ii
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI YANG DITANAM
DENGAN METODE
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.)
DI DESA LIMO, DEPOK, JAWA BARAT
EKA NURWITA SARI
A14051347
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
iii
RINGKASAN
EKA NURWITA SARI. Pertumbuhan dan Produksi Padi yang Ditanam dengan
Metode System of Rice Intensification (S.R.I.) di Desa Limo, Depok, Jawa Barat. Di bawah bimbingan ISWANDI ANAS dan RAHAYU WIDYASTUTI.
System of Rice Intensification merupakan salah satu metode budidaya padi yang dapat meningkatkan produktivitas dengan cara intensifikasi. Prinsip dasar penanaman padi menurut metoda S.R.I. adalah : (1) penanaman bibit muda (6-12 hari), (2) bibit ditanam dangkal, satu batang per lubang, (3) jarak tanam lebar, (4) kondisi tanah lembab dan (5) sering dilakukan penyiangan (Sutaryat, 2008).
System of Rice Intensification berkembang di Indonesia bagian timur dengan peningkatan produksi sebesar 78%, penurunan penggunaan benih sebesar 80%, penghematan air 40% serta menurunkan biaya produksi sebesar 20% (Hasan dan Sato, 2007). Dalam budidaya S.R.I. pupuk yang digunakan dapat disesuaikan dengan kondisi di lapangan yaitu dapat menggunakan pupuk anorganik, pupuk organik maupun kombinasi antara anorganik dan organik. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh budidaya S.R.I. dengan berbagai perlakuan pupuk terhadap pertumbuhan vegetatif dan produksi padi di Desa Limo, Depok, Jawa Barat.
Penelitian dirancang berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan empat ulangan dan empat perlakuan yaitu, budidaya padi secara : konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik. Kondisi irigasi pada lahan penelitian pada awal tanam sampai dengan 6 minggu setelah tanam dalam keadaan baik, tetapi pada 8 minggu setelah tanam (fase generatif) sampai dengan panen lahan penelitian mengalami kekeringan. Kekeringan terjadi karena rusaknya saluran irigasi akibat perbaikan jalan. Kekeringan yang dialami terjadi pada awal fase generatif, sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang tak terpulihkan. Sebelum terjadinya kekeringan, pengelolaan air berjalan dengan baik, untuk sistem budidaya konvensional tanaman digenangi air dengan ketinggian 5 cm di atas permukaan tanah, sedangkan untuk semua sistem budidaya S.R.I. pengaturan air diatur sampai kondisi tanah lembab tetapi tidak tergenang.
Kekeringan yang dialami berdampak terhadap semua sistem budidaya dan dampak terbesarnya dialami oleh semua budidaya S.R.I. Pengelolaan air dengan ketinggian 5 cm di atas permukaan tanah dan umur tanaman yang lebih tua 20 hari menyebabkan sistem budidaya konvensional tidak mengalami cekaman air pada saat pembentukan malai, sedangkan sistem budidaya S.R.I. mengalaminya. Pada sebagian besar fase generatif dikonsumsi banyak air dan kekeringan yang terjadi pada fase ini akan menyebabkan beberapa kerusakan yang di sebabkan oleh terganggunya pembentukan malai, pembungaan dan fertilisasi yang berakibat kepada peningkatan sterilisasi sehingga mengurangi hasil (Subagyono et al., 2009).
Kekeringan yang terjadi di lahan percobaan pada saat awal pembentukan malai hingga panen serta serangan hama seperti keong mas, penggerek batang, belalang, walang sangit dan burung lebih berdampak pada sistem S.R.I. Hal ini menyebabkan tinggi tanaman, jumlah batang per 100 m2 dan jumlah batang
iv
produktif per 100 m2 pada sistem budidaya S.R.I. nyata lebih rendah dibandingkan sistem konvensional. Komponen hasil seperti panjang malai, jumlah gabah isi dan bobot 1000 butir pada budidaya S.R.I. juga lebih rendah dari konvensional. Sedangkan untuk jumlah gabah permalai pada sistem budidaya S.R.I. lebih tinggi dari budidaya konvensional walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Jumlah Gabah Kering Panen (GKP) dalam ubinan (2.5 m x 2.5 m) pada sistem budidaya konvensional sebesar 2.175 kg (3.48 ton/ha), S.R.I. anorganik 1.725 kg (2.76 ton/ha), S.R.I. organik 1.14 kg (1.83 ton/ha) dan S.R.I. semiorganik 1.5 kg (2.41 ton/ha). Produksi tersebut masih dibawah rata-rata produksi nasional yaitu 4.85 ton/ha.
v
SUMMARY
EKA NURWITA SARI. The Growth and Production of Rice Plant with System
of Rice Intensification (S.R.I.) in Limo Village, Depok, West Java. Supervised by
ISWANDI ANAS and RAHAYU WIDYASTUTI.
System of Rice Intensification is one of rice cultivation methods which can increase productivity by intensification. The basic principles of rice cultivation according to S.R.I. method are: (1) the planting of young seedlings (6-12 days), (2) seedling are planted shallow, one seedling per hole, (3) wider planting space, (4) moist soil condition and (5) frequently weeding (Sutaryat , 2008). System of Rice Intensification was developed in eastern Indonesia with a production increase of 78%, reducing the use of seeds by 80%, economizing on the use of water by 40% and lowering the production cost by 20% (Hasan and Sato, 2007). In S.R.I. cultivation, the fertilizer used can be adjusted to the condition in the field, so it is possible to use inorganic fertilizer, organic fertilizer or a combination of inorganic and organic fertilizers. This research aimed to study the effects of S.R.I. cultivation with different fertilizer treatments on vegetative growth and paddy production in Limo Village, Depok, West Java.
The study was designed based on Randomized Block Design with four replications and four treatments in rice cultivation, i.e. conventional, inorganic S.R.I., organic S.R.I. and. semi-organic S.R.I.. The irrigation condition in the research field in early planting time until 6 weeks after planting was quite good, but 8 weeks after planting (generative phase) until harvest time, the research field went dry. The drought occurred because of the damage to irrigation channels due to road improvement. The drought in the early generative phase resulted in an irreparable yield reduction. Before the drought, the water management went well. For the conventional cultivation system, the plants were flooded with water as high as 5 cm above the ground level, while for all S.R.I. cultivation systems, the water was set to make soil condition moist but not flooded.
The drought had an impact on all cultivation systems and the worst one was experienced by all S.R.I. cultivations. Unlike the S.R.I. system, the water with a height of 5 cm above the ground level and the plants of 20 days older had made a conventional cultivation system escape from water problem during the panicle formation. In most of the generative phase the water consumption was high and the drought occurred in this phase could bring about some damage caused by the disruption of panicle formation, flowering and fertilization, resulting in the increase in sterilization which might reduce the yield (Subagyono et al., 2009).
The drought that occurred in the experiment area at the beginning of panicle formation up to harvest time as well as the attack of pests such as slugs, ring borers, grasshoppers, Leptocorisa oratorius and birds which had a worse impact on the S.R.I. system. This caused the plant height, number of tiller per 100 m2 and the number of productive tiller per 100 m2 significantly lower compared to conventional systems cultivation. The result components such as the length of panicle, number of grain content and 1000 grain weight in S.R.I. cultivation were also lower than the conventional systems. As for the number of grains per panicle
vi
in the S.R.I.cultivation system was higher than the conventional cultivation although it was statistically not significant different. The number of Dried Yield Grain in square (2.5 m x 2.5 m) in the conventional cultivation system was 2.175 kg (3.48 tons/ha), inorganic S.R.I. 1.725 kg (2.76 tons/ha), organic S.R.I. 1.14 kg (1.83 tons/ha) and. semi-organic S.R.I. 1.5 kg (2.41 tons/ha). The production was still below the average national production of 4.85 tons/ha.
vii
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI YANG DITANAM
DENGAN METODE
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION (S.R.I.)
DI DESA LIMO, DEPOK, JAWA BARAT
Oleh :
EKA NURWITA SARI
A14051347
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
viii
Judul Skripsi : Pertumbuhan dan Produksi Padi yang Ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (S.R.I.) di Desa Limo, Depok, Jawa Barat
Nama : Eka Nurwita Sari
NIM : A14051347
Menyetujui
Pembimbing I, Pembimbing II,
(Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc.) (Dr. Rahayu Widyastuti, M.Sc.) NIP : 19500509 197703 1 001 NIP : 19610607 199002 2 001
Mengetahui :
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP : 19621113 198703 1 003
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 1987. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Slamet Kasih, SE. dan Ibu Sri Mulyana.
Penulis mengawali jenjang pendidikannya di SD N 08 Cibubur, dan lulus pada tahun 1999. Penulis meneruskan jenjang pendidikan menengah pertama di SLTP Islam PB. Sudirman, lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA N 99 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan satu tahun kemudian, tahun 2006, penulis tercatat sebagai mahasiswi Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Agrogeologi dan Bioteknologi Tanah pada semester 7. Organisasi yang pernah diikuti selama masa perkuliahan adalah Staf PSDM HMIT (Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah) masa jabatan 2008/2009.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Pertumbuhan dan Produksi
Padi yang Ditanam dengan Metode System of Rice Intensification (S.R.I.) di Desa Limo, Depok, Jawa Barat” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc. selaku dosen pembimbing pertama atas bimbingan, arahan dan dana penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Ibu Dr. Rahayu Widyastuti M.Sc. selaku dosen pembimbing kedua atas
segala masukan dan saran kepada penulis saat penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Ibu Dr. Lilik Tri Indriyati M.Sc. selaku dosen penguji yang sudah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.
4. Kedua orang tuaku dan adik-adiku, atas doa dan dukungannya.
5. Ibu Asih Karyati, Ibu Julaeha, Bapak Sarjito, Ibu Yeti, Bapak Ir. Fakhrur Razie M.Si., Bapak Togi R. Hutabarat, SP., Mba Dian Nareswari, SP., Kak Fitri Ardi, SP. serta rekan-rekan penelitian atas bantuan dan dukungannya. 6. Bapak H. Sikun yang telah banyak membantu di lapang.
7. Rahardian Budi Permana atas bantuan dan dukungannya.
Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan ke depan. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang membacanya.
Bogor, Oktober 2009
Penulis
xi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
I. PENDAHULUAN ... …….. 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Hipotesis ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 System of Rice Intensification ... 3
2.2 Perkembangan System of Rice Intensification (S.R.I) ... 4
2.2.1 Madagaskar ... 5 2.2.2 Indonesia ... 5 2.2.3 Cina ... 6 2.2.4 Sri Lanka ... 6 2.2.5 Kamboja ... 7 2.2.6 Laos ... 7 2.2.7 Kuba ... 7 2.3 Tanaman Padi ... 7
2.4 Kebutuhan Air pada Tanaman Padi ... 8
2.5 Tanah Sawah ... 9
III. BAHAN DAN METODE ... 11
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 11
3.2 Bahan dan Alat ... 11
3.3 Metode Penelitian ... 11
3.3.1 Rancangan Penelitian ... 11
3.3.2 Pelaksanaan Penelitian di Lapang ... 13
3.3.3 Parameter yang Diamati ... 15
3.4 Analisis Data ... 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17
4.1 Tinggi Tanaman ... 17
xii
4.3 Komponen Hasil Panen ... 21
4.4 Faktor Pembatas ... 24
4.4.1 Hama ... 24
4.4.2 Kekeringan ... 26
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28
5.1 Kesimpulan ... 28
5.2 Saran ... 28
DAFTAR PUSTAKA ... 29
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Perbandingan Produktivitas Padi S.R.I. dan Non S.R.I. di Beberapa Negara, Tahun 1994-2001 ……… 4 2. Perbandingan Produktivitas Padi S.R.I. dan Non S.R.I. di Beberapa
Propinsi di Indonesia, Tahun 2000-2006 ………. 6 3. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Jumlah Batang Produktif
per 100 m2 ………... 19 4. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Panjang Malai, Jumlah Gabah
per Malai, Persentase Gabah Hampa dan Bobot 1000 Butir ………… 21 5. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Gabah Kering Panen dan
Gabah Kering Giling ………. 22
Lampiran
1. Jadwal Kegiatan ……… 31 2. Analisis Sifat Kimia dan Fisik Tanah yang digunakan dalam
Penelitian ……… 33 3. Deskripsi Padi Varietas Ciherang ……….. 34 4. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Tinggi Tanaman (cm) …………. 35 5. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Jumlah Batang per 100 m2……..35
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Tata Letak Petakan Percobaan di Lapang ………. 13 2. Tinggi Tanaman umur 2-10 MST pada Sistem Budidaya Konvensional,
S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik... 17 3. Jumlah Batang Tanaman Padi per 100 m2 pada Budidaya Konvensional,
S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik... 18 4. Perubahan Potensial Redoks Akibat Kekeringan ……….. 25 5. Perubahan Tingkat Kemasaman Tanah Akibat Kekeringan……… 26
Lampiran
1. Persiapan Tanam : (a) persemaian S.R.I. (6 HSS), (b) persemaian konvensional (26 HSS), (c) saluran air, (d) petakan penanaman……… 35 2. Pertumbuhan Tanaman saat Umur 4 Minggu Setelah Tanam :
(a) budidaya konvensional, (b) budidaya S.R.I. anorganik, (c) budidaya S.R.I. organik, (d) budidaya S.R.I. semi-organik……… 36 3. Kondisi Tanaman Sebelum dan Sesudah Mengalami Kekeringan :
(a) budidaya konvensional 6 MST, (b) budidaya konvensional 10 MST, (c) budidaya S.R.I. semi-organik 6 MST, (d) budidaya S.R.I. semi-organik 10 MST………. 37 4. Kondisi Tanaman dan Tanah yang mengalami Kekeringan : (a) tanaman
di lahan penelitian, (b) tanah di lahan penelitian, (c) tanaman di sekitar lahan penelitian, (d) tanah di sekitar lahan penelitian………. 38
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan beras yang meningkat tidak sebanding dengan produksi padi yang dihasilkan, sehingga setiap tahunnya kebutuhan beras tidak terpenuhi. Rendahnya rata-rata produksi padi per hektar dan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian merupakan penyebab utama rendahnya produksi beras nasional. Dalam periode 1970-1990 laju pertumbuhan produksi padi cukup tajam, rata-rata 4.3% per tahun. Akan tetapi kemarau panjang yang terjadi beberapa tahun kemudian menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Dalam periode 1997-2000 produksi padi kembali meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 1.67% per tahun, terutama karena bertambahnya lahan pertanian. Pada tahun 2007, produksi padi meningkat sebesar 4.96% dibandingkan dengan tahun 2006 sedangkan pada tahun 2008, menurut angka ramalan BPS, produksi padi nasional mencapai 60.28 juta ton gabah kering giling, meningkat 5.46% dibanding tahun 2007 (Puslitbang Tanaman Pangan, 2008).
Potensi peningkatan produktivitas masih sangat besar. Upaya peningkatan produktivitas tersebut dilakukan melalui penerapan teknologi dan pendampingan, seperti peningkatan penggunaan benih unggul bermutu, pemupukan berimbang dan penggunaan pupuk majemuk serta organik, pengamanan produksi dari gangguan OPT dan dampak fenomena iklim, Bantuan Uang Muka Alsin (BUMA) pra panen, penyediaan modal usahatani, perbaikan jaringan irigasi, jaminan pasar serta penyuluhan yang efektif (Peningkatan Produksi Beras Nasional, 2007).
System of Rice Intensification atau S.R.I. merupakan salah satu sistem budidaya yang dapat digunakan untuk intensifikasi pertanian. Sistem ini dapat meningkatkan produktivitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah dan air. Penerapan S.R.I. berdasarkan atas lima komponen penting yaitu, penanaman bibit muda (6–12 hari setelah semai), bibit ditanam satu batang per lubang, jarak tanaman yang lebar (30 cm x 30 cm), kondisi tanah yang lembab (tidak tergenang) dan rutin dilakukan penyiangan untuk menghilangkan gulma serta meningkatkan aerasi tanah (Sutaryat, 2008). Pada bibit muda akar lebih mampu menyokong tanaman yang akan tumbuh dibandingkan dengan bibit tua,
2
hal ini menentukan dalam pertumbuhan tanaman selanjutnya (Suryanata, 2007). Penanaman satu batang per lubang akan menurunkan kebutuhan benih serta kondisi tanah yang tidak tergenang dapat meningkatkan aerasi dan efisiensi penggunaan air (Departemen Pertanian, 2009).
Melalui percobaan di beberapa Negara yaitu Madagaskar, Cina, Indonesia, Bangladesh, Sri Lanka, Gambia, dan Kuba diketahui produktivitas padi S.R.I. sebesar 5.4-15 ton/ha dan non S.R.I. 3.12-5 ton/ha, terjadi peningkatan produktivitas padi antara 30-219% (Suryanata, 2007). Di Indonesia sendiri, metode S.R.I. mulai dikembangkan melalui pengujian dan evaluasi di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat. Pengujian dilakukan pada dua musim tanam yaitu pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi 8.2 ton/ha (Hasan dan Sato, 2007). S.R.I. juga sudah diuji coba dan diterapkan di beberapa Kabupaten di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Pada wilayah Indonesia bagian timur S.R.I. dapat meningkatkan produksi padi sebesar 78%, penurunan penggunaan benih sebesar 80%, penghematan penggunaan air sebesar 40% serta menurunkan biaya produksi sebesar 20% (Hasan dan Sato, 2007).
1.2. Tujuan
Penelitian ini betujuan untuk mempelajari pengaruh budidaya padi dengan
System of Rice Intensification (S.R.I.) yang menggunakan berbagai perlakuan pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi.
1.3. Hipotesis
System of Rice Intensification (S.R.I.) dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. System of Rice Intensification (S.R.I.)
System of rice intensification (S.R.I.) merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanaman, tanah dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan. Gagasan S.R.I. pada mulanya dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S. J., seorang Pastor Jesuit asal Prancis. Oleh penemunya, metodologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Le Systme de Riziculture Intensive disingkat S.R.I. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama System of Rice Intensification (Suryanata, 2007 dan Anugrah et al., 2008). Penerapan S.R.I. berdasarkan atas lima komponen penting yaitu, penanaman bibit muda (6-12 hari setelah semai), bibit ditanam satu batang per lubang, jarak tanaman yang lebar (30 cm x 30 cm), kondisi tanah yang lembab (tidak tergenang) dan rutin dilakukan penyiangan untuk menghilangkan gulma serta meningkatkan aerasi tanah (Sutaryat, 2008).
Pada tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan S.R.I. Empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1994, Cornel International Institute for Food and Agriculture Development (CIIFAD), mulai bekerjasama dengan Association Tefy Saina (ATS) untuk memperkenalkan S.R.I. di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. Pada tahun 1999, kerjasama Nanjing Agriculture University di Cina dan Agency for
Agriculture Research and Development (AARD) di Indonesia melakukan percobaan pertama di luar Madagaskar (Anugrah et al., 2008). Dari beberapa negara yang telah melaksanakan sistem S.R.I., dapat terlihat bahwa produktivitas padi S.R.I. lebih tinggi dibandingkan dengan padi non S.R.I. yang disajikan dalam Tabel 1.
4
Tabel 1. Perbandingan Produktivitas Padi S.R.I. dan Non S.R.I. di Beberapa Negara, Tahun 1994-2001 (Suryanata, 2007)
Hasil (Ton/Ha) Persentase
Negara Peningkatan Tahun Pelaksanaan Padi S.R.I. Padi non S.R.I. Produktivitas
(%) Madagaskar Cina Indonesia Bangladesh 6.7-11.2 9.2-15 6.3-9.5 6.5-9 3.12-4.92 - 4.5 5 115-128 - 40-111 30-80 1994-1999 1999-2001 1999-2000 2000 Sri Lanka 8-15 4,7 70-219 2000-2001 Gambia 5.4-8.3 - - 2000-2001 Kuba 9.56 4.46 114 2001 Data Antara 5.4-15 3.12-5 30-219 1994-2001
Sumber : Handout of Cornell University USA, 2007.
Dari Tabel 1 dapat terlihat produktivitas padi S.R.I. di tujuh negara tersebut antara 5.4-15 ton/ha. Sedangkan untuk padi non S.R.I. antara 3.12-5 ton/ha. Peningkatan produktivitasnya antara 2.28-10 ton/ha atau sebesar 30-219% (Suryanata, 2007).
Seperti metode lainnya, S.R.I. juga memiliki keunggulan dan tantangan. Keunggulan S.R.I. antara lain (Uphoff dan Fernandes, 2003) :
• Dapat meningkatkan produksi padi sampai 50% bahkan ada yang lebih. • Pengurangan dalam pemakaian :
Benih 80-90%.
Kebutuhan air 25-50%.
• Semua varietas benih dapat digunakan. • Biaya produksi turun 10-25%.
• Pendapatan petani meningkat. Tantangan S.R.I. antara lain :
• Pengaturan air sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. • Kebutuhan akan tenaga kerja yang menigkat.
• Pelatihan dan pembelajaran untuk petani (motivasi dan keahlian).
2.2. Perkembangan System of Rice Intensification (S.R.I.)
5
Madagaskar
System of Rice Intensification (S.R.I.) dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh Fr Henry de Laulanie, S. J. Kemudian pada tahun 1990 dibentuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bernama Association
Tefy Saina (ATS) untuk mempekenalkan S.R.I. Pada tahun 1994, ATS bekerjasama dengan Cornel International Institute for Food and Agriculture
Development (CIIFAD) untuk memperkenalkan S.R.I. disekitar Ranomafama National Park yang didukung oleh US Agency for International Development (Uphoff, 2002).
Dengan metode S.R.I., para petani di Madagaskar dapat menghasilkan padi rata-rata sebesar 8 ton/ha, dimana sebelum menerapkan metode S.R.I. para petani hanya dapat mengahasilkan rata-rata 2 ton/ha. Pada tahun pertama penerapan S.R.I. (1994-1995) dengan 38 petani, rata-rata menghasilkan padi 8 ton/ha. Setelah 4 tahun, petani yang menggunakan metode S.R.I. mencapai 275 petani dengan luas lahan 50 ha. Produksi rata-rata mencapai 8.8 ton/ha (Uphoff, 2002).
Indonesia
System of Rice Intensification (S.R.I.) mulai dikembangkan melalui pengujian dan evaluasi di Balai Penelitian Padi Sukamandi, Jawa Barat pada tahun 1999. Pada tahun 2001 evaluasi dilanjutkan pada lahan pertanian di Ciamis, Jawa Barat melalui sekolah lapang yang merupakan bagian dari program nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Pada tahun 2007 sebanyak 9829 petani di Jawa Barat sudah berhasil mempraktekan S.R.I. organik dengan luas lahan 2848 ha. Penyebaran S.R.I. juga berkembang di Indonesia bagian timur meliputi daerah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah (Hasan dan Sato, 2007). Data hasil produksi padi S.R.I. di beberapa propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
6
Tabel 2. Perbandingan Produktivitas Padi S.R.I. dan Non S.R.I. di Beberapa Propinsi di Indonesia, Tahun 2000-2006 (Suryanata, 2007)
Hasil (Ton/Ha) Persentase
Propinsi Peningkatan Tahun Pelaksanaan Padi S.R.I. Padi non S.R.I. Produktivitas
(%) Jawa Barat Sulawesi Sel. NTB Bali 6.8-13.7 7.15-8.7 7.03-9.63 13.3 3.5-6.8 3.19-5.18 4.2-6.16 8.4 94-102 124-69 67-56 58 2000-2006 2002-2004 2003-2004 2006 NTT 11.7 4.4 165 2002 Lampung 8-8.5 3-3.5 167-143 2002 Data Antara 6.8-13.7 3-8.4 58-165 2000-2006
Sumber : Handout of Cornell University USA, 2007. Cina
Evaluasi System of Rice Intensification (S.R.I.) pada tahun 1999 oleh
Nanjing Agricultural University menghasilkan produksi padi 9.2 ton/ha sampai 10.5 ton/ha dengan jarak antar tanaman 30 cm x 30 cm. Penggunaan metode S.R.I. pada desa Xinsheng, provinsi Sichuan menurunkan biaya produksi sebesar 8% dan meningkatkan pendapatan petani sebesar 22% /ha. Jumlah petani hanya 7 orang pada tahun 2003 dan meningkat menjadi 398 orang petani pada tahun 2004 (Uphoff, 2005).
Peneliti padi di Cina sangat tertarik pada metode S.R.I. karena dapat meningkatkan hasil padi hibrida yang sudah sangat tinggi. Mereka mengambil kesimpulan bahwa S.R.I. merupakan cara yang baik untuk meningkatkan produksi beras di Cina, karena yang diperlukan adalah metode yang hemat air. Tetapi penyesuaian S.R.I. akan diperlukan agar cocok dengan kondisi di Cina, dimana tenaga kerja mahal (Uphoff dan Fernandes, 2003).
Sri Lanka
Evaluasi terhadap System of Rice Intensification (S.R.I.) di Sri Lanka dilakukan oleh International Water Management Institute (IWMI) dengan membandingkan secara acak 60 petani yang menggunakan metode S.R.I. dengan 60 petani yang tidak menggunkan metode S.R.I., dari hasil yang diperoleh menunjukan bahwa metode S.R.I. dapat meningkatkan hasil rata-rata sebesar 44%. Departemen Pertanian Sri Lanka melaporkan hasil panen dari metode S.R.I. rata-rata mencapai 8.5 ton/ha (Uphoff, 2005).
7
Kamboja
System of Rice Intensification (S.R.I.) pertama kali diperkenalkan oleh sebuah LSM yang bernama Centre dÉtudes et de Développement Agricole
Cambodgien (CEDAC) pada tahun 2000. LSM ini membantu petani Kamboja memahami prinsip S.R.I. Produksi padi yang dihasilkan di Kamboja dengan metode S.R.I. rata-rata 6-8 ton/ha dimana sebelumnya para petani Kamboja hanya dapat menghasilkan 1.7 ton/ha. Hingga saat ini sudah 17000 petani di Kamboja menggunakan metode ini (Anonim, 2009).
Laos
Beberapa uji coba dilakukan oleh LSM dan evaluasi bersama para petani. Program Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI), di Laos telah merintis peluncuran evaluasi nasional yang dimulai Juni 2002, yang direncanakan dalam tiga musim tanam untuk menguji S.R.I. (Uphoff dan Fernandes, 2003).
Kuba
Penyebaran System of Rice Intensification (S.R.I.) di Kuba sangat cepat karena petani di Kuba menginginkan suatu metode yang dapat meningkatkan produksi padi tanpa input yang mahal. Lembaga pertama yang aktif mencoba metode S.R.I. mendapatkan hasil 9.5 ton/ha dibandingkan dengan yang biasanya diperoleh yaitu 6.6 ton/ha. Musim berikutnya diperoleh 11.2 ton/ha dari lahan yang menggunakan S.R.I., walaupun belum semua prinsip S.R.I. digunakan. Hanya menggunakan manajemen pengairan dan memakai pemindahan jarak luas dengan bibit ditanam tunggal sudah memperlihatkan perbedaan yang besar (Uphoff dan Fernandes, 2003).
2.3. Tanaman Padi
Padi termasuk genus Oryza L yang meliputi lebih kurang 25 spesies, tersebar di daerah tropik dan daerah subtropik seperti Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Menurut Chevalier dan Neguier padi berasal dari dua benua, yaitu benua Asia yang merupakan asal dari Oryza Fatua Koenig dan Oryza Sativa L, sedangkan jenis padi lainnya yaitu Oryza Stapfii Roschev dan Oryza Glaberima
8
Matsushima (1963) membagi periode pertumbuhan tanaman padi menjadi dua periode, yaitu periode pertumbuhan vegetatif dan periode pertumbuhan generatif. Fase vegetatif dibagi menjadi fase vegetatif aktif dan fase vegetatif lambat. Fase vegetatif aktif dimulai dari penanaman bibit sampai jumlah anakan maksimum. Selama fase ini jumlah anakan, tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat. Peningkatan jumlah anakan pada fase ini juga terjadi dengan cepat. Fase vegetatif lambat dimulai dari jumlah anakan maksimum sampai dengan pembentukan malai. Beberapa anakan pada fase ini mati dan jumlah anakan keseluruhan akan berkurang. Kenaikan tinggi tanaman dan berat jerami terus meningkat akan tetapi tidak secepat pada saat fase vegetatif aktif.
Menurut Matsushima (1963) periode pertumbuhan generatif dibagi menjadi dua, yaitu fase pembentukan dan pemanjangan malai yang dimulai dari inisiasi malai sampai antesis dan fase pembuahan dari saat setelah antesis sampai matang. Umumnya varietas berumur pendek akan matang kira-kira 35-40 hari setelah antesis.
2.4. Kebutuhan Air pada Tanaman Padi
Air berperan sangat penting dan merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi padi di lahan sawah. Produksi padi sawah akan menurun jika tanaman menderita cekaman air (water stress). Gejala umum akibat kekurangan air antara lain daun padi menggulung, daun terbakar, anakan padi berkurang, tanaman kerdil, pembungaan tertunda dan biji hampa (Subagyono et
al., 2009).
Tanaman padi membutuhkan air yang volumenya berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. Menurut Kalsim (2007) terdapat tiga fase pertumbuhan pada tanaman padi yaitu :
• Fase vegetatif
Fase ini merupakan fase berikutnya setelah tanam, yang mencangkup tahap pemulihan, dan pembentukan akar, tahap pertumbuhan anakan maksimum serta pertunasan efektif dan pertunasan tidak efektif. Kelembaban yang cukup diperlukan pada fase ini untuk perkembangan akar-akar baru. Kekeringan yang terjadi pada fase ini akan menyebabkan pertumbuhan yang
9
tidak bagus dan hambatan pertumbuhan anakan sehingga mengakibatkan penurunan hasil.
• Fase generatif
Fase ini mencangkup tahap perkembangan awal malai, masa bunting dan pembentukan bunga. Pada sebagian besar fase ini dikonsumsi banyak air. Kekeringan yang terjadi pada fase ini akan menyebabkan beberapa kerusakan yang disebabkan oleh terganggunya pembentukan malai, pembungaan dan fertilisasi yang berakibat kepada peningkatan sterilisasi sehingga mengurangi hasil.
• Fase pemasakan
Fase ini merupakan fase terakhir, yang termasuk didalamnya adalah pembentukan susu, pembentukan pasta, matang kuning dan matang penuh. Selama fase ini kebutuhan akan air sedikit dan secara berangsur-angsur berkurang sampai sama sekali tidak diperlukan air sesudah tahap matang kuning. Selama fase ini pengeringan perlu dilakukan, akan tetapi pengeringan yang terlalu awal dapat menyebabkan bertambahnya gabah hampa dan beras pecah, sedangkan pengeringan yang terlambat akan menyebabkan kondisi rebah.
2.5. Tanah Sawah
Perubahan sifat fisik tanah akibat penyawahan terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Daur pelumpuran dan pengeringan yang silih berganti dan berjalan dengan intensif mengakibatkan terjadinya perubahan sifat fisik tanah, terutama pada lapisan olah yang mengalami perubahan paling cepat. Sifat fisik tanah yang paling tampak mengalami perubahan adalah sruktur tanah. Pada mulanya tanah memiliki struktur gumpal (granular) akan menjadi tidak berstruktur (masif) apabila tanah dilumpurkan. Struktur tanah secara tidak langsung dapat mempengaruhi beberapa parameter seperti bobot isi, porositas, distribusi ukuran pori serta agregrat tanah (stabilitas dan distribusi ukuran agregrat) (Situmorang dan Sudadi, 2001).
Selain mengalami perubahan sifat fisik tanah, penyawahan juga mengakibatkan perubahan terhadap sifat kimia dan elektrokimia. Menurut De
10
Datta (1981) sifat kimia yang mengalami perubahan antara lain : kehilangan oksigen, reduksi atau penurunan potensial redoks (Eh), peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH tanah alkalin, peningkatan daya hantar listrik (DHL), reduksi dari Fe (III) ke Fe (II) dan Mn (IV) ke Mn (II), reduksi dari NO3¯ dan
NO2¯ ke N2 dan N2O, reduksi SO4¯ ke S¯, peningkatan sumber dan ketersediaan
N, peningkatan ketersediaan P, Si dan Mo, pengaruh konsentrasi Zn dan Cu larut dalam air dan pembentukan CO2, CH4 serta hasil-hasil dekomposisi bahan organik
III.
BAHAN DAN METODE
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan April sampai Agustus 2009 yang berlokasi di Desa Limo, Depok, Jawa Barat dan analisis sifat kimia tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Dalam penelitian ini bahan yang digunakan adalah padi varietas Ciherang, pupuk kompos jerami (kandungan: 1.10% N; 1.07% P; 1.02% K; 0.40% Ca; 0.34% Mg) dengan dosis 5 ton/ha, pupuk anorganik dengan dosis 250 kg urea/ha (40.55% N), 100 kg KCl/ha (54.45% K20), 200 kg SP-18/ha (22.61% P2O5),
pupuk organik hayati Fertismart sebanyak 300 kg/ha (mengandung : Azotobacter 3.52 x 104; Mikroorganisme Pelarut Fosfat 1.58x104).
Alat yang digunakan antara lain meteran, pH meter HM-20P merk TOA DKK, Eh meter RM-20P merk TOA DKK, timbangan dan alat-alat perlengkapan panen.
3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktor tunggal dengan empat sistem budidaya. Masing-masing sistem budidaya diulang sebanyak empat kali sehingga terdapat 16 satuan percobaan. Ukuran petak percobaan 5 m x 4 m. Sistem budidaya dalam penelitian ini, yaitu :
a. Penanaman secara Konvensional (T0) sebagai kontrol
Bibit padi berumur 26 hari ditanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm dan ditanam sebanyak 8 bibit perlubang tanam. Penggenangan dilakukan secara kontinu dengan ketinggian sekitar 5 cm di atas permukaan tanah. Pemupukan dilakukan menggunakan pupuk anorganik
12
dengan dosis 250 kg Urea/ha (diberikan dalam 2 tahap), 200 kg SP-18/ha dan 100 kg KCl/ha.
b. Metode S.R.I Anorganik (T1)
Bibit padi berumur 6 hari ditanam satu bibit per lubang dengan jarak tanam 30 cm x 30 cm. Pemindahan bibit dari persemaian ke lahan dilakukan dengan hati-hati dan cepat (kurang dari 30 menit). Bibit ditanam pada kedalaman 2 cm dengan posisi akar horizontal. Pengairan diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab tetapi tidak tergenang. Pupuk yang digunakan dalam metode ini 250 kg Urea/ha (diberikan dalam 2 tahap), 200 kg SP-18/ha dan 100 kg KCl/ha.
c. Metode S.R.I Organik (T2)
Metode ini sama dengan metode S.R.I. anorganik (T1) tetapi pupuk yang diberikan berbeda, pada metode ini pupuk yang diberikan adalah kompos jerami dengan dosis 5 ton/ha. Pupuk kompos diberikan satu minggu sebelum tanam.
d. Metode S.R.I Semi-organik (T3)
Metode ini sama dengan sistem budidaya S.R.I. anorganik (T1) tetapi takaran pupuk yang diberikan hanya setengah dari dosis pupuk sistem budidaya S.R.I. anorganik (T1), sehingga dosisnya menjadi 125 kg Urea/ha (diberikan dalam 2 tahap), 100 kg SP-18/ha, 50 kg KCl/ha serta penambahan pupuk organik hayati sebanyak 300 kg/ha.
Tata letak petakan percobaan keempat sistem budidaya dapat dilihat pada Gambar 1.
13
Gambar 1. Tata Letak Petakan Percobaan di Lapang
3.3.2. Pelaksanaan Penelitian di Lapang
Pelaksanaan penelitian di lapang terdiri dari persiapan lahan penelitian, penyemaian benih, penanaman bibit, pemupukan, pengairan, pemeliharaan tanaman dan pemanenan. Persiapan lahan meliputi pengolahan tanah, pelumpuran dan pembuatan petakan penelitian. Pengolahan tanah dilakukan dengan melakukan pembajakan dan pembalikan tanah, kemudian dilanjutkan dengan pelumpuran. Setelah itu, dilakukan pembuatan petakan penelitian serta saluran air. Petakan penelitian terdiri dari 16 petakan yang masing-masing berukuran 4 m x 5 m serta memiliki saluran air yang terpisah antara masuknya air dan keluarnya air. Pemilihan petak untuk setiap sistem budidaya dilakukan secara acak.
Seleksi benih dilakukan sebelum persemaian dengan cara merendam benih pada air garam, benih yang tenggelam adalah benih yang dipakai. Setelah itu benih yang tenggelam dicuci dan direndam dengan air bersih
14
selama satu malam agar benih mengalami imbibisi. Selanjutnya benih diperam selama dua hari sehingga benih berkecambah. Persemaian untuk budidaya konvensional dilakukan di sekitar petakan penelitian, sedangkan untuk bibit S.R.I. dilakukan pada wadah nampan. Persemaian untuk budidaya konvensional dilakukan 20 hari lebih dulu dibandingkan dengan persemaian untuk budidaya S.R.I. Gambar persemaian dapat dilihat pada Gambar Lampiran 1.
Penanaman dilakukan bersamaan pada semua sistem budidaya, untuk budidaya konvensional penanaman dilakukan pada saat umur bibit 26 hari dengan 8 bibit setiap lubang tanam dan jarak antar tanaman 20 cm x 20 cm. Sedangkan penanaman budidaya S.R.I. dilakukan pada saat bibit berumur 6 hari dengan satu bibit setiap lubang tanam dan jarak antar tanaman 30 cm x 30 cm.
Pengairan pada lahan penelitian dibagi menjadi dua perlakuan, yaitu untuk sistem budidaya konvensional tanaman digenangi secara terus menerus dengan tinggi genangan air 5 cm dari permukaan tanah. Sedangkan untuk sistem budidaya S.R.I., air diatur sampai tanah mencapai kondisi lembab namun tidak tergenang. Keadaan ini seharusnya dipertahankan sampai saat akan dilakukan panen. Akan tetapi, pada saat 8 minggu setelah tanam yaitu pada saat fase generatif awal, lahan penelitian mengalami kekeringan sampai dengan panen. Hal ini juga dialami oleh petani disekitar lahan penelitian. Akibat kondisi kekeringan yang dialami berdampak pada hasil penelitian yang kurang maksimal. Kondisi kekeringan yang terjadi diakibatkan rusaknya saluran irigasi akibat pembetulan jalan. Gambar kekeringan di lahan penelitian dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar Lampiran 4.
Pemupukan dilakukan sesuai dengan dosis pupuk yang sudah ditetapkan pada setiap sistem budidaya. Pupuk kompos jerami diberikan 1 minggu sebelum penanaman. Sedangkan untuk pupuk SP-18, KCl dan pupuk organik hayati diberikan pada saat penanaman. Pupuk Urea diberikan dalam 2 tahap yaitu pada saat penanaman dan pada minggu ke lima setelah tanam.
15
Pemeliharaan dilakukan dengan melakukan penyiangan gulma. Penyiangan dilakukan pada saat 10 hari setelah tanam (HST), 20 HST, 30 HST dan 40 HST.
Pemanenan dilakukan dalam dua tahap, yaitu untuk sistem budidaya konvensional dan sistem budidaya S.R.I. Pemanenan dilakukan secara potong bawah dengan menggunakan sabit
3.3.3. Parameter yang Diamati
1. Tinggi tanaman (cm), yang diukur dengan cara mengatupkan seluruh daun ke atas sehingga terlihat daun yang paling tinggi kemudian diukur dari pangkal batang hingga ujung daun tertinggi setiap dua minggu sekali. 2. Jumlah batang per 100 m2. Perhitungan dilakukan dengan menghitung
jumlah batang pada tanaman contoh setiap dua minggu sekali, lalu dikonversi ke jumlah batang per 100 m2.
3. Jumlah batang produktif per 100 m2. Perhitungan dilakukan dengan menghitung batang yang mempunyai malai pada tanaman contoh, lalu dikonversi ke jumlah batang produktif per 100 m2.
4. Panjang malai (cm). Pengukuran dilakukan dari buku malai hingga ujung malai dalam satu rumpun dan mengambil tiga malai yang mewakili tanaman contoh.
5. Jumlah gabah per malai (butir/malai). Perhitungan dilakukan dengan menghitung jumlah gabah tiap malai dalam satu rumpun dan mengambil tiga malai yang mewakili tanaman contoh.
6. Bobot 1000 gabah. Bobot ini diperoleh dengan menimbang 1000 butir gabah isi dari setiap satuan percobaan dengan dua kali ulangan.
7. Produksi padi Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG), dengan menggunakan ubinan 2.5 m x 2.5 m yang dikonversi kedalam hektar.
8. Eh dan pH tanah, yang diukur setiap dua minggu sekali. Pengukuran dilakukan di lapang dengan Eh meter dan pH meter digital yang diukur pada setiap petakan dengan dua kali ulangan.
16
3.4 Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang ditetapkan maka dilakukan uji DMTR (Duncan Multiple Range Test) dengan selang kepercayaan 5%.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi irigasi lahan penelitian pada awal tanam sampai dengan 6 minggu setelah tanam dalam keadaan baik akan tetapi pada 8 minggu setelah tanam sampai dengan panen, lahan penelitian mengalami kekeringan. Kekeringan terjadi karena rusaknya saluran irigasi akibat perbaikan jalan. Keadaan ini berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi.
4.1 Tinggi Tanaman
Berdasarkan pengamatan tinggi tanaman mulai umur 2 hingga 10 minggu setelah tanam (MST), terlihat bahwa setiap sistem budidaya memiliki hasil yang berbeda seperti ditunjukan pada gambar dibawah ini ( Gambar 2).
Gambar 2. Tinggi Tanaman Umur 2–10 MST pada Sistem Budidaya Konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik
Sistem budidaya konvensional memiliki tanaman yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya lainnya. Hal ini dikarenakan umur tanaman pada sistem budidaya konvensional lebih tua 20 hari dibandingkan sistem budidaya S.R.I. pada saat penanaman. Pada sistem budidaya konvensional waktu persemaian mencapai 26 hari, sedangkan sistem budidaya S.R.I. waktu persemaian hanya 6 hari.
18
Selain itu, pemberian pupuk kimia juga mempengaruhi tinggi tanaman menjadi lebih baik. Hal ini dapat terlihat dari tinggi tanaman pada sistem budidaya S.R.I. organik lebih rendah dibandingkan sistem budidaya lainnya. Rendahnya tinggi tanaman pada sistem budidaya ini dikarenakan, sistem budidaya S.R.I. organik hanya mendapatkan nutrisi dari pupuk organik (kompos). Pemberian pupuk kimia pada tanaman akan terlihat lebih cepat pengaruhya dibandingkan dengan pupuk organik, karena pupuk kimia lebih cepat tersedia bagi tanaman. Penambahan tinggi tanaman akan berlangsung terus dari awal penanaman sampai berakhirnya fase generatif. Laju penambahan tinggi tanaman yang paling cepat terjadi pada fase vegetatif (Subagyono et al., 2009).
4.2 Jumlah Batang dan Jumlah Batang Produktif per 100 m2
Dari analisis data menunjukan adanya hubungan antara sistem budidaya dengan jumlah batang yang diamati mulai dari 2 MST hingga 10 MST (Gambar 3)
Gambar 3. Jumlah Batang Tanaman Padi per 100 m2 pada Budidaya Konvensional, S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik
Pada gambar 3 dapat terlihat bahwa jumlah batang per 100 m2 sistem budidaya konvensional nyata lebih tinggi dibandingkan semua sistem budidaya S.R.I., hal ini dikarenakan adanya perbedaan jumlah bibit yang ditanam. Pada S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik, jumlah bibit yang
19
ditanam adalah 1 bibit per lubang tanam, sedangkan pada budidaya konvensional jumlah bibit yang ditanam adalah 8 bibit per lubang tanam. Selain itu, jumlah rumpun dalam 100 m2 pada sistem budidaya konvensional jauh lebih banyak dari sistem budidaya S.R.I. Perbedaan jumlah rumpun dipengaruhi oleh jarak tanam S.R.I. yang lebih lebar dari sistem budidaya konvensional. Sedangakan diantara sistem budidaya S.R.I., jumlah batang tertinggi terdapat pada sistem budidaya S.R.I. anorganik, yang disebabkan pemberian pupuk kimia yang lebih tinggi kandungan unsur haranya dibandingkan S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik. Pembentukan batang dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti jarak tanam, radiasi matahari, hara mineral, dan berbagai cara budidaya termasuk pengaturan sistem irigasi (Manurung dan Ismunadji, 1988).
Pada sistem budidaya konvensional jumlah batang maksimum diperoleh pada umur 4 MST. Pada 6 hingga 10 MST sistem budidaya konvensional mengalami penurunan jumlah batang, sedangkan sistem budidaya S.R.I. anorganik, S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik masih menunjukkan peningkatan jumlah batang hingga mencapai jumlah batang maksimum pada 8 MST dan mengalami penurunan pada 10 MST. Penambahan jumlah batang terjadi pada fase vegetatif aktif yaitu pada saat umur tanaman 10 hari setelah tanam sampai umur tanaman 60 hari setelah tanam. Setelah mencapai jumlah batang maksimum, pada fase berikutnya beberapa batang akan mati dan jumlah batang keseluruhan akan berkurang (Hanum, 2008).
Dari hasil pengamatan terhadap keempat sistem budidaya yang dilakukan dapat terlihat adanya perbedaan jumlah batang dan jumlah batang produktif per 100 m2. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Jumlah Batang Produktif per 100 m2
Sistem Budidaya
Jumlah Batang per 100 m2
Jumlah Batang Produktif per 100 m2
(14 MST) (14 MST) Konvensional 43250c 32000b S.R.I. Anorganik 29385.95b 17664.9a S.R.I. Organik 23275.45a 14998.5a S.R.I. Semi-organik 20775.7a 14720.75a
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%
20
Batang produktif adalah batang yang menghasilkan malai. Jumlah batang produktif per 100 m2 sistem budidaya konvensional nyata lebih tinggi dari semua sistem budidaya S.R.I. Rendahnya batang produktif sistem budidaya S.R.I. diakibatkan kekeringan yang dialami pada saat pembentukan malai. Sistem budidaya konvensional tidak mengalami kekeringan pada saat pembentukan malai dikarenakan umur bibit yang lebih tua dan pengaturan air yang berbeda dari sistem budidaya S.R.I., sehingga pembentukan malai tidak terganggu.
Pada Tabel 3 dapat kita lihat jumlah batang produktif per 100 m2 pada sistem budidaya S.R.I. anorganik yang sebelumnya jauh lebih tinggi dari sistem budidaya S.R.I organik dan S.R.I semi-organik, menjadi tidak berbeda nyata pada jumlah batang produktif. Hal ini menunjukkan bahwa batang produktif yang terbentuk pada sistem budidaya S.R.I. anorganik kurang maksimal, disebabkan tanaman S.R.I. anorganik lebih dahulu terkena cekaman air karena tidak mempunyai cadangan air yang cukup bagi tanaman. Pada budidaya konvensional cadangan air berasal dari penggenangan yang dilakukan, sedangkan untuk S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik cadangan air berasal dari bahan organik yang diberikan pada sistem budidaya tersebut. Bahan oganik dapat meningkatkan jumlah air yang ditahan oleh tanah sehingga tanaman mendapatkan cukup air (Soepardi, 1983). Kekeringan terjadi di awal fase generatif pada tanaman, seharusnya pada fase ini tanaman mendapatkan cukup air. Pemenuhan air yang tidak tercukupi akan menyebabkan beberapa kerusakan salah satunya adalah terganggunya pembentukan awal malai (Kalsim, 2007).
Air merupakan faktor lingkungan yang sangat penting pada pertumbuhan padi. Air selain beperan khusus dalam proses fotosintesis juga mempunyai fungsi sebagai pengangkut unsur hara dari dalam tanah. Air sebagai pelarut unsur-unsur hara yang diserap tanaman, gerakan air diperlukan untuk memenuhi transport unsur hara, sehingga kekurangan air akan menghambat transportasi unsur hara dan menurunkan aktifitas fotosintesis. Akibatnya tanaman mempunyai vigor yang kurang baik untuk menghasilkan batang produktif (Kurniarahmi, 2005).
21
4.3 Komponen Hasil Panen
Komponen hasil panen merupakan gambaran akhir dari produksi tanaman. Pada panjang malai semua sistem budidaya tidak berbeda nyata. Sistem budidaya konvensional memiliki panjang malai yang lebih besar dibandingkan dengan sistem budidaya lainnya (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Panjang Malai, Jumlah Gabah per Malai, Persentase Gabah Hampa dan Bobot 1000 Butir
Sistem budidaya Panjang malai (cm) Jumlah gabah per malai (butir) Gabah hampa (%) Bobot 1000 butir* (g) Konvensional 21.52a 103.87a 37.19a 25.79b S.R.I. Anorganik 21.04a 110.42a 47.82a 21.74a S.R.I. Organik 20.52a 97.62a 51.35a 22.99a S.R.I. Semi-organik 20.62a 99.82a 48.54a 22.66a
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5%
* : pada kadar air 14%
Dari Tabel 4 dapat terlihat, bahwa sistem budidaya yang dilakukan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah gabah per malai maupun gabah hampa. Kekeringan membuat jumlah gabah per malai menjadi rendah dan persentase gabah hampa menjadi tinggi. Menurut De Datta (1975) kekurangan air pada fase vegetatif akhir dan fase reproduktif dapat menurunkan jumlah gabah per malai. Kekurangan air terutama akan menghambat pada saat inisiasi malai.
Sistem budidaya konvensional memiliki persentase gabah hampa terendah dibandingkan sistem budidaya lainnya. Hal ini dikarenakan pada sistem budidaya konvensional mengalami cekaman air dalam jangka waktu yang lebih pendek dibandingkan sistem budidaya S.R.I. baik anorganik, organik maupun semi-organik karena perbedaan usia tanaman pada saat awal tanam dan pengelolaan air untuk tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Siregar (1981) yaitu pada saat tanaman beralih dari fase vegetatif ke fase generatif, kebutuhan tanaman akan air akan tinggi sekali, yang mana disebabkan daun-daun tanaman telah mencapai lebar yang maksimal. Dengan meningkatnya lebar daun-daun maka penguapan atau respirasi akan meningkat pula dan untuk menghindarkan bulir-bulir yang semuanya atau sebagian besar hampa atau steril, maka tanaman memerlukan air
22
yang banyak sampai bulir-bulir memperlihatkan tanda-tanda menguning, suatu pertanda bahwa tanaman mulai masak.
Pada bobot 1000 butir, sistem budidaya konvensional nyata lebih tinggi dibandingkan sistem budidaya lainnya. Sistem budidaya S.R.I. anorganik, memiliki panjang malai, jumlah gabah per malai tertinggi dan terendah untuk persentase gabah hampa dibandingkan dengan sistem budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik. Akan tetapi untuk bobot 1000 butir sistem budidaya S.R.I. anorganik paling rendah dibandingkan sistem budidaya lainnya. Hal ini berbanding terbalik dengan sistem budidaya S.R.I. organik, yang memiliki panjang malai, jumlah gabah per malai yang lebih rendah dan persentase gabah hampa lebih banyak, memiliki bobot 1000 butir lebih tinggi dibandingkan dengan S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik. Hal ini dikarenakan pengisian gabah bernas lebih efektif pada perlakuan S.R.I. organik.
Produksi padi ditentukan oleh jumlah batang produktif, jumlah gabah per malai, persentase gabah hampa dan bobot 1000 butir gabah isi. Semua faktor yang mempengaruhi komponen produksi akan menentukan produksi padi. Kekeringan yang dialami oleh tanaman padi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komponen produksi yang menyebabkan turunnya produksi padi.
Gabah kering panen adalah hasil gabah pada saat panen atau pemungutan hasil. Gabah kering giling adalah gabah yang sudah dijemur dan siap untuk diproses menjadi beras. Perbandingan antara gabah kering panen dan gabah kering giling sekitar 5 berbanding 4. Perbandingan ini berlaku untuk pertanaman yang tidak mengalami kekurangan air selama pertumbuhannya dan pemungutan hasil dilakukan tepat pada waktunya (Siregar, 1981). Tabel 5 menunjukkan gabah kering panen dan gabah kering giling dari setiap sistem budidaya.
Tabel 5. Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling
Sistem Budidaya Gabah Kering Panen (ton/ha)
Gabah Kering Giling * (ton/ha)
Konvensional 3.48b 2.98b SRI Anorganik 2.76ab 2.26ab SRI Organik 1.83a 1.37a SRI Semi-organik 2.41a 1.96a
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5% * : pada kadar air 14%
23
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa sistem budidaya konvensional nyata lebih tinggi untuk produksi gabah kering panen maupun gabah kering giling dibandingkan dengan sistem budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik, sedangkan dengan sistem budidaya S.R.I. anorganik tidak berbeda nyata. Sistem budidaya konvensional memiliki produksi yang lebih tinggi karena tanaman mengalami cekaman air pada saat tanaman sudah melewati tahap pembentukan malai sedangkan untuk semua sistem budidaya S.R.I. pada saat tahap pembentukan malai sudah mengalami cekaman air, sehingga waktu cekaman air yang dialami sistem budidaya konvensional lebih pendek daripada sistem budidaya lainnya. Hal tersebut sejalan dengan percobaan mengenai cekaman air yang dilakukan di Filipina bahwa cekaman air yang berat pada setiap masa pertumbuhan dapat sangat menurunkan hasil panen dan tahap yang paling kritis dalam kerentanan terhadap cekaman air berlangsung sejak awal pembentukan malai sampai pembungaan (De Datta et al., 1973).
Untuk sistem budidaya S.R.I. organik memiliki hasil yang paling rendah karena kebutuhan nutrisinya hanya dipenuhi oleh pupuk kompos yang tidak dapat langsung tersedia untuk tanaman dan memiliki kandungan nutrisi yang lebih kecil dibandingkan pupuk kimia. Umumnya budidaya S.R.I. organik dalam masyarakat menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) akan tetapi pada penelitian ini MOL tidak digunakan karena ingin melihat perbedaan antara sistem budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik yang menggunakan pupuk organik hayati.
Selain faktor kekeringan, jumlah produksi yang menurun baik pada sistem budidaya konvensional maupun sistem budidaya S.R.I. juga diakibatkan oleh serangan hama. Kejadian yang sama juga dialami oleh penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi dan Kecamatan Tanjung Sari, Bogor. Salah satu penyebab serangan hama adalah tidak serempaknya waktu penanaman padi dengan petani sekitar tempat penelitian (Kusumawardhany dan Agusmiati, tidak dipublikasikan).
Panen untuk sistem budidaya konvensional dilakukan pada saat umur tanaman 114 hari setelah semai, sedangkan untuk semua sistem budidaya S.R.I. dipanen pada usia 106 hari setelah semai. Hal ini menunjukan bahwa waktu tanam dengan metode S.R.I. terbukti lebih cepat dibandingkan dengan konvensional,
24
dengan penghematan waktu sebanyak 8 hari. Selain itu kondisi lahan yang kering juga ikut mempengaruhi waktu panen yang lebih cepat.
4.4 Faktor Pembatas
Produksi padi yang menurun dipacu oleh beberapa faktor antara lain kekeringan dan hama. Faktor ini merupakan faktor pembatas dalam memperoleh hasil yang maksimal.
4.4.1 Kekeringan
Kondisi kekeringan yang dialami tanaman berlangsung dari 8 minggu setelah tanam (MST) sampai dengan panen. Kekeringan pada lahan penelitian disebabkan rusaknya saluran irigasi akibat perbaikan jalan. Sebelum terjadinya kekeringan pengelolaan air berjalan dengan baik, untuk sistem budidaya konvensional tanaman digenangi air dengan ketinggian 5 cm di atas permukaan tanah, sedangkan untuk semua sistem budidaya S.R.I. pengaturan air diatur sampai kondisi tanah lembab tetapi tidak tergenang.
Kekeringan yang dialami terjadi pada awal fase generatif, sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang tak terpulihkan. Hal ini dialami semua sistem budidaya dan dampak terbesarnya dialami oleh semua budidaya S.R.I. Pengelolaan air dengan ketinggian 5 cm di atas permukaan tanah serta umur bibit yang lebih tua pada saat penanaman, menyebabkan sistem budidaya konvensional tidak mengalami cekaman air pada saat pembentukan malai, sedangkan sistem S.R.I. mengalaminya. Kehilangan hasil akibat kekurangan air pada awal pembentukan malai sampai pembungaan jauh lebih besar dibandingkan pada fase vegetatif (Subagyono et al., 2009).
Akibat kekeringan nilai Eh dan pH juga mengalami perubahan. Hal ini terlihat pada Gambar 4 dan 5. Gambar 4 memperlihatkan kondisi Eh selama penelitian.
25
Gambar 4. Perubahan Potensial Redoks Akibat Kekeringan
Gambar 4 memperlihatkan bahwa, potensial redoks untuk sistem budidaya konvensional mulai dari 2 hingga 6 MST selalu bernilai negatif. Hal ini disebabkan pada sistem budidaya konvensional dilakukan penggenangan sampai dengan 5 cm, sehingga kondisi tanah menjadi reduktif. Sedangkan untuk semua sistem budidaya S.R.I., potensial redoks berada diatas nilai -50 mV. Hal ini menandakan bahwa semua sistem berada dalam kondisi yang tidak tergenang atau macak-macak.
Pada 8 MST terjadi peningkatan potensial redoks. Peningkatan yang terjadi sangat jelas terlihat, terutama pada sistem budidaya konvensional yang mengalami peningkatan dari bernilai negatif menjadi bernilai positif. Peningkatan juga terjadi pada sistem budidaya S.R.I. Peningkatan potensial redoks menggambarkan kondisi kekeringan yang dialami tanah. Kondisi kekeringan terus berlangsung sampai panen dilakukan. Gambar 5 memperlihatkan kondisi pH selama proses pengamatan dilakukan.
26
Gambar 5. Perubahan Tingkat Kemasaman Tanah Akibat Kekeringan Kebalikan dari nilai potensial redoks yang mengalami peningkatan disaat kondisi tanah mengalami kekeringan, nilai pH mengalami penurunan mendekati masam. Hal ini jelas terlihat pada sistem budidaya konvensional, pada saat kondisi tanah tergenang yaitu pada 2 - 6 MST pH tanah mendekati normal. Akan tetapi pada saat 8 MST, pH tanah menurun yang dikarenakan kondisi kekeringan. Kenaikan pH tanah pada saat kondisi tanah tergenang disebabkan oleh banyaknya ion ferri yang direduksi menjadi ferro. Proses reduksi ini membutuhkan H+ sehingga pH tanah meningkat karena berkurangnya aktivitas H+ di dalam tanah, sebaliknya pada saat kondisi tanah kering ferro teroksdasi menghasilkan ferri dan ion hidrogren, dengan demikian aktivitas H+ menjadi meningkat sehingga pH menurun (Situmorang dan Sudadi, 2001).
4.4.2 Hama
Selain diakibatkan oleh kekeringan, penurunan produksi juga disebabkan oleh serangan hama. Hama yang menyerang tanaman padi antara lain keong mas, penggerek batang, belalang, walang sangit dan burung.
Keong mas menyerang tanaman padi pada saat tanaman baru dipindahakan dari persemaian ke petakan penelitian sampai dengan umur tanaman 21 hari setelah tanam (HST). Setelah itu serangan keong mas sedikit
27
menurun. Keong mas bersifat aktif pada air yang menggenang, oleh sebab itu keong mas lebih banyak ditemukan di petakan sistem budidaya konvensional dibandingkan sistem budidaya S.R.I. Pengendalian yang dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan mengambil keong mas dan menghancurkan telur-telur keong mas. Telur keong mas berwarna merah muda dan suka menempel pada batang padi.
Penggerek batang adalah hama yang ulatnya hidup didalam batang padi. Penggerek batang merusak pertanaman padi pada semua fase. Serangan yang terjadi pada fase vegetatif disebut dengan sundep yang berakibat anakan akan berwarna coklat dan kemudian mati. Sedangkan serangan yang terjadi pada fase generatif disebut beluk, yang mengakibatkan malai menjadi kosong dan berwarna putih. Tanaman padi yang diserang adalah semua tanaman padi sistem budidaya S.R.I., karena kondisi tanah yang tidak tergenang menyebabkan hama dapat hidup dengan baik di batang padi yang dekat dengan tanah. Pengendalian yang dilakukan dengan melakukan penggenangan selama beberapa saat untuk mematikan ulat.
Hama belalang merusak tanaman padi bagian daun. Bagian daun yang rusak mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis. Pengendalian yang dilakukan untuk mengendalikan hama ini dengan cara manual mengambilnya satu per satu.
Walang sangit menyerang tanaman padi dengan cara menghisap cairan bulir padi yang masih masak susu. Hal ini akan mengakibatkan bulir padi menjadi hampa. Pengendalian yang dilakukan sama seperti hama belalang.
Burung menyerang bulir yang sudah masak dari tanaman padi. Hama burung datang secara berkelompok mendatangi areal tanaman padi yang hampir panen. Kemudian memakan bulir padi dan dalam waktu singkat bulir padi habis. Gejala yang ditimbulkan oleh serangan burung yaitu, tangkai buah padi mengalami kerusakan, tangkai patah dan sisa bulir berjatuhan. Pengendalian yang dilakukan adalah dengan penjagaan areal tanaman, dengan cara membuat bunyi-bunyi disekitar areal dan membuat orang-orangan sawah agar burung takut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Pada sistem budidaya konvensional tinggi tanaman, jumlah batang per 100 m2 dan jumlah batang produktif per 100 m2 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan semua sistem budidaya S.R.I. (System of Rice Intensification).
2. Pada sistem budidaya konvensional komponen hasil seperti panjang malai, jumlah gabah isi dan bobot 1000 butir lebih tinggi dibandingkan dengan semua sistem budidaya S.R.I. Sedangkan untuk jumlah gabah per malai sistem budidaya S.R.I. anorganik lebih tinggi dari sistem budidaya konvensional walaupun secara statistik tidak berbeda nyata.
3. Pada sistem budidaya konvensional Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) nyata lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik tetapi tidak berbeda nyata dengan S.R.I. anorganik.
4. Dalam kondisi kekeringan dan serangan hama, produksi padi mengalami penurunan pada semua sistem budidaya.
5. Umur tanaman sistem budidaya S.R.I. dihitung dari hari setelah semai (HSS) terbukti lebih cepat dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai System of Rice
Intensification (S.R.I.) untuk lebih mengetahui keunggulan dan tantangan dari S.R.I.
29
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Budidaya Padi. http://distan. gorontaloprov. go. id/ agronomi /komoditi tanaman pangan/bididaya%20padi.pdf. [24/03/2009].
Anonim. 2009. The System of Rice Intensification (S.R.I.) in Cambodia. http://www.foodsecurity.gov.kh/sri. [05/11/2009].
Anugrah, I. S., I. P. Wardana dan Sumedi. 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice Intensification (S.R.I.) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ pdffiles/ A RT6-1c.pdf. [19/02/2009].
De Datta, S. K., E. I. Alvarez, H. K. Krupp and S. C. Modgal. 1973. Water Management Practices in Flooded Tropical Rice. In IRRI (Ed). Water Management in Philippine Irrigation Systems : Research and Operations. Los Banos, Philippine. p. 1-18.
De Datta, S. K. 1975. Drought Tolerance in Upland Rice. In IRRI (Ed). Major Research in Upland Rice. IRRI. Los Banos, Philippines. p. 101-116. De Datta, S. K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley &
Sons. New York.
Departemen Pertanian. 2009. Pedoman Teknis Pengembangan System Rice of Intensification (S.R.I.). http: // pla. deptan. go. id / pdf / 03 PEDOMAN TEKNIS S.R.I. 2009. pdf. [20/12/2009].
Hanum, C. 2008. Teknik Budidaya Tanaman Jilid 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Mananajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Hasan, M and S. Sato. 2007. Water Saving for Paddy Cultivation Under the System of Rice Intensification (S.R.I.) in Eastern Indonesia. J. Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 : hal. 57-62.
Kalsim, D. K. 2007. Rancangan Operasional Sistem Irigasi untuk Pengembangan S.R.I. Seminar KNI-ICID. Bandung. http: // www. tep. fateta. ipb. ac. id. [19/08/2009].
Kurniarahmi, E. K. 2005. Pengaruh Waktu Penggenangan Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi Gogo Rancah. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.
Manurung, S. O dan M. Ismunadji. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Dalam Padi. PPPTP, Bogor. p. 55-98.
Matsushima, S. 1963. Theory of Plant Growth. In Matsubayasi (Ed). Theory and Practice of Growing Rice. Fuji Publishing Co. Ltd. Tokyo. p. 73-99.
30
Peningkatan Produksi Beras Nasional. 2007. Rumusan Sementara Rapat Regional III. http : // agribisnis. deptan. go. id / web / diperta- ntb/berita/p2bn.htm. [01/12/2009].
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Klasifikasi Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Puslitbang Tanaman Pangan. 2008. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020. http // www. puslittan. bogor net/ index php?bawaan=download/download detail&&id=35. [01/12/2009].
Siregar, H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Bogor: Sastra Hudaya. Situmorang, R dan U. Sudadi. 2001. Tanah Sawah. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Subagyono, K., A. Dariah, E. Surmaini dan U. Kurnia. 2009. Pengelolaan Air pada Tanah Sawah 7. http: // balittanah. litbang. deptan. go. id/ dokumentasi/ buku/ tanahsawah/ tanahsawah7/pdf. [10/08/2009].
Suryanata, Z. D. 2007. Pengembangan System of Rice Intensification, Sistem Budidaya Padi Hemat Air Irigasi dengan Hasil Tinggi. Prosiding Kongres IX Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI). Bandung, 15-17 November 2007.
Sutaryat, A. 2008. Sistem Pengelolaan Pertanian Ramah Lingkungan dengan Metode System of Rice Intensification (S.R.I.). http: // www. diperta. Jabarprov. go.id/data/arsip/TANTANGAN % 20 DAN %20PELUANG% 20SRI. pdf. [23/10/2009].
Uphoff, N. 2002. The System of Rice Intensification Developed in Madagascar. http://ciifad.cornell.edu/sri/harvard.pdf. [23/10/2009].
Uphoff, N. 2005. Features of The System of Rice Intensification (S.R.I.) Apart from Increases in Yield. http : // ciifad. cornell. edu/ SRI/ yielduphoffrpt 505.pdf. [23/10/2009].
Uphoff, N and E. Fernandes. 2003. Sistem Intensifikasi Padi Tersebar Pesat. Terjemahan : Salam. http://www.leisa.info/index.php?url=getblob.php&o id=67237&a_id=211&a_seq=0. [23/10/2009].