. Pada saat hewan ~ '

-

(193)

Sebaliknya enzim proteolitik seperti katepsin dapat memperbaiki daya ikat air. Enzim tersebut akan merusak struktur membran otot sehingga terjadi diisi ion ke dalam protein daging. Beberapa ion divalen (Mg2+ d m ca2+ ) diganti dengan kation monovalen pada rantai protein. Jadi dengan demikian setiap penggantian satu kation divalen dengan satu ion monovalen akan ada satu gugus reaktif yang bebas, gugus reaktif ini selanjutnya akan mengikat air. Daging babi mempunyai daya ikat air yang lebih besar dibandingkan daging sapi. Di samping itu pada babi umur tidak mempu- nyai pengaruh yang berarti pada daya ikat air, tetapi pada sapi cukup berarti.

pH daging. Perubahan pH daging erat kaitannya dengan persediaan ghkogen otot pada saat pemotongan. Dalam keadaan anaerob glikolisis oleh enzim-enzim glikolitik akan menghasilkan asam laktat. Penirnbunan asam laktat akan berhenti kalau cadangan glikogen sudah habis, dalam keadaan demikian pH akan mengalami penurunan dan aktivitas enzim-enzim glikolitik akan terhenti. Daging dengan kondisi di atas disebut pada pH ultimat. Jadi pH ultimat adalah pH yang tercapai setelah glikogen otot habis atau glikogen daging tidak sensitif lagi dengan serangan enzim- enzim glikolitik (Lawrie, 1979). Kondisi ini biasanya tercapai 24 jam setelah pemotongan dan pH ultimat normal daging antara 5.4

-

5.5.
(194)

Penurunan pH yang cepat akan menyebabkan wama daging menjadi pucat, daya ikat protein daging terhadap cairannya akan rendah, dan permukaan daging

menjadi basah karena adanya diip yaitu air yang keluar ke permukaan daging.

Berbeda dengan pH ultimat yang tinggi, daging kelihatan berwarna gelap dan

permukaan daging terkesan sangat kering karena cairan daging diikat oleh protein

-

daging dengan erat (Forrest et a1.,1975).

Kualitas ransum juga dapat mempengaruhi pH daging. Misalnya pH loin

domba 5 jam setelah pernotongan Iebih tinggi pada yang mengkonsumsi konsentrat tinggi dibandingkan yang mengkonsumsi konsentrat rendah, dan tetap lebih tinggi

sampai 48 jam postmortem

.

Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa proses glikolisis te jadi lebih lambat pada konsumsi konsentrat rendah, meskipun pH ultimat hampir

tidak berbeda. Ransum yang mengandung konsentrat rendah dan berserat tinggi

menghasilkan daging yang kurang berlemak dibandigkan dengan yang mengkonsumsi

ransum konsentrat tinggi berserat rendah. Biasanya kenaikan pH daging akan meningkatkan jus dan daya ikat air, serta menurunkan susut masak daging.

Susut masak Susut

masak

(cookmg loss) adalah kehilangan berat selama daging mengalami proses pemasakan. Susut masak dapat diketahui dengan

perhitungan:

berat sebelum dimasak

-

berat setelah dimasak

Susut masak (%) = X 100

berat sebelum dimasak

Nilai susut masak sangat dipengaruhi oleh tingginya temperatur dan lamanya pemasakan. Makin tinggi temperatur

dan

makin lama waktu pemasakan maka makin
(195)

70 dan 80°C mengalami susut

masak

masing-masing 21.62, 29.32 dan 36.68% (Simmons ef al. 1985). Selain temperatur dan waktu pemanasan, susut masak juga dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi rniofibril, ukuran dan berat sampel. Daging yang berada dalam keadaan kontraksi pada pH 5.4 mengalami susut masak yang lebih tinggi dibandingkan daging regang dengan panjang serabut yang sama (Bouton et aZ., 1971).

Secara umum jenis otot yang sama dari ternak yang berbeda memerlukan temperatur pemasakan yang beheda pula untuk rnencapai tingkat keempukan yang maksimum. Hal ini sangat berhubungan dengan jumtah dan jenis jaringan ikat pada masing-masing otot tersebut. Pernanasan menyebabkan jaringan ikat menjadi lebih empuk, tetapi protein-protein rniofibril

akan

mengental dan cendening meqjadi dot. Kualitas pakan juga mempengaruhi susut masak. Pada domba yang

diberi

ransum dengan konsentrat tinggi berserat rendah mengalami susut masak yang lebii banyak dibandingkan yang diberi ransum konsentrat rendah berserat tinggi. Pada ternak yang mengkonsumsi konsentrat tinggi biasanya lemak intramuskulernya lebii banyak, sehingga selama pemasakan mengalami kehilangan lemak juga lebii banyak. Biasanya susut masak bervariasi antara 1.5

-

54.5%.

Nilai susut masak dapat digunakan memprediisi jurnlah jus setelah daging dimasak. Daging dengan susut masak yang lebii besar berarti akan kehilangan nutrisi yang lebih banyak, dengan dernikian kualitasnya relatif lebih rendah dibandlngkan yang susut masaknya rendah.

(196)

genetik, umur, manajemen, jenis kelamin, kualitas ransum dan tingkat stres ternak. Faktor postmortem metode pendinginan dan pembekuan dan termasuk pengolahan.

Menurut Bouton, Har

Gambar

Gambar 2. Bila kadar kolesterol dalam tubuh melebihi keadaan normal maka berbagai
Gambar 2. Pengaturan Metabolisme Kolesterol (Wirahadikusurnah, 1,985).
Gambar 3. Skema Komponen Bahan Makanan Nabati (Van Soest dan Wine 1967)
Tabel 1. Kecernaan Komponen Utama Ransum Domba yang Diberi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Redoubling his efforts, the Doctor paddled on, the little round boat skimming through the calm water like a well- aimed stone.. A volley of shots rang out like a smattering of

Diharapkan saudara membawa dokumen kualifikasi pada tabel kualifikasi yang anda tawarkan pada Paket Pekerjaan tersebut. Kolonel Syamsul Bahrun Padang Kempas – Bintuhan Acara

Tujuan penelitian adalah mengetahui apakah Dinas Perhubungan Kota Manado telah melakukan pencatatan dengan baik atau tidak (sesuai dengan Permendagri No.13 Tahun 2006 dan PP No.24

Panjang garis dapat dinyatakan dengan satuan-satuan yang berbeda. Satuan yang biasanya dipakai dalam pengukuran tanah datar di Amerika Serikat adalah foot,

Kita telah mengenal sistem pendidikan tersebut dengan pola sekolah berasrama atau yang lebih sering didengar dengan istilah boarding school seperti di

- Melakukan pengolahan limbah cair dengan cara biologi serta proses pemisahan mimyak sehingga kualitas air limbah yang keluar dari IPAL dibawah baku mutu lingkungan. -

BFI Finance Indonesia, Tbk cabang Malang 2 dengan teori didapatkan bahwa hasil sistem pengendalian internal yang masih sangat kurang baik dimana perusahaan

Dalam hal ini, Indonesia perlu untuk belajar dari pemikiran Humboldt tentang pendidikan, bahwa kebebasan dan kemampuan menentukan secara mandiri apa yang baik dan