STRATEGI PENERAPAN MANAJEMEN MUTU
DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
( Kajian ke Arah Penemuan Model )
Oleh: Aceng Muhtaram M. – (FIP-UPI)
Latar Belakang
Pada pengetahuan manajemen kontemporer konsep "mutu" berkembang dengan
mene-kankan pada aspek psikologis manusia baik sebagai pelaku operasi sistem maupun sebagai
pengguna hasilnya. Mutu adalah berkenaan dengan keinginan yang kuat (passion) dan kebanggaan (pride), demikian dinyatakan Tom Peters dan N. Austin (Sallis, 1993). Hasrat untuk senantiasa memperoleh hasil terbaik dalam setiap pekerjaan untuk memberikan layanan
yang selalu dapat memuaskan setiap pengguna hasil tersebut kini tengah menjadi spirit dari
setiap gerakan manajemen.
Bersamaan dengan itu patutlah untuk disadari bahwa manusia telah dihadapkan kepada
tuntutan persyaratan hidup yang ketat dan dengan intensitas yang tinggi. Dalam pada itu pula,
memasuki dasawarsa belakangan ini di Indonesia isu mengenai mutu telah menjadi
pembicaraan yang senantiasa aktual. Pemikiran dan penerapan berbagai konsep mutakhir
atau kontemporer mengenai mutu telah mendapat prioritas hampir di segala bidang, tidak
terkecuali bidang kependidikan.
Apalagi kini orientasi pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua (PJP II) yang juga
ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia. Ini jelas menunjukkan bahwa masalah
penanganan mutu dalam sistem pendidikan memiliki arti yang amat strategis dalam memacu
kemajuan pembangunan bangsa. Sebab mutu pendidikan yang ditangani secara betul atau
profesional pada dasarnya tertuju bagi keberhasilan pengembangan mutu sumber daya
manusia.
menunjukkan hasil yang menakjubkan. Belakangan ini di kalangan pakar kependidikan pun
kemungkinan penerapan konsep tersebut telah banyak mendapat perhatian. Bahkan
pengkajiannya telah berkembang hingga ke model dan teknik-tekniknya (Edward Sallis, 1993).
Karena itu sengaja menyorotinya dari wawasan proses penyebaran inovasi atau difusi inovasi
adalah sehubungan dengan penerapan konsep manajemen mutu terpadu (MMT) di Indonesia
relatif masih baru. Pembahasan untuk dilaksanakan secara menye-luruh di kalangan
perguruan tinggi di Indonesia secara khusus baru dilakukan tahun 1993 (Depdikbud, Ditjen
Dikti 1994). Atau kita patut memandangnya paling tidak bahwa konsep MMT tersebut masih
merupakan hal yang baru untuk diterapakan pada organisasi kependidikan.
Persoalan terkait bagi para penyelenggara dan pelaksana sistem maupun satuan pendi-dikan
ialah apa strategi yang cocok untuk menerapkan konsep MMT di lingkungan masing-masing.
Yang pasti penerapannya lingkungan di persekolahan memerlukan dukungan dari semua
pihak yang terlibat, mulai dari jajaran di lingkungan penyelenggara sistem (Departemen dan
Dinas), para pengawas, kepala sekolah, guru-guru, dan staf sekolah lainnya, bahkan
masya-rakat sekait. MMT amatlah penting untuk dipahami, terutama oleh para pelaku sekolah,
sehingga pada gilirannya dinamika kehidupan sekolah diharapkan dapat berjalan seiring
dengan pengembangan budaya mutu.
Persoalan lebih teknis lagi ialah bagaimana mengembangkan strategi penerapan MMT yang
disamping sebagai sesuatu yang baru, juga bisa padu dengan perubahan-perubahan yang
tengah dan akan dihadapi dunia persekolahan? Sehubungan dengan pemikiran ke arah
pencarian alternatif strategi dengan fokus bahasan pengembangan model dan proses
pener-apan MMT pada lingkup (konteks) sekolah menjadi suatu yang menantang.
Isu mutu pendidikan nampaknya akan selalu menjadi pembi-caraan yang aktual. Apalagi kini
orientasi pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua (PJP II) juga ditekankan pada
pengembangan sumber daya manusia. Ini jelas menunjukkan bahwa masalah penanganan
mutu dalam sistem pendidikan memiliki arti yang amat strategis. Dalam arti bahwa mutu
pendidikan yang ditangani secara betul atau profesional pada dasarnya tertuju bagi
Kemudian mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di abad globalisasi
sekarang ini demikian berjalan dengan cepat, maka dalam pada itu pemikiran dan penerapan
berbagai konsep mutakhir atau kontemporer mengenai mutu pun menjadi semakin perlu dan
urgen adanya. Apalagi mengingat ihwal mutu pendidikan sudah sejak lama menjadi masalah
pokok dalam sistem pendidikan nasional kita. Bagi para Pengawas dan Kepala Sekoah bahkan
mungkin persoalan yang lebih teknis lagi ialah bagaimana mengembangkan strategi
penerapan MMT yang padu dengan perubahan yang tengah dihadapi. Misalnya strategi
bermisi pengejawantahan kurikulum muatan lokal dan penuntasan wajar dikdas 9 tahun.
Berikut ini dikedepankan pokok-pokok pikiran berkenaan dengan bahasan mengenai model
dasar strategi penerapan MMT dan proses penerapan MMT pada lingkup (konteks)
persekolahan.
MODEL DASAR STRATEGI PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU
a. Mengenal konsep MMT dalam dunia pendidikan
Untuk dapat mengembangkan strategi penerapan konsep MMT di sekolah terlebih dahulu perlu
dikenali apa yang dimaksud dengan MMT dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini Edward Sallis
(1993) menegaskan bahwa manajemen mutu terpadu adalah suatu falsafah perbaikan
berkelanjutan yang dapat menyediakan lembaga pendidikan apapun dengan seperangkat alat
praktis untuk memenuhi dan melampaui kebutuhan, keinginan dan harapan masa datang para
pemakai.
Maka mengingat pendidikan menyangkut belajar orang-orang, maka kepentingan-kepentingan
tersebut cocok ditujukan kepada kualitas atau mutu pengalaman belajar. Dalam wawasan
belajar yang berlangsung sepanjang hayat tentunya perbaikan tersebut diperlukan tiada
mengenal batas akhir. Dalam pada itu MMT tepat untuk diterapkan.
menyebutnya sebagai "kerusakan nihil" atau "Zero Defects". Untuk itu prinsip utama yang dianut adalah "betul pada langkah awal dan betul untuk seterusnya" (right firts time, every time). Dengan demikian pada gilirannya akan dapat meningkatkan kepercayaan dari para pelanggan. Memang jenis kepercayaan tersebut tidak dapat dibentuk dalam semalam, dan
hanya dapat diraih oleh suatu organisasi melalui usaha jangka panjang dalam jaminan mutu
(Ishikawa dan David Lu, 1985).
Berbeda dengan kendali mutu yang umumnya dilakukan oleh para pengawas/penilik yang
memiliki pemahaman profesional tentang mutu, maka jaminan mutu membuat tanggung jawab
kekuatan kerja atau kelompok-kelompok kerja (teams) yang lebih dari hanya tugas
pengawas/penilik saja. Atas dasar pandangan itulah unsur keterpaduan sangat diperlukan.
Pada kaitan tersebut MMT menggabungkan jaminan mutu, mempertahankan dan
mengembangkannya. Hal tersebut ditempuh secara bertahap dan diraih dari seri upaya-upaya
kecil yang bertambah. Itulah inti dari "perbaikan berkelanjutan" atau "continuous improvement" yang dalam budaya bangsa Jepang dikenal dengan sebutan "Kaizen”.
Dengan demikian itu MMT menciptakan suatu budaya mutu yang tujuan setiap anggota staf
adalah menggembirakan para pemakai. Karena itu pula MMT memerlukan adanya perubahan
sikap dan metode kerja. Setiap anggota staf harus menyadarinya dan untuk itu juga perlu
perubahan cara dari lembaga dalam meminij dan memimpin. Anggota staf sekolah
membutuhkan lingkungan yang cocok untuk pekerjaannya. Untuk membuat pekerjaan staf
yang bagus dibutuhkan adanya dorongan dan pengakuan atas keberhasilan pencapaian
mereka. Untuk itu dituntut kepemimpinan yang dapat menghargai apa yang dicapai dan
membimbing menuju keberhasilan yang lebih tinggi.
b. Wawasan Penentuan strategi penerapan MMT di Sekolah
Memperhatikan kembali bahwa MMT menyangkut perubahan budaya atau kebiasaan kerja,
dapat ditentukan pula kalau strategi penerapanya pun bertolak dari wawasan strategi suatu
perubahan sosial. Karena itu pula dalam hubungan ini layak kiranya jika strategi yang
Teori umum yang sering dibicarakan dalam bahasan mengenai perubahan ialah teori
"medan-kekuatan" dari Kurt Lewin (Stoner, 1986) atau dikenal Force-field Theory. Penjelasan teori Lewin tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. Bahwa pada satu kondisi tertentu terdapat
dua kekuatan (forces) yang berlawanan. Pada satu sisi terdapat kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan atau disebut driving force. Sedang di sisi lain terdapat kekuatan penolakan yang mempertahankan keberadaan atau status quo yang disebut restraining force.
Berdasarkan teori tersebut jika perubahan hendak dijalankan pertama-tama perlu dikenali
secara betul kondisi yang dimaksud yang juga adalah merupakan titik kesetimbangan
(equilibrium point) dari dua kekuatan tersebut. Lalu tentukan titik kesetimbangan baru atau kondisi lain yang diinginkan, sebagai suatu keadaan setelah berubahan dijalankan. Setelah itu
lakukan pengkajian terhadap masing-masing kekuatan yang berlawanan tadi atau disebut
analisis kekuatan medan (force field analysis). Berdasarkan hasil kajian tersebut, yang tentunya setelah dapat dihimpun atau diidentifikasi dengan jelas faktor-faktor pada kedua
kekuatan itu, baru tentukanlah "besaran" untuk menambah kekuatan-kekuatan pendorong dan
untuk mengurangi kekuatan-kekuatan penolakan. Sehingga dengan demikian dimungkinkan
terjadi pergeseran dari titik kesetimbangan semula ke titik kesetimbangan baru yang
ditentukan.
Secara sederhana apa yang dimaksudkan tersebut di atas dilukiskan dengan gambar sebagai
berikut:
DRIVING FORCES
-RESTRAINING FORCES
EQUILIBRIUM POINT
Dalam kasus perubahan yang dimaksudkan ialah budaya mutu di sekolah, maka untuk
mengenali bagaimana budaya mutu yang saat ini terjadi atau dianut di lingkungan sekolah
memang tidak sesederhana yang dapat dikatakan. Tetapi juga bukan hal yang tidak mungkin
dilakukan. Namun persoalan terkait ialah dari sudut pandang mana melihat aspek-aspek mutu
yang dimaksud. Sebab dari situlah kiranya budaya mutu itu berkembang.
Tentunya tiap orang baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam
penyelenggaraan sekolah bisa memiliki sudut pandang sendiri yang mungkin berbeda dengan
sudut pandang orang lain. Karena itu "keragaman budaya" mutu sangat dimungkinkan,
termasuk di lingkungan persekolahan. Itulah tidak sederhananya mengenali bahkan
menentukan kondisi yang ada dari budaya mutu di sekolah-sekolah yang dimaksud.
Sungguhpun demikian jika bertolak dari kerangka acuan umum dalam memandang berbagai
dimensi mutu, maka upaya untuk mengenali budaya mutu yang ada dapat menjadi lebih
sederhana.
Achmad Sanusi (1990) memandang dimensi-dimensi mutu pendidikan itu meliputi: mutu hasil
belajar, mutu mengajar, dan mutu bahan kajian dan pelajaran. Dan atau dapat pula ditambah
dengan mutu fasilitas pendukung mengajar-belajar. Atas dasar itu ke-terpadu-an pada konsep
MMT pun dapat dikatakan mencakup keseluruhan dimensi tersebut, dalam arti berkenaan
dengan apapun dan siapun yang terlibat. Tentunya hal ini sejalan pula dengan maksud
manajemen yang menunjuk pada cara siapapun, sebab pada dasarnya dalam kedudukan dan
peran apapun juga semuanya adalah manajer atas apa yang menjadi tanggung jawabnya
(Sallis, 1993).
Lantas bagaimana penerapannya sebagaimana yang dimaksud tersebut bagi sekolah? Untuk
itu dapat dikembangkan suatu model dasar strategi yang merujuk kepada model strategi
perubahan budaya. Sesuai dengan itu dalam kaitan strategi merubah suatu budaya atau suatu
kebiasaan menurut Lawrance Miller (1984) ada enam perangkat rumusan yang harus
dikembangkan. Keenam perangkat rumusan tersebut ialah (1) budaya kita sekarang, (2) siapa
dan bagaiana kita diorganisasikan, (3) lingkungan eksternal (hari ini dan kemarin), (4) budaya
masa datang kita (5) akan menjadi siapa dan akan bagaimana kita diorganisasikan, dan (6)
Merujuk usulan Miller tersebut maka model dasar strategi penerapan MMT pada organisasi
sekolah dapat ditetapkan dengan memperhatikan atau mempertimbangkan dua sisi
kepentingan, yaitumisiyang diemban organisasi sekolah atau yang oleh Kanter (Bagir, 1995)
dalam perspektif keunggulan kompetitif dekenalkan sebagai core competence; dan visi terhadap kebutuhan, keinginan, atau harapan para pelanggan.
Pada sisi pertama dapat ditempatkan dua hal apa yang disarankan A. V. Feigenbaum (1983),
yakni pengorganisasian dan pencapaian komitmen terhadap mutu terpadu. Dalam kaiatan ini
mengacu kepada Enward Deming (Sallis, 1993:48-49) dapat diajukan 14 prinsip sebagai
berikut::
01. Miliki tekad yang kuat dan terus menerus untuk memperbaiki mutu produk dan jasa.
02. Gunakan filosofi yang tidak bisa menerima keterlambatan, kesalahan, cacat materi dan
cacat pekerjaan.
03. Hentikan pemeriksaan mutu pada akhir proses, ganti dengan adanya proses yang baik
sejak awal sampai akhir guna mendapatkan hasil yang bermutu.
04. Jangan terkecoh oleh besarnya biaya saja; yang mahal belum tentu baik, yang mudah
belum tentu baik, demikian pula sebaliknya.
05. Lakukan terus dan selamanya usaha-usaha perbaikan kualitas dalam setiap kegiatan.
06. Lembagakan pembinaan dalam bentukon-the-job training untuk semua orang (pimpinan,
guru, dan staf sekolah lainnya) agar masing-masing dapat selalu meningkatkan kualitas
kerjanya.
07. Lembagakan kepemimpinan yang membantu setiap orang untuk dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik.
08. Hilangkan sumber-sumber yang menyebabkan orang merasa takut dalam organisasi.
10. Hilangkan slogan dan ajakan bekerja keras kepada para pelaksana; penyebab rendahnya
mutu dan produktivitas bukan ada pada fihak pelaksana tetapi pada sistem organisasi.
11. Hilangkan target kerja bagi para pelaksana, dan hilangkan angka-angka tujuan bagi para
pimpinan.
12. Singkirkan penghalang yang merebut hak para pimpinan dan pelaksana untuk bangga
atas hasil kerjanya.
13. Lembagakan program yang kuat untuk pendidikan, pelatihan dan pengembangan diri bagi
semua orang.
14. Ciptakan struktur yang memungkinkan semua orang bisa ikut serta dalam usaha
memperbaiki mutu organisasi sekolah.
Sedangkan pada sisi kedua perlu antisipasi kecenderungan dan penciptaan iklim yang
kondusif. Iklim yang memungkinkan kemampuan dan motivasi senantiasa bersamaan terus
meningkat dan menjadi-kannya sebagai suatu cita-cita, lebih tingginya lagi sebagai obsesi. Hal
tersebut amatlah penting sebab sebagaimana ditegaskan oleh Ralp Barra (1983) bahwa
kontribusi sesorang dalam peningkatan mutu dan produktivitas akan tergantung pada
kombinasi antara kemampuan dan motivasi.
Kepentingan-kepentingan pada kedua sisi (misi dan visi) tersebut dilakukan secara
komplementer untuk tiap tahapan periode waktu perubahan yang ditentukan, sebagai
pencapaian titik kesetimbangan baru yang diinginkan.
Model dasar strategi yang demikian itu penulis mengenalkannya dengan sebutan "Model
Strategi Susun Bertangga" atau "MS2B". Untuk membantu pemahamannya berikut ini disajikan
Model Strategi “Susun Bertangga” Bagi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu
PROSES PENERAPAN MMT PADA TATANAN (KML)
KURIKULUM MUATAN LOKAL DAN IMPLEMENTASI WAJAR
DIKAS 9 TAHUN
Manajemen mutu terpadu, kurikulum muatan lokal (KML), dan wajib
belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun adalah merupakan
gagasan-gagasan inovatif (pembaruan). Pada ketiganya mengandung maksud sebagai
upaya yang ditujukan ke arah pemecahan masalah dalam menghadapi berbagai
tantangan zaman. Upaya menjalankan suatu gagasan yang lebih bersifat
kualitatif dalam arti mengembangan kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik
dan cocok tentunya barang menuntut kearifan. Sebab dapat dipastikan bahwa
pihak-pihak yang terlibat di samping memiliki persepsi dan kebutuhan
sendiri-sendiri juga dapat menyadari adanya kepentingan bersama.
Dalam kaiatan ini sangat boleh jadi muncul stres dan konflik pada
pihak-pihak yang terlibat tersebut. Dalam hal ini kearifan diperlukan paling tidak
dengan memperkecil dan atau bahkan memanfaatkan stres dan konflik yang
muncul itu.Lantas apa implikasi bagi upaya penerapan MMT pada kedua
gagasan inovatif lainnya itu di sekolah? Dalam kaitan ini perlu dipahami
bagaimana anggota sistem sosial di lingkungan sekolah yang bersangkutan
dapat menyikapi gagasan-gagasan inovasi tadi.
Sebagai pegangan umum kiranya dapat digunakan kategorisasi
ang-gota sistem sosial menurut Everett Rogers (1983). Dikemuka-kannya bahwa
anggota sistem sosial dalam proses penyebaran inovasi (diffusion) dapat
dikelompokkan ke dalam lima kategori. Yang dalam hubungannya dengan
sistem sosial sekolah kelimanya dapat dikemu-kakan sebagai berikut:
1. Inovator, anggota staf sekolah yang masuk kategori ini berkarakter antara
lain suka bertualang; berhasrat besar untuk mencoba gagasan-gagasan
baru; menyukai akan hal-hal yang bahaya, kegesitan, tantangan, dan risiko.
Mereka sering juga berhubungan dengan orang-orang dari luar lingkungan
sekolah atau berjiwa kosmopolitan. Mereka dapat memainkan peranan
sebagai "a getkeeping" dalam arus gagasan-gagasan baru ke dalam sistem
2. Pelopor, anggota staf sekolah kategori ini lebih menyatu dengan lingkungan
sosial sekolah setempat. Mereka sering tampil sebagai "opinion leader" dan
penuh pertimbangan untuk menerapkan gagasan yang baru. Mereka
tanggap terhadap kelompoknya, mampu mengajukan saran dan
memberikan dorongan di samping senantiasa menguapayakan keberhasilan
dengan memanfaatkan ciri-ciri utama suatu gagasan baru.
3. Pengikut dini, anggota staf sekolah kelompok ini suka menerima gagasan
baru sebelum kebanyakan orang menerimanya. Sekalipun acap kali
berhubungan dengan anggota kelompok lainnya, tapi jarang memegang
posisi kepemimpinan. Mereka sering merunding-kannya lebih dahulu
sebelum menerima sepenuhnya suatu gagasan baru.
4. Pengikut kemudian, anggota staf sekolah kelompok ini baru menerima
gagasan baru manakala sudah kebanyakan orang menerimanya. Mereka
seringkali ragu terhadap gagasan baru dan karenanya menunggu tekanan
kelompok memberikan motivasi. Mereka cenderung menerima suatu yang
baru setelah yakin merasa aman dengan penerimaannya itu.
5. Tertinggal, anggota staf sekolah kelompok ini senantiasa menjadi yang
terakhir dari kelompoknya dalam menerima gagasan baru. Mereka
kebanyakan terasing dari jaringan kerja kelompoknya. Mereka acapkali
berhubungan dengan orang-orang yang berpandangan kolot. Sering kali
saat mereka mulai menerima suatu gagasan baru, gagasan baru lainnya
telah dihadapannya.
Dalam hubungan itu pula bertolak dari konsep mutu yang
mengutamakan kepentingan para pemakai maka dalam tatanan KML maupun
pelaksanaan wajar dikdas 9 tahun pada lingkup pendidikan dasar kiranya
perhatian terhadap pemakai SD pun telah terjadi dengan sendirinya (implisit).
Dengan demikian penerapan MMT-nya sendiri hendaknya menjadi lebih
ditekankan pada penggalangan dan koordinasi seluruh jajaran terkait dengan
c. Menjalankan Langkah-Langkah Penerapan MMT
Sesuai dengan tahapan proses putusan suatu inovasi yang dikenalkan
Rogers (1983) maka paling tidak ada lima langkah strategis yang harus dilalui
dalam penerapan MMT. Langkah-langkah tersebut bertolak dari kondisi awal
sistem sekolah dengan visi dan misi yang dimilikinya. Prosesnya tidak terlepas
dari informasi yang bersumber dari kondisi awal tersebut dan disebarkan melalui
saluran komunikasi pada sistem sekolah.
Adapun kelima langkah dimaksud adalah:
Pertama, memahami ide atau gagasan MMT yang dimaksudkan. Dalam
hal ini penyajian konsep perlu dibuat sesederhana mungkin tetapi dengan penuh
keyakinan bahwa gagasan tersebut sangat mungkin dijalankan di lingkungan
sekolah yang bersangkutan. Di antara cara yang dapat dilakukan ialah
menyelenggarakan forum-forum diskusi dengan mendatangkan nara sumber
berkompeten yang ditunjang bacaan atau panduan sumber-sumber yang
dirancang untuknya. Untuk kasus penerapan pada tatanan KML dan Wajar
Dikdas 9 tahun oleh semua personil terlibat jelas kiranya kalau pemahaman
terhadap konsep keduanya merupakan prasyarat yang sudah terlebih dahulu
dipenuhi.
Kedua, membangkitkan motif atau dorongan yang dapat menyebabkan
jadi berkenan terhadap gagasan MMT yang telah dipahami. Dalam hal ini di
samping penegasan akan kepentingan atau keuntungan yang bisa diraih juga
kemudahan-kemudahan dari padanya perlu terus menurus ditekankan.
Penunjukkan bukti-bukti keberhasilan dan ketersedian berbagai hal yang
diperlukan akan sangat menbantu langkah ini.
Ketiga, meyakinkan penentuan penerimaan (adopsi) atas gagasan MMT
yang dimaksud. Bisa jadi pada tahapan ini muncul pertimbangan-pertimbangan
apakah perlu dicobakan dulu atau tidak. Itu bergantung pada seberapa jauh
tingkat berkenan yang dicapai tahap sebelumnya. Keterlibatan semua pihak
dalam mengejawantah-kan KML dan Wajar Dikdas 9 tahun di SD harus
perhatian yang utama. Dan dalam kedudukan sebagai pihak yang menjalankan
operasi KML dan Wajar Dikdas 9 tahun masing-masing bertanggung jawab atas
mutu baik dalam hal yang berkenaan dengan bidang tugasnya sendiri maupun
dengan misi SD itu sendiri.
Keempat, pelaksanaan gagasan yang dimaksud. Dalam hal ini
prinsip-prinsip pengorganisasian mutu patut ditegakkan. Berdasar pandangan
Feigenbaum (1983) dapat ditegaskan dua prinsip pengorganisasian yang amat
mendasar, yaitu bahwa (1) mutu adalah pekerjaan setiap orang dalam
penyelenggaraan sekolah dan karena itu pula (2) mutu dapat menjadi bukan
pekerjaan siapapun. Implikasi dari prinsip itu maka pimpinan sekolah harus
menyadari bahwa tanggung jawab atas mutu dari banyak individu akan
dilaksanakan secara efektif jika mereka ditunjang dan dilayani oleh fungsi
manajemen yang rapi. Salah satu pekerjaan khususnya adalah mutu
pembelajaran, bidang kegiatan pentingnya ialah kendali mutu, dan satu-satunya
taggung jawabnya hanyalah menjamin bahwa hasil pembelajaran yang dicapai
adalah benar; yang tentunya dalam hal ini pada kawasan KML dan Wajar Dikdas
9 tahun.
Kelima, melakukan tindak lanjut. Langkah ini berkaitan dengan adanya
kemungkinan apa yang dilaksanakan tidak berjalan terus dan atau yang semula
memilih tidak melaksanakan malah kemudian menjadi melaksanakan. Bahkan
yang melaksanakan pun mungkin belum sesuai dengan pertimbangan hati
nuraninya atau apa yang disebut disonansi inovasi. Karena itu berbagai
"insentif" dalam artian penghargaan dan pengakuan amatlah penting guna
memelihara keberlanjutan pelaksanaan gagasan MMT pada tatanan KML dan
Wajar Dikdas 9 tahun tersebut.
Sederhananya kelima langkah penerapan tersebut dapat digambarkan
Proses Inovasi MMT
KATA PENUTUP
Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat penulis ajukan berkenaan
dengan pengembangan strategi penerapan manajemen mutu terpadu di
sekolah. Semoga ada manfaatnya. Terima kasih.
DAFTAR RUJUKAN
Achmad Sanusi: Beberapa Dimensi Mutu Pendidikan; 1990.
Edward Sallis: Total Quality Management in Education; 1993
PEMA-Everett Rogers: Diffusion of Innovations; 1983.
Feigenbaum, A.V.: Total Quality Control; 1983.
Haidar Bagir: Era Baru Manajemen Etis, 1995.
James A.F. Stoner: Management of Change and Organizational Development dalam Management; 1982.
Lawrence M. Miller: American Spirit: Visions of a New Corporate Culture; 1984.
Ditjen Dikti: Rumusan Lokakarya Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, 1993.
Ralp Barra: Putting Quality Circles To Work; 1983.
Kaoru Ishikawa dan David J. Lu, What Is Total Quality Control? (The Japanese Way); 1985
Margono Slamet: Pengantar Penerapan Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi, 1993.