PENGELUARAN NELAYAN TRADISIONAL
DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH
INDRA ROCHMADI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:
CURAHAN KERJA, KONTRIBUSI ANGGOTA KELUARGA DALAM PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN POLA PENGELUARAN NELAYAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Agustus 2010
INDRA ROCHMADI. Working Time Allocation, Contribution of Family Members to Household Income and Traditional Expenditure Patterns in Brebes Regency (SJAFRI MANGKUPRAWIRA as the Chairman and RINA OKTAVIANI as the Member of the Advisory Committee)
A number of studies on fishermen’s lives generally focus on poverty and economic uncertainty as a result of living difficulties faced by fishermen and their families. At present, most households do not have only one income source but several sources. In other words, they do diversified jobs or have various income sources. However, the problem is that the opportunity cost or any possible activities the fishermen can do when they do not catch fish is very low and they tend to do the activities although they are not profitable and efficient. The objectives of this research were to analyze the factors that affect the allocation of working time among the households of traditional fishermen who use payang as a catching tool and to examine the factors that influence their income and expenditure. This study used cross sectional data. The model built in this study was intended to be able to identify the economic behaviors among the households of traditional fishermen in Brebes Regency, Central Java, based on the existing data and the results of previous studies with the support of relevant theories. Keywords: traditional fishermen, households, working time allocation, income
INDRA ROCHMADI. Curahan Kerja, Kontribusi Anggota Keluarga dalam Pendapatan Rumahtangga dan Pola Pengeluaran Nelayan Tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah (SJAFRI MANGKUPRAWIRA sebagai Ketua dan RINA OKTAVIANI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Secara teoritis, dengan potensi perikanan yang demikian besar, nelayan seharusnya mampu hidup berkecukupan. Namun kenyataannya, hanya segelintir nelayan yang hidup berkecukupan, selebihnya sebagian besar yang lain dapat dikatakan bukan saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang. Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang dihadapi nelayan dan keluarganya Dewasa ini sumber pendapatan sebagian besar rumahtangga tidak hanya satu, melainkan dari beberapa sumber atau dikatakan rumahtangga tersebut melakukan diversifikasi pekerjaan atau memiliki aneka ragam sumber pendapatan Namun yang menjadi permasalahan adalah opportunity cost atau kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan sangat rendah, maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.
Keputusan pencurahan waktu kerja oleh anggota rumahtangga baik di dalam maupun di luar sub sektor perikanan akan mempengaruhi besar kecilnya tingkat pendapatan yang diperoleh rumahtangga dan pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi pola pengeluaran. Keputusan rumahtangga dalam mencurahkan waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran merupakan perilaku rumahtangga.
Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap curahan kerja pada rumahtangga nelayan tradisional dengan alat tangkap payang dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan tradisional dengan alat tangkap payang. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kerat lintang (cross section). Model yang dibangun diarahkan untuk tujuan agar mampu mengkaji fenomena perilaku ekonomi rumahtangga nelayan tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah, berdasarkan data yang ada maupun hasil penelitian sebelumnya, disertai dengan dukungan teori yang relevan. Estimasi model digunakan metode 2 SLS. Mengingat jumlah persamaan yang ada, maka estimasi model tidak dilakukan secara terpisah, namun secara serempak (simultan) dengan rnenggunakan program aplikasi komputer SAS versi 9.2.
curahan waktu kerja yang tinggi, istri mempunyai kontribusi pendapatan pada kegiatan nonmelaut paling tinggi. Sebaliknya anak perempuan akan mengurangi jam kerjanya untuk mengurus balita. Kontribusi pendapatan suami dan anak laki-laki dalam rumahtangga nelayan tradisional payang tidak berbeda jauh, hal ini dikarenakan adanya pembagian pendapatan yang sama antara suami dan anak laki-laki dalam satu unit alat penangkapan (perahu)
Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
PENGELUARAN NELAYAN TRADISIONAL
DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH
INDRA ROCHMADI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi:
Dr.Ir.Nunung Kusnadi, MS
Penguji Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Nama Mahasiswa : Indra Rochmadi Nomor Pokok : H351060101
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir.Tb. Sjafri Mangkuprawira
Ketua Anggota
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Penulis dilahirkan di Surakarta, pada tanggal 20 Februari 1982 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Djumadi dan Widowati.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1994 di SDN Wonosari 103 Surakarta, pendidikan menengah pertama pada tahun 1997 di
SMP Batik 1 Surakarta dan pendidikan menengah atas pada tahun 2000 di SMAN Batik 1 Surakarta. Penulis menerima gelar sarjana perikanan (S.Pi) di Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2006.
i
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah... .. 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7
1.4.1. Ruang Lingkup ... 7
1.4.2. Keterbatasan ... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Nelayan Tradisional ... 9
2.1.1.Nelayan Tradisional ... 9
2.1.2.Nelayan Tradisional Payang ... 11
2.2. Curahan Tenaga Kerja... 12
2.3. Pendapatan dan Pengeluaran ... 14
2.4. Ekonomi Rumahtangga Nelayan... 16
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 18
3.1. Tinjauan Teoritis ... 18
3.1.1 Curahan Tenaga Kerja... 18
3.1.2 Pendapatan dan Konsumsi ... 22
3.2. Tinjauan Studi Empirik ... 26
3.3. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 31
3.3.1.Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan ... 31
3.3.2.Alur Pemikiran Penelitian ... 37
IV. METODE PENELITIAN ... 41
4.1. Lokasi Penelitian ... 41
ii
5.1.3. Kondisi Sosisal Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir Kabupaten Brebes ... 72
5.1.4. Kondisi Umum Sektor Kelautan dan Perikanan ... 74
5.1.4.1. Keadaan Topografi, Morfologi dan Geologi Wilayah Pesisir Brebes ... 74
iii
5.3.1.6. Curahan Tenaga Kerja Anak Laki-laki Nonmelaut .... 94
5.3.2. Pendapatan Anggota Keluarga ... 95
5.3.2.1. Pendapatan Suami Melaut ... 96
5.3.2.2. Pendapatan Suami Nonmelaut ... 98
5.3.2.3. Pendapatan Istri Nonmelaut ... 99
5.3.2.4. Pendapatan Anak Perempuan Nonmelaut ... 101
5.3.2.5. Pendapatan Anak Laki-laki Melaut ... 102
5.3.2.6. Pendapatan Anak Laki-laki Nonmelaut ... 104
5.3.3. Pengeluaran Rumahtangga ... 105
5.3.3.1. Konsumsi Pangan ... 105
5.3.3.2. Konsumsi Nonpangan ... 106
5.3.4. Produksi Ikan ... 107
5.3.4.1. Biaya Bahan Bakar Minyak ... 109
5.3.4.2. Biaya Perbekalan Melaut ... 109
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111
7.1. Kesimpulan ... 111
7.2. Saran ... 111
iv
Nomor Halaman
1. Penggolongan Nelayan Menurut Jarak, Ukuran Kapal, dan
Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 10 2. Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut Menurut Kategori dan
Ukuran Kapal di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 37 3. Luas Wilayah dan Jumlah Desa di Kabupaten Brebes Tahun 2008 .. 66 4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten
Brebes Tahun 2008 ... 68 5. Perumbuhan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten
Brebes Tahun 1998-2008 ... 69 6. Proyeksi Jumlah Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten
Brebes Tahun 2014 ... 70 7. Pertumbuhan Penduduk di Lima Kecamatan Pesisir Kabupaten
Brebes Tahun 2003-2008 ... 71 8. Tingkat Pendidikan Penduduk Umur 10 Tahun ke Atas Wilayah
Pesisir Kabupaten Brebes Tahun 2007 ... 72 9. Jumlah Penduduk Kabupaten Brebes yang Bergerak di Bidang
Perikanan Tahun 2007-2008 ... 73 10. Jumlah Keluarga Miskin di Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes
Tahun 2002-2006 ... 74 11. Luas Wilayah Menurut Ketinggian Per Kecamatan di Wilayah
Pesisir Kabupaten Brebes Tahun 2007 ... 74 12. Luas Lereng Per Kecamatan di Pesisir Kabupaten Brebes
Tahun 2007 ... 75 13. Banyaknya Curah Hujan di Wilayah Pesisir Brebes Tahun 2007 .... 76 14. Produksi Perikanan Kabupaten Brebes dalam Tahun 2006 ... 79 15. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Nelayan Kabupaten Brebes
Tahun 2006 ... 80 16. Jumlah Armada Kapal di Kabupaten Brebes Tahun 2006 ... 80 17. Alokasi Waktu Anggota Rumahtangga Nelayan Tradisional
v
19. Pola Pengeluaran Rumahtangga Nelayan di Kabupaten Brebes
Tahun 2008 ... 83 20. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Suami pada
Kegiatan Melaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 85 21. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Suami pada
Kegiatan Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 87 22. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Istri di
Kabupaten Brebes pada Kegiatan Nonmelaut Tahun 2008 ... 89 23. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Anak Perempuan
di Kabupaten Brebes pada Kegiatan Nonmelaut Tahun 2008 ... 91 24. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Anak
Laki-laki di Kabupaten Brebes pada Kegiatan Melaut Tahun 2008 . 93 25. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Anak Laki-laki
pada di Kabupaten Brebes pada Kegiatan Nonmelaut Tahun 2008 ... 95 26. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Suami dari Kegiatan
Melaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 97 27. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Suami dari Kegiatan
Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 98 28. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Istri dari Kegiatan
Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 100 29. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Anak Perempuan dari
Kegiatan Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 101 30. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Anak Laki-Laki dari
Kegiatan Melaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 103 31. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Anak Laki-Laki dari
Kegiatan Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 104 32. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Pangan Rumahtangga
di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 105 33. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Nonpangan
vi
35. Hasil Pendugaan Parameter Biaya Bahan Bakar Minyak
di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 109 36. Hasil Pendugaan Parameter Biaya Perbekalan Melaut di Kabupaten
vii
Nomor Halaman
1. Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Rumahtangga ... ... 19 2. Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Subtitusi
dan Efek Total ... .... 20 3. Kurva Hubungan Pendapatan dengan Konsumsi ... .... 24 4. Alur Pemikiran Ekonomi Rumahtangga Nelayan dengan
Alat Tangkap Payang di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... .... 38 5. Bagan Penarikan Contoh Rumahtangga Nelayan Tradisional di
viii
Nomor Halaman
1. Diagram Langkah-Langkah Estimasi Model Ekonomi
Rumahtangga Nelayan Tradisional ... 114 2. Program Komputer Pendugaan Model Persamaan Simultan
dengan Metode Two State Least Square (2SLS) SAS Versi 9.2 ... 115 3. Hasil Pendugaan Model Persamaan Simultan dengan Metode Two
1.1. Latar Belakang
Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam
perekonomian Indonesia karena beberapa alasan antara lain: (1) sumberdaya
perikanan, sumberdaya perairan dan lahan tambak masih cukup melimpah dan
belum dimanfaatkan secara optimal, (2) Produk Domestik Bruto (PDB) sub
sektor perikanan walaupun masih relatif kecil kontribusinya, akan tetapi
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dan bahkan
peningkatannya tertinggi dibandingkan dengan sektor yang lain, (3) pola hidup
masyarakat saat ini dicirikan dengan semakin selektifnya makanan yang disajikan
dengan memenuhi kriteria gizi yang tinggi, mudah disajikan dan menjangkau
masyarakat, dan (4) jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat dan
mencapai lebih dari 200 juta jiwa merupakan pasar yang potensial bagi
produk-produk perikanan (Kusumaatmadja, 2000).
Secara teoritis, dengan potensi perikanan yang demikian besar, nelayan
seharusnya mampu hidup berkecukupan. Namun kenyataannya, hanya segelintir
nelayan yang hidup berkecukupan, selebihnya sebagian besar yang lain dapat
dikatakan bukan saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang.
Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada
kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang
dihadapi nelayan dan keluarganya (Emerson, 1980). Kehidupan nelayan dapat
dikatakan tidak saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang,
termasuk dalam hal pendidikan. Keterbatasan sosial yang dialami nelayan
masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan terisolasi atau terasing. Namun lebih
terwujud pada ketidakmampuan mereka dalam mengambil bagian dalam kegiatan
ekonomi pasar secara menguntungkan, yang ditunjukkan oleh lemahnya mereka
mengembangkan organisasi keluar lingkungan kerabat mereka atau komunitas
lokal (Budiharsono, 1989).
Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan dalam ekonomi
rumahtangga, dengan dasar skema waktu yang berbeda antara satuan waktu per
bulan dan per tahun, diperoleh kesimpulan yang sama antara Aryani (1994) dan
Reniati (1998) dalam hal: (1) anggota rumahtangga, yaitu istri dan anak, di
samping suami selaku kepala rumahtangga, memegang peranan penting dalam
berkontribusi untuk penerimaan rumahtangga nelayan, (2) dilihat dari curahan jam
kerja, peranan istri cukup tinggi, dan (3) penerimaan nonmelaut memegang
peranan menentukan dalam alokasi curahan kerja anggota keluarga dan
kontribusinya terhadap penerimaan rumahtangga nelayan.
Dewasa ini sumber pendapatan sebagian besar rumahtangga tidak hanya
satu, melainkan dari beberapa sumber atau dikatakan rumahtangga tersebut
melakukan diversifikasi pekerjaan atau memiliki aneka ragam sumber pendapatan
(Susilowati 2002). Fenomena pencaharian pendapatan tambahan rumahtangga
lazim dijumpai pada masyarakat pedesaan, hal ini menandai adanya keragaman
dalam sumber pendapatan rumahtangga.
Pendapatan rumahtangga berasal dari berbagai sumber yang selalu
berubah sesuai dengan musim dan kesempatan, pasar tenaga kerja dan waktu
luang setiap harinya. Dengan keadaan tersebut, maka pembagian pekerjaan relatif
struktur pekerjaan dan alokasi waktu kerja pada anggota rumahtangga nelayan
yang pada gilirannya akan menyebabkan perubahan struktur pendapatan
rumahtangga nelayan (Wiradi, 1985 dan White, 1980).
Untuk memahami berbagai upaya dalam meningkatkan pendapatan
nelayan tradisional diperlukan pendekatan yang memperhatikan pola pengambilan
keputusan keluarga secara internal di samping juga pengaruh eksternal.
Keterlibatan seorang anggota keluarga nelayan dalam upaya mengurangi
kemiskinan ternyata tidak hanya didasarkan pada keputusan pribadi nelayan,
melainkan secara bersama-sama oleh anggota keluarganya. Antunes (1998)
melaporkan 60% angkatan kerja wanita di wilayah Bendar, Juwana Jawa Tengah
bekerja dalam kegiatan perikanan. Menurut Susilowati (1998) partisipasi kerja
istri atau wanita dalam menambah pendapatan dipengaruhi oleh pekerjaan dan
posisi suami, jumlah anggota keluarga dan peranannya dalam proses pengambilan
keputusan dalam rumahtangga nelayan.
Rumahtangga disebut unit dasar pengambilan keputusan karena peranan
rumahtangga hampir mirip dengan perusahaan dalam teori permintaan tenaga
kerja. Anggota rumahtangga dianggap akan bekerja dengan melihat pertimbangan
anggota lain. Jadi keputusan penawaran tenaga kerja oleh rumahtangga
merupakan proses simultan menuju kepuasan maksimum dengan sumberdaya
terbatas. Dalam pencurahan tenaga kerja rumahtangga nelayan tradisional
bukanlah didasarkan pada keputusan pribadi nelayan (suami), melainkan secara
bersama-sama dilakukan oleh anggota rumahtangga yaitu suami, istri dan
1.2. Perumusan Masalah
Menurut Dinas Perikanan Jawa Tengah tahun 2008 jumlah nelayan di
Pantai Utara Jawa Tengah mencapai 176 969 orang, sedangkan jumlah nelayan
terbanyak terdapat di Kabupaten Brebes, yaitu 23.503 orang dengan peningkatan
rata-rata per tahun sebesar 56.46%. Nelayan tradisional merupakan istilah yang
lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan
oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, di samping
pemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan rendah dan miskin,
umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor dengan alat tangkap yang
sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan
untuk membedakan dengan nelayan modern atau non tradisional (Bailey, 1992).
Kondisi keterbatasan sosial dan kemiskinan yang diderita masyarakat
nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak
hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia,
keterbatasan modal, kurangnya akses, dan jaringan perdagangan ikan yang
cenderung eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, serta dampak negatif
modernisasi perikanan yang mendorong terkurasnya sumberdaya laut secara cepat
dan berlebihan, serta terbatasnya peluang dan kesempatan nelayan untuk
melakukan diverisifikasi pekerjaan, terutama di luar kegiatan pencarian ikan di
laut.
Sitorus (1994) mendapatkan bahwa seluruh kasus rumahtangga miskin
menerapkan strategi sumber nafkah ganda. Artinya rumahtangga tidak hanya
mengandalkan hidup pada satu jenis pekerjaan. Di desa pantai, nelayan menyadari
untuk itu terutama bagi rumahtangga yang mempunyai anak banyak, mereka
mencari sumber pendapatan lain yang menambah penghasilan rumahtangga
mereka. Hasibuan (1994) menunjukkan bahwa penduduk pedesaan baik petani
maupun nelayan cenderung beragam bidang nafkah yang dapat dijadikan untuk
mempertahankan kehidupan rumahtangganya. Dalam hal ini masalah utama yang
mereka hadapi adalah semakin terbatasnya kesempatan kerja bagi penduduk untuk
mendapatkan sumber penghasilan yang relatif tetap.
Subade (1993) mengajukan argumen bahwa nelayan tetap tinggal pada
kegiatan perikanan karena rendahnya opportunity cost pada kegiatan melaut di
lingkungan mereka. Opportunity cost nelayan menurut definisi adalah
kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang
dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah
kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap
ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan
usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada
juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di
negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian
maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan
demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu
yang bisa dikerjakan.
Nelayan tradisional dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus
mencukupi kebutuhan rumahtangga mereka dengan tidak mengandalkan dari satu
sumber pendapatan atau pekerjaan saja, melainkan dari berbagai sumber baik
pencarian ikan di laut, maupun kegiatan di luar sektor kenelayanan, seperti
bertani, berkebun, penjual jasa, maupun tukang becak.
Keputusan pencurahan waktu kerja oleh anggota rumahtangga baik di
dalam maupun di luar sub sektor perikanan akan mempengaruhi besar kecilnya
tingkat pendapatan yang diperoleh rumahtangga dan pendapatan rumahtangga
akan mempengaruhi pola pengeluaran. Keputusan rumahtangga dalam
mencurahkan waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran merupakan perilaku
rumahtangga.
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang menyangkut perilaku
rumahtangga nelayan tradisional yang perlu diteliti adalah:
1. Bagaimana setiap anggota rumahtangga nelayan tradisional melakukan
pencurahan waktu kerjanya dengan terbatasnya kesempatan kerja di daerah
pesisir?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan ekonomi rumahtangga
nelayan tradisional?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan, maka
penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari perilaku ekonomi
rumahtangga nelayan tradisional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap curahan kerja pada
rumahtangga nelayan tradisional.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran
Secara keseluruhan nelayan tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah
didominasi oleh nelayan dengan alat tangkap payang, maka dalam tujuan
penelitian ini rumahtangga yang dianalisis adalah rumahtangga nelayan
tradisional dengan alat tangkap payang.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1.4.1. Ruang Lingkup
Hasil penelitian ekonomi rumahtangga nelayan yang dilakukan oleh
Reniati (1998) menunjukkan bahwa penggunaan model ekonomi rumahtangga
perikanan untuk kajian ekonomi rumahtangga nelayan memerlukan beberapa
penyesuaian, khususnya adanya perbedaan perilaku rumahtangga nelayan dalam
berproduksi dimana nelayan menghadapi kondisi ketidakpastian ketersediaan ikan
dan kegiatan eksploitasi penangkapan ikan.
1. Penelitian ini dilakukan terhadap rumahtangga nelayan tradisional dengan alat
tangkap payang.
2. Alokasi waktu kerja anggota rumahtangga yang dianalisis adalah waktu untuk
bekerja produktif di pasar kerja (market production time) yaitu waktu yang
digunakan untuk mencari nafkah (income earning market production) yang
memungkinkan rumahtangga dapat membeli barang dan jasa di pasar.
(Halide,1979)
3. Variabel dalam penelitian ini meliputi: pencurahan waktu tenaga kerja
rumahtangga di dalam sub sektor perikanan (melaut) dan di luar sub sektor
perikanan (nonmelaut), pendapatan rumahtangga dari dalam dan luar sub
sektor perikanan, pengeluaran rumahtangga (pangan dan nonpangan) serta
1.4.2. Keterbatasan
Validitas data yang dikumpulkan sangat tergantung kepada daya ingat dan
kejujuran rumahtangga respoden. Suatu penelitian tentang alokasi waktu kerja,
kontribusi pendapatan dan pola pengeluaran dalam setahun tentu membutuhkan
cara pengumpulan data yang sangat teliti dari satu waktu ke waktu berikutnya
dalam berbagai jenis kegiatan secara lengkap dan sistematis. Hal ini tentu
membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lebih banyak. Seperti yang pernah
dilakukan oleh Halide (1979), karena keterbatasan dalam hal-hal tersebut maka
penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rata-rata setahun dari kebiasaan
aktivitas per hari, per minggu maupun per bulan. Alokasi waktu kerja dianalisis
2.1. Nelayan
2.1.1. Nelayan Tradisional
Seperti telah diketahui bahwa sumberdaya utama yang dimiliki oleh
sebagian besar rumahtangga di negara berkembang, terutama rumahtangga miskin
adalah waktu untuk bekerja. Modal berupa uang dan kekayaan lainnya hanya
sedikit mereka miliki sehingga kecil artinya dalam proses memperoleh barang dan
jasa.
Sudah menjadi anggapan umum bahwa nelayan tradisional merupakan
golongan masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah. Hasibuan (1993)
menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata keluarga di desa pantai umumnya lebih
rendah dari pendapatan keluarga di desa sawah dan lahan kering. Menurut Smith
(1979), rendahnya pendapatan nelayan tradisional berkaitan dengan beberapa
faktor, yaitu: (1) terbatasnya sumberdaya perikanan, (2) unit penangkapan yang
masih sangat sederhana, (3) lemahnya kekuatan pasar, dan (4) bagi hasil yang
masih kecil. Pemecahan masalah nelayan tersebut adalah dengan meningkatkan
pendapatan dari usaha penangkapan ikan, yaitu dengan melalui usaha
memperbesar jumlah tangkapan, peningkatan harga, memperkecil ongkos atau
memperbesar persentase bagi hasil.
Usaha penangkapan ikan sangat bergantung dari hasil penangkapan ikan
di laut. Menurut Hermanto (1986) hasil penangkapan ikan di laut dipengaruhi
oleh: (1) tersedianya populasi ikan disuatu daerah penangkapan (fishing ground),
(2) keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi, dan (4) efektifitas alat tangkap
pendekatan aspek ekonomi, yaitu penguasaan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat inovasi nelayan yang terdiri dari: (1) nelayan yang tidak memiliki alat
produksi seperti perahu dan alat penangkapan, (2) nelayan kecil umumnya
memiliki tenaga kerja keluarga yang dimanfaatkan untuk meningkatkan
pendapatan keluaraga, dan (3) modal usaha penangkapan relatif kecil sehingga
untuk melakukan usaha penagkapan terbatas hanya di pesisir pantai dan
muara-muara sungai.
Menurut Dinas Perikanan Jawa Tengah (2008), perbedaan nelayan
tradisional dengan nelayan modern dapat dilihat juga dari jarak dalam melakukan
penangkapan ikan, nelayan tradisional hanya 0-3 mil dari pantai sedangkan
nelayan modern lebih dari 12 mil, sedangkan ukuran kapal 0-5 GT untuk nelayan
tradisional dan lebih dari 30 GT untuk nelayan modern, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Penggolongan Nelayan Menurut Jarak, Ukuran Kapal, dan Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Brebes Tahun 2008
Jarak dari Pantai (Mil)
Ukuran
(GT) Jenis Alat Tangkap Golongan
0 – 3 0 – 5 (dan Motor
2.1.2. Nelayan Tradisional Payang
Payang merupakan alat penangkapan ikan yang sudah lama dikenal dan
dioperasikan di Indonesia. Alat tangkap payang merupakan alat penangkapan
yang dikhususkan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil dan tergolong alat
tangkap aktif dilihat dari cara mengoperasikannya. Alat tangkap payang ini secara
teknologi belum banyak mengalami perkembangan pesat dan pengopersiannya
masih bersifat tradisional karena dalam usaha penangkapannya hanya
mengandalkan pengamatan mata atau visual yang dilakukan oleh nelayan.
Payang adalah alat tangkap ikan yang sudah lama dikenal dan digunakan
oleh nelayan Indonesia. Alat tangkap ini dapat dikategorikan sebagai alat yang
memiliki produktivitas tinggi dan dapat digolongkan sebagai alat penangkap ikan
tradisional, mengingat alat tangkap ini sudah lama digunakan oleh nelayan
Indonesia. Keberadaan unit penangkapan payang di dalam perikanan laut
Indonesia dianggap penting baik dilihat dari produktivitas maupun jumlah tenaga
kerja yang terlibat (Subani dan Barus, 1989)
Alat tangkap payang termasuk dalam kelompok seine net atau danish net.
Seine net adalah alat penangkap ikan yang mempunyai bagian badan, sayap dan
tali penarik yang sangat panjang dengan atau tanpa kantong. Alat penangkap ikan
ini dioperasikan dengan cara melingkari area seluas-luasnya dan kemudian
menarik alat ke kapal atau ke pantai. Payang merupakan salah satu dari seine net
yang dioperasikan dengan cara melingkari kawasan ikan lalu ditarik ke atas kapal
yang tidak bergerak. Alat ini sesuai perkembangan dimodifikasi dengan daerah
Alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok payang adalah payang
teri atau tongkol (boat seine), dogol dan pukat pantai (beach seine). Umumnya
jaring pada payang terdiri dari kantong, dua sayap, dua tali ris, tali salembar serta
pelampung dan pemberat (Monintja, 1991)
Daerah operasi penangkapan payang biasanya tidak jauh dari pantai dan
kedalaman yang relatif dangkal, ini dikarenakan keterbatasan perahu yang
digunakan berukuran kecil sehingga tidak dapat dioperasikan pada perairan
dengan gelombang besar. Ukuran kapal 3.56 - 5 GT dengan ukuran panjang
9-12m, lebar 2.5-3m, dan dalam 0.75 - 1m. Tahap-tahap persiapan sampai dengan
penangkapan oleh nelayan dengan menggunakan payang.
1. Tahap Persiapan
Persiapan yang harus dilakukan nelayan meliputi: persiapan perbekalan
(bahan bakar, makan dan minum), persiapan peralatan untuk perbaikan
jaring yang rusak pada saat ditengah laut, pemasangan mesin motor di
kapal, pemasangan pemberat di tali ris serta penataan jaring agar jaring
siap dioperasikan.
2. Menentukan daerah penangkapan ikan
Dapat ditentukan berdasarkan operasi penangkapan sebelumnya.
3. Setting atau penurunan jaring
4. Pengangkatan jaring
2.2. Curahan Tenaga Kerja
Mangkuprawira (1984) mengkaji alokasi dan kontribusi kerja anggota
keluarga di Sukabumi Jawa Barat. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
faktor-faktor demografis, ekonomi dan ekologi. Namun faktor imbalan kerja
suami dan istri berpengaruh nyata dan positif terhadap alokasi waktu suami dan
istri dalam mencari nafkah. Sedangkan pola pengeluaran rumahtangga
berhubungan nyata dengan faktor-faktor pendapatan rumahtangga, pendidikan
suami, tipe alokasi dan musim.
Tingkat partisipasi wanita diduga tergantung pada tiga faktor. Pertama,
dalam masyarakat yang tingkat fertilisasinya tinggi sehingga ukuran tenaga kerja
normal adalah besar, wanita muda tidak berkarir dan tidak akses pada pendidikan
dan pelatihan. Kedua, jika rata-rata tingkat fertilisasi tinggi, fertilisasi menekan
aktivitas wanita. Kondisi tenaga kerja anak bisa digunakan sebagai subtitusi bagi
bentuk tenaga kerja yang lain, ini bisa timbul pada masyarakat kota maupun desa
yang berpenghasilan rendah. Pembatasan penggunaan tenaga kerja anak, akan
meningkatkan partisipasi tenaga kerja wanita, yang semestinya disubtitusikan oleh
tenaga kerja anak. Oleh karena itu bukan hanya dengan menggalakkan penurunan
tingkat kesuburan wanita, tetapi juga perbaikan posisi bersaing wanita dalam
pasar tenaga kerja sehingga meningkatkan partisipasi tenaga kerja wanita. Ketiga,
aktivitas ekonomi wanita dibatasi oleh aktivitas pemeliharaan anak. Hal ini
tergantung ketersediaan tenaga kerja alternatif untuk aktifitas pemeliharaan anak,
terutama peluang biaya relatif pemeliharaan anak terhadap pendapatan wanita
(Standing, 1978).
Menurut Susilowati (1992) faktor yang dapat memacu peran perempuan
dalam usaha perikanan di Indonesia adalah: (1) faktor sosial: keyakinan agama,
ethnis, hubungan kewenangan antara suami istri dalam keluarga, basis usaha
ekonomi: kebutuhan, differensiasi akses perempuan atas sumberdaya yang
bernilai ekonomi tinggi, permodalan dan arti pendapatan bagi rumahtangga, akses
kredit atau kebijakan pemerintah, (3) faktor teknis: perubahan teknologi,
keterampilan yang dengan mudah dikuasai dan dilakukan bahan baku lokal dan
intensitas penggunaan tenaga kerja yang dibutuhkan, (4) faktor ekologis: musim
ikan kondisi lingkungan pantai yang ada, dan (5) faktor lainnya: umur, status
perkawinan, curahan waktu yang tersedia, penguasaan aset produktif dan
pendapatannya dan tingkat pendidikannya.
Para istri dalam rumahtangga nelayan adalah bekerja untuk kegiatan
produksi pengolahan dan perdagangan ikan, di samping bekerja pada kegiatan
ekonomi yang tidak terkait dengan pemanfaatan nilai tambah komoditi perikanan,
seperti tukang, pertanian dan lainnya.
2.3. Pendapatan dan Pengeluaran
Pengeluaran rumahtangga ditentukan oleh pendapatan total dan
karakteristik rumahtangga. Makin besar jumlah anggota rumahtangga, makin
besar pula jumlah pengeluaran rumahtangga. Mengingat adanya variabilitas
individu anggota rumahtangga menurut umur maupun seks, maka dalam
pendekatan ekonomi rumahtangga teori konsumsi individu yang lazim adalah
sangat sulit digunakan, karena perilaku permintaan rumahtangga tidak konsisten
dengan model yang didasarkan pada perilaku individu dalam rumahtangga.
Sementara itu, para ahli ilmu-ilmu sosial melihat tingkat kesejahteraan
rumahtangga tidak saja berhubungan dengan tingkat pengeluaran konsumsi
pangan, tetapi juga konsumsi kebutuhan pokok (basic needs) lainnya, yaitu di
pendidikan. Reniati (1998) melakukan pengelompokan perilaku konsumsi
rumahtangga nelayan menjadi konsumsi pangan dan nonpangan.
Secara khusus di dalam rumahtangga nelayan sendiri terdapat variasi yang
membedakan dengan pendapatan pada rumahtangga yang lain, yaitu:
1. anggota rumahtangga, yaitu istri dan anak di samping suami selaku kepala
rumahtangga pemegang peranan penting dalam berkontribusi untuk
penerimaan rumahtangga nelayan.
2. dilihat dari curahan kerja, peranan istri cukup tinggi.
3. penerimaan nonmelaut memegang peranan menentukan dalam alokasi
curahan kerja anggota keluarga dan kontribusinya terhadap penerimaan
rumahtangga nelayan.
Hasil penelitian Aryani (1994) dan Reniati (1998) menunjukkan bahwa
peranan perempuan untuk mendukung pendapatan nonmelaut adalah cukup
berarti. Suami, istri dan anak dalam rumahtangga nelayan memiliki keahlian,
ketrampilan, peran, tugas dan kewajiban yang berbeda di pasar kerja, bekerja di
rumah dan penggunaan waktu senggangnya.
Kegiatan agroindustri kecil yang umum diusahakan adalah usaha
pemindangan dan pengeringan ikan, karena kegiatan usaha tersebut dengan
mudah dapat dikelola oleh para perempuan nelayan, Hal ini dapat dijelaskan
karena kegiatan tersebut sangat sederhana dan mudah dikelola dengan tingkat
pendidikan perempuan nelayan yang ada saat ini (Erizal, 1995). Menurut Saragih
(1998) agroindustri adalah merupakan motor penggerak dalam sistem agribisnis
pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan. Oleh karena itu, para nelayan perlu
Kegiatan ekonomi rumahtangga nelayan dalam meningkatkan pendapatan
rumahtangganya pada umumnya menangani kegiatan pengolahan dan
perdagangan ikan, di samping kegiatan produktif nonperikanan, seperti tukang,
pertanian dan lainnya (Dirjen Perikanan, 1993; Antunes, 1998 dan Pranadji,
1995).
2.4. Ekonomi Rumahtangga Nelayan
Becker (1965) mengembangkan teori untuk mempelajari model ekonomi
rumahtangga petani (Agricultural Household Models), dimana kegiatan produksi
dan konsumsi tidak terpisah dan penggunaan tenaga kerja keluarga lebih
diutamakan. Teori ini memandang rumahtangga sebagai pengambil keputusan
dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta hubungannya dengan alokasi waktu
dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Asumsi yang
digunakan adalah bahwa dalam mengkonsumsi, kepuasan rumahtangga bukan
hanya ditentukan oleh barang dan jasa yang dapat diperoleh di pasar, tetapi juga
dari berbagai komoditi yang dihasilkan dalam rumahtangga. Selain itu ada
beberapa asumsi yang dipakai dalam agricultural household models, yaitu: (1)
waktu dan barang atau jasa merupakan unsur kepuasan, (2) waktu dan barang atau
jasa dapat dipakai sebagai faktor produksi dalam fungsi produksi rumahtangga,
dan (3) rumahtangga bertindak sebagai produsen dan sebagai konsumen.
Model ekonomi rumahtangga petani telah dicoba diaplikasikan dengan
beberapa modifikasi untuk menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan
oleh beberapa peneliti seperti Aryani (1994) dan Reniati (1998). Kedua peneliti
menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dalam kegiatan berproduksi,
tersebut menggunakan model yang digunakan untuk ekonomi rumahtangga petani
yang diturunkan dari teori ekonomi rumahtangga atas dasar model yang disusun
oleh Singh (1986) dengan memasukkan peubah relevan dengan kondisi ekonomi
3.1. Tinjauan Teoritis 3.1.1. Curahan Tenaga Kerja
Secara sederhana, tenaga kerja diartikan sebagai upaya manusia untuk
melakukan usaha. Usaha tersebut dalam hubungannya dengan perikanan adalah
usaha melaut dan nonmelaut. Dalam usaha tersebut terdapat perbedaan
penggunaan tenaga kerja, antara lain:
1. penggunaan tenaga kerja dalam perikanan bersifat tidak tetap dan tidak
berkelanjutan, sedangkan dalam perindustrian bersifat lebih tetap.
2. penggunaan tenaga kerja melaut sebagian besar adalah pria dan untuk
industri perikanan adalah wanita.
3. kegiatan dalam perikanan pada dasarnya harus disesuaikan dengan alam,
sedangkan dalam perindustrian dapat berlangsung sepanjang tahun.
Sumber tenaga kerja dalam perikanan dapat diperoleh dari dalam keluarga
dan dari luar keluarga. Sumber tenaga kerja dari dalam keluarga yaitu: suami,
istri, anak-anak, orang tua dan orang lain yang hidup serumah dan mendapatkan
fasilitas dari rumahtangga nelayan tersebut, sedangkan tenaga kerja dari luar
diperoleh dari luar rumahtangga nelayan.
Analisis tentang curahan tenaga kerja merupakan analisis tentang
penawaran tenaga kerja, yang pada prinsipnya membahas tentang
keputusan-keputusan anggota rumahtangga dalam pilihan jam kerjanya. Anggota
rumahtangga (individu-individu) dalam mengalokasikan jam kerja akan bertindak
O
Maksimasi utilitas rumahtangga dilakukan dengan mengkombinasikan
waktu santai dan barang konsumsi untuk memaksimumkan kepuasan. Setiap
angkatan kerja anggota rumahtangga dihadapkan pada pilihan bekerja atau tidak.
Apabila memilih bekerja berarti akan memberikan nilai guna pendapatan yang
lebih tinggi dan akan lebih mencurahkan waktunya bagi pencapaian kebutuhan
konsumsi. Sebaliknya jika tidak bekerja, maka waktu santai akan mempunyai
nilai guna lebih tinggi dari pada pendapatan (Mangkuprawira, 1984). Adanya
kedua pilihan tersebut akan menghasilkan berbagai kombinasi untuk mencapai
kepuasan yang maksimum, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: Mangkuprawira (1984)
Gambar 1. Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Rumahtangga
Anggota rumahtangga akan mengkonsumsi B0 dan W0 untuk
mendapatkan tingkat kepuasan U0. Jika makin banyak B dan W yang dikonsumsi
maka makin tinggi kepuasan U yang dicapai (U2 > U1 > U0
U0
). Dalam
mengkonsumsi barang dan waktu santai, anggota rumahtangga (individu) akan
menghadapi dua kendala yaitu waktu yang jumlahnya terbatas (24 jam per hari) U2
U1
W0
B1
B2
B0
W1 W3 Waktu Santai
0
dan anggota rumahtangga yang menawarkan tenaga kerja dalam suatu pasar
bersaing sempurna sehingga tidak akan mempengaruhi tingkat upah yang berlaku,
kedua kendala tersebut adalah kendala anggaran. Untuk memperoleh kombinasi
maksimum dengan mempertimbangkan kendala yang ada, maka kombinasi
optimum terletak pada garis anggaran yang menyinggung kurva indiferent.
Apabila terjadi kenaikan tingkat upah berarti terdapat tambahan pendapatan.
Dengan status ekonomi yang lebih tinggi seseorang cenderung
meningkatkan konsumsi dan waktu santainya yang berarti pengurangan jam kerja
(efek pendapatan). Dilain pihak kenaikan tingkat upah berarti harga waktu santai
menjadi lebih mahal dan mendorong anggota rumahtangga mensubtitusikan
waktu santainya dengan lebih banyak bekerja untuk menambah konsumsi barang
(efek subtitusi). Efek total dari perubahan tingkat upah adalah selisih dari efek
pendapatan dan subtitusi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber: Simanjuntak (1985)
Misalkan suatu rumahtangga mempunyai pendapatan OA=HB di luar hasil
pekerjaan (non earned income, misalnya sewa, warisan). Apabila seluruh waktu
yang tersedia OH digunakan untuk waktu luang maka pendapatan rumahtangga
tersebut hanya OA=HB. OD menunjukkan jumlah waktu yang digunakan
rumahtangga untuk waktu luang dan HD1 merupakan waktu yang digunakan
untuk bekerja (waktu luang diukur dari titik O ke titik H dan waktu bekerja
diukur dari H ke O). Dengan bekerja sebanyak HD1
Rasio tingkat upah awal (barang konsumsi per waktu luang) ditunjukkan
oleh slope garis anggaran BC
jam maka rumahtangga
memperoleh pendapatan senilai barang konsumsi AF. Jumlah barang konsumsi
rumahtangga adalah jumlah barang senilai hasil kerja ditambah jumlah barang
senilai pendapatan di luar hasil kerja yakni: OF = OA + AF. Nilai barang
konsumsi yang dapat dibelu dari hasil kerja satu jam dinamakan tingkat upah yang
dicerminkan dengan kecenderungan (slope) dari budget line. Semakin tinggi
tingkat upah maka akan semakin besar slope dari budget line.
1 dengan kondisi keseimbangan pada titik E dengan
utilitas U1. Apabila upah meningkat, maka budget line berubah dari BC1 menjadi
BC2. Perubahan tingkat upah tersebut akan menghasilkan pertambahan
pendapatan sebagaimana dilukiskan dengan garis B”C” yang sejajar dengan BC1.
Pertambahan pendapatan akan menambah waktu luang (OD1 ke OD2) sehingga
tingkat utilitas meningkat menjadi U2 (U1 ke U2) pada titik keseimbangan E2. Hal
ini merupakan efek pendapatan (income effect). Apabila upah meningkat maka
untuk mendapatkan pertambahan barang konsumsi harus mengorbankan waktu
luang (waktu untuk bekerja ditambah dari HD2 ke HD3) supaya berbeda pada
Uraian di atas menyimpulkan bahwa adanya penyediaan waktu bekerja
sehubungan dengan perubahan tingkat upah merupakan teori penawaran tenaga
kerja. Dalam analisis penawaran tenaga kerja, rumahtangga memainkan peranan
yang sama dengan perusahaan pada teori permintaan tenaga kerja. Artinya,
keputusan anggota rumahtangga untuk masuk dalam angkatan kerja bukanlah
semata-mata ditetapkan oleh pribadi seseorang akan tetapi secara bersama-sama
oleh anggota rumahtangga. Dengan demikian, penawaran tenaga kerja
rumahtangga merupakan hasil proses simultan untuk mencapai kepuasan
maksimum bagi rumahtangga dengan sumberdaya yang terbatas.
Mangkuprawira (1984) menyimpulkan bahwa meskipun wanita (istri)
memiliki peluang yang sama dengan laki-laki (suami), namun suami sebagai
kepala rumahtangga masih lebih besar tingkat partisipasinya dalam
mengalokasikan waktu kerja. Hal ini bisa dikatakan suami memberikan kontribusi
pendapatan yang lebih besar terhadap total pendapatan rumahtangga.
3.1.2. Pendapatan dan Konsumsi
Menurut Sadoulet dan Janvry (1995) analisis model ekonomi rumahtangga
perlu memperhatikan dua hal, yaitu: (1) apakah barang dan jasa yang dikonsumsi
rumahtangga sesuai dengan harga pasar, dan (2) perilaku produksi dan konsumsi
apakah separable. Jika sistem persamaan produksi dan konsumsi pada model
ekonomi rumahtangga separable, maka pendugaan sistem persamaan konsumsi
dan produksi dapat dilakukan secara bebas dan terpisah mengacu pendekatan
pendugaan sistem persamaan konsumsi dan produksi yang baku, seperti
penggunaan fungsi keuntungan yang umum digunakan. Pendekatan ekonomi
produksi melalui pengaruh pendapatan. Hanya saja patut diperhatikan, menurut
Sadoulet dan Janvry (1995), bahwa manfaat dari pendekatan ekonomi
rumahtangga, bahkan akan menghasilkan kesimpulan yang berlawanan dengan
kesimpulan yang dapat diperoleh dengan pendekatan teori konsumsi murni, jika
perilaku ekonomi rumahtangga tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Dampak keuntungan karena perubahan harga adalah sangat besar.
2. Sumbangan keuntungan seluruh pendapatan rumahtangga sangat besar.
Apabila sistem persamaan produksi, curahan kerja dan konsumsi
non-separable dan disusun dalam model ekonometrika, dimana terdapat keterkaitan
antara peubah, sehingga perilaku ekonomi rumahtangga dalam produksi, curahan
kerja dan konsumsi adalah saling terkait secara simultan, maka pendugaan model
ekonomi rumahtangga yang demikian adalah lebih kompleks.
Pendapatan yang diperoleh dari korbanan waktu anggota rumahtangga
dalam angkatan kerja akan berbeda-beda. Perubahan pendapatan rumahtangga
akan menghasilkan garis anggaran baru yang akan berpengaruh terhadap tingkat
konsumsi rumahtangga tersebut. Hubungan ini dapat dijelaskan dengan kurva ICC
(Income Consumption Curve), atau dinamakan juga kurva Engel, untuk
mengingatkan pada Ernst Engel sebagai seorang pertama yang meneliti hubungan
perubahan pendapatan dengan jumlah yang diminta (Kelana, 1994).
Pada Gambar 3 peningkatan pendapatan ditandai dengan perubahan I1 ke
I2 (dimana I2 lebih tinggi dari I1), maka diperoleh garis anggaran baru dari B1 ke
B2 (keduanya paralel) dengan equilibrium A dan B. Lebih jauh lagi Engel
menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara permintaan terhadap barang
perikanan atau barang yang bersifat mudah rusak (perishable goods) dan
I1
I2
I3
ICC
C
A B Qy
B3
B1
0 QX
B2
Sumber: Kelana (1994)
Gambar 3. Kurva Hubungan Pendapatan dengan Konsumsi
Perubahan kenaikan pendapatan tidak menyebabkan permintaan terhadap
barang perikanan meningkat secara progresif. Misalnya pendapatan meningkat
dua kali, maka permintaan terhadap ikan tidak akan meningkat sebanyak dua kali
juga, sehingga dapat dikatakan elastisitas pendapatan terhadap permintaan ikan
rendah. Sebaliknya, peningkatan pendapatan akan menyebabkan permintaan
terhadap barang industri lebih progresif, dapat dimaklumi jika pendapatan
konsumen naik maka permintaan terhadap barang elektronik dan kebutuhan akan
barang mewah juga akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatannya.
Miller dan Meiners (1997) mengemukakan beberapa sebab terjadinya
ketimpangan pendapatan riil.
1. Perbedaan usia
Sampai batas tertentu pendapatan meningkat seiring dengan bertambahnya usia
dan masa kerja seseorang, lewat dari batas tersebut pertambahan usia akan
2. Keberanian mengambil resiko.
Seseorang yang bekerja di lingkungan kerja dengan pekerjaan yang berbahaya,
ceteris paribus biasanya memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
3. Ketidakpastian dan variasi pendapatan
Bidang-bidang kerja yang hasilnya serba tidak pasti, misalnya bidang
pemasaran mengandung resiko yang besar. Seseorang yang menekuni bidang
ini akan menuntut dan menerima pendapatan yang lebih tinggi.
4. Bobot pendidikan dan latihan
Pendidikan dan pelatihan sangat erat hubungannya dengan keterampilan
seseorang sehingga dia mampu menghasilkan produk fisik marginal yang lebih
tinggi.
5. Kekayaan warisan
Seseorang yang memang berasal dari rumahtangga kaya mempunyai
kesempatan yang lebih baik dibandingkan dengamereka yang tidak mempunyai
kekayaan warisan, sekalipun kemampuan dan pendidikan mereka setara.
6. Ketidaksempurnaan pasar
Monopoli, monopsoni, kebijakan sepihak serikat buruh, penetapan tingkat
upah minimum oleh pemerintah, ketentuan syarat-syarat lisensi, sertifikasi dan
sebagainya turut mengakibatkan perbedaan-perbedaan pendapatan di kalangan
kelas-kelas pekerja.
7. Diskriminasi
Berbagai penelitian yang mencoba mengoreksi perbedaan produktivitas
kelas-kelas marginal yang dikelompok atas dasar ras atau jenis kelamin umumnya
diakibatkan oleh deskriminasi tersebut. Dengan kata lain, meskipun semua
faktor kuantitas dan kualitas pendidikan dan berbagai bentuk latihan kerja,
usia, masa kerja dan sebagainya, antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki
sama, tetapi tingkat pendapatan mereka dari bidang pekerjaan yang sama tetap
saja berbeda.
3.2. Tinjauan Studi Empirik
Model ekonomi rumahtangga petani (agricultural household model) telah
dicoba diaplikasikan dengan beberapa modifikasi untuk menjelaskan perilaku
ekonomi rumahtangga nelayan oleh beberap peneliti seperti Aryani (1994) dan
Reniati (1998). Kedua peneliti menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga
nelayan dalam kegiatan berproduski, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran
secara simultan. Kedua peneliti tersebut menggunakan model yang digunakan
untuk ekonomi rumahtangga yang diturunkan dari teori ekonomi rumahtangga
atas dasar model yang disusun oleh Bagi dan Singh, dengan memasukkan peubah
relevan dengan kondisi ekonomi rumahtangga nelayan di pedesaan pantai.
Dalam penelitian tersebut, baik Aryani (1994) maupun Reniati (1998)
mendisagregasi rumahtangga nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan buruh
secara terpisah, sementara besarnya penerimaan sebagai pendapatan nelayan
buruh dari kegiatan melaut adalah terkait erat dengan penerimaan juragan dari
kegiatan kerja melaut, karena besarnya pendapatan juragan dan pendega (nelayan
buruh) didasarkan pada sistem bagi hasil yang berlaku (Direktorat Jenderal
Perikanan, 1993; Pranadji, 1995). Dalam penelitian ini nelayan yang menjadi
responden adalah nelayan tradisional yang tidak terikat dengan juragan,
pendapatan nelayan tradisional ditentukan oleh produksi atau jumlah yang didapat
saat melakukan penangkapan di laut.
Para istri dan angkatan kerja perempuan lainnya dalam rumahtangga
nelayan sebagaimana ditunjukkan oleh kedua peneliti adalah bekerja untuk
kegiatan produksi pengolahan dan perdagangan ikan, di samping bekerja pada
kegiatan ekonomi yang tidak terkait dengan pemanfaatan nilai tambah komoditi
perikanan, seperti pertanian tanaman pangan, industri batik, dan lainnya. Kegiatan
ekonomi rumahtangga nelayan dalam meningkatkan pendapatan rumahtangganya
pada umumnya menangani kegiatan pengolahan dan perdagangan ikan, di
samping kegiatan produktif nonperikanan, seperti tukang, pertanian dan lainnya
(Direktorat Jenderal Perikanan, 1993; Antunes, 1998, dan Pranadji, 1995). Bahkan
menurut Antunes (1998) sebagian para perempuan anggota keluarga nelayan
benar-benar menjadi pengusaha perikanan yang berhasil.
Di Muncar, Jawa Timur sebagian istri nelayan adalah bertindak sebagai
pembantu utama dalam usaha produksi ikan olahan pindang atau ikan kering (Tim
Peneliti Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, 1999). Kegiatan agroindustri
kecil yang umum diusahakan adalah pemindangan dan pengeringan ikan, karena
kegiatan tersebut dengan mudah dapat dikelola oleh para perempuan nelayan,
karena proses pengolahan sederhana dan mudah dikelola dengan tingkat
pendidikan perempuan nelayan yang ada saat ini (Erizal, 1995). Menurut Saragih
(1998), agroindustri adalah merupakan motor peggerak dalam sistem agribisnis
pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan. Oleh karena itu, para petani atau
nelayan perlu dipacu agar mengembangkan usahanya dengan pendekatan
Susilowati (1998) memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi
partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi rumahtangga, dengan
kesimpulan: (1) berhubungan positif dalam peran perempuan untuk pengambilan
keputusan rumahtangga nelayan, dan (2) berhubungan negatif dalam faktor
pendidikan (tidak nyata), pekerjaan suaminya, posisi (status sosial) suami dalam
masyarakat nelayan dan jumlah anggota keluarga yang jadi tanggung jawabnya.
Makin tinggi pendapatan dan status sosial suami serta jumlah anggota keluaraga
yang menjadi tanggung jawabnya, maka makin rendah partisipasi perempuan
nelayan dalam kegiatan ekonomi.
Seperti halnya Erizal (1995), di Kabupaten Brebes sebagian besar istri dan
anak perempuan bekerja pada kegiatan pascapanen yaitu membersihkan ikan
(beteti) serta menjemur, sedangkan suami dalam melakukan kegiatan seperti
halnya Aryani (1994) dan Reniati (1998) melakukan kegiatan seperti tukang,
buruh, tukang ojek dan lain-lain
Reniati (1998) memasukkan peubah tingkat perkembangan perekonomian
desa, yaitu dipilih desa miskin dan tidak miskin. Dengan melakukan disagregasi
wilayan desa dengan tingkat ekonomi yang berbeda tersebut, Reniati (1998)
menganalisis perilaku rumahtangga nelayan (juragan dan pendega) untuk kondisi
ekonomi yang berbeda di desa miskin dan tidak miskin. Dalam penelitian ini
pemilihan kabupaten atau desa didasarkan dengan jumlah nelayan terbanyak, hal
ini dilakukan untuk dapat memotret dengan jelas perilaku rumahtangga nelayan
dengan segala variasi ataupun cara untuk mendapatkan pendapatan dan mengatur
Sementara itu, Muhammad (2002) memasukan kebijakan pemerintah
dalam pembangunan perikanan di pedesaan pantai dengan pengembangan
teknologi dan prasarana pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan
(Direktorat Jenderal Perikanan, 1993). Dengan demikian, pengembangan
prasarana pelabuhan di samping membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di
pedesaan pantai, juga berorientasi pada pengembangan kelautan untuk memacu
pengembangan teknologi perikanan dan memberikan kemudahan kapal ikan
mendaratkan hasil tangkapan dari laut, sehingga wilayah desa tersebut tumbuh
menjadi kaya.
Adanya pelabuhan atau tempat pendaratan ikan telah memacu petumbuhan
ekonomi perikanan di pedesaan pantai Utara Jawa, karena pelabuhan atau tempat
pendaratan ikan tersebut dapat berfungsi semacam pusat pertumbuhan (growth
center atau growth pole) ekonomi. Pendekatan pusat-pusat pertumbuhan
memegang peranan penting dalam perspekif pembangunan wilayah desa pada era
otonomi daerah (Azis, 1994), karena desa dimana pelabuhan perikanan berada
akan tumbuh menjadi desa kaya dan menjadi salah satu lokasi yang menyediakan
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi perikanan yang dapat
dipungut oleh pemerintah daerah.
Di samping itu, pelabuhan perikanan di pantai Utara Jawa biasa dilengkapi
dengan tempat pelelangan ikan (TPI), dimana para nelayan menjual hasil
tangkapannya. Di tempat ini, nelayan dapat memperoleh layanan dan
barang-barang yang diperlukan untuk operasi penangkapan ikan dan kegiatan ekonomi
wilayah akan tumbuh berkembang. Dengan demikian, diagregasi klasifikasi desa
pemerintah dalam pengembangan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan
tersebut.
Dengan background didominasi oleh nelayan tradisional di Kabupaten
Brebes pelabuhan tempat bersadarnya kapal masih sangat sederhana, sedangkan
proses jual beli yang terjadi antara nelayan dengan pedagang tidak dilakukan di
TPI, mereka sudah mempunyai pengumpul sendiri untuk hasil-hasil tangkapanya.
Nelayan tradisional juga tidak mengenal pajak sebagai retribusi bagi pemerintah
daerah.
Berbeda dengan model yang dibuat oleh Aryani (1994), Reniati (1998)
yang mengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan menjadi
konsumsi pangan dan nonpangan. Muhammad (2002) mencoba mengelompokkan
konsumsi dengan kebutuhan dasar (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan,
pendidikan dan kesehatan sebagai indikator kesejahteraan sosial (Ginting, 1996).
Sebenarnya dalam pengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan,
baik menggunakan pangan dan nonpangan serta kebutuhan dasar semuanya dapat
merangkum dengan jelas tentang pola pengeluaran rumahtangga, dalam penelitian
ini digunakan pendekatan pengeluaran dengan pengelompokkan konsumsi pangan
dan nonpangan
Dalam penelitian Aryani (1994) dan Reniati (1998), kedua peneliti
tersebut belum memasukkan perilaku rumahtangga menabung dan berinvestasi.
Oleh karena itu agar memiliki implikasi kebijakan dalam peningkatan
kesejahteraan nelayan, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan untuk
melakukan saving. Model ekonomi rumahtangga nelayan tradisional, seperti
variabel yang menjadi unsur utama yang membentuk keterkaitan perilaku
ekonomi rumahtangga nelayan, yaitu: kegiatan produksi, curahan kerja,
pendapatan dan pengeluaran rumahtangga.
3.3. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.3.1. Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan
Pendekatan ekonomi rumahtangga telah dimulai sejak tahun 1920 oleh
Chayanov di Rusia, kemudian Becker (1965) menyusunnya dalam bentuk "new
home economics". Dalam ekonomi rumahtangga, alokasi waktu dan konsumsi
barang dapat dibeli di pasar, atau dapat juga dihasilkan oleh rumahtangga. Ciri
utama yang membedakan perilaku individu dan perilaku rumahtangga sebagai
konsumen adalah bahwa pada saat yang sama anggota rumahtangga juga dapat
berperan sebagai produsen sebagaimana suatu perusahaan (Evenson, 1976).
Menurut Evenson (1976), formula yang disusun oleh Becker (1965) secara
mendasar melihat perilaku konsumsi rumahtangga sebagai proses dalam dua
tingkat, yaitu: (1) tingkat pertama, menjelaskan perilaku rumahtangga
menghadapi fungsi produksi rumahtangga, dimana waktu dan modal yang
tersedia dalam rumahtangga digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang
dapat dikonsumsi rumahtangga, dan (2) tingkat kedua, menjelaskan proses
keputusan pilihan konsumsi, anggota rumahtangga berperilaku sebagaimana
perilaku individu konsumen, dimana aksioma perilaku konsumen konvensional
dapat diaplikasikan.
Rumahtangga dalam memaksimumkan kepuasannya dibatasi oleh kendala
produksi, waktu dan pendapatan. Pendapatan seluruhnya dibelanjakan untuk
model ekonomi rumahtangga adalah menjembatani ekonomi perusahaan
pertanian yang seluruhnya mempekerjakan tenaga yang diupah dan menjual
hasilnya ke pasar, dengan pertanian subsisten yang menggunakan hanya tenaga
kerja keluarga dan tidak menghasilkan "marketed surplus ".
Model ekonomi rumahtangga yang dirumuskan oleh Becker (1965),
kemudian Barnum dan Square (1978) membuat model ekonomi rumahtangga
yang lebih lengkap dan menyimpulkan bahwa dalam pembuatan kebijakan sangat
penting untuk mengintegrasikan perilaku rumahtangga dalam keputusan produksi
dan konsumsi. Mengingat pengaruh perubahan peubah eksogen, dimana sisi
produksi mempengaruhi sisi konsumsi rumahtangga, maka diperlukan teori yang
terintegrasi khususnya jika elastisitas pengeluaran cukup besar atau jika pengaruh
produksi dominan.
Singh et al. (1986) menyusun Agricultural Household Models sebagai
model dasar ekonomi rumahtangga. Dalam model tersebut, kepuasan
rumahtangga (U) adalah fungsi dari konsumsi barang yang dihasilkan oleh
rumahtangga (Xa), konsumsi barang yang dibeli di pasar (Xm) dan konsumsi
waktu santai (Xl
U = U (X
), sehingga diperoleh persamaan :
a, Xm, X1
Rumahtangga nelayan diasumsikan sebagai konsumen yang akan
memaksimumkan kepuasannya dengan kendala produksi, waktu dan pendapatan,
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan berikut :
)... ( 3.5)
Produksi
Alokasi waktu
= konsumsi barang yang dibeli di pasar
a
X
= barang yang dihasilkan rumahtangga
l
= harga barang yang dihasilkan oleh rumahtangga
a
Q = produksi rumahtangga
) = surplus produksi untuk dipasarkan
A = jumlah faktor produksi tetap (lahan) dalam rumahtangga
w = upah di pasar tenaga kerja
L = total tenaga kerja
F = penggunaan tenaga kerja rumahtangga
w. (L-F) = pengeluaran upah untuk tenaga kerja luar rumahtangga
Jika (L-F) positif berarti terdapat tenaga kerja luar rumahtangga yang
diupah. Jika negatif, terdapat penawaran tenaga kerja keluarga untuk di luar
pertanian. Semua kendala yang dihadapi rumahtangga tersebut dapat disatukan
dengan melakukan substitusi kendala produksi dan waktu ke dalam kendala
pendapatan, sehingga akan dihasilkan persamaan sebagai berikut :
Pm . Xm + Pa . Xa + w. Xl
dimana:
= w. T + π ... ... .(3.9)
π = Pa
Persamaan di atas menunjukkan bahwa pada sisi kiri merupakan
pengeluaran total rumahtangga untuk barang yang dibeli di pasar (X
. Q(L,A) - w. L (π = keuntungan) ... ...(3.10)
yang diproduksi rumahtangga (Xa), serta waktu (Xl) yang dikonsumsi
rumahtangga. Sedangkan pada sisi kanan persamaan tersebut adalah merupakan
pengembangan dari konsep pendapatan penuh, dimana nilai waktu yang tersedia
dicatat secara eksplisit. Di samping itu, Singh et al. (1986) juga melakukan
pengembangan dengan memasukkan pengukuran tingkat keuntungan usaha, yaitu
π = Pa
Rumahtangga dalam memaksimumkan kepuasan memilih tingkat
konsumsi dari barang yang dibeli di pasar (X
.Q(L,A) - w.L, dimana semua tenaga kerja dihitung berdasarkan upah
pasar.
m) dan barang yang diproduksi
rumahtangga (Xa), waktu yang dikonsumsi rumahtangga (Xl
P
) dan tenaga kerja
(L) yang digunakan dalam kegiatan produksi. Kondisi turunan pertama (first
order condition) untuk mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja adalah :
a
Rumahtangga akan menyamakan penerimaan produk marginal dari tenaga
kerja dengan upah pasar. Selanjutnya penggunaan tenaga kerja (L) sebagai fungsi
dari Pa, w, dan A, seperti ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:
. ∂Q /. ∂L = w ... ... .(3.11)
L = L ( w , Pa
Dari persamaan di bawah ini dapat dilihat bahwa persamaan terdiri dari konsumsi
komoditi pasar (P
, A) ... ... .(3.12)
m.Xm), komoditi pertanian yang dihasilkan rumahtangga (Pa Xa)
dan konsumsi waktu santai dalam rumahtangga (w.Xt
P
), adanya Y.
m Xm + Pa Xa + w. Xt
dimana, Y adalah pendapatan potensial (penuh). Maksimisasi kepuasan untuk
= Y
memenuhi persamaan (3.13) dengan kendala yang ada diperoleh turunan pertama
(first order condition) mengikuti prosedur perilaku konsumsi individu dalam
memaksimumkan kepuasannya untuk sejumlah (n) komoditi sebagai berikut:
U = U (x1, x2... xn Maksimisasi tujuan dari persamaan (3.14), dengan memperhatikan kendala,
menghasilkan kondisi prasyarat sebagai berikut :
∂Φ / ∂xi = ∂U / ∂xi – λ. pi
Kondisi keseimbangan dari fungsi kepuasan diatas dapat dinyatakan
sebagai berikut :
= kepuasan marginal (MUi) dari barang dan jasa ke i
i
λ = kepuasan marginal dari pendapatan = harga barang dan jasa ke i
Mengacu prosedur pada persamaan (3.14) - (3.18), untuk konsumsi barang
yang dibeli di pasar (Xm), barang yang diproduksi rumahtangga (Xa) dan waktu
pertama pada persamaan (3.19) - (3.21) adalah merupakan kondisi yang umum
kita kenal dalam teori permintaan konsumen (Singh, Squire dan Strauss, 1986).
∂U / ∂Xm = λ . pm
Dengan dasar persamaan (3.19) - (3.21), dapat dinyatakan bahwa
konsumsi barang yang dihasilkan oleh rumahtangga (X
= λ . w...(3.21)
a), konsumsi barang yang
dibeli di pasar (Xm) dan konsumsi waktu santai (Xi
X
) adalah dipengaruhi oleh
harga, upah dan pendapatan, yang selanjutnya masing-masing dapat ditulis
sebagaimana pada persamaan (3.22) - (3.24).
Dalam persamaan di atas permintaan barang, jasa dan waktu santai
tergantung pada harga, upah dan pendapatan rumhtangga. Jika diasumsikan harga
hasil pertanian yang diproduksi rumahtangga meningkat, maka dampaknya
umum kita kenal dalam teori permintaan konsumen, yaitu untuk barang normal
memiliki slope negatif, yaitu jika harga meningkat permintaan barang dan jasa
tersebut akan menurun. Sedangkan bagian kedua sebelah kanan persamaan (3.25)
mencerminkan efek keuntungan. Perubahan dalam harga barang yang diproduksi
rumahtangga meningkat, maka keuntungan akan meningkat demikian juga
pendapatan penuh rumahtangga juga akan meningkat.
3.3.2. Alur Pemikiran Penelitian
Nelayan tradisional merupakan nelayan yang masih menggunakan alat
tangkap dan cara menangkap ikan dengan sangat sederhana. Menurut dinas
perikanan Jawa Tengah, perbedaan nelayan tradisional dengan nelayan modern
dapat dilihat juga dari jarak dalam melakukan penangkapan ikan, nelayan
tradisional hanya 0-3 mil dari pantai sedangkan nelayan modern lebih dari 12 mil,
sedangkan ukuran kapal 0-5 GT untuk nelayan tradisional dan lebih dari 30 GT
untuk nelayan modern.
Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (2009) menunjukkan
bahwa dari tahun 2005 – 2009 jumlah perahu nelayan tradisional dengan ukuran
<5 GT selalu menduduki urutan pertama (Tabel 2). Hal tersebut dapat diartikan
bahwa kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia masih didominasi oleh
nelayan tradisional.
Tabel 2. Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut Menurut Kategori dan Ukuran Kapal di Indonesia Tahun 2005 – 2009
Ukuran Kapal
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
< 5 GT 102.456 106.609 114.273 107.934 109.590
10 - 20 GT 6.968 8.190 8.194 7.728 7.910
Sumber: Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2009.
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes (2008)
jumlah armada penangkapan ikan tradisional di kabupaten Brebes adalah 16. 119
unit, terbanyak dibandingkan dengan armada kapal semi modern ataupun modern
yang hanya 1.243 dan 894 unit. Nelayan tradisional di kabupaten brebes
mempunyai jumlah prosentase terbanyak yaitu 85.78%, dan sebagian besar
didominasi oleh nelayan dengan alat tangkap payang.