• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa kelayakan industri fillet ikan patin beku (Pangasius hypophthalmus) di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa kelayakan industri fillet ikan patin beku (Pangasius hypophthalmus) di Kabupaten Bogor"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU (Pangasius hypophthalmus)

DI KABUPATEN BOGOR

Oleh

RONNY MARTHA FO3496087

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk maka tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Tentu saja kebutuhan akan daging sebagai salah satu makanan pokok juga semakin meningkat. Saat ini tingkat konsumsi daging sapi dan daging ayam di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan tingkat konsumsi daging ikan. Akan tetapi masyarakat mulai mengalihkan konsumsi daging sapi dan ayam ke daging ikan yang disebabkan makin meluasnya pengetahuan masyarakat akan manfaat kesehatan yang terkandung di daging ikan, serta harganya yang relatif lebih murah (Pikiran Rakyat, 2002).

Ikan adalah salah satu sumber pangan yang nilai gizinya sangat baik karena antara lain mengandung protein sebesar 16 persen sampai 26 persen dari bobotnya. Bagi tubuh manusia, protein berfungsi untuk pertumbuhan dan penggantian sel-sel yang rusak atau aus. Selain protein, ikan mengandung omega-3 yang berfungsi mencegah terjadinya penyakit jantung, serta mengandung kalsium, kalium, dan fosfor yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh kita. Mutu protein ikan cukup baik (93%) dengan nilai cerna 100, artinya seluruh kandungan protein bahan pangan tersebut dapat dicerna dan diserap oleh usus untuk dimanfaatkan oleh tubuh (Subiyakto, 2003).

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) adalah salah satu ikan yang banyak ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk dan rawa. Ikan patin juga memiliki sifat yang menguntungkan, antara lain fekunditas yang tinggi, bersifat omnivora dan laju pertumbuhannya cepat sehingga dapat dibudidayakan secara masal. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan yang semakin meningkat, maka budidaya ikan patin dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang menguntungkan.

(3)

(Susanto dan Amri, 1999). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ikan patin memiliki prospek yang bagus dalam agroindustri.

Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang nantinya akan diolah menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis, dan juga dapat digunakan untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan. Fillet memiliki beberapa keuntungan sebagai bahan baku olahan, antara lain bebas duri dan tulang, dapat disimpan lebih lama, serta dapat menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya lebih mudah, sehingga akan memudahkan dan mengefesienkan proses produksi serta meningkatkan mutu produk olahannya.

Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi pendirian industri karena industri yang akan didirikan ini berorientasi pada kedekatan dengan konsumen, bukan kedekatan dengan sumber bahan baku. Konsumen dari produk fillet ikan patin ini adalah pengolahan bakso ikan, sosis, dan abon, dan letak industri pengolahan tersebut tersebar di daerah DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bogor..

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan gambaran dasar tentang kemungkinan usaha fillet ikan patin beku yang berlokasi di kabupaten Bogor.

2. Melakukan analisa sensitifitas terhadap perubahan komponen biaya

produksi yang mungkin terjadi pada usaha ini.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Ruang lingkup pelaksanaan penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Usaha fillet ikan patin yang dijadikan sebagai referensi adalah unit usaha

fillet ikan patin “Patin Kita” yang berlokasi di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

2. Usaha fillet ikan patin yang dikaji meliputi kegiatan penyiangan, pemotongan dan pemisahan daging, pencucian, dan pembekuan.

3. Aspek yang diamati adalah aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. IKAN PATIN

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) banyak ditemukan di perairan umum seperti sungai, waduk, dan rawa. Kerabat dekat ikan patin yang ada di Indonesia umumnya memiliki ciri-ciri keluarga Pangasidae, yaitu bentuk badannya sedikit memipih, tidak bersisik, atau sisiknya halus sekali.

Kerabat ikan patin di Indonesia cukup banyak diantaranya : Pangasius polyuranoda (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan roes, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, riuscaring), Pangasius nasutus (pedado), Pangasius nieuwenhuisii (lawang). Gambar 1 di bawah ini menunjukkan gambar fisik dari ikan patin. Berikut ini adalah klasifikasi ikan patin (Susanto dan Amri,1999) :

Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypophthalmus.

Gambar 1. Gambar ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

(5)

tidak bersisik, durinya relatif sedikit dan dagingnya putih kemerahan serta mudah dikuliti sehingga relatif mudah dibuat fillet yang baik.

B. FILLET IKAN PATIN

Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang akan diolah lagi menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis, dan juga dapat digunakan untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan. Secara teknis, proses pengolahan ikan patin menjadi fillet tidak sulit. Menurut Peranginangin et.al. (1999), prinsip dasarnya adalah daging ikan diambil, dibersihkan dari bahan-bahan yang tidak diinginkan (tulang, sisik, kulit, dan lain-lain), dicuci, dan dibekukan. Selanjutnya fillet dapat langsung diolah menjadi produk olahan lain.

Berikut ini beberapa keuntungan penggunaan fillet :

1.Dapat digunakan langsung untuk pengolahan produk-produk makanan seperti bakso, sosis, kamaboko, burger dan lain-lain.

2.Tidak berbau, bebas tulang dan duri, sehingga produk-produk olahannya mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat usia.

3.Suplai dan harganya relatif stabil karena fillet dapat disimpan lama dan ini memudahkan perencanaan olahannya.

4.Biaya penyimpanan, distribusi dan transportasi lebih murah, karena fillet merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja.

5.Menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya lebih mudah. 6.Masalah pembuangan limbah yang relatif lebih mudah diatasi.

(6)

C. STUDI KELAYAKAN

Studi kelayakan merupakan evaluasi pendahuluan yang bertujuan untuk menghemat waktu dan biaya evaluasi sehingga investor dapat menentukan apakah proyek masih berarti untuk dilanjutkan atau harus dihentikan. Laporan studi kelayakan haruslah meyakinkan, dengan disertai tentang harapan keberhasilan proyek, dengan didukung oleh bukti-bukti realistis dan dengan tidak lupa menunjukkan berbagai resiko yang mungkin dihadapi (Sutojo,1993).

Menurut Husnan dan Suwarsono (1997), studi kelayakan adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek investasi dilaksanakan dengan berhasil. Umumnya penelitian studi kelayakan dilakukan terhadap aspek-aspek pasar, teknis, keuangan, hukum dan ekonomi negara.

Tolak ukur studi kelayakan adalah nilai moneter. Dalam studi kelayakan, semua komponen manfaat dan biaya dinilai dengan harga pasar. Penilaian terhadap keadaan dan prospek suatu industri dilakukan atas kriteria tertentu yang disusun dengan mempertimbangkan manfaat bagi perusahaan dan negara. Kriteria-kriteria tersebut mencakup aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis teknologis, aspek manajemen operasional dan aspek finansial (Sutojo, 1993). 1. Aspek Pasar dan Pemasaran

Menurut Sutojo (1993), dalam melakukan analisa aspek pasar dan pemasaran terdapat lima hal yang diteliti yaitu kedudukan produk yang direncanakan akan diluncurkan, komposisi dan perkembangan permintaan dari masa yang telah lampau hingga sekarang, proyeksi permintaan produk di masa mendatang, kemungkinan persaingan dengan industri sejenis serta peranan pemerintah dan swasta dalam menunjang perkembangan pemasaran produk. Husnan dan Suwarsono (1997) menambahkan, bahwa analisa aspek pasar dan pemasaran terhadap usulan suatu proyek ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai besar pasar potensial yang tersedia untuk masa yang akan datang, besar pangsa pasar yang dapat diserap oleh proyek tersebut dari keseluruhan pasar potensial, serta perkembangan pangsa pasar tersebut di masa yang mendatang dan gambaran mengenai strategi pemasaran yang digunakan untuk mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan.

(7)

Aspek teknis teknologis merupakan aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan industri secara teknis dan operasi setelah industri itu dibangun (Husnan dan Suwarsono, 1997). Ditambahkan oleh Sutojo (1993), evaluasi aspek teknis teknologis meliputi penentuan kapasitas produksi ekonomis proyek, jenis teknologi yang paling cocok serta penggunaan mesin dan peralatan. Di samping itu perlu diteliti dan diajukan saran tentang tempat dan tata letak pabrik.

Dari hasil analisa aspek teknologis maka dapat diketahui rancangan awal penaksiran biaya investasi termasuk biaya eksploitasinya. Pelaksanaan dari evaluasi aspek teknologis seringkali tidak memberikan keputusan yang baku, atau dengan kata lain masih tersedia berbagai alternatif jawaban. Karenanya sangat perlu diperhatikan suatu atau beberapa pengalaman pada proyek lain yang serupa dilokasi lain dengan menggunakan teknik dan teknologi serupa. Keberhasilan penggunaan teknologi serupa di tempat lain sangat membantu dalam pengambilan keputusan akhir, setidaknya memperhatikan pengalaman di tempat lain tidak dapat begitu saja ditinggalkan (Husnan dan Suwarsono, 1997).

a. Pemilihan Teknologi

Biasanya suatu produk tertentu dapat diproses dengan lebih dari satu cara. Ketepatan pemilihan teknologi yang sesuai menggunakan kriteria derajat mekanisasi yang diinginkan, manfaat ekonomi yang diharapkan, bahan mentah yang digunakan, keberhasilan penerapan teknologi sejenis di tempat lain, kemampuan tenaga kerja dalam pengoperasiannya, dan pertimbangan kemungkinan teknologi lanjutan. b. Kapasitas Produksi

(8)

Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas produksi adalah :

1. Batasan permintaan, yang telah diketahui dalam dalam penghitungan pangsa pasar.

2. Tersedianya kapasitas mesin yang dibatasi oleh kapasitas teknis atau kapasitas ekonomis.

3. Jumlah dan kemampuan tenaga kerja 4. Kemampuan finansial dan manajemen

5. Antisipasi terhadap kemungkinan perubahan teknologi. c. Penentuan Lokasi

Lokasi penting bagi perusahaan, karena mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Penentuan lokasi yang kurang tepat merupakan salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan efektif, sehingga biaya operasi menjadi tinggi. Oleh karena itu dalam penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi suatu industri sangat dipengaruhi oleh strategi pemerintahan, letak sumber bahan baku, daerah pemasaran, serta faktor lingkungan (Sutojo, 1993).

Menurut Husnan dan Suwarsono (1997), variabel yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi proyek dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer akan berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi dan distribusi dari proyek yang akan didirikan. Faktor primer tersebut adalah :

1. Ketersediaan bahan baku 2. Letak pasar yang dituju 3. Tenaga listrik dan air 4. Ketersediaan tenaga kerja 5. Fasilitas transportasi

(9)

1. Hukum dan peraturan yang berlaku 2. Iklim, keadaan tanah

3. Sikap dari masyarakat setempat, termasuk adat istiadatnya

4. Rencana masa depan perusahaan, dalam kaitannya dengan perluasan d. Perencanaan Tata Letak Mesin dan Ruangan

Layout merupakan keseluruhan proses penentuan bentuk dan penempatan fasilitas-fasilitas yang dimiliki perusahaan. Perencaan ini bertujuan untuk mengoptimalkan keterkaitan antar pekerja, aliran bahan, aliran informasi dan metoda yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan secara efisien, ekonomis dan aman (Apple, 1990).

Keterkaitan aktivitas akan menjadi pedoman dalam perancangan tata letak ruang suatu pabrik secara menyeluruh. Derajat hubungan aktivitas dapat diberi sandi sebagai berikut :

ƒ A (absolutely necessary) menunjukkan bahwa letak antar kegiatan yang satu harus saling berdekatan dan bersebelahan dengan kegiatan yang lain

ƒ E (especially important) menunjukkan bahwa letak antar kegiatan harus bersebelahan

ƒ I (important) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain cukup berdekatan

ƒ O (ordinary) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain tidak harus saling berdekatan

ƒ U (unimportant) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain bebas dan tidak saling terkait

ƒ X (undesirable) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain tidak boleh saling berdekatan, atau harus saling berjauhan.

(10)

Tabel 1. Derajat hubungan antar aktivitas.

Sandi Alasan

1 Urutan Kerja

2 Penggunaan Peralatan Yang Sama

3 Penggunaan Ruang Yang Sama

4 Penggunaan Pekerja Yang Sama 5 Efisiensi Jarak, Waktu dan Kerja 6 Kemudahan Melakukan Pengawasan

7 Adanya Kontak Kerja

8 Adanya Komunikasi Lisan Atau

Tulisan Sumber : Apple (1990)

3. Aspek Manajemen Operasional

Menurut Ariyoto (1980), manajemen adalah cara mencapai tujuan dari sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini adalah uang (modal), mesin dan peralatan, tenaga kerja, dan material. Dalam aspek manajemen dan operasi ini terutama dibahas tentang pertimbangan-pertimbangan pokok dalam membentuk organisasi, bentuk kepemilikan, struktur organisasi, deskripsi tugas, tenaga kerja dan persyaratannya, dan jadwal proyek.

Analisa aspek manajemen operasional dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai struktur organisasi dan perusahaan sehingga akan diketahui tenaga manajemen apa dan berapa yang diperlukan untuk mengelola proyek secara berhasil (Sutojo, 1993).

4. Aspek Finansial

(11)

ANALISA KELAYAKAN INDUSTRI FILLET IKAN PATIN BEKU (Pangasius hypophthalmus)

DI KABUPATEN BOGOR

Oleh

RONNY MARTHA FO3496087

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk maka tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Tentu saja kebutuhan akan daging sebagai salah satu makanan pokok juga semakin meningkat. Saat ini tingkat konsumsi daging sapi dan daging ayam di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan tingkat konsumsi daging ikan. Akan tetapi masyarakat mulai mengalihkan konsumsi daging sapi dan ayam ke daging ikan yang disebabkan makin meluasnya pengetahuan masyarakat akan manfaat kesehatan yang terkandung di daging ikan, serta harganya yang relatif lebih murah (Pikiran Rakyat, 2002).

Ikan adalah salah satu sumber pangan yang nilai gizinya sangat baik karena antara lain mengandung protein sebesar 16 persen sampai 26 persen dari bobotnya. Bagi tubuh manusia, protein berfungsi untuk pertumbuhan dan penggantian sel-sel yang rusak atau aus. Selain protein, ikan mengandung omega-3 yang berfungsi mencegah terjadinya penyakit jantung, serta mengandung kalsium, kalium, dan fosfor yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh kita. Mutu protein ikan cukup baik (93%) dengan nilai cerna 100, artinya seluruh kandungan protein bahan pangan tersebut dapat dicerna dan diserap oleh usus untuk dimanfaatkan oleh tubuh (Subiyakto, 2003).

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) adalah salah satu ikan yang banyak ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk dan rawa. Ikan patin juga memiliki sifat yang menguntungkan, antara lain fekunditas yang tinggi, bersifat omnivora dan laju pertumbuhannya cepat sehingga dapat dibudidayakan secara masal. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan yang semakin meningkat, maka budidaya ikan patin dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang menguntungkan.

(13)

(Susanto dan Amri, 1999). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ikan patin memiliki prospek yang bagus dalam agroindustri.

Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang nantinya akan diolah menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis, dan juga dapat digunakan untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan. Fillet memiliki beberapa keuntungan sebagai bahan baku olahan, antara lain bebas duri dan tulang, dapat disimpan lebih lama, serta dapat menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya lebih mudah, sehingga akan memudahkan dan mengefesienkan proses produksi serta meningkatkan mutu produk olahannya.

Kabupaten Bogor dipilih sebagai lokasi pendirian industri karena industri yang akan didirikan ini berorientasi pada kedekatan dengan konsumen, bukan kedekatan dengan sumber bahan baku. Konsumen dari produk fillet ikan patin ini adalah pengolahan bakso ikan, sosis, dan abon, dan letak industri pengolahan tersebut tersebar di daerah DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bogor..

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan gambaran dasar tentang kemungkinan usaha fillet ikan patin beku yang berlokasi di kabupaten Bogor.

2. Melakukan analisa sensitifitas terhadap perubahan komponen biaya

produksi yang mungkin terjadi pada usaha ini.

C. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Ruang lingkup pelaksanaan penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Usaha fillet ikan patin yang dijadikan sebagai referensi adalah unit usaha

fillet ikan patin “Patin Kita” yang berlokasi di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor.

2. Usaha fillet ikan patin yang dikaji meliputi kegiatan penyiangan, pemotongan dan pemisahan daging, pencucian, dan pembekuan.

3. Aspek yang diamati adalah aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. IKAN PATIN

Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) banyak ditemukan di perairan umum seperti sungai, waduk, dan rawa. Kerabat dekat ikan patin yang ada di Indonesia umumnya memiliki ciri-ciri keluarga Pangasidae, yaitu bentuk badannya sedikit memipih, tidak bersisik, atau sisiknya halus sekali.

Kerabat ikan patin di Indonesia cukup banyak diantaranya : Pangasius polyuranoda (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan roes, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, riuscaring), Pangasius nasutus (pedado), Pangasius nieuwenhuisii (lawang). Gambar 1 di bawah ini menunjukkan gambar fisik dari ikan patin. Berikut ini adalah klasifikasi ikan patin (Susanto dan Amri,1999) :

Ordo : Ostariophysi Sub ordo : Siluroidea Famili : Pangasidae Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius hypophthalmus.

Gambar 1. Gambar ikan patin (Pangasius hypophthalmus)

(15)

tidak bersisik, durinya relatif sedikit dan dagingnya putih kemerahan serta mudah dikuliti sehingga relatif mudah dibuat fillet yang baik.

B. FILLET IKAN PATIN

Fillet merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang akan diolah lagi menjadi makanan lain seperti abon, bakso, sosis, dan juga dapat digunakan untuk fortifikasi berbagai aneka produk olahan. Secara teknis, proses pengolahan ikan patin menjadi fillet tidak sulit. Menurut Peranginangin et.al. (1999), prinsip dasarnya adalah daging ikan diambil, dibersihkan dari bahan-bahan yang tidak diinginkan (tulang, sisik, kulit, dan lain-lain), dicuci, dan dibekukan. Selanjutnya fillet dapat langsung diolah menjadi produk olahan lain.

Berikut ini beberapa keuntungan penggunaan fillet :

1.Dapat digunakan langsung untuk pengolahan produk-produk makanan seperti bakso, sosis, kamaboko, burger dan lain-lain.

2.Tidak berbau, bebas tulang dan duri, sehingga produk-produk olahannya mudah dikonsumsi oleh berbagai tingkat usia.

3.Suplai dan harganya relatif stabil karena fillet dapat disimpan lama dan ini memudahkan perencanaan olahannya.

4.Biaya penyimpanan, distribusi dan transportasi lebih murah, karena fillet merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja.

5.Menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya lebih mudah. 6.Masalah pembuangan limbah yang relatif lebih mudah diatasi.

(16)

C. STUDI KELAYAKAN

Studi kelayakan merupakan evaluasi pendahuluan yang bertujuan untuk menghemat waktu dan biaya evaluasi sehingga investor dapat menentukan apakah proyek masih berarti untuk dilanjutkan atau harus dihentikan. Laporan studi kelayakan haruslah meyakinkan, dengan disertai tentang harapan keberhasilan proyek, dengan didukung oleh bukti-bukti realistis dan dengan tidak lupa menunjukkan berbagai resiko yang mungkin dihadapi (Sutojo,1993).

Menurut Husnan dan Suwarsono (1997), studi kelayakan adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek investasi dilaksanakan dengan berhasil. Umumnya penelitian studi kelayakan dilakukan terhadap aspek-aspek pasar, teknis, keuangan, hukum dan ekonomi negara.

Tolak ukur studi kelayakan adalah nilai moneter. Dalam studi kelayakan, semua komponen manfaat dan biaya dinilai dengan harga pasar. Penilaian terhadap keadaan dan prospek suatu industri dilakukan atas kriteria tertentu yang disusun dengan mempertimbangkan manfaat bagi perusahaan dan negara. Kriteria-kriteria tersebut mencakup aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis teknologis, aspek manajemen operasional dan aspek finansial (Sutojo, 1993). 1. Aspek Pasar dan Pemasaran

Menurut Sutojo (1993), dalam melakukan analisa aspek pasar dan pemasaran terdapat lima hal yang diteliti yaitu kedudukan produk yang direncanakan akan diluncurkan, komposisi dan perkembangan permintaan dari masa yang telah lampau hingga sekarang, proyeksi permintaan produk di masa mendatang, kemungkinan persaingan dengan industri sejenis serta peranan pemerintah dan swasta dalam menunjang perkembangan pemasaran produk. Husnan dan Suwarsono (1997) menambahkan, bahwa analisa aspek pasar dan pemasaran terhadap usulan suatu proyek ditujukan untuk mendapatkan gambaran mengenai besar pasar potensial yang tersedia untuk masa yang akan datang, besar pangsa pasar yang dapat diserap oleh proyek tersebut dari keseluruhan pasar potensial, serta perkembangan pangsa pasar tersebut di masa yang mendatang dan gambaran mengenai strategi pemasaran yang digunakan untuk mencapai pangsa pasar yang telah ditetapkan.

(17)

Aspek teknis teknologis merupakan aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan industri secara teknis dan operasi setelah industri itu dibangun (Husnan dan Suwarsono, 1997). Ditambahkan oleh Sutojo (1993), evaluasi aspek teknis teknologis meliputi penentuan kapasitas produksi ekonomis proyek, jenis teknologi yang paling cocok serta penggunaan mesin dan peralatan. Di samping itu perlu diteliti dan diajukan saran tentang tempat dan tata letak pabrik.

Dari hasil analisa aspek teknologis maka dapat diketahui rancangan awal penaksiran biaya investasi termasuk biaya eksploitasinya. Pelaksanaan dari evaluasi aspek teknologis seringkali tidak memberikan keputusan yang baku, atau dengan kata lain masih tersedia berbagai alternatif jawaban. Karenanya sangat perlu diperhatikan suatu atau beberapa pengalaman pada proyek lain yang serupa dilokasi lain dengan menggunakan teknik dan teknologi serupa. Keberhasilan penggunaan teknologi serupa di tempat lain sangat membantu dalam pengambilan keputusan akhir, setidaknya memperhatikan pengalaman di tempat lain tidak dapat begitu saja ditinggalkan (Husnan dan Suwarsono, 1997).

a. Pemilihan Teknologi

Biasanya suatu produk tertentu dapat diproses dengan lebih dari satu cara. Ketepatan pemilihan teknologi yang sesuai menggunakan kriteria derajat mekanisasi yang diinginkan, manfaat ekonomi yang diharapkan, bahan mentah yang digunakan, keberhasilan penerapan teknologi sejenis di tempat lain, kemampuan tenaga kerja dalam pengoperasiannya, dan pertimbangan kemungkinan teknologi lanjutan. b. Kapasitas Produksi

(18)

Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan kapasitas produksi adalah :

1. Batasan permintaan, yang telah diketahui dalam dalam penghitungan pangsa pasar.

2. Tersedianya kapasitas mesin yang dibatasi oleh kapasitas teknis atau kapasitas ekonomis.

3. Jumlah dan kemampuan tenaga kerja 4. Kemampuan finansial dan manajemen

5. Antisipasi terhadap kemungkinan perubahan teknologi. c. Penentuan Lokasi

Lokasi penting bagi perusahaan, karena mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan menentukan kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Penentuan lokasi yang kurang tepat merupakan salah satu penyebab perusahaan beroperasi secara tidak efisien dan efektif, sehingga biaya operasi menjadi tinggi. Oleh karena itu dalam penentuan lokasi suatu industri diperlukan suatu pengkajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas dari industri tersebut. Lokasi suatu industri sangat dipengaruhi oleh strategi pemerintahan, letak sumber bahan baku, daerah pemasaran, serta faktor lingkungan (Sutojo, 1993).

Menurut Husnan dan Suwarsono (1997), variabel yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi proyek dibedakan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer akan berpengaruh secara langsung terhadap kegiatan produksi dan distribusi dari proyek yang akan didirikan. Faktor primer tersebut adalah :

1. Ketersediaan bahan baku 2. Letak pasar yang dituju 3. Tenaga listrik dan air 4. Ketersediaan tenaga kerja 5. Fasilitas transportasi

(19)

1. Hukum dan peraturan yang berlaku 2. Iklim, keadaan tanah

3. Sikap dari masyarakat setempat, termasuk adat istiadatnya

4. Rencana masa depan perusahaan, dalam kaitannya dengan perluasan d. Perencanaan Tata Letak Mesin dan Ruangan

Layout merupakan keseluruhan proses penentuan bentuk dan penempatan fasilitas-fasilitas yang dimiliki perusahaan. Perencaan ini bertujuan untuk mengoptimalkan keterkaitan antar pekerja, aliran bahan, aliran informasi dan metoda yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan secara efisien, ekonomis dan aman (Apple, 1990).

Keterkaitan aktivitas akan menjadi pedoman dalam perancangan tata letak ruang suatu pabrik secara menyeluruh. Derajat hubungan aktivitas dapat diberi sandi sebagai berikut :

ƒ A (absolutely necessary) menunjukkan bahwa letak antar kegiatan yang satu harus saling berdekatan dan bersebelahan dengan kegiatan yang lain

ƒ E (especially important) menunjukkan bahwa letak antar kegiatan harus bersebelahan

ƒ I (important) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain cukup berdekatan

ƒ O (ordinary) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain tidak harus saling berdekatan

ƒ U (unimportant) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain bebas dan tidak saling terkait

ƒ X (undesirable) menunjukkan bahwa letak antara satu kegiatan dengan kegiatan lain tidak boleh saling berdekatan, atau harus saling berjauhan.

(20)

Tabel 1. Derajat hubungan antar aktivitas.

Sandi Alasan

1 Urutan Kerja

2 Penggunaan Peralatan Yang Sama

3 Penggunaan Ruang Yang Sama

4 Penggunaan Pekerja Yang Sama 5 Efisiensi Jarak, Waktu dan Kerja 6 Kemudahan Melakukan Pengawasan

7 Adanya Kontak Kerja

8 Adanya Komunikasi Lisan Atau

Tulisan Sumber : Apple (1990)

3. Aspek Manajemen Operasional

Menurut Ariyoto (1980), manajemen adalah cara mencapai tujuan dari sumber-sumber yang ada. Sumber-sumber ini adalah uang (modal), mesin dan peralatan, tenaga kerja, dan material. Dalam aspek manajemen dan operasi ini terutama dibahas tentang pertimbangan-pertimbangan pokok dalam membentuk organisasi, bentuk kepemilikan, struktur organisasi, deskripsi tugas, tenaga kerja dan persyaratannya, dan jadwal proyek.

Analisa aspek manajemen operasional dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai struktur organisasi dan perusahaan sehingga akan diketahui tenaga manajemen apa dan berapa yang diperlukan untuk mengelola proyek secara berhasil (Sutojo, 1993).

4. Aspek Finansial

(21)

sumber dana modal yang digunakan, berapa bagian dari jumlah kebutuhan dana tersebut yang wajar dibiayai dari pinjaman pihak ketiga serta dari mana sumbernya dan berapa besarnya.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisa finansial adalah diantaranya modal investasi, modal kerja, dan penyusutan (Ariyoto, 1980). Menurut Kadariah et al (1987), analisa finansial suatu proyek memandang perbandingan pengeluaran uang dan perolehan keuntungan dari proyek tersebut. Bila analisa tersebut menunjukkan net benefit yang positif, maka proyek tersebut dapat dilanjutkan. Bila sebaliknya, yaitu jika net benefit bernilai negatif, maka proyek tersebut sebaiknya dibatalkan.

Menurut Gray et al (1997), analisa finansial dalam kerangka evaluasi proyek lebih bersifat analisa tentang arus dana, baik dana tetap maupun modal kerja awal. Proyek dikatakan layak dijalankan secara finansial dengan melihat kriteria-kriteria investasi sebagai berikut :

1. Net Present Value (NPV), yaitu selisih antara nilai sekarang dari penerimaan (benefit) dengan nilai sekarang dari pengeluaran (cost) pada tingkat suku bunga tertentu.

2. Internal Rate Of return (IRR), yaitu suatu tingkat bunga modal yang mengakibatkan nilai sekarang dari aliran uang suatu proyek sama dengan nol.

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), yaitu perbandingan antara NVP positif terhadap NVP negatif.

4. Break Even Point (BEP), waktu pengembalian investasi awal dimana keputusan yang diambil berdasarkan kriteria waktu.

5. Analisa sensitifitas, analisa mengenai sensitifitas proyek terhadap perubahan kenaikan biaya operasional maupun perubahan harga jual produk.

5. Aspek Yuridis

(22)
(23)

III. METODE PENELITIAN

A. KERANGKA PEMIKIRAN

Ikan patin digolongkan sebagai salah satu komoditas unggulan sub-sektor perikanan yang dapat digunakan untuk menanggulangi krisis moneter dan ekonomi dikarenakan mempunyai sifat yang menguntungkan yaitu ukuran per individu yang besar, kebiasaan makan yang omnivora, mudah bertelur, serta memiliki mutu daging yang digemari masyarakat luas.

Selain itu ikan patin pun memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan untuk membuat fillet yang baik. Hal tersebut menyebabkan kegiatan usaha fillet ikan patin memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan. Kajian Usaha fillet Ikan Patin dilakukan agar dapat memberikan gambaran kepada pihak-pihak yang terkait dalam pendirian usaha fillet ikan patin sejauh mana usaha ini dapat memberikan keuntungan di masa yang akan datang. Gambaran selengkapnya mengenai kerangka pemikiran ada pada Lampiran 1.

B. METODE PENGUMPULAN DATA

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data bertujuan untuk memperoleh informasi, gambaran dan keterangan tentang hal-hal yang berhubungan dengan studi kelayakan yang akan dikaji, sehingga diharapkan data-data yang diperoleh dapat digunakan untuk pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan.

Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan survei lapangan dengan instansi serta para pakar pada bidang terkait, diantaranya dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, diskusi dan pencatatan data dengan pimpinan usaha serta karyawan Usaha fillet Ikan Patin “Patin Kita”, serta pengamatan terhadap kegiatan usaha fillet ikan patin beku. Data primer yang dikumpulkan meliputi komponen dan nilai investasi, biaya tetap, biaya variabel, modal investasi, teknik pembenihan, pemasaran hasil usaha, serta komponen keputusan penentuan lokasi usaha.

(24)

pajak bumi dan bangunan, data volume perdagangan ikan patin dan fillet ikan, serta biaya tetap dan tidak tetap. Data sekunder diperoleh melalui pencatatan data yang telah tersedia di instansi-instansi terkait seperti data dari Biro Pusat Statistik (BPS), BAPPEDA Kabupaten Bogor, departemen kelautan dan perikanan, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, perpustakaan, kantor kecamatan, serta instansi terkait lainnya.

C. ANALISA DATA

Analisa data bertujuan untuk meyederhanakan data dalam bentuk yang mudah dipahami. Analisa data meliputi analisa aspek pemasaran, analisa aspek teknis teknologis, analisa aspek manajemen operasional, analisa aspek yuridis, dan analisa aspek finansial. Data yang sudah terkumpul diolah dengan bantuan komputer dan disajikan dalam bentuk tabulasi yang digunakan untuk mengelompokkan dan mengklasifikasi data yang ada serta mempermudah dalam melakukan analisa data.

1. Analisa Pasar dan Pemasaran

Analisa pasar dan pemasaran berpedoman pada Husnan dan Suwarsono (1997), yang menyatakan bahwa aspek pasar dan pemasaran mempelajari :

a. Permintaan produk serta proyeksi permintaan produk tersebut pada masa yang kan datang.

b. Supply yang berasal dari dalam negri maupun impor dan perkembangannya, serta faktor yang mempengaruhinya seperti produk saingannya.

c. Harga produk dan perbandingannya dengan barang-barang impor atau produksi dalam negri lainnya, serta kecenderungan harga tersebut.

2. Analisa Teknis dan Teknologis

Analisa teknis dan teknologis mengkaji pemilihan teknologi, penentuan kapasitas produksi, pemilihan lokasi pabrik, serta tata letak mesin dan ruangan. Kapasitas produksi ditentukan dari hasil analisa aspek pemasaran. Kebutuhan ruang dan tata letak ditentukan dengan menggunakan konsep lay out produk (lay out garis) dimana mesin dan peralatan disusun berdasarkan urutan operasi pembuatan produk dan derajat hubungan antar aktivitasnya.

(25)

Kajian aspek manajemen operasional ini meliputi : a. Rencana struktur organisasi yang sesuai

Struktur organisasi perusahaan formal dapat membantu menjelaskan tugas, wewenang, dan tanggung jawab manajemen. b. Pelaporan

Segala bentuk kegiatan perusahaan akan dicatat. Hal ini diperlukan untuk mengendalikan perusahaan agar dapat berjalan dengan baik. c. Kebutuhan tenaga kerja dan spesifikasinya

Setiap tenaga kerja dibutuhkan persyaratan tertentu ditinjau dari pendidikan, pengalaman, kesehatan dan lain sebagainya yang menunjang fungsi tugas dari pekerjaannnya.

4. Analisa Finansial

Analisa finansial mengkaji jumlah dan sumber dana yang digunakan, serta keuntungan yang didapat setelah proyek berjalan. Dari perhitungan tersebut dapat diperoleh sebuah keputusan apakah proyek bisa menguntungkan secara finansial bagi investor. Faktor-faktor yang dikaji adalah sebagai berikut :

a. Net Present Value (NPV)

NPV adalah metode untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal arus kas) di masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang, tingkat bunga yang dianggap relevan perlu ditentukan terlebih dahulu. Tingkat bunga tersebut dapat diperoleh dengan memelihara tingkat bunga pinjaman jangka panjang yang berlaku di pasar modal atau dengan mempergunakan tingkat bunga pinjaman yang harus dibayar oleh pemilik proyek (Gray et al, 1997).

Menurut Gray et al (1997), formula yang digunakan untuk menghitung NPV adalah :

NPV = 0

(1

)

n

t t

Bt

Ct

i

=

+

(26)

Bt = benefit socialbruto pada tahun t

C = biaya social bruto sehubungan dengan proyek pada tahun t i = tingkat suku bunga pada periode-i

t = periode investasi (t=0, 1, 2, 3, ...,n)

Dari hasil perhitungan nilai NPV, akan memunculkan tiga kemungkinan, yaitu apabila hasil perhitungan nilai NPV dalam evaluasi suatu proyek didapatkan nilai yang lebih besar atau sama dengan nol, maka artinya proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. Apabila hasil perhitungan NPV menghasilkan nilai sama dengan nol, proyek tersebut akan mengembalikan biaya persis sebesar opportunity cost faktor produk modal. Sedangkan apabila dari hasil perhitungan NPV mengahasilkan nilai kurang dari nol, hal ini berarti bahwa proyek tidak dapat menghasilkan senilai biaya yang dipergunakan dan oleh karena itu pelaksanaannya harus ditolak (Gray et al, 1997).

b. Internal Rate of Return (IRR)

Menurut Sutojo (1993), IRR adalah tingkat bunga yang bila dipergunakan untuk mendiskonto seluruh kas masuk pada tahun-tahun operasi proyek akan menghasilkan jumlah kas yang sama dengan investasi proyek. Pada dasarnya IRR menggambarkan persentase laba nyata yang dihasilkan proyek. IRR adalah nilai discount rate social yang membuat NPV proyek sama dengan nol. Formula matematik IRR menurut Gray et al (1997) adalah :

0

(1

)

n t t

Bt

i

=

+

= 0

(1

)

n t t

Ct

i

=

+

atau 0

(1

)

n t t

Bt

Ct

i

=

+

= 0 dimana

Bt = benefit social bruto pada tahun t

Ct = biaya social bruto sehubungan dengan proyek pada tahun t i = tingkat suku bunga (%)

(27)

c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net B/C merupakan angka perbandingan antar jumlah present value yang positif dengan present value yang negatif. Secara umum Gray et al (1997) menjelaskan rumus Net B/C sebagai berikut :

0

(1

)

n t t

Bt

Ct

i

=

+

untuk

Bt Ct

> 0 Net B/C =

0

(1

)

n t t

Ct

Bt

i

=

+

untuk

Bt Ct

< 0

Kriteria kelayakan proyek adalah jika Net B/C lebih besar sama dengan satu dan dikatakan tidak layak apabila kurang dari satu.

d. Break Even Point (BEP)

Menurut Sotojo (1993), proyek dikatakan impas apabila jumlah hasil penjualan produk pada suatu periode tertentu sama dengan jumlah biaya yang ditanggung dimana proyek tersebut tidak mengalami kerugian tetapi juga tidak mengalami untung. Jumlah hasil penjualan minimal yang harus dilampaui dapat dihitung dengan rumus :

N = BT h bv

dimana

N = jumlah penjualan yang dicari

BT = jumlah biaya yang ditanggung oleh proyek tiap masa operasi tertentu

h = harga jual yang direncanakan untuk setaip satuan produk bv = jumlah biaya variable tiap satuan produk

(28)

Pay Back Period menunjukkan berapa lama modal yang ditanam dalam investasi akan kembali, dimana pengembalian modal ini dipandang dari arus kas masuk (cash in flow). Penilaian terhadap Pay Back Period dilakukan dengan menggunakan rumus

0 0

(

Rk

Ek P F i

)( /

,

, )

k

− >

P

0

dimana :

m = nilai pay back period

R = pendapatan bersih untuk periode ke-i E = pengeluaran untuk periode ke-k P = investasi awal

f. Analisa Sensitivitas

Analisa sensitivitas bertujuan untuk mengkaji sejauh mana perubahan unsur-unsur dalam aspek finansial mempengaruhi keputusan yang diambil. Gray et al (1997) menambahkan bahwa analisa sensitivitas diperlukan apabila terjadi kesalahan dalam menilai suatu biaya atau manfaat serta untuk mengantisipasi terjadinya perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan. Perhitungan kembali perlu dilakukan mengingat proyeksi-proyeksi yang dilaksanakan mengandung unsur ketidakpastian tentang apa yang terjadi dimasa yang akan datang.

Gray et al (1997) menyatakan bahwa perubahan-perubahan yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut :

• Kenaikan dalam biaya kontruksi (cost over-run) karena perhitungan yang terlalu rendah dimana kemudian ternyata pada saat pelaksanaan biaya-biaya meningkat karena peningkatan harga peralatan, mesin dan bahan bangunan.

• Perubahan dalam harga hasil produksi, misalnya karena turunnya harga produk di pasaran umum.

(29)
(30)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. ANALISA PASAR DAN PEMASARAN

Fillet patin merupakan bahan baku untuk industri pengolahan lanjutan lainnya, seperti industri pengolahan sosis dan industri pengolahan bakso. Oleh karena itu, pangsa pasarnya adalah industri-industri pengolahan lanjutan lainnya, baik skala besar maupun kecil. Fillet patin merupakan produk baru, di Kabupaten Bogor industri pengolahan fillet patin hanya terdapat di Kecamatan Dramaga, yaitu industri pengolahan fillet patin “Patin Kita” yang merupakan proyek percontohan milik IPB, sedangkan di wilayah Indonesia lainnya sampai saat ini belum tercatat di departemen perindustrian dan perdagangan.

1. Permintaan dan Penawaran

Data permintaan dan penawaran fillet ikan patin tidak tercatat di Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta di Departemen Kelautan dan Perikanan, begitu pula di Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Hal ini karena fillet patin merupakan produk baru.

Begitu pula data permintaan dan penawaran fillet ikan untuk pasar domestik tidak tercatat di Departemen Kelautan dan Perikanan maupun Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Data yang tercatat pada kedua departemen tersebut adalah data perkembangan ekspor komoditi hasil perikanan, untuk fillet/hasil perikanan lainnya yaitu sebesar 11.571.942 kg pada tahun 2001 dan 15.622.156 kg pada tahun 2002, atau naik sebesar 35 persen. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

(31)
[image:31.612.178.525.202.657.2]

kandungan lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di pasaran global lebih kuat. Selain itu pula kekurangan pasokan ikan di pasaran dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut FAO diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta ton pertahun.

Tabel 2. Perkembangan ekspor komoditi hasil perikanan menurut komoditas utama Tahun 2001-2002.

Komoditas Utama Volume (kg)

Tahun 2001 Tahun 2002 Kenaikan (%) Udang Tidak Beku 3 373 201 2 958 277 -12,30

Udang Beku 36 257 874 36 214 324 -0,12 Udang Dalam Kaleng 642 544 1 463 510 127,77 Tuna Segar 7 907 122 8 976 410 13,52 Tuna/Cakalang Beku 5 419 738 6 702 690 23,67 Tuna Dalam Kaleng 9 828 919 9 579 144 -2,54 Ikan Lainnya Hdp/Sgr 24 050 819 22 943 870 -4,60 Ikan Lainnya Beku 23 537 753 26 904 991 14,31 Ikan Kering/Asin/Asap 2 660 913 3 327 317 25,04 Ikan Lainnya Kaleng 479 008 347 628 -27,43 Kepiting Segar/Dingin 1 483 339 1 275 554 -14,01 Kepiting Beku 912 723 1 076 996 18,00 Kepiting Dalam Kaleng 1 534 120 2 185 679 42,47 Paha Kodok 1 008 247 1 316 591 30,58 Ubur-ubur Kering/Asin 1 791 964 3 417 153 90,69 Siput/Bekicot 1 087 090 952 654 -12,37 Kerupik Udang 1 846 251 2 280 585 23,53 Lemak dan Minyak Ikan 7 429 120 692 1524,61 Rumput Laut Kering 9 204 296 8 192 820 -10,99 Koral dan Kulit Kerang 1 008 462 1 256 292 24,58 Mutiara 14 204 2 616 -81,58 Ikan Hias 1 103 818 1 389 040 25,84 Ikan Kering Teri Asin 1 980 805 1 999 450 0,98 Hasil Perikanan Lain 11 571 942 15 622 156 35,00

Jumlah Total 148 711 861 160 506 443 7,93

Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2004.

(32)

kecukupan pangan penduduk akan ikan. Berdasarkan tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk Indonesia pada tahun 1998 baru mencapai 19,25 kg/kapita/tahun atau 72,5 % dari standar kecukupan pangan akan ikan sebesar 26,55 kg/kapita/tahun (Kusumastanto, 2001). Dengan ditargetkan 22 kg/kapita saja, pasar domestik masih memerlukan tambahan pasok ikan lebih 0,5 juta ton/tahun (Suboko, 2001).

Dari data-data diatas maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peluang pasar produk olahan hasil perikanan masih luas. Untuk menentukan kapasitas produksi yang direncanakan, akan menggunakan data referensi dari Unit Usaha fillet ‘Patin Kita’ yang merupakan unit usaha yang sejenis dengan industri yang akan didirikan. Kapasitas produksi unit usaha fillet ‘Patin Kita’ mencapai 144 ton per tahunnya.

2. Penentuan Harga Jual

Fillet patin yang akan dipasarkan, dikemas dalam kemasan plastik. Harga jual yang ditetapkan sebesar Rp. 19.300,- per kg berdasarkan harga jual dengan margin keuntungan sebesar 35%. Penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2. Dalam penentuan harga jual, margin ditentukan dengan angka dari 1-100% dan margin yang diinginkan dinyatakan dalam persentase (Ibrahim, 1998).

Pada tahun 2003, harga ikan patin di wilayah Kabupaten Bogor di tingkat petani adalah Rp. 6000,- per kg, sedangkan harga di tingkat pengecer berkisar antara Rp. 7000 – Rp. 7500 per kg. Oleh karena itu penetapan harga bahan baku untuk industri fillet patin ini menggunakan harga bahan baku terendah di tingkat pengecer, yaitu sebesar Rp. 7000,- per kg.

3. Konsep Produk

Menurut Peranginangin (1999), fillet ikan merupakan bahan setengah jadi dari daging ikan yang nantinya akan dijadikan lagi menjadi makanan lain seperti bakso, abon, dan sosis. Oleh karena itu target pasar yang akan dijadikan sebagai konsumen untuk industri fillet ikan patin ini adalah produsen pengolahan makanan berbahan dasar daging atau ikan.

(33)

harga ikan atau daging segar. Sebagai perbandingan, harga ikan patin segar di pasaran berkisar diantara Rp. 9000 – Rp. 11.000,- per kg, sedangkan harga fillet di iusaha yang akan direncanakan ini adalah Rp. 19.3000 per kg. Sedangkan untuk industri pengolahan makanan, fillet mempunyai beberapa kelebihan, yaitu biaya penyimpanan, distribusi, dan transportasi yang lebih murah karena fillet merupakan bagian ikan yang bermanfaat saja, serta menghemat waktu dan tenaga kerja karena penanganannya lebih mudah.

Dalam proses produksi, bahan baku ikan patin yang digunakan berukuran 1 – 2 kg. Kemudian dari ikan patin berukuran 1 kg didapat fillet ikan berukuran 0,65 kg yang dikemas dalam ukuran 2 kg. Kemasan 2 kg dipilih untuk mempercepat proses pembekuannya. Hal ini diperhitungkan karena penggunaan suhu rendah merupakan hal mutlak untuk menjaga mutu fillet, semakin cepat fillet mencapai suhu yang diinginkan dalam penyimpanan maka semakin baik mutu fillet. Jika fillet dikemas dalam ukuran lebih besar dari 2 kg maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membekukannya sehingga mutunya menjadi kurang baik.

Begitu pula dalam proses pendistribusiannya penggunaan suhu rendah juga adalah hal penting. Oleh karena itu selama proses distribusi produk ke konsumen yang ditargetkan digunakan mobil boks berpendingin.

B. ANALISA TEKNIS TEKNOLOGIS

1. Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi penting untuk dilakukan karena berkaitan dengan efisiensi transportasi, sifat bahan baku atau produk, dan kemudahan mencapai konsumen. Dengan kata lain, lokasi menentukan besaran biaya produksi. Oleh karena itu penentuan lokasi mempengaruhi kedudukan perusahaan dalam persaingan dan kelangsungan hidup di masa yang akan datang.

(34)

untuk pendirian industri ini adalah Kabupaten Bogor karena lokasi ini dekat dengan konsumen yang akan dibidik, yaitu industri pengolahan hasil perikanan.

Kriteria pemilihan lokasi pabrik yang akan didirikan antara lain : a. Kedekatan dengan jalan raya.

Karena pabrik yang akan dibangun ini mengutamakan kedekatan dengan konsumen, maka kedekatan dengan jalan raya menuju lokasi konsumen merupakan faktor penting untuk kemudahan sarana transportasi.

b. Tenaga listrik dan air.

Pasokan tenaga listrik penting dalam industri ini mengingat faktor pembekuan sangat penting untuk mutu produk fillet. Ketersediaan air selain dibutuhkan dalam proses produksi juga dibutuhkan untuk kolam penampungan bahan baku untuk menjaga kesegarannya. Oleh karena itu kedekatan dengan sumber air seperti sungai atau waduk turut menjadi faktor yang diperhitungkan.

c. Lingkungan

Karena dalam proses produksi dan hasil akhir produk mementingkan kebersihan sebagai bahan baku untuk produk konsumsi, maka lokasi pabrik yang didirikan pun harus bersih dan jauh dari lokasi pembuangan sampah atau pembuangan limbah. Selain itu untuk kelancaran proses produksi, maka lokasi pabrik harus jauh dari lokasi yang sering terkena bencana alam seperti banjir, longsor, atau gempa bumi.

2. Perencanaan Kapasitas

(35)

Produksi fillet pada unit usaha ‘Patin Kita’ tahun 2002 sebesar 80 ton, sedangkan pada tahun 2003 sebesar 144 ton. Pada tahun 2002 produksi fillet tersebut belum berjalan optimal karena unit usaha tersebut baru berdiri di tahun 2002, sedangkan pada tahun 2003 kapasitas produksi telah berjalan sesuai dengan kapasitas yang direncanakan. Oleh karena itu, kapasitas produksi untuk industri yang akan didirikan ini sebesar 144 ton per tahun.

[image:35.612.158.508.303.547.2]

Untuk menghasilkan 144 ton fillet per tahun, maka bahan baku berupa ikan patin segar yang dibutuhkan adalah sebanyak 221.540 kg. Jumlah ini akan dapat terpenuhi mengingat jumlah penawaran ikan patin di kabupaten Bogor pada tahun 2003 mencapai 759.910 kg. Data penawaran ikan patin di Kabupaten Bogor pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Jumlah penawaran ikan patin di Kabupaten Bogor tahun 2003

Bulan Jumlah (kg)

Januari - Februari 59.650 Maret 68.900 April 68.900 Mei 68.900 Juni 68.900 Juli 64.900 Agustus 64.900 September 68.900 Oktober 72.350 November 75.590 Desember 74.020 Total 759.910

Sumber : Laporan Tahunan, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, 2003

3. Neraca Massa

(36)
(37)
[image:37.612.178.500.98.483.2]

Gambar 2. Neraca massa proses pengolahan fillet ikan patin

Air 1200 g

Air 850 g Air 850 g

Loss 160 Gram

(Buang Kulit & Tulang)

Ikan patin 1000 gram

Pencucian

Penyiangan

Fillet Patin 650 gram

Air 1200 g Loss 190 Gram

Pencucian

Skinning/Boning

Pencucian

(Buang Kepala & Isi Perut)

(38)

[image:38.612.186.526.77.662.2]

Gambar 3. Diagram alir proses pengolahan Fillet patin

Air Kotor & darah ikan patin

Penimbangan

Pencucian

Penyiangan (Buang Kepala & Isi

Perut)

Pencucian (Pembersihan Darah)

Pemisahan Kulit & Tulang (Skinning/Boning)

Pencucian (Pembersihan Darah)

Packing/Pengemasan Penimbangan

Pembekuan/Freezer Ikan Patin

Fillet Patin Beku

Air Air

Air Kotor

Kepala & isi perut ikan patin

Air Kotor & darah ikan patin

(39)

4. Teknologi Proses Produksi

Fillet merupakan daging yang telah dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga sebagian besar bau, darah, pigmen, dan lemak hilang. Khusus untuk fillet ikan, mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar terjaga. Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan menurunkan mutu fillet.

Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan fillet. Menurut Peranginangin (1999), jenis ikan yang akan memberikan hasil fillet yang lebih baik setidaknya memiliki klasifikasi ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu berbau amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus. Bahan dasar (ikan) yang dipilih untuk industri ini adalah ikan patin (Pangasius hypophthalmus) karena ikan ini mempunyai sifat yang memenuhi kesesuaian yang dibutuhkan untuk menghasilkan fillet yang baik. Berikut ini adalah tahapan proses yang dibutuhkan dalam pengolahan fillet patin :

a. Persiapan Bahan Baku

Tahapan ini terdiri dari proses penerimaan ikan patin hidup, penimbangan, penampungan, serta pencucian. Ikan patin hidup yang dibawa dari petani/pengecer disimpan di kolam penampungan yang tersedia. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga kesegaran ikan yang akan diolah. Ikan yang siap dipotong terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang mungkin menempel dikulitnya. Pencucian ini termasuk penting agar kotoran-kotoran tersebut tidak mencemari daging saat dilakukan proses penyiangan.

b. Penyiangan

(40)

fillet dan produk olahannya menjadi gelap. Contoh daging patin yang telah disiangi dan dicuci bersih nampak pada Gambar 4. di bawah ini.

Gambar 4. Daging patin yang telah disiangi. c. Pemisahan Kulit dan Tulang (Skinning & Boning)

Ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku berukuran minimal 1 kg sehingga lebih mudah dalam membuang kulit dan tulangnya. Proses pembuangan kulit dan tulang adalah sebagai berikut: ikan diletakkan dengan posisi miring, lalu menggunakan pisau, daging pada pangkal insang dipotong sampai ke tulang. Selanjutnya ikan dibalik dan daging disayat dari arah ekor ke kepala. Agar tidak banyak daging yang tertinggal di tulang, pisau agak ditekan menempel ke tulang. Setelah daging terpisah dari tulang, kulit ikan dipisahkan sehingga diperoleh daging yang bebas tulang dan kulit.

Fillet lalu dicuci bersih dalam suatu wadah dengan air dingin, untuk menghilangkan kotoran dan sisa darah. Bak fiber glass merupakan pilihan yang baik sebagai medium wadah karena mudah dibersihkan, dipindahkan, dan dikeringkan. Hal yang tidak boleh dilupakan adalah selama proses ini dan seterusnya adalah penambahan es secukupnya secara kontinyu untuk menghambat penurunan kesegaran ikan.

d. Penimbangan

(41)
[image:41.612.264.457.136.273.2]

di bawah ini, memperlihatkan contoh fillet ikan patin sebelum dilakukan langkah pengemasan.

Gambar 5. Fillet sebelum dikemas

e. Pengemasan

Setelah daging dipotong, maka tahapan berikutnya adalah memasukkannya ke dalam kantong plastik kemasan berukuran 2 kg dan diletakkan dalam wadah pre-cooling yang berisi es sebelum dipindahkan ke ruang penyimpanan. Contoh fillet ikan patin yang telah dikemas dapat dilihat pada Gambar 6.

[image:41.612.284.435.453.577.2]
(42)

f. Pembekuan

Fasilitas pendingin yang digunakan adalah freezer (alat pembeku). Suhu yang dibutuhkan adalah -20°C agar fillet dapat bertahan hingga 3 bulan atau lebih, tanpa banyak mengalami perubahan sifat fungsionalnya. Bahkan, apabila proses pengolahan berjalan benar, pembekuan berjalan cepat dan penyimpanan memenuhi standar persyaratan, maka fillet dapat bertahan hingga 1 tahun. Apabila suhu penyimpanan sekitar -10°C, fillet hanya dapat bertahan hingga 1 bulan, namun tidak dapat dipakai lagi setelah 3 bulan karena sifat fungsional (kemampuan membentuk gel) fillet telah rusak.

Fasilitas pendingin yang tersedia dipasaran terdiri dari berbagai jenis daya, mulai dari 350 watt, 500 watt, 700 watt, dan 1000 watt. Dengan daya 350 watt maka dapat menurunkan suhu fillet hingga -20°C dalam waktu 12 jam sebanyak 99 kg fillet daging. Kapasitas dari freezer dengan daya 350 watt tersebut adalah sebesar 50 kg daging. Dengan kapasitas produksi yang direncanakan sebesar 144 ton/tahun atau sekitar 600 kg/harinya maka dibutuhkan 12 unit freezer dan cadangan freezer sebanyak 3 unit untuk mengantisipasi kerusakan freezer dan kelebihan produksi yang mungkin terjadi. Karena fluktuasi suhu yang terjadi selama proses penyimpanan dapat menurunkan kemampuan fillet dalam membentuk gel, maka penyediaan gen-set dibutuhkan agar dapat memasok penyediaan listrik jika terjadi sesuatu pada pasokan listrik dari PLN.

5. Bahan Baku dan Input

(43)

patin di waduk cirata sebesar 12 ton/bulan dan di waduk saguling sebesar 15 ton/bulan (Hikmayani et.al, 2003).

Bahan baku berupa ikan patin hidup diperoleh dari petani produsen yang ada di wilayah kabupaten Bogor, serta dari penyalur yang berasal dari wilayah di luar kabupaten Bogor. Jumlah yang dibutuhkan sebanyak 4.615 kg ikan patin per minggu. Pengiriman bahan baku ini diantar langsung menuju pabrik secara rutin oleh penyalur setiap harinya dengan jumlah rata-rata 923 kg.

6. Pemilihan Mesin dan Peralatan

(44)
[image:44.612.110.523.94.530.2]

Tabel 4. Kebutuhan Alat Berdasarkan proses/diagram alir.

Proses Peralatan Spesifikasi Jumlah

Bahan Baku -Timbangan gantung - Kapasitas 100 kg 1 -Gentong Timbang - Kapasitas 50 l 1 Pencucian -Bak Segi Empat - Ukuran 70 cm x 60 cm

x 50 cm

2

Penyiangan/Pencucian Darah

- Pisau - Pisau Daging 5

- Meja pengolahan - Terbuat dari ubin, ukuran 3 m x 1 m x 0.75 m

2

-Bak/Ember penampung limbah

- Kapasitas 50 kg 2

- Baki penampung daging - Ukuran 0.75 m x 0.5 m x 0.5 m

2

- Baki dorong - Kapasitas 100 kg 2

Pemisahan Kulit dan daging

- Meja pengolahan - Stainless steel, 3 m x 1 m x 0.75 m

2

- Pisau - Pisau Daging 5 Penimbangan -Timbangan digital - Kapasitas 50 kg 1

Packing -Wadah pre-Cooling - Ukuran t = 0.75 m; d = 1.5 m

1

Pembekuan/penyimpanan - Freezer - ukuran 1.5 m x 0.75 m x 0.6 m

15

7. Kebutuhan Ruangan

(45)

a. Ruangan Produksi

Penentuan kebutuhan ruangan yang akan digunakan mengacu pada dasar perhitungan sebagai berikut :

ƒ Kebutuhan luas ruangan mesin adalah maksimum panjang mesin/alat dikalikan maksimum lebarnya.

ƒ Kebutuhan luas ruangan untuk operator adalah maksimum panjang peralatan dikalikan satu meter.

ƒ Kebutuhan luas ruangan untuk bahan disesuaikan dengan bentuk wadah/bahannya.

ƒ Kelonggaran yang dipakai adalah 150%, kelonggaran ini dipergunakan untuk jarak antar peralatan serta lorong untuk pergerakan orang dan barang. (Apple,1990).

[image:45.612.127.540.376.514.2]

Kebutuhan luas ruangan untuk proses produksi fillet patin dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kebutuhan luas ruangan di industri pengolahan fillet patin

Lokasi Luas (m²)

Peralatan Operator Sub Total

Kelonggaran٭

Penimbangan 0.44 0.75 1.19 1.785

Pencucian dan Penyiangan 6.43 3 9.43 14.145 Skinning/Boning &

Pencucian

4.5 3 7.5 11.25

Penimbangan 0.25 1 1.25 1.875

Packing 1.77 3 4.77 7.155

Total 36.21

٭)kelonggaran = Sub Total x 150%

b. Ruangan Non-Produksi

(46)
[image:46.612.150.508.98.489.2]

Tabel 6. Kebutuhan luas ruangan non-produksi industri pengolahan fillet patin. Ruangan Luas

(m²)

Jumlah

(Unit)

Total

(m²)

R. Direktur 9 1 9

R. Ka.Bag 9 1 9

R.Staff 9 1 9

R. Tamu 9 1 9

Kamar Kecil 6 1 6

Musholla 6 1 6

Dapur 6 1 6

Gudang Genset 2 1 2

Kolam Penyimpanan 200 3 600

Tempat Pembekuan 55.5 1 55.5

Pos Keamanan 6 1 6

Lahan Parkir 70 1 70

Total 787.5

8. Perencanaan Tata Letak

Perencanaan tata-letak industri pengolahan industri pengolahan fillet patin ini menggunakan derajat keterkaitan aktivitas menurut Apple (1990), yang terdiri dari ruangan produksi dan ruangan non-produksi.

C. ANALISA MANAJEMEN OPERASIONAL

1. Struktur Organisasi

(47)

organisasi industri fillet patin yang akan dikerjakan dapat dilihat pada Gambar 10.

Deskripsi tugas dari masing-masing personel jabatan adalah sebagai berikut :

1.1.Direktur.

Direktur adalah pimpinan utama dari pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Seorang direktur mempunyai tanggung jawab sebagai pengambil keputusan dalam pencapaian tujuan perusahaan. Selain bertanggung jawab terhadap semua pelaksanaan kegiatan produksi, direktur juga bertindak sebagai perwakilan perusahaan untuk kegiatan di luar perusahaan yang berhubungan dengan pejabat pemerintahan setempat, lingkungan setempat maupun dengan perusahaan lain.

1.2.Kepala Bagian Produksi

Kepala bagian produksi bertanggung jawab langsung dalam segala teknis teknologis proses produksi, juga melakukan pengawasan terhadap jumlah dan mutu bahan baku yang diterima perusahaan. Berikut ini adalah tugas dari kepala bagian produksi :

a. Menyusun perencanaan produksi.

b. Melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan proses produksi.

c. Membuat rencana-rencana produksi berupa rehabilitasi investasi terhadap alat maupun sarana pendukung lainnya.

d. Melakukan perencanaan dan pembelian bahan baku yang dibutuhkan untuk proses produksi.

e. Mengawasi jumlah dan mutu bahan baku yang diterima dari penyalur. f. Melakukan kontrol terhadap keadaan bahan baku yang ada di kolam

penampungan perusahaan.

g. Melakukan inventaris perusahaan penyalur yang bisa menyediakan bahan baku yang sesuai dengan standar mutu yang diinginkan perusahaan.

(48)

Tanggung jawab dari kepala bagian administrasi dan keuangan adalah mengatur dan mengawasi cash flow perusahaan. Tugas dari kepala bagian administrasi dan keuangan adalah sebagai berikut :

a. Menghitung biaya produksi pabrik setiap akhir tahun. b. Menghitung perkiraan rugi-laba perusahaan

c. Melakukan perkiraan setiap persediaan barang

d. Mengkoordinasikan pembiayaan antara bagian produksi dan bagian penjualan.

Kepala bagian administrasi dan keuangan akan dibantu oleh staff yang selain membantu tugas-tugas seperti di atas, juga bertugas dalam administrasi perusahaan seperti untuk menyediakan surat-surat yang dibutuhkan perusahaan, dokumentasi dan tugas lainnya.

1.4.Kepala Bidang Pemasaran

Kepala bidang pemasaran bertanggung jawab mengelola bidang pemasaran dari semua bentuk produk perusahaan. Tugas dan tanggung jawab kepala bidang pemasaran adalah sebagai berikut :

a. Menyusun rencana pemasaran produk.

b. Menetapkan ketentuan pelaksanaan di bidang saluran distribusi.

c. Mengelola administrasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang pemasaran.

2. Pelaporan

(49)

1.1.Laporan Harian.

Berisi mengenai kegiatan perusahaan pada hari yang bersangkutan. Laporan ini disusun oleh setiap level manajemen yang kemudian diserahkan kepada level manajemen diatasnya. Laporan harian berguna untuk mengevalusi kegiatan pada hari tersebut dan mengantisipasi setiap kesalahan yang mungkin timbul.

1.2.Laporan Bulanan.

Laporan harian yang telah disusun, kemudian direkapitulasi menjadi laporan bulanan. Laporan ini disusun oleh bagian administrasi dan akan menjadi bahan untuk laporan tahunan. Laporan bulanan juga dapat dievaluasi oleh perusahaan untuk menentukan strategi perusahaan di bulan-bulan berikutnya.

1.3.Laporan Tahunan.

Laporan tahunan disusun berdasarkan rekapitulasi laporan bulanan. Dari laporan tahunan dapat diketahui perkembangan perusahaan selama satu tahun dan pencapaian target perusahaan. Laporan tahunan dapat memberikan gambaran kepada direktur perusahaan apakah perusahaan telah berjalan sesuai target atau tidak, sehingga dapat menentukan strategi jangka panjang perusahaan.

3. Kualifikasi Tenaga Kerja

[image:49.612.144.502.597.697.2]

Kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan industri pengolahan fillet patin dapat dilihat pada Tabel 8. Mengingat sebagian besar tenaga kerja menggunakan tenaga manusia, maka jumlah tenaga kerja setiap harinya adalah 8 (delapan) jam, dengan jumlah hari kerja 5 (lima) hari dalam satu minggu.

Tabel 8. Kualifikasi dan Jumlah Tenaga Kerja yang Dibutuhkan

Jabatan Jumlah Kualifikasi

Direktur 1 Sarjana

Kepala Bagian 3 Sarjana dengan disiplin ilmu yang

sesuai

Staff/teknisi 3 SMU/SMEA/STM

Tenaga Pelaksana 18 SMP

(50)

D. ANALISA FINANSIAL

Industri pengolahan fillet patin ini direncanakan memiliki kapasitas produksi sebesar 144.000 kg per tahun. Dengan menggunakan margin keuntungan sebesar 35 %, maka harga jual produk ditetapkan sebesar Rp.19.300,- per kg (Lampiran 2). Margin sebesar 35% ditetapkan dengan mempertimbangkan harga jual produk sejenis yaitu produksi fillet ‘Patin Kita’ yaitu sebesar Rp. 22.000,-. Dengan margin 35% harga jual yang didapat masih lebih rendah dibandingkan produk fillet ‘Patin Kita’, sehingga diharapkan dapat menarik minat konsumen.

Panjangnya umur proyek ditetapkan selama 5 tahun, atau sama dengan umur ekonomis mesin dan peralatan. Asumsi yang digunakan dalam analisa finansial industri pengolahan fillet patin ini adalah :

a. Harga peralatan dan bahan baku yang digunakan dalam perhitungan adalah harga konstan pada tahun pertama, data yang digunakan adalah harga pada tahun 2004.

b. Kapasitas produksi pada tahun pertama adalah 60% dan pada tahun kedua adalah 75% dari total produksi yang direncanakan, setelah tahun ketiga produksi berjalan 100%. Strategi ini digunakan untuk mengantisipasi permintaan pasar yang masih kurang mengenal produk fillet patin, sehingga diharapkan pada tahun berikutnya pasar semakin mengenal produk ini dan akan memicu peningkatan permintaan.

c. Penyusutan dihitung dengan menggunakan metoda garis lurus, dengan nilai sisa untuk fasilitas dan peralatan sebesar 10% dari nilai awal.

d. Masa tenggang waktu pembayaran kredit investasi dan modal kerja adalah satu tahun setelah kredit diambil dengan cicilan yang besarnya sama setiap tahun, dengan masa pembayaran untuk kredit modal kerja selama dua tahun.

(51)

f. Faktor tingkat suku bunga didasarkan pada tingkat suku bunga fasilitas Kredit Mina Mandiri dari Bank Mandiri sebesar 19%.

g. Nilai tanah diasumsikan sama tiap tahunnya.

h. Biaya pemeliharaan untuk bangunan dan peralatan ditentukan sebesar 2% dari nilai investasi bangunan dan peralatan.

1. Biaya Investasi

Biaya investasi digunakan untuk keperluan pembelian tanah dan perijinannya, pembangunan gedung dan bangunan lainnya, penyediaan peralatan dan perlengkapan untuk proses produksi, alat transportasi, fasilitas kantor, serta biaya pra-operasi. Rincian lengkap dari biaya investasi industri pengolahan fillet patin ini dapat dilihat di Lampiran 4.

1.1. Pengadaan Lahan dan bangunan

Luas lahan yang dibutuhkan adalah 1000 m² dengan harga Rp. 300.000,- per meter perseginya. Diperlukan pula biaya perijinan

yang besarnya 5% dari biaya lahan, sehingga total biaya pengadaan lahan dan perijinannya adalah Rp. 315.000.000,-.

Bangunan yang diperlukan antara lain kolam penampungan seluas 600 m², dengan biaya pembangunan sebesar Rp. 150.000,- per meter persegi, bangunan pabrik, gudang, kantor, lahan parkir, pagar dan pos keamanan. Jumlah dana yang diperlukan untuk pembangunan pabrik dan bangunan lainnya adalah Rp150.200.000,-.

1.2. Pengadaan Mesin dan Peralatan serta Fasilitas Kantor

Data harga mesin dan peralatan diperoleh dari beberapa tempat penjualan mesin dan peralatan. Biaya penyediaan mesin dan peralatan untuk industri fillet patin ini sebesar Rp. 45.205.000, sedangkan biaya pengadaan fasilitas kantor sebesar Rp. 58.500.000,-.

1.3. Biaya Pra-Operasional.

(52)

10% dari total biaya investasi, dalam industri fillet patin ini maka besarnya biaya pra-operasional adalah Rp. 58.375.500,-.

2. Biaya Operasional

2.1. Biaya Tetap (Tahunan)

Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan pada setiap tahun dan besarnya tidak terkait langsung dengan jumlah produksi. Biaya tersebut antara lain biaya tenaga kerja tak langsung, pembayaran listrik dan air, telepon, dan biaya lainnya. Hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

2.2. Biaya Variabel (Tahunan)

Biaya variabel (biaya tidak tetap) adalah biaya yang dikeluarkan tiap tahun dan besarnya tergantung dari jumlah produksi. Biaya yang dimaksud adalah biaya pengadaan bahan baku dan input, serta biaya tenaga kerja langsung. Bahan baku yang digunakan hanyalah ikan patin tanpa penambahan zat lainnya, sedangkan jumlah tenaga kerja langsung untuk berproduksi pada kapasitas 100% adalah 18 orang. Jumlah biaya pengadaaan bahan baku dan input menjadi biaya yang paling besar dalam biaya operasional industri fillet patin ini. Hasil penghitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

3. Neraca Pembayaran Investasi

Investasi proyek dibiayai dari modal sendiri dan pinjaman Bank dengan DER (Debt Equity Ratio) 60 persen : 40 persen. Kredit investasi seluruhnya diterima pada tahun ke-0 proyek (masa konstruksi) dengan masa pinjaman selama 5 tahun.

Masa tenggang waktu pembayaran kredit investasi adalah satu tahun setelah kredit diambil, dengan cicilan pokok yang besarnya sama setiap tahun dan pembayaran bunga dilakukan setiap tahun selama 5 tahun. Pembayaran kredit investasi dapat dilihat pada Lampiran 9.

4. Analisa Finansial dan Sensitivitas

(53)

Net B/C ratio, dan BEP. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari analisa finansial kelayakan investasi yang membandingkan antara manfaat dengan biaya.

Analisa dilakukan pada tingkat suku bunga 19 persen. Tingkat suku bunga 19 persen adalah tingkat suku bunga investasi fasilitas Kredit Mina Mandiri (KMM) Bank Mandiri. Kredit Mina Mandiri (KMM) adalah program khusus yang dilakukan oleh bank Mandiri bekerja sama dengan departemen kelautan dan perikanan sebagai pembina teknis dalam membiayai sektor perikanan. Data pada Lampiran 11 memberikan Gambaran kelayakan investasi industri fillet patin melalui nilai NPV, Net B/C ratio, dan IRR.

Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value benefit dan present value biaya. Nilai NPV industri pengolahan fillet patin pada tingkat suku bunga pinjaman 19 (sembilan belas) persen adalah Rp, 219.008.659,99-. Nilai ini menunjukkan bahwa laba bersih (net benefit) yang diterima selama 5 tahun mendatang jika diukur dengan nilai sekarang, yaitu sebesar Rp. 219.008.659,99,-. Karena nilai NPV bernilai positif maka industri ini dinyatakan layak.

Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) merupakan nilai perbandingan anatar nilai NPV positif dengan nilai NPV yang negatif. Apabila nilai Net B/C >1, maka nilai NPV>0 , sehingga proyek layak untuk dilaksanakan. Nilai Net B/C industri fillet patin ini adalah 1,24 sehingga proyek dinyatakan layak.

Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu nilai suku bunga yang membuat nilai NPV proyek sama dengan nol, atau tingkat suku bunga yang menunjukkan jumlah NPV sama dengan jumlah keseluruhan ongkos investasi proyek. Nilai IRR industri fillet patin ini adalah 27,02 persen. Nilai ini lebih besar dari suku bunga yang berlaku, yaitu 19 persen, sehingga proyek dinyatakan layak.

Dengan kapasitas produksi yang direncanakan, BEP dari industri fillet patin ini adala

Gambar

Gambar 1. Gambar ikan patin (Pangasius hypophthalmus)
Tabel 1. Derajat hubungan antar aktivitas.
Gambar 1. Gambar ikan patin (Pangasius hypophthalmus)
Tabel 1. Derajat hubungan antar aktivitas.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan asam lemak yang terbentuk akan dipecah menjadi unit-unit kecil melalui proses yang dinamakan ß- oksidasi kemudian menghasilkan energi (ATP) di dalam mitokondria sel..

[r]

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) penulis membuat tugas akhir berupa skripsi berjudul “Total Eritrosit, Kadar Hemoglobin dan Nilai Hematokrit Babi

Data dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa jumlah anak pada PAUD Lestari berdasarkan jenis kelamin dari kelompok A jumlah laki-laki 12 orang dan perempuan14 orang,

Jika dalam 1 hari bakso goreng tersebut tidak habis terjual, langkah apa yang anda lakukan?. Jawab :

Adapun faktor ancaman tersebut meliputi jumlah pesaing, perkembangan fasilitas kesehatan yang dimiliki pesaing, Regulasi/aturan yang membatasi dokter untuk

Karakteristik hidrooseanografi di pesisir kabupaten Agam menggambarkan batimetri perairan pesisir dangkal sampai dalam, gelombang dan rentang pasang surut tinggi, arus

Hasil penelitian di perairan Muara Sungai Rokan Kecamatan Bangko dan Kecamatan Batu Hampar Kabupaten Rokan Hilir dapat menunjukkan tidak ada perbedaan yang