• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Manajemen Mutu by AM.Mirfani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Manajemen Mutu by AM.Mirfani"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENERAPAN MANAJEMEN MUTU

DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

( Kajian ke Arah Penemuan Model )

Oleh: Aceng Muhtaram M. – (FIP-UPI)

Latar Belakang

Pada pengetahuan manajemen kontemporer konsep "mutu" berkembang dengan

mene-kankan pada aspek psikologis manusia baik sebagai pelaku operasi sistem maupun sebagai

pengguna hasilnya. Mutu adalah berkenaan dengan keinginan yang kuat (passion) dan kebanggaan (pride), demikian dinyatakan Tom Peters dan N. Austin (Sallis, 1993). Hasrat untuk senantiasa memperoleh hasil terbaik dalam setiap pekerjaan untuk memberikan layanan

yang selalu dapat memuaskan setiap pengguna hasil tersebut kini tengah menjadi spirit dari

setiap gerakan manajemen.

Bersamaan dengan itu patutlah untuk disadari bahwa manusia telah dihadapkan kepada

tuntutan persyaratan hidup yang ketat dan dengan intensitas yang tinggi. Dalam pada itu pula,

memasuki dasawarsa belakangan ini di Indonesia isu mengenai mutu telah menjadi

pembicaraan yang senantiasa aktual. Pemikiran dan penerapan berbagai konsep mutakhir

atau kontemporer mengenai mutu telah mendapat prioritas hampir di segala bidang, tidak

terkecuali bidang kependidikan.

Apalagi kini orientasi pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua (PJP II) yang juga

ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia. Ini jelas menunjukkan bahwa masalah

penanganan mutu dalam sistem pendidikan memiliki arti yang amat strategis dalam memacu

kemajuan pembangunan bangsa. Sebab mutu pendidikan yang ditangani secara betul atau

profesional pada dasarnya tertuju bagi keberhasilan pengembangan mutu sumber daya

manusia.

(2)

menunjukkan hasil yang menakjubkan. Belakangan ini di kalangan pakar kependidikan pun

kemungkinan penerapan konsep tersebut telah banyak mendapat perhatian. Bahkan

pengkajiannya telah berkembang hingga ke model dan teknik-tekniknya (Edward Sallis, 1993).

Karena itu sengaja menyorotinya dari wawasan proses penyebaran inovasi atau difusi inovasi

adalah sehubungan dengan penerapan konsep manajemen mutu terpadu (MMT) di Indonesia

relatif masih baru. Pembahasan untuk dilaksanakan secara menye-luruh di kalangan

perguruan tinggi di Indonesia secara khusus baru dilakukan tahun 1993 (Depdikbud, Ditjen

Dikti 1994). Atau kita patut memandangnya paling tidak bahwa konsep MMT tersebut masih

merupakan hal yang baru untuk diterapakan pada organisasi kependidikan.

Persoalan terkait bagi para penyelenggara dan pelaksana sistem maupun satuan pendi-dikan

ialah apa strategi yang cocok untuk menerapkan konsep MMT di lingkungan masing-masing.

Yang pasti penerapannya lingkungan di persekolahan memerlukan dukungan dari semua

pihak yang terlibat, mulai dari jajaran di lingkungan penyelenggara sistem (Departemen dan

Dinas), para pengawas, kepala sekolah, guru-guru, dan staf sekolah lainnya, bahkan

masya-rakat sekait. MMT amatlah penting untuk dipahami, terutama oleh para pelaku sekolah,

sehingga pada gilirannya dinamika kehidupan sekolah diharapkan dapat berjalan seiring

dengan pengembangan budaya mutu.

Persoalan lebih teknis lagi ialah bagaimana mengembangkan strategi penerapan MMT yang

disamping sebagai sesuatu yang baru, juga bisa padu dengan perubahan-perubahan yang

tengah dan akan dihadapi dunia persekolahan? Sehubungan dengan pemikiran ke arah

pencarian alternatif strategi dengan fokus bahasan pengembangan model dan proses

pener-apan MMT pada lingkup (konteks) sekolah menjadi suatu yang menantang.

Isu mutu pendidikan nampaknya akan selalu menjadi pembi-caraan yang aktual. Apalagi kini

orientasi pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua (PJP II) juga ditekankan pada

pengembangan sumber daya manusia. Ini jelas menunjukkan bahwa masalah penanganan

mutu dalam sistem pendidikan memiliki arti yang amat strategis. Dalam arti bahwa mutu

pendidikan yang ditangani secara betul atau profesional pada dasarnya tertuju bagi

(3)

Kemudian mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di abad globalisasi

sekarang ini demikian berjalan dengan cepat, maka dalam pada itu pemikiran dan penerapan

berbagai konsep mutakhir atau kontemporer mengenai mutu pun menjadi semakin perlu dan

urgen adanya. Apalagi mengingat ihwal mutu pendidikan sudah sejak lama menjadi masalah

pokok dalam sistem pendidikan nasional kita. Bagi para Pengawas dan Kepala Sekoah bahkan

mungkin persoalan yang lebih teknis lagi ialah bagaimana mengembangkan strategi

penerapan MMT yang padu dengan perubahan yang tengah dihadapi. Misalnya strategi

bermisi pengejawantahan kurikulum muatan lokal dan penuntasan wajar dikdas 9 tahun.

Berikut ini dikedepankan pokok-pokok pikiran berkenaan dengan bahasan mengenai model

dasar strategi penerapan MMT dan proses penerapan MMT pada lingkup (konteks)

persekolahan.

MODEL DASAR STRATEGI PENERAPAN MANAJEMEN MUTU TERPADU

a. Mengenal konsep MMT dalam dunia pendidikan

Untuk dapat mengembangkan strategi penerapan konsep MMT di sekolah terlebih dahulu perlu

dikenali apa yang dimaksud dengan MMT dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini Edward Sallis

(1993) menegaskan bahwa manajemen mutu terpadu adalah suatu falsafah perbaikan

berkelanjutan yang dapat menyediakan lembaga pendidikan apapun dengan seperangkat alat

praktis untuk memenuhi dan melampaui kebutuhan, keinginan dan harapan masa datang para

pemakai.

Maka mengingat pendidikan menyangkut belajar orang-orang, maka kepentingan-kepentingan

tersebut cocok ditujukan kepada kualitas atau mutu pengalaman belajar. Dalam wawasan

belajar yang berlangsung sepanjang hayat tentunya perbaikan tersebut diperlukan tiada

mengenal batas akhir. Dalam pada itu MMT tepat untuk diterapkan.

(4)

menyebutnya sebagai "kerusakan nihil" atau "Zero Defects". Untuk itu prinsip utama yang dianut adalah "betul pada langkah awal dan betul untuk seterusnya" (right firts time, every time). Dengan demikian pada gilirannya akan dapat meningkatkan kepercayaan dari para pelanggan. Memang jenis kepercayaan tersebut tidak dapat dibentuk dalam semalam, dan

hanya dapat diraih oleh suatu organisasi melalui usaha jangka panjang dalam jaminan mutu

(Ishikawa dan David Lu, 1985).

Berbeda dengan kendali mutu yang umumnya dilakukan oleh para pengawas/penilik yang

memiliki pemahaman profesional tentang mutu, maka jaminan mutu membuat tanggung jawab

kekuatan kerja atau kelompok-kelompok kerja (teams) yang lebih dari hanya tugas

pengawas/penilik saja. Atas dasar pandangan itulah unsur keterpaduan sangat diperlukan.

Pada kaitan tersebut MMT menggabungkan jaminan mutu, mempertahankan dan

mengembangkannya. Hal tersebut ditempuh secara bertahap dan diraih dari seri upaya-upaya

kecil yang bertambah. Itulah inti dari "perbaikan berkelanjutan" atau "continuous improvement" yang dalam budaya bangsa Jepang dikenal dengan sebutan "Kaizen”.

Dengan demikian itu MMT menciptakan suatu budaya mutu yang tujuan setiap anggota staf

adalah menggembirakan para pemakai. Karena itu pula MMT memerlukan adanya perubahan

sikap dan metode kerja. Setiap anggota staf harus menyadarinya dan untuk itu juga perlu

perubahan cara dari lembaga dalam meminij dan memimpin. Anggota staf sekolah

membutuhkan lingkungan yang cocok untuk pekerjaannya. Untuk membuat pekerjaan staf

yang bagus dibutuhkan adanya dorongan dan pengakuan atas keberhasilan pencapaian

mereka. Untuk itu dituntut kepemimpinan yang dapat menghargai apa yang dicapai dan

membimbing menuju keberhasilan yang lebih tinggi.

b. Wawasan Penentuan strategi penerapan MMT di Sekolah

Memperhatikan kembali bahwa MMT menyangkut perubahan budaya atau kebiasaan kerja,

dapat ditentukan pula kalau strategi penerapanya pun bertolak dari wawasan strategi suatu

perubahan sosial. Karena itu pula dalam hubungan ini layak kiranya jika strategi yang

(5)

Teori umum yang sering dibicarakan dalam bahasan mengenai perubahan ialah teori

"medan-kekuatan" dari Kurt Lewin (Stoner, 1986) atau dikenal Force-field Theory. Penjelasan teori Lewin tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. Bahwa pada satu kondisi tertentu terdapat

dua kekuatan (forces) yang berlawanan. Pada satu sisi terdapat kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan atau disebut driving force. Sedang di sisi lain terdapat kekuatan penolakan yang mempertahankan keberadaan atau status quo yang disebut restraining force.

Berdasarkan teori tersebut jika perubahan hendak dijalankan pertama-tama perlu dikenali

secara betul kondisi yang dimaksud yang juga adalah merupakan titik kesetimbangan

(equilibrium point) dari dua kekuatan tersebut. Lalu tentukan titik kesetimbangan baru atau kondisi lain yang diinginkan, sebagai suatu keadaan setelah berubahan dijalankan. Setelah itu

lakukan pengkajian terhadap masing-masing kekuatan yang berlawanan tadi atau disebut

analisis kekuatan medan (force field analysis). Berdasarkan hasil kajian tersebut, yang tentunya setelah dapat dihimpun atau diidentifikasi dengan jelas faktor-faktor pada kedua

kekuatan itu, baru tentukanlah "besaran" untuk menambah kekuatan-kekuatan pendorong dan

untuk mengurangi kekuatan-kekuatan penolakan. Sehingga dengan demikian dimungkinkan

terjadi pergeseran dari titik kesetimbangan semula ke titik kesetimbangan baru yang

ditentukan.

Secara sederhana apa yang dimaksudkan tersebut di atas dilukiskan dengan gambar sebagai

berikut:

DRIVING FORCES

-RESTRAINING FORCES

EQUILIBRIUM POINT

(6)

Dalam kasus perubahan yang dimaksudkan ialah budaya mutu di sekolah, maka untuk

mengenali bagaimana budaya mutu yang saat ini terjadi atau dianut di lingkungan sekolah

memang tidak sesederhana yang dapat dikatakan. Tetapi juga bukan hal yang tidak mungkin

dilakukan. Namun persoalan terkait ialah dari sudut pandang mana melihat aspek-aspek mutu

yang dimaksud. Sebab dari situlah kiranya budaya mutu itu berkembang.

Tentunya tiap orang baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam

penyelenggaraan sekolah bisa memiliki sudut pandang sendiri yang mungkin berbeda dengan

sudut pandang orang lain. Karena itu "keragaman budaya" mutu sangat dimungkinkan,

termasuk di lingkungan persekolahan. Itulah tidak sederhananya mengenali bahkan

menentukan kondisi yang ada dari budaya mutu di sekolah-sekolah yang dimaksud.

Sungguhpun demikian jika bertolak dari kerangka acuan umum dalam memandang berbagai

dimensi mutu, maka upaya untuk mengenali budaya mutu yang ada dapat menjadi lebih

sederhana.

Achmad Sanusi (1990) memandang dimensi-dimensi mutu pendidikan itu meliputi: mutu hasil

belajar, mutu mengajar, dan mutu bahan kajian dan pelajaran. Dan atau dapat pula ditambah

dengan mutu fasilitas pendukung mengajar-belajar. Atas dasar itu ke-terpadu-an pada konsep

MMT pun dapat dikatakan mencakup keseluruhan dimensi tersebut, dalam arti berkenaan

dengan apapun dan siapun yang terlibat. Tentunya hal ini sejalan pula dengan maksud

manajemen yang menunjuk pada cara siapapun, sebab pada dasarnya dalam kedudukan dan

peran apapun juga semuanya adalah manajer atas apa yang menjadi tanggung jawabnya

(Sallis, 1993).

Lantas bagaimana penerapannya sebagaimana yang dimaksud tersebut bagi sekolah? Untuk

itu dapat dikembangkan suatu model dasar strategi yang merujuk kepada model strategi

perubahan budaya. Sesuai dengan itu dalam kaitan strategi merubah suatu budaya atau suatu

kebiasaan menurut Lawrance Miller (1984) ada enam perangkat rumusan yang harus

dikembangkan. Keenam perangkat rumusan tersebut ialah (1) budaya kita sekarang, (2) siapa

dan bagaiana kita diorganisasikan, (3) lingkungan eksternal (hari ini dan kemarin), (4) budaya

masa datang kita (5) akan menjadi siapa dan akan bagaimana kita diorganisasikan, dan (6)

(7)

Merujuk usulan Miller tersebut maka model dasar strategi penerapan MMT pada organisasi

sekolah dapat ditetapkan dengan memperhatikan atau mempertimbangkan dua sisi

kepentingan, yaitumisiyang diemban organisasi sekolah atau yang oleh Kanter (Bagir, 1995)

dalam perspektif keunggulan kompetitif dekenalkan sebagai core competence; dan visi terhadap kebutuhan, keinginan, atau harapan para pelanggan.

Pada sisi pertama dapat ditempatkan dua hal apa yang disarankan A. V. Feigenbaum (1983),

yakni pengorganisasian dan pencapaian komitmen terhadap mutu terpadu. Dalam kaiatan ini

mengacu kepada Enward Deming (Sallis, 1993:48-49) dapat diajukan 14 prinsip sebagai

berikut::

01. Miliki tekad yang kuat dan terus menerus untuk memperbaiki mutu produk dan jasa.

02. Gunakan filosofi yang tidak bisa menerima keterlambatan, kesalahan, cacat materi dan

cacat pekerjaan.

03. Hentikan pemeriksaan mutu pada akhir proses, ganti dengan adanya proses yang baik

sejak awal sampai akhir guna mendapatkan hasil yang bermutu.

04. Jangan terkecoh oleh besarnya biaya saja; yang mahal belum tentu baik, yang mudah

belum tentu baik, demikian pula sebaliknya.

05. Lakukan terus dan selamanya usaha-usaha perbaikan kualitas dalam setiap kegiatan.

06. Lembagakan pembinaan dalam bentukon-the-job training untuk semua orang (pimpinan,

guru, dan staf sekolah lainnya) agar masing-masing dapat selalu meningkatkan kualitas

kerjanya.

07. Lembagakan kepemimpinan yang membantu setiap orang untuk dapat melakukan

pekerjaannya dengan baik.

08. Hilangkan sumber-sumber yang menyebabkan orang merasa takut dalam organisasi.

(8)

10. Hilangkan slogan dan ajakan bekerja keras kepada para pelaksana; penyebab rendahnya

mutu dan produktivitas bukan ada pada fihak pelaksana tetapi pada sistem organisasi.

11. Hilangkan target kerja bagi para pelaksana, dan hilangkan angka-angka tujuan bagi para

pimpinan.

12. Singkirkan penghalang yang merebut hak para pimpinan dan pelaksana untuk bangga

atas hasil kerjanya.

13. Lembagakan program yang kuat untuk pendidikan, pelatihan dan pengembangan diri bagi

semua orang.

14. Ciptakan struktur yang memungkinkan semua orang bisa ikut serta dalam usaha

memperbaiki mutu organisasi sekolah.

Sedangkan pada sisi kedua perlu antisipasi kecenderungan dan penciptaan iklim yang

kondusif. Iklim yang memungkinkan kemampuan dan motivasi senantiasa bersamaan terus

meningkat dan menjadi-kannya sebagai suatu cita-cita, lebih tingginya lagi sebagai obsesi. Hal

tersebut amatlah penting sebab sebagaimana ditegaskan oleh Ralp Barra (1983) bahwa

kontribusi sesorang dalam peningkatan mutu dan produktivitas akan tergantung pada

kombinasi antara kemampuan dan motivasi.

Kepentingan-kepentingan pada kedua sisi (misi dan visi) tersebut dilakukan secara

komplementer untuk tiap tahapan periode waktu perubahan yang ditentukan, sebagai

pencapaian titik kesetimbangan baru yang diinginkan.

Model dasar strategi yang demikian itu penulis mengenalkannya dengan sebutan "Model

Strategi Susun Bertangga" atau "MS2B". Untuk membantu pemahamannya berikut ini disajikan

(9)

Model Strategi “Susun Bertangga” Bagi Penerapan Manajemen Mutu Terpadu

PROSES PENERAPAN MMT PADA TATANAN (KML)

KURIKULUM MUATAN LOKAL DAN IMPLEMENTASI WAJAR

DIKAS 9 TAHUN

(10)

Manajemen mutu terpadu, kurikulum muatan lokal (KML), dan wajib

belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun adalah merupakan

gagasan-gagasan inovatif (pembaruan). Pada ketiganya mengandung maksud sebagai

upaya yang ditujukan ke arah pemecahan masalah dalam menghadapi berbagai

tantangan zaman. Upaya menjalankan suatu gagasan yang lebih bersifat

kualitatif dalam arti mengembangan kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik

dan cocok tentunya barang menuntut kearifan. Sebab dapat dipastikan bahwa

pihak-pihak yang terlibat di samping memiliki persepsi dan kebutuhan

sendiri-sendiri juga dapat menyadari adanya kepentingan bersama.

Dalam kaiatan ini sangat boleh jadi muncul stres dan konflik pada

pihak-pihak yang terlibat tersebut. Dalam hal ini kearifan diperlukan paling tidak

dengan memperkecil dan atau bahkan memanfaatkan stres dan konflik yang

muncul itu.Lantas apa implikasi bagi upaya penerapan MMT pada kedua

gagasan inovatif lainnya itu di sekolah? Dalam kaitan ini perlu dipahami

bagaimana anggota sistem sosial di lingkungan sekolah yang bersangkutan

dapat menyikapi gagasan-gagasan inovasi tadi.

Sebagai pegangan umum kiranya dapat digunakan kategorisasi

ang-gota sistem sosial menurut Everett Rogers (1983). Dikemuka-kannya bahwa

anggota sistem sosial dalam proses penyebaran inovasi (diffusion) dapat

dikelompokkan ke dalam lima kategori. Yang dalam hubungannya dengan

sistem sosial sekolah kelimanya dapat dikemu-kakan sebagai berikut:

1. Inovator, anggota staf sekolah yang masuk kategori ini berkarakter antara

lain suka bertualang; berhasrat besar untuk mencoba gagasan-gagasan

baru; menyukai akan hal-hal yang bahaya, kegesitan, tantangan, dan risiko.

Mereka sering juga berhubungan dengan orang-orang dari luar lingkungan

sekolah atau berjiwa kosmopolitan. Mereka dapat memainkan peranan

sebagai "a getkeeping" dalam arus gagasan-gagasan baru ke dalam sistem

(11)

2. Pelopor, anggota staf sekolah kategori ini lebih menyatu dengan lingkungan

sosial sekolah setempat. Mereka sering tampil sebagai "opinion leader" dan

penuh pertimbangan untuk menerapkan gagasan yang baru. Mereka

tanggap terhadap kelompoknya, mampu mengajukan saran dan

memberikan dorongan di samping senantiasa menguapayakan keberhasilan

dengan memanfaatkan ciri-ciri utama suatu gagasan baru.

3. Pengikut dini, anggota staf sekolah kelompok ini suka menerima gagasan

baru sebelum kebanyakan orang menerimanya. Sekalipun acap kali

berhubungan dengan anggota kelompok lainnya, tapi jarang memegang

posisi kepemimpinan. Mereka sering merunding-kannya lebih dahulu

sebelum menerima sepenuhnya suatu gagasan baru.

4. Pengikut kemudian, anggota staf sekolah kelompok ini baru menerima

gagasan baru manakala sudah kebanyakan orang menerimanya. Mereka

seringkali ragu terhadap gagasan baru dan karenanya menunggu tekanan

kelompok memberikan motivasi. Mereka cenderung menerima suatu yang

baru setelah yakin merasa aman dengan penerimaannya itu.

5. Tertinggal, anggota staf sekolah kelompok ini senantiasa menjadi yang

terakhir dari kelompoknya dalam menerima gagasan baru. Mereka

kebanyakan terasing dari jaringan kerja kelompoknya. Mereka acapkali

berhubungan dengan orang-orang yang berpandangan kolot. Sering kali

saat mereka mulai menerima suatu gagasan baru, gagasan baru lainnya

telah dihadapannya.

Dalam hubungan itu pula bertolak dari konsep mutu yang

mengutamakan kepentingan para pemakai maka dalam tatanan KML maupun

pelaksanaan wajar dikdas 9 tahun pada lingkup pendidikan dasar kiranya

perhatian terhadap pemakai SD pun telah terjadi dengan sendirinya (implisit).

Dengan demikian penerapan MMT-nya sendiri hendaknya menjadi lebih

ditekankan pada penggalangan dan koordinasi seluruh jajaran terkait dengan

(12)

c. Menjalankan Langkah-Langkah Penerapan MMT

Sesuai dengan tahapan proses putusan suatu inovasi yang dikenalkan

Rogers (1983) maka paling tidak ada lima langkah strategis yang harus dilalui

dalam penerapan MMT. Langkah-langkah tersebut bertolak dari kondisi awal

sistem sekolah dengan visi dan misi yang dimilikinya. Prosesnya tidak terlepas

dari informasi yang bersumber dari kondisi awal tersebut dan disebarkan melalui

saluran komunikasi pada sistem sekolah.

Adapun kelima langkah dimaksud adalah:

Pertama, memahami ide atau gagasan MMT yang dimaksudkan. Dalam

hal ini penyajian konsep perlu dibuat sesederhana mungkin tetapi dengan penuh

keyakinan bahwa gagasan tersebut sangat mungkin dijalankan di lingkungan

sekolah yang bersangkutan. Di antara cara yang dapat dilakukan ialah

menyelenggarakan forum-forum diskusi dengan mendatangkan nara sumber

berkompeten yang ditunjang bacaan atau panduan sumber-sumber yang

dirancang untuknya. Untuk kasus penerapan pada tatanan KML dan Wajar

Dikdas 9 tahun oleh semua personil terlibat jelas kiranya kalau pemahaman

terhadap konsep keduanya merupakan prasyarat yang sudah terlebih dahulu

dipenuhi.

Kedua, membangkitkan motif atau dorongan yang dapat menyebabkan

jadi berkenan terhadap gagasan MMT yang telah dipahami. Dalam hal ini di

samping penegasan akan kepentingan atau keuntungan yang bisa diraih juga

kemudahan-kemudahan dari padanya perlu terus menurus ditekankan.

Penunjukkan bukti-bukti keberhasilan dan ketersedian berbagai hal yang

diperlukan akan sangat menbantu langkah ini.

Ketiga, meyakinkan penentuan penerimaan (adopsi) atas gagasan MMT

yang dimaksud. Bisa jadi pada tahapan ini muncul pertimbangan-pertimbangan

apakah perlu dicobakan dulu atau tidak. Itu bergantung pada seberapa jauh

tingkat berkenan yang dicapai tahap sebelumnya. Keterlibatan semua pihak

dalam mengejawantah-kan KML dan Wajar Dikdas 9 tahun di SD harus

(13)

perhatian yang utama. Dan dalam kedudukan sebagai pihak yang menjalankan

operasi KML dan Wajar Dikdas 9 tahun masing-masing bertanggung jawab atas

mutu baik dalam hal yang berkenaan dengan bidang tugasnya sendiri maupun

dengan misi SD itu sendiri.

Keempat, pelaksanaan gagasan yang dimaksud. Dalam hal ini

prinsip-prinsip pengorganisasian mutu patut ditegakkan. Berdasar pandangan

Feigenbaum (1983) dapat ditegaskan dua prinsip pengorganisasian yang amat

mendasar, yaitu bahwa (1) mutu adalah pekerjaan setiap orang dalam

penyelenggaraan sekolah dan karena itu pula (2) mutu dapat menjadi bukan

pekerjaan siapapun. Implikasi dari prinsip itu maka pimpinan sekolah harus

menyadari bahwa tanggung jawab atas mutu dari banyak individu akan

dilaksanakan secara efektif jika mereka ditunjang dan dilayani oleh fungsi

manajemen yang rapi. Salah satu pekerjaan khususnya adalah mutu

pembelajaran, bidang kegiatan pentingnya ialah kendali mutu, dan satu-satunya

taggung jawabnya hanyalah menjamin bahwa hasil pembelajaran yang dicapai

adalah benar; yang tentunya dalam hal ini pada kawasan KML dan Wajar Dikdas

9 tahun.

Kelima, melakukan tindak lanjut. Langkah ini berkaitan dengan adanya

kemungkinan apa yang dilaksanakan tidak berjalan terus dan atau yang semula

memilih tidak melaksanakan malah kemudian menjadi melaksanakan. Bahkan

yang melaksanakan pun mungkin belum sesuai dengan pertimbangan hati

nuraninya atau apa yang disebut disonansi inovasi. Karena itu berbagai

"insentif" dalam artian penghargaan dan pengakuan amatlah penting guna

memelihara keberlanjutan pelaksanaan gagasan MMT pada tatanan KML dan

Wajar Dikdas 9 tahun tersebut.

Sederhananya kelima langkah penerapan tersebut dapat digambarkan

(14)

Proses Inovasi MMT

KATA PENUTUP

Demikian pokok-pokok pikiran yang dapat penulis ajukan berkenaan

dengan pengembangan strategi penerapan manajemen mutu terpadu di

sekolah. Semoga ada manfaatnya. Terima kasih.

DAFTAR RUJUKAN

Achmad Sanusi: Beberapa Dimensi Mutu Pendidikan; 1990.

Edward Sallis: Total Quality Management in Education; 1993

(15)

PEMA-Everett Rogers: Diffusion of Innovations; 1983.

Feigenbaum, A.V.: Total Quality Control; 1983.

Haidar Bagir: Era Baru Manajemen Etis, 1995.

James A.F. Stoner: Management of Change and Organizational Development dalam Management; 1982.

Lawrence M. Miller: American Spirit: Visions of a New Corporate Culture; 1984.

Ditjen Dikti: Rumusan Lokakarya Pengelolaan Mutu Total Pendidikan Tinggi, 1993.

Ralp Barra: Putting Quality Circles To Work; 1983.

Kaoru Ishikawa dan David J. Lu, What Is Total Quality Control? (The Japanese Way); 1985

Margono Slamet: Pengantar Penerapan Manajemen Mutu Terpadu di Perguruan Tinggi, 1993.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Allah SWT serta shalawat dan salam peneliti limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena atas rahmat yang telah diberikan, sehingga

Tingkat kesiapan selanjutnya adalah R2, karakteristik pengikut dalam tahap ini adalah pengikut yang “naik” dari R1 atau orang yang tidak tahu dalam menggunakan

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Kabupaten Nomor 7 Tahun 2001 tentang Retribusi dan Sewa Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Kondisi SM Rimbang Baling sangat memprihatinkan saat ini, dan sangat disayangkan jika pada akhirnya, pemasalahan yang terjadi di kawasan konservasi menyebabkan

Karyawan di perusahaan saya diberikan kebebasan dan fleksibilitas untuk melakukan hal-hal baru yang dapat memperbaiki perusahaan ke arah yang lebih baik4. Karyawan dalam

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan gambaran tingkat kepuasan pasien jampersal terhadap kualitas pelayanan ditinjau dari lima dimensi servqual (reliability,

Untuk menu selanjutnya ini adalah laporan analisis karakteristik, pemilik dapat melihat laporan analisis karakteristik member sesuai dengan kebutuhan yang ingin