• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi Pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi Pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

ANTIFERTILITAS EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica)

DAN REVERSIBILITAS FUNGSI REPRODUKSI PADA TIKUS

(Rattus norvegicus) JANTAN

NURCHOLIDAH SOLIHATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Nurcholidah Solihati

(4)
(5)

NURCHOLIDAH SOLIHATI. Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan. Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA, IMAN SUPRIATNA dan ADI WINARTO.

Pertumbuhan penduduk Indonesia selama 10 tahun terakhir cenderung menurun dan hampir mencapai angka ideal dengan pertumbuhan 1% per tahun. Keberhasilan tersebut didukung oleh program keluarga berencana dan kampanye penggunaan kontrasepsi. Namun demikian, hampir seluruh metoda dan alat konstrasepsi diperuntukan bagi wanita. Beberapa usaha perlu dilakukan dengan mempromosikan kontrasepsi pria, untuk meningkatkan jumlah partisipan pria.

Tanaman obat telah digunakan secara meluas untuk pengobatan karena memiliki lebih sedikit efek samping, mudah didapat dan lebih murah dibanding pengobatan modern. Salah satu tanaman obat yang telah digunakan luas di masyarakat adalah pegagan (Centella asiatica) yang digunakan untuk mengobati luka dan meningkatkan fungsi kognitif. Berkaitan dengan reproduksi, telah dilaporkan bahwa pegagan memiliki efek antifertilitas pada tikus jantan, namun informasi yang tersedia masih terbatas. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis efek antifertilitas ekstrak pegagan dan reversibilitas fungsi reproduksi pada tikus jantan.

Pada tahap pertama, penelitian ini dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri dari 16 perlakuan kombinasi empat dosis (0, 50, 150 dan 450 mg/kg BB) dan empat lama pemberian (28, 35, 42 dan 49 hari). Parameter yang diamati adalah populasi sel spermatogenik, kualitas sperma dan kadar testosteron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan populasi spermatid akhir, konsentrasi sperma, motilitas dan kadar testosteron setelah perlakuan ekstrak pegagan, namun nilai yang dihasilkan masih berada pada kisaran yang normal. Diperoleh pula hasil bahwa perlakuan ekstrak pegagan tidak berpengaruh terhadap populasi spermatogonia, spermatosit primer dan abnormalitas sperma. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa dosis 450 mg/kg BB menghasilkan nilai spermatid akhir dan konsentrasi sperma terendah dibanding dosis lainnya. Lama pemberian selama 28 hari nampaknya lebih efisien dibandingkan lama pemberian yang lebih panjang. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa perlakuan pegagan sampai dosis 450 mg/kg BB dan lama pemberian 28 hari masih mampu mempertahankan kadar testosteron tikus berada pada kisaran normal. Penurunan kadar testosteron yang terjadi berkaitan dengan penghambatan spermatogenesis tahap akhir.

(6)

perlakuan namun masih berada pada kisaran normal. Penurunan derajat spermatogenesis kemungkinan disebabkan terjadinya apoptosis. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa lama penghentian pemberian pegagan selama 12 hari meningkatkan derajat spermatogenesis dan kualitas sperma, kecuali pada perlakuan 450 mg/kg BB selama 28 hari menunjukkan penurunan.

Penelitian selanjutnya dilakukan untuk mengetahui fertilitas yang dihasilkan dengan cara mengawinkan tikus jantan yang telah diberi perlakuan dengan tikus betina fertil pada akhir perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus jantan yang diberi perlakuan dosis 450 mg/kg BB memperlihatkan kemampuan untuk mengawini betina, sehingga menghasilkan kebuntingan dan anak, namun tidak demikian halnya dengan tikus jantan yang diberi perlakuan dosis 600 mg/kg BB, dimana tidak ada satu ekor pun yang menunjukkan kemampuan mengawini tikus betina. Setelah penghentian pemberian pegagan selama 12 hari, tikus jantan yang diberi perlakuan 600 mg/kg BB menunjukkan kemampuan mengawini tikus betina dan menghasilkan anak. Hal ini memberikan indikasi bahwa tikus yang diberi dosis 600 mg/kg BB membutuhkan masa pemulihan untuk mengembalikan kemampuan reproduksinya, namun hasil ini belum cukup menjelaskan mengenai terjadinya reversibilitas.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat indikasi antifertilitas yang dimiliki pegagan, dimana tahap perkembangan spermatogenesis yang terpengaruh adalah tahap spermatid akhir dan spermatozoa. Penurunan ini berkaitan dengan penurunan kadar testosteron meskipun masih berada dalam kisaran normal. Demikian pula dengan derajat spermatogenesis mengalami penurunan setelah pemberian ekstrak pegagan. Namun demikian, fertilitas tikus jantan yang diberi ekstrak pegagan dengan dosis 450 mg/kg BB masih dapat dipertahankan karena masih mampu mengawini tikus betina estrus dan menghasilkan anak, sedangkan yang diberi dosis 600 mg/kg BB memerlukan masa pemulihan untuk dapat mengawini dan menghasilkan anak. Hasil penelitian ini belum cukup dapat menjelaskan reversibilitas efek antifertilitas pegagan, namun demikian fertilitas tikus jantan yang diberi perlakuan dosis 600 mg/kg BB kembali pulih setelah penghentian perlakuan dimana hal ini menjadi indikasi terjadinya reversibilitas.

Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat indikasi potensi antifertilitas ekstrak pegagan pada tikus jantan, namun pada penelitian ini efek antifertilitas yang dihasilkan tidak maksimal. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang upaya yang bisa dilakukan adalah melakukan identifikasi dan purifikasi terhadap senyawa-senyawa aktif yang terkandung dalam pegagan yang berperan dalam antifertilitas. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek pegagan terhadap sel penghasil hormon testosteron pada sel-sel interstitial testis dan sel-sel-sel-sel endokrin (LH dan FSH) di hipofisa anterior melalui teknik imunohistokimia untuk mengetahui keterkaitan hormonal terhadap perubahan spermatogenesis yang terjadi.

(7)

NURCHOLIDAH SOLIHATI. The Antifertility of Pegagan (Centella asiatica) and Reversibility on Reproductive Function of Male Rat (Rattus norvegicus). Supervised by BAMBANG PURWANTARA, IMAN SUPRIATNA, and ADI WINARTO.

The Indonesia population growth rate during the past 10 years tend to decrease and nearly reach the ideal rate of one percent of growth per year. This success was supported by family planning program and campaign of using contraception. Unfortunately, almost all contraceptive tools and methods affect women. Various effort needs to be done by promoting men contraception, in order to increase participatory rate of men.

Medicinal plants have been used as alternative medicine with an asumption that it perform less side effects, beside other consideration such as easy to find and cheaper than the chemical and commercial medicines. One of the medicinal plants that have been used widely in the community is pegagan (Centella asiatica) that used to treat injuries and improve cognitive function. Pegagan has been reported to have an antifertility properties in male rats. However, the scientific reports on the use of this plant on reproduction purposes are still limited. So that, the purpose of this study is to determine the antifertility effect of pegagan extract and reversibility of reproductive capability in male rats. In the first stage, this experiment was done experimentally with a completely randomized design, consisting of 16 combinations of four treatment doses (0, 50, 150 and 450 mg/BW) and four duration of administration (28, 35, 42 and 49 days). Parameters measured were population of spermatogenic cells, sperm quality and testosterone levels. Results of the experiment showed that the population of late spermatids, sperm concentration, sperm motility and testosterone levels decreased following the treatment, although they were still in a normal range. Results of the experiment also indicated that pegagan extract did not affect the population of spermatogonia, primary spermatocytes and sperm abnormality. It also showed that pegagan still be able to maintain testosterone levels within the normal range. Based on these results, it can be concluded that the dose of 450 mg/kg BW caused the lowest level of late spermatids and sperm concentration if compared to the other paramaters. Twenty eight days administration of pegagan appears to be most efficient duration of administration than any longer time. Results of the experiment also indicated that treatment doses of 450 mg/kg BW and duration of 28 days is still able to maintain testosterone levels in the normal range. Decrease of testosterone levels is associated with inhibition of late stages of spermatogenesis.

(8)

developmental stage, quality of sperm, except for the treatment of 450 mg/kg BW for 28 days.

Further study was conducted to determine fertility of male rats by mating them with various fertile females at the end of treatment. Results of the experiment showed that male rats treated with the doses of 450 mg/kg BW showed mating ability with the female rat and then became pregnant and delivered the litters, except male rats treated with the doses of 600 mg/kg BW. After 12 days of cessation length of pegagan, male rats treated with 600 mg/kg BW demonstrated matting ability and produce the litters. This result showed an indication that rats given the dose of 600 mg/kg BW require the recovery period to restore reproductive capability. This result is not enough to explain the reversibility.

Based on the results of these study it is strongly indicated that pegagan has antifertility potential. The developmental stages of spermatogenesis affected by pegagan are late spermatids and spermatozoa. This decrease was associated with the decreased of testosterone levels, although still within the normal range. Similarly, the degree of spermatogenesis decreased following the administration of pegagan extract. However, the fertility of male rats given pegagan extract at a dose of 450 mg/kg BW still be tenable. The female rats produce the litters, while those given a dose of 600 mg/kg BW requires a recovery period to be able to mate and produce the litters. Result of this study can not sufficiently explain the reversibility of the antifertility effects of pegagan. However the fertility of male rats treated with the doses of 600 mg/kg BW recovered after the cessation of treatment.

Based on the results of this study, it is concluded that there are indication of antifertility potentials after administration of pegagan extract on male rats, but in this study has not obtained maximum antifertility effect. Therefore, further efforts is necessary to identify and purify the active compounds contained in pegagan which affect antifertility. It need future researches to determine the cells that produce testosterone on testiscular interstitial cells and the endocrine cells (LH and FSH) in the anterior hipophyse by imunohistochemistry technic to determine the relevance of the hormonal changes that occur spermatogenesis.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

DAN REVERSIBILITAS FUNGSI REPRODUKSI PADA TIKUS

(Rattus norvegicus) JANTAN

NURCHOLIDAH SOLIHATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji luar pada Ujian Tertutup: 1. Dr drh Muhammad Agil, MScAgr 2. Dr dra Ietje Wientarsih, Apt MSc

(13)

Nama : Nurcholidah Solihati NIM : B362090031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr drh Bambang Purwantara, MSc Ketua

Prof Dr drh Iman Supriatna drh Adi Winarto, PhD PAVet Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Biologi Reproduksi

Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)
(16)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT yang maha pengasih dan penyayang, karena atas ridhoNya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan judul: Antifertilitas Ekstrak Pegagan (Centella asiatica) dan Reversibilitas Fungsi Reproduksi pada Tikus (Rattus norvegicus) Jantan.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr drh Bambang Purwantara, MSc, Prof Dr drh Iman Supriatna, dan drh Adi Winarto, PhD PAVet selaku komisi pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikiran untuk memberikan saran, masukan serta arahan selama penulis menyusun disertasi ini.

2. Prof Dr Ir Ganjar Kurnia, DEA, selaku Rektor Universitas Padjadjaran yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi.

3. Dr Ir Iwan Setiawan, DEA, selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran atas izin dan dukungan yang telah diberikan untuk melanjutkan studi.

4. Prof Dr Ir Soeparna, MS, selaku Kepala Laboratorium Reproduksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran atas izin dan dukungan yang telah diberikan untuk melanjutkan studi.

5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Dikti selama penulis menempuh pendidikan.

6. Pusat Studi Regional Biologi Tropis (SEAMEO BIOTROP) atas bantuan dana penelitian melalui Ph.D Student Research Grant tahun 2012.

7. Prof Dr drh Mohamad Agus Setiadi, selaku Ketua Program Studi Biologi Reproduksi atas izin yang telah diberikan selama menempuh studi.

8. Seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi Biologi Reproduksi atas pengajaran dan bantuan yang diberikan selama penulis menempuh studi. 9. Kepala, staf dan laboran laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor atas bantuan yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian.

10.Dr drh Muhammad Agil, MScAgr dan Dr dra Ietje Wientarsih, Apt MSc yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup.

11.Prof Dr drh Tuty Laswardi Yusuf, MS dan DrAgr Ir Siti Darodjah Rasad, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar pada ujian terbuka.

12.Rekan-rekan di Program Studi Biologi Reproduksi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kerjasama dan dukungan yang telah diberikan selama penulis menempuh studi.

13.Semua pihak yang telah membantu selama penulis melanjutkan studi.

(17)

sebagai bagian kecil dalam upaya pengembangan ilmu reproduksi, dan pada umumnya bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Desember 2013

(18)

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

Hipotesis 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Sistem Reproduksi Jantan 5

Deskripsi Kontrasepsi Pria 9

Tanaman yang Memiliki Efek Antifertilitas 9 Tinjauan Tentang Pegagan (Centella asiatica) 11 Tinjauan Tentang Tikus (Rattus norvegicus) 13 PERKEMBANGAN SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN

KUALITAS SPERMA PASCAPEMBERIAN EKSTRAK PEGAGAN

(Centella asiatica) 14

Abstract 14

Abstrak 14

Pendahuluan 15

Materi dan Metode 16

Hasil dan Pembahasan 19

Simpulan 28

Daftar Pustaka 28

KADAR TESTOSTERON PASCAPEMBERIAN EKSTRAK

PEGAGAN (Centella asiatica) PADA TIKUS JANTAN 30

Abstract 30

Abstrak 30

Pendahuluan 30

Materi dan Metode 31

Hasil dan Pembahasan 33

Simpulan 37

(19)

PEGAGAN (Centella asiatica) 40

Abstract 40

Abstrak 40

Pendahuluan 41

Materi dan Metode 42

Hasil dan Pembahasan 44

Simpulan 51

Daftar Pustaka 51

FERTILITAS TIKUS JANTAN PASCAPEMBERIAN DAN

PENGHENTIAN EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica) 53

Abstract 53

Abstrak 53

Pendahuluan 54

Materi dan Metode 55

Hasil dan Pembahasan 56

Simpulan 61

Daftar Pustaka 61

PEMBAHASAN UMUM 62

SIMPULAN DAN SARAN 68

DAFTAR PUSTAKA 69

LAMPIRAN 74

(20)

1 Rata-rata populasi sel spermatogonia dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian

ekstrak pegagan 20

2 Rata-rata populasi sel spermatosit primer dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian

ekstrak pegagan 21

3 Rata-rata populasi sel spermatid akhir dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian

ekstrak pegagan 22

4 Rata-rata motilitas sperma dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian ekstrak

pegagan 23

5 Rata-rata konsentrasi sperma dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian

ekstrak pegagan 25

6 Rata-rata abnormalitas sperma dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian

ekstrak pegagan 26

7 Rata-rata kadar testosteron dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian

ekstrak pegagan 34

8 Derajat Spermatogenesis pascapemberian dan penghentian

pegagan 47

9 Motilitas sperma tikus pascapemberian pegagan dan setelah12

hari penghentian pemberian pegagan 49

10 Konsentrasi sperma tikus pascapemberian pegagan dan

setelah 12 hari penghentian pemberian pegagan 49 11 Abnormalitas sperma tikus pascapemberian pegagan dan

setelah 12 hari penghentian pemberian pegagan 50 12 Kejadian perkawinan antara tikus jantan dan betina dan

jumlah anak yang dihasilkan tikus betina 60

DAFTAR GAMBAR

1 Tiga fase proses spermatogenesis, yaitu spermatocytogenesis,

meiosis, dan spermiogenesis 6

2 Hubungan antara hormon-hormon yang dihasilkan oleh

sel-sel Sertoli, sel-sel-sel-sel Leydig, hipotalamus dan pituitary anterior 7

(21)

6 Penampang tubuli seminiferi testis 45 7 Penampang tubuli seminiferi, menunjukkan gambaran derajat

spermatogenesis 46

8 Siklus estrus pada tikus betina penelitian 56

9 Sperma diantara sel-sel keratin dan leukosit setelah proses

perkawinan 58

10 Gambaran sel dari preparat ulas vagina tikus bunting 58

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) 74

2 Sperma abnormal 75

3 Penampang tubuli seminiferi testis tikus putih 75

(22)

Latar Belakang

Laju pertambahan penduduk Indonesia pada saat ini cukup mengkhawatirkan. Penduduk bertambah sebanyak 3 sampai 4 juta jiwa setiap tahun atau sekitar 10 ribu bayi lahir setiap hari. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 diketahui bahwa pertumbuhan penduduk melebihi proyeksi nasional, yaitu 237.6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) 1.49 persen per tahun. Jika laju pertumbuhan penduduk 1.49 persen per tahun maka akan terjadi pertumbuhan penduduk sekitar 3.5 juta lebih per tahun. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih dan pada tahun 2045 bisa menjadi sekitar 450 juta jiwa.

Diperlukan pengembangan teknologi untuk mengimbangi ancaman ledakan penduduk, dimana penanggulangannya merupakan tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah, masyarakat dan swasta. Menyikapi laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cepat tersebut diperlukan upaya revitalisasi Keluarga Berencana. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah meningkatkan peran kaum pria sebagai akseptor KB, dimana kesertaan KB pria masih sebesar 1.5 persen dari sasaran yang ditetapkan sebesar 4.5 persen pada tahun 2009.

Pemerintah dalam hal ini BKKBN berupaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan peran serta pria dalam ber-KB. Dalam visi dan misi pencapaian Keluarga Berkualitas 2015 dikemukakan tentang peningkatan upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender dalam pelaksanaan program KB nasional. Demikian pula dalam rancangan sasaran program KB pada tahun 2010 dan tahun 2015 telah ditetapkan peran serta pria ber-KB sekitar 4.5 persen hingga 7.5 persen. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu didukung dengan ketersediaan obat kontrasepsi yang sesuai untuk pria. Dalam hal ini, perlu dilakukan optimalisasi upaya-upaya penelitian untuk mencari bahan-bahan kontrasepsi yang ideal untuk memenuhi keperluan tersebut.

Suatu obat atau senyawa antifertilitas dapat dianggap ideal bila dapat memberikan perlindungan terhadap fertilitas dan bahan tersebut efektif menimbulkan sterilitas dalam jangka waktu yang diharapkan, dapat kembali normal jika pemakaiannya dihentikan (reversibel), tidak menurunkan libido, mempunyai pengaruh yang cukup lama, mudah digunakan, murah, dapat diterima oleh masyarakat, tidak toksis dan tidak menimbulkan efek samping (Farnsworth dan Waller 1982; Heidari et al. 2012). Sementara itu, salah satu alasan mengapa kontrasepsi tidak popular di kalangan pria adalah adanya kekhawatiran bahwa efek antifertilitas yang ditimbulkan akan bersifat permanen atau tidak reversibel.

(23)

diperoleh, murah, dan kurang menimbulkan efek samping (Tadjuddin 1984 diacu dalam Sutyarso 1992).

Indonesia memiliki banyak sekali tumbuhan yang sudah dibudidayakan dan digunakan sebagai obat alam atau obat tradisional. Terdapat sekitar 225 jenis tumbuhan dari 75 famili dapat digunakan sebagai bahan kontrasepsi (Adnan 2010).

Pegagan (Centella asiatica) atau disebut juga antanan merupakan salah satu tanaman obat yang sudah digunakan secara meluas untuk mengobati berbagai macam penyakit. Pegagan merupakan tanaman obat yang tumbuh liar di seluruh Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman merambat yang biasa dikonsumsi dalam bentuk segar sebagai lalapan. Terkait sebagai tanaman obat tradisional, pegagan diakui memiliki efek farmakologis yang luas dan banyak digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Penggunaan pegagan yang paling populer yaitu untuk penyembuhan luka dan meningkatkan daya ingat.

Pegagan telah dilaporkan pula mengandung berbagai macam senyawa aktif yaitu triterpenoid, minyak essensial, flavonoid dan komponen lain seperti polisakarida, polyne-alkene, asam amino, asam lemak, sesquiterpen, alkaloid, sterol, carotenoid, tanin, kloropil, pektin, garam inorganik, dll. (Zheng dan Qin 2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa berbagai jenis senyawa bioaktif yang terkandung pada tumbuhan, terutama senyawa-senyawa yang berasal dari golongan steroid, alkaloid, isoflavonoid, triterpenoid dan xanthon memiliki aktivitas sebagai bahan antifertilitas (Farnsworth dan Waller 1982; Joshi et al. 2011). Hasil analisis kualitatif ekstrak pegagan yang dilakukan di laboratorium uji Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) menunjukkan bahwa pegagan memiliki kandungan besar senyawa aktif seperti glikosida, saponin, tanin, triterpenoid, dan alkaloid. Peneliti lain telah melaporkan pula bahwa pegagan telah digunakan untuk pengobatan reproduksi secara tradisional, dimana rebusan daun pegagan digunakan secara meluas di India dan Asia Timur untuk kontrasepsi pria (Heidari et al. 2012).

Laporan penggunaan pegagan dalam bidang reproduksi masih terbatas namun telah dilaporkan bahwa pegagan memiliki efek antispermatogenik dan aktivitas antifertilitas pada tikus jantan (Noor dan Ali 2004), degenerasi spermatozoa, penurunan jumlah sperma dan sperma motil pada tikus (Heidari et al. 2007), beberapa degenerasi sel-sel spermatogenik dan penurunan spermatozoa dalam lumen tubuli seminiferi (Yunianto et al. 2010).

Berdasarkan laporan tersebut diduga bahwa pegagan dapat dijadikan sebagai kandidat obat alami untuk kontrasepsi pada pria. Namun demikian, masih diperlukan serangkaian penelitian untuk memastikan hal tersebut, diantaranya mengenai lama pemberian pegagan. Hal ini mengingat University of Marynd Medical Center (UMMC) merekomendasikan penghentian untuk mengkonsumsi pegagan selama dua minggu setelah penggunaan pegagan selama enam minggu. Selain itu, ada pula yang menyebutkan bahwa pemberian pegagan tidak boleh lebih dari empat minggu. Namun demikian informasi tersebut tidak disertai penjelasan lebih lanjut.

(24)

belum diketahui pula apakah efek antifertilitas ekstrak pegagan yang ditimbulkan terhadap sistem reproduksi jantan bersifat sementara (reversibel) atau tidak, bila ekstrak pegagan tersebut sudah tidak digunakan lagi. Demikian pula mengenai efek pegagan terhadap fertilitas yang dihasilkan belum dilaporkan. Dalam hal ini, perlu diteliti berbagai parameter yang dapat dijadikan acuan mengenai kemungkinan penggunaan pegagan sebagai obat kontrasepsi untuk pria, antara lain mengenai kualitas sperma, perubahan histomorfologi testis, kadar hormon androgen (testosteron) dan fertilitas yang dihasilkan. Berlatarbelakang hal tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mempelajari antifertilitas ekstrak pegagan dan reversibilitas fungsi reproduksi pada tikus jantan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis efek antifertilitas ekstrak pegagan dan reversibilitas fungsi reproduksi pada tikus jantan.

Secara terperinci, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis : 1) Adanya efek antifertilitas ekstrak pegagan

2) Dosis dan lama pemberian yang menyebabkan gangguan fertilitas. 3) Tingkat perkembangan spermatogenesis yang terpengaruh

4) Efek ekstrak pegagan terhadap kadar testosteron 5) Fertilitas setelah pemberian ekstrak pegagan

6) Reversibilitas fungsi reproduksi dari efek antifertilitas yang ditimbulkan

Kerangka Pemikiran

Fungsi reproduksi jantan yang normal tergantung pada fungsi normal organ reproduksi jantan dan kelenjar-kelenjar assesoris. Testis adalah organ reproduksi primer pada jantan dimana terjadi spermatogenesis dan steroidogenesis. Kualitas dan kuantitas spermatozoa yang dihasilkan akan tergantung pada fungsi normal struktur testikular dan hormon-hormon reproduksi. Beberapa kandungan senyawa aktif yang dimiliki pegagan seperti glikosida, triterpenoid, tanin, saponin dan alkaloid diduga dapat berpengaruh terhadap spermatogenesis. Penelitian sebelumnya terhadap tanaman lain, melaporkan bahwa kandungan triterpen dan saponin di dalam tanaman memberikan efek perusakan pada sel-sel sperma, glukosida triterpen di dalam tanaman dapat menghambat spermatogenesis dan cenderung bersifat antifertilitas pada jantan, Tanin pada reproduksi jantan bekerja dalam proses transportasi, menyebabkan penggumpalan sperma dan dapat menghalangi trasportasi sperma atau proses spermatogenesis, golongan alkaloid dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan cara menekan sekresi hormon reproduksi yang diperlukan untuk berlangsungnya spermatogenesis.

(25)

diketahui reversibilitas dari efek yang ditimbulkan dan efek terhadap fertilitas yang dihasilkan setelah pemberian ekstrak pegagan.

Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan beberapa permasalahan tersebut. Penelitian untuk mengetahui kapan fertilitas terganggu dapat didekati dengan meneliti efek dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan terhadap kualitas semen dan perkembangan tahapan spermatogenesis di dalam tubuli seminiferi, dengan memberikan perlakuan kombinasi beberapa macam dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan. Selanjutnya, setelah menemukan kepastian efek antifertilitas dari dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan yang terpilih, penelitian dilanjutkan untuk mengetahui efek tersebut bersifat sementara (reversibel) atau tidak. Pendekatan yang dilakukan yaitu dengan memberikan perlakuan masa pemulihan setelah pemberian ekstrak pegagan, yaitu dengan memberikan perlakuan penghentian pemberian pegagan dan selanjutnya melakukan pengujian terhadap kualitas semen dan perubahan histomorfologi testis. Selain itu, untuk mengetahui efek ekstrak pegagan terhadap libido tikus jantan, dilakukan pengukuran terhadap kadar hormon testosteron. Selanjutnya, untuk mengetahui efek ekstrak pegagan tersebut terhadap fertilitas dilakukan perkawinan antara jantan yang telah diberi perlakuan dengan betina fertil yang dilakukan pada akhir perlakuan.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: 1. Ekstrak pegagan memiliki efek antispermatogenik 2. Ekstrak pegagan dapat menurunkan kadar testosteron 3. Ekstrak pegagan dapat menurunkan keberhasilan fertilisasi 4. Efek yang ditimbulkan bersifat reversibel

Manfaat Penelitian

Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai :

1. Peran ekstrak pegagan dalam sistem reproduksi jantan, yaitu mengenai kualitas semen, perubahan dalam testis dan hormonal.

2. Peran ekstrak pegagan sebagai bahan antifertilitas pada jantan.

3. Reversibilitas fungsi reproduksi berkaitan dengan efek antifertilitas ekstrak pegagan.

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem Reproduksi Jantan

Reproduksi jantan merupakan suatu proses komplek yang melibatkan testis, epididimis, kelenjar assesori dan hormon-hormon yang terkait.

Testis

Testis adalah organ reproduksi jantan yang terutama bertanggung jawab untuk produksi spermatozoa melalui spermatogenesis dan produksi hormon androgen melalui steroidogenesis. Produksi spermatozoa terjadi di tubuli seminiferi testis yang dikontrol oleh testosteron yang dihasilkan oleh sel-sel Leydig (interstitial) testis (Dolores dan Cheng 2004). Produksi tetosteron secara langsung tergantung pada konsentrasi atau aktivitas luteinizing hormone (LH), yang disekresikan oleh kelenjar pituitary anterior. Follicle stimulating hormone

(FSH) dilepaskan juga oleh hipofisa anterior, merangsang sel-sel Sertoli testis yang memberikan dukungan dan nutrisi untuk perkembangan spermatozoa.

Spermatogenesis

Spermatogenesis adalah proses pembentukan sel spermatozoa, merupakan suatu proses komplek dimana sel-sel germinal yang belum berdiferensiasi mengalami multifikasi dan maturasi membentuk spermatozoa fungsional. Spermatogenesis terdiri dari tiga fase yaitu: 1) fase spermatogonia, 2) fase

spermatosit, dan 3) fase spermatid (D’Cruz et al. 2010).

Senger (2003) menjelaskan bahwa spermatogenesis terjadi di tubuli seminiferi dan terdiri dari sejumlah transformasi seluler dalam sel-sel germinal yang sedang berkembang yang terjadi dalam epitel seminiferi. Dijelaskan pula bahwa spermatogenesis dapat dibagi menjadi tiga fase (Gambar 1) yaitu:

1. Spermatocytogenesis, meliputi pembelahan mitosis yang melibatkan proliferasi dan pemeliharaan spermatogonia. Pada fase ini, spermatogonia mengalami suatu rangkaian pembelahan mitosis dan pembelahan mitosis terakhir menyebabkan peningkatan spermatosit primer yang akan memasuki pembelahan meiosis.

2. Proses meiosis

Pada fase ini melibatkan spermatosit primer dan spermatosit sekunder. Spermatosit primer (2n) melakukan pembelahan meiosis pertama membentuk 2 spermatosit sekunder (n). Tiap spermatosit sekunder melakukan pembelahan meiosis kedua, menghasilkan 2 spermatid yang bersifat haploid (n). Pembelahan meiosis kedua menghasilkan spermatid haploid (n). Keempat spermatid ini berkembang menjadi sperma matang yang bersifat haploid yang semua fungsional.

3. Spermiogenesis/fase differensiasi

(27)

transformasi yang menghasilkan spermatozoa yang telah berdifferensiasi penuh, terdiri dari head/kepala, flagella/midpiece, dan principal piece.

Kepala sperma tebal mengandung inti haploid yang ditutupi badan khusus yang disebut akrosom. Akrosom mengandung enzim hyaloronidase/protease yang membantu sperma menembus sel telur. Bagian tengah sperma mengandung mitokondria spiral yang berfungsi menyediakan energi untuk gerak ekor sperma. Sperma yang matang akan menuju epididimis, kemudian ke vas deferens, vesicula seminalis, urethra dan berakhir dengan ejakulasi. Setiap proses spermatogenesis memerlukan waktu 65-75 hari pada manusia sampai terbentuknya sperma yang fungsional, sedangkan pada tikus selama 48 hari. Sperma ini dapat dihasilkan sepanjang usia, sehingga tidak ada batasan waktu, kecuali bila terjadi suatu kelainan yang menghambat produksi sperma.

Gambar 1 Tiga fase proses spermatogenesis, yaitu spermatocytogenesis, meiosis, dan spermiogenesis (Senger 2003).

Pengaturan Hormonal dalam Spermatogenesis

Regulasi hormonal pada spermatogenesis diatur dengan baik melalui suatu mekanisme umpan balik yang melibatkan hipotalamus, kelenjar hipofisis dan testis. Hipotalamus mensintesis dan mensekresikan gonadotropin-releasing hormone, yang menginduksi produksi dan pelepasan Luteinizing hormone (LH) dan Follicle stimulating hormone (FSH) dari kelenjar hipofisis. Luteinizing hormone menyebabkan sistesis testosteron di dalam sel-sel Leydig testis, yang menimbulkan umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon dari hipotalamus dan hipofisis. Follicle stimulating hormone bekerja pada sel-sel Sertoli, menghasilkan produksi androgen-binding protein, yang membantu testosteron memasuki sertoli-sertoli junctional complexes (Ogbuewu et al. 2011).

(28)

fertilitas. Di dalam testis, reseptor-reseptor LH diekspresikan dalam sel-sel Leydig selama perkembangan fetus, pada awal kehidupan postnatal, dan dari pubertas ke masa dewasa (Ogbuewu et al. 2011).

Beberapa faktor yang dapat mengganggu steroidogenesis pada sel Leydig yang distimulasi LH dapat menyebabkan dampak besar terhadap regulasi endokrin spermatogenesis dan dapat menuju kepada infertilitas. Beberapa produk tanaman diketahui untuk target sel-sel Leydig dan mengganggu fungsinya. Banyak tanaman merusak steroidogenesis melalui target enzim yang terlibat dalam proses-proses pada level sel-sel Leydig dan atau pada level poros hipotalamus-hipofisis-gonad (Ogbuewu et al. 2011). Pengaturan hormonal dalam spermatogenesis (Gambar 2) menunjukkan hubungan poros hypothalamus-hipofisa-testis dalam menghasilkan hormon untuk spermatogenesis.

(29)

Hormon-hormon yang terkait dengan proses spermatogenesis (Senger 2003) yaitu:

1. GnRH dari hypothalamus, yaitu FSH-RH dan LH-RH 2. FSH dan LH dari hipofisa anterior.

Hormon FSH berfungsi untuk merangsang pembentukan sperma secara langsung serta merangsang sel sertoli untuk meghasilkan ABP (Androgen Binding Protein) untuk memacu spermatogonium melakukan spermatogenesis. Hormon LH berfungsi merangsang sel Leydig untuk memperoleh sekresi testosteron.

3. Steroid dari gonad jantan (testis), yaitu testosteron dan estrogen.

Menurut Walker (2011) terdapat beberapa jalur bagaimana testosteron berperan dalam spermatogenesis, yaitu classical pathway dan non-clasical pathway (Gambar 3). Pada classical pathway, testosteron berdifusi melalui membran plasma dan mengikat reseptor androgen. Selanjutnya reseptor androgen berpindah menuju nucleus dimana dia berikatan dengan androgen response elements (AREs). Aktivasi classical pathway membutuhkan sekitar 30 sampai 45 menit untuk mengawali perubahan dalam ekspresi gen. Pada non-classical pathway setidaknya terdapat dua mekanisme aksi tetosteron di sel Sertoli, yaitu 1) Ca influx pathway dan 2) aktivasi Src, EGFR, kinase dan CREB.

(30)

Deskripsi Kontrasepsi Pria

Kontrasepsi pada pria secara garis besar dapat dibagi menjadi 1) cara mekanis, dan 2) cara medikamentosa. Secara mekanis dengan cara pemakaian kondom dan secara operatif dengan vasektomi. Salah satu cara medikamentosa adalah dengan penggunaan hormon.

Kontrasepsi pria dengan cara pemberian hormon memiliki sasaran poros umpan balik endokrin untuk menekan spermatogenesis. Gonadotropin dari hipofisis ditekan melalui pemberian testosterone atau suatu derivat androgen, sering diberikan dalam kombinasi dengan bahan antigonadotropin yang lain (misalnya progestin atau GnRH antagonis) (Matthiesson dan McLachlan 2006).

Tujuan kontrasepsi hormonal adalah mengubah lingkungan endokrin sehingga kontrol hormonal untuk spermatogenesis dapat dihambat. Metode kontrasepsi hormonal pria dapat berperan menurunkan jumlah sperma melalui penekanan sekresi gonadotropin yang berakibat menurunkan testosteron testis dan menghambat spermatogenesis.

Metode kontrasepsi pada pria belum dapat diterima secara meluas. Menurut data BKKBN, kesertaan pria Indonesia dalam KB hanya sekitar 1.5 persen pada tahun 2009. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut diantaranya karena kurang efektif dan kurang reversible (Matthiesson dan McLachlan 2006). Oleh karena itu upaya-upaya untuk melakukan penelitian terhadap bahan kontrasepsi pria yang dapat diterima masyarakat sangat perlu dilakukan, salah satunya dengan melakukan eksplorasi terhadap tanaman obat yang berpotensi sebagai bahan antifertilitas.

Tanaman yang Memiliki Efek Antifertilitas

Beberapa pendekatan untuk induksi infertilitas telah diteliti dalam periode panjang yang meliputi pendekatan hormonal, kimia dan immunologis. Pada masa kini usaha-usaha untuk menggali tanaman obat untuk kontrasepsi sedang digalakan. Sejumlah tanaman telah diidentifikasi dan dievaluasi dari ekstrak dan bahan aktif dari berbagai bagian tanaman seperti biji, akar, daun, bunga atau batang. Penelitian yang telah dilakukan selama periode 25 tahun (1980 sampai 2005) menunjukkan bahwa terdapat 105 tanaman yang memiliki aktivitas antifertilitas pada jantan (Gupta dan Sharma 2006). Beberapa tanaman yang telah diidentifikasi adalah: Hibiscus rosa sinensis, Gossypium herbaceum, Tripterygium wilfordii Hook. F., Carica papaya Linn., Andrographis paniculata Wall. Ex Nees,

Solanum surattense Burm f., Embelia ribes Burm. f., Catharanthus roseus G. Don,, Abrus precatorius Linn., Azadirachta indica A. Juss, Momordica charantia,

Allium sativum, Piper longum, Ocimum sanctum, Thespesia populnea, Justisia gendarusa (Arifiantini 1996; Gupta dan Sharma 2006; Ogbuewu et al. 2011).

Beberapa tanaman dengan status lebih aktif adalah sebagai berikut (Gupta dan Sharma 2006):

1. Gossypium herbaceum Linn., (Family-Malvaceae, Levant Cotton)

Kandungan gossypol dapat menurunkan kadar testosteron dan LH serum

(31)

juga memblok pembentukan cAMP pada sperma yang menyebabkan penghambatan motilitas sperma. Gossypol menurunkan aktivitas sekresi kelenjar assesori.

2. Tripterygium wilfordii Hook. F.

Menyebabkan perubahan degeneratif dalam epitel tubuli seminiferi dan menurunkan testosteron plasma. Triptolide, kandungan aktif tanaman tersebut dapat menyebabkan infertilitas post-testicular dan menghasilkan beberapa kerusakan pada cauda epididimis sperma. Zat aktif lain, tripchlorolide menghambat aktivitas hyaluronidase testes dan epididimis pada tikus.

3. Carica papaya Linn.

Efek kontrasepsi tanaman ini terutama post-testicular, tanpa mempengaruhi profil toksikologis dan libido hewan. Pemberian ekstrak biji papaya dapat menekan motilitas dan jumlah sperma cauda epididimis pada tikus. Selain itu dapat menurunkan kontraktil tubulus cauda epididimis yang dapat menghambat transport sperma di cauda epididimis. Ekstrak biji papaya juga merubah ultrastruktural di dalam testis dan epididimis tikus.

4. Andrographis paniculata Wall. Ex Nees

Kandungan utama tanaman ini yaitu andrographilode berpengaruh terhadap spermatogenesis dengan cara menahan cytokinesis pembelahan sel-sel spermatogonia. Selain itu menyebabkan penurunan jumlah sperma, motilitas dan terjadi abnormalitas sperma.

5. Solanum surattense Burm f.

Solasodin, suatu alkaloid steroid dari tanaman tersebut menyebabkan perubahan di dalam membran akrosom sperma dan menurunkan motilitas sperma. Selain itu dapat menyebabkan perubahan degeneratif pada epitel seminiferi dan elemen-elemen spermatogenik pada tikus jantan.

6. Embelia ribes Burm. f.

Menyebabkan aktivitas spermicidal, berpengaruh buruk terhadap motilitas sperma, kualitas dan kuantitas semen, dan menurunkan kadar hormon. Embelin sebagai zat aktif tanaman ini dapat merubah histology dan kandungan testis dan dinyatakan memiliki sifat antiandrogenik.

7. Catharanthus roseus G. Don

Ekstrak daun tanaman ini menyebabkan antispermatogenesis dan antiandrogenesis pada tikus jantan.

8. Abrus precatorius Linn.

Serbuk biji tanaman ini menghambat konsepsi pada manusia. Perubahan degeneratif terlihat pada testosteron tikus, kelinci dan monyet. Selain itu menyebabkan perubahan morfologi sperma, menurunkan motilitas dan metabolisme sperma yang berkaitan dengan angka fertilitas. Fraksi steroid dari biji tanaman ini menyebabkan penurunan berat testis, jumlah sperma dan degenerasi pada tahap akhir spermatogenesis pada testis tikus.

9. Azadirachta indica A. Juss.

(32)

Tinjauan Tentang Pegagan (Centella asiatica) Deskripsi

Pegagan merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan, pematangan sawah ataupun di ladang agak basah. Pegagan tumbuh merayap menutupi tanah, tidak memiliki batang, tinggi tanaman antara 10 sampai 50 cm. Pegagan memiliki daun satu helaian yang tersusun dalam roset akar dan terdiri dari 2 sampai 10 helai daun. Daun berwarna hijau dan berbentuk seperti kipas, buah berbentuk pinggang atau ginjal. Pegagan juga memiliki daun yang permukaan dan punggungnya licin, tepinya agak melengkung ke atas, bergerigi, dan kadang-kadang berambut, tulangnya berpusat di pangkal dan tersebar ke ujung serta daunnya memiliki diameter 1 sampai 7 cm (Winarto dan Surbakti 2003).

Pegagan memiliki tangkai daun berbentuk seperti pelepah, agak panjang dan berukuran 5 sampai 15 cm. Pada tangkai daun pegagan dipangkalnya terdapat daun sisik yang sangat pendek, licin, tidak berbulu, berpadu dengan tangkai daun. Pegagan memiliki bunga putih atau merah muda yang tersusun dalam karangan yang berbentuk payung. Buah pegagan berbentuk lonjong atau pipih, berbau harum dan rasanya pahit, panjang buah 2 sampai 2.5 mm. Buah pegagan berdinding agak tebal, kulitnya keras, berlekuk dua, berusuk jelas, dan berwarna kuning (Winarto dan Surbakti 2003).

Gambar 4 Tanaman pegagan (Centella asiatica)

Klasifikasi Pegagan

Berdasarkan deskripsi yang telah diuraikan, klasifikasi dari pegagan adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dikotiledonae Ordo : Umbellales Famili : Umbelliferae Genus : Centella

(33)

Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat Pegagan

Pegagan mengandung berbagai macam senyawa aktif yaitu triterpenoid, minyak essensial, flavonoid dan komponen lain seperti polisakarida, polyyne-alkene, asam amino, asam lemak, sesquiterpen, alkaloid, sterol, carotenoid, tannin, kloropil, pektin, garam inorganik, dll. Triterpenoid terdiri dari asam asiatic, asiaticoside, asam madecassic, madecassoside, brahmoside, asam brahmic, brahminoside, thankuniside, isothankuniside, centteloside, asam madsiatic, asam centic, asam cenellic, asam betulinic, asam indocentic, dll. (Zheng dan Qin 2007).

Kandungan terbesar dari pegagan adalah asam asiatic, asiaticoside, asam madecasic dan madecassoside (Inamdar et al. 1996). Asiaticoside adalah glycoside triterpene dan diklasifikasikan sebagai suatu antibiotik. Madecassoside adalah suatu glycoside, yang merupakan agen anti inflamasi hebat.

Telah diketahui bahwa efek farmakologi utama dari pegagan diketahui berasal dari kandungan senyawa triterpenoid. Beberapa peneliti melaporkan bahwa berbagai jenis senyawa bioaktif yang terkandung pada tumbuhan, utamanya senyawa-senyawa yang berasal dari golongan steroid, alkaloid, isoflavonoid, triterpenoid dan xanthon memiliki aktivitas sebagai bahan antifertilitas (Farnsworth dan Waller 1982; Joshi et al. 2011).

Pegagan diakui memiliki efek farmakologis yang luas, yang digunakan untuk penyembuhan luka, cacat mental, atherosklerosis, fungicidal, antibakteri, antioksidan dan antikanker. Pegagan dilaporkan juga digunakan dalam pengobatan inflamasi, diare, asma, tuberculosis dan berbagai kerusakan kulit, leprosi, lupus, psoriasis dan keloid (Zheng dan Qin, 2007). Laporan lain menyebutkan bahwa pegagan merupakan salah satu tanaman obat yang sudah banyak digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit antara lain mengatasi stroke/darah tinggi, lepra dan bisul, pembengkakan hati, batuk dan radang saluran pernafasan, demam, sariawan dan keputihan, batu ginjal dan epilepsi serta menurunkan kolesterol dan meningkatkan daya ingat (Winarto dan Surbakti 2003).

Peran Pegagan dalam Reproduksi Jantan

Pegagan memiliki beberapa kandungan senyawa aktif yang dapat berpengaruh terhadap spermatogenesis. Telah diketahui bahwa senyawa bioaktif seperti triterpenoid yang terkandung pada tumbuhan memiliki aktivitas sebagai bahan antifertilitas. Golongan alkaloid dapat mempengaruhi spermatogenesis dengan cara menekan sekresi hormon reproduksi yang diperlukan untuk berlangsungnya spermatogenesis (Winarno dan Sundari 1997). Golongan terpen dan minyak atsiri bekerja tidak pada proses spermatogenesis, tetapi pada proses transportasi sperma yaitu dapat menggumpalkan sperma sehingga menurunkan motilitas dan daya hidup sperma, akibatnya sperma tidak dapat mencapai sel telur dan pembuahan dapat tercegah (Sumastuti dan Kadarsih 1994 diacu dalam Winarno dan Sundari 1997), sedangkan tanin bekerja hampir sama yaitu menggumpalkan semen.

(34)

namun secara histologis, tanda-tanda penghambatan sel-sel testikular nampak jelas pada dosis 100 mg/kg BB. Laporan lain menyebutkan bahwa pegagan nampaknya dapat digunakan sebagai bahan kontrasepsi temporer pada hewan, dimana pemberian ekstrak pegagan dengan dosis 10, 50, 80, dan 100 mg/kg BB selama 60 hari menyebabkan degenerasi sperma, penurunan jumlah sperma (p<0.01) dan sperma motil pada tikus (Heidari et al. 2007). Demikian pula dilaporkan bahwa hewan yang diberi ekstak pegagan dengan dosis 100, 200, dan 300 mg/kg BB selama 42 hari menunjukkan beberapa degenerasi sel-sel spermatogenik dan penurunan spermatozoa dalam lumen tubuli seminiferi, penurunan jumlah sperma yang paling nyata (p<0.05) terjadi pada perlakuan pemberian dosis 200 dan 300 mg/kg BB (Yunianto et al. 2010).

Tinjauan Tentang Tikus (Rattus norvegicus)

Strain tikus yang paling umum digunakan dalam penelitian dipercaya didomestikasi dari strain-strain tikus Norway, Rattus norvegicus. Data biologis dan reproduksi tikus adalah sebagai berikut :

Berat badan jantan dewasa : 300 - 520 g Berat badan betina dewasa : 250 – 300 g Masa hidup : 2.5 – 3.5 tahun Temperatur tubuh : 35.0 – 37.5oC Konsumsi pakan : 5-6 g/100 g/hari Konsumsi air : 10-12 ml/100 g/hari Onset masa kawin jantan : 65 – 110 hari Onset masa kawin betina : 65 – 110 hari Panjang siklus estrus : 4 – 5 hari Lama Kebuntingan : 21 – 23 hari Estrus postpartum : fertil

Jumlah anak : 6 – 12 ekor

Umur sapih : 21 hari

Jumlah kromosom (diploid) : 42

(Harkness dan Wagner 1995 diacu dalam Hrapkiewicz dan Medina 2007).

(35)

PERKEMBANGAN SEL-SEL SPERMATOGENIK DAN

KUALITAS SPERMA PASCAPEMBERIAN EKSTRAK

PEGAGAN (Centella asiatica)

ABSTRACT

The objective of this study was to determine the development of spermatogenic cells and sperm quality after the administration of extracts of pegagan (Centella asiatica) in various doses and duration of administration. The experimental was carried out using 48 rats which were devided into 16 groups combining dose (0, 50, 150 and 450 mg/kg BW) and duration of treatments (28, 35, 42 and 49 days). Parameters measured consist of population of spermatogenic cells (spermatogonia, primary spermatocytes, late spermatids) and sperm quality (concentration, motility, abnormality). Result of the experiment indicated that both the dose and duration showed very significantly (p<0.01) effect on the decrease of late spermatid population, sperm motility and concentration, but not on the population of spermatogonia, the primary spermatocytes and sperm abnormalities. The decrease of population and quality may due to antifertility effect of pegagan, even though still in the normal range. It is concluded that spermatogenic cells development and sperm quality reducede administration of pegagan extract. However infertility was not yet found up to the dose of 450 mg/kg BW for 49 days duration of the administration of pegagan extract.

Keywords: spermatogenic cells, sperm quality, pegagan extract

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan sel-sel spermatogenik dan kualitas sperma pascapemberian ekstrak pegagan. Penelitian ini menggunakan 48 ekor tikus yang dibagi menjadi 16 grup yang mendapat kombinasi perlakuan dosis (0, 50, 150 and 450 mg/kg BB) dan lama pemberian (28, 35, 42 dan 49 hari). Parameter yang diukur terdiri dari populasi sel spermatogenik (spermatogonia, spermatosit primer, spermatid akhir) dan kualitas sperma (konsentrasi, motilitas, abnormalitas). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik dosis maupun lama pemberian memberikan pengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap penurunan populasi spermatid akhir, motilitas dan konsentrasi sperma, namun tidak berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap populasi spermatogonia dan spermatosit primer maupun abnormalitas sperma. Penurunan yang terjadi diduga sebagai efek antifertilitas yang dimiliki pegagan, namun masih berada pada kisaran normal. Disimpulkan bahwa perkembangan sel spermatogenik dan kualitas sperma menurun pascapemberian ekstrak pegagan, namun infertilitas belum ditemukan sampai dosis 450 mg/kg BB dengan lama pemberian 49 hari.

(36)

PENDAHULUAN

Perkembangan sel-sel spermatogenik di dalam tubuli seminiferi testis dan kualitas sperma merupakan indikator untuk mengontrol fertilitas dari suatu individu. Sel-sel spermatogenik seperti spermatogonia, spermatosit dan spermatid merupakan cikal bakal terbentuknya spermatozoa, sehingga keberadaan sel-sel spermatogenik di tubuli seminiferi testis merupakan titik tolak untuk menilai fertilitas. Demikian pula halnya dengan kualitas sperma seperti motilitas, konsentrasi dan abnormalitas. Baik sel-sel spermatogenik maupun kualitas sperma dapat dikendalikan untuk mengontrol fertilitas dan dapat dijadikan parameter untuk melihat efek antifertilitas dari suatu bahan.

Pegagan (Centella asiatica) atau disebut juga antanan merupakan salah satu tanaman obat yang sudah digunakan secara luas untuk mengobati berbagai macam penyakit. Pegagan telah dilaporkan pula mengandung berbagai macam senyawa aktif yaitu triterpenoid, minyak essensial, flavonoid dan komponen lain seperti polisakarida, polyyne-alkene, asam amino, asam lemak, sesquiterpen, alkaloid, sterol, carotenoid, tannin, klorofil, pektin, garam inorganik, dll. (Zheng dan Qin 2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa berbagai jenis senyawa bioaktif yang terkandung pada tumbuhan, terutama senyawa-senyawa yang berasal dari golongan steroid, alkaloid, isoflavonoid, triterpenoid, xanthon, tannin, flavonoid, dan quinon memiliki aktivitas sebagai bahan antifertilitas (Farnsworth dan Waller 1982; Joshi et al. 2011). Isothankuniside and Methyl-5-hydroxy-3, 6-diketo-23(or 24)-norurs-12-en-28-oate dilaporkan merupakan kandungan utama pegagan yang berperan untuk aktivitas antifertilitas pada mencit betina karena dapat menurunkan fertilitas (Singh et al. 2011).

(37)

MATERI DAN METODE

Materi Penelitian Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley dewasa, umur 12 minggu sebanyak 48 ekor. Bobot badan (BB) tikus berkisar antara 190 sampai 240 g.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang hewan coba, timbangan analitik, sonde lambung, alat bedah, perlengkapan evaluasi kualitas sperma, kamar hitung Neubauer, mikrotom, dan mikroskop. Bahan dasar yang diperlukan pada penelitian ini adalah ekstrak pegagan. Bahan lain diantaranya obat anastesi (Ketamine), buffer normal formalin (BNF) 10%, bahan untuk evaluasi kualitas sperma, alkohol, etanol, xylol dan parafin.

Metode Penelitian Persiapan Penelitian

1) Hewan coba diadaptasikan dalam kandang pemeliharaan berukuran 41 cm x 31 cm x 20 cm selama dua minggu. Pakan (protein 18%, lemak 5%, serat 5%, abu 8%) dan air minum diberikan adlibitum.

2) Ekstraksi tanaman pegagan dilakukan di laboratorium uji Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) dengan prosedur sebagai berikut: tanaman pegagan yang digunakan berasal dari bagian daun dan batang dikoleksi dan dicuci. Setelah itu dikeringanginkan pada suhu ruang sampai kering selama sekitar lima hari. Kemudian dihaluskan dengan mesin penggiling, serbuk yang dihasilkan ditimbang. Selanjutnya dimasukkan dalam panci stainless dan ditambahkan pelarut ethanol 70% dengan perbandingan 1 : 5 (bahan : pelarut) sehingga bahan terendam dan mudah diaduk. Lama pengadukan selama tiga jam kemudian diendapkan semalam. Selanjutnya disaring dengan kertas saring Wismen untuk mendapatkan filtratnya, kemudian dipekatkan dengan menggunakan

rotary evaporator sampai pelarut menguap, sehingga pada akhirnya diperoleh ekstrak yang kental.

Rancangan Percobaan

(38)

Parameter

Parameter yang diukur terdiri dari kualitas sperma dan populasi sel spermatogenik. Kualitas sperma terdiri dari konsentrasi, motilitas dan abnormalitas, sedangkan populasi sel spermatogenik terdiri dari populasi sel spermatogonia, sel spermatosit primer dan sel spermatid akhir.

Pemberian Perlakuan

Ekstrak kental pegagan ditimbang sesuai dengan perlakuan dosis, selanjutnya dilarutkan dalam aquabides. Pemberian dilakukan dengan cara cekok menggunakan sonde lambung setiap pagi antara jam 06.00 – 08.00.

Prosedur Sampling Hewan Coba

Pada akhir perlakuan (sesuai dengan perlakuan lama pemberian), tikus dianastesi intraperitoneal dengan ketamine 10 mg/100 g BB. Selanjutnya dilakukan pengambilan organ testis dan epididimis untuk evaluasi sel spermatogenik dan kualitas sperma.

Evaluasi Kualitas Sperma

Sampel sperma diambil dari bagian cauda epididimis segera setelah dilakukan pembedahan dengan cara menyayat dan menekan bagian cauda sehingga sperma keluar. Selanjutnya sperma ditampung di objek glass untuk selanjutnya dilakukan evaluasi terhadap motilitas, konsentrasi dan abnormalitas sperma.

Konsentrasi Spermatozoa

Penghitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan Neubauer

chamber dengan cara sebagai berikut: semen dari cauda epididimis diambil 1 µl dengan mikropipet dan dicampurkan dengan larutan formolsalin sebanyak 499 µl di dalam mini tube effendorf, sehingga pengenceran yang dilakukan yaitu 1 : 500. Selanjutnya campuran dihomogenkan lalu diteteskan pada kamar hitung Neubauer dan dilakukan penghitungan dibawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali. Penghitungan spermatozoa dilakukan terhadap lima kamar dari sebanyak 25 kamar hitung yang ada dengan arah diagonal (sudut kanan atas dan bawah, sudut kiri atas dan bawah, serta tengah). Jumlah spermatozoa yang diperoleh dari penjumlahan lima kamar kemudian dikalikan 25 x 106 sel/ml.

Motilitas Spermatozoa

Pengamatan motilitas spermatozoa dilakukan dengan cara mencampurkan satu tetes semen dari cauda epididimis dengan dua tetes NaCl fisiologis di atas

object glass secara merata. Kemudian dari campuran tersebut diambil sedikit dan ditutup dengan cover glass untuk selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 10 kali. Spermatozoa yang bergerak ke depan diamati dibandingkan dengan yang tidak bergerak atau bergerak di tempat, dan dinyatakan dalam persentase.

Abnormalitas Spermatozoa

(39)

Selanjutnya dibuat preparat ulas pada object glass yang lain kemudian dibiarkan sampai kering untuk selanjutnya diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif 10 kali. Penghitungan dilakukan terhadap spermatozoa berbentuk abnormal yaitu sperma dengan ekor melingkar dan kepala putus, kemudian dibandingkan dengan jumlah spermatozoa yang ada dalam lapang pandang dan dinyatakan dalam persen.

Prosedur Histomorfologi Tubulus Seminiferus dan Evaluasi Populasi Sel Spermatogenik

Evaluasi histomorfologi tubuli seminiferi dilakukan untuk menentukan perkembangan sel-sel spermatogenik di dalam tubuli seminiferi. Spesimen yang diambil adalah testis, yang kemudian dimasukan kedalam larutan BNF 10% untuk difiksasi selama minimal satu minggu. Sampel jaringan yang telah difiksasi ditrimming dengan ketebalan sekitar 2 mm, selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan rangkaian alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, dan 95%) dan diclearing

dengan larutan xylol, setelah itu diparafinasi, kemudian organ dicetak

(embedding) dengan paraffin. Selanjutnya dipotong dengan rotary microtome dengan ketebalan 4 sampai 5 µm. Pada tahap terakhir hasil potongan diwarnai dengan hematoksilin dan eosin (HE).

Perhitungan populasi sel spermatogenik dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran objektif 100 kali, dilakukan pada lima tubuli seminiferi untuk setiap ulangan perlakuan. Perhitungan populasi sel spermatogenik meliputi: spermatogonia, spermatosit primer dan spermatid akhir yang tampak dalam bentuk kepala spermatozoa dan sebagian ekor.

Analisis Data

Data yang diperoleh diuji dengan analisis varian (ANOVA) yang sebelumnya diuji normalitas menggunakan uji Kolmogorof Smirnov, dan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan. Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi 19.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Populasi Sel Spermatogenik

(40)

Gambar 5 Penampang tubuli seminiferi testis tikus normal yang berisi sel-sel spermatogenik: a) sel spermatogonia, b) sel spermatosit primer, c) sel spermatid akhir (pewarnaan hematoksilin-eosin (HE), pembesaran objektif 100 kali)

Sel Spermatogonia

Populasi sel spermatogonia pascapemberian ekstrak pegagan dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan adanya penurunan populasi sel spermatogonia pascapemberian ekstrak pegagan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap populasi sel spermatogonia, walaupun tampak terjadi penurunan populasi sel spermatogonia.

Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0.05) terhadap penurunan populasi spermatogonia, yang berarti bahwa senyawa aktif yang terkandung dalam ekstrak pegagan tidak menyebabkan kerusakan terhadap spermatogonia. Dengan demikian berarti bahwa spermatogonia yang terdapat di tubuli seminiferi dapat dipertahankan keberadaannya untuk selanjutnya menjalani spermatogenesis. Matthiesson et al. (2006) melaporkan bahwa pematangan spermatogonia dipengaruhi oleh FSH. Peneliti lain melaporkan pula bahwa FSH mendukung perkembangan sel germinal awal, tetapi tidak mampu mendukung spermatogenesis secara keseluruhan (Allan et al. 2004). Terdapat bukti bahwa penahanan FSH menginduksi apoptosis spermatogonia melalui jalur apoptosis intrinsik pada tikus belum dewasa maupun dewasa (Ruwanpura et al. 2008a, b). Pada manusia, FSH nampaknya mempertahankan spermatogonia sampai spermatosit pakiten (Matthiesson et al. 2006), yang menunjukkan bahwa FSH memainkan peran penting yang sama seperti pada tikus. Hal tersebut menunjukkan bahwa gonadotropin pada pria bertindak sebagai survival factors

untuk spermatogonia melalui pengaturan jalur apoptosis intrinsik, bukan jalur apoptosis ekstrinsik, dimana tidak berperan dalam proliferasi (Ruwanpura et al. 2008c).

c

(41)

Hasil penelitian ini menunjukkan kemungkinan bahwa ekstrak pegagan tidak menyebabkan perubahan terhadap aktivitas sel-sel hipofisa yang memproduksi FSH, sehingga produksi FSH dipertahankan. Hasil ini menunjukkan bahwa populasi spermatogonia tidak dipengaruhi oleh pemberian ekstrak pegagan, sehingga apabila pegagan digunakan sebagai alternatif kontrasepsi pria maka efek antifertilitas yang ditimbulkan tidak sampai mengakibatkan kerusakan pada spermatogonia yang memungkinkan terbentuknya spermatozoa bila pengaruh ekstrak dihilangkan, sehingga infertilitas yang terjadi bersifat sementara.

Tabel 1 Rata-rata populasi sel spermatogonia dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan

Dosis Lama pemberian (hari)

(mg/kg BB) 28 35 42 49

Populasi sel spermatogonia (sel)

0 67.9± 5.23 58.6± 0.57 58.5± 1.27 60.8±0.57 50 64.9±12.02 58.7±13.44 58.5± 3.82 59.0±2.26 150 60.4± 0.85 51.9± 1.56 53.6±17.54 61.3±0.99 450 57.2± 4.81 52.5± 3.82 48.1± 8.34 49.6±2.26 Hasil ANOVA menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Sel Spermatosit Primer

Populasi sel spermatosit primer pascapemberian ekstrak pegagan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan adanya penurunan populasi sel spermatosit primer pascapemberian ekstrak pegagan.

(42)

Tabel 2 Rata-rata populasi sel spermatosit primer dan simpangan baku Hasil ANOVA menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05)

Sel Spermatid Akhir

Populasi sel spermatid akhir pascapemberian ekstrak pegagan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa populasi sel spermatid akhir menurun pascapemberian ekstrak pegagan.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian memberikan pengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap penurunan populasi spermatid akhir. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan dosis 450 mg/kg BB, 50 mg/kg BB dan 150 mg/kg BB menghasilkan populasi spermatid akhir yang nyata (p<0.05) lebih rendah dibanding dengan dosis 0 mg/kg BB. Dosis 450 mg/kg BB menghasilkan jumlah sel spermatid akhir terendah namun tidak berbeda nyata dengan dosis 50 mg/kg BB, disusul berturut-turut oleh perlakuan 150 mg/kg BB dan 0 mg/kg BB. Perlakuan dosis yang dikombinasikan dengan lama pemberian 49 hari menghasilkan jumlah sel spermatid akhir terendah dibanding lama pemberian yang lain kecuali pada dosis 150 mg/kg BB. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak pegagan berpengaruh pada saat pembentukan sel spermatid akhir. Terjadinya penurunan tersebut kemungkinan disebabkan terganggunya pembelahan meiosis saat spermatogenesis, yaitu saat sel spermatosit primer melakukan pembelahan meiosis pertama membentuk sel spermatosit sekunder dan pada saat sel spermatosit sekunder melakukan meiosis kedua menjadi sel spermatid. Lebih lanjut, hal tersebut akan berpengaruh terhadap pembentukan sel spermatozoa dewasa yang dibutuhkan untuk proses fertilisasi.

(43)

1999; Vera et al. 2006 diacu dalam Ruwanpura et al. 2010). Pada manusia, testosteron penting untuk konversi round spermatid (Matthiesson et al. 2006).

Tabel 3 Rata-rata populasi sel spermatid akhir dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan

Dosis Lama pemberian (hari)

(mg/kg BB) 28 35 42 49

Populasi sel spermatid akhir (sel)

0 118.50±8.34d 92.00±10.18bc 104.35± 7.42cd 76.60±13.86ab 50 65.30±9.48a 65.40± 6.51a 58.00± 5.67a 59.80± 0.57a 150 90.80±8.34bc 60.20± 0.28a 74.40± 7.07ab 73.30±10.89ab 450 64.60±2.55a 57.80±11.88a 62.90±10.04a 55.70±10.32a Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Adanya gangguan terhadap spermatogenesis berkaitan dengan kandungan bahan aktif yang terdapat pada ekstrak pegagan. Zha et al. (2008) menyatakan bahwa mekanisme kerja obat antifertilitas pada jantan berkaitan dengan apoptosis sel-sel spermatogenik. Selain itu, penurunan jumlah spermatid akhir dapat pula disebabkan penurunan kadar testosteron. Sewani-Rusike dan Gundidza (2011) melaporkan bahwa penurunan spermatogenesis berkaitan dengan kekurangan testosteron. Efek antiandrogenik dapat melalui fungsi hypothalamus dan hipophisa anterior atau secara langsung terhadap testis.

Hormon gonadotropin yaitu LH dan FSH adalah regulator spermatogenesis. LH meningkatkan transport kolesterol ke dalam mitokondria dari sitosol di dalam sel Leydig (Barlow et al. 2003). FSH dan testosteron secara sinergis berperan dalam maturasi sel-sel germinal (Haywood et al. 2003). Testosteron sendiri dapat menginduksi maturasi sel-sel germinal secara independent dari aktivitas FSH (Spaliviero et al. 2004).

Hasil ini menunjukkan pula bahwa apabila pegagan digunakan sebagai alternatif kontrasepsi pria, maka pengaruh yang ditimbulkan tidak akan bersifat permanen karena yang terpengaruh adalah pada tahap pembentukan sel spermatid akhir dan bukan pada tahap sel spermatogonia yang merupakan asal mula terbentuknya sel spermatozoa yang diperlukan untuk proses reproduksi.

Kualitas Sperma Motilitas Sperma

Motilitas sperma pascapemberian ekstrak pegagan dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan adanya penurunan motilitas pascapemberian ekstrak pegagan. Dosis 450 menghasilkan motilitas terendah, disusul oleh dosis 50 mg/kg BB, 150 mg/kg BB dan 0 mg/kg BB.

(44)

menghasilkan motilitas yang nyata (p<0.05) lebih rendah dibanding perlakuan 150 mg/kg BB dan 0 mg/kg BB kecuali pada perlakuan dosis yang dikombinasikan dengan lama pemberian selama 49 hari, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 50 mg/kg BB. Perlakuan dosis yang dikombinasikan dengan lama pemberian 28, 35 dan 42 hari menghasilkan motilitas yang tidak berbeda nyata, namun nyata (p<0.05) lebih rendah dibandingkan dengan lama pemberian 49 hari. Hal ini kemungkinan disebabkan pada perlakuan 49 hari, sperma yang terdapat pada epididimis merupakan sperma hasil spermatogenesis yang baru dan hanya sebentar terpengaruh oleh perlakuan ekstrak pegagan, dimana sperma yang sudah lama terbentuk dan terpengaruh oleh ekstrak pegagan sudah terserap kembali oleh tubuh. Sperma yang terdapat di dalam epididimis memiliki siklus hidup, dimana pada suatu rentang waktu tertentu sperma tersebut akan diserap kembali oleh tubuh apabila tidak diejakulasikan.

Motilitas yang dihasilkan setelah perlakuan ekstrak pegagan dosis 50, 150 dan 450 mg/kg BB lebih rendah dibandingkan dosis 0 mg/kg BB kemungkinan karena berkurangnya bahan nutrisi yang digunakan sebagai sumber energi untuk sperma. Hal ini mungkin disebabkan adanya zat penghambat yang dikandung oleh ekstrak pegagan untuk pembentukkan zat-zat nutrisi tersebut.

Tabel 4 Rata-rata motilitas sperma dan simpangan baku pada berbagai perlakuan kombinasi dosis dan lama pemberian ekstrak pegagan Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Gambar

Gambar 1  Tiga fase proses spermatogenesis, yaitu spermatocytogenesis,
Gambar 2  Hubungan antara hormon-hormon yang dihasilkan oleh sel-sel Sertoli, sel-sel Leydig, hipotalamus dan pituitary anterior (Senger 2003)
Gambar 3  Jalur Sinyal Testosteron
Gambar 5   Penampang tubuli seminiferi testis tikus normal yang berisi sel-sel
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pada perkembangan terjadi peningkatan 21,39% untuk perkembangan motorik hal ini karena dengan adanya peer group anak menjadi semangat untuk melakukan kegiatan,

Untuk mencapai diet yang sehat tersebut, salah satu cara yang disarankan oleh WHO adalah dengan membatasi konsumsi makanan atau minuman yang mengandung gula tinggi termasuk

Mengesahkan Convention (Number 87) concening Preedom of Association and Protection of the Right to Organise (Konvensi Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak

Meskipun dalam kedua teks tersebut tidak ditemukan waktu penyalinannya, tetapi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Roosiati (1983) disebutkan

Melakukan upaya perubahan gaya hidup yang sehat untuk menurunkan kekambuhan ( contoh: menghindari merokok, menurunkan BB, merubah dit, dan meningatkan aktivitas

Penelitian ini bertujuan merancang sistem informasi sumber daya manusia yang dapat meningkatkan kuaIitas SDM di departemen musik dan pujian yang dapat mendukung Gereja

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana hasil pengujian kuat tekan dan kuat lentur beton berdasarkan proporsi campuran pada perkerasan kaku jalan tol

penelitian ini adalah Apakah LDR, IPR, APB, NPL, BOPO, FBIR, serta NIM secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ROA pada Bank