• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Community Participation in Mangrove Forest Management (Case Study in Muara Kintap Village Kintap District and Pagatan Besar Village Takisung District Tanah Laut Regency)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Community Participation in Mangrove Forest Management (Case Study in Muara Kintap Village Kintap District and Pagatan Besar Village Takisung District Tanah Laut Regency)"

Copied!
242
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)

KAJlAN PARTISIPAS1 MASYARAKAT

DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

(Studi Kasus Di Kec. Kintap clan Kec. Takisung Kab. Tanah Laut,

Propinsi Kalimantan Selatan)

OLEH:

MlLKA PRIMATIANTI

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(128)

ABSTRACT

MILKA PRIMATIANTI. The Community Participation in Mangrove Forest Management (Case Study in Muara Kintap Village Kintap District and Pagatan Besar Village Takisung District Tanah Laut Regency). Under the direction of DlETRlECH G. BENGEN, and M. SYAMSUL MAARIF

The objectives of this research are: (a) to know the level of community participation regarding mangrove forest management, (b) to explore the factors that affect the level of community participation (c) to make alternative strategy of mangrove forest management.

The field research was conducted from February 2002 -April 2002 on to research sites namely Muara Kintap and Pagatan Besar Village of The Tanah Laut District, South Kalimantan Province. Qualitative and quantitative methods were integrated in this research. In each village 50 peoples were deducted as respondents. Descriptive analysis, cross tabulation and discriminant factors also SWOT Analysis are employed in data analysis.

The result shown that, the performance of rehabilitation mangrove forest in Pagatan Besar is better than Muara Kintap Village because of the high participation level of Pagatan Besar community compare to Muara Kintap community. Voluentary involvement and high initiatives of the community since the early stage of the mangrove rehabilitation activities to implementation and evaluation phase, are the key factors for high participation.

(129)

SURATPERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:

KAJIAN PARTlSlPASl MASYARAKAT

DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

(Studi Kasus Di Kec. Kintap dan Kec. Takisung Kab. Tanah

Laut, Propinsi Kalimantan Selatan)

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 7 November 2002

1

4

(130)

KAJIAN PARTlSlPASl MASYARAKAT

DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

(Studi Kasus Di Kec. Kintap dan Kec. Takisung Kab. Tanah Laut,

Propinsi Kalimantan Selatan)

MlLKA PRIMATIANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk mempeoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan

PROGRAM PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(131)

Judul Tesis

:

Icajian Partisipasi Masyaralcat Dalam Pengelolaail Eltosistem

Mangrove (Studi I<asus Di I<ec. Kintap dan I<ec. Taltisung I<ab.

Tailah Laut, Propinsi I<alimai~tan

Selatan)

Nama

:

Millca Prinlatianti

NRP

:

99800

Prograim Studi

:

S~u~nber

Dapa Pesisir dan Lautail

Dr.%:.. Dietriech.

G. ~ e n g d n ,

DEA

Prof. Dr.Ir. M. Svainsul Maarif, M.Eng

Ketua

Anggota

2. Icetua Program Studi SPL

3. Direlctur Program Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Rolchmin Dahuri. MS

(132)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Februari 1977 dan

merupakan anak ke-2 (dua) dari

3 (tiga) bersaudara dari pasangan Nurdjojo

Kotot dan lteng Zubaidah.

Pendidikan formal Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Tingkat Atas,

penulis selesaikan di Jakarta, dan rnelanjutkan studi di Fakultas Teknologi

Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor di Bogor, hingga memperoleh gelar sarjana

pada tahun 1999.

Pada awal bulan Januari 2000, penulis melanjutkan pendidikan pada

Program Pascasaja lnstitut Pertanian Bogor, Program Studi Pengelolaan

Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas biaya sendiri.

(133)

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah S W , karena atas berkat rahmat, bimbingan dan petunjukNya, maka pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Penelitian ini berjudul "Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus di Desa Muara Kintap Kecamatan Kintap dan Desa Pagatan Besar Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut)". Penelitian tesis ini dibuat sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains dibidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) pada Program Pascasarjana IPB.

Berkenaan dengan tersusunnya penelitian dan tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M.Eng sebagai anggota komisi pembimbing atas kesediaannya selama ini yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan arahan serta saran dalam proses penyelesaian tesis ini. sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS selaku ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staf yang selalu rnengikuti perkernbangan studi penulis hingga penyelesaian akhir.

3. Seluruh staf pengajar Program Pasca Sarjana IPB, pada Program Studi Pascasarjana Pengelolaan Surnberdaya Pesisir dan Lautan, yang telah memberikan bekal ilmu dan menambah wawasan berpikir penulis.

4. Kepala Dinas Perikanan Propinsi Kalimatan Selatan beserta staf, yang telah banyak memberikan bantuan baik materil rnaupun moril dalam pelaksanaan penelitian.

5. Bapak Mochamad Arief Soendjoto, yang telah membantu penulis dalam proses penelitian.

(134)

Akhirnya, sernbah sujud dan terirna kasih yang tak terhingga, penulis sembahkan kepada kedua orang tua, serta saudara-saudara dan ternan-t&an tercinta yang senantiasa rnendoakan dan memberikan kasih sayang, serta dukungan selarna ini. Dan tidak lupa penulis juga mengucapka terirna kasih sebesar-besarnya kepada Adhy Hendrawan, A.P.U. Tarigan, Yorzi Haryowijoyo, Achrnad Riyadi, Markus Juli, Syofyan Hasan, Rusrnan Hadirn, Emal, Tiwi, Rini, Anto atas perhatian, kesetiaan, doa dan kesabaran yang diberikan selama ini.

Kiranya tesis ini dapat berrnanfaat di waktu yang akan datang, dan Sernoga Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pernurah selalu melirnpahkan Rahrnat-Nya kepada kita sernua, Arnin.

Bogor, November 2002

(135)

DAFTAR IS1

Halaman HALAMAN JUDUL

...

HALAMAN PENGESAHAN

...

RIWAYAT HlDUP

...

...

...

..

PRAKATA

.

..

.

. .

. . .

. . .

. .

.

.

.

.

.

. . .

. . . . .... . .... . .

....

. .

. . .

I DAFTAR TABEL

...

.

.

...

v DAFTAR GAMBAR

...

vi DAFTAR LAMPIRAN

...

vi I. PENDAHULUAN

... .

.

.

... ... ..

1

1

1

.I.

Latar Belakang

1.2.

Perurnusan Masalah

... .

.

... ... 3

. .

1.3.

Tujuan Penelltlan

... .

.

....

...

4

. .

1.4.

Manfaat Penelltlan

...

.

.

.

...

4

II. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1.

Hutan Mangrove

...

... 5

Definisi dan Jenis Fungsi dan Manfaat

Pengelolaan Hutan Mangrove Karakterisitik Masyarakat Pesisir

Partisipasi Masyarakat

...

Definisi Partisipasi

Jenis, Tipe dan Tahapan Partisipasi

(136)

Ill

.

KERANGKA PEMIKIRAN

. .

3.1 . Kerangka Pem~k~ran

...

...

3.2. Hipotesis

...

.

.

.

.

IV

.

METODOLOGI PENELlTlAN

...

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

...

. .

4.2. Metode Penelltian

...

...

4.3. Sampel dan Responden

4.4. Jenis Data yang Dikumpulkan

...

. .

4.5. lnstrumen Penelltian

...

.

.

...

4.6. Definisi Operasional

...

4.7. Pengolahan dan Analisa Data

...

V

.

DESKRlPSl DAERAH PENELlTlAN

...

VI

.

HASlL DAN PEMBAHASAN

...

6.1. Karakteristik Responden di Desa Muara Kintap dan Desa Pagatan Besar

...

...

6.2. Partisipasi Masyarakat di Desa Muara Kintap dan Desa

Pagatan Besar

...

.

.

...

. . .

...

... 6.3. Hasil Anallsls D~skrirninan

.

.

.

6.4. Faktor-faktor Karakteristik yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi

6.5. Arahan Strategi Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam

...

Pengelolaan Mangrove dengan Analisis SWOT

VII

.

KESIMPULAN DAN SARAN

...

7.1. Kesirnpulan ...
(137)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1

.

Contoh Korelasi Positif antara jumlah tangkapan udang

...

(per tahun) dengan luas hutan mangrove

Tabel 2

.

Matriks Data yang diolah dengan Analisis Faktor Diskriminan

...

Tabel 3 . Matriks Analisis SWOT

...

...

Tabel 4

.

Desa-desa di dalam Wilayah Kecamatan Kintap

..

..

...

Tabel 5

.

Data Luasan Mangrove di Kabupaten Tanah Laut

..

..

Tabel 6

.

Komposisi Penduduk Berdasarkan Golongan Usia Thn 2001

...

Tabel 7

.

Distribusi Penduduk Berdasarkan golongan Usian dan Jenis Kelamin Tabel 8

.

Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Thn 2001

...

Tabel 9 . Karakteristik Responden

...

Tabel 10

.

Distribusi Tingkat Partisipasi dan Pihak Yang Terlibat dalam

Kegiatan Rehabilitasi Mangrove

...

. .

Tabel 11

.

Anal~s~s Kelompok

...

Tabel 12

.

Kajian Variabel

...

Tabel 13

.

Identifikasi. Pembobotan. Rating dan Skor Tiap Unsur SWOT (Desa

...

Muara Kintap)

Tabel 14

.

Identifikasi, Pembobotan

.

Rating dan Skor Tiap Unsur SWOT (Desa Pagatan Besar)

...

Tabel 15

.

Matriks Hasil Analisis SWOT Desa Muara Kintap

...

Tabel 16 . Matriks Hasil Analisis SWOT Desa Pagatan Besar

...

Tabel 17 . Ranking Prioritas Arahan Kebijakan Pengelolaan Mangrove Desa

...

Muara Kintap

Tabel 18

.

Ranking Prioritas Arahan Kebijakan Pengelolaan Mangrove Desa ...

...

(138)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

...

Gambar 1

.

Diagram Kerangka Pemikiran Partisipasi Masyarakat 28

DAFTAR LAMPIRAN

(139)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pernbangunan dan pengelolaan wilayah pesisir rnernerlukan perencanaan yang terpadu antara berbagai bidanglsektor yang terkait. Keterpaduan ini perlu rnenjadi perhatian utarna karena akan dapat rnenghindari benturan dan konflik kepentingan. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang dilaksanakan selarna ini seringkali bersifat parsial dan sektoral serta direncanakan dari atas (top down), sehingga seringkali dan bahkan tidak rnencerrninkan keberpihakan atas kepentingan dan kebutuhan rnasyarakat lokal dan pada akhirnya akan rnematikan inisiatif rnasyarakat lokal. Pembangunan selarna ini lebih cenderung berpihak pada pernbangunan fisik dan pertumbuhan yang lebih diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi sumberdaya alarn di darat dan kurang rnernperhatikan pendayagunaan surnberdaya pesisir serta pemberdayaan rnasyarakat pesisir yang hidupnya tergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan surnberdaya pesisir dan kelautan.

Ekosistern hutan mangrove merniliki peranan dan fungsi yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan, terrnasuk kehidupan rnasyarakat. Secara langsung dan tidak langsung rnanfaat ini telah dirasakan oleh rnasyarakat, sebagai sumber lahan mencari ikan, udang dan kepiting dan ternpat budidaya perikanan, disamping rnerniliki fungsi fisik sebagai penahan abrasi dan intrusi air laut. Disarnping itu ekosistem mangrove rnerupakan salah satu surnberdaya wilayah pesisir yang kaya akan nutrisi bagi keberlanjutan kehidupan biota laut, serta berperan penting dalarn sistern rantai rnakanan di pesisir dan laut.

(140)

Pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove secara ideal seharusnya memperhatikan kebutuhan masyarakat, namun tidak mengganggu keberadaan sumberdaya tersebut. Hal yang paling mendasar untuk dilakukan adalah kegiatan yang menguntungkan bagi masyarakat umum, disamping pertimbangan ekologis dalam pemanfaatan hutan mangrove.

Dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove untuk kesejahteraan masyarakat yang sekaligus dapat rnenjaga kelestariannya perlu dikembangkan kegiatan sosial masyarakat umumnya, khususnya rnasyarakat pesisir yang langsung terkait dalam pemanfaatan hutan mangrove.

Propinsi Kalimantan Selatan merupakan daerah yang mempunyai potensi sumberdaya laut dengan garis pantai sepanjang 1.331,091 km, disamping memiliki bebeberapa pulau-pulau kecil. Potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut Kalimantan Selatan, belum banyak dikaji pemanfaatan dan pengelolaannya. Kajian yang ada cenderung bersifat parsial dan pragmentatif serta belum membentuk kegiatan holistik atau intergrated.

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut pada prinsipnya tidak lepas dari strategi pengelolaan lingkungan di daratan. Kepaduserasian kegiatan-kegiatan yang ada di darat dengan daerah pantai, dibutuhkan untuk rnengurangi benturan kepentingan dalarn ha1 pemanfaatan sumberdaya dan menanggulangi kerusakanlpencemaran laut yang bersumber dari darat. Alternatif arahan pengelolaan menjadi penting dan dibutuhkan dengan orientasi kelestarian fungsi lingkungan. Prioritas utarna dari pengelolaan pesisir di Kalimantan Selatan adalah yang berkaitan dengan degradasi lingkungan (hutan mangrove terrnasuk perairan muara). Kerusakan mangrove berasal dari dalam kawasan itu sendiri dan perairan muara dari luar sistem kawasan.

(141)

Pada tahun 1998 terjadi perambahan hutan mangrove untuk lahan tambak dalam kawasan hutan dengan fungsi cagar alam. Di Kabupaten Kotabaru pada tahun tersebut terjadi perambahan Pulau Swangi (50 ha), Pulau Burung (50 ha) dan Pulau Laut Utara (18 ha). Sedangkan di desa Sepungur lahan tambak seluas 17 ha dan Desa Sungai Lirnau seluas 300 ha, dirnana 150 ha diantaranya termasuk dalam cagar alarn. Pernbukaan ini disebabkan karena terjadinya perubahan lahan mangrove menjadi lahan usaha kegiatan lain seperti pertarnbakan, pelabuhan bongkar rnuat batubara, kawasan pengembangan industri dan pariwisata serta pemukiman (Draft Design dan Layout Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Kalimantan Selatan 2000).

Kondisi ini rnerupakan salah satu dorongan bagi Pernerintah Propinsi untuk lebih meningkatkan penanganan dalam pemanfaatan wilayah pesisir utamanya hutan mangrove dengan aturan perundang-undangan yang telah ditetapkan, peningkatan koordinasi antara program sektor lainnya dan mensosialisasikan program sampai ke tingkat desa serta penanarnanl rehabilitasi hutan mangrove yang telah rusak. Untuk itu ha1 yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan partisipasi rnasyarakat agar terlibat secara aktif dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, serta memperoleh manfat dari keterlibatan tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

" Penurunan luas hutan mangrove pada umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia. Penurunan ini akan menyebabkan berkurangnya atau menghilangnya fungsi dan manfaat mangrove bagi rnasyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk mengembalikan mangrove yang hilanglrusak diperlukan upaya pengelolaan mangrove yang diantaranya adalah melalui rehabilitasi mangrove.

(142)

a. Bagaimana kondisi ekosistem mangrove di kawasan Kecamatan Kintap dan Kecamatan Takisung.

b. Bagaimana peran serta pemerintah, masyarakat setempat serta LSM di dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Kintap dan Kecamatan Takisung

c. Bagaimana hubungan faktor-faktor karakteristik masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dalam mendukung program pemerintah propinsi dalam merehabilitasi hutan mangrove.

2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam rangka mendukung kelestarian hutan mangrove.

3. Merumuskan arahan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove yang berbasis masyarakat.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Untuk menggerakkan masyarakat turut berpartisipasi dalam menjaga

kelestarian hutan mangrove.

2. Agar masyarakat tahu arti pentingnya menjaga kelestarian lingkungan khususnya hutan mangrove.

3. Terdapat persamaan persepsi antara semua pihak yang berkepentingan terhadap kelestarian hutan mangrove sebagai suatu ekosistem pesisir. 4. Memberikan arahan kebijakan bagi Pemerintah Daerah setempat dalam

(143)

il.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Mangrove 2.1.1. Definisi dan Jenis

Beberapa ahli mendefinisikan istilah "mangrove" secara berbeda-beda, namun pada dasarnya rnerujuk pada ha1 yang sama. Mangrove didefinisikan baik sebagai tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas (Tomlinson 1986 dan Wightman 1989). Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung (Saenger 1983).

Sementara itu hutan mangrove didefinisikan sebagai komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2001). Soerinegara (1987) dengan singkat mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan ditumbuhi oleh jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excocaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.

Hutan mangrove seringkali pula disebut hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau. Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu jenis Rhizophora spp. Oleh karena itu, hutan mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest (Bengen 1998).

(144)

Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan hanya pada habitat mangrove (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove ikutan (mangrove asociate) (Noor 1999). Vegetasi mangrove terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilifas, Snaeda dan Conocarpus, yang termasuk kedalam delapan famili (Bengen 2001).

2.1.2. Fungsi dan Manfaat

Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam tropika yang memiliki fungsi dan manfaat yang luas ditinjau dari aspek ekologis dan ekonomi. Fungsi ekologis mangrove dapat dilihat dari aspek fisik, kimia dan biologi (Bengen 1998). Fungsi fisik hutan mangrove adalah sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen. Mangrove terbukti memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai. Fungsi perlindungan pantai dilakukan melalui sistem perakaran mangrove yang rapat dan terpancang sebagai jangkar dapat meredam gelombang laut dan mengurangi kecepatan arus sehingga pantai terhindar dari abrasi (Khazali 2001). Sistem perakaran mangrove juga efektif dalam rnenangkap dan rnengendapkan partikel-partikel tanah yang berasal dari erosi di hulu, sehingga lama-kelamaan akan terjadi penambahan lahan baru ke arah laut. Sebagai contoh, di daerah Musi E3anyuasin Sumatera Selatan ditemui garis pantai rnaju sekitar 20mltahun (Chambers 1977).

(145)

yang telah menjadikan rantai makanan yang sangat komplek, sehingga terjadi pengalihan energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ketingkat tropik yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan yang memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya. Daun mangrove yang gugur diuraikan menjadi partikel-partikel detritus dan menjadi sumber makanan bagi berbagai macam hewan laut.

Fungsi biologis hutan mangrove adalah sebagai sumber kesuburan perairan, tempat perkembang biakan dan pengasuhan berbagai biota laut, tempat bersarangnya burung-burung (khususnya burung air), habitat berbagai satwa liar dan sumber keanekaragaman hayati (Khazali 2001). Kontribusi yang paling penting dari hutan mangrove dalam kaitannya dengan ekosistem pantai adalah serasah daunnya. Diperkirakan hutan mangrove mampu menghasilkan bahan organik dari serasah daun sebanyak 7-8 tonlhaltahun. Tingginya produktivitas ini disebabkan karena hanya 7% dari dedaunan yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh hewan di dalamnya, sedangkan sisanya oleh makroorganisme (terutama kepiting) dan mikroorganisme pengurai diubah sebagai detritus atau bahan organik mati dan memasuki sistem energi (Chambers 1977).

Lingkungan perairan mangrove yang relatif ombaknya akibat sistem perakaran yang efektif dalam meredam gelombang laut, mernudahkan terjadinya pembuahan telur ikan yang berlangsung di luar tubuh induknya. Sistern perakaran mangrove rnenahan telur ikan yang telah dibuahi hanyut kelautan. memberi perlindungan dari serangan predator serta mendapat makanan yang cukup dari perairan yang subur.

(146)

predator. Bagi berbagai jenis burung migran (khususnya Charadriidae dan Scolopacidae) akar mangrove merupakan tempat istirahat yang baik selama air pasang dalam musim pengembaraannya (Noor 1995). Hutan mangrove juga merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis burung yang langka atau terancam kepunahannya seperti wilwo (Mycteria cinerea) yang dianggap sebagai jenis bangau yang paling terancam di seluruh dunia (Verheught

dalam

Noor

1995).

Ekosistem mangrove menyediakan makanan, tempat berlindung dan berkembang biak bagi satwa liar, bahkan beberapa diantaranya termasuk ke dalam jenis yang endemik atau keberadaannya telah langka seperti harimau sumatra (Pantera tigris sumatranensis), bekantan (Nasalis larvatus), serta beberapa jenis berang-berang (Otters). Dari kelompok mamalia air, dua jenis lumba-lumba juga ditemukan di daerah muara sekitar hutan mangrove yaitu brevirostris dan Sousa chinensis. Mamalia udara yang sering ditemukin adalah Pteropus Vampirus. Buaya muara (Crocodylus porosus) banyak dilaporkan hidup di daerah muara sekitar hutan mangrove (Noor 1995). ,

Keanekaragaman hayati hutan mangrove lndonesia merupakan yang terkaya dibandingkan keanekaragaman hayati mangrove di tempat lainnya. Sebanyak 202 spesies tanaman tercatat di vegetasi mangrove lndonesia terdiri dari 89 pohon, 5 palms, 11 pemanjat, 44 herba, 44 epiphytes dan 1 paku-pakuan. Dari 202 spesies ini, 47 spesies hanya terdapat di mangrove sebagai jenis pohon dan tumbuhan bawah 31 jenis. Sebanyak 14 spesies diantaranya masuk dalam red data book dengan status rare (Noor 1999).

(147)

dan Frey 1984). Saat ini akar bakau bahkan mulai dikembangkan untuk bahan mebel.

Produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah perikanan pesisir. Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumar 1992). Seperti beberapa jenis udang penaeid di lndonesia sangat tergantung pada ekosistem mangrove (Unar

dalam

Djamali 1991). Ada juga yang mengemukakan adanya hubungan tinier positif antara luas hutan mangrove dengan produksi udang, dimana makin luas hutan mangrove makin tinggi produksi udangnya dan sebaliknya (Martosubroto dan Naamin

dalam

Djamali 1991). Hal ini didukung oleh berbagai penelitian di negara-negara lain (Tabel 1).

Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di lndonesia ha1 ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti perairan di sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan lrian Jaya yang kesernuanya rnasih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan (Soewito 1984). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagansiapi-api, dimana sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di lndonesia dan bahkan sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya

.

Tabel I. Contoh korelasi positif antara jumlah tangkapan udang (per tahun)

Hampir 80% dari seluruh jenis ikan taut yang dikonsumsi manusia dijumpai di ekosistem mangrove (Saenger 1983). Selain itu, hasil hutan mangrove hayati yang mempunyai nilai ekonomis meliputi: bahan bakar (3 jenis); tekstil dan kulit (4 jenis); pulplkertas (1 jenis); bahan bangunan (13 jenis);

dengan luas hutan mangrove

(w

Nirarita 1996). Lokasi Australia Malaysia Teluk Meksiko Filipina Koefisien Korelasi (n)

0.76 (6) 0.74 (7) 0.975 (1 5)

0.62 (6) Hasil TangkapanLuas

(ton) 0.2

-

15

0 - 2 5 10

-

10.000

0.2

-

5

Sumber Staples et al 1985 Jothy 1984

Boesch & Turner 1984 Pauly & lngles 1986 Mangrove

(ha) 0.1

-

0.8

0

-

50 1

-

1.000
(148)

makanan, minuman dan obat-obatan (8 jenis); penangkap dan pengolahan ikan (7 jenis); bahan rumah tangga (14 jenis); bahan pertanian (1 jenis).

2.1.3. Pengelolaan Hutan Mangrove

Pengelolaan sumberdaya alam adalah upaya manusia dalam mengubah ekosistem sumberdaya alam agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi (Soerianegara 1987).

Pengelolaan hutan termasuk didalamnya hutan mangrove adalah penerapan teknologi kehutanan secara teratur dalam kegiatan pengusahaan suatu kawasan hutan. Dalam kegiatan pengelolaan hutan tercakup konsep kelestarian hasil (sustained

yield)

yaitu pengelolaan hutan untuk mendapatkan produksi secara terus menerus dalam waktu yang relatif singkat dengan tujuan untuk mencapai suatu keadaan seimbang antara pertumbuhannya dengan hasil yang dipanen setiap tahun atau jangka waktu tertentu.

Tujuan pengelolaan hutan adalah mencapai manfaat yang sebesar- besarnya dari hutan secara serbaguna (Kenneth 1979). Pada dasarnya pengelolaan hutan merupakan penerapan cara-cara pengurusan dan pengusahaan hutan serta teknik kehutanan dalam usaha pemanfaatan sumberdaya alam hutan tersebut. Tujuan utarna pengelolaan hutan, termasuk hutan mangrove adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utarna pengelolaan hutan (Davis 1960).

Pengelolaan hutan mangrove harus berdasarkan filosofi konsewasi, sebagai langkah awal mencegah semakin rusaknya ekosistem mangrove yang ada (Hutchings dan Saenger 1987).

(149)

Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan demikian tidak boleh mengucilkan masyarakat setempat, namun seharusnya membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosio ekonomi diwujudkan dalarn bentuk pengelolaan bersifat multi guna (Aksornkoae 1989). Pengelolaan multi guna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek (Dahuri 1996). Pengelolaan multi guna juga akan membawakan jangkauan kegiatan yang beragam sehingga membukakan pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove.

Pelestarian hutan mangrove merupakan suatu usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar kawasan (Bengen 2001). Pada dasarnya kegiatan pelestarian mangrove dilakukan demi mernenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan pada institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, dalam ha1 ini masyarakat, diberikan porsi yang lebih besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan rnasyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian hutan mangrove. Dengan demikian, persepsi masyarakat tentang keberadaan hutan mangrove perlu untuk diarahkan kepada cara pandang akan pentingnya sumberdaya hutan mangrove.

(150)

Konsep perlindungan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk menjadi kawasan hutan konservasi, dan sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil, diantaranya seperti di Pulau Rambut dan Pulau Dua (Jawa Barat) yang telah ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka margasatwa, yaitu kawasan habitat burung. Konsep rehabilitasi mangrove merupakan suatu kegiatan penghuauan terhadap hutan-hutan yang lebih gundul, yang mana dalam ha1 ini bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah mampu mengembalikan fungsi ekologis kawasan tersebut.

2.2. Karakteristik Masyarakat Pesisir

Pemahaman akan karakteristik sasaran adalah penting untuk menyusun sebuah strategi. Dengan memahami karakteristik tersebut segala aspek yang berhubungan dengan kondisi sasaran, terutama yang berkaitan dengan kemampuan intelektual, kepribadian, sikap dan sebagainya dapat diketahui dengan baik.

Masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi 2 kelompok menurut jenis kegiatan utamanya, yaitu: nelayan penangkap ikan dan nelayan aquakulturlpetambak. Nelayan penangkap ikan adalah seseorang yang pekerjaan utamanya di sektor perikanan laut dan mengandalkan ketersediaan sumberdaya ikan di alam bebas. Sedangkan petarnbak adalah nelayan yang kegiatan utamanya membudidayakan ikan atau sumberdaya laut lainnya yang berbasis pada daratan dan perairan dangkal di wilayah pantai.

(151)

juga sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan ikan (fishing ground). Di daerah yang padat penduduknya, seperti pantai Utara Jawa, sudah terjadi kelebihan tangkap (overfishing) yang berakibat pada kecilnya volume hasil tangkapan yang pada akhirnya mernpengaruhi pendapatan. Dalam menangkap ikan tidak jarang nelayan harus berpisah dari keluarga berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Hal ini menyebabkan pulangnya mereka ke rumah sering dipergunakan sebagai kesempatan untuk beristirahat daripada berproduksi.

Masyarakat petarnbak merniliki aksesbilitas terhadap sumberdaya alam relatif lebih baik dibanding nelayan. Ketergantungan mereka tidak terbatas pada sektor kegiatan yang berbasis pada laut tetapi juga pada daratan. Keadaan tersebut rnemberikan alternatif yang lebih banyak bagi pengembangan ekonorni mereka. Petambak memiliki akses pada lahan yang dapat mereka manfaatkan untuk surnber penghasilan. Kondisi ini akan lebih diperkaya bila daerah sepanjang pantai berupa kawasan hutan mangrove. Selain dapat menjadi habitat ikan, hutan mangrove tersebut merupakan wilayah yang mengandung kekayaan yang bermanfaat bagi petambak. Petambak juga mempunyai peluang untuk meningkatkan perekonomian rnereka secara lebih sistematis karena dapat mengembangkan basis produksi yang lebih relatif stabil, dimana masa panen dapat lebih diatur tergantung dari permintaan pasar. Di sisi lain, petambak mempunyai kesempatan lebih luas untuk bersosialisasi dengan keluarga dan tetangganya seperti masyarakat lain yang berorientasi kepada kehidupan darat.

Masyarakat pesisir merniliki karakteristik tertentu yang khas atau unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha dibidang perikanan yang rnerupakan mata pencaharian utama. Karena usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, musim, dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Bappedal 1996).

a. Ketergantungan pada kondisi lingkungan.

(152)

terhadap kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, karena dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir. b. Ketergantungan pada musim.

Ketergantungan terhadap rnusim merupakan karakteristik yang menonjol di masyarakat pesisir, terutama bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Kondisi ini mempunyai implikasi besar terhadap kondisi sosial ekonomi rnasyarakat pesisir secara umum dan kaum nelayan khususnya.

c. Ketergantungan pada pasar.

Berbeda dari petani padi, para nelayan dan petambak sangat tergantung pada keadaan pasar. Hal ini disebabkan komoditas yang mereka hasilkan harus segera dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi keperluan hidup. Jika petani padi yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual produknya atau hanya menjual sedikit saja, maka nelayan dan petambak harus menjual sebagian besar hasilnya dan bersifat segera agar tidak membusuk. Kondisi ini menyebabkan nelayan dan petambak sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat mempengaruhi kondisi sosial ekonorni mereka.

(153)

Stratifikasi sosial yang sangat rnenonjol pada masyarakat nelayan dan petarnbak adalah stratifikasi yang berdasarkan penguasaan alat produksi. Pada masyarakat nelayan, umurnnya terdapat 3 strata kelompok, yaitu:

a. Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang rnemiliki kapal motor lengkap dengan alat tangkapnya. Biasanya dikenal sebagai nelayan besar atau modern, tidak ikut rnelaut dan operasi penangkapan diserahkan kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup banyak, bisa sarnpai dua atau tigapuluhan.

b. Strata kedua adalah rnereka yang merniliki perahu dengan motor tempel. Biasanya pernilik ikut rnelaut rnernimpin kegiatan penangkapan. Buruh yang ikut rnungkin ada tapi terbatas dan seringkali merupakan anggota keluarga saja.

c. Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga rnerangkap rnenjadi buruh, tetapi banyak juga buruh yang tidak memiliki sarana produksi apa-apa, hanya tenaga mereka sendiri.

Dalarn masyarakat petambak juga terdapat 3 strata sosial yang dorninan, yaitu:

a. Strata adalah rnereka yang rnenguasai tarnbak yang luas.

b. Strata rnenengah adalah rnereka yang rnerniliki luas tarnbak sedanglkecil. c. Strata paling bawah adalah para pengelolalburuh.

Seringkali nelayan besar juga merangkap sebagai pedagang pengumpul. Namun biasanya ada pedagang pengurnpul yang bukan nelayan sehingga pedagang ini rnerupakan strata sendiri.

2.3. Partisipasi Masyarakat

2.3.1. Definisi Partisipasi

Kata partisipasi merupakan suatu istilah yang banyak digunakan dalarn pernbangunan rnasyarakat. Secara umurn kata partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan dalam suatu kegiatan. Sebagai suatu istilah, partisipasi merniliki berbagai pengertian dan batasan.

(154)
(155)

organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan khusus; berbagi manfaat dari program pembangunan danlatau keterlibatan dalam evaluasi program (Cohen dan Uphoff 1977). Disebutkan secara umum keempat macam keterlibatan ini mengarah kepada apa yang dimaksud dengan partisipasi dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Ada juga yang mengemukakan bahwa partisipasi lebih dari sekedar ikut melaksanakan program yang telah direncanakan, tetapi juga dalam merencanakan dan memutuskan alokasi sumberdaya dan keuntungannya.

Dari pengertian partisipasi masyarakat yang telah dikemukakan diatas, tampak bahwa definisi mana yang dipakai akan sangat menentukan keberhasilan upaya pengembangan partisipasi masyarakat. Dari sudut pandang sosiologis, partisipasi yang diberikan hanya sebatas dukungan masyarakat terhadap program pembangunan yang sudah dirancang dan ditetapkan tujuannya sebelumnya bukan merupakan parisipasi masyarakat, melainkan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan (Soetrisno 1995). Mobilisasi masyarakat dalam pembangunan hanya dapat mengatasi permasalahan pembangunan dalam jangka pendek. Dengan demikian pengertian partisipasi yang diharapkan dalam pembangunan masyarakat adalah keterlibatanlkeikutsertaan masyarakat secara aktif baik secara moril maupun materil dalam program pembangunan untuk mencapai tujuan bersama yang didalamnya menyangkut kepentingan individu.

2.3.2. Jenis, Tipe dan Tahapan Partisipasi

(156)

Partisipasi dibedakan menjadi tiga jenis, yatu: (1) voluntary participation (partisipasi sukarela), (2) induced participation (partisipasi dengan dorongan), dan (3) forced participation (partisipasi dengan tekanan) (In Young Wang 1981). Voluntary participation adalah partisipasi yang berasal dari inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri. Induced participation adalah partisipasi masyarakat setelah rnereka memperoleh arahan dari pihak lain. Sedangkan forced participation adalah partisipasi rnasyarakat yang dilakukan karena ada paksaan pihak lain.

Partisipasi masyarakat dalarn pernbangunan dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu: (1) ikut rnernberikan masukan dalam proses pembangunan, rnenerirna irnbalan atas rnasukan tersebut dan rnenikrnati hasil pembangunan, (2) ikut mernberi masukan dan ikut menikrnati hasil pernbangunan, (3) ikut rnemberi rnasukan dan rnenerirna irnbalan tanpa ikut menikrnati hasil pernbangunan, ( 4 ) rnenikrnati hasil pernbangunan tanpa rnernberi rnasukan, dan (5) rnernberi rnasukan tanpa rnenerirna irnbalan dan tidak ikut rnenikrnati hasil pernbangunan (Rahirn.1975).

Tipe partisipasi rnasyarakat dikelompokkan menjadi tujuh jenis (Pretty

dalam

IlRR 1998), yaitu:

1. Partisipasi pasif

Partisipasi rnasyarakat dengan diberitahu tentang hal-ha1 yang sudah jadi. Hal ini rnerupakan tindakan sepihak dari administratur atau manajer proyek tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat. Sumber informasi yang dihargai hanya pendapat para profesional.

2. Partisipasi dalarn pemberian inforrnasi

Partisipasi rnasyarakat dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dengan rnenggunakan kuesioner survey atau pendekatan yang serupa. Masyarakat tidak rnemiliki kesempatan untuk rnempengaruhi cara kerja karena ternuan-temuan para peneliti tidak dibagi atau tidak diperiksa ketepatannya.

3. Partisipasi konsultatif

(157)

proses pengarnbilan keputusan, dan pihak luar itu pada dasarnya tidak berkornpeten untuk rnewakili pandangan masyarakat.

4. Partisipasi dengan imbalan material

Partisipasi rnasyarakat dengan cara rnernberikan kontribusi surnberdaya yang dirnilikinya, rnisalnya sebagai tenaga kerja, untuk rnemperoleh irnbalan rnakan, uang tunai maupun irnbalan material lainnya. Masyarakat boleh jadi menyediakan lahan dan tenaga kerjanya, narnun tidak terlibat dalarn proses eksperirnentasi dan proses pembelajaran. Proses inilah yang selama ini lazirn disebut sebagai partisipasi. Dalarn konteks seperti itu, masyarakat tidak merniliki pijakan untuk rnelanjutkan kegiatannya tak kala irnbalan dihentikan.

5. Partisipasi fungsional

Partisipasi rnasyarakat dengan rnernbentuk kelornpok untuk rnencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelurnnya. Keterlibatan masyarakat biasanya tidak hanya pada tahap awal proyek atau perencanaan; tetapi juga setelah keputusan pokok telah dibuat pihak luar. Kelornpok rnasyarakat cenderung rnenjadi tergantung terhadap pernrakarsa dan fasilitator luar, tetapi juga untuk menjadi rnandiri.

6. Partisipasi interaktif

Partisipasi masyarakat dalarn tahapan analisis, pengembangan perencana kegiatan dan dalarn pernbentukan dan pernberdayaan institusi lokal. Partisipasi dipandang sebagai hak, dan bukan sekedar sebagai cara untuk rnencapai tujuan proyek. Proses tersebut melibatkan rnetodologi yang rnultidisiplin yang rnernbutuhkan perspektif yang rnajernuk serta rnernbutuhkan proses pembelajaran yang sisternatik dan terstruktur. Sebagai kelornpok, rnasyarakat mernegang kendali sepenuhnya atas keputusan-keputusan lokal, sehingga rnasyarakat rnerniliki kewenangan yang jelas untuk rnernelihara struktur dan kegiatannya.

7. Mobilisasi swakarsa

(158)

Sedangkan ada pula yang rnengatakan bahwa partisipasi terdiri dari 8 tipe partisipasi rnasyarakat atau yang lebih dikenal dengan delapan tangga partisipasi rnasyarakat (Arnstein

dalam

AIiadi 1994), yaitu: (1) rnanipulasi, (2) terapi, (3) rnenyarnpaikan inforrnasi, (4) konsultasi, (5) peredarnan, (6) kernitraan, (7) pendelegasian kekuasaan, dan (8) pengawasan rnasyarakat. Tipe partisipasi rnanipulasi dan terapi sebagai non partisipasi. Selanjutnya tipe partisipasi rnenyampaikan informasi, konsultasi dan peredarnan dikategorikan sebagai tingkat partisipasi 'tokenisme', yaitu suatu tingkat partisipasi dirnana rnasyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi rnereka tidak rnerniliki kernarnpuan untuk rnendapatkan jarninan bahwa pandangan mereka akan dipertirnbangkan oleh pernegang keputusan. Jika partisipasi dibatasi ditingkat ini, rnaka kecil kernungkinannya ada upaya perubahan dalarn rnasyarakat rnenuju keadaan yang lebih baik. Sedangkan tipe partisipasi kemitraan, pendelegasian kekuasaan, pengawasan rnasyarakat dikategorikan sebagai tingkat partisipasi otoritas rnasyarakat. Partisipasi rnasyarakat dalarn tingkatan ini rnerniliki pengaruh dalam proses pengarnbilan keputusan dengan rnenjalankan kernitraan dengan rnerniliki kernampuan tawar rnenawar bersarna- sarna pengarnbil keputusan. Bahkan lebih jauh rnasyarakat (non elite) rnerniliki rnayoritas suara dalarn proses pengarnbilan keputusan bahkan sangat rnungkin rnerniliki kewenangan penuh rnengelola suatu obyek kebijaksanaan tertentu.

Jika kita melihat partisipasi berdasarkan tahapannya, maka partisipasi rnasyarakat dapat dibagi dalarn 4 tahapan (Cohen dan Uphoff 1977), yaitu: (1) partisipasi dalarn pernbuatan keputusan, (2) partisipasi dalarn pelaksanaan, (3) partisipasi dalarn rnanfaat, dan (4) partisipasi dalarn evaluasi.

(159)

yang dipartisipasikan, (3) pelaksanaannya langsung atau tidak langsung, dan (4) semangat untuk berpartisipasi. Partisipasi dalarn memanfaatkan hasil pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam rnenggunakan hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan. Pernerataan kesejahteraan dan fasilitas yang ada dirnasyarakat, dan ikut rnenikmati atau menggunakan sarana hasil pembangunan (jalan, jernbatan, air minurn, dan lain-lain). Partisipasi dalam rnengevaluasi pembangunan adalah partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaannya menilai serta mengawasi kegiatan pembangunan dan memelihara hasil-hasil pembangunan yang dicapai.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat dibedakan menjadi tiga tahapan (Sustiwi 1986), yaitu: (1) tahap perencanaan, biasanya diwakili oleh tokoh masyarakat atau wakil yang duduk di pemerintahan desa, (2) tahap pelaksanaan, masyarakat ikut berpartisipasi dalarn pelaksanaan program, baik secara fisik maupun non fisik, dan (3) tahap pemanfaatan program, masyarakat ikut berpartisipasi dalam menikmati dan mernanfaatkan hasil-hasil pembangunan yang dicapai. Ada juga pernyataan lain yang mernbedakan partisipasi ke dalam tiga tahapan (Tjokroamidjojo 1977), yaitu: (1) keterlibatan dalarn proses penentuan arah, strategi dan kebijakan dalam perencanaan, (2) keterlibatan dalam rnemikul beban dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan (3) keterlibatan dalam rnernetik hasil dan rnanfaat pembangunan.

Dari uraian jenis dan tipe partisipasi, maka dapat dikatakan bahwa tipe partisipasi masyarakat yang diharapkan muncul dalam suatu program pembangunan atau proyek adalah partisipasi interaktif dan rnobilisasi swakarsa atau partisipasi dalam bentuk kernitraan, pendelegasian kekuasaan dan pengawasan masyarakat. Sedangkan tahapan partisipasi rnasyarakat dalam pernbangunan diharapkan dapat terlibat dalarn semua tahapan program, dirnulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pernanfaatan hasil kegiatan pembangunan. Dalam ha1 ini dapat dikatakan bahwa jika masyarakat sejak awal dilibatkan secara penuh dalarn suatu kegiatan, rnaka dengan sendirinya akan tirnbul rasa merniliki dan tanggung jawab moral terhadap keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan. ...

..-

..,
(160)

2.3.3. Pengembangan Partisipasi Masyarakat

Mengharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam mewujudkan kemandirian rnengandung konsekuensi bahwa suatu kegiatan (dalam bidang kesehatan) sebaiknya janganlah merupakan bentuk kegiatan yang ditumpangkan dari luar dan asing bagi masyarakat, melainkan rnerupakan perwujudan dari tanggapan masyarakat atas rnasalah-masalah yang cukup dimengerti masyarakat dan dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat diterima rnasyarakat tersebut. Melibatkan rnasyarakat secara aktif berarti rnemberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada masyarakat untuk merumuskan rnasalah- rnasalah mereka, memobilisir sumber-sumber setempat dan mengernbangkan kelompok organisasi seternpat. Pemberian tanggung jawab ini tidak mudah, oleh karena itu dilakukan secara bertahap melalui suatu proses yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan sendiri (Bimo 1985).

Adanya partisipasi masyarakat akan membawa pengaruh positif, dirnana mereka akan bisa memaharni atau rnengerti berbagai permasalahan yang muncul serta rnemahami keputusan akhir yang akan diarnbil (Hadi 1995). Untuk mencapai sasaran tersebut, dalam elemen partisipasi masyarakat yang harus dipenuhi adalah adanya kornunikasi dua arah yang terus menerus dan informasi yang berkenaan dengan proyek, program atau kebijaksanaan disampaikan dengan berbagai macarn teknik yang tidak hanya pasif dan formal tetapi juga aktif dan informal.

(161)

proyek daripada membagi-bagikan aset kepada masyarakat tanpa kontribusi yang berarti.

Hasil telaah United Nation Environment Programme mengungkapkan ada lima pokok yang diperlukan untuk mengefektifkan peran serta masyarakat dalam pembangunan ("The Public and EnvironmenYdalam Salim 1995), yaitu:

1. Mengidentifikasi kelompok masyarakat yang tertarik atau bakal dipengaruhi suatu kegiatan.

2. Menggapai kelompok masyarakat dengan memberikannya informasi tentang permasalahan, alternatif dan keputusan yang perlu.

3. Mengembangkan dialog dalam bentuk pertemuan, lokakarya, dengar pendapat, kontak perorangan, surat-menyurat, pembentukan tim kerja, dan lain-lain.

4. Mengasimilasi berbagai pendapat ini dalam suatu kesimpulan. 5. Memberi umpan balik tentang peran serta tadi.

Agar masyarakat pantai mau ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan. maka perlu adanya upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat pantai mencangkup dua ha1 pokok (Butar-butar 1998), yaitu:

1. Peningkatan kernampuan dan ketrampilan masyarakat untuk dapat memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut, berikut peningkatan peran serta masyarakat dalam pelestarian fungsi sumberdaya laut sebagai penyangga kehidupan di wilayah tersebut.

2. Peningkatan aksesibilitas masyarakat pantai terhadap kegiatan ekonomi yang mendorong kernampuan masyarakat pesisir untuk membudidayakan sumberdaya laut secara optimal. Peningkatan aksesibilitas ini sangat penting karena kurang lebih 60% penduduk hidup dan tinggal di daerah pesisir, dimana sebagian besar dari mereka hidup dalam kemiskinan.

(162)

sumberdaya. Dari pemahaman ini dapat diketahui potensi apa yang dapat disumbangkan masing-masing stakeholders untuk menunjang pelaksanaan pembangunan berbasiskan masyarakat. Pada pemberdayaan masyarakat, terutama stakeholders yang instrumental tersebut, perlu diperhatikan lirna unsur pemberdayaan masyarakat dalam implementasinya, yaitu:

1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan tujuan utama adalah memberikan alternatif usaha yang secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi ramah terhadap lingkungan.

2. Memberikan akses kepada masyarakat seperti akses terhadap harga dan pasar, akses terhadap pengawasan, penegakan dan perlindungan hukum serta akses terhadap sarana dan prasarana pendukung lainnya.

3. Menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan nilai sumberdayalekosistem sehingga pelestariannya sangat diperlukan.

4. Menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga, mengelola dan melestarikan sumberdaya/ekosistem.

5. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan melestarikan sumberdayalekosistem.

Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove memerlukan suatu pendekatan yang fleksibel, sabar dan butuh waktu. Membangun pemahaman dan keyakinan masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan mangrove sangat memakan waktu dan dapat memperlambat pengukuran kemajuan pekerjaan dalam rehabilitasi mangrove. Namun ha1 diatas sebanding dengan perolehan hasil dalam jangka panjang karena dapat membangun rasa kepemilikan dan komitmen masyarakat yang kuat yang merupakan jaminan keberlanjutan rehabilitasi mangrove (Erftemeijer dan Bualuang 1998).

(163)

yang bertahap (Erfterneijer dan Bualuang 1998). Meningkatkan partisipasi rnasyarakat mernbutuhkan pendekatan pernbelajaran, bukan rnencetakbirukan sesuatu ditingkat proyek, tapi rnernberikan bentuk pada sebuah program yang dirancang fleksibel dan merniliki kornitrnen jangka panjang (Groot dan Zanen 1989).

(164)

Ill.

KERANGKA PEMlKlRAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Dalarn satu dekade belakangan ini, laju kerusakan surnberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang rnengkhawatirkan. Kerusakan ekosistem tersebut berdarnpak langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan, penurunan keanekaragaman hayati serta mengurangi fungsi estetika lingkungan pesisir yag selanjutnya berpengaruh terhadap penghidupan rnasyarakat pesisir. Penurunan kualitas lingkungan tersebut disebabkan oleh faktor alarn dan faktor aktivitas rnanusia.

Ekosistern mangrove di Kalirnantan Selatan juga telah rnengalarni degradasi yang cukup rnengkhawatirkan. Penyebab utarna penurunan luas hutan mangrove tersebut adalah adanya peningkatan kegiatan yang rnengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain, seperti pembukaan tarnbak, pengembangan kawasan industri dan pernukirnan di kawasan pesisir.

Apabila keadaan ini dibiarkan terus menerus terjadi maka dikhawatirkan hutan mangrove sebagai ekosistem penyangga dan peralihan akan mengalami perubahan fungsi ke arah penurunan yang dampaknya pada kelestarian lingkungan secara rnakro. Untuk rnengatasi laju kerusakan biogeofisik lingkungan pesisir khususnya hutan mangrove, rnaka pengelolaan hutan mangrove diarahkan untuk mernanfaatkan surnberdaya pesisir yang tersedia secara optimal, berkesinarnbungan dengan tetap menjaga kelestariannya sehingga dapat dirnanfaatkan untuk rneningkatkan sebanyak-banyaknya kesejahteraan masyarakat.

(165)

Menurut Sastroputro (1988), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari tiga ha1 : yaitu (1) keadaan sosial masyarakat,(2) kegiatan program pembangunan dan (3) keadaan alam sekitar. Keadaan sosial rneliputi : pendidikan, tingkat pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindak kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Diagram kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

3.2. Hipotesis

Hipotesis kerja yang diajukan untuk mendukung tujuan dan kegunaan penelitian adalah:

(166)

Arah Kebijakan Pengelolaan

Rehabilitasi

Masyarakat

~ m ' u r Pendidikan Asal I Pendatang

[image:166.595.100.414.104.611.2]

Jml angg. Kel. Lama Tinggal

Ekstern

Sarana& Prasarana Bantuan Modal Pelatihan Pembinaan dl1

I

Kesejahteraan Masvarakat
(167)

IV.

METODOLOGI PENELlTlAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada 2 (dua) desa pantai yakni Desa Muara Kintap, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, dan Desa Pagatan Besar

,

Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Propinsi Kalirnantan Selatan.

Kegiatan penelitian lapangan dilaksanakan selarna 3 (tiga) bulan, yang dimulai pada bulan Februari 2002 sampai April 2002. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara "Purposive", yakni penentuan lokasi secara langsung mengingat kedua lokasi merupakan daerah yang memiliki hutan mangrove yang telah mengalami degradasi akibat aktifitas masyarakat. Selain itu lokasi tersebut berpotensi untuk dilaksanakannya kegiatan atau upaya rehabilitasi hutan mangrove.

4.2. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional yakni berusaha untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir 1983). Melalui pendekatan ini diharapkan untuk mendapatkan gambaran yang kornprehensif dan mendalam tentang obyek yang diteliti.

Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan rnenggunakan metode suwei, yaitu metode yang bertujuan untuk rnengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok melalui wawancara langsung dan berpedornan pada daftar pertanyaan yang telah disediakan sebelumnya (Singarimbun 1995).

4.3. Sampel dan Responden

(168)

yang bersangkutan telah matang mengambil keputusan dan berpikir secara positif dalam mengambil tindakan, dan diharapkan dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Jumlah responden untuk tiap desa ditetapkan sebanyak 50 orang, sehingga jumlah seluruhnya adalah 100 orang. Jumlah responden yang ditetapkan, didasarkan oleh pengambilan sample sebanyak 20% dari jumlah populasi yang telah ditentukan di masing-masing desa (Bengen, 2001).

4.4. Jenis data Yang Dikumpulkan

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder. Data Primer dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan responden yang tinggal disekitar lokasi penelitian, dengan berpedoman pada suatu daftar pertanyaan (Kuesioner) yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Data primer meiiputi: identitas responden, jenis kegiatan, kelembagaan yang ada, manfaat kegiatan dan keberadaan mangrove bagi masyarakat serta aktivitas masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove. Disamping wawancara, dilakukan pula pengamatan langsung dilapangan (Observas~) untuk melengkapi data primer yang dibutuhkan.

Untuk data sekunder dilakukan dengan mendatangi instansildinas terkait. diantaranya Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, Kantor Bappeda. Bangdes, dan kantor Statistik Kecamatan. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi hutan mangrove, keadaan geografi dan demografi, keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta sarana dan prasarana yang terkait dengan kegiatan rehabilitasi mangrove.

4.5. lnstrumen Penelitian

Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi serangkaian pertanyaan yang akan dijawab oleh responden.

Kuesioner disusun sebagai berikut:

(169)

(2) Bagian kedua rnemuat tentang kegiatan program pembangunan yang meiiputi: jenis kegiatan, rnanfaat kegiatan, frekuensi peiaksanaan kegiatan, kelernbagaanlaturan, sarana dan prasarana.

(3) Bagian ketiga mengungkap keadaan alam sekitar yang rneliputi: kondisi hutan mangrove dan pengaruhnya terhadap rnasyarakat, rnanfaat, tindakan masyarakat, pemaharnan masyarakat tentang hutan mangrove.

(4) Bagian terakhir rnernuat pertanyaan-pertanyaan tarnbahan antara lain rnengenai: saran dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan rehabilitasi mangrove serta beberapa pertanyaan yang tidak tercakup pada bagian- bagian sebelumnya.

4.6. Definisi Operasional

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi rnasyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove (Sastropoetro 1988) antara lain: 1) keadaan sosial rnasyarakat yang rneliputi: urnur, tingkat pendidikan, pendapatan, jurnlah tanggungan keluarga, dan lama tinggal. 2) kegiatan program pernbangunan dalarn ha1 ini program rehabilitasi hutan mangrove yang rneliputi: frekuensi kegiatan, dan rnanfaat yang diperoleh. 3) keadaan alarn sekitar yaitu: persepsi rnenyangkut pengaruh kondisi hutan mangrove, dan pengetahuan tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove bagi masyarakat.

Definisi operasional masing-masing peubah yang diamati adalah sebagai berikut:

1. Umur, adalah usia responden yang dihitung sejak lahir hingga saat penelitian dllaksanakan dan dinyatakan dalarn tahun.

2. Tingkat pendidikan, adalah jenjang pendidikan formal yang pernah diternpuhldicapai responden, yang dinyatakan dalarn tahun.

3. Pendapatan adalah penghasilan rata-rata responden yang diperoleh dari berbagai sumber baik dari pekerjaan pokokltetap rnaupun usaha sampingan dalarn satu bulan, yang kernudian diperhitungkan berdasarkan nilai tukar uang (Rplbln).

4. Jurnlah tanggungan keiuarga adalah jumlah anggota keluarga yang menetap dan menjadi tanggungan dalarn rumah.

(170)

6. Kegiatan adalah frekuensi dan aktivitas kegiatan yang ada baik penyuluhan, penanarnan rnaupun pemeliharaan. Dalam ha1 ini kegiatan tersebut dilaksanakan atas prakarsa pernerintah.

7. Manfaat: keuntungan yang diperolehldirasakan dari kegiatan program pemerintah baik sosial rnaupun ekologis.

8. Partisipasi rnasyarakat adalah keikutsertaan rnasyarakat dalarn pengelolaan hutan mangrove, keterlibatan dalarn bentuk mengikuti setiap tahapan kegiatan mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, penerimaan rnanfaat serta evaluasi dan pengawasan.

4.7. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Penyuntingan data, dalam ha1 ini yang dilakukan antara lain:

a) Memeriksa kelengkapan pengisian

Gambar

Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran Partisipasi Masyarakat
Tabel 2. Matrik data yang diolah dengan Analisis Faktorial Diskriminan
Tabel 3. Matriks Analisis SWOT
Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Golongan Usia Tahun 2001.
+6

Referensi

Dokumen terkait

The planning stage is the initial stage of an activity implementation process where the society is given the space and opportunity to determine what should be done when

Effectiveness and Institutional Conditions in Social Forestry Program: Case Study of Forest Village Community Institution (LMDH) Sumber Makmur, Forest Management

Study On Impact Of Changes In Social And Fisherman Andon The Fisherman Village Community Tambakrejo, Sumbermajing Wetan, District

The research to Effectiveness of Management of Village Fund Allocation in Tanjung Morawa A Village, Tanjung Morawa District, Deli Serdang Regency. Allocation of

EMPOWERMENT OF VILLAGE COMMUNITIES THROUGH INTEGRATED ECOFARMING PROGRAMS (Case Study in Asinan Village, Bawen District, Semarang Regency).. Siti Farikhah, Nurul Fatimah, Asma Luthfi

Kegiatan penutup pembelajaran baca puisi berbasis YouTube, pembelajar (guru) bersama pemelajar (peserta didik) baik secara individu maupun kelompok melakukan

Server config, virtual host, directory, .htaccess IndexOrderDefault is only available in Apache 1.3.4 and later. The IndexOrderDefault directive is used in combination with the

Komposisi Dan Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Di Desa Sapa Kabupaten Minahasa Selatan (Composition And Structure Vegetation Of Mangrove Forest In Sapa