• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiripan Dan Potensi Produksi Aksesi Pohpohan (Pilea Trinervia Wight ) Dari Beberapa Lokasi Di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemiripan Dan Potensi Produksi Aksesi Pohpohan (Pilea Trinervia Wight ) Dari Beberapa Lokasi Di Jawa Barat"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

KEMIRIPAN DAN POTENSI PRODUKSI AKSESI

POHPOHAN (

Pilea trinervia

Wight

.

) DARI BEBERAPA

LOKASI DI JAWA BARAT

SOPIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kemiripan dan Potensi Produksi Aksesi Pohpohan (Pilea trinervia Wight.) dari Beberapa Lokasi di Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015 Sopiana NIM A252120111

(4)

RINGKASAN

SOPIANA. Kemiripan dan Potensi Produksi Aksesi Pohpohan (Pilea trinervia Wight.) dari Beberapa Lokasi di Jawa Barat. Dibimbing oleh ANAS DINURROHMAN SUSILA dan MUHAMAD SYUKUR.

Saat ini peluang peningkatan produksi pohpohan masih terbuka. Selama ini produksi yang telah dicapai masih dibawah potensi yang ada. Salah satu alternatif dalam peningkatan produksi pohpohan adalah penggunaan bahan tanam yang unggul.

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan. Percobaan pertama adalah eksplorasi dan kemiripan antar aksesi pohpohan (Pilea trinervia Wight.) dari beberapa lokasi di Jawa Barat. Eksplorasi dilakukan dengan mengambil stek pohpohan. Pengamatan dilakukan berdasarkan karakter morfologi tanaman pohpohan dan untuk mengetahui ketidak-miripan antar aksesi pohpohan dilakukan anlisis gerombol. Percobaan kedua adalah evaluasi potensi produksi berbagai aksesi pohpohan (Pilea trinervia Wight.) dari beberapa lokasi di Jawa Barat. Percobaan kedua menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal yaitu 3 aksesi sebagai perlakuan.

Eksplorasi dilakukan di delapan kabupaten di Jawa Barat yaitu Bogor, Bandung Barat, Subang, Majalengka, Kuningan, Garut, Sukabumi dan Bandung. Berdasarkan hasil karakterisasi, 13 aksesi pohpohan memiliki kemiripan beberapa karakter yaitu tipe tanaman, total tinggi tanaman, kerapatan tanaman, pewarnaan antosianin batang, daun berbulu, bentuk helai daun, bentuk tulang daun, profil di penampang helai daun, gelombang daun, tepi bergelombang helai daun, tepi bergerigi helai daun, kedalaman gerigi tepi helai daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, panjang tangkai daun, panjang ruas rata-rata pada batang berbunga, bentuk malai, warna daun mahkota bunga, dan waktu berbunga.

Tiga belas aksesi pohpohan hasil eksplorasi dikelompokkan menjadi tiga gerombol pada koefisien ketidak-miripan delapan. Gerombol I terdiri dari aksesi Bobojong. Gerombol II terdiri dari aksesi Curug Rendeng, Argalingga, dan Linggarjati. Gerombol III terdiri dari aksesi Sukalilah, Lebaksiuh, Warung Loa, Lebak Muncang, Situsari, Langensari, Kayu Ambon, Tugu Selatan, dan Palasari.

Karakter ketidak-miripan masing-masing gerombol yaitu intensitas pewarnaan antosianin ujung batang, panjang helai daun, lebar helai daun, panjang ujung daun, lebar ujung daun, dan kecerahan helai daun. Ciri utama gerombol I yaitumemiliki panjang dan lebar daun sedang, ujung daun pendek, dan kecerahan helai daun lemah. Ciri utama gerombol II yaitu memiliki intensitas pewarnaan antosianin ujung batang kuat, panjang ujung daun sedang, dan kecerahan helai daun kuat. Ciri utama gerombol III yaitu memiliki kecerahan helai daun sedang, ujung daun panjang dan lebar.

Secara umum aksesi Bobojong, Linggarjati, dan Warung Loa memiliki potensi untuk dikembangkan dalam upaya peningkatan produktivitas maupun perakitan varietas tanaman pohpohan.Aksesi Warung Loa merupakan aksesi yang paling unggul karena menunjukkan hasil yang terbaik pada tinggi tanaman, jumlah cabang primer, lebar daun, hasil panen per petak, dan produktivitas tanaman.

(5)

SUMMARY

SOPIANA. Similarities and Production Potential of Pohpohan Landraces (Pilea trinervia Wight.) of Multiple Locations in West Java. Supervised by ANAS DINURROHMAN SUSILA and MUHAMAD SYUKUR.

Currently pohpohan production improvement opportunities are still open. During this time, production achievement is still below its potential yield. To increase the yield of pohpohan the high yieldy plant material is needed.

This study consisted of two experiments. The first experiment was exploration and similarities between pohpohan landraces (Pilea trinervia Wight.) from several locations in West Java. Exploration was carried out by taking cuttings of pohpohan. Observations were made based on morphological characters of pohpohan plants and to determine the lack of resemblance between pohpohan landraces. The second experiment was to evaluate the yield potential of various pohpohan landraces (Pilea trinervia Wight.) from several locations in West Java. The second experiment was arranged in Randomized Complete Block Design (RCBD) with 3 selected conraced as treatments.

Exploration was conducted in eight districts in West Java, Bogor, West Bandung, Subang, Majalengka, Kuningan, Garut, Sukabumi, and Bandung. Based on the results of characterization, 13 pohpohan landraces had some resemblances in characters which was the type of plant, total plant height, plant density, stem anthocyanin colouration, hairy leaves, leaf shape, leaf bone shape, in cross-section profiles of the leaves, leaf waves, wavy leaf edges, serrated leaf edge, edge serration depth leaves, leaf tip shape, form the base of the leaf, petiole length, the average segment length on flowering stem, panicle shape, color petals of flowers, and flowering time.

Thirteen pohpohan landraces exploration results were grouped into three group on the coefficient of non-resemblance eight. Group I composed of landraces Bobojong. Group II consisted of landraces Curug Rendeng, Argalingga, and Linggarjati. group III consisted of landraces Sukalilah, Lebaksiuh, Warung Loa, Lebak Muncang, Situsari, Langensari, Kayu Ambon, Tugu Selatan, and Palasari.

The non-resemblances character to build each group were the intensity of the anthocyanin, end of the stem, leaf length, leaf width, leaf tip length, leaf tip width, and brightness of the leaves.The main features of the first group were that they had length and width of the leaves, short leaves tip, and brightness of weak leaves. The main characteristics of group II were an intensity of anthocyanin, strong rod tip coloration, medium length leaves tip, and leaves a strong brightness. The main characteristics of group III were leaves with a moderate brightness, leaf tip length and width.

In general the Bobojong, Linggarjati, and Warung Loa landraces were the potential to be developed in order to obtain the new variety of pohpohan. Warung Loa landraces is the most superior because it shows the best results on plant height, number of primary branches, wide leaves, yield per plot, and crop productivity.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KEMIRIPAN DAN POTENSI PRODUKSI AKSESI

POHPOHAN (

Pilea trinervia

Wight.) DARI BEBERAPA

LOKASI DI JAWA BARAT

SOPIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil’alamin. Puji dan syukur Penulis kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Kemiripan dan potensi produksi aksesi pohpohan (Pilea trinervia Wight.) dari beberapa lokasi di Jawa Barat dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 sampai Agustus 2014.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Anas Dinurrohman Susila, MSi dan Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi, selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, kritik dan masukan hingga penulisan tesis. Sebagian dari tulisan ini dipublikasikan di Jurnal Agronomi Indonesia (JAI) dengan judul Kemiripan dan potensi produksi aksesi pohpohan (Pilea trinervia Wight.) dari beberapa daerah di Jawa Barat (dalam PROSES). Terima kasih juga disampaikan kepada Kemenristek yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Insentif Riset SINas Tahun 2014 No Kontrak 25/SEK/INSINAS/PPK/I/2014 an. Prof Dr Ir Sobir, MSi. Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT). Ungkapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada ayah, ibu, suami serta seluruh anggota keluarga, atas doa dan kasih sayangnya.

Semoga tesis ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 TINJAUN PUSTAKA 4

3 EKSPLORASI DAN KEMIRIPAN ANTAR AKSESI POHPOHAN (Pilea trinervia Wight.) DARI BEBERAPA LOKASI DI JAWA

BARAT 6

Pendahuluan 7

Bahan dan Metode 7

Hasil dan Pembahasan 11

Simpulan 14

4 EVALUASI POTENSI PRODUKSI AKSESI POHPOHAN (Pilea trinervia Wight.) DARI BEBERAPA LOKASI DI JAWA

BARAT 15

Pendahuluan 16

Bahan dan Metode 16

Hasil dan Pembahasan 18

Simpulan 22

5 PEMBAHASAN UMUM 23

6 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 27

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 32

(12)

DAFTAR TABEL

1. Hasil eksplorasi 13 aksesi pohpohan dari beberapa lokasi di

Jawa Barat 11

2. Perbedaan karakter morfologi masing-masing gerombol 14 3. Tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah cabang primer 18 4. Panjang daun, lebar daun, dan umur mulai berbunga 19 5. Hasil panen, total produktivitas tanaman per 6 minggu, dan

total produktivitas tanaman per tahun 19

6. Rangkuman hasil pengelompokan karakter 3 aksesi pohpohan

yang diamati 21

DAFTAR GAMBAR

1. Bagan alur penelitian 3

2. Tipe tanaman 8

3. Bentuk helai daun 9

4. Profil penampang helai daun 9

5. Bentuk tipe helai daun 10

6. Bentuk ujung daun 10

7. Bentuk tangkai daun 10

8. Dendogram hasil analisis 13 aksesi pohpohan 13 9. Intensitas pewarnaan ujung batang lemah dan kuat 23

10. Panjang daun pohpohan sedang dan panjang 24

11. Lebar daun pohpohan sedang dan lebar 24

12. Panjang ujung daun pendek, sedang, dan panjang 25

13. Lebar ujung daun sedang dan lebar 25

14. Kecerahan helai daun sedang, kuat dan lemah 26

DAFTAR LAMPIRAN

1. Deskripsi aksesi Bobojong 32

2. Gambar aksesi Bobojong 33

3. Deskripsi aksesi Linggarjati 34

4. Gambar aksesi Linggarjati 35

5. Deskripsi aksesi Warung Loa 36

6. Gambar aksesi Warung Loa 37

7. Peta pengambilan 13 aksesi pohpohan 38

8. Tabel jarak Euclidean 39

(13)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Sayuran merupakan komoditas penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional (Taufik 2012). Sayuran indigenous merupakan bagian keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia (Baihaki 2003) salah satunya pohpohan (Pilea trinervia Wight.). Pohpohan merupakan sayuran indigenous yang potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman komersial.

Sayuran indigenous adalah sayuran asli Indonesia yang berasal dari daerah/wilayah/ekosistem tertentu, termasuk spesies pendatang dari wilayah geografis lain tetapi telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia (Litbang Deptan 2013). Sayuran indigenous biasanya ditumbuhkan di pekarangan rumah atau di kebun secara komersial dan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga sendiri seperti dimasak menjadi sayur atau dimakan dalam bentuk segar (Disperta Jabar 2012).

Pohpohan memiliki banyak jenis dan berpotensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan, baik sebagai pangan maupun obat-obatan. Penelitian Andarwulan et al. (2010) menunjukkan bahwa hasil ekstrak daun Pilea melastomoides yang dianalisis menggunakan HPLC memiliki aktivitas antioksidan berupa flavonoid sebesar 2.27 mg/100 g dry basis. Menurut Rahayuningsih (2015) ekstrak daun pohpohan memiliki aktivitas antidiabetes.

Spesies pohpohan lainnya yang telah diketahui mempunyai banyak manfaat yaitu Pilea microphylla. Menurut hasil penelitian Chahardehi et al. (2009) Pilea microphylla memiliki antioksidan tinggi dan berpotensi sebagai sumber antioksidan alami. Ibrahim et al. (2012) menyatakan bahwa Pilea microphylla digunakan sebagai sumberdaya potensial untuk agen psikoterapi alami terhadap depresi pada tikus.

Kajian tentang manfaat dan kandungan tanaman pohpohan banyak dilakukan diberbagai Negara termasuk Indonesia, namun di Indonesia eksplorasi dan karakterisasi aksesi pohpohan masih sedikit dilakukan. Hasil eksplorasi Putrasamedja (2005) di Kabupaten Subang, Karawang, dan Purwakarta memperoleh satu aksesi pohpohan namun aksesi tersebut belum terkarakterisasi dengan baik.

Di Indonesia, pohpohan belum banyak dibudidayakan secara luas dan sampai saat ini peluang peningkatan produksi pohpohan masih terbuka karena produksi pohpohan yang telah dicapai masih dibawah potensi yang ada. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Ekawati (2010) yaitu produktivitas tanaman pohpohan baru mencapai 360 kg ha1 per tahun. Salah satu alternatif dalam peningkatan produksi pohpohan adalah penggunaan bahan tanam yang unggul.

(14)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kemiripan dan potensi produksi antar aksesi pohpohan, serta membangun deskripsi aksesi pohpohan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dari beberapa lokasi di Jawa Barat.

Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Aksesi pohpohan yang terdapat di beberapa lokasi di Jawa Barat memiliki kemiripan satu sama lain.

2. Aksesi pohpohan yang terdapat di beberapa lokasi di Jawa Barat memiliki perbedaan potensi produksi.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dimulai dengan melakukan eksplorasi tanaman pohpohan. Eksplorasi bertujuan untuk mengkoleksi dan mengumpulkan aksesi pohpohan yang telah di budidayakan oleh petani maupun tumbuh liar di hutan. Eksplorasi dilakukan di delapan kabupaten Jawa Barat yaitu Bogor, Bandung Barat, Subang, Majalengka, Kuningan, Garut, Sukabumi, dan Bandung. Hasil dari eksplorasi diperoleh 13 aksesi pohpohan yang berupa stek batang dengan panjang 10 cm. Stek hasil eksplorasi di semai dalam polibag 10x10 cm.

Penanaman dilakukan di Kebun Percobaan Institut Pertanian Bogor (IPB) Tajur. Teknik budidaya tanaman pohpohan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) tanaman pohpohan (Susila 2013). Penanaman pertama dilakukan sebanyak 13 aksesi, kemudian dilakukan pengamatan dengan mengamati kemiripan antar aksesi dengan merujuk pada buku morfologi tumbuhan (Tjitrosoepomo 1987). Hasil pengamatan morfologi pohpohan diperoleh informasi tentang kemiripan antar aksesi yang berasal dari beberapa lokasi di Jawa Barat.

(15)

Gambar 1. Bagan alur penelitian Koleksi

Percobaan 2: potensi produksi berbagai aksesi pohpohan terpilih

Percobaan 1: Kemiripan antar aksesi pohpohan

Informasi kemiripan dan potensi produksi serta deskripsi beberapa aksesi pohpohan dari beberapa lokasi di Jawa Barat

Eksplorasi

13 aksesi pohpohan asal

Jawa Barat

Karakterisasi dan deskripsi aksesi pohpohan

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Morfologi Pohpohan

Pohpohan termasuk kedalam tipe tanaman semak tegak berupa herba monocious yang tingginya mencapai 1 hingga 2 m. Pohpohan berasal dari daerah Himalaya tropis timur dan Jawa. Tanaman ini tersebar dari India, Srilanka sampai Taiwan, Jepang, Filipina dan Indonesia (Mahyar 1994). Pohpohan diklasifikasikan dalam Kingdom Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Urticales, Famili Urticaceae, Genus Pilea, dan spesies Pilea trinervia Wight.

Pohpohan banyak tumbuh di daerah pegunungan Jawa Barat , khususnya di Bogor (Dwiyani 2008). Pohpohan dapat tumbuh dengan subur di daerah 1-5 cm. Daun pohpohan berbentuk bulat telur (ovate) atau lebar memanjang dan memiliki tepi daun bergerigi. Permukaan atas daun berbulu halus menyerupai urat yang sejajar yang sangat jelas. Bunga bewarna putih yang berkedudukan di nodus batang dengan panjang bunga 5-30 cm dan panjang petiolnya 1-6 cm. Pohpohan dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun dan dapat diperbanyak dengan biji maupun stek (Mahyar 1994).

Manfaat Pohpohan

Umumnya sebagian besar masyarakat Indonesia memanfaatkan tanaman sayuran indigenous sebagai tanaman pagar, tanaman penghias pekarangan, dan obat suatu penyakit karena beberapa sayuran indigenous mengandung bahan aktif yang baik untuk kesehatan. Pohpohan memiliki aroma daun yang khas seperti aroma mint, hal ini yang menjadikan pohpohan sebagai salah satu sayuran favorit untuk lalapan khususnya di Jawa Barat dan terbukti dengan banyaknya restoran-restoran yang menyediakan pohpohan sebagai menu pelengkap. Selain itu, pohpohan juga dengan mudah ditemukan di swalayan-swalayan.

Pohpohan merupakan tanaman yang memiliki kandungan air tinggi. Menurut Handayani (2007) sayuran yang baik adalah sayuran yang memiliki kandungan air tinggi. Bagian daun pohpohan yang digunakan sebagai lalapan biasanya adalah daun muda karena bagian tersebut memiliki aktivitas antioksidan paling besar. Miller et al. (2000) melaporkan bahwa antioksidan dalam buah dan sayuran dapat mencegah beberapa penyakit kronis, hati dan kanker. Antioksidan merupakan suatu substansi yang pada konsentrasi kecil secara signifikan mampu menghambat atau mencegah oksidasi pada substrat (Isnindar et al. 2011).

(17)

merupakan golongan senyawa flavonoid. Hasil Penelitian Kurniasih (2010) menunjukkan bahwa kandungan per 100 g dry basis sampel sayuran pohpohan memiliki total fenol 831.62 mg, total flavonol dan flavon 26.98 mg, total antosianin 5.52 mg dan total flavonoid 32.50 mg. Dwiyani (2008) menyatakan bahwa kemungkinan golongan senyawa yang aktif sebagai antioksidan pada daun pohpohan adalah golonganan steroid/triterpenoid.

Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ekstrak daun pohpohan memiliki kemampuan menghambat radikal bebas (Dwiyani 2008) dan mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococus aureus (Khudry 2014). Selain itu, pohpohan merupakan sumber pendapatan utama bagi petani khususnya petani Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor (Priana 2004), oleh karena itu pohpohan termasuk salah satu jenis sayuran indigenous yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia.

Keragaman Spesies Pohpohan

Asia Tenggara diyakini menjadi pusat keanekaragaman morfologi dan filogenetik untuk famili Urticaceae (Monro 2006). Pohpohan merupakan salah satu famili Urticaceae yang memiliki keanekaragaman spesies terbesar dan telah menyebar di beberapa Negara baik tropis maupun subtropis.

Negara-negara yang telah berhasil mengkoleksi berbagai aksesi pohpohan anatara lain China telah berhasil mengkoleksi 408 spesies (Chen dan Monro 2003; Chen dan Monro 2007; Monro 2012; Tsai-Wen 2014) namun baru terkarakterisasi 80 spesies dan 3 diantaranya endemik. Selain Negara-negara tersebut, India telah mengkoleksi 33 spesies (Subramanian et al. 1998), Jamaica 50 spesies (Fawcet dan Rendle 1941; Adam 1970), Mesoamerican 80 spesies (Monro 2001).

(18)

3 ESKPLORASI DAN KEMIRIPAN ANTAR AKSESI POHPOHAN (

Pilea trinervia Wight.) DARI BEBERAPA LOKASI DI JAWA BARAT

Abstrak

Eksplorasi tanaman pohpohan bertujuan untuk mengetahui penyebaran, dan memperluas keragaman sumber genetik serta melestarikan plasma nutfah yang ada di beberapa daerah di Jawa Barat agar tidak punah. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi kemiripan masing-masing aksesi pohpohan (Pilea trinervia Wight.) dari beberapa lokasi di Jawa Barat. Hasil eksplorasi di Kabupaten Bogor, Bandung Barat, Subang, Majalengka, Kuningan, Garut, sukabumi, dan Bandung diperoleh 13 aksesi pohpohan. Berdasarkan hasil karakterisasi, 13 aksesi pohpohan memiliki kemiripan beberapa karakter yaitu tipe tanaman, total tinggi tanaman, kerapatan tanaman, pewarnaan antosianin batang, daun berbulu, bentuk helai daun, bentuk tulang daun, profil di penampang helai daun, gelombang daun, tepi bergelombang helai daun, tepi bergerigi helai daun, kedalaman gerigi tepi helai daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, panjang tangkai daun, panjang ruas rata-rata pada batang berbunga, bentuk malai, warna daun mahkota bunga, dan waktu berbunga. Tiga belas aksesi pohpohan hasil eksplorasi dikelompokkan menjadi tiga gerombol pada koefisien ketidak-miripan delapan. Gerombol I terdiri dari aksesi Bobojong. Gerombol II terdiri dari aksesi Curug Rendeng, Argalingga, dan Linggarjati. Gerombol III terdiri dari aksesi Sukalilah, Lebaksiuh, Warung Loa, Lebak Muncang, Situsari, Langensari, Kayu Ambon, Tugu Selatan, dan Palasari.

Kata Kunci: Aksesi, eksplorasi, karakterisasi

Abstract

Pohpohan exploration objective to determine the spread, and expand the diversity of genetic resources and preserve germplasm in several areas in West Java to avoid extinction. This study objective to obtain information about the similarities of each pohpohan landraces (Pilea trinervia Wight.) from several locations in West Java. Exploration conducted in the Bogor regency, Bandung Barat, Subang, Majalengka, Kuningan, Garut, Sukabumi and Bandung gained 13 pohpohan landraces.Based on the characterization, 13 pohpohan landraces had some characters which was the type of plant, total plant height, plant density, stem anthocyanin colouration, hairy leaves, leaf shape, leaf bone shape, in cross-section profiles of the leaves, leaf waves, wavy leaf edges, serrated leaf edge, edge serration depth leaves, leaf tip shape, the base form of the leaf, petiole length, the average segment length on flowering stem, panicle shape, color petals of flowers, and flowering time. Thirteen pohpohan landraces exploration conducted were grouped into three group on the eight coefficient of non-resemblances. Group I composed of landraces Bobojong. Group II consisted of landraces Curug Rendeng, Argalingga, and Linggarjati. Group III consisted of landraces Sukalilah, Lebaksiuh, Warung Loa, Lebak Muncang, Situsari, Langensari, Ambon Wood, Tugu Selatan, and Palasari.

(19)

PENDAHULUAN

Pohpohan merupakan sayuran indigenous yang berasal dari daerah Himalaya tropis timur termasuk Jawa. Tanaman ini tersebar dari India, Srilanka sampai Taiwan, Jepang, Filipina dan Indonesia (Mahyar 1994). Pohpohan ditemukan di daerah tropis dan subtropis diseluruh dunia kecuali di Australia, Selandia Baru dan Eropa (Monro et al. 2012). Pohpohan termasuk famili Urticaceae, dan merupakan genus terbesar Pilea yang memiliki 600-715 spesies (Monro 2004).

Menurut Opabode dan Adebooye (2005) permasalahan utama pada sayuran indigenous adalah plasma nutfah yang tidak terkarakterisasi dan tidak terkoleksi dengan baik. Sampai saat ini eksplorasi dan karakterisasi aksesi pohpohan masih sedikit dilakukan di Indonesia. Eksplorasi Putrasamedja (2005) di kabupaten Subang, Karawang, dan Purwakarta memperoleh satu aksesi pohpohan namun aksesi tersebut belum terkarakterisasi dengan baik. Selain itu, bahan tanam sebagai sumber pengembangan tanaman pohpohan juga belum jelas identitasnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi dan karakterisasi tanaman pohpohan di beberapa lokasi di Jawa Barat agar mendapatkan aksesi yang unggul untuk perbaikan tanaman.

Menurut Somantri et al. (2005) sayuran indigenous yang dikoleksi harus diberdayakan dengan cara dikarakterisasi sehingga karakter morfologinya dapat diketahui dengan jelas. Kegiatan karakterisasi diharapkan dapat mengungkapkan potensi unggulan tanaman pohpohan dan informasi yang didapatkan digunakan sebagai acuan untuk mengenalkan aksesi-aksesi pohpohan yang ada di Jawa Barat dalam ruang lingkup yang lebih luas. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan informasi kemiripan aksesi pohpohan dari beberapa lokasi di Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Eksplorasi Aksesi Pohpohan di Beberapa Lokasi di Jawa Barat

Eksplorasi dilaksanakan di beberapa lokasi di Jawa Barat yaitu di Kabupaten Bogor (3 lokasi), Bandung Barat (2 lokasi), Subang (2 lokasi), Majalengka (1 lokasi), Kuningan (1 lokasi), Garut (2 lokasi), Sukabumi (1 lokasi), dan Bandung (1 lokasi). Peta lokasi pengambilan aksesi dapat dilihat pada Lampiran 2. Eksplorasi dilaksanakan mulai Desember 2013-Februari 2014.

Eksplorasi dimulai dengan mencari informasi lokasi dibudidayakannya pohpohan oleh masyarakat atau petani. Pencarian informasi juga dilakukan di pasar tradisional dengan melakukan wawancara kepada pedagang yang menjual pohpohan dan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Selain itu, pencarian informasi juga dilakukan melalui media elektronik. Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut dijadikan acuan untuk mencari penyebaran pohpohan baik yang tumbuh liar maupun yang dibudidayakan oleh petani dan masyarakat.

(20)

Karakterisasi dan Kemiripan Aksesi Pohpohan Hasil Eksplorasi

Teknik budidaya pohpohan hasil eksplorasi dilakukan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) tanaman pohpohan (Susila 2013). Penanaman dilaksanakan mulai Februari-April 2014 di Kebun Percobaan IPB Tajur. Masing-masing aksesi terdiri dari 20 tanaman.

Sebelum dilakukan penanaman dilapangan terlebih dahulu dilakukan pembibitan stek pohpohan hasil eksplorasi. Stek pohpohan yang disemai berupa stek batang dengan panjang 10 cm. Stek ditanam dalam polybag 10x10 cm dengan media pembibitan arang sekam dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 1:1. Penyiraman pembibitan dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari sampai media tanam lembab. Pemupukan bibit menggunakan pupuk daun N, P2O5, K2O, Mg (20-15-15-1) dengan konsentrasi 2 g L-1. Bibit dipindah tanam ke bedengan umur 6 minggu setelah semai (MSS). Ukuran bedengan 5x1 m2 dengan tinggi bedengan 20 cm. Jarak antar bedengan 60 cm dan jarak tanam double row 50x50 cm. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari sebanyak 1 liter air per tanaman. Naungan yang digunakan yaitu paranet 75% dengan intensitas cahaya 220 µmol m-2s-1 (PPF = Photosynthesis Photon Flux). Pemupukan tanaman pohpohan menggunakan NPK (15-15-15) dengan konsentrasi 90 g L-1 dan pupuk daun yang digunakan N, P2O5, K2O, Mg (20-15-15-1) dengan konsentrasi 1 g L-1. Pupuk NPK dan pupuk daun diberikan 4 minggu setelah tanam (MST) dan selanjutnya diberikan seminggu sekali.

Pengamatan karakter morfologi pohpohan merujuk pada buku morfologi tumbuhan (Tjitrosoepomo, 1987). Skoring untuk karakter kemiripan yang diamati adalah:

1. Tipe tanaman : Tegak (erect) (1), Semi tegak (semi erect) (2), dan Menyebar (Spreading) (3).

Tegak Semi tegak Menyebar Gambar 2. Tipe tanaman

2. Total tinggi tanaman : Pendek (3), Sedang (5) dan Tinggi (7). 3. Kerapatan tanaman : Longgar (3), Sedang (5) dan Padat/Rapat (7). 4. Pewarnaan antosianin batang: Tidak ada (1) dan Ada (9).

5. Intensitas pewarnaan antosianin ujung batang : Lemah (3), Sedang (5) dan Kuat (7).

(21)

7. Bentuk helai daun : Bulat telur (ovalis) (1), Bulat panjang (ellipticus) (2), lanset (lanceolatus) (3) Memanjang (oblongus) (4).

Bulat telur Bulat panjang Lanset Memanjang Gambar 3. Bentuk helai daun

8. Panjang helai daun : Pendek (3), Sedang (5) dan Panjang (7). 9. Lebar helai daun : Kecil (3), Sedang (5) dan Lebar (7). 10. Panjang ujung daun : Pendek (3), Sedang (5) dan Panjang (7) 11. Lebar ujung daun : Kecil (3), Sedang (5) dan Lebar (7). 12. Bentuk tulang daun : Melengkung (1), dan Menjari (2).

13. Kecerahan helai daun : Sangat lemah (1), Lemah (3), Sedang (5), Kuat (7). 14. Profil di penampang helai daun : Cembung (convex) (1), Datar (flat) (2),

Cekung (concave) (3), dan berbentuk V (V-shape) (4).

Cembung Datar Cekung Berbentuk v Gambar 4. Profil di penampang helai daun

15. Gelombang daun : Tidak ada (1) dan ada (9).

16. Tepi bergelombang helai daun : Sangat lemah (1), Lemah (3), Sedang (5) dan Kuat (7).

17. Tepi bergerigi helai daun : Tidak ada (1) dan Ada (9).

(22)

Rata Bergerigi dangkal Bergerigi sedang Bergerigi dalam

Gambar 5. Bentuk tepi helai daun

19. Bentuk ujung daun : Runcing (1), Meruncing (2), Tumpul (3), dan Membulat (4).

Runcing Meruncing Tumpul Membulat Gambar 6. Bentuk ujung daun

20. Bentuk pangkal daun : Runcing (1), berlekuk (2), Tumpul (3), dan Membulat (4).

Runcing Berlekuk Tumpul Membulat Gambar 7. Bentuk tangkai daun

21. Panjang tangkai daun : Pendek (3), Sedang (5) dan Panjang (7). 22. Panjang ruas rata-rata pada batang berbunga: Pendek (3), Sedang (5)

Panjang (7) dan Sangat kuat (9).

23. Bentuk malai : Panicle (1), Raceme (2), Cyme (3), dan Umbel (4).

24. Warna daun mahkota pada bunga : Putih (1), Putih kekuningan (2) dan Putih keungguan (3), Pink (4).

(23)

25. Waktu berbunga : Sangat genjah (1), Genjah (3), Sedang (5), Dalam (7) dan Sangat Dalam (9).

Untuk mengetahui ketidak-miripan antar aksesi pohpohan dilakukan analisis gerombol. Analisis ini menggunakan software IBM SPSS Statistic 20.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksplorasi Aksesi Pohpohan di Beberapa Lokasi di Jawa Barat

Eksplorasi di beberapa lokasi di Jawa Barat berhasil mengkoleksi 13 aksesi pohpohan (Tabel 1). Hasil eksplorasi di beberapa lokasi di Jawa Barat pohpohan ditemukan pada ketinggian 631-1288 m dpl.

Aksesi pohpohan yang di peroleh kebanyakan berasal dari hasil budidaya petani seperti aksesi Kabupaten Bogor, Bandung Barat, Subang tepatnya Desa Palasari, Garut, Sukabumi dan Bandung. Sedangkan aksesi Kabupaten Subang tepatnya Desa Curug Rendeng berasal dari tanaman pohpohan yang tumbuh liar ditepi aliran sungai. Aksesi dari Kabupaten Majalengka dan Kuningan juga berasal dari tanaman pohpohan yang tumbuh liar di hutan gunung Ciremai. Berdasarkan informasi dari lokasi eksplorasi sebagian besar pohpohan dimanfaatkan sebagai lalapan dan obat sakit perut.

Tabel 1. Hasil eksplorasi 13 aksesi pohpohan dari beberapa lokasi di Jawa Barat

No Kabupaten Lokasi Asal Elevasi

(m dpl)

Posisi geografis

1 Bogor Warung Loa Budidaya 712 S : 06o

32'54'' T : 106o38'30''

2 Bobojong Budidaya 707 S : 06o

39'51'' T : 106o44'46''

3 Tugu Selatan Budidaya 936 S : 06o

41'17'' T : 106o57'00''

4 Subang Palasari Budidaya 822 S : 06o

43'50'' T : 107o40'20''

9 Majalengka Argalingga Liar 1288 S : 06o

53'48'' T : 108o21'28''

10 Kuningan Linggarjati Liar 818 S : 06o

53'05'' T : 108o28'04''

11 Garut Situsari Budidaya 687 S : 07o

15'26'' T : 107o47'13''

12 Sukalilah Budidaya 1198 S : 07o

15'04'' T : 107o47'04

13 Sukabumi Lebaksiuh Budidaya 703 S : 06o

51'59'' T : 106o55'03''

Karakterisasi dan Kemiripan Aksesi Pohpohan Hasil Eksplorasi

(24)

keunikan suatu genotipe untuk perbaikan tanaman. Menurut Sarutayophat et al. (2007) karakterisasi merupakan langkah awal yang diperlukan dalam memilih tetua yang tepat untuk memfasilitasi upaya pemuliaan.

Karakterisasi morfologi 13 aksesi pohpohan hasil eksplorasi merujuk pada buku morfologi tumbuhan (Tjitrosoepomo 1987). Aksesi yang dikarakterisasi antara lain aksesi Warung Loa (PA1), aksesi Bobojong (PA2), aksesi Tugu Selatan (PA3), aksesi Palasari (PA4), aksesi Curug Rendeng (PA5), aksesi Langensari (PA6), aksesi Kayu Ambon (PA7), aksesi Lebak Muncang (PA8), aksesi Argalingga (PA9), aksesi Linggarjati (PA10), aksesi Situsari (PA11), aksesi Sukalilah (PA12), dan aksesi Lebaksiuh (PA13).

Berdasarkan hasil karakterisasi, 13 aksesi pohpohan memiliki kemiripan beberapa karakter yaitu tipe tanaman, total tinggi tanaman, kerapatan tanaman, pewarnaan antosianin batang, daun berbulu, bentuk helai daun, bentuk tulang daun, profil di penampang helai daun, gelombang daun, tepi bergelombang helai daun, tepi bergerigi helai daun, kedalaman gerigi tepi helai daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, panjang tangkai daun, panjang ruas rata-rata pada batang berbunga, bentuk malai, warna daun mahkota bunga, dan waktu berbunga. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Tigabelas aksesi pohpohan hasil eksplorasi memiliki kemiripan yang tinggi, ini menunjukkan bahwa tiga belas aksesi pohpohan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat.

Tingginya kemiripan aksesi pohpohan disebabkan oleh aksesi yang ditanam merupakan spesies yang sama yang berasal dari satu wilayah dengan perbanyakan yang sama yaitu secara vegetatif (stek). Indriani et al. (2008) menyatakan bahwa aksesi yang berasal dari satu negara atau letak georafis yang sama cenderung memiliki jarak genetik yang dekat.

Basha dan Sujatha (2007) juga menyatakan bahwa tanaman yang diperbanyak secara vegetatif memiliki sifat yang sama dengan induknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Hartmann dan Kester (2002), bahwa perbanyakan yang dilakukan dengan cara setek akan terbentuk individu baru dengan genotipe sama dengan induknya. Menurut Susantidiana et al. (2009) kemiripan antar aksesi yang besar menunjukkan bahwa aksesi-aksesi tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat. Hubungan kekerabatan tumbuhan bukan hanya berperan penting untuk kepentingan klasifikasi, akan tetapi juga penting dalam bidang-bidang terapan, misalnya dalam upaya pemuliaan tanaman, pencarian sumber-sumber tumbuhan alternatif untuk bahan pangan, dan tumbuhan yang berkhasiat obat.

Analisis Gerombol

(25)

Pengelompokan ketidak-kemiripan karakter antar aksesi popohan dapat dilihat berdasarkan analisis gerombol. Analisis gerombol dilakukan berdasarkan karakter morfologi pohpohan. Hasil analisis gerombol pada koefisien ketidak-kemiripan 8 menunjukkan bahwa 13 aksesi pohpohan hasil eksplorasi dikelompokkan menjadi 3 gerombol (Gambar 8). Gerombol I berjumlah 1 aksesi yaitu aksesi Bobojong. Gerombol II berjumlah 3 aksesi terdiri dari aksesi Argalingga, Linggarjati, dan Curug Rendeng. Gerombol III berjumlah 9 aksesi terdiri dari aksesi Sukalilah, Lebaksiuh, Warung Loa, Lebak Muncang, Situsari, Langensari, Kayu Ambon, Tugu Selatan, dan Palasari. Aksesi-aksesi yang berada pada gerombol yang sama memiliki kemiripan yang tinggi.

Ciri utama gerombol I yaitu memiliki panjang dan lebar daun sedang, daun terminal pendek, dan kecerahan helai daun lemah. Ciri utama gerombol II yaitu memiliki intensitas pewarnaan antosianin ujung batang kuat, panjang daun terminal sedang, dan kecerahan helai daun kuat. Ciri utama gerombol III yaitu memiliki kecerahan helai daun sedang, daun terminal panjang dan lebar.

Gambar 8. Dendrogram hasil analisis 13 aksesi pohpohan

Karakter ketidak-miripan yang ditunjukkan masing-masing gerombol yaitu intensitas pewarnaan antosianin ujung batang, panjang helai daun, lebar helai

Akse

si

(26)

daun, panjang ujung daun, lebar ujung daun, dan kecerahan helai daun. Perbedaan karakter pada gerombol terlepas dari asal aksesi diperoleh. Hal ini ditunjukkan oleh aksesi Bobojong dan Warung Loa, walaupun berasal dari Kabupaten yang sama namun memiliki beberapa karakter yang berbeda. Perbedaan karakter morfologi masing-masing gerombol selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan karakter morfologi masing-masing gerombol

Gerombol

Hasil dari analisis gerombol dipilih masing-masing 1 aksesi untuk ditanam pada percobaan 2. Aksesi yang mewakili dari masing-masing gerombol yaitu untuk gerombol I aksesi Bobojong, gerombol II aksesi Linggarjati, dan gerombol III aksesi Warung Loa.

SIMPULAN

1. Hasil eksplorasi di Kabupaten Bogor, Bandung Barat, Subang, Majalengka, Kuningan, Garut, sukabumi, dan Bandung diperoleh 13 aksesi pohpohan. 2. Berdasarkan hasil karakterisasi, 13 aksesi pohpohan memiliki kemiripan

beberapa karakter yaitu tipe tanaman, total tinggi tanaman, kerapatan tanaman, pewarnaan antosianin batang, daun berbulu, bentuk helai daun, bentuk tulang daun, profil di penampang helai daun, gelombang daun, tepi bergelombang helai daun, tepi bergerigi helai daun, kedalaman gerigi tepi helai daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, panjang tangkai daun, panjang ruas rata-rata pada batang berbunga, bentuk malai, warna daun mahkota bunga, dan waktu berbunga.

3. Tiga belas aksesi pohpohan hasil eksplorasi dikelompokkan menjadi tiga gerombol pada koefisien ketidak-miripan delapan. Gerombol I terdiri dari aksesi Bobojong. Gerombol II terdiri dari aksesi Curug Rendeng, Argalingga, dan Linggarjati. Gerombol III terdiri dari aksesi Sukalilah, Lebaksiuh, Warung Loa, Lebak Muncang, Situsari, Langensari, Kayu Ambon, Tugu Selatan, dan Palasari.

4. Karakter ketidak-miripan masing-masing gerombol yaitu intensitas pewarnaan antosianin ujung batang, panjang helai daun, lebar helai daun, panjang ujung daun, lebar ujung daun, dan kecerahan helai daun.

(27)

4 EVALUASI POTENSI PRODUKSI AKSESI POHPOHAN (

Pilea trinervia

Wight.) DARI BEBERAPA LOKASI DI JAWA BARAT

Abstrak

Sayuran indigenous adalah bagian keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia salah satunya adalah pohpohan. Pohpohan merupakan sayuran indigenous yang potensial dikembangkan sebagai tanaman komersial. Pohpohan ditemukan di daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia dan salah satu tempat penyebarannya di Indonesia yaitu di Provinsi Jawa Barat. Bagian tanaman pohpohan yang dikonsumsi yaitu daun mudanya. Tingginya konsumsi pohpohan di Jawa Barat tidak diikuti dengan produksi yang tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi pohpohan yaitu dengan pemilihan bahan tanam yang unggul. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi produksi beberapa aksesi pohpohan (Pilea trinervia Wight.) yang berpotensi untuk dikembangkan dari beberapa lokasi di Jawa Barat. Secara umum aksesi Bobojong, Linggarjati, dan Warung Loa memiliki potensi untuk dikembangkan dalam upaya peningkatan produktivitas maupun perakitan varietas tanaman pohpohan. Aksesi Warung Loa merupakan aksesi yang paling unggul karena menunjukkan hasil yang terbaik pada tinggi tanaman, jumlah cabang primer, lebar daun, hasil panen perpetak, dan produktivitas tanaman.

Kata Kunci: Jawa Barat, pohpohan (Pilea trinervia Wight.), produktivitas

Abstract

Indigenous vegetables are a part of Indonesia biodiversites. Pohpohan is an indigenous vegetable with a potential to be developed as a commercial crop. Pohpohan is found in tropical and subtropical regions, including Indonesia and one of its spreads in Indonesia is in West Java. Pohpohan parts that are consumed are their young leaves. The high consumption of pohpohan in West Java has not been followed by high production. One way to increase the production of pohpohan was selection of superior planting material. This study objective to obtain information on yield potential of some pohpohan landraces (Pilea trinervia Wight.) to be developed from several locations in West Java. In general, the Bobojong, Linggarjati, and Warung Loa landraces were potential to be developed in order to obtain the new variety of pohpohan. Warung Loa landraces was the most superior because it shows the best results on plant height, number of primary branches, wide leaves, crop per plot and crop productivity.

(28)

PENDAHULUAN

Jawa Barat merupakan daerah penghasil sayuran yang cukup berperan penting di Indonesia. Salah satunya sayuran yang terdapat di Jawa Barat yaitu pohpohan. Pohpohan (Pilea trinervia Wight.) merupakan sayuran indigenous yang potensial dikembangkan sebagai tanaman komersial. Sayuran indigenous adalah sayuran asli Indonesia yang berasal dari daerah/wilayah/ekosistem tertentu, termasuk spesies pendatang dari wilayah geografis lain tetapi telah berevolusi dengan iklim dan geografis wilayah Indonesia (Litbang Deptan 2013).

Umumnya di Jawa Barat konsumsi lalapan pohpohan cenderung lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Hal ini disebabkan oleh tingginya kegemaran makan sayuran indigenous tersebut dan ketersediaan sayuran yang melimpah di Jawa Barat.

Bagian tanaman pohpohan yang dikonsumsi sebagai lalapan yaitu daun mudanya karena bagian ini memiliki aroma yang khas dan berbau harum seperti aroma mint. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa daun pohpohan memiliki aktivitas antioksidan (Andarwulan et al. 2010; Endrini 2011) dan antidiabetes (Rahayuningsih 2015).

Tingginya konsumsi pohpohan tersebut tidak diikuti dengan produksi yang tinggi. Hasil penelitian Ekawati et al. (2010) menunjukkan produktivitas tanaman pohpohan baru mencapai 360.50 kg ha-1 per tahun. Hal ini dapat ditingkatkan dengan cara pemilihan bahan tanam yang unggul. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi potensi produksi beberapa aksesi pohpohan (Pilea trinervia Wight.) yang berpotensi untuk dikembangkan dari beberapa lokasi di Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Percobaan 2 dilaksanakan mulai Mei-Agustus 2014 di Kebun Percobaan IPB Tajur, menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor tunggal, yaitu 3 aksesi sebagai perlakuan, dengan 4 ulangan sebagai kelompok, sehingga diperoleh 12 satuan percobaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman.

Teknik budidaya pohpohan pada percobaan 2 berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) tanaman pohpohan (Susila 2013). Bahan yang digunakan pada percobaan 2 adalah stek pohpohan hasil seleksi percobaan 1 (3 aksesi) berdasarkan hasil analisis gerombol. Aksesi tersebut antara lain Bobojong, Linggarjati, dan Warung Loa. Aksesi Bobojong dipilih karena pada gerombol I hanya ada 1 aksesi saja dan tidak ada pembandingnya. Sedangkan aksesi Linggarjati dipilih karena merupakan aksesi dengan persentasi pertumbuhan yang paling tinggi dibanding aksesi Curug Rendeng dan Majalengka. Aksesi Warung Loa dipilih karena merupakan aksesi komersial yang banyak dijual baik dipasar tradisional maupun swalayan.

(29)

P2O5, K2O, Mg (20-15-15-1) dengan konsentrasi 2 g L-1. Bibit dipindah tanam ke bedengan umur 6 minggu setelah semai (MSS). Ukuran bedengan 5x1 m2 dengan tinggi bedengan 20 cm. Jarak antar bedengan 60 cm dan jarak tanam double row 50x50 cm. Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari sebanyak 1 liter air per tanaman. Naungan yang digunakan yaitu paranet 75% dengan intensitas cahaya 220 µmol m-2s-1 (PPF = Photosynthesis Photon Flux). Pemupukan tanaman pohpohan menggunakan NPK (15-15-15) dengan konsentrasi 90 g L-1 dan pupuk daun yang digunakan N, P2O5, K2O, Mg (20-15-15-1) dengan konsentrasi 1 g L-1. Pupuk NPK dan pupuk daun diberikan 4 minggu setelah tanam (MST) dan selanjutnya diberikan seminggu sekali. Pemanenan pohpohan dilakukan saat tanaman berumur 6, 8, dan 10 MST. Panen dilakukan dengan pemotongan pucuk tanaman dengan panjang 15 cm.

Peubah yang diamati adalah:

1. Tinggi tanaman (cm). Tinggi tanaman diukur dengan cara mengukur tinggi tanaman mulai dari permukaan tanah sampai dengan titik tumbuh tertinggi. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran. Pengukuran ini dilakukan sebelum panen.

2. Diameter batang (cm). Diameter batang diukur pada cabang batang pertama. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran ini dilakukan sebelum panen.

3. Jumlah cabang primer. Jumlah cabang primer diperoleh dari perhitungan jumlah cabang yang keluar dari batang utama. Pengukuran ini dilakukan sebelum panen.

4. Panjang Daun (cm). Panjang daun di ukur mulai dari pangkal daun hingga ujung daun, dengan meggunakan penggaris. Pengukuran ini dilakukan sebelum panen pada daun ke empat di cabang batang pertama.

5. Lebar Daun (cm). Lebar daun di ukur mulai dari tepi kiri hingga ke tepi kanan dengan menggunakan penggaris. Pengukuran dilakukan sebelum panen pada daun keempat di cabang batang pertama.

6. Umur mulai berbunga (HST). Umur mulai berbunga dihitung setelah tanaman ditanam hingga tanaman berbunga dan diamati setiap hari.

7. Hasil panen per petak (g). Hasil panen dihitung dengan mengumpulkan hasil pucuk yang dapat dipanen per bedeng tanam dengan kriteria panjang pucuk 15 cm, daun hijau segar, tidak menggulung dan tidak ada bercak daun, memiliki 6-10 helai daun, batang yang dipetik masih getas, mudah patah dan tidak berkayu. Hasil panen ditimbang menggunakan timbangan. Pengukuran dilakukan setiap kali panen.

8. Produktivitas tanaman per 6 minggu (kg ha-1). Produktivitas tanaman dapat diketahui melalui perhitungan setiap kali panen dalam 6 minggu. Produktivitas tanaman dalam satuan kg ha-1dihitung berdasarkan rumus :

Produktivitas = Bobot basah per bedeng (kg) x 1 ha Luas bedeng (m2)

9. Produktivitas tanaman (kg ha-1 per tahun). Produktivitas tanaman per tahun dapat diketahui melalui perhitungan setiap kali panen dalam satu tahun. Produktivitas tanaman dalam satuan kg ha-1 per tahun dihitung berdasarkan rumus :

(30)

Data diolah dengan Analisis varian pada taraf 5% jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjut LeastSignificant Difference (LSD).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman, Diameter Batang, dan Jumlah Cabang Primer

Berdasarkan hasil analisis aksesi berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 3). Aksesi paling tinggi yaitu Warung Loa (37.27 cm) dan Linggarjati (35.65 cm). Tabel 3 menunjukkan tinggi tanaman aksesi Warung Loa tidak berbeda dengan aksesi Linggarjati. Aksesi paling pendek yaitu Bobojong (27.78 cm). Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan tanah sampai titik tumbuh tertinggi pada umur 6 MST. Menurut Law-Ogbomo dan Ajayi (2009) tinggi tanaman merupakan karakter pertumbuhan terpenting yang berhubungan langsung dengan produksi tanaman.

Aksesi berpengaruh nyata terhadap diameter batang dan jumlah cabang primer (Tabel 3). Aksesi dengan diameter batang terbesar yaitu Linggarjati (0.29 cm) dan Warung Loa (0.27 cm) sedangkan diameter batang terkecil yaitu aksesi Bobojong (0.2 cm). Tabel 3 menunjukkan diameter batang aksesi Linggarjati tidak berbeda dengan aksesi Warung Loa. Aksesi Warung Loa merupakan aksesi dengan jumlah cabang primer terbanyak (6 cabang) sedangkan yang sedikit yaitu aksesi Bobojong dan Linggarjati (4 cabang). Banyaknya jumlah cabang diikuti dengan banyaknya pucuk yang bisa dipanen sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman pohpohan. Menurut Islam et al. (2011) peningkatan produktivitas tanaman dapat di lakukan dengan memilih genotipe yang memiliki karakter percabangan yang banyak.

Tabel 3. Tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah cabang primer Aksesi

Panjang Daun, Lebar Daun, dan Umur Mulai Berbunga

(31)

Aksesi dengan daun terpanjang yaitu Linggarjati (14.72 cm) dan Warung Loa (13.62 cm) sedangkan aksesi Bobojong merupakan aksesi dengan daun terpendek (8.63 cm). Daun terlebar yaitu aksesi Warung Loa (8.54 cm) dan aksesi Linggarjati (8.39 cm) sedangkan daun terkecil yaitu aksesi Bobojong (5.43 cm). Tabel 4 menunjukkan panjang dan lebar daun aksesi Warung Loa tidak berbeda dengan aksesi Linggarjati. Panjang dan lebar daun berpengaruh terhadap total boimassa tanaman. Menurut Adeoti et al. (2012) bahwa panjang dan lebar daun berkolerasi positif terhadap total biomassa tanaman.

Umur mulai berbunga 3 aksesi pohpohan yang ditanam berkisar antara 41-52 hari setelah tanam (HST) (Tabel 4). Umur mulai berbunga dihitung ketika 50% tanaman telah berbunga. Aksesi Warung Loa dan Linggarjati merupakan aksesi berbunga paling cepat yaitu 41 HST, sedangkan aksesi Bobojong merupakan aksesi berbunga paling lambat yaitu 52 HST. Bunga dari masing-masing aksesi tidak satu pun membentuk buah sehingga tidak menghasilkan biji. Hal ini disebabkan oleh kelopak bunga tertutup pada saat harus diserbuki sehingga penyerbukan akhirnya gagal. Tertutupnya kelopak bunga disebabkan pada saat menjelang bunga mekar intensitas curah hujan tinggi. Curah hujan yang tinggi menyebabkan cuaca menjadi dingin.

Menurut Kemenhutsel (2012) cuaca yang dingin dapat menyebabkan bunga atau kelopak bunga tetap tertutup pada saat harus diserbuki sehingga penyerbukan akhirnya gagal. Dilaporkan oleh Sedley dan Grifin (1989) bahwa temperatur dan curah hujan berpengaruh terhadap proses mekar dan menutupnya bunga. Baskorowati et al. (2008) menyatakan bahwa ketidak berhasilan proses pembuahan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tidak tersedianya polen waktu terjadi pembuahan, tidak adanya agen atau pollinator yang membantu proses pembuahan dan terjadinya mekanisme self-incompatibility.

Pembungaan suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik (internal) dan faktor lingkungan (eksternal). Adanya perubahan keadaan lingkungan dapat mengubah respon pembungaan suatu tanaman (Chauhar et al. 1987; Hartati 2008) dan setiap jenis dapat memiliki respon yang berbeda (Thomas 1993).

Tabel 4. Panjang daun, lebar, daun dan umur berbunga

Aksesi

nyata berdasarkan LSD pada  5%. ** = berpengaruh sangat nyata pada α 1%

Hasil Panen, Produktivitas Tanaman Per 6 Minggu, dan Total Produktivitas Tanaman Per Tahun

(32)

yaitu aksesi Bobojong (746.25 g per petak). Panen dilakukan sebanyak 3 kali dengan intensitas panen 2 minggu sekali. Kriteria tanaman pohpohan siap dipanen yaitu panjang pucuk 15 cm, daun hijau segar, tidak menggulung dan tidak ada

Hasil panen per petak (g), produktivitas tanaman per 6 minggu (kg ha-1), dan produktivitas tanaman (kg ha-1 per tahun)

nyata berdasarkan LSD pada  5%. ** = berpengaruh sangat nyata pada α 1%

Panen pertama masing-masing aksesi cenderung lebih rendah dibandingkan panen kedua dan ketiga, karena panjang pucuk yang tidak memenuhi kriteria panen. Panen kedua dan ketiga masing-masing aksesi mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh pemotongan pucuk pada saat panen pertama sehingga dapat merangsang pertumbuhan tunas-tunas baru. Pemotongan pucuk memicu bekerjanya meristem ujung yang menghasilkan sel-sel baru pada batang tanaman. Banyaknya pertumbuhan tunas meningkatkan hasil panen per petak.

Aksesi berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas tanaman (Tabel 5). Produktivitas tanaman berhubungan langsung dengan bobot basah tanaman per petak dan apabila bobot basah per ulangan tinggi maka produktivitasnya juga akan tinggi.

(33)

Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan pemilihan bahan tanam yang unggul. Menurut Budi (2007) dan Adiyoga (2009) peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan mengoptimalkan populasi tanaman per satuan luas. Menurut Safei et al. (2014) peningkatan produksi sayuran merupakan bagian penting dari usaha pertanian sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani.

Tabel 6. Rangkuman hasil pengelompokan karakter 3 aksesi pohpohan yang diamati panen per petak (g), Ptm = Produktivitas tanaman per 6 minggu (kg ha-1), Ptt = Produktivitas tanaman (kg ha-1 per tahun), Tk = Total keunggulan

Masing-masing aksesi pohpohan memiliki keunggulan. Aksesi Bobojong memiliki 1 keunggulan dari 9 karakter yang diamati yaitu lambat berbunga. Aksesi Linggarjati memiliki 2 keunggulan dari 9 karakter yang diamati yaitu diameter batang besar dan berdaun panjang. Aksesi Warung Loa memiliki 6 keunggulan dari 9 peubah yang diamati yaitu tanaman tinggi, jumlah cabang primer banyak, daun lebar, hasil panen per petak tinggi, dan produktivitas tanaman tinggi baik hasil panen per 6 minggu maupun per tahun.

Keunggulan karakter yang dimiliki masing-masing aksesi dapat dijadikan pertimbangan bagi pemulia untuk melakukan perakitan varietas tanaman pohpohan. Penggunaan varietas unggul sayuran merupakan teknologi andalan untuk meningkatkan produktivitas sayuran serta pendapatan dan kesejahteraan produsen atau petani. Teknologi ini seringkali dipilih sebagai alternatif terbaik karena dianggap lebih aman bagi lingkungan dan relatif murah bagi petani.

(34)

merupakan karakter pertumbuhan terpenting yang berhubungan langsung dengan produksi tanaman.

Tanaman pohpohan yang diinginkan juga memiliki jumlah cabang yang banyak. Islam et al. (2011) menyatakan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dapat di lakukan dengan memilih genotipe yang memiliki karakter percabangan yang banyak. Jumlah cabang berpengaruh langsung dengan jumlah daun. Semakin banyak cabang maka semakin banyak pula jumlah daun. Menurut Ramu et al. (2005) banyaknya jumlah cabang yang terbentuk dapat mempengaruhi produktivitas tanaman. Selain itu, tanaman pohpohan yang diinginkan memiliki diameter batang yang besar. Besarnya diameter batang suatu tanaman menunjukkan jagurnya suatu tanaman sehingga mampu menopang jumlah daun yang banyak agar tidak mudah patah. Srivastava et al. (2011) melaporkan bahwa aksesi yang memiliki pertumbuhan yang jagur cenderung memiliki produksi yang lebih tinggi.

Karakter daun pohpohan yang diinginkan adalah yang terpanjang dan terlebar. Adeoti et al. (2012) menyatakan bahwa panjang dan lebar daun berkorelasi positif terhadap total biomassa tanaman. Menurut Mih et al. (2008) Sayuran daun yang diinginkan produsen dan konsumen yaitu lambat berbunga, memiliki produksi dan total biomassa yang tinggi. Deskripsi aksesi Bobojong selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1, deskripsi aksesi Linggarjati dapat dilihat pada Lampiran 3, dan deskripsi aksesi Warung Loa dapat dilihat pada Lampiran 5. Sedangkan gambar aksesi Bobojong selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2, gambar aksesi Linggarjati dapat dilihat pada Lampiran 4, dan gambar aksesi Warung Loa dapat dilihat pada Lampiran 5.

SIMPULAN

1. Secara umum aksesi Bobojong, Linggarjati, dan Warung Loa memiliki potensi untuk dikembangkan dalam upaya peningkatan produktivitas maupun perakitan varietas tanaman pohpohan.

(35)

5 PEMBAHASAN UMUM

Pohpohan merupakan sayuran indigenous yang potensial dikembangkan karena sampai sekarang masih tetap dimanfaatkan oleh masyarakat dan dapat memberikan kontribusi terhadap pasokan pangan. Keunggulan yang dimiliki sayuran indigenous adalah mudah dibudidayakan karena memiliki syarat tumbuh mudah, lebih resisten terhadap serangan hama dan memiliki keaslian rasa (local taste).

Sayuran indigenous mempunyai beberapa karakteristik yang cukup menjanjikan, di antaranya beradaptasi baik dalam kondisi lingkungan yang relatif beragam, merupakan alternatif sumber protein, vitamin, mineral, dan serat yang relatif murah, serta secara tradisional sudah merupakan salah satu komponen pola tanam, khususnya dalam pemanfaatan pekarangan dan relatif tahan cekaman lingkungan (Putrasamedja 2005) dan bersifat spesifik lokasi (Nnamani et al. 2009). Langkah awal pemanfaatan pohpohan yaitu melalui eksplorasi dan selanjutnya dikarakterisasi. Eksplorasi dilakukan didelapan Kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor, Bandung Barat, Subang, Garut, Sukabumi, Bandung, Majalengka, dan kuningan.

Karakter ketidak-miripan yang ditunjukkan masing-masing gerombol yaitu intensitas pewarnaan antosianin ujung batang, panjang helai daun, lebar helai daun, panjang daun terminal, lebar daun terminal, dan kecerahan helai daun. Intensitas pewarnaan antosianin ujung batang dapat dikelompokan menjadi dua yaitu lemah dan kuat (Gambar 9). Aksesi yang memiliki intensitas pewarnaan ujung batang lemah ditemukan di Kabupaten Bogor Desa Bobojong, Warung Loa, dan Tugu Selatan. Selain itu, ditemukan juga di Kabupaten Bandung Barat, Bandung, Garut, Sukabumi dan Subang tepatnya Desa Palasari. Aksesi yang memiliki intensitas pewarnaan ujung batang kuat ditemukan di Kabupaten Subang Desa Curug Rendeng, Majalengka, dan Kuningan.

(a) (b)

(36)

Panjang daun pohpohan dikelompokan menjadi dua yaitu sedang dan panjang (Gambar 10). Lebar daun juga dikelompokkan menjadi dua yaitu sedang dan lebar (Gambar 11). Aksesi yang memiliki ukuran lebar dan panjang daun tergolong sedang di temukan di Kabupaten Bogor Desa Bobojong. Aksesi yang memiliki ukuran daun tergolong panjang dan lebar ditemukan di Kabupaten Subang, Bandung Barat, Bandung, Garut, Sukabumi, Majalengka, Kuningan, Bogor tepatnya Desa Warung Loa dan Tugu Selatan.

(a) (b) Gambar 10. Panjang daun pohpohan (a) sedang dan (b) panjang

(37)

Panjang ujung daun dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu pendek, sedang, dan panjang (Gambar 12). Aksesi yang memiliki ujung daun pendek ditemukan di Kabupaten Bogor Desa Bobojong. Aksesi yang memiliki ujung daun sedang ditemukan di Kabupaten Subang Desa Curug Rendeng, Majalengka dan Kuningan. Aksesi yang memiliki ujung daun panjang ditemukan di Kabupaten Bogor Desa Warung Loa dan Tugu Selatan, Subang Desa Palasari, Bandung Barat, Bandung, Garut dan Sukabumi.

(a) (b) (c) Gambar 12. Panjang ujung daun (a) pendek, (b) sedang, dan (c) panjang

Lebar ujung daun dikelompokkan menjadi dua yaitu sedang dan lebar (Gambar 13). Aksesi yang memiliki lebar ujung daun tergolong sedang ditemukan di Kabupaten Bogor Desa Bobojong, Curug Rendeng, Majalengka, dan Kuningan. Aksesi yang memiliki ujung daun lebar ditemukan di Kabupaten Bogor Desa Warung Loa, Tugu Selatan, Subang Desa Palasari, Bandung Barat, Bandung, Garut, dan Sukabumi.

(a) (b) Gambar 13. Lebar ujung daun (a) sedang dan (b) lebar

Kecerahan helai daun dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu lemah, sedang, dan kuat (Gambar 14). Aksesi yang memiliki kecerahan helai daun lemah ditemukan di Kabupaten Bogor Desa Bobojong. Aksesi yang memiliki kecerahan helai daun sedang ditemukan di Kabupaten Bogor Desa Warung Loa dan Tugu Selatan, Subang Desa Palasari, Bandung Barat, Bandung, Garut, dan Sukabumi. Aksesi yang memiliki kecerahan helai daun kuat ditemukan di Kabupaten Subang Desa Curug Rendeng, Majalengka, dan Kuningan.

Pendek Sedang

Panjang

(38)

(a) (b) (c) Gambar 14. Kecerahan helai daun (a) sedang, (b) kuat, dan (c) lemah

(39)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hasil eksplorasi di Kabupaten Bogor, Bandung Barat, Subang, Majalengka, Kuningan, Garut, sukabumi dan Bandung diperoleh 13 aksesi pohpohan. 2. Berdasarkan hasil karakterisasi, 13 aksesi pohpohan memiliki kemiripan

beberapa karakter yaitu tipe tanaman, total tinggi tanaman, kerapatan tanaman, pewarnaan antosianin batang, daun berbulu, bentuk helai daun, bentuk tulang daun, profil di penampang helai daun, gelombang daun, tepi bergelombang helai daun, tepi bergerigi helai daun, kedalaman gerigi tepi helai daun, bentuk ujung daun, bentuk pangkal daun, panjang tangkai daun, panjang ruas rata-rata pada batang berbunga, bentuk malai, warna daun mahkota bunga, dan waktu berbunga.

3. Tiga belas aksesi pohpohan hasil eksplorasi dikelompokkan menjadi tiga gerombol pada koefisien ketidak-miripan delapan. Gerombol I terdiri dari aksesi Bobojong. Gerombol II terdiri dari aksesi Curug Rendeng, Argalingga dan Linggarjati. Gerombol III terdiri dari Sukalilah, Lebaksiuh, Warung Loa, Lebak Muncang, Situsari, Langensari, Kayu Ambon, Tugu Selatan, dan Palasari.

4. Karakter ketidak-miripan masing-masing gerombol yaitu intensitas pewarnaan antosianin ujung batang, panjang helai daun, lebar helai daun, panjang ujung daun, lebar ujung daun, dan kecerahan helai daun.

5. Ciri utama gerombol I yaitu memiliki panjang dan lebar daun sedang, ujung daun pendek, dan kecerahan helai daun lemah. Ciri utama gerombol II yaitu memiliki intensitas pewarnaan antosianin ujung batang kuat, panjang ujung daun sedang, dan kecerahan helai daun kuat. Ciri utama gerombol III yaitu memiliki kecerahan helai daun sedang, ujung daun panjang dan lebar.

6. Secara umum aksesi Bobojong, Linggarjati, dan Warung Loa memiliki potensi untuk dikembangkan dalam upaya peningkatan produktivitas maupun perakitan varietas tanaman pohpohan.

7. Aksesi Warung Loa merupakan aksesi yang paling unggul karena menunjukkan hasil yang terbaik pada tinggi tanaman, jumlah cabang primer, lebar daun, hasil panen perpetak, dan produktivitas tanaman.

Saran

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Adams CD. 1970. Notes on Jamaican flowering plants 1. Mitt Bot Munchen. 8:99-110.

Adeoti K, Dansi A, Ahoton L, Vodouhe R, Ahohuendo B, Rival A, Sanni A. 2012. Agromorphological characterization of Sesamum radiatum a neglected and underutilized species of traditional leafy vegetable of great importance in Benin. Afr J Agric Res. 7(24):3569-3578.

Adiyoga W. 2009. Analisis trend hasil per satuan luas tanaman sayuran Tahun 1969-2006 di Indonesia. J Hort. 19(4):484-499.

Amalia R, Fidrianny I, Sukrasno S. 2006. Review of chemistry ingredients ethyl acetate extract leaves pohpohan (Pilea trinervia Wight.) [Thesis]. Bandung [ID]. Institut Teknik Bandung.

Andarwulan N, Batari R, Sandrasari DN, Bolling B, Wijaya H. 2010. Flavonoid content and antioxidant activity of vegetables from Indonesia. Food Chem. 121:1231-1235.

Ariawan IA, Kencana IEN, Sucipta NP. 2013. Komparasi analisis gerombol (cluster) dan biplot dalam pengelompokan. J Matematika. 2(4):17-22. Backer CA, Brink BVD. 1965. Flora of Java (Spermatophytes Only). Volume 2.

Groningen, Netherland (NL): Wolters Noordhoff. hlm 40-41.

Baihaki, A. 2003. Aspek sosial ekonomi dalam pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman hayati Jawa Barat. J Ekol Biodiver Top. 2(2):54-60.

Basha SD, Sujatha M. 2007. Inter and intra-population variability of Jatropha curcas (L.) characterized by RAPD and ISSR markers and development of population specific SCAR markers. Euphytica. 156:375–386.

Baskorowati L, Umiyati R, Kartikawati N, Rimbawanto A, Susanto M. 2008. Pembungaan dan pembuahan Melaleuca cajuputi Subsp Powel di kebun benih semai Paliyan Gunung Kidul, Yogyakarta. J. Pemul Tan Hut. 2(2).1-13.

Batari R. 2007. Identifikasi senyawa favanoid pada sayuran indigenous Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Budi LS. 2007. Pengaruh cara tanam dan penggunaan varietas terhadap produktivitas wijen (Sesamum indicum L.). Bul Agron. 35(2):135-141. Chahardehi AM. Ibrahim D. Sulaiman SF. 2009. Antioxidant activity and total

phenolic content of some medicinal plants in Urticaceae. J Appl Bio Sci. 3(2):27-31.

Chauhar, S.V.S., B.K. Saxana, T. Konoshita. 1987. Effect of daminozide (B9) on sex-expression and seed setting in castor bean, Ricinus communis L. Japan J. Breed. 37:262-266.

Chen CJ. Monro AK. 2003. Pilea in: Wu Z-y, Reven PH (Eds) Flora of China. Beijing and Missouri Botanical Garden Press. Sci Press. 5:76-189.

Chen CJ. Monro AK. 2007. Note on Chines Pilea (Urticaceae) including two new name and one lectotypification. Novon. 17(1):24-26.

(41)

[Disperta Jabar] Dinas Pertanian Jawa Barat. 2012. Mengenal sayuran indigenous [internet]. [28 Maret 2013]. Tersedia Dari: http://www.diperta. Jabarprov .go.id.

Door LJ, Stergios B. 2014. Four new species of andean Pilea (Urticaceae), with addition notes on the genus in Venezuela. Phytokey. 42:57-76.

Dwiyani R. 2008. Identifikasi golongan senyawa antioksidan pada daun pohpohan (Pilea trinervia). [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Ekawati R. Susila AD. Kartika JG. 2010. Pengaruh naungan tegakan pohon terhadap pertumbuhan dan produktivitas beberapa tanaman sayuran indigenous. J Hort Indones. 1(1):46-52.

Endrini S. 2011. Antioxidant activity and anticarcinogenic properties of rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L.) Lam.) and pohpohan (Pilea tinervia (Roxb.) Wight.). J. Med Plant Res. 5(16):3715-3718.

Fawcet A. Rendle AB. 1914. Flora of Jamaica. Volume 3. London (GB): British museum. hlm 60-81.

Handayani D. 2007. Identifikasi karakter hortikultura beberapa sayuran indigenous. [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Hartati S. 2008. Pengaruh perubahan iklim terhadap pembungaan dan pembuahan jarak pagar. Info Tek. Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) 3:6.

Hartmann HT, Kester DE. 2002. Plant Propagation Principles and Practice 7th Edition. New Jersey (US): Prentice Hall, Inc.

Herawati R, Purwoko BS, Dewi IS. 2009. Keragaman genetik dan karakter agronomi galur haploid ganda padi gogo dengan sifat-sifat tipe baru hasil kultur antera. J Agron Indonesia. 37(2):87-94.

Ibrahim D, Chahardehi AM, Abolhassani F, Sulaiman SF. 2012. Evaluation of the antidepressan effect of alcoholic extracts of Pilea microphylla in Mice. J Teknol. 1:229-249.

Indriani FC, Sudjindro AN, Sugihanto, Soetopo L. 2008. Keragaman genetik plasma nutfah kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dan beberapa spesies yang sekerabat berdasarkan analisis isozim. Agritek. 6(9):1793-1802.

Islam AK, Anuar MN, Yaakob Z, Osman M. 2011. Heterosis for seed yield and its components in Jatropha (Jatropha curcus L.). Int J Plant Breed. 5:74-79.

Isnindar, Wahyuono S, Setyowati EP. 2011. Isolasi dan identifikasi senyawa antioksidan dan kesemek (Diospyros kaki Tumb.) dengan metode DPPH (2,2-defenil-1-pikrilhldrazil). Majalah Obat Tradis. 16(3):157-164.

Joseph L, George M. 2011. Pharmacognostical profiling of Geranum ocellatum leaves. Int J Med Arom Plants. 1(3):351-354.

[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 2012. Perkembangan dan ekologi benih. Balai pembenihan tanaman hutan Sulawesi. [internet]. [23 Oktober 2014]. Tersedia dari: http://www.bpthsulawesi.net.pdf.

Killip EP. 1936. New spesies of Pilea from the Andes. Volume 26. Washington D.C (AS). Contributions from the united states national herbarium. hlm 367-394.

Gambar

Gambar 1. Bagan alur penelitian
Gambar 3. Bentuk helai daun
Gambar 5. Bentuk tepi helai daun
Tabel 1. Hasil eksplorasi 13 aksesi pohpohan dari beberapa lokasi di Jawa Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai kisaran galur menunjukkan bahwa terdapat beberapa galur yang memiliki nilai tengah lebih tinggi dibandingkan kontrol pada karakter tinggi tanaman 17.5 cm, jumlah

Sedangkan nenas Australia memiliki rerata dengan nilai terendah untuk karakter tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, dan lebar tajuk

Aksesi tanaman bangun-bangun asal Medan (Tuntungan), Sibolangit, Simalungun dan Brastagi memiliki karakter morfologi yang mirip yaitu tipe tanaman tegak, bentuk batang persegi

sagu yang tidak berduri. Berbagai aksesi sagu yang diamati terletak pada satu kawasan yang sama namun memiliki ciri- ciri morfologi yang berbeda. Kemungkinan berbagai aksesi tersebut

sagu yang tidak berduri. Berbagai aksesi sagu yang diamati terletak pada satu kawasan yang sama namun memiliki ciri- ciri morfologi yang berbeda. Kemungkinan berbagai aksesi tersebut

Gerombol I terdiri atas aksesi Pendeuy, Saribakti, Karang agung, Sindangbarang, Langensari, Perbawati, Sudajaya girang, Karang tengah, Argalingga, Warnasari,

Tujuh aksesi padi lokal Bangka memiliki nilai heritabilitas tinggi pada karakter tinggi tanaman, panjang malai, waktu panen, jumlah biji hampa, panjang biji, lebar

Sistem budidaya konvensional memiliki produksi yang lebih tinggi karena tanaman mengalami cekaman air pada saat tanaman sudah melewati tahap pembentukan malai