• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung)"

Copied!
308
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA

BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

(STUDI KASUS KOTA BANDUNG)

ENDANG SARASWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ENDANG SARASWATI. Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung). Dibimbing oleh HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI dan HARTRISARI HARDJOMIDJOJO.

Pengelolaan sampah Kota Bandung mempunyai masalah utama berupa keterbatasan dalam kapasitas pelayanan, yaitu hanya sekitar 60% dari sampah kota. Hal ini hanya bisa ditanggulangi melalui reduksi sampah oleh masyarakat. Oleh karena itu partisipasi masyarakat menjadi basis pengelolaan sampah. Tujuan penelitian adalah membuat model pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota yang berbasis partisipasi masyarakat. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah kota adalah masyarakat penghasil sampah, pengelola sampah, pemanfaat sampah, pemerhati masalah sampah, dan pemerintah.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis statistik, organizational capacity assessment tool (OCAT) dan analisis prospektif. Responden yang terlibat meliputi 520 orang kepala rumah tangga, 26 orang Ketua RT, 26 orang Ketua RW, 26 orang Lurah, 26 orang Camat, 100 orang pemulung, 20 orang lapak, 4 orang pengusaha daur ulang, 3 orang pengusaha kompos, dan 4 lembaga swadaya masyarakat.

Analisis statistik menghasilkan tujuh faktor dari rumah tangga yang berpengaruh nyata terhadap pengelolaan persampahan. Ketujuh faktor tersebut adalah (1) jumlah sampah (2) yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang, (3) pengetahuan tentang 3R (reduce, reuse, recycle), (4) pemilahan, (5) pelaksanaan reduce, (6) pelaksanaan reuse

dan (7) kesediaan melakukan recycle (daur ulang). Ibu rumah tangga merupakan pihak yang paling berperan dalam pengelolaan sampah di rumah sebelum dibuang. Masyarakat pengelola sampah adalah RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga) yang merupakan

community based organization. Masyarakat pemanfaat sampah meliputi pemulung, lapak

(bandar), perusahaan pembuatan kompos dan produk daur ulang. Analisis terhadap kapasitas organisasi pengelola persampahan kota, menunjukkan lembaga tersebut masih dalam taraf pengembangan (expanding). Aspek terlemah dalam kapasitas organisasi adalah aspek pelayanan.

Faktor kunci dalam pengembangan kelembagaan pada pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat adalah sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang, pemasaran produk daur ulang. Skenario yang terpilih dalam model pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat adalah skenario Agak Optimis. Strategi untuk pencapaian skenario tersebut adalah dengan sosialisasi untuk pemahaman 3R. Sasaran utama sosialisasi adalah ibu rumah tangga.

Model kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat adalah rangkaian kegiatan pengelolaan sampah yang sinergis antara masyarakat penghasil, pengelola, pemanfaat sampah dan masyarakat pemerhati lingkungan serta pemerintah dalam aspek sosialisasi 3R dan pemasaran kompos dan produk daur ulang. Hasil simulasi reduksi jumlah sampah sebesar 40% dicapai dalam 20 tahun yang terbagi dalam 3 tahapan yaitu jangka pendek, menengah dan panjang. Hal tersebut dapat dicapai bila sosialisasi 3R (reduce, reuse dan recycle) dilakukan serentak di 26 kecamatan.

(3)

ENDANG SARASWATI. Institutional Development Model of Municipal Solid Waste Management in Community Participation Based (with special reference to Bandung City). Under direction of HADI S ALIKODRA, ENRI DAMANHURI and HARTRISARI HARDJOMIDJOJO.

Waste management becomes a major problem for municipal institution and the community of Bandung City. The major problem is waste generation exceeding municipal waste management capacity. It is about 40% of municipal solid waste could not be transported to final disposal site. To overcome this problem waste minimization must be conducted from the source i.e. households by integrating institution and community participation in waste management. The objective of the study is to develop integrated institution in municipal waste management based on community participation. The method was used in the study were statistical analysis, organizational capacity assessment tool (OCAT) and prospective analysis. The respondents were 520 households, 26 neighborhood association heads, 26 sub district heads, 100 scavengers, 4 recycling business and 3 composting business and 4 non government organizations (NGO’s).

The statistical analysis from household level showed that there were seven factors of household characteristics significantly related to waste management in three regions of population density i.e. :(1) waste volume, (2) person in charge in handling domestic waste at home before disposing, (3) understanding level of 3R (4) waste separation; (5) reduce, (6) reuse, and (7) willingness to recycle. The housewife had a major role in handling domestic waste. Neighborhood associations (RT and RW) were community based organizations who collecting domestic waste. Communities that used waste domestic were scavengers, buyers, compost and recycling product business. Organizational capacity assessment tool (OCAT) was conducted to show the capacity of municipal waste management organization. The result shows that the organization was in expanding level; however the weakest factor in organizational capacity was service aspect.

Prospective analysis was conducted by workshop method involving stakeholders in waste management of Bandung City to create scenario to build synergy between institutions and community participation. Identified key factors were 3R socialization, 3R comprehension, the housewife role, composting business, composting marketing, recycling product business, recycling product marketing. The scenario created was rather optimistic scenario that socialized of 3R program should be encouraged; in order to increase 3R comprehension with the main target of socialization were the housewives.

The model of institutional development in municipal solid waste management was a synergy of waste management activities between the communities and government in 3R socialization. The simulation of 40% waste reduction would be achieved in 20 years, that is divided into 3 phase (short, medium and long term) of socialization that should be implement in 26 districts.

(4)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(5)

MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA

BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

(STUDI KASUS KOTA BANDUNG)

ENDANG SARASWATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

I N S T I T U T P E R T A N I A N B O G O R

(6)

Judul Disertasi : Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung)

Nama Mahasiswa : Endang Saraswati

NIM : P026010151

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri Anggota

Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam & Lingkungan

Dr. Ir.Surjono H. Sutjahjo, MS.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia yang dilimpahkanNya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan, meskipun waktu penyelesaiannya lebih lama daripada waktu yang seharusnya. Penelitian dilakukan sejak pertengahan tahun 2004 sampai Januari 2006. Tema yang dipilih adalah pengelolaan persampahan dengan judul disertasi: Model Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Kota Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kota Bandung).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hadi S Alikodra, MS selaku ketua komisi pembimbing juga kepada Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri dan Dr. Ir. Hartrisari H Hardjomidjojo, DEA selaku anggota komisi pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Perusahaan Daerah Kebersihan yang telah memberikan kesempatan untuk dilakukannya penelitian ini. Perhargaan yang sama disampaikan kepada Pemerintah Kota Bandung yang telah memfasilitasi penyelenggaraan lokakarya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2007

(8)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1956 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, dari pasangan Almarhum Prof. Ir. Suryono dan Sutjiningroem Pendidikan sarjana ditempuh pada jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, dan lulus pada tahun 1986. Tahun 1998 mengikuti program pasca sarjana pada Ilmu Geografi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia, dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2001 mengikuti program S3 pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Institut Pertanian Bogor dengan peminatan Kebijakan Manajemen Lingkungan (KML).

Sejak tahun 1986, penulis menjadi tenaga pengajar pada Institut Teknologi Adityawarman Bandung. sekarang Universitas Kebangsaan, pada jurusan Teknik Lingkungan.

(9)

Halaman

DAFTAR TABEL . . . xii

DAFTAR GAMBAR . . . xiv

DAFTAR LAMPIRAN . . . xv

I. PENDAHULUAN . . . 1

1.1. Latar Belakang . . . 1

1.2. Tujuan Penelitian . . . 3

1.3. Kerangka Pemikiran . . . 4

1.4. Manfaat Penelitian . . . 6

1.5. Novelty (Kebaruan) . . . 7

II. TINJAUAN PUSTAKA . . . 8

2.1. Pengelolaan Persampahan Kota . . . 8

2.1.1. Aspek Teknik Operasional . . . .. . . 9

2.1.2. Aspek Organisasi. . . 11

2.1.3. Aspek Pembiayaan . . . 13

2.1.4. Aspek Peraturan . . . 14

2.1.5. Aspek Peranserta Masyarakat . . . 14

2.2. Teori Kelembagaan. . . . . . 15

2.2.1. Lembaga/ Institusi . . . .. . . 15

2.2.2. Organisasi . . . 17

2.2.3. Kelembagaan Lingkungan. . . 18

2.2.4. Penelitian Aspek Kelembagaan. . . 19

2.2.5. Pengembangan Kelembagaan. . . 20

2.3. Peranserta (Partisipasi) Masyarakat. . . 23

2.4. Metode Penelitian Analisis Kelembagaan & Peranserta Masyarakat 25 2.5. Model . . . 27

III. METODE PENELITIAN . . . 29

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian . . . 29

3.2. Formulasi Permasalahan. . . 29

3.3. Rancangan Penelitian . . . 31

(10)

3.3.3. Metode Analisis Data. . . . . . . 36

3.3.3.1. Analisis Statistik dengan Uji khi-kuadrat . . . 38

3.3.3.2. Organizational Capacity Assessment Tool (OCAT). . 38

3.3.3.3. Analisis Prospektif dengan Metode Lokakarya . . . . 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 41

4.1.Pengelolaan Sampah Kota Bandung . . . 41

4.1.1.Teknik Operasional. . . 41

4.1.2. Organisasi . . . . . . 44

4.1.3. Pembiayaan. . . 46

4.1.4. Peraturan . . . 47

4.1.5. Peranserta Masyarakat . . . 47

4.2. Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Sampah . . . 48

4.2.1. Masyarakat Penghasil Sampah . . . . . . . 48

4.2.2. Masyarakat Pengelola Sampah . . . .. . . 53

4.2.3. Masyarakat Pemanfaat Sampah . . . . . . . 57

4.2.3.1. Pemulung . . . . . . 57

4.2.3.2. Lapak (Bandar) . . . . . . 60

4.2.3.3. Perusahaan Pembuatan Kompos . . . 62

4.2.3.4. Perusahaan Daur Ulang . . . . . . 63

4.2.4. Masyarakat Pemerhati Lingkungan . . . . 64

4.2.4. Pemerintah . . . . . . . 65

4.3. Pengembangan Kelembagaan . . . . . . 70

4.3.1. Skenario dan Implikasi Pengembangan Skenario Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat . . . 70 4.3.2. Pengembangan Kelemb agaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat . . . 80 4.3.3. Simulasi Reduksi Jumlah Sampah Berdasarkan Skenario Pengembangan Kelembagaan . .. . . 87 4.3.3.1. Strategi Sosialisasi 3R .. . . 88

4.3.3.2. Strategi Pemasaran Kompos . . . 91

(11)

5.2. Saran . . . 98

DAFTAR PUSTAKA . . . 99

(12)

No. Halaman

1 Jumlah responden dan metode pengumpulan data . . . 32

2 Variabel yang diamati . . . 33

3 Skor untuk lembaran asesmen analisis kelembagaan dengan OCAT 39

4 Skala rating disetarakan dengan tingkat pengembangan . . . 39

5 Skor atau nilai pengaruh antar faktor pada analisis prospektif . . . 40

6 Jumlah sampah Kota Bandung tahun 2000-2004 (BPS 2000-2004) . . 41

7 Tingkat kemampuan pengangkutan sampah (PD Kebersihan 2005). . 43

8 Jumlah penerimaan dan pengeluaran (PD Kebersihan 2005) . . . 46

9 Ringkasan hubungan karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan samapah pada tiga wilayah kepadatan (hasil analisis)

51

10 Ringkasan dari hasil uji pada masyarakat penghasil sampah (hasil analisis) . . . . . .

52

11 Ringkasan hubungan karakteristik rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, dan kecamatan dengan aspek pengelolaan sampah pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) . . .

55

12 Kondisi mayoritas pemulung pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) . . .

58

13 Kondisi mayoritas lapak yang ada pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) . . .

61

14 Daftar perusahaan pembuatan kompos (hasil analisis) . . . 63

15 Perusahaan daur ulang (hasil analisis) . . . 64

16 Hasil penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan menggunakan OCAT (hasil analisis) . . .

66

17 Daftar faktor yang teridentifikasi dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Bandung . . .

71

18 Keadaan faktor kunci pada pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat . . .

(13)

berbasis partisipasi masyarakat (hasil analisis) . . .

20 Hasil penilaian untuk skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat . . .

76

21 Hasil analisis, pengembangan dan implementasi skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat . . .

84

22 Target sosialisasi 3R pertahun dari tahun 2005 sampai 2024 (hasil analisis) . . . . . .

90

23 Strategi jangka pendek, menengah dan panjang pada sosialisasi 3R dan pemasaran kompos dan produk daur ulang (hasil analisis)

(14)

No. Halaman

1 Kerangka pemikiran berdasarkan kelompok pelaku yang terlibat dalam pengelolaan persampahan kota . . .

5

2 Produksi dan pengelolaan sampah di Jakarta (CSI 2005) . . . 9

3 Diagram alir teknik operasional pengelolaan sampah (PD Kebersihan 2005) . . . 10

4 Proses pengembangan kelembagaan (DFID 2003) . . . 21

5 Pengembangan kelembagaan (Wenban-Smith 2002) . . . 22

6 Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000) . . . 26

7 Peta wilayah Kota Bandung dengan 26 Kecamatan . . . 29

8 Sampling responden sampel camat, lurah, ketua RW, ketua RT dan kepala rumah tangga . . . 33

9 Lokasi sampel responden rumah tangga, rukun tetangga, rukun warga, kelurahan dan kecamatan terpilih . . . 34

10 Diagram metode penelitian yang digunakan. . . 37

11 Diagram operasiona l PD Kebersihan. . . 42

12 Struktur organisasi Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. . 45

13 Hasil perhitungan penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan dengan OCAT . . . 67

14 Hasil analisis peran stakeholder dalam pengelolaan sampah eksisting . . . 69

15 Gambar tingkat kepentingan faktor- faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji . . . 72

16 Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat (hasil analisis) . . . 83

(15)

No. Halaman

1 Analisis hubungan karakteristik rumah tangga pada tiga wilayah kepadatan (Tabel 1 sampai 62) . . .

105

2 Analisis karakteristik RT, RW, Kecamatan, Kelurahan (Tabel 63 sampai 73) . . . . . . .

126

3 Profil perusahaan kompos . . . 130

4 Profil perusahaan daur ulang . . . 131

5 Profil lembaga swadaya masyarakat (LSM) . . . 133

6 Ringkasan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota . . . . . . .. . . ..

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah persampahan kota hampir selalu timbul sebagai akibat dari

tingkat kemampuan pengelolaan sampah yang lebih rendah dibandingkan jumlah

sampah yang harus dikelola. Secara nasional, hanya 40% dari sampah kota yang dapat dikelola sedangkan sisanya dibakar atau dibuang ke badan air dan lahan

terbuka (KMNLH 1997). Dampak yang terjadi adalah pencemaran udara, air dan

tanah dengan resiko pada kesehatan lingkungan. Permasalahan pengelolaan

persampahan meliputi koordinasi yang buruk, tidak ada unit perencana, sistem

akuntansi lemah, terbatasnya dana, produktivitas pekerja lemah dan pengelola

merupakan organisasi yang kecil di lingkungan pemerintah kota (Anschütz 1996).

Jumlah sampah tergantung dari jumlah penduduk dan tingkat timbulan

sampah (waste generation). Masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan jumlah penduduk adalah kenyataan bahwa sebagian penduduk terkonsentrasi di daerah

perkotaan dengan tingkat kepadatan tinggi. Agenda 21 menyebutkan bahwa pada tahun 1990 sebanyak 30% dari penduduk Indonesia tinggal di perkotaan.

Persentase ini akan meningkat menjadi 50% pada tahun 2020 dengan konsentrasi

pertumbuhan di kota besar dan metropolitan. Tingkat timbulan sampah juga akan meningkat sebanyak lima kali lipat sebagai akibat dari berubahnya pola konsumsi

karena meningkatnya kesejahteraan.

Agenda 21 juga menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai kebijakan

untuk berpegang pada prinsip pembangunan yang berkelanjutan, sehingga strategi

dalam pengelolaan sampah pun harus mengikuti prinsip tersebut. Berdasarkan

prinsip tersebut, maka pengelolaan limbah padat (sampah) mengikuti prinsip

bahwa sampah tidak boleh terakumulasi di alam sehingga mengganggu siklus materi dan nutrien, bahwa pembuangan sampah harus dibatasi pada tingkat yang

tidak melebihi daya dukung lingkungan untuk menyerap pencemaran dan

menerapkan sistem tertutup dalam penggunaan materi seperti daur ulang dan

pengomposan harus dimaksimalkan.

Berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan maka strategi

(17)

pembuangan akhir. Terdapat empat komponen yang menentukan keberhasilan

pengelolaan sampah. Pertama, minimasi limbah, yaitu upaya mengurangi jumlah

sampah baik dari proses produksi industri maupun dari rumah tangga. Kedua,

daur ulang dan pembuatan kompos, yaitu memanfaatkan sampah baik organik

maupun anorganik yang masih bernilai untuk didaur ulang atau dijadikan kompos.

Ketiga, peningkatan pelayanan umum. Tidak seluruh sampah dapat didaur ulang

atau dijadikan kompos, selalu saja ada sebagian sampah yang tetap harus dibuang.

Karena itu, pelayanan umum diperlukan untuk mengelola sampah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan. Keempat, meningkatkan pengolahan dan pembuangan

sampah yang akrab lingkungan, yaitu usaha pengelolaan tempat pembuangan akhir secara benar tanpa mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan.

Pengelolaan sampah kota terdiri dari 6 elemen, yaitu sumber sampah,

pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et al. 1993). Keterbatasan lahan pembuangan mengharuskan

dilakukannya usaha mengurangi sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir (WasteNet 2006). Kota Bandung merupakan salah satu kota di

Indonesia yang mempunyai permasalahan dengan ketersediaan tempat

pembuangan akhir (TPA) sampah. Sebagai Kota Metropolitan Secara topografi

Kota Bandung terletak pada ketinggian 791 Meter di atas permukaan laut (dpl),

titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1.050 meter dan terendah di sebelah Selatan 675 Meter di atas permukaan laut. Kota Bandung terdiri dari 26

kecamatan mempunyai luas 167,29 km2 atau 16.729 hektar dengan jumlah

penduduk 2.228.268 jiwa dan kepadatan penduduk 133 jiwa per hektar (BPS

2003).

Sampai dengan bulan Februari 2005, seluruh sampah Kota Bandung

dibuang ke TPA Leuwigajah yang berjarak 15 km dari pusat kota. Namun pada

tanggal 21 Februari 2005 terjadi longsor di TPA tersebut sehingga pembuangan

dialihkan ke TPA lain. Salah satu TPA pengganti adalah TPA Cicabe yang sebenarnya sudah ditutup.

Saraswati (2003) melakukan penentuan lokasi TPA berdasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan pendekatan sistem informasi geografis.

(18)

Kabupaten Bandung. Bila lokasi TPA sampah terpilih semakin jauh jaraknya dari

pusat Kota Bandung, akan mengakibatkan biaya pengangkutan lebih tinggi

sehingga biaya operasional pengelolaan sampah di Kota Bandung akan semakin

tinggi.

Berdasarkan permasalahan ketersediaan lahan untuk TPA sampah di Kota

Bandung, perlu dilakukan usaha untuk meminimalkan timbulan sampah di

sumber. Usaha tersebut dilakukan melalui 3R (reduce, reuse, recycle) oleh sumber

sampah. Reduce adalah meminimalkan jumlah sampah yang timbul, misalnya dengan tidak menggunakan barang sekali pakai. Reuse adalah menggunakan

barang yang sifatnya tidak sekali pakai. Recycle adalah mendaur ulang sampah menjadi bahan baku dalam pembuatan kompos dan produk daur ulang. Melalui

3R maka jumlah sampah yang harus dibuang ke lokasi pembuangan akhir akan

menyusut karena hanya berupa sampah sisa. Usaha recycle hanya bisa berjalan bila sumber sampah bersedia untuk melakukan pemilahan pada sampah, yaitu

memisahkan antara sampah yang berupa bahan organik dan non organik. Sampah organik dapat dijadikan kompos, sedangkan sampah anorganik dapat dijadikan

bahan baku produk daur ulang.

Aspek kelembagaan sering ditafsirkan sebagai organisasi. Sebenarnya

organisasi merupakan salah satu bentuk dari aspek kelembagaan. Dalam mengkaji

aspek kelembagaan selain organisasi yang menjadi perhatian, juga aspek peraturan, norma dan etika. Pada prinsipnya, aspek kelembagaan melibatkan aktor

atau pelaku yang terlibat dalam pengelolaan. Agar pengelolaan persampahan

secara terpadu dapat dicapai, peran sumberdaya manusia perlu diperhatikan.

Karena itu, aspek partisipasi atau peranserta masyarakat perlu ditingkatkan dalam

pengelolaan persampahan ini (Djogo et al. 2003). Diperlukan pengkajian untuk

mengintegrasikan partisipasi masyarakat ke dalam aspek kelembagaan dalam

(19)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk menyusun model pengembangan

kelembagaan pengelolaan persampahan kota, untuk itu tujuan antaranya adalah:

1. Menganalisis kelembagaan eksisting pada pengelolaan persampahan Kota

Bandung.

2. Menyusun skenario untuk mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat.

3. Mengembangkan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis

partisipasi masyarakat.

4. Membuat simulasi reduksi jumlah sampah dan strategi pencapaiannya.

1.3. Kerangka Pemikiran

Aspek kelembagaan dan partisipasi masyarakat merupakan aspek penting

dalam pengelolaan persampahan. Bila pengembangan pada kedua aspek ini

dilakukan tepat dan sinergis dengan aspek operasional pengelolaan sampah maka

diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan persampahan kota. Pada

pengelolaan persampahan, lembaga yang menangani pengelolaan persampahan

secara umum belum optimal, jika ditinjau dari komponen organisasi, peraturan,

pembiayaan dan sumberdaya manusia. Ketidakoptimalan tersebut perlu untuk dikuantifikasi dengan pengkajian (assessment) dan analisis. Hasil pengkajian dan

analisis ini merupakan masukan untuk pengembangan kelembagaan (Patan Conservation and Development Program 1996).

Teknik operasional pengelolaan sampah terdiri dari penanganan sampah

disumber, pengumpulan, pemindahan, pengolahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir (Tchobanoglous et.al. 1993). Penelitian akan dibatasi pada

sumber sampah berupa rumah tangga. Pengumpulan sampah rumah tangga dikelola oleh organisasi Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW) setempat,

berupa pengambilan sampah dari setiap rumah. Sampah dari hasil pengumpulan

kemudian dibawa ke suatu tempat pembuangan sementara (TPS) yang merupakan

(20)

tersebut, sampah selanjutnya diangkut untuk dibuang ke tempat pembuangan

akhir (TPA) sampah. Di TPA terdapat kegiatan pemanfaatan sampah oleh

pemulung yang mengambil barang bekas yang masih bernilai dan produsen

kompos yang memanfaatkan sampah organik. Diluar sistem pengelolaan sampah

terdapat lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kegiatan yang berkaitan

dengan masalah lingkungan.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian terhadap

masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, dan masyarakat pemanfaat sampah, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM),

(Gambar 1).

(21)

Pada Gambar 1, tampak bahwa terdapat lima kelompok besar pelaku

pengelolaan persampahan kota, yaitu masyarakat penghasil sampah, masyarakat

pengelola sampah, pemerintah, dan masyarakat pemanfaat sampah serta

masyarakat pemerhati lingkungan. Masyarakat penghasil sampah terbagi menjadi

dua, yaitu penghasil sampah domestik (rumah tangga) dan non domestik (pasar,

pertokoan, industri rumah tangga). Sampah domestik dikelola oleh organisasi

masyarakat, umumnya dari organisasi Rukun Tetangga (RT/RW), sedangkan

sampah non domestik dikelola langsung oleh Dinas atau Perusahaan Daerah. Sampah kemudian diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA). Masyarakat

pemanfaat sampah adalah mereka yang mengambil material yang masih bernilai dari sampah. Terdapat dua jenis material yaitu yang bersifat organik untuk

dijadikan kompos dan yang bersifat anorganik untuk didaur ulang. Material ini

dapat diperoleh langsung dari sumber, dari RT/RW, atau TPA.

Dilihat dari terkonsentrasinya para pemulung di TPA maka tampak bahwa

kegiatan pengambilan material daur ulang hampir seluruhnya terjadi di TPA. Keadaan ini secara tidak langsung merugikan karena seluruh sampah harus

diangkut ke TPA sehingga membutuhkan biaya besar. Bahan organik sudah tidak

dalam kondisi segar untuk dikomposkan, dan material daur ulang relatif kotor dan

sulit untuk dipilah karena sudah dalam kondisi tercampur.

Masyarakat pemanfaat sampah perlu ditingkatkan perannya dalam pengelolaan sampah, dengan cara mengintegrasikannya kedalam lembaga

pengelola sampah. Pengintegrasian lembaga berbasis masyarakat ini dapat

dilakukan dengan beberapa skenario. Konsep pengembangan kelembagaan ini

diperoleh dengan bantuan para pakar melalui analisis prospektif. Para pakar yang

terlibat meliputi pakar di bidang persampahan, pakar kelembagaan, wakil dari

pengelola persampahan kota dan wakil dari LSM.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan adalah terhadap ilmu pengetahuan, para

stakeholders dan pemerintah.

1. Bagi ilmu pengetahuan agar dapat menambah khasanah ilmu bidang

(22)

2. Bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah

kota.

3. Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan acuan untuk menetapkan suatu

kebijakan.

1.5. Novelty (Kebaruan)

Jumlah sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah

penduduk. Keterbatasan lahan tempat pembuangan akhir membuat pengelolaan

sampah harus mengarah pada usaha menekan jumlah sampah yang harus dibuang

dengan cara memanfaatkan sampah. Penelitian-penelitian sudah ada bersifat

partial, yaitu hanya difokuskan pada salah satu stakeholder. Schenberg et al.

(1999) dan Bulle S. (1999) melakukan penelitian tentang hubungan gender dan

sampah. Moningka (2000) dan Anschutz (1996) melakukan penelitian tentang

jenis partisipasi masyarakat. Damanhuri (2005) melakukan penelitian untuk mengetahui potensi daur ulang sampah Kota Bandung. Penelitian ini merupakan

penelitian yang utuh yaitu meliputi semua stakeholder yang berperan dari hulu sampai dengan hilir, yaitu mulai dari sumber sampah sampai dengan usaha

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Persampahan Kota

Sampah adalah buangan yang ditimbulkan dari aktivitas manusia dan

hewan, berbentuk padat, dan dibuang karena sudah tidak berguna atau tidak

diinginkan keberadaannya Pengelolaan sampah dilakukan dengan tujuan mengendalikan secara sistematik semua kegiatan yang berhubungan dengan

timbulnya sampah, penanganan sampah di sumbernya; penanganan, pemilahan,

dan pengolahan sampah di sumbernya; pengumpulan; pengolahan dan daur ulang

sampah; pemindahan dan pengangkutan; dan pembuangan akhir (Tchobanoglous

et. al. 1993).

Timbulnya sampah merupakan salah satu konsekuensi dari kegiatan kota.

Sampah berasal dari daerah permukiman, pasar, pertokoan, fasilitas umum, dan

sebagainya. Secara umum, sebagian besar dari sampah kota berasal dari permukiman yaitu berupa sampah dapur (garbage). Hal inilah yang menyebabkan

lebih dari 60% volume sampah kota bersifat organik atau dapat membusuk. Terhadap sampah dapat dilakukan usaha daur ulang, misalnya pembuatan kompos

dari sampah organik dan pemanfaatan barang bekas dari sampah anorganik

(kertas, plastik, dan sebagainya). Sampah yang tidak didaurulang harus dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPA). Pengelolaan sampah di Indonesia secara

umum terdiri dari lima aspek, yaitu teknik operasional, organisasi, pembiayaan, peraturan, dan peranserta masyarakat. Kelima aspek tersebut diharapkan dapat

berjalan secara terintegrasi sehingga diperoleh hasil pengelolaan persampahan

yang optimal.

Pada tahun 1997, Yayasan Kirai Indonesia bersama UNESCO

menganalisis dan mendata timbulan sampah di Jakarta, berdasarkan data yang diperoleh dari pemerintah kota. Jumlah sampah penduduk kota Jabotabek (Jakarta,

Bogor, Bekasi, Tangerang) mencapai lebih dari 35.000 m3 per hari, 26.000 m3

diantaranya berasal dari Jakarta (CSI 2003). Sebesar 83% sampah dikumpulkan

oleh masyarakat lokal, pemulung, pemerintah lokal dan perusahaan swasta.

Sisanya sebesar 17% dibuang ke sungai. Di luar kota Jakarta, hanya sekitar 50%

(24)

pembuangan akhir sampah, kemungkinan besar dibuang di tempat pembuangan

liar (Gambar 2).

Pembuangan sebagian sampah Jakarta ke laut mengakibatkan tertutupnya

dasar laut Kepulauan Seribu dengan plastik. Keadaan ini mengganggu kehidupan

bentos seperti terumbu karang, rumput laut dan spesies lain yang berkembang

biak di dasar laut. Kerugian ekonomi akan dirasakan oleh para nelayan dan semua

kehidupan dalam laut. Untuk menghadapi sampah yang timbul setiap hari di Jakarta, kota ini membutuhkan organisasi dengan program manajemen dan

infrastruktur persampahan yang baik.

2.1.1. Aspek Teknik Operasional

Aspek teknik operasional pengelolaan persampahan terdiri dari pewadahan,

pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan pembuangan akhir. Diagram alir aspek teknik operasional tersebut digambarkan pada Gambar 3. Pewadahan

Rumah

Pemulung Anorganik Lapak Peng- olahan

SUMBER PENGELOLAAN SAMPAH DI JAKARTA

Dikumpulkan dari sungai (DKI) 400 m3/hr 85%

5%

(25)

dilakukan oleh sumber sampah, yaitu rumah tangga, toko, pedagang pasar,

pengelola sekolah, dan sebagainya. Bentuk wadah yang digunakan ditentukan

sendiri sesuai selera dan kemampuan pemiliknya, dapat berupa tong logam, bin

plastik, kotak kayu, atau bak pasangan bata. Setelah terkumpul di dalam wadah,

sampah dapat diolah sendiri oleh pemiliknya, misalnya dijadikan kompos, atau

menunggu untuk diambil oleh petugas. Pada beberapa tahun terakhir ini, terdapat

gerakan dunia berupa 3R (reduce, reuse, recycle) terutama untuk sampah rumah

tangga. Gerakan ini diharapkan bisa menekan persen pertumbuhan jumlah sampah.

Pewadahan à Pengumpulan à Pemindahan

â

Pengangkutan

â

Pembuangan akhir

Sumber

Masyarakat /

Pengelola Pengelola

Pengumpulan sampah adalah mengambil sampah dari sumber untuk dikelola lebih lanjut. Pekerjaan pengumpulan sampah di daerah permukiman

umumnya dikelola dan dilakukan oleh organisasi masyarakat, misalnya RT/RW (Rukun Tetangga/Rukun Warga), LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat

Desa), dan sebagainya. Kegiatan ini dibiayai dari iuran yang dipungut dari

masyarakat yang dilayani. Pengumpulan sampah di daerah non permukiman,

termasuk penyapuan jalan, umumnya dilakukan oleh pengelola persampahan kota,

misalnya pada daerah komersial, taman kota, pasar, dan sebagainya. Selain oleh masyarakat dan pengelola persampahan kota, pengumpulan sampah juga dapat

dilakukan oleh perusahaan swasta yang bekerja sesuai kontrak kerja.

(26)

Teknis pengumpulan adalah dengan cara mendatangi sumber untuk

mengambil sampah. Pengumpulan dilakukan secara manual dengan peralatan

bantu berupa gerobak atau sejenisnya. Bila sampah dari suatu sumber jumlahnya

cukup tinggi, misalnya dari pasar atau supermarket, pengumpulan dilakukan

dengan truk yang akan langsung mengangkut sampah tersebut ke tempat

pembuangan akhir.

Pemindahan sampai dengan pembuangan sampah umumnya dilakukan oleh

pengelola persampahan. Sampah hasil pengumpulan akan dikumpulkan di lokasi pemindahan (transfer depo) untuk nantinya diangkut ke tempat pembuangan akhir

(TPA). Lokasi pemindahan secara prinsip berupa area tempat menumpahkan sampah dari alat pengumpul (gerobak). Untuk menjaga kebersihan, lokasi

pemindahaan saat ini umumnya berupa kontainer tertutup yang selanjutnya akan

diangkut ke TPA. Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan berbagai jenis truk, mulai dari truk terbuka sampai truk yang dilengkapi dengan alat pemadat

(kompaktor). Metode pembuangan akhir yang umum dipakai di Indonesia adalah

open dumping (penimbunan terbuka). Mengingat akibat yang banyak timbul, yaitu

bau dan pencemaran air tanah oleh leachate, metode ini secara berangsur telah

diganti dengan sanitary atau controlled landfill (Schubeler 1996).

2.1.2. Aspek Organisasi

Organisasi pengelola persampahan di Indonesia tampak cukup beragam,

umumnya disesuaikan dengan jumlah sampah yang harus ditangani. Beberapa

bentuk organisasi yang dikenal ada Seksi, Sub Dinas, Dinas, dan Perusahaan

Daerah Kebersihan. Organisasi tersebut bisa khusus menangani sampah atau

campuran. Kabupaten Sleman, misalnya, pengelolaan persampahan dilakukan

oleh Seksi Kebersihan dan Pertamanan Sub Dinas Cipta Karya - Dinas Pekerjaan

Umum, Pengairan dan Pertambangan (PUPP) Kabupaten Sleman. Penangan secara tercampur juga ditemui di Kota Balikpapan, yaitu pengelolaan

persampahan yang berada dibawah tanggung jawab Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman. Namun ada pula kota-kota yang sudah mempunyai organisasi

(27)

oleh Sub Dinas Kebersihan DPU, atau sampah Kota Mataram dan Palembang

yang dikelola oleh Dinas Kebersihan. Di Kota Makassar, pengelolaan sampah

dilakukan oleh 3 badan, yaitu Dinas Keindahan untuk kota Makassar, Perusahaan

Daerah Kebersihan untuk Kecamatan Tamalan Rea dan Kecamatan Birikanay,

dan perusahaan swasta untuk daerah permukiman (real estate). Ada pula

kerjasama antara beberapa kota dalam pengelolaan persampahan, misalnya dalam

hal pembuangan akhir. Sebagai contoh adalah TPA Piyungan yang berada di

Kabupaten Bantul yang berfungsi sebagai TPA gabungan dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Semula, Kabupaten Sleman

mempunyai TPA sendiri yang berada di Tambak Boyo. Namun TPA ini berada pada elevasi tinggi, sedemikian rupa sehingga berpotensi mencemari

daerah-daerah yang lebih rendah. Penggunaan TPA Piyungan merupakan solusi yang

paling aman karena terletak pada elevasi terendah terhadap Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Kota Bandung telah memiliki

organisasi yang lebih mandiri, yaitu Perusahaan Daerah Kebersihan (Departemen Kimpraswil 2003).

Kondisi yang beragam dari organisasi pengelolaan persampahan secara

langsung juga memperlihatkan adanya keragaman dalam lingkup tanggung jawab

dan kewenangan. Organisasi dengan bentuk Seksi, misalnya, memperlihatkan

relatif kecilnya kewenangan yang dimiliki dan panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui dalam pengajuan sarana untuk pelaksanaan operasi dilapangan.

Perusahaan Daerah lebih memiliki keleluasaan namun pada umumnya belum

mampu mandiri, terutama dalam hal pendanaan mengingat terbatasnya

kemampuan masyarakat dalam membayar retribusi sampah.

Bentuk badan pengelola persampahan dan dasar hukum pembentukan badan

pengelola umumnya sesuai dengan kategori kota berdasarkan kriteria Departemen

Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) yaitu untuk kota besar &

metropolitan (dengan jumlah penduduk antara 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Perusahaan Daerah atau Dinas

Kebersihan dan Pertamanan; untuk kota sedang (dengan jumlah penduduk antara 200.000 sampai 500.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola adalah Dinas

(28)

antara 20.000 sampai 200.000 jiwa) bentuk organisasi pengelola Suku Dinas

Kebersihan dan Pertamanan atau Seksi dibawah Dinas PU.

2.1.3. Aspek Pembiayaan

Aspek pembiayaan meliputi sumber dana dan biaya pengelolaan

persampahan yang terdiri dari biaya operasi, pemeliharaan dan administrasi.

Mengingat adanya dua tahap pengelolaan sampah, yaitu pengumpulan oleh RT/RW atau organisasi masyarakat dan pengelolaan selanjutnya oleh pengelola

persampahan kota, maka terdapat dua macam pungutan yang harus dibayar oleh masyarakat. Masyarakat membayar iuran sampah kepada RT/RW, dan membayar

retribusi kepada pengelola persampahan. Selain dari retribusi, sumber dana

lainnya adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pemungutan retribusi dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat,

misalnya melalui RT/RW yang membuang sampahnya ke lokasi pemindahan. Namun dapat pula dipungut secara tidak langsung dengan cara ‘menumpang’ pada

pungutan lain. Di Bandung, misalnya, retribusi sampah dipungut pada saat rumah

tangga membayar rekening listrik. Di Bekasi, pemungutan retribusi dilakukan

langsung dari masyarakat oleh petugas atau pengemudi truk sampah yang bekerja

sama dengan RT/RW. Hasil pemungutan kemudian disetorkan kepada Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah (Bakukeda) yang kemudian memasukkannya ke

kas daerah. Anggaran biaya rutin dan pembangunan kemudian dialokasikan

dalam DIPDA.

Retribusi sebagai sumber dana belumlah mampu membiayai seluruh

kegiatan pengelolaan persampaha n. Pemungutan retribusi sampah di Kota Bekasi

pada tahun 2002, misalnya, baru terealisasi sebesar 81% dari target sesuai wajib

retribusi. Retribusi tersebut diperoleh dari daerah permukiman (71%), pertokoan/

komersial (25%), dan lainnya (4%). Bila dibandingkan dengan besarnya kebutuhan biaya pengelolaan persampahan maka masih dibutuhkan subsidi yang

(29)

2.1.4. Aspek Peratura n

Peraturan yang hampir selalu ada meliputi peraturan tentang organisasi

pengelola persampahan dan tarif retribusi yang umumnya berupa Peraturan

Daerah (Perda). Peraturan lainnya biasanya tidak banyak berfungsi dikarenakan

kurangnya kekuatan hukum yang me nyertai pemberlakukan suatu peraturan. Hal

yang terjadi di Kota Bekasi, misalnya, peraturan tentang K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) dan peraturan tentang larangan dan sanksi yang

berkaitan dengan persampahan belum dapat berfungsi. Hal ini dikarenakan belum

adanya badan hukum yang mengawasi pelaksanaan Perda dan dapat melakukan

tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat atau badan usaha

berkaitan dengan Perda tentang K3.

2.1.5. Aspek Peranserta Masyarakat

Peranserta masyarakat yang sudah berjalan relatif baik sampai saat ini

adalah melakukan pengumpulan sampah yang dikoordinasi oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan membayar retribusi sampah. Sejalan dengan

gerakan 3R, kampanye dan penyuluhan kepada masyarakat sudah banyak

dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mau mengurangi sampahnya, menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dimanfaatkan, dan

mendaur ulang sampahnya. Untuk tujuan ini masyarakat diminta kesediaannya untuk melakukan pemilahan sampah, yaitu memisahkan antara sampah basah

(organik) dan sampah kering (anorganik). Sampah basah bisa dimanfaatkan untuk

dijadikan kompos, sedangkan sampah kering berupa kertas, plastik, logam, kaca,

dan sebagainya dapat dijadikan bahan baku industri daur ulang.

Di Kota Bandung, misalnya, pada tahun 1999 telah dilakukan Program Peningkatan Kesadaran Masyarakat dalam Hal Pengelolaan dan Daur Ulang

Sampah yang merupakan kerjasama antara PD Kebersihan dengan GTZ. Program

ini bertujuan mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah berkenaan dengan

terus meningkatnya jumlah sampah, salah satunya adalah mengajak masyarakat

untuk mau memilah sampahnya. Melalui program ini, masyarakat diharapkan

(30)

terus meningkatnya kebutuhan lahan untuk TPA, masalah pencemaran tanah dan

air tanah, masalah kesehatan lingkungan, dan semakin tingginya biaya lingkungan

dimasa yang akan datang. Konsekuensi tersebut juga mendorong keinginan Kota

Bandung untuk mendirikan Pusat Daur Ulang Sampah Terpadu. Keinginan ini

banyak disebabkan oleh komposisi sampah Kota Bandung yang berpotensi besar

untuk didaur ulang, yaitu 70% berupa sampah basah dan hampir 30% berupa

sampah kering (PD Kebersihan 2005).

Kenyataan yang banyak ditemui dala m hal peranserta masyarakat adalah rendahnya kesadaran tentang persampahan dan tidak adanya perangkat hukum

yang mampu mengatur perilaku masyarakat, misalnya sanksi terhadap orang yang membuang sampah secara tidak semestinya, sanksi terhadap rumah tangga yang

tidak mau memilah sampahnya, atau penghargaan terhadap rumah tangga yang

sudah melakukan daur ulang. Meskipun demikian telah mulai tampak adanya kegairahan masyarakat untuk melakukan pembuatan kompos. Di Jakarta,

misalnya, kegiatan pembuatan kompos unt uk media tanaman telah dilakukan di daerah Cilandak dibawah pembinaan Ibu Bambang Wahono di daerah Banjarsari

Cilandak. Melalui kegiatan tersebut masyarakat diajak untuk menanam tanaman

obat untuk keperluan sendiri. Vermikomposting, yaitu pembuatan kompos dengan

cacing, telah dilakukan di SMU 34 Pondok Labu Jakarta Selatan.

Permasalahannya adalah bahwa kegiatan masyarakat tersebut belum mampu bersinergi dengan pengelolaan persampahan kota, selain itu relatif masih sangat

kecilnya jumlah sampah yang diolah oleh masyarakat terhadap jumlah sampah

secara keseluruhan.

2.2. Teori Kelembagaan

2.2.1. Lembaga/ Institusi

Menurut Scott (2001) institusi atau lembaga memiliki tiga pilar. Tiga pilar

dari institution adalah sistem regulasi, sistem norma dan sistem kultur kognitif. Pilar regulatif dari institusi adalah institusi menjaga dan mengatur perilaku

(31)

rule-setting), pemantauan (monitoring) dan sanksi. Proses regulasi meliputi penetapan

peraturan, pemeriksaan, penentuan sanksi (rewards dan punishment) dalam

rangka mempengaruhi perilaku di masa datang. Proses ini akan terjadi melalui

mekanisme difusi informal maupun dengan secara formal.

Pilar normatif meliputi dimensi ketentuan (prescriptive), penilaian

(evaluative) dan kewajiban (obligatory) dalam kehidupan sosial. Sistem normatif

meliputi nilai dan norma. Nilai merupakan konsep disukai atau diinginkannya

sesuatu, sesuai dengan standar yang ada dalam struktur atau perilaku yang berlaku. Norma menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan, norma

menetapkan atau mensahkan maksud untuk mengejar nilai.

Pilar kultural kognitif dari institution adalah dengan menjembatani antara

dunia luar dari stimulus dan respons dari organisme (individu). Hal ini

merupakan internalisasi simbolis dari hal- hal yang merepresentasikan objek yang ada. Simbol, kata-kata, tanda-tanda, gesture memiliki pengaruh dengan

menentukan maksud yang ditentukan terhadap objek dan kegiatan.

Kelembagaan dan kebijakan selalu menjadi isu penting dalam

pembangunan. Sejarah menunjukkan bahwa di negara-negara maju kelembagaan

yang baik merupakan kunci dari keberhasilan pengelolaan negara, pembangunan,

pasar, perdagangan atau bisnis. Selama ini pemerintah Indonesia cenderung lebih

menekankan pada pembangunan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, teknologi, ekonomi dan politik. Sangat sedikit diperhatikan

pembangunan infrastruktur kelembagaan (institusi). Di lain pihak kebijakan

pemerintah cenderung tidak kons isten selalu berubah dan sulit dilaksanakan

secara utuh. Ini memerlukan perhatian yang serius, karena pada dasarnya hampir

semua kegagalan pembangunan bersumber dari dua persoalan fundamental yaitu

kegagalan kebijakan dan kegagalan kelembagaan.

Institusi atau kelembagaan adalah pusat dari teori kebijakan dan institusi

dianggap sebagai unsur untuk pembuatan dan pembentuk kebijakan. Misalnya kebanyakan kebijakan ditetapkan dalam bentuk aturan dan ketetapan yang

merupakan unsur-unsur utama dalam kelembagaan. Kebijakan yang dibuat pemerintah biasanya disebut kebijakan publik karena dibuat untuk kepentingan

(32)

institusi pada kebijakan publik dianggap tidak lengkap atau dapat dikatakan

pincang tanpa memperhatikan perpaduan antara analisis kebijakan publik dan

analisis kelembagaan.

Menurut Djogo et. al. (2003), unsur-unsur dan aspek kelembagaan antara

lain meliputi: (a) institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku

sosial masya rakat; (b) norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan

diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai

tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur; (c) peraturan dan penegakan aturan/ hukum; (d) aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi

koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota; (e) kode etik; (f) kontrak; (g) pasar; (h) hak milik (property rights atau

tenureship) (i) organisasi; (j) insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang

diinginkan

Dari unsur dan aspek kelembagaan tersebut di atas tampak bahwa lingkup

kajian kelembagaan cukup luas. Karena itu pembatasan atau pendefinisian wilayah kajian kelembagaan perlu ditentukan. Hal ini penting agar dalam

pengembangan kelambagaan yang akan dilakukan menjadi lebih terarah.

2.2.2. Organisasi

Organisasi adalah jaringan dari peran yang diatur dalam hirarki dengan

tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi kegiatan sesuai

dengan sistem aturan dan prosedur (Bandaragoda 2000). Organisasi adalah

kelompok individu dengan peran tertentu dan terikat oleh beberapa kebutuhan,

peraturan, dan prosedur untuk mencapai suatu tujuan. Seperti halnya lembaga,

organisasi juga membentuk kegiatan manusia.

Scott (2001) mendefinisikan organisasi sebagai sesuatu yang diciptakan

untuk memaksimalkan kesejahteraan, pendapatan, atau tujuan lainnya dengan cara menciptakan kesempatan melalui struktur kelembagaan dalam masyarakat.

Hubungan antar lembaga dan organisasi dapat dilihat dengan dua cara yaitu: (1) Melihat bagaimana suatu organisasi tumbuh menjadi mantap dan bagaimana

(33)

kelembagaan; dan (2) Organisasi yang telah mapan, yang didalamnya telah

berlaku norma dan kebiasaan, pada kenyataannya adalah sebuah lembaga.

Berdasarkan definisinya, lembaga adalah alat yang mengatur terbentuknya

kegiatan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga dapat berfungsi

memberikan batasan dan sekaligus keleluasaan bagi suatu kelompok untuk

melakukan suatu kegiatan (Scott 2001). Sebagai contoh adalah sistem hukum dan

pengadilan yang membatasi tingkah laku manusia namun sekaligus juga

membebaskan manusia untuk melakukan kegiatan yang tidak melawan hukum. Fungsi lembaga ini juga berlaku dibidang persampahan. Masyarakat

mempunyai keleluasaan untuk melakukan berbagai kegiatan yang menghasilkan sampah. Namun untuk hal tersebut terdapat batasan norma yang membatasi

masyarakat untuk tidak membuang sampahnya secara sembarangan. Norma ini

diperkuat dengan peraturan tentang tata cara membuang sampah dan sanksi hukum bagi masyarakat yang melanggar peraturan tersebut (Moningka 2000).

2.2.3. Kelembagaan Lingkungan

Menurut Muller-Glodde (1994) kelembagaan lingkungan (environmental

institution) merupakan norma dan nilai sosial, kerangka politis, program-program

lingkungan, pola perilaku dan komunikasi serta pergerakan sosial, yang membentuk interaksi sosial dari individu-individu yang menyusun organisasi dan

kelompok secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi peraturan yang

mengatur sumber daya alam.

Individu- individu menciptakan bentuk dan substansi dari lembaga- lembaga

melalui perilaku dan permintaan mereka, sementara lembaga (institusi) pada

gilirannya mempengaruhi kehidupan individu dan pilihan-pilihan yang ada.

Struktur kelembagaan merupakan kaitan (links), saluran komunikasi, yang

memfasilitasi interaksi yang kompleks dari tiga variabel sistem yaitu individu, organisasi dan norma sosial. Hal ini menggambarkan hubungan antara variabel

dan cara berinteraksi. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan harus dilihat sebagai proses supra-sektoral dan supra- media, yang menghasilkan

(34)

dalam sistem. Pengembangan kelembagaan dalam bidang lingkungan merupakan

prosedur metodologis untuk mengembangkan dan memperluas pengetahuan,

keterampilan, norma- norma, dan struktur.

2.2.4. Penelitian Aspek Kelembagaan

Institutional assessment (pengkajian kelembagaan) merupakan pendekatan

komprehensif untuk menggambarkan kapasitas dan kinerja kelembagaan. Pendekatannya dapat berupa pendeskripsian dari beragam faktor yang berperan

dalam pengembangan kelembagaan yang meliputi : (1) kekuatan dari faktor luar lingkungan (administrasi dan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang

termasuk dalam analisis stakeholder); (2) faktor kelembagaan (sejarah, misi,

budaya, kepemimpinan, struktur, sumberdaya manusia & finansial, sistem pengelolaan formal & informal, dan pengkajian kinerja); (3) keterkaitan antar

lembaga (Morgan & Taschereasu 1996).

Penelitian di Jamaika mengamati perilaku institusi dan warganegara atau

rumahtangga berkaitan dengan pengelolaan persampahan. Penelitian ini juga

meneliti hubungan warganegara dan pemerintah lokal dalam

mengimplementasikan teknologi pengelolaan persampahan. Juga memeriksa

penataan dan hubungan antara pemerintah pusat dan lokal dalam merumuskan teknologi-teknologi baru (Pap 2003).

Secara umum penelitian hubungan dan perilaku institusi sektor

persampahan di Jamaika meneliti tiga hal yang meliputi : (1) Apa perspektif

warga lokal dalam pengelolaan persampahan dan bagaimana hal ini

mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan.; (2) Bagaimana

hubungan kelembagaan saat ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan

persampahan; (3) Apa hubungan antara pemerintah pusat dan pemimpin lokal dan

bagaimana hal ini mempengaruhi kebijakan dan praktek pengelolaan persampahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku di level rumah

tangga dalam pengelolaan persampahan tergantung pada hubungan dan perilaku dalam lingkup kelembagaan yang lebih luas. Masalah kelembagan dari

(35)

persampahan yang selanjutnya mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah lokal dan teknologi baru.

Teknologi dalam bentuk kebijakan baru dan teknik pembuangan baru tidak

dapat mengatasi masalah lingkungan. Hal ini harus diikuti dengan analisis

kelembagaan dan dilakukan reformasi agar teknologi baru cocok dengan situasi

lokal dan dapat diimplementasikan. Pada tingkat lokal hubungan antara

warganegara dan pemerintah pusat perlu perbaikan. Reformasi kelembagaan

antara pemerintah pusat dan lokal perlu diperlihatkan perbaikannya. Pemerintah pusat harus diberikan kekuatan untuk mengatasi masalah persampahan yang

berbeda di setiap area. Karena itu perlu dilibatkan perwakilan lembaga lokal di dalam perencanaan nasional.

2.2.5. Pengembangan Kelembagaan

Menurut Peters (2000) terdapat dua jenis perubahan kelembagaan yaitu pengembangan internal atau disebut institutionalization dan perubahan dalam nilai

dan struktur. Tipe pertama, yaitu pengembangan internal melalui empat faktor

yaitu otonomi, kemampuan beradaptasi, kompleksitas dan kohernsi. Otonomi

berhubungan dengan lembaga atau institusi untuk dapat mengimplementasikan

keputusannya sendiri, atau tanpa ketergantungan pada institusi lainnya. Kemampuan beradaptasi mengandung arti sejauh mana institusi dapat beradaptasi

dengan adanya perubahan dari lingkungannya. Kompleksitas menggambarkan

kapasitas institusi dalam membangun struktur internal yang dapat memenuhi

tujuan. Koherensi menggambarkan kapasitas institusi untuk dapat mengelola

beban kerja dan mengembangkan prosedur kerja. Tipe kedua, adalah perubahan

nilai dan struktur yang meliputi perubahan isi atau kandungan dari institusi dan

apa yang dipercaya/dianut oleh institusi.

Proses pengembangan kelembagaan, memiliki lima tahapan yang meliputi (1) Analisis dan diagnosis kerangka kerja kelembagaan, (2) Analisis dan diagnosis

organisasi dalam konteks kelembagaan, (3) desain, (4) implementasi dan (5) monitoring dan evaluasi. Tahapan tersebut berjalan sesuai siklus terus menerus,

(36)

Pada tahap pertama ini, kerangka kerja kelembagaan dianalisis untuk

melihat tujuan apa yang ingin dicapai dan mengapa termasuk peran para stakeholder. Kelemahan dan kekurangan dari kelembagaan perlu diidentifikasi.

Tahap kedua adalah melihat organisasi-organisasi yang terlibat dalam kerangka

kerja kelambagaan. Masalah- masalah dalam organisasi-organisasi diidentifikasi dalam lingkungan kelembagaan. Tahap ketiga adalah merancang intervensi.

Dicari cara yang terbaik dalam menentukan perubahan. Ditentukan alternatif-alternatif intervensi dengan panduan untuk pemilihan alternative. Tahap keempat

adalah implemantasi, bagaimana mengimplementasikan program perubahan.

Harus ditekankan bahwa kepentingan pengelolaan intervensi merupakan suatu

proses dan faktor yang penting yang menentukan keberhasilan atau kegagalan.

Tahap kelima adalah monitoring dan evaluasi untuk melihat bagaimana tujuan telah dicapai dengan menetapkan proses untuk pemantauan.

Pengembangan kelembagaan (1) Analisis dan

diagnosis: kerangka kerja kelembagaan secara keseluruhan

(2) Analisis dan diagnosis: organisasi-organisasi dalam konteks

(3) Desain

(4) Implementasi (5) Monitoring

dan evaluasi

(37)

Wenban-Smith (2002) menyebutkan bahwa pengembangan kelembagaan

merupakan proses yang terus menerus seperti siklus. Faktor- faktor yang

membantu pengembangan kapasitas kelembagaan adalah faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal meliputi modal sosial, politik dan intelektual

yang diekpresikan dengan kemampuan untuk menentukan konsensus terhadap isu

tertentu, pemahaman terhadap persepsi dan nilai yang berlaku di masyarakat,

tingkat kepercayaan yang cukup antar stakeholder, adanya keyakinan pihak lain

akan menjaga komitmen, dukungan organisasi dan sumberdaya untuk melakukan hubungan terus menerus, informasi dasar dan adanya tanggapan terhadap

tantangan dari luar. Faktor eksternal meliputi pemerintahan yang mengakui adanya penghargaan dari masyarakat yang memberikan dukungan atau usaha

kolaborasi.

(38)

2.3. Peranserta (Partisipasi) Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam sistem manajemen persampahan dapat

berupa partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung pada sistem, selain itu

juga dapat dilakukan secara individual atau berkelompok. Partisipasi langsung

dapat berupa melakukan pengumpulan primer dan membayar retribusi.

Masyarakat membentuk organisasi (misalnya Rukun Tetangga) yang salah satu tugasnya adalah mengumpulkan sampah dari rumah tangga di wilayahnya.

Sampah yang terkumpul kemudian dibawa ke tempat pembuangan sementara

(TPS). Pengelola sampah kota selanjutnya akan mengangkut sampah tersebut ke

tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk jasa ini masyarakat membayar retribusi

pengelolaan sampah.

Sementara partisipasi tidak langsung pada sistem merupakan upaya

masyarakat untuk menurunkan tingkat timbulan sampah. Upaya ini akan

menurunkan jumlah sampah sehingga akan meringankan beban kerja sistem manajemen persampahan. Tindakan yang dilakukan masyarakat dapat berupa

upaya menghindari terjadinya sampah, penggunaan kembali, daur ulang, pengomposan, dan sebagainya.

Setiap anggota masyarakat berperan dengan cara yang bervariasi dalam

partisipasinya terhadap pengelolaan sampah. Pada tingkat individual, rumah tangga bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkannya. Kegiatan yang

dilakukan dapat berupa menempatkan sampah di dalam wadah yang sesuai, memilah sampah, meletakkan wadah sampah pada tempat dan waktu yang tepat,

dan membersihkan lingkungan sekitar rumahnya. Secara berkelompok,

masyarakat dapat membentuk organisasi untuk melakukan kegiatan kampanye

kebersihan dan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat. Selanjutnya,

partisipasi masyarakat dapat berupa kontribusi secara fisik atau finansial, misalnya menjadi penyapu jalan atau me mbayar retribusi sampah. Pada tahap

lebih lanjut lagi, partisipasi dapat berupa ikut serta dalam memformulasi proyek

dalam arti mengikuti secara aktif mulai dari perencanaan sampai dengan

pelaksanaan proyek pengelolaan persampahan. Bentuk partisipasi tertinggi adalah

menjadi anggota dalam organisasi pengelolaan persampahan dengan kegiatan

(39)

Sejalan dengan Moningka (2000), Anschütz (1996) memberikan gambaran

tentang jenis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota berbasis

partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah ada

empat yaitu (1) dengan cara menunjukkan perilaku dalam menjaga kebersihan, (2)

dengan memberikan kontribusi uang atau tenaga, (3) dengan memberikan bantuan

dalam administrasi dan (4) memberikan kontribusi dalam jasa pelayanan. Perilaku

menjaga kebersihan dengan cara mengikuti aturan (jadwal dan tempat) dalam

pengumpulan sampah, membawa sampah ke tempat pengumpulan, menaruh sampah dalam kantung atau tong, mengikuti penyuluhan kebersihan, menjaga

kebersihan rumah dan sekitarnya, memisahkan sampah basah dan kering, mengomposkan sampah halaman. Memberikan kontribusi uang atau tenaga

dengan cara membayar iuran pengumpulan sampah, menyumbang atau

meminjamkan peralatan, menyumbang tenaga untuk pengumpulan. Memberikan bantuan dalam administrasi dengan cara menjawab pertanyaan bila ada survey

atau penelitian, mengikuti pertemuan, memilih pemimpin atau wakil yang akan mengelola sampah, memberikan umpan balik terhadap pengelola tentang sistem

pengumpulan dan pelayanan. Memberikan bantuan dalam jasa pelayanan dengan

cara menjadi anggota komite, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan yang

mengelola persampahan, berperan serta dalam pengambilan keputusan.

Terdapat tiga manfaat yang diperoleh dalam pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota yaitu membangun kapasitas/

kemampuan lokal, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan

memberikan kesempatan pada masyarakat untuk merencanakan dan menentukan

strategi dalam pengelolaan sampah kota. Partisipasi masyarakat dapat membantu

terbentuknya integrasi antara perbedaan kebutuhan dan masalah dalam

pengelolaan sampah kota (Moningka 2000).

Menurut Bulle (1999) setiap anggota dari suatu komunitas mempunyai

peran yang berbeda, maka terdapat banyak cara partisipasi dalam pengelolaan sampah kota. Partisipasi masyarakat sebagai individu yang dapat dilakukan

adalah menyimpan sampah pada wadah yang tepat, memilah sampah yang dapat didaur ulang dengan bahan organik, meletakan sampah di tempat dan waktu yang

(40)

secara bersama-sama adalah dalam aktivitas organisasi untuk meningkatkan

kepedulian terhadap kebersihan kota. Selanjutnya, partisipasi masyarakat dapat

terlibat dalam manajemen persampahan dalam bentuk kontribusi misalnya bekerja

sebagai penyapu atau membayar retribusi pengumpulan sampah. Partisipasi

masyarakat yang lebih maju adalah dengan memberikan pendapat dan usulan

untuk perbaikan pengelolaan persampahan kota. Partsipasi masyarakat paling

tinggi adalah membentuk organisasi kemasyarakatan untuk memberikan masukan

kepada pengambil keputusan dalam pengelolaan persampahan kota serta melakukan pengawasan.

Menurut Wilson et.al. (2001), untuk mencapai keberhasilan kampanye diperlukan kemahiran dalam mengkombinasikan berbagai cara kampanye.

Terdapat berbagai seni untuk mengkombinasikan cara yang sedemikian rupa

sehingga dapat memaksimalkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat atau kelompok target terhadap isu manajemen persampahan.

2.4. Metode Penelitian Analisis Kelembagaan dan Peranserta Masyarakat

Bandaragoda (2000) menjelaskan panduan dalam menganalisis

kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air. Terdapat tiga kompone n yang

(41)

(1)

Gambar 6 Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000)

Dari Gambar 6 tersebut di atas tergambar bahwa langkah pertama adalah evaluasi hasil studi sebelumnya terhadap komponen kelembagaan yaitu hukum,

kebijakan dan administrasi. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis

kecenderungan (tren) untuk melihat perkembangannya. Kemudian melacak perkembangan kelembagaan yang diikuti dengan mengevauasi dari implikasi

kinerja kembagaan saat ini. Selanjutnya mengkaji secara tepat dan memadai berdasarkan langkah 1 sampai 4 terhadap lembaga- lembaga yang ada. Kemudian

pada akhirnya mengidentifikasi perubahan kelembagaan yang mungkin.

Cullivan et. Al. (1988) menyusun panduan untuk pengkajian kelembagaan

untuk bidang pengelolaan air dan air buangan. Pengkajian kelembagaan adalah

prosedur yang sistematis dalam mengkaji kinerja suatu institusi berdasarkan pada indikator kinerja standar. Hasil pengkajian adalah profil kekuatan dan kelemahan

(42)

kelembagaan. Langkah pertama adalah melakukan studi lapangan langsung

kepada lembaga yang akan dikaji. Hasil dari studi lapangan diperoleh kategori

kinerja kelembagaan pengelolaan air dan air buangan. Untuk setiap kategori

kinerja tersebut dilakukan interview dan pengamatan langsung. Data yang telah

diperoleh kemudian dianalisis. Analisis dilakukan oleh individual asesor dan

asesor tim. Kemudian dilakukan presentasi atau lokakarya seluruh tim asesor.

Hasil akhir berupa profil kelembagaan.

Penelitian kelembagaan pada kehutanan masyarakat di di Nusa Tenggara Barat yaitu di Pulau Lombok dan Sumbawa (Awang et. al. 2000) menggambarkan

potret kelembagaan masyarakat. Unsur kelembagaan dalam kehutanan masyarakat meliputi: (1) Organisasi terdiri dari ketertataan, keanggotaan, daya

akomodasi aspirasi, kepengurusan, aturan organisasi dan aset organisasi; (2)

Kepemimpinan yang digambarkan oleh gaya kepemimpinan. (3) Kegiatan produktif (4) Potensi konflik.

2.5. Model

Model merupakan usaha untuk menggambarkan, menganalisis,

menyederhanakan atau menunjukkan sistem. Suatu model dibuat berdasarkan

pada teori. Model yang baik harus dapat menggambarkan sifat penting dari sistem yang dimodelkan. Model merupakan pengganti dari suatu sistem yang nyata.

Model digunakan bila bekerja dengan pengganti tersebut akan lebih mudah bila

dibandingkan dengan sistem aktual. Contoh model adalah: blueprint untuk

pekerjaan arsitektur, grafik untuk pekerjaan ahli ekonomi (Ford 1999).

Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi

dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan

langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik (sebab akibat). Oleh

karena model merupakan abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada realitas itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap bila

dapat mewakili berbagai aspek dari realitas itu sendiri.

Salah satu dasar utama dalam pengembangan model adalah guna

(43)

model adalah sebagai berikut : (1) Model fisik atau model skala, merupakan

perwakilan fisik dari bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Misalnya

maket suatu bangunan; (2) Model diagramatik atau model konseptual, dapat

mewakili situasi dinamik (keadaan yang berubah menurut waktu). Contoh dari

model ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi dan diagram alir. ;

(3) Model matematik, dapat berupa persamaan atau formula (rumus). Persamaan

merupakan bahasa universal yang menggunakan suatu logika simbolis (Eriyatno

1999).

Model matematik melibatkan fungsi dan angka dalam menggambarkan

sistem, seringkali disebut dengan model komputer atau model numerik. Di lain pihak bila solusi analitis yang akan diperoleh dapat digambarkan dengan

kombinasi dari berbagai fungsi matematis dasar, model ini disebut dengan model

analitis. Model matematis ini dapat dikelompokan dalam dua bagian yaitu model statis dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubah-peubah

model hanya pada titik tunggal dari waktu. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model. Model dinamik mempunyai kekuatan

(44)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah di Kota Bandung, dengan luas wilayah 16.729,00

hektar, terdiri dari 26 kecamatan. Gambar 8 menunjukkan peta administratif Kota

Bandung yang terdiri dari 26 kecamatan. Kegiatan penelitian dilakukan dari pertengahan tahun 2004 sampai dengan awal tahun 2006.

Gambar 7 Peta wilayah Kota Bandung

3.2. Formulasi Permasalahan

Permasalahan umum dalam pengelolaan sampah di Indonesia adalah

kapasitas atau kemampuan institusi atau pengelola yang lebih kecil dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Keadaan ini disebabkan oleh tidak

seimbangnya sarana pengelolaan dengan jumlah sampah yang harus dikelola.

Partisipasi nyata dari masyarakat sampai saat ini baru pada tahap membayar

(45)

sampai pada tingkat pemanfaatan sampah dengan tujuan memperkecil jumlah

sampah yang harus dibuang (Budi 2006).

Pemanfaatan sampah dapat dilakukan melalui usaha 3R yaitu reduce

(mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (mendaur ulang)

dengan tujuan menekan jumlah sampah yang harus dibuang ke tempat

pembuangan akhir. Beberapa negara telah mengarah kepada program 3R, salah

satunya adalah negara bagian Victoria di Australia. Pada tahun 2004 negara

bagian Victoria mencanangkan The Towards Zero Strategy dengan target pemanfaatan sampah mencapai 75% pada tahun 2014 (the State of Victoria,

2005). Kota Bandung dengan komposisi sampah kota yaitu 63,56% sampah organik dan 36,44% sampah anorganik (BPS 2003) berpotensi untuk melakukan

pemanfaatan sampah menjadi kompos dan produk daur ulang.

Sumber sampah terbesar dari sampah kota adalah rumah tangga. Jumlah sampah dari rumah tangga di Kota Bandung mencapai 66% dari jumlah sampah

kota (BPS 2003). Bila rumah tangga sudah melakukan 3R maka jumlah sampah kota bisa dipastikan akan menurun. Karena itu diperlukan analisis karakteristik

pada tingkat rumah tangga terhadap pengelolaan persampahan kota, untuk melihat

tingkat partisipasi pada pengelolaan sampah rumah tangga dan tingkat kesediaan

untuk berpartisipasi.

Berdasarkan kerangka pemikiran terdapat lima kelompok yang terlibat dalam pengelolaan persampahan kota yaitu: (1) kelompok penghasil sampah, (2)

kelompok pemanfaat sampah, (3) kelompok pengelola sampah, (4) kelompok

pemerhati lingkungan dan (5) pemerintah. Pada kelompok penghasil sampah yang

terdiri dari rumah tangga akan dianalisis hubungan antara karakteristik rumah

tangga dengan pengelolaan sampah rumah tangga. Pada kelompok pengelola

yang terdiri dari tingkat RT, RW, kelurahan dan kecamatan; akan dianalisis

hubungan karakteristik individu ketua dan lembaga terhadap pengelolaan sampah.

Pada Perusahaan Daerah Kebersihan yang akan dikaji adalah kapasitas organisaasi meliputi: aspek kepemimpinan, manajemen, sumberdaya manusia,

sumberdaya keuangan dan manajemen, aspek pelayanan dan hubungan eksternal. Pada kelompok pemanfaat sampah yang terdiri dari pemulung, bandar/ lapak,

Gambar

Gambar 4 Proses pengembangan kelembagaan (DFID 2003)
Gambar 5  Pengembangan kelembagaan (Wenban-Smith 2002)
Gambar 6 Diagram analisis kelembagaan (Bandaragoda 2000)
Gambar 7 Peta wilayah Kota Bandung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “ Analisis dan Perancangan Sistem Pengelolaan Sampah Berbasis Android Melalui Partisipasi Masyarakat di Kecamatan Rappocini ” yang disusun oleh

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Komunitas Lokal Melalui Program Bank Sampah Di Kota Cimahi.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Analisis yang dilakukan menyimpulkan bahwa bentuk pengelolaan yang tepat untuk Kota Kebumen adalah ”Bentuk Pengelolaan Persampahan Berkelan- jutan Berbasis Masyarakat”, yaitu

Persepsi masyarkat berdasarkan hasil evaluasi terhadap lima aspek pengelolaan persampahan didapat masyarakat Distrik Aimas menganggap bahwa pengelolaan sampah yang

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah partisipasi masyarakat, koordinasi kelembagaan, pengurangan dampak banjir dan penggunaan

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah partisipasi masyarakat, koordinasi kelembagaan, pengurangan dampak banjir dan penggunaan

Permasalahannya adalah bahwa kegiatan masyarakat tersebut belum mampu bersinergi dengan pengelolaan persampahan kota, selain itu relatif masih sangat kecilnya jumlah sampah

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah sudah cukup baik terutama pada tahap pembuangan sampah dari pengelolaan sampah rumah tangga dengan mendirikan bank