DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
TERHADAP KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR
DI KOTA TANGERANG
OLEH :
DADAN SUHENDAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
DADAN SUHENDAR. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang. Dibimbing oleh SUNSUN SAEFULHAKIM dan AFFENDI ANWAR.
Perkembangan suatu wilayah tidak terlepas dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi, sehingga terjadi konflik terhadap lahan, disatu sisi permintaan terhadap lahan terus meningkat disisi lain luas lahan tetap. Hal ini akan berakibat terhadap perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian menjadi non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun (built up area), yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Untuk mengetahui seberapa besar dampak dari perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan sumberdaya air perlu mengerahui barapa besar perubahan penggunaan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi built up area setiap tahun atau dalam kurun waktu tertentu secara time series, curah hujan yang jatuh di wilayah penelitian, Evapotranspirasi yang terjadi, Air hujan ang meresap kedalam tanah (infiltrasi) serta berapa air limpasan permukaan (run off). Untuk mengtahui perubahan penggunaan lahan dapat dilkukan dengan pembuatan peta penggunaan lahan secara time series dengan metoda penginderaan jauh (remote sensing) baik melalui citra satelit atau foto udara. Data curah hujan didapat dari hasil pengukuran yang dilakukan Badan Meteorologi stasiun Tangerang, Penghitungan Evapotranspirasi dilakukan dengan menggunakan metoda Turc dan Langbein, infiltrasi dan run off dilakukan dengan pendekatan tipologi wilayah dengan mengacu pada U.S. Forest Service. Dengan meningkatnya areal terbangun mengakibatkan menurunnya air hujan yang mer esap kedalam tanah (infiltrasi) yang menjadi cadangan air tanah dan meningkatkan aliran air permukaan (run off).
DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP
KETERSEDIAAN SUMBER DAYA AIR
DI KOTA TANGERANG
DADAN SUHENDAR
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu– ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Sumber Daya Air di Kota Tangerang
Nama : Dadan Suhendar
NRP : P053020131
Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr . Ketua
Prof. Dr. Ir. Affendi Anwar, MSc . Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pe rdesaan
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsja h
Dekan Sekolah Pascasarjana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cimahi, Jawa Barat pada tanggal 18 Maret 1965 dari ayah Engkus Kusmana (alm) dan ibu Edjeh Mulyati (alm). Penulis merupakan putra ketiga dari enam bersaudara.
Tahun 1984 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bandung dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menamatkannya pada tahun 1992. Kesempatan untuk melanjut kan ke program magister pada program studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pe rdesaan pada Sekolah Pasca Sarjana IPB diperoleh pada tahun 2002. Ijin belajar diperoleh dari Pemerintah Kota Tangerang.
Penulis bekerja pada Pemerintah Kota Tangerang sejak tahun 1994 sebagai pelaksana pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), kemudian promosi sebagai Kepala seksi Industri, Pertambangan dan Energi Bappeda pada tahun 1996, pada tahun 1999 menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Lahan pada Bappeda, Kemudian menjadi Kepala seksi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bappeda pada tahun 2000, Sejak tahun 2001 hingga sekarang penulis menjabat Kasi Pemetaan dan Survey pada Dinas Tata Kota
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2004 ini adalah Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Ket ersediaan Sumberdaya Air di Kota Tangerang.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapa k Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Bapak Prof. Dr. H. Affendi Anwar, M.Sc selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Joewono H, MT Kepala Dinas Tata Kota Kota Tangerang periode tahun 2002 – 2005 dan Ibu Hj. Roostiwie, SKM, M.Si Kepala Dinas Tata Kota periode Tahun 2005 sampai sekarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pasacasarjana S-2, rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Pedesaan angkatan 2002 serta seluruh jajaran Dinas Tata Kota yang telah membantu penulis dalam penyediaan dan pengolahan data serta dorongan moril. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada rekan seperjuangan Ir. H. Masduki dan Drs. Otong Suhyanto atas bantuan yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Karya ilmiah ini penulis persembahkan kepada istri tercinta Neti Hendrawati serta anakanak tersayang Shabrina ghassani dan Hadyan Adam semoga karya yang telah penulis lakukan menjadi motivasi bagi anak-anakku
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
PENDAHULUAN ……… Latar Belakang ……… Tujuan Penelitian ………
xi xii xiv 1 1 8
TINJAUAN PUSTAKA ... ... Tata Guna Lahan ... Teori Lokasi ... Teori Land Rent ... Sumberdaya Air ………...…. Daur Hidrologi ... Presipitasi ... Evapotranspirasi ... Infiltrasi ... Limpasan Permukaan ... Keterkaitan Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ...
9 9 9 15 24 24 26 28 29 31 32
METODA PENELITIAN ... Perubahan Penggunaan Lahan ... Analisis Hidrogeologi ... Hidrologi ... Analisis Penentuan Harga Air ...
35 37 39 46 50
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... Kondisi Fisik Kota Tangerang ... Kondisi Sosial ... Kondisi Ekonomi ... Kondisi Sarana dan Prasarana ...
52 52 59 65 69
PEMBAHASAN DAN HASIL ... Perubahan Penggunaan Lahan ... Pola Perubahan Sumberdaya Air ... Neraca Air Wilayah Kota Tangerang... Kondisi Hidrogeologi ...
Kondisi DAS Cisadane ... Keterkaitan antara Penggunaan Lahan dengan Sumberdaya Air ... Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Land Rent ... Kondisi Ekonomi Air ………....………..
75 75 89 89 96 98 104 103 106
KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
126
DAFTAR TABEL
Tabel Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20Nilai Koefisien Air Larian
Hubungan Jenis Batuan dengan Besar Butir, Porositas dan Kelulusan
...
Nilai Tahanan Jenis Batuan ... ...
Jumlah dan Perkembangan Penduduk Kota Tangerang………
Kepadatan Penduduk Kota Tangerang Tahun 2003 ………….……
Jumlah Penduduk Menurut Umur Tahun 2003 ...
PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1998 – 2002
... PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1998 – 2002
... ... Pertumbuhan PDRB Kota Tangerang Tahun 1999-2002 ...
Perbandingan Luas Lahan Terbangun dengan Ruang Terbuka ...
Penggunaan Lahan Tahun Kota Tangerang Tahun 2000 ...
Data Curah Hujan Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 ...
Data Temperatur Stasiun Tangerang Tahun 1994-2003 ...
Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Perioda 1994-2003 ...
Perhitungan Neraca Air Tahun 1959, 1994 dan 2004 ...
Fluktuasi Debit Sungai Cisadane yang Terukur di Stasiun
Pengamatan Pasar Baru Tangerang ...
Analisa Neraca Air DAS Cisadane ...
Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air dengan
Penggunaan Lahan Tahun 1959, 1994 dan 2004 ...
Perkembangan Perubahan Muka Air Tanah Tahun 1959 dan 2004
Jumlah dan Panjang Sungai di Kota Tangerang ...
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36 37. Siklus Hidrologi ………Efek Negatif Pengaturan Suberdaya Air Tanah yang Tidak Baik ……
Model Tata Guna Lahan Menurut Von Thunen ...
Model Tata Guna Lahan Menurut Burges ...
Model Tata Guna Lahan Menurut Hoyt ...
Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda ....
Hubungan antara Land Rent Lokasi pada Berbagai Sektor Ekonomi
Model Tata Guna Lahan Lingkaran Konsentris ...
Pembentukan Kota Inti Secara Berganda ...
Kerangka Pemikiran Perubahan Pengunaan Lahan dan Ketersediaan Sumberdaya Air
... ...
Diagram Alir Metode Penelitian ...
Citra Satelit ...
Foto Udara ...
Material Bahan yang Dilalui oleh Arus Listrik
...
Hubungan antara Tahanan Jenis dan Kadar Garam dalam Air yang Dikandung Batuan
...
Skema Alat Ukur Geolistrik ...
Pengukuran Tahanan Jenis di Lapangan
...
Peta Wilayah Administrasi Kota Tangerang ...
Peta Lokasi Banjir ...
Peta Hidrogeologi Kota Tangerang ...
38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Peta Geologi Kota Tangerang ...
Prosentase Jumlah Penduduk Tahun 2003 ...
Grafik Laju Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001 – 2003 ...
Grafik Kepadatan Penduduk Tahun 2003 ...
Grafik Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2003 ...
Jumlah Penduduk Kota Tangerang Menurut Jenis Kelamin ...
Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 1959 ...
Peta Tata Guna Lahan Kota Tangerang Tahun 2000 ...
Proporsi Tiap Jenis Penggunaan Lahan ...
Perbandingan Luas Pemanfaatan Lahan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya
...
Peta Sebaran Kegiatan Perdagangan dan Jasa ...
Peta Sebaran Industri ...
Perbandingan Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Total PDRB
Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ...
Perbandingan Sumbangan Sektor Industri Terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ...
Perbandingan Sumbangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran terhadap Total PDRB Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1993 ...
Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 .
Grafik Curah Hujan Bulanan Tahun Kota Tangerang 1994 – 2003 .
Distribusi Air Hujan yang Jatuh di Daerah Penelitian ...
Perbandingan Infiltrasi dan Run-Off ……….
Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1999 – 2004 …… Grafik Fluktuasi Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 …… Grafik Varian Debit Sungai Cisadane Tahun 1950 – 2000 ...
Grafik Rata-rata Tahunan debit Sungai Cisadane ...
Susunan Lapisan Hasil Penafsiran Geolistrik ...
Perubahan Muka air Tanah Dangkal ...
Kondisi Air Tanah DAS Cisadane ………..
Grafik Surpl us dan Defisit Air DAS Cisadane ……….
Grafik Curah Hujan Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Suhu Udara Rata-rata Tahunan Tahun 1994-2000 ……… Grafik Debit Rata-rata Tahunan Sungai Cisadane Tahun 1994-2000
Peta Sebaran Instalasi Pengolahan Air PDAM ...
Grafik Perkembangan Jumlah Penduduk ...
Grafik Perkembangan Kebutuhan Air ...
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN Halam an 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.Peta DAS Cisadane. ….……….…………
Peta Geologi DAS Cisadane. .….……… Peta Jenis Tanah DAS Cisadane. .….……… Peta Penggunaan Lahan DAS Cisadane. .…...…
Peta Daerah Tangkapan Air DAS Cisadane. ...… Data Debit Bulanan Sungai Cisadane ...
Varian dan Covarian Debit Sungai Cisadane...
Tabel Hasil Penafsiran Pengukuran Geolistrik ...
Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan Air Bersih Tahun 2004
Data Tahun 2003 dan Korelasi antar Variabel ...
Data Pengambilan Air Bawah Tanah Tahun 2004 ………
Data Pengambilan Air Permukaan Tahun 2004 ………..
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejak berdirinya Kota Tangerang pada tahun 1993, telah terjadi
berbagai perkembangan baik eksternal maupun internal yang sangat
berpengaruh terhadap dinamika kota. Kota Tangerang sebagai salah satu
kota di wilayah Metropolitan Jabotabek yang menjadi wilayah penyangga
bagi DKI Jakarta, mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup
pesat.
Lokasi Tangerang yang potensial terutama dinilai dari aksesibilitas
dengan pusat kota Jakarta, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung
Priuk di Jakarta dan Bojonagara di Cilegon, dan kota-kota lainnya di
Jabotabek, Banten dan Jawa Barat, menyebabkan kota ini sangat menarik
bagi perkembangan kegiatan seperti perumahan, industri dan perdagangan.
Keterbatasan lahan di DKI Jakarta untuk kegiatan industri dan perumahan
mengakibatkan adanya pergeseran kegiatan ke wilayah penyangga
termasuk kota Tangerang. Sejalan dengan perkembangan kedua kegiatan
tersebut berkembang pula kegiatan perdagangan dan pergudangan di
sepanjang koridor jalan utama yang menghubungkan simpul-simpul utama
tranportasi nasional dan internasional dengan DKI Jakarta. Perkembangan
kegiatan-kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan yang kemudian menimbulkan beberapa masalah bagi
Kota Tangerang.
Proses perubahan penggunaan lahan terjadi seiring pertumbuhan
Perubahan diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja sehingga
memungkinkan terjadinya proses tranformasi pekerja dari sektor pertanian ke
non pertanian. Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan
kepada permintaan lahan diluar sektor pertanian. Dari tahun 1994 sampai
dengan tahun 2003 perubahan lahan dari ruang terbuka hijau menjadi areal
terbangun mencapai 23,6% atau arata-rata 2,36% pertahun. Hal yang
mendasari perubahan penggunaan lahan adalah perkembangan jumlah
penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan
penduduk dari tahun 1991 - 2003 mencapai 5,75% dan pertumbuhan
ekonomi dilihat berdasarkan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993
Pola Perubahan penggunaan lahan yang terjad i cenderung mengikuti
teori ekonomi, yaitu dari lahan yang mempunyai land rent rendah menuju
lahan yang mempunyai land rent tinggi yaitu dari lahan pertanian menjadi
perumahan, industri atau perdagangan atau dari lahan permukiman menjadi
perdagangan atau jasa
Perubahan lahan membawa dampak kepada perubahan sumberdaya
air terutama air tanah, air tanah merupakan penunjang utama disamping air
permukaan dalam rangka memenuhi kebutuhan air bersih bagi penduduk
Kota Tangerang sejak puluhan tahun lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan
penduduk seiring pula dengan meningkatnya penggunaan sumberdaya alam,
sebagaimana halnya dengan sumberdaya air. Pertambahan laju
pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan yang sangat pesat
khususnya sektor industri dan perumahan/permukiman, maka masalah
Kebutuhan air bersih yang sangat tinggi bagi penduduk Kota
Tangerang yang saat ini berjumlah sekitar 1,52 juta jiwa yang tersebar pada
wilayah seluas 18.378 Ha membutuhkan air bersih sebesar 69.261.168 m3
(standar WHO kebutuhan air bersih 125 l/orang/hari).
Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah
juga juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi
tidak terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi
sangat jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim
hujan aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung
air sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim
kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan
pada daerah pertanian tidak bisa memberi kontribusi kepada lahan pertanian
yang memerlukan air.
Proses perubahan penggunaan lahan tersebut harus dilakukan, apabila
diinginkan pertumbuhan ekonomi yang memberi dampak terhadap
pendapatan dalam masyarakat. Perubahan diharapkan mampu memperluas
kesempatan kerja sehingga memungkinkan terjadinya proses tranformasi
pekerja dari sektor pertanian ke non pertanian.
Terjadinya perubahan kegiatan akan memberi tekanan kepada permintaan
lahan diluar sektor pertanian, khususnya lahan-lahan pertanian yang
berdekatan dengan kawasan perkotaan
Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak kepada
perubahan sumberdaya air terutama air tanah, air tanah merupakan
kebutuhan air bersih bagi penduduk Kota Tangerang sejak puluhan tahun
lalu. Meningkatnya taraf kesejahteraan penduduk seiring pula dengan
meningkatnya penggunaan sumberdaya alam, sebagaimana halnya dengan
sumberdaya air. Pertambahan laju pertumbuhan penduduk dan laju
pembangunan yang sangat pesat khususnya sektor industri dan
perumahan/permukiman, maka masalah penyediaan air bersih akan menjadi
sangat besar peranannya.
Perkembangan Kota Tangerang yang semakin maju, baik ditinjau dari
segi fisik, social, ekonomi maupun segi-segi lainnya dapat mengakibatkan
kebutuhan akan air bersih semakin meningkat pesat. Dilain pihak,
pertambahan produksi air bersih oleh PDAM masih sangat terbatas dan
belum dapat memenuhi keperluan akan air bersih, sehingga pengeboran air
tanah di seluruh kawasan Kota Tangerang menjadi semakin banyak dan tak
terkendalikan.
Pesatnya laju penyedotan/penggunaan air tanah yang tidak terkendali
tersebut, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan daur
geohidrologi bagi Kota Tangerang. Penurunan muka air tanah, dan
penyusupan (intrusi) air laut, serta kemungkinan penurunan permukaan
tanah atau amblesan (land subsidence) dapat terjadi dibeberapa bagian
wilayah Kota Tangerang terutama di daerah dengan tingkat kerapatan jumlah
sumur bor yang sangat tinggi. Penurunan muka air tanah (water table)
diperkirakan akan terus berlangsung sebagai bukti bahwa debit/luah
pengambilan melebihi kecepatan pengisian kembali pada system akifernya
Perubahan penggunaan lahan selain berpengaruh terhadap air tanah juga
juga berpengaruh pada air permukaan, aliran air permukaan menjadi tidak
terkendali perbedaan aliran air permukaan (surface run off) menjadi sangat
jauh antara musim hujan dan musim kemarau, dimana pada musim hujan
aliran air permukan yang tinggi melebihi kapasitas badan penampung air
sehingga air meluap dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim
kemarau air permukaan menunjukan ketinggian yang sangat rendah bahkan
pada daerah pertanian tidak bias memberi kontribusi kepada lahan pertanian
yang memerlukan air.
Sumberdaya air merupakan suatu siklus, dimana hujan (Precipitation = P)
turun kebumi mengalir dipermukaan (Run-off = RO) sebagian meresap
(Infiltration = F) serta ada yang menguap (Evapotranpirasi = ET) yang
selanjutnya menjadi uap air yang naik kembali keatas dan bila bertemu
dengan inti kondensat akan berubah lagi menjadi hujan dan begitu
seterusnya (Gambar 1). Seperti diketahui bahwa dalam Ilmu hidrologi
dikenal adanya hukum “water balance” yang menerangkan siklus diatas,
yang dapat ditulis dengan rumus dibawah ini (Rumus 1).
P = RO + ET + F ………. ( 1 )
dimana :
P : Curah Hujan/Presipitasi (Presipitation) RO : Air Limpasan Permukaan (Run-Off) ET : Evapotranspirasi (Evapotranspiration) F : Infiltrasi (Infiltration)
Sumber air utama berasal dari air permukaan (non artesis : sungai, danau)
dan air bawah permukaan (artesis : air tanah dangkal dan dalam). Banyak
sesuai dengan kemampuan akuifer seperti penurunan tanah (land
subsidence), akuifer menjadi dalam, tekanan air tanah berkurang sehingga
(A)
(B)
Sumber : Seyhan diterjemahkan olehSubagyo, 1990 Keterangan :
(A) : Tampak At as (B) : Tampak Samping
Gambar 1. Siklus Hidrologi
Presipitatio
n
EVPT
RO
INFEVPT PREC IPITATIO N
intrusi air laut semakin jauh kedaratan. Hal ini terjadi karena pengelolaan air
tanah maupun air permukaan tidak dilakukan dengan baik. Pertumbuhan
penduduk yang pesat disertai perkembangan kegiatan perkotaan yang
menyebabkan meningkatnya kebutuhan air tanah, sehingga terjadi
eksploitasi air tanah secara besar-besaran. Pada kondisi pemompaan air
tanah yang berlebihan (over pumping) akan terjadi penurunan muka air
tanah yang besar, pada kondisi ini pula akan menyebabkan kekeringan
bahkan kematian pada tanaman (Gambar 2).
Sumber : PT. Tatanusa Teknoyasa, Propsal Penelitian Hidrogeologi, 2004 Atas : Kondisi Normal
Bawah : Over pumping
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi karakteristik Kota Tangerang terkait dengan perubahan
lahan dan ketersediaan sumberdaya air
2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan khususnya terhadap pola
dan determinan perubahan tersebut.
3. Menganalisis perubahan ketersediaan sumberdaya air
4. Menganalisis kaitan antara perubahan penggunaan lahan dan
ketersediaan sumberdaya air.
5. Menganalisis dan merumuskan konsekwensi/implikasi strategis dari perubahan penggunaan lahan dan ketersediaan sumberdaya air dan
kaitan antar keduanya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan
dalam hal ini Pemerintah Kota Tangerang didalam pengendalian
penggunaan lahan dan pengambilan air bawah tanah agar keseimbangan air
(water balance) dapat dipertahankan.
Atas dasar penelitian ini, maka akan dicoba untuk memberikan beberapa
rekomendasi penanganan pengelolaan sumberdaya air, khususnya air tanah,
agar tidak terjadi gangguan keseimbangan lingkungan yang lebih parah,
sebagai akibat ketidak seimbangan antara produksi (eksploitasi) air dan air
TINJAUAN PUSTAKA
Tata Guna Lahan
Lahan (land) adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan sifat-sifat
tertentu, yaitu dalam hal sifat-sifat atmosfer, geologi, geomorfologi, tanah,
hidrologi, vegetasi, dan penggunaan lahan. Sumberdaya lahan (land
resources) adalah kondisi dari sumberdaya lahan yang dapat dieksploitasi
manusia. Sementara yang dimaksud dengan tanah (soil) adalah bahan
mineral cerai berai pada permukaan bumi yang berfungsi sebagai medium
tumbuh bagi tanaman atau tumbuhan (So epardi, 1977). Lahan merupakan
komoditi ekonomi yang nilainya terus meningkat karena sifat
keterbatasannya, apalagi dilihat dari berbagai sudut pandang lahan
mempunyai banyak nilai tambah. la mempunyai nilai keindahan, nilai politik,
nilai fisik, nilai sosial, nilai spiritual dan sebagainya. Nilai -nilai ini, dimiliki oleh
sumberdaya lahan apabila ia mempunyai manfaat/potensi untuk
menghasilkan pendapatan dan kepuasan sementara jumlah yang ditawarkan
lebih sedikit daripada pemintaannya serta ia mudah untuk dialihkan
penguasaannya (Cahyono, 1982).
Teori Lokasi Von Thunen, Burges dan Homer Hoyt
Teori Von Thunen dikenal sejak abad 19, Teori ini merupakan model guna lahan sederhana, didasarkan pada satu titik permintaan dalam lingkungan ekonomi pedesaan yang mempunyai struktur pasar sempurna baik pasar output maupun pasar input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tertapi terisolasi, sehingga tidak ada ekspor impor. Berasumsi tersebut maka lahan akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran (Gambar 3) dengan kota sebagai pusatnya sekaligus sebagai tempat permukiman kemudian areal sawah, tegalan, hingga kebun. Bentuk lingkaran tidak mesti simetris, tetapi tergantung akses yang ada. Misalnya melonjong, mengikuti akse s jalan atau sungai.
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 3 : Model Tata Guna Lahan menurut Von Thunen
Analisis serupa Von Tunen yang digunakan di kawasan perkotaan,
dilakukan oleh Bur ges (Barlowe, 1978). Burges menganalogikan pusat
pasar dengan pusat kota (Central Business District atau CBD). CBD
merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung kantor, pusat
pertokoan, Bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang
menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola
O A A L K D C B D’ M
A’ B’ C’ Xi Xm Xj Xn Land rent Pusat Kota Jarak dari Pusat Kota Keterangan :
Xi : Pusat Kota (Permukman) Xj : Areal sawah
Xm : Tegalan Xn : Kebun
tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai sama,
semakin jauh dengan kawasan CBD, nilai land rent ekonomi kawasan
tersebut semakin kecil, tetapi Burges menekankan pada faktor karak
komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama
dalam tata guna lahan di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat
orang bermikim relatip terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area
konsentrasi Burges, pusat area merupakan CBD, dikelilingi kawasan
industri, kemudian kawasan transisi termasuk didalamnya kawasan kumuh,
tempat bisnis dan pertokoan yang mapan, kemudian kawasan perumahan
kelas rendah. Lingkaran selanjutnya, perumahan menengah dan kelas atas.
Terakhir kawasan pinggiran tempat penglaju (komuter).Untuk lebih jelasnya
lihat Gambar 4.
Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 4 : Model Tata guna Lahan menurut Burges
Hoyt (Barlow, 1978) mengemukakan gagasan pengganti konsentrasi
kawasan berdasarkan kedudukan relative tempat kerja dan belanja terhadap
CBD
Industri Transisi Perumahan kelas rendah Perumahan menengah & atas
tempat permukiman. Pendekatan sektor menggambarkan jaringan
transportasi yang dianggap homogen oleh Burges, diaplikasikan sesuai
dengan keadaan jalan seperti kondisi jalan di amerika serikat pada waktu
itu. Hasil analisis Hoyt adalah system jaringan transportasi seperti keadaan
sebenarnya, Hoyt menyimpulkan bahwa jaringan transportasi tersebut
mampu memberikan jangkauan yang lebih tinggi dan ongkos yang lebih
murah terhadap kawasan lahan tertentu. Kalau digambarkan dalam bentuk
lingkaran kawasan, hampir sama dengan bentuk Burges. Bedanya model
Hoyt lebih menekankan pada peran jaringan transportasi terhadap suatu
lahan. Faktor jaringan transportasi yang baik akan membuat kawasan
perumahan kelas atas bersambung dengan kawasan CBD. Sedang lahan
yang aksesnya kurang baik, akan dihuni oleh kelompok bawah yang
letaknya di luar lingkaran kawasan grosir dan industri (lihat Gambar 5).
Keterangan Gambar :
1. Daerah Pusat Kegiatan (CBD) 2. Zona Industri
3. Zona Permukiman Kelas Rendah 4. Zona Permukiman Kelas Menengah 5. Zona Permukiman Kelas Tinggi
S umber: Adisasmita, 1983 (teori -teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 5 : Model Teori Sektor menurut Hoyt
Teori lain yang dapat menjelaskan mengenai penggunaan lahan kota.
adalah teori pusat lipat ganda (Multi Nuclei Theori) yang dikemukakan oleh
Harris dan Ulman (Daldjoeni, 1992). Menurut teori ini suatu kota terdiri dari
menurul teori Burgess maupun Hoyt. Seliap pusat inti cendrung diwarnai
oleh satu jenis kegiatan seperti pemerintahan, rekreasi, pendidikan,
perdagangan dan lain-lain. Beberapa pusat/inti mungkin sudah berkembang
sejak awal berdirinya kota dan yang lainnya akan muncul dan berkembang
kemudian, yang dapat dilihat pada gambar teori pusat lipat ganda berikut ini.
(Sumber: Daldjoeni, 1992)
Keterangan : (1) Pusat kota (2) Kawasan niaga
(3) Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah
(4) Kawasan bertempat tinggal berkualitas menengah
(5) Kawasan tempat tinggal berkualitas tinggi
(6) Pusat industri berat
(7) Pusat niaga/perbelanjaan lain dipinggiran
(8) Kawasan madyawisma dan adiwisma (9) Kawasan industri
Gambar 6. Pola Penggunaan Lahan Kota Konsep Teori Pusat Lipat Ganda
Teori Alfred Weber
Teori Weber (Barlow, 1978; Glason, 1977) biasa disebut teori biaya terkecil.
Dalam teori tersebut Weber mengasumsikan : (1) Bahwa daerah yang
menjadi obyek penelitian adalah daerah yang terisolasi. Konsumennya
terpusat pada pusat-pusat kegiatan. Semua unit perusahaan dapat
memasuki pasar yang tidak terbatas dan persaingan sempurna. (2) Semua
sumberdaya alam tersedia secara tak terbatas. (3) Barang-barang lainnya
seperti minyak bumi dan mineral adalah sporadic tersedia secara terbatas
pada sejumlah tempat. (4) Tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang
menetap tetapi ada juga yang mobilitasnya tinggi.
Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri
yang biaya transportasi, biaya tenaga kerja dan kekuatan aglomerasi. Biaya
transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh dan
berat barang sehingga titik lokasi yang membuat biaya terkecil adalah bobot
total pergerakan pengumpulan berbagai input dan pendistribusian yang
minimum. Dipandang dari segi tata guna lahan model Weber berguna untuk
merencanakan lokasi industri dalam rangka mensuplai pasar wilayah, pasar
nasional, atau pasar global. Dalam model ini fungsi tujuan biasanya
meminimkan ongkos transportasi sebagai fungsi dari jarak dan berat barang
yang harus diangkut (input dan output). Kritikan atas model ini terutama pada
asumsi biaya transportasi dan biaya produksi yang bersifat konstan, tidak
memperhatikan faktor kelembagaan dan terlalu menekankan pada sisi input.
Teori Land Rent
Barlow (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumberdaya lahan diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor -sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi sehingga sektor sektor tersebut berada di kawasan strategis. Sebaliknya sektor -sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai land rentnya semakin kecil. Land rent disini diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara grafis, sektor-sektor yang strategis fungsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang kurang strategis fungsinya lebih mendatar, seperti tampak dalam Gambar 7.
Sumber : Saefulhakim
Gambar 7. Hubungan antara land rent lokasi pada berbagai sektor ekonomi.
Gambar 5 menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi
kegiatan ekonomi. Sebagai contoh sektor A paling komersial maka kurvanya
lebih curam, sehingga land rent lebih tinggi yaitu OE. Dalam gambar, lokasi
OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P1 bisa saling
bersubstitusi dengan sektor B yang relative kurang komersial dibandingkan
A
B
C
D
Jarak dari Lokasi Pusat(d) Land Rent (R)
Lokasi Pusat
Land use
Land use
B Land use C Land use D
Natural Land Cover
O
E P*
sektor A itu sendiri. Diluar OP1 tidak cocok untuk sektor A, sebagai contoh
sektor perbankan jelas tidak layak ditempatkan dikawasan yang sepi tetapi
lebih cocok di kawasan komersial dilain pihak didaerah OP* bagi sektor lain
selain sektor A jelas kurang optimal penggunaannya ditinjau dari segi lokasi.
Ilustrasi di atas bias digambarkan dalam betuk model tata guna lahan
lingkaran konsentris (Anwar, 1993) dimana persaingan antara berbagai
kegiatan akan menghasilkan suatu pola tata guna lahan yang berbentuk
lingkaran konsentris seperti tampak dalam Gambar 8 berikut :
Sumber : Yunus, Struktur Tata Ruang Kota, 2001
Gambar 8. Model Tata gunalahan Lingkaran Konsentris
Keterangan :
1. kawasan komersial 2. kawasan industri 3. kawasan perumahan 4. kawasan pertanian
Lahan dalam kegiatan produksi merupakan salah satu faktor produksi tetap.
Untuk melihat nilai Land Rent dalam teori sumber daya lahan disebut rente
(rent). Menurut Barlow (1978), nilai rente sumber daya lahan dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu sewa kontrak (contrac t rent), sewa lahan (land rent)
dan nilai rente ekonomi dari lahan (economic rent). Economic rent atau rente
ekonomi didefinisikan sebagai surplus ekonomi merupakan kelebihan nilai
produksi total di atas biaya total (Barlow, 1978; Suparmoko, 1989) Economic
rent diartikan pula sebagai surplus pendapatan di atas harga suplai terkecil yang terjadi akibat adanya faktor produksi (Robinson, 1933; Boulding, 1966).
Sedang menurut Nasution (1990), land rent merupakan pendapatan bersih
yang diperoleh suatu pelaku ekonomi melalui kegiatan yang dilakukan pada
suatu unti ruang dengan tingkat teknologi dan efisiensi manajemen tertentu
dan dalam suatu kurun waktu tertentu secara formal.
Saefulhakim (2003) mendefinisikan Land Rent sebagai nilai ekonomi bersih yang diberikan oleh suatu jenis penggunaan lahan (Land Use) tertentu, pada suatu bidang lahan dengan luasan tertentu, dalam periode waktu tertentu. Secara matematis, rumusan sederhana (dengan pendekatan constant return to scale baik dari sisi input maupun output), definisi land rent ini dapat ditulis sebagai berikut: ij ij ij ij ij ij ij t A X c Q p r ∆ − = (2) atau ∆ = ∆ = − = ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij ij t A X x t A Q q x c q p r dan : mana di (3)
Notasi dalam rumus Persamaan (2) dan (3) di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut:
rij : nilai land rent yang diberikan bila sebidang lahan be rlokasi di i
pij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit
kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan da ri jenis
penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton-1
Qij : total kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari jenis
penggunaan lahan j pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ton
cij : harga pasar (dengan patokan harga setempat: farm-gate price) per unit
kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.k g-1
Xij : total kuantitas input yang diperlukan oleh jenis penggunaan lahan j yang
dikembangkan pada sebidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam k g
Aij : luas areal bidang lahan di lo kasi i yang dikembangkan dengan jenis
penggunaan lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam ha
∆tij : periode waktu yang dibutuhkan oleh jenis penggunaan lahan j di lokasi i
untuk menghasilkan output komoditas barang/jasa seperti yang dimaksud di atas; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam tahun
qij : rataan produktifitas (yield) komoditas barang/jasa output dari jenis
penggunaan lahan j pada bidang lahan berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan ton.ha-1.tahun-1
xij : rataan penggunaan input oleh jenis penggunaan lahan j pada bidang lahan
berlokasi di i; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan k g.ha-1.tahun-1
Dengan menggunakan asumsi: (1) patokan harga di lokasi pasar, (2) pasar output maupun pasar input berada pada lokasi yang sama, (3) antara lokasi pasar dan lokasi lahan i dengan penggunaan lahan j terpisah sejauh jarak dij, maka dengan menggunakan pendekatan bahwa biaya satuan transportasi komoditas output maupun input proporsional terhadap jarak, rumusan land rent di atas dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:
(
j j ij)
ij(
j j ij)
ijij p t d q c d x
r = − ⋅ ⋅ − +τ ⋅ ⋅ (4)
di mana:
pj : harga satuan kuantitas output komoditas barang/jasa yang dihasilkan dari
jenis penggunaan lahan j di lokasi pasar; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.ton-1
cj : harga satuan kuantitas input untuk jenis penggunaan lahan j, di lokasi pasar;
satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam Rp.k g-1
dij : jarak antara lokasi pasar dan lokasi sebidang lahan i dengan jenis penggunaan
lahan j; satuan pengukurannya misalnya dinyatakan dalam km
tj : biaya satuan transportasi komoditas output penggunaan lahan j; satuan
τj : biaya satuan transportasi komoditas input penggunaan lahan j; satuan
pengukurannya misa lnya dinyatakan dalam Rp.k g-1.km-1
(
j j ij)
ij(
j j ij)
ijij p t d q c d x
r = − ⋅ ⋅ − +τ ⋅ ⋅
Karena pj ≥0, tj ≥0, cj ≥0, τj ≥0, dij ≥0, qij ≥0, dan xij ≥0, maka:
0 ≥ = ∂ ∂ ij j ij q p r
Land Rent meningkat dengan adanya kenaikan harga pasar output (komoditas output menjadi langka di pasar).
0 ≤ ⋅ − = ∂ ∂ ij ij j ij q d t r
Land Rent menurun dengan adanya peningkatan tarif angkutan komoditas output (aksesibilitas transportasi output memburuk).
0 ≤ − = ∂ ∂ ij j ij x c r
Land Rent menurun dengan adanya peningkatan biaya produksi. 0 ≤ ⋅ − = ∂ ∂ ij ij j ij x d r τ
Land rent menurun dengan adanya peningkatan biaya transport input.
(
+)
≤0− = ∂ ∂ ij j ij j ij ij x q t d r τ
Land Rent menurun dengan semakin jauhnya jarak lokasi lahan dari pusat pasar. 0 ≥ ⋅ − = ∂ ∂ ij j j ij ij d t p q r
Land Rent meningkat dengan semakin tingginya produktifitas komoditas output.
(
+ ⋅)
≤0− = ∂ ∂ ij j j ij ij d c x r τ
Land Rent menurun dengan semakin besarnya kebutuhan input produksi (inefisiensi meningkat).
Kota sebagai Pusat Pertumbuhan dan Konversi Lahan
menimbulkan penghematan-penghematan intern dan ekstern yang disebabkan terjadinya keuntungan akibat pertukaran, tersedianya berbagai pasar termasuk pasar capital, tenaga kerja dan sebagainya. Pusat-pusat kawasan tersebut merupakan sumber pertumbuhan bahkan merupakan prasarat bagi suatu transisi perekonomian di kawasan pedesaan (rural) yang umumnya didomonasi sektor pertanian kepada suatu perekonomian yang maju, dimana terdapat produktifitas yang tinggi dan aktifitas-aktifitas yang luas.
Aspek kosmopolitikan kota merupakan tempat strategis berbagai
inovasi, input-input vital bahkan merupakan tempat perubahan. Kota
merupakan media penghubung (transmitter) masuknya pemikiran-pemikiran
maupun tindakan yang berasal dari luar.
Sistem transportasi yang dibangun untuk menghubungkan kawasan kota dengan hinterland merupakan faktor pendorong berkembangnya kedua kawasan. Melalui proses waktu semakin berkembangnya kota induk akan mengembangkan kawasan penyangga menjadi kota-kota kecil. Lewat suatu proses aglo-merasi ganda maka antara kota kota induk dan kota-kota kecil tersebut bisa saling menyatu. Hal ini menurut Anwar (1994) terjadi karena faktor transportasi “ketidakmampuan” kota induk memenuhi tuntutan kebutuhan warganya, terutama dalam menyediakan lahan untuk pemukiman tempat tinggal dan tempat mereka bekerja. Sehingga kawasan penyangga menjadi penting baik oleh kemungkinan ketersediaab lahan lingkungan lebih segar dan lahan-lahan dikota induk menjadi langka, sulit dispst dan mahal harganya.
Terjadinya aglomerasi ganda serta bergabungnya dua kota yang
didorong oleh perbaikan system transportasi mendodorng terjadinya tata
guna lahan terutama perubahan tersebut menyangkut pengalihan
lahan-lahan pertnian ke penggunaan non pertanian di pinggiran wilayah urban atau
didekat akses transportasi tersebut. Proses terbentuknya kota inti secara
JABOTABEK, hingga kota-kota kecil dengan kawasan penyangga
disekitarnya. Proses tersebut sangat penting pengaruhnya terhadap pola
perubahan tata guna lahan termasuk perubahan lahan pertanian menjadi
non pertanian. Proses terbentuknya kota ini digambarkan dalam Gambar 9
berikut ;
[image:34.612.134.520.222.482.2]Sumber: Adisasmita, 1983 (teori-teori lokasi dan pengembangan wilayah)
Gambar 9 : Pembentukan Kota Inti secara Berganda
Proses aglomerasi kota mendorong terjadinya suatu proses yang disebut
spread effect dan back wash effect. Spread effect menunjuk pada dampak
momentum pembangunan yang merugikan secara sentrifugal dari pusat
pengembangan ekonomi ke wilayah-wilayah lainnya. Dorongan tesebut
berbentuk pertambahan permintaan dari daerah yang kaya terhadap
produksi barang dan jasa seperti hasil pertanian , industri rumah tangga dan
sebagainya dari kawasan hinterland tersebut. Sebaliknya melalui proses
1 2
3
4
Jarak dari pusat Jarak dari pusat
Land Rent
Lokasi Pusat
Keterangan :
1. Kawasan Komersial/Finansial
2. Kawasan Industri
3. Kawasan Perumahan
back wash effect justru terjadi proses penyedotan berbagai faktor input
seperti tenaga kerja potensial, faktor capital bahkan sumberdaya potensial
lain.
Myrdal berkeyakinan bahwa kawasan maju akan mengalami proses external diseconomics, karena terjadi misorgianisasi, kemacetan lalulintas, kerusakan lingkungan bahkan kriminalitas semakin meningkat karena tekanan penduduk yang tinggi. Akibatnya pemukiman-pemukiman golongan mapan keatas maupun perusahaan membutuhkan kawasan baru yang akan menjadi kawasan pertumbuhan baru pula.
Seluruh rangkaian proses ini memungkinkan terjadinya relokasi lahan
termasuk lahan sawah khususnya disekitar kawasan pertumbuhan. Karena
lahan-lahan seperti lahan sawah yang land rent persatuan luasnya lebih
rendah, dialokasikan ke sektor lain yang nilai land rent per satuan luasnya
lebih tinggi. Tekanan yang semalin besar terhadap lahan khususnya lahan
pertanian di sekitar kawasan pertumbuhan walaupun merupakan proses
yang wajar tetapi tanpa ada aturan yang jelas tentang siapa memperoleh
siapa dan untuk apa jelas akan besar biaya sosialnya..
Sumberdaya Air
Persediaan air hampir seluruhnya didapatkan dalam bentuk hujan sebagai
hasil dari penguapan air laut. Proses-proses yang tercakup dalam peralihan
uap dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang
disebut daur hidrologi.
Daur Hidrologi
Tahap pertama dari daur hidrologi adalah penguapan air dari laut. Uap ini
dibawa di atas daratan oleh massa udara yang bergerak. Bila didinginkan
kondisi meteorologis yang sesuai, butiran-butiran air kecil itu akan
berkembang menjadi besar untuk dapat jatuh ke permukaan bumi sebagai
hujan.
Pendinginan massa udara yang besar terjadi karena pengangkatan (lifting).
Berkurangnya tekanan yang diakibatkan akan disertai dengan turunnya
suhu, sesuai dengan hukum tentang gas. Pengangkatan orografis akan
terjadi bila udara dipaksa naik di atas suatu hambatan yang berupa gunung.
Oleh sebab itu, maka lereng gunung yang berada pada arah angin biasanya
menjadi daerah yang berhujan lebat. Udara mungkin pula naik di atas udara
yang lebih dingin. Perbatasan antara massa-massa udara ini disebut
permukaan frontal. Dan proses pengangkatannya disebut pengangkatan
frontal. Akhirnya udara yang dipanaskan dari bawah mungkin naik keatas
dengan berputar menembus udara yang lebih dingin (pengangkatan
pusaran/konvektif) yang menjadi sebab adanya badai pusaran setempat
yang biasa terjadi pada musim panas.
Sekitar 2/3 (dua pertiga) dari presipitasi yang mencapai permukaan
tanah dikembalikan lagi ke udara melalui penguapan dari permukaan air,
tanah dan tumbuh-tumbuhan serta melalui transpirasi oleh tanaman. Sisa
presipitasikembali ke laut melalui saluran -saluran di atas atau di bawah
tanah. Prosentase yang besar dari presipitasi yang menguap sering
menimbulkan bahwa penambahanpenguapan dengan pembangunan waduk
atau penambahan pohon-pohon akan meningkatkan jumlah embun di udara
yang bisa diperoleh untuk presipitasi. Hanya sebagian kecil dari embun yang
melalui suatu titik tertentu dipermukaan bumi yang jatuh sebagai presipitasi.
merupakan bagian kecil dari keseluruhan air di atmosfir. Daur hidrologi
dilukiskan dalam bentuk bagan pada Gambar 1.
Presipitasi
Definisi presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfet ke
permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di
derah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Asdak,
1995). Menurut Linsley dan Franzini, 1979 presipitasi meliputi semua air
yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi. Presipitasi terjadi dalam
berbagai bentuk yaitu presipitasi cair (curah hujan) dan presipitasi beku
(salju, batu es). Curah hujan yang mengalir segera ke sungai setelah
mencapai tanah, dan menjadi sebab dari sebagian besar banjir. Selain
curah hujan ada tetesan kabut dan embun yang jatuh ke tanah namun
jumlahnya sangat kecil sehingga tidak diperhitungkan.
Tipe Presipitasi
Tipe presipitasi ditentukan atas dasar dua sudut pandang yang berlainan,
yaitu atas dasar genesa (asal mulanya) maupun atas dasar bentuk
presipitasi (Linsley dan Franzini, 1979 dan Seyhan, 1977).
Klasifikasi genetic
Klasifikasi ini didasarkan atas timbulnya presipitasi, faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya presipitasi yaitu : suhu udara yang lembab, inti
kondensasi (partikel debu, kristal garam, dan lain -lain) dan sarana untuk
menaikan udara yang lembab, sehingga kondensasi dapat berlangsung
ini dibedakan dalam 3 jenis, yaitu pendinginan siklonik, orografik dan
konvektif.
Klasifikasi bentuk
Presipitasi jenis ini dapat dibedakan dalam dua jenis yait vertikal dan
horizontal.
Presipitasi vertikal terdiri dari :
1. Hujan : Air yang jatuh dalam bentuk tetesan yang dikondensasikan
dari uap air di atmosfir
2. Hujan gerimis : Hujan dengan tetesan yang sangat kecil
3. Salju : Kristal -kristal kecil air yang membeku yang secara langsung
dibentuk uap air di udara bila suhunya pada saat kondensasi kurang
dari 0ºC.
4. Hujan batu es : gumpalan es yang kecil, kebulat bulatan yang
dipresipitasikan selama huja badai
5. Sleet : Campuran hujan dan salju.Hujan ini disebut juga glaze (salju
basah).
Presipitasi Horizontal terdiri dari :
1. Es : Salju yang sanga dipadatkan
2. Kabut : Uap air yang dikondensasikan menjadi partikel-partikel air
halus di dekat permukaan tanah.
3. Embun beku : Bentuk kabut yang membeku diatas permukaan tanah
4. Embun : Air yang diondensasikan sebagai air diatas permukaan tanah
dan vegetasi yang dingin, terutama pada malam hari. Embun ini
menguap pada pagi hari.
5. Kondensasi pada es dalam tanah : Kondensasi juga menghasilkan
presipitasi dari udara basah hangat yang mengalir diatas lembaran es
dan pada iklim sedang didalam beberapa sentimeter bagian atas
tanah.
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah proses kembalinya air hujan yang jatuh
kepermukaan bumi baik dari air hujan yang langsung menguap kembali ke
udara (evaporasi) maupun melalui tanaman yang menyerap ait dari dalam
tanah dan menguapkannya kembali ke udara (transpirasi). Evaporasi yang
terjadi di seluruh permukaan bumi mencapai lebih dari setengahnya dari
curah hujanyang jatuh ke permukaan bumi, bahkan pada daerah yang
gersang evapotranspirasi menghabiskan sebagian besar air yang terdapat
dalam situ/danau (Linsley dan Franzini, 1979).
Faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi adalah radiasi matahari,
terbukanya stomata daun dan kelembaban tanah (Asdak, 1995).
Pengaruh radiasi matahari terhadap evapotranspirasi adalah melalui proses
fotosintesis, dimana dalam mengatur hidupnya tanaman memerlukan
sirkulasi air melalui sistem akar-batang-daun. Sirkulasi perjalanan air dari
bawah (akar) ke atas (daun) dipercepat dengan meningkatnya jumlah radiasi
dikatakan secara langsung berkaitan dengan intensitas dan lama waktu
radiasi matahari. Namun suhu yang besar pengaruhnya terhadap
evaporanspirasi adalah suhu permukaan daun bukan suhu udara
disekitarnya.
Terbukanya stomata daun juga mempengaruhi besarnya evapotranspirasi,
yaitu pada saat proses tebuka dan tertutupnya stomata, pada waktu stomata
terbuka evapotranspirasi akan berjalan lebih cepat proses lamanya stomata
terbuka dipengaruhi oleh suhu udara sekitarnya, oleh karena itu
evapotranspirasi lebih banyak terjadi pada siang hari.
Kelembaban tanah juga mempunyai peran untuk mempengaruhi terjadinya
evapotranspirasi, dimana evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang
bersangkutan sedang tidak kekurangan supali air (Penman, 1956 dalam
Asdak, 1995).
Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk
ke dalam tanah. Perkolasi merupakan kelanjutan aliran air tersebut ke tanah
yang lebih dalam (Asdak 1995). Dengan kata lain infiltrasi adalah aliran air
yang masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah
lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Setelah lapisan tanah
bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah yang lebih dalam
sebagai akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebagai proses perkolasi.
Ketika hujan jatuh di atas permukaan tanah tergantung pada biofisik
permukaan tanah, sebagian atau seluruh air hujan tersebut akan mengalir
masuk ke dalam tanah melalui pori-pori permukaan tanah. Proses
mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi
dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi
dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gravitasi,
air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah.
Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi
(Asdak, 1995) :
1. Prosesnya masuknya air hujan melalui pori -pori permukaan tanah.
2. Tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah.
3. Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping dan
atas). Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga
proses tersebut di atas saling terkait.
Faktor-faktor penentu infiltrasi
Proses infiltrasi dipengaruhi beberapa faktor antara lain, tekstur dan
struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban awal), kegiatan biologi dan
unsur organik dan tumbuhan bawah atau tajuk penutup tanah lainnya. Tanah
yang remah memberikan kapasitas infiltrasi lebih besar daripada tanah liat.
Tanah dengan pori-pori jenuh air mempunyai kapasitas infiltrasi lebih kecil
dibandingkan dalam keadaan kering. Keadaan tajuk penutup tanah yang
rapat dapat mengurangi jumlah air hujan yang sampai ke permukaan tanah,
dengan demikian mengurangi besarnya air infiltrasi. Sementara sistem
menaikan permeabilitas tanah, dan dengan demikian, meningkatkan laju
infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh :
1. Jumlah air yang tersedia dipermukaan tanah.
2. Sifat permukaan tanah
3. Kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah.
Air yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak
kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah secara gravitasi dan kapiler dalam
suatu aliran yang disebut infiltrasi. Terjadinya infiltrasi karena tanah yang
merupakan permukaan bumi mempunyai rongga-rongga yang
memungkinkan dilalui air dan mempunyai kapasitas untuk menyimpan air
dari presipitasi. Kemampuan tanah untuk menyimpan air disebut lengas
tanah. Neraca sederhana air dalam tanah menurut Ward, 1967 (dalam
Asdak, 1995) adalah sebagai berikut :
ÄS = f + c – d – Ea + Äw ……… (5)
Dimana :
ÄS = laju perubahan kandungan lengas tanah
f = laju infiltrasi kedalam mintakat air dalam tanah
c = laju kenaikan kapiler dari mintakat jenuh
d = laju drainase kedalam mintakat penjenuhan
Ea = laju evapotranspirasi aktual
Äw = laju perubahan uap air yang berpindah melalui penampang tanah
terutama karena gradien suhu
Limpasan permukaan adalah bagian presipitasi (juga
kontribusi-kontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri ats gerakan
gravitasi air da nampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen
maupun terputus-putus yang melintas di atas permukaan tanah menuju
saluran sungai (Seyhan, 1977).
Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan adalah:
- Faktor iklim yang terdiri dari banyaknya presipitasi dan evapotranspirasi
- Faktor DAS yang meliputi ukuran daerah aliran sungai dan tinggi tempat
rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh orografis).
Faktor-faktor yang mempengaruhi agihan waktu limpasan adalah :
- Faktor meteorologis yang terdiri dari : Presipitasi (tipe, intensitas, lama
presipitasi, agihan kawasan, agihan waktu, arah gerakan air hujan,
frekwensi terjadinya, presipitasi yang mendahuluinya), radiasi matahari,
suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan atmosfer, dll.
- Faktor daerah aliran sungai yang meliputi : Topografi (bentuk daerah
aliran sungai, kemiringan daerah aliran sungai) geologi (permeabilitas
dan kapasitas akifer), tipe tanah, vegetasi dan jaringan drainase (tatanan
sungai dan kerapatan drainase).
- Faktor manusiawi, yang terdiri dari : struktur hidrolik, teknik pertanian dan
urbanisasi.
Keterkaitan Pengunaan Lahan dengan Sumberdaya Air
Jenis penggunaan lahan yang berbeda dalam suatu wilayah mempunyai
jatuh diatas permukaan bumi/tanah, sebagian kembali ke udara melalui
proses evapotranspirasi, sebagian meresap kedalam tanah menjadi aliran air
bawah tanah dn sebagian lagi mengalir dipermukaan untuk masuk kedalam
badan penampung air (sungai, situ dll). Perubahan penggunaan tanah yang
dilihat dari penutup tajuk (land cover) akan mengakibatkan perubahan
terhadap air hujan yang meresap kedalam tanah dan air permukaan, suatu
lahan terbuka yang diguakan untuk pertanian atau ruang terbuka hijau
denganland cover vegetasi akan mengalirkan air hujan yang jatuh ke tanah
sebanyak 20% dan 80% lagi meresap kedalam tanah, ketika lahan tersebut
berubah menjadi perumahan maka aliran air permukaan akan meningkat
menjadi 50% dan 50% lagi meresap kedalam tanah dan ketika lahan terbuka
tersebut berubah menjadi kawasan yang padat industri aliran air permukaan
berubah menjadi 80% dan aliran air permukaan berubah menjadi 20%.
Perlakuan lahan terhadap air hujan yang jatuh kepermukaan bumi di nilai
dengan bearnya koefisien air larian (C). Koefisien air larian adalah bilangan
yang menunjukan perbandingan antara besarnya air larian terhadap
besarnya curah hujan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,10, artinya 10
persen dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka koefien air larian
makin besar menunjukanbahwa lebih banyak air hujan yang menjadi air
larian, hal ini kurang menguntungkan dari segi pencagaran sumberdaya air
karena besarnya air yang akan menjadi air tanah berkurang, kerugian lain
adalah dengan semakin besarnya air hujan yang menjadi air larian, maka
ancaman terjadinya erosi dan banjir menjadi lebih besar.
Tabel 1 . Nilai koefisien Air Larian C, (hasil penelitian U.S. Forest Service 1980)
Tata Guna lahan Koefisien Run -Off (C)
Tata Guna Lahan Koefisien Run -Off (C) Perkantoran
Daerah Pusat Kota Daerah Sekitar Kota
Perumahan
Rumah Tunggal Rumah susun, terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota
Daerah Industri
Kurang padat industri Padat industri Tanah Kuburan Tempat Bemain Daerah Stasiun KA Daerah Tak Berkembang
Jalan Raya Beraspal Berbeton Berbatu bata Trotoar Daerah Beratap
0,70 – 0,95 0,50 – 0,70
0,30 – 0,50 0,40 – 0,60 0,60 – 0,75 0,25 – 0,40
050 – 0,80 0,60 – 0,90 0,10 – 0,25 0,20 – 0,35 0,20 – 0,40 0,10 – 0,30
0,70 – 0,95 0,80 – 0,95 0,70 – 0,85 0,75 – 0,85 0,75 – 0,95
Tanah lapang
Berpasir, datar, 2% Berpasir, agak rata, 2-7% Berpasir miring, 7% Tanah berat, datar, 2% Tnh berat,agak rata, 2-7% Tanah berat, miring, 7%
Tanah Pertanian,0–30%
Tanah Kosong Rata
Kasar
Ladang garapan
Tnh berat, tanpa vegetasi Tnh berat, dngn vegetasi Berpas ir, tanpa vegetasi Berpasir, dngn vegetasi Padang Rumput Tanah Berat Berpasir Huta/bervegetasi
Tanah Tidak Produktif, >30%
Rata, kedap air Kasar
0,05 – 0,10 0,10 – 0,15 0,15 – 0,20 0,13 – 0,17 0,18 – 0,22 0,25 – 0,35
0,30 – 0,60 020 – 0,50 0,30 – 0,60 020 – 0,50 020 – 0,25 0,10 – 0,25 0,15 – 0,45 0,05 – 0,25 0,05 – 0,25
0,70 – 0,90 0,50 – 0,70
METODA PENELITIAN
Daerah penelitian adalah Kota Tangerang, Provinsi Banten dengan
luas wilayah sebesar 183.78 Km². Kota Tangerang secara geografis terletak
antara 6°6’ Lintang Utara sampai dengan 6°13’ Lintang Selatan dan 106°36’ Bujur Timur sampai dengan 106°42’ Bujur Timur dengan batas wilayah : Sebelah utara dengan Kecamatan Teluk Naga dan kecamatan sepatan
Kabupaten Tangerang.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Curug, Kecamatan Serpong dan Kecamatan pondok Aren Kabupaten Tangerang.
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang.
Sebelah timur dengan DKI Jakarta.
Kota Tangerang terdiri dari 13 kecamatan yaitu : Kecamatan Tangerang,
Karawaci, Batuceper, Neglasari, Cipondoh, Pinang, Ciledug, Karang Tengah,
Larangan, Jatiuwung, Cibodas, Periuk dan Kecamatan Benda.
Kerangka pemikiran terjadinya perubahan penggunaan lahan yang
terjadi di daerah penelitian dan perubahan potensi sumberdaya air serta
yang menyebabkan terjadinya kedua perubahan tersebut dapat dilihat pada
Metoda yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 2 jenis, yaitu : metoda
[image:48.612.132.516.188.288.2]untuk analisa perubahan tata guna lahan dan sumberdaya air.
Gambar 11. Diagram Alir Metoda Penelitian
Perubahan penggunaan Lahan
Pembuatan Peta Guna Lahan
Tahap persiapan meliputi tahap studi pustaka dan pengumpulan data yang
meliputi data yang berkaitan dengan penggunaan lahan, data penginderaan
jauh (remote sensing) maupun data penunjang dan peralatan penelitian.
Data penginderaan jauh adalah data hasil perekaman obyek dengan
menggunakan sensor buatan berupa citra foto udara skala 1 : 5.000 maupun
citra satelit skala 1 : 25.000.
Tahap Interpretasi dan uji lapang
Interpretasi dilakukan dengan menggunakan Softcopy Photogrametry yaitu
metoda pemetaan dengan melakukan ploting peta dengan dilatar belakangi
photo imagenya, sehingga foto latar belakang merupakan control terhadap
kelengkapan peta. Cara ini bisa digunakan terhadap citra foto udara maupun
Uji lapang dilakukan setelah selesai menginterpretasi citra foto, ploting peta
dicocokan dengan kondisi dilapangan sehingga peta penggunaan lahan yang
dibuat sesuai dengan kondisi di lapangan.
[image:49.612.150.518.148.430.2]Sumber : Peta Foto, Dinas Pertanahan, 2003
Gambar 13. Foto udara (Bagian Wilayah Kota Tangerang) Korelasi antar variabel
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan tabulasi. Untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian/ruang terbuka
hijau secara wilayah dicoba menggunakan korelasi sederhana dengan
menggunakan program Microsoft Exel SPSS versi 12 maupun Statistica versi
6. Korelasi antar variabel dilakukan dengan membuat tabulasi data dengan
variabel-variabel yang diperkirakan mempengaruhi pola perubahan
penggunaan lahan. Hasil dari korelasi tersebut menunjukan apakah
variabel-variabel tersebut mempunyai korelasi yang kuat atau lemah dalam
mendorong terjadinya perubahan lahan pertanian atau uang terbuka hijau
menjadi daerah terbangun (built up area). Adanya hubungan yang kuat antar
variabel ditunjukan dengan nilai korelasi yang tinggi. Variabel yang diamati
Kepadatan penduduk, Luas wilayah, Luas ruang terbuka hijau (pertanian),
Luas areal terbangun,Jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian
dan Jarak lokasi terhadap lokasi pusat (pusat kota)
Analisis Hidrogeologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian air tanah secara umum dibagi
dalam 2 jenis, yaitu :
Penelitian Langsung dan tidak langsung
Penelitian Tidak Langsung (Prospecting)
Metoda penelitian tidak langsung dengan menggunakan metoda geofisika
yang umum digunakan dalam penyelidikan air tanah adalah metoda
geolistrik. Pengukuran geolistrik dilakukan dengan cara memberikan arus
listrik ke dalam bumi dan kemudian mengamati pengaruh yang
ditimbulkannya. Dalam pengukuran resistivity (tahanan jenis), arus listrik
(ampere) dihantarkan ke bumi melalui 2 elektroda, dan beda potensialnya
(volt) dapat diukur antara 2 elektroda yang lainnya (Gambar 14). Dengan
demikian maka pengukuran ini memberikan besaran tahanan bumi (ohm).
Tujuan pengukuran geolistrik adalah mencoba menduga susunan bawah permukaan dengan mempelajari sifat-sifat batuan apabila diberikan arus kepadanya. Ruang pori lapisan yang permeable terisi larutan ionic yang menghantarkan listrik.
Tahanan jenis listrik suatu bahan dapat dapat didefinisikan sebagai berikut :
……… (6)
ñ = Tahanan jenis bahan (ohm meter) R = Tahanan jenis yang diukur (ohm) L = Panjang (meter)
dimana :
………. (7)
sehingga :
……… (8)
V = Beda Potensial (Volt)
[image:52.612.136.520.72.468.2]I = Kuat Arus yang melalui bahan (ampere)
Gambar 14
Material/bahan yang dilalui oleh arus listrik
Sedangkan untuk konduktivitas merupakan hantaran jenis yang dinyatakan dengan persamaan berikut :
………..(9)
………..(10)
J = Rapat Arus
ó
= Hantaran Jenis E = Medan Listrikó
= 1ñ
R = VI
ñ
= V A L IÄ V
L
I
ó
= J………..(11)
………..(12)
Berdasarkan hal yang mempengaruhi besarnya nilai tahanan jenis sebagai berikut :
1. Jenis batuan (sedimen, beku dan metamorf) jika batuan tersebut
mengandung air, maka tahanan jenisnya akan lebih rendah, dan
menjadi makin rendah jika air yang dikandung lapisan batuan
mempunyai kadar garam yang tinggi, hal ini meliputi pula salinitas
(kadar garam).
2. Faktor kondisi geologi setempat yang mengontrolnya, berbeda antara
satu tempat dengan tempat yang lain.
3. Perbedaan lapisan batuan, baik dari segi ketebalan, tekstur dan
komposisinya.
4. Temperatur.
5. Permeabilitas atau kemampuan suatu lapisan (batuan) meluluskan air
yang dicirikan dengan adanya pori-pori yang saling berhubungan.
Tabel 2. Hubungan jenis batuan terhadap besar butir, porositas dan kelulusan
Batuan Butir
(mm)
Porositas (%)
Angka Kelulusan Air (Permeability)
(m³/hari)
Lempung Lanau
Pasir sangat halus Pasir halus Pasir sedang Pasir kasar Konglomerat
0,01 0,01 – 0,04 0,05 – 0,10 0,10 – 0,20 0,25 – 0,45 0,50 – 0,95 1,00 – 5,00
45 – 55 40 – 50
30 – 40
30 - 40
0,01 0,05 – 0,80 1,20 – 40,00 5,00 – 20,00 30,00 – 100,00 125,00 – 450,00 500,00 – 1.200,00 J = I
A
Sumber : Soewali dkk, 1981
Parameter tahanan jenis (
ñ
) batuan merupakan nilai yang didapat dari hasil pengukuran. Fenomena ini tidak tergantung pada komposisi mineral yang menyusun batuan saja, tetapi lebih tergantung kepada porositas dan kandungan air di dalam pori-pori batuan. Untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut di atas, berikut disajikan gambar grafis yang memperlihatkan hubungan nilai tahanan jenis dengan kadar garam (Gambar 15)Sumber : Utomo, E.P dkk, 1981
Gambar 15. Hubungan Antara Tahanan Jenis dan kadar Garam dalam
Air yang dikandung Batuan)
Tabel 3. Nilai Tahanan Jenis batuan
Tahanan Jenis (Ù m) Jenis Tanah dan Batuan
Basah Kering
Soil (Tanah) Lempung Pasir, Kerikil
10 5 50
50 100 1.000
Tahanan Jenis
500
100
10
1,0
0 10 1.00 10.00 Kadar Garam
Air Tawar dalam
Batas Air
[image:54.612.136.507.238.520.2]Batugamping, batupasir Konglomerat
Batuan beku 20 – 100 1.000 1.000 500
[image:55.612.180.469.258.475.2]Sumber : Utomo dkk, 1981
Gambar 16. Skema alat ukur Tahanan Jenis (Geolistrik)
Gambar 17. Pengukuran Tahanan Jenis (Geolistrik) dilapangan
Secara garis besar air tanah dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu air tanah bebas dan air tanah tertekan (artesis).
Air tanah bebas adalah air tanah yang terjadi dimana air hujan yang jatuh dipermukaan tanah sebagian akan meresap melalui pori-pori atau rekahan pada tanah dan batuan sampai pada suatu kedalaman tertentu dimana batuan telah jenuh air. Bagian ini disebut zona penjenuhan (zone of saturation) yang merupakan suatu batas dimana air tanah berkumpul. Batas atasnya sebagai permukaan air tanah.
Masukan informasi yang dibutuhkan berupa kemiringan lahan, kerapatan sungai, ketebalan tanah, jenis batuan dasar dan keadaan air tanahnya. Ketebalan tanah memberikan informasi, bahwa makin tebal tanah makin mempunyai kemungkinan besar untuk keterdapatn air tanah bebas, jika
Alat Permukaan Tanah Arus (I)
dibandingkan dengan batuan dasar. Jenis batuan akan mempengaruhi adanya air tanah. Batuan sedimen berbutir kasar dan kadang-kadang Batugamping mempunyai kem ungkinan besar untuk dapat mengandung air tanah bebas.
Air tanah tertekan dapat terjadi apabila lapisan pembawa air (akifer) terapit oleh dua lapisan batuan yang kedap air (impermeable).
Terdapatnya artesis tergantung pula padajenis batuan dan struktur geologi
yang mengontrolnya. Batuan yang yang makin bersifat lulus air, maka batuan
tersebut makin tinggi kemungkinan untuk terdapatnya air tanah secara
umum. Penyebaran batuan batuan baik tegak maupun mendatar, struktur
geologi, arah kemiringan lapisan, lipat an dan patahan (sesar) akan
mencerminkan keberadaan air tanah artesis.
Metoda penelitian terhadap a