• Tidak ada hasil yang ditemukan

Curahan kerja, kontribusi anggota keluarga dalam pendapatan rumahtangga dan pola pengeluaran nelayan tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Curahan kerja, kontribusi anggota keluarga dalam pendapatan rumahtangga dan pola pengeluaran nelayan tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELUARAN NELAYAN TRADISIONAL

DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH

INDRA ROCHMADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

CURAHAN KERJA, KONTRIBUSI ANGGOTA KELUARGA DALAM PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN POLA PENGELUARAN NELAYAN TRADISIONAL DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2010

(3)

INDRA ROCHMADI. Working Time Allocation, Contribution of Family Members to Household Income and Traditional Expenditure Patterns in Brebes Regency (SJAFRI MANGKUPRAWIRA as the Chairman and RINA OKTAVIANI as the Member of the Advisory Committee)

A number of studies on fishermen’s lives generally focus on poverty and economic uncertainty as a result of living difficulties faced by fishermen and their families. At present, most households do not have only one income source but several sources. In other words, they do diversified jobs or have various income sources. However, the problem is that the opportunity cost or any possible activities the fishermen can do when they do not catch fish is very low and they tend to do the activities although they are not profitable and efficient. The objectives of this research were to analyze the factors that affect the allocation of working time among the households of traditional fishermen who use payang as a catching tool and to examine the factors that influence their income and expenditure. This study used cross sectional data. The model built in this study was intended to be able to identify the economic behaviors among the households of traditional fishermen in Brebes Regency, Central Java, based on the existing data and the results of previous studies with the support of relevant theories. Keywords: traditional fishermen, households, working time allocation, income

(4)

INDRA ROCHMADI. Curahan Kerja, Kontribusi Anggota Keluarga dalam Pendapatan Rumahtangga dan Pola Pengeluaran Nelayan Tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah (SJAFRI MANGKUPRAWIRA sebagai Ketua dan RINA OKTAVIANI sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Secara teoritis, dengan potensi perikanan yang demikian besar, nelayan seharusnya mampu hidup berkecukupan. Namun kenyataannya, hanya segelintir nelayan yang hidup berkecukupan, selebihnya sebagian besar yang lain dapat dikatakan bukan saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang. Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang dihadapi nelayan dan keluarganya Dewasa ini sumber pendapatan sebagian besar rumahtangga tidak hanya satu, melainkan dari beberapa sumber atau dikatakan rumahtangga tersebut melakukan diversifikasi pekerjaan atau memiliki aneka ragam sumber pendapatan Namun yang menjadi permasalahan adalah opportunity cost atau kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan sangat rendah, maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.

Keputusan pencurahan waktu kerja oleh anggota rumahtangga baik di dalam maupun di luar sub sektor perikanan akan mempengaruhi besar kecilnya tingkat pendapatan yang diperoleh rumahtangga dan pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi pola pengeluaran. Keputusan rumahtangga dalam mencurahkan waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran merupakan perilaku rumahtangga.

Penelitian ini bertujuan untuk: menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap curahan kerja pada rumahtangga nelayan tradisional dengan alat tangkap payang dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga nelayan tradisional dengan alat tangkap payang. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kerat lintang (cross section). Model yang dibangun diarahkan untuk tujuan agar mampu mengkaji fenomena perilaku ekonomi rumahtangga nelayan tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah, berdasarkan data yang ada maupun hasil penelitian sebelumnya, disertai dengan dukungan teori yang relevan. Estimasi model digunakan metode 2 SLS. Mengingat jumlah persamaan yang ada, maka estimasi model tidak dilakukan secara terpisah, namun secara serempak (simultan) dengan rnenggunakan program aplikasi komputer SAS versi 9.2.

(5)

curahan waktu kerja yang tinggi, istri mempunyai kontribusi pendapatan pada kegiatan nonmelaut paling tinggi. Sebaliknya anak perempuan akan mengurangi jam kerjanya untuk mengurus balita. Kontribusi pendapatan suami dan anak laki-laki dalam rumahtangga nelayan tradisional payang tidak berbeda jauh, hal ini dikarenakan adanya pembagian pendapatan yang sama antara suami dan anak laki-laki dalam satu unit alat penangkapan (perahu)

(6)

 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

(7)

PENGELUARAN NELAYAN TRADISIONAL

DI KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH

INDRA ROCHMADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi:

Dr.Ir.Nunung Kusnadi, MS

Penguji Wakil Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

(9)

Nama Mahasiswa : Indra Rochmadi Nomor Pokok : H351060101

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.Tb. Sjafri Mangkuprawira

Ketua Anggota

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Penulis dilahirkan di Surakarta, pada tanggal 20 Februari 1982 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Djumadi dan Widowati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1994 di SDN Wonosari 103 Surakarta, pendidikan menengah pertama pada tahun 1997 di

SMP Batik 1 Surakarta dan pendidikan menengah atas pada tahun 2000 di SMAN Batik 1 Surakarta. Penulis menerima gelar sarjana perikanan (S.Pi) di Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2006.

(11)

i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... .. 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 6

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 7

1.4.1. Ruang Lingkup ... 7

1.4.2. Keterbatasan ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Nelayan Tradisional ... 9

2.1.1.Nelayan Tradisional ... 9

2.1.2.Nelayan Tradisional Payang ... 11

2.2. Curahan Tenaga Kerja... 12

2.3. Pendapatan dan Pengeluaran ... 14

2.4. Ekonomi Rumahtangga Nelayan... 16

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

3.1. Tinjauan Teoritis ... 18

3.1.1 Curahan Tenaga Kerja... 18

3.1.2 Pendapatan dan Konsumsi ... 22

3.2. Tinjauan Studi Empirik ... 26

3.3. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 31

3.3.1.Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan ... 31

3.3.2.Alur Pemikiran Penelitian ... 37

IV. METODE PENELITIAN ... 41

4.1. Lokasi Penelitian ... 41

(12)

ii

5.1.3. Kondisi Sosisal Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir Kabupaten Brebes ... 72

5.1.4. Kondisi Umum Sektor Kelautan dan Perikanan ... 74

5.1.4.1. Keadaan Topografi, Morfologi dan Geologi Wilayah Pesisir Brebes ... 74

(13)

iii

5.3.1.6. Curahan Tenaga Kerja Anak Laki-laki Nonmelaut .... 94

5.3.2. Pendapatan Anggota Keluarga ... 95

5.3.2.1. Pendapatan Suami Melaut ... 96

5.3.2.2. Pendapatan Suami Nonmelaut ... 98

5.3.2.3. Pendapatan Istri Nonmelaut ... 99

5.3.2.4. Pendapatan Anak Perempuan Nonmelaut ... 101

5.3.2.5. Pendapatan Anak Laki-laki Melaut ... 102

5.3.2.6. Pendapatan Anak Laki-laki Nonmelaut ... 104

5.3.3. Pengeluaran Rumahtangga ... 105

5.3.3.1. Konsumsi Pangan ... 105

5.3.3.2. Konsumsi Nonpangan ... 106

5.3.4. Produksi Ikan ... 107

5.3.4.1. Biaya Bahan Bakar Minyak ... 109

5.3.4.2. Biaya Perbekalan Melaut ... 109

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

7.1. Kesimpulan ... 111

7.2. Saran ... 111

(14)

iv

Nomor Halaman

1. Penggolongan Nelayan Menurut Jarak, Ukuran Kapal, dan

Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 10 2. Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut Menurut Kategori dan

Ukuran Kapal di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 37 3. Luas Wilayah dan Jumlah Desa di Kabupaten Brebes Tahun 2008 .. 66 4. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten

Brebes Tahun 2008 ... 68 5. Perumbuhan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten

Brebes Tahun 1998-2008 ... 69 6. Proyeksi Jumlah Penduduk Wilayah Pesisir Kabupaten

Brebes Tahun 2014 ... 70 7. Pertumbuhan Penduduk di Lima Kecamatan Pesisir Kabupaten

Brebes Tahun 2003-2008 ... 71 8. Tingkat Pendidikan Penduduk Umur 10 Tahun ke Atas Wilayah

Pesisir Kabupaten Brebes Tahun 2007 ... 72 9. Jumlah Penduduk Kabupaten Brebes yang Bergerak di Bidang

Perikanan Tahun 2007-2008 ... 73 10. Jumlah Keluarga Miskin di Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes

Tahun 2002-2006 ... 74 11. Luas Wilayah Menurut Ketinggian Per Kecamatan di Wilayah

Pesisir Kabupaten Brebes Tahun 2007 ... 74 12. Luas Lereng Per Kecamatan di Pesisir Kabupaten Brebes

Tahun 2007 ... 75 13. Banyaknya Curah Hujan di Wilayah Pesisir Brebes Tahun 2007 .... 76 14. Produksi Perikanan Kabupaten Brebes dalam Tahun 2006 ... 79 15. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Nelayan Kabupaten Brebes

Tahun 2006 ... 80 16. Jumlah Armada Kapal di Kabupaten Brebes Tahun 2006 ... 80 17. Alokasi Waktu Anggota Rumahtangga Nelayan Tradisional

(15)

v

19. Pola Pengeluaran Rumahtangga Nelayan di Kabupaten Brebes

Tahun 2008 ... 83 20. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Suami pada

Kegiatan Melaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 85 21. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Suami pada

Kegiatan Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 87 22. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Istri di

Kabupaten Brebes pada Kegiatan Nonmelaut Tahun 2008 ... 89 23. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Anak Perempuan

di Kabupaten Brebes pada Kegiatan Nonmelaut Tahun 2008 ... 91 24. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Anak

Laki-laki di Kabupaten Brebes pada Kegiatan Melaut Tahun 2008 . 93 25. Hasil Pendugaan Parameter Curahan Tenaga Kerja Anak Laki-laki

pada di Kabupaten Brebes pada Kegiatan Nonmelaut Tahun 2008 ... 95 26. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Suami dari Kegiatan

Melaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 97 27. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Suami dari Kegiatan

Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 98 28. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Istri dari Kegiatan

Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 100 29. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Anak Perempuan dari

Kegiatan Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 101 30. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Anak Laki-Laki dari

Kegiatan Melaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 103 31. Hasil Pendugaan Parameter Pendapatan Anak Laki-Laki dari

Kegiatan Nonmelaut di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 104 32. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Pangan Rumahtangga

di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 105 33. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Nonpangan

(16)

vi

35. Hasil Pendugaan Parameter Biaya Bahan Bakar Minyak

di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... 109 36. Hasil Pendugaan Parameter Biaya Perbekalan Melaut di Kabupaten

(17)

vii

Nomor Halaman

1. Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Rumahtangga ... ... 19 2. Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Subtitusi

dan Efek Total ... .... 20 3. Kurva Hubungan Pendapatan dengan Konsumsi ... .... 24 4. Alur Pemikiran Ekonomi Rumahtangga Nelayan dengan

Alat Tangkap Payang di Kabupaten Brebes Tahun 2008 ... .... 38 5. Bagan Penarikan Contoh Rumahtangga Nelayan Tradisional di

(18)

viii

Nomor Halaman

1. Diagram Langkah-Langkah Estimasi Model Ekonomi

Rumahtangga Nelayan Tradisional ... 114 2. Program Komputer Pendugaan Model Persamaan Simultan

dengan Metode Two State Least Square (2SLS) SAS Versi 9.2 ... 115 3. Hasil Pendugaan Model Persamaan Simultan dengan Metode Two

(19)

1.1. Latar Belakang

Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

perekonomian Indonesia karena beberapa alasan antara lain: (1) sumberdaya

perikanan, sumberdaya perairan dan lahan tambak masih cukup melimpah dan

belum dimanfaatkan secara optimal, (2) Produk Domestik Bruto (PDB) sub

sektor perikanan walaupun masih relatif kecil kontribusinya, akan tetapi

menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dan bahkan

peningkatannya tertinggi dibandingkan dengan sektor yang lain, (3) pola hidup

masyarakat saat ini dicirikan dengan semakin selektifnya makanan yang disajikan

dengan memenuhi kriteria gizi yang tinggi, mudah disajikan dan menjangkau

masyarakat, dan (4) jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat dan

mencapai lebih dari 200 juta jiwa merupakan pasar yang potensial bagi

produk-produk perikanan (Kusumaatmadja, 2000).

Secara teoritis, dengan potensi perikanan yang demikian besar, nelayan

seharusnya mampu hidup berkecukupan. Namun kenyataannya, hanya segelintir

nelayan yang hidup berkecukupan, selebihnya sebagian besar yang lain dapat

dikatakan bukan saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang.

Berbagai kajian mengenai kehidupan nelayan umumnya menekankan pada

kemiskinan dan ketidakpastian perekonomian, karena kesulitan hidup yang

dihadapi nelayan dan keluarganya (Emerson, 1980). Kehidupan nelayan dapat

dikatakan tidak saja belum berkecukupan, melainkan juga masih terbelakang,

termasuk dalam hal pendidikan. Keterbatasan sosial yang dialami nelayan

(20)

masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan terisolasi atau terasing. Namun lebih

terwujud pada ketidakmampuan mereka dalam mengambil bagian dalam kegiatan

ekonomi pasar secara menguntungkan, yang ditunjukkan oleh lemahnya mereka

mengembangkan organisasi keluar lingkungan kerabat mereka atau komunitas

lokal (Budiharsono, 1989).

Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan dalam ekonomi

rumahtangga, dengan dasar skema waktu yang berbeda antara satuan waktu per

bulan dan per tahun, diperoleh kesimpulan yang sama antara Aryani (1994) dan

Reniati (1998) dalam hal: (1) anggota rumahtangga, yaitu istri dan anak, di

samping suami selaku kepala rumahtangga, memegang peranan penting dalam

berkontribusi untuk penerimaan rumahtangga nelayan, (2) dilihat dari curahan jam

kerja, peranan istri cukup tinggi, dan (3) penerimaan nonmelaut memegang

peranan menentukan dalam alokasi curahan kerja anggota keluarga dan

kontribusinya terhadap penerimaan rumahtangga nelayan.

Dewasa ini sumber pendapatan sebagian besar rumahtangga tidak hanya

satu, melainkan dari beberapa sumber atau dikatakan rumahtangga tersebut

melakukan diversifikasi pekerjaan atau memiliki aneka ragam sumber pendapatan

(Susilowati 2002). Fenomena pencaharian pendapatan tambahan rumahtangga

lazim dijumpai pada masyarakat pedesaan, hal ini menandai adanya keragaman

dalam sumber pendapatan rumahtangga.

Pendapatan rumahtangga berasal dari berbagai sumber yang selalu

berubah sesuai dengan musim dan kesempatan, pasar tenaga kerja dan waktu

luang setiap harinya. Dengan keadaan tersebut, maka pembagian pekerjaan relatif

(21)

struktur pekerjaan dan alokasi waktu kerja pada anggota rumahtangga nelayan

yang pada gilirannya akan menyebabkan perubahan struktur pendapatan

rumahtangga nelayan (Wiradi, 1985 dan White, 1980).

Untuk memahami berbagai upaya dalam meningkatkan pendapatan

nelayan tradisional diperlukan pendekatan yang memperhatikan pola pengambilan

keputusan keluarga secara internal di samping juga pengaruh eksternal.

Keterlibatan seorang anggota keluarga nelayan dalam upaya mengurangi

kemiskinan ternyata tidak hanya didasarkan pada keputusan pribadi nelayan,

melainkan secara bersama-sama oleh anggota keluarganya. Antunes (1998)

melaporkan 60% angkatan kerja wanita di wilayah Bendar, Juwana Jawa Tengah

bekerja dalam kegiatan perikanan. Menurut Susilowati (1998) partisipasi kerja

istri atau wanita dalam menambah pendapatan dipengaruhi oleh pekerjaan dan

posisi suami, jumlah anggota keluarga dan peranannya dalam proses pengambilan

keputusan dalam rumahtangga nelayan.

Rumahtangga disebut unit dasar pengambilan keputusan karena peranan

rumahtangga hampir mirip dengan perusahaan dalam teori permintaan tenaga

kerja. Anggota rumahtangga dianggap akan bekerja dengan melihat pertimbangan

anggota lain. Jadi keputusan penawaran tenaga kerja oleh rumahtangga

merupakan proses simultan menuju kepuasan maksimum dengan sumberdaya

terbatas. Dalam pencurahan tenaga kerja rumahtangga nelayan tradisional

bukanlah didasarkan pada keputusan pribadi nelayan (suami), melainkan secara

bersama-sama dilakukan oleh anggota rumahtangga yaitu suami, istri dan

(22)

1.2. Perumusan Masalah

Menurut Dinas Perikanan Jawa Tengah tahun 2008 jumlah nelayan di

Pantai Utara Jawa Tengah mencapai 176 969 orang, sedangkan jumlah nelayan

terbanyak terdapat di Kabupaten Brebes, yaitu 23.503 orang dengan peningkatan

rata-rata per tahun sebesar 56.46%. Nelayan tradisional merupakan istilah yang

lazim digunakan untuk menggambarkan kondisi sosial nelayan yang dicirikan

oleh sikap mental yang tidak mudah menerima inovasi teknologi baru, di samping

pemilikan aset produktif yang sangat minimal, pendapatan rendah dan miskin,

umumnya hanya memiliki perahu tanpa motor dengan alat tangkap yang

sederhana atau hanya memiliki modal tenaga kerja. Istilah tersebut digunakan

untuk membedakan dengan nelayan modern atau non tradisional (Bailey, 1992).

Kondisi keterbatasan sosial dan kemiskinan yang diderita masyarakat

nelayan disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak

hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia,

keterbatasan modal, kurangnya akses, dan jaringan perdagangan ikan yang

cenderung eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, serta dampak negatif

modernisasi perikanan yang mendorong terkurasnya sumberdaya laut secara cepat

dan berlebihan, serta terbatasnya peluang dan kesempatan nelayan untuk

melakukan diverisifikasi pekerjaan, terutama di luar kegiatan pencarian ikan di

laut.

Sitorus (1994) mendapatkan bahwa seluruh kasus rumahtangga miskin

menerapkan strategi sumber nafkah ganda. Artinya rumahtangga tidak hanya

mengandalkan hidup pada satu jenis pekerjaan. Di desa pantai, nelayan menyadari

(23)

untuk itu terutama bagi rumahtangga yang mempunyai anak banyak, mereka

mencari sumber pendapatan lain yang menambah penghasilan rumahtangga

mereka. Hasibuan (1994) menunjukkan bahwa penduduk pedesaan baik petani

maupun nelayan cenderung beragam bidang nafkah yang dapat dijadikan untuk

mempertahankan kehidupan rumahtangganya. Dalam hal ini masalah utama yang

mereka hadapi adalah semakin terbatasnya kesempatan kerja bagi penduduk untuk

mendapatkan sumber penghasilan yang relatif tetap.

Subade (1993) mengajukan argumen bahwa nelayan tetap tinggal pada

kegiatan perikanan karena rendahnya opportunity cost pada kegiatan melaut di

lingkungan mereka. Opportunity cost nelayan menurut definisi adalah

kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang

dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah

kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap

ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan

usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada

juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di

negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian

maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan

demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu

yang bisa dikerjakan.

Nelayan tradisional dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus

mencukupi kebutuhan rumahtangga mereka dengan tidak mengandalkan dari satu

sumber pendapatan atau pekerjaan saja, melainkan dari berbagai sumber baik

(24)

pencarian ikan di laut, maupun kegiatan di luar sektor kenelayanan, seperti

bertani, berkebun, penjual jasa, maupun tukang becak.

Keputusan pencurahan waktu kerja oleh anggota rumahtangga baik di

dalam maupun di luar sub sektor perikanan akan mempengaruhi besar kecilnya

tingkat pendapatan yang diperoleh rumahtangga dan pendapatan rumahtangga

akan mempengaruhi pola pengeluaran. Keputusan rumahtangga dalam

mencurahkan waktu kerja, pendapatan dan pengeluaran merupakan perilaku

rumahtangga.

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang menyangkut perilaku

rumahtangga nelayan tradisional yang perlu diteliti adalah:

1. Bagaimana setiap anggota rumahtangga nelayan tradisional melakukan

pencurahan waktu kerjanya dengan terbatasnya kesempatan kerja di daerah

pesisir?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan ekonomi rumahtangga

nelayan tradisional?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan, maka

penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari perilaku ekonomi

rumahtangga nelayan tradisional. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap curahan kerja pada

rumahtangga nelayan tradisional.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran

(25)

Secara keseluruhan nelayan tradisional di Kabupaten Brebes Jawa Tengah

didominasi oleh nelayan dengan alat tangkap payang, maka dalam tujuan

penelitian ini rumahtangga yang dianalisis adalah rumahtangga nelayan

tradisional dengan alat tangkap payang.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1.4.1. Ruang Lingkup

Hasil penelitian ekonomi rumahtangga nelayan yang dilakukan oleh

Reniati (1998) menunjukkan bahwa penggunaan model ekonomi rumahtangga

perikanan untuk kajian ekonomi rumahtangga nelayan memerlukan beberapa

penyesuaian, khususnya adanya perbedaan perilaku rumahtangga nelayan dalam

berproduksi dimana nelayan menghadapi kondisi ketidakpastian ketersediaan ikan

dan kegiatan eksploitasi penangkapan ikan.

1. Penelitian ini dilakukan terhadap rumahtangga nelayan tradisional dengan alat

tangkap payang.

2. Alokasi waktu kerja anggota rumahtangga yang dianalisis adalah waktu untuk

bekerja produktif di pasar kerja (market production time) yaitu waktu yang

digunakan untuk mencari nafkah (income earning market production) yang

memungkinkan rumahtangga dapat membeli barang dan jasa di pasar.

(Halide,1979)

3. Variabel dalam penelitian ini meliputi: pencurahan waktu tenaga kerja

rumahtangga di dalam sub sektor perikanan (melaut) dan di luar sub sektor

perikanan (nonmelaut), pendapatan rumahtangga dari dalam dan luar sub

sektor perikanan, pengeluaran rumahtangga (pangan dan nonpangan) serta

(26)

1.4.2. Keterbatasan

Validitas data yang dikumpulkan sangat tergantung kepada daya ingat dan

kejujuran rumahtangga respoden. Suatu penelitian tentang alokasi waktu kerja,

kontribusi pendapatan dan pola pengeluaran dalam setahun tentu membutuhkan

cara pengumpulan data yang sangat teliti dari satu waktu ke waktu berikutnya

dalam berbagai jenis kegiatan secara lengkap dan sistematis. Hal ini tentu

membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang lebih banyak. Seperti yang pernah

dilakukan oleh Halide (1979), karena keterbatasan dalam hal-hal tersebut maka

penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rata-rata setahun dari kebiasaan

aktivitas per hari, per minggu maupun per bulan. Alokasi waktu kerja dianalisis

(27)

2.1. Nelayan

2.1.1. Nelayan Tradisional

Seperti telah diketahui bahwa sumberdaya utama yang dimiliki oleh

sebagian besar rumahtangga di negara berkembang, terutama rumahtangga miskin

adalah waktu untuk bekerja. Modal berupa uang dan kekayaan lainnya hanya

sedikit mereka miliki sehingga kecil artinya dalam proses memperoleh barang dan

jasa.

Sudah menjadi anggapan umum bahwa nelayan tradisional merupakan

golongan masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah. Hasibuan (1993)

menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata keluarga di desa pantai umumnya lebih

rendah dari pendapatan keluarga di desa sawah dan lahan kering. Menurut Smith

(1979), rendahnya pendapatan nelayan tradisional berkaitan dengan beberapa

faktor, yaitu: (1) terbatasnya sumberdaya perikanan, (2) unit penangkapan yang

masih sangat sederhana, (3) lemahnya kekuatan pasar, dan (4) bagi hasil yang

masih kecil. Pemecahan masalah nelayan tersebut adalah dengan meningkatkan

pendapatan dari usaha penangkapan ikan, yaitu dengan melalui usaha

memperbesar jumlah tangkapan, peningkatan harga, memperkecil ongkos atau

memperbesar persentase bagi hasil.

Usaha penangkapan ikan sangat bergantung dari hasil penangkapan ikan

di laut. Menurut Hermanto (1986) hasil penangkapan ikan di laut dipengaruhi

oleh: (1) tersedianya populasi ikan disuatu daerah penangkapan (fishing ground),

(2) keadaan cuaca, (3) posisi bulan terhadap bumi, dan (4) efektifitas alat tangkap

(28)

pendekatan aspek ekonomi, yaitu penguasaan faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat inovasi nelayan yang terdiri dari: (1) nelayan yang tidak memiliki alat

produksi seperti perahu dan alat penangkapan, (2) nelayan kecil umumnya

memiliki tenaga kerja keluarga yang dimanfaatkan untuk meningkatkan

pendapatan keluaraga, dan (3) modal usaha penangkapan relatif kecil sehingga

untuk melakukan usaha penagkapan terbatas hanya di pesisir pantai dan

muara-muara sungai.

Menurut Dinas Perikanan Jawa Tengah (2008), perbedaan nelayan

tradisional dengan nelayan modern dapat dilihat juga dari jarak dalam melakukan

penangkapan ikan, nelayan tradisional hanya 0-3 mil dari pantai sedangkan

nelayan modern lebih dari 12 mil, sedangkan ukuran kapal 0-5 GT untuk nelayan

tradisional dan lebih dari 30 GT untuk nelayan modern, untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Penggolongan Nelayan Menurut Jarak, Ukuran Kapal, dan Jenis Alat Tangkap di Kabupaten Brebes Tahun 2008

Jarak dari Pantai (Mil)

Ukuran

(GT) Jenis Alat Tangkap Golongan

0 – 3 0 – 5 (dan Motor

(29)

2.1.2. Nelayan Tradisional Payang

Payang merupakan alat penangkapan ikan yang sudah lama dikenal dan

dioperasikan di Indonesia. Alat tangkap payang merupakan alat penangkapan

yang dikhususkan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil dan tergolong alat

tangkap aktif dilihat dari cara mengoperasikannya. Alat tangkap payang ini secara

teknologi belum banyak mengalami perkembangan pesat dan pengopersiannya

masih bersifat tradisional karena dalam usaha penangkapannya hanya

mengandalkan pengamatan mata atau visual yang dilakukan oleh nelayan.

Payang adalah alat tangkap ikan yang sudah lama dikenal dan digunakan

oleh nelayan Indonesia. Alat tangkap ini dapat dikategorikan sebagai alat yang

memiliki produktivitas tinggi dan dapat digolongkan sebagai alat penangkap ikan

tradisional, mengingat alat tangkap ini sudah lama digunakan oleh nelayan

Indonesia. Keberadaan unit penangkapan payang di dalam perikanan laut

Indonesia dianggap penting baik dilihat dari produktivitas maupun jumlah tenaga

kerja yang terlibat (Subani dan Barus, 1989)

Alat tangkap payang termasuk dalam kelompok seine net atau danish net.

Seine net adalah alat penangkap ikan yang mempunyai bagian badan, sayap dan

tali penarik yang sangat panjang dengan atau tanpa kantong. Alat penangkap ikan

ini dioperasikan dengan cara melingkari area seluas-luasnya dan kemudian

menarik alat ke kapal atau ke pantai. Payang merupakan salah satu dari seine net

yang dioperasikan dengan cara melingkari kawasan ikan lalu ditarik ke atas kapal

yang tidak bergerak. Alat ini sesuai perkembangan dimodifikasi dengan daerah

(30)

Alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok payang adalah payang

teri atau tongkol (boat seine), dogol dan pukat pantai (beach seine). Umumnya

jaring pada payang terdiri dari kantong, dua sayap, dua tali ris, tali salembar serta

pelampung dan pemberat (Monintja, 1991)

Daerah operasi penangkapan payang biasanya tidak jauh dari pantai dan

kedalaman yang relatif dangkal, ini dikarenakan keterbatasan perahu yang

digunakan berukuran kecil sehingga tidak dapat dioperasikan pada perairan

dengan gelombang besar. Ukuran kapal 3.56 - 5 GT dengan ukuran panjang

9-12m, lebar 2.5-3m, dan dalam 0.75 - 1m. Tahap-tahap persiapan sampai dengan

penangkapan oleh nelayan dengan menggunakan payang.

1. Tahap Persiapan

Persiapan yang harus dilakukan nelayan meliputi: persiapan perbekalan

(bahan bakar, makan dan minum), persiapan peralatan untuk perbaikan

jaring yang rusak pada saat ditengah laut, pemasangan mesin motor di

kapal, pemasangan pemberat di tali ris serta penataan jaring agar jaring

siap dioperasikan.

2. Menentukan daerah penangkapan ikan

Dapat ditentukan berdasarkan operasi penangkapan sebelumnya.

3. Setting atau penurunan jaring

4. Pengangkatan jaring

2.2. Curahan Tenaga Kerja

Mangkuprawira (1984) mengkaji alokasi dan kontribusi kerja anggota

keluarga di Sukabumi Jawa Barat. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

(31)

faktor-faktor demografis, ekonomi dan ekologi. Namun faktor imbalan kerja

suami dan istri berpengaruh nyata dan positif terhadap alokasi waktu suami dan

istri dalam mencari nafkah. Sedangkan pola pengeluaran rumahtangga

berhubungan nyata dengan faktor-faktor pendapatan rumahtangga, pendidikan

suami, tipe alokasi dan musim.

Tingkat partisipasi wanita diduga tergantung pada tiga faktor. Pertama,

dalam masyarakat yang tingkat fertilisasinya tinggi sehingga ukuran tenaga kerja

normal adalah besar, wanita muda tidak berkarir dan tidak akses pada pendidikan

dan pelatihan. Kedua, jika rata-rata tingkat fertilisasi tinggi, fertilisasi menekan

aktivitas wanita. Kondisi tenaga kerja anak bisa digunakan sebagai subtitusi bagi

bentuk tenaga kerja yang lain, ini bisa timbul pada masyarakat kota maupun desa

yang berpenghasilan rendah. Pembatasan penggunaan tenaga kerja anak, akan

meningkatkan partisipasi tenaga kerja wanita, yang semestinya disubtitusikan oleh

tenaga kerja anak. Oleh karena itu bukan hanya dengan menggalakkan penurunan

tingkat kesuburan wanita, tetapi juga perbaikan posisi bersaing wanita dalam

pasar tenaga kerja sehingga meningkatkan partisipasi tenaga kerja wanita. Ketiga,

aktivitas ekonomi wanita dibatasi oleh aktivitas pemeliharaan anak. Hal ini

tergantung ketersediaan tenaga kerja alternatif untuk aktifitas pemeliharaan anak,

terutama peluang biaya relatif pemeliharaan anak terhadap pendapatan wanita

(Standing, 1978).

Menurut Susilowati (1992) faktor yang dapat memacu peran perempuan

dalam usaha perikanan di Indonesia adalah: (1) faktor sosial: keyakinan agama,

ethnis, hubungan kewenangan antara suami istri dalam keluarga, basis usaha

(32)

ekonomi: kebutuhan, differensiasi akses perempuan atas sumberdaya yang

bernilai ekonomi tinggi, permodalan dan arti pendapatan bagi rumahtangga, akses

kredit atau kebijakan pemerintah, (3) faktor teknis: perubahan teknologi,

keterampilan yang dengan mudah dikuasai dan dilakukan bahan baku lokal dan

intensitas penggunaan tenaga kerja yang dibutuhkan, (4) faktor ekologis: musim

ikan kondisi lingkungan pantai yang ada, dan (5) faktor lainnya: umur, status

perkawinan, curahan waktu yang tersedia, penguasaan aset produktif dan

pendapatannya dan tingkat pendidikannya.

Para istri dalam rumahtangga nelayan adalah bekerja untuk kegiatan

produksi pengolahan dan perdagangan ikan, di samping bekerja pada kegiatan

ekonomi yang tidak terkait dengan pemanfaatan nilai tambah komoditi perikanan,

seperti tukang, pertanian dan lainnya.

2.3. Pendapatan dan Pengeluaran

Pengeluaran rumahtangga ditentukan oleh pendapatan total dan

karakteristik rumahtangga. Makin besar jumlah anggota rumahtangga, makin

besar pula jumlah pengeluaran rumahtangga. Mengingat adanya variabilitas

individu anggota rumahtangga menurut umur maupun seks, maka dalam

pendekatan ekonomi rumahtangga teori konsumsi individu yang lazim adalah

sangat sulit digunakan, karena perilaku permintaan rumahtangga tidak konsisten

dengan model yang didasarkan pada perilaku individu dalam rumahtangga.

Sementara itu, para ahli ilmu-ilmu sosial melihat tingkat kesejahteraan

rumahtangga tidak saja berhubungan dengan tingkat pengeluaran konsumsi

pangan, tetapi juga konsumsi kebutuhan pokok (basic needs) lainnya, yaitu di

(33)

pendidikan. Reniati (1998) melakukan pengelompokan perilaku konsumsi

rumahtangga nelayan menjadi konsumsi pangan dan nonpangan.

Secara khusus di dalam rumahtangga nelayan sendiri terdapat variasi yang

membedakan dengan pendapatan pada rumahtangga yang lain, yaitu:

1. anggota rumahtangga, yaitu istri dan anak di samping suami selaku kepala

rumahtangga pemegang peranan penting dalam berkontribusi untuk

penerimaan rumahtangga nelayan.

2. dilihat dari curahan kerja, peranan istri cukup tinggi.

3. penerimaan nonmelaut memegang peranan menentukan dalam alokasi

curahan kerja anggota keluarga dan kontribusinya terhadap penerimaan

rumahtangga nelayan.

Hasil penelitian Aryani (1994) dan Reniati (1998) menunjukkan bahwa

peranan perempuan untuk mendukung pendapatan nonmelaut adalah cukup

berarti. Suami, istri dan anak dalam rumahtangga nelayan memiliki keahlian,

ketrampilan, peran, tugas dan kewajiban yang berbeda di pasar kerja, bekerja di

rumah dan penggunaan waktu senggangnya.

Kegiatan agroindustri kecil yang umum diusahakan adalah usaha

pemindangan dan pengeringan ikan, karena kegiatan usaha tersebut dengan

mudah dapat dikelola oleh para perempuan nelayan, Hal ini dapat dijelaskan

karena kegiatan tersebut sangat sederhana dan mudah dikelola dengan tingkat

pendidikan perempuan nelayan yang ada saat ini (Erizal, 1995). Menurut Saragih

(1998) agroindustri adalah merupakan motor penggerak dalam sistem agribisnis

pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan. Oleh karena itu, para nelayan perlu

(34)

Kegiatan ekonomi rumahtangga nelayan dalam meningkatkan pendapatan

rumahtangganya pada umumnya menangani kegiatan pengolahan dan

perdagangan ikan, di samping kegiatan produktif nonperikanan, seperti tukang,

pertanian dan lainnya (Dirjen Perikanan, 1993; Antunes, 1998 dan Pranadji,

1995).

2.4. Ekonomi Rumahtangga Nelayan

Becker (1965) mengembangkan teori untuk mempelajari model ekonomi

rumahtangga petani (Agricultural Household Models), dimana kegiatan produksi

dan konsumsi tidak terpisah dan penggunaan tenaga kerja keluarga lebih

diutamakan. Teori ini memandang rumahtangga sebagai pengambil keputusan

dalam kegiatan produksi dan konsumsi, serta hubungannya dengan alokasi waktu

dan pendapatan rumahtangga yang dianalisis secara simultan. Asumsi yang

digunakan adalah bahwa dalam mengkonsumsi, kepuasan rumahtangga bukan

hanya ditentukan oleh barang dan jasa yang dapat diperoleh di pasar, tetapi juga

dari berbagai komoditi yang dihasilkan dalam rumahtangga. Selain itu ada

beberapa asumsi yang dipakai dalam agricultural household models, yaitu: (1)

waktu dan barang atau jasa merupakan unsur kepuasan, (2) waktu dan barang atau

jasa dapat dipakai sebagai faktor produksi dalam fungsi produksi rumahtangga,

dan (3) rumahtangga bertindak sebagai produsen dan sebagai konsumen.

Model ekonomi rumahtangga petani telah dicoba diaplikasikan dengan

beberapa modifikasi untuk menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan

oleh beberapa peneliti seperti Aryani (1994) dan Reniati (1998). Kedua peneliti

menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dalam kegiatan berproduksi,

(35)

tersebut menggunakan model yang digunakan untuk ekonomi rumahtangga petani

yang diturunkan dari teori ekonomi rumahtangga atas dasar model yang disusun

oleh Singh (1986) dengan memasukkan peubah relevan dengan kondisi ekonomi

(36)

3.1. Tinjauan Teoritis 3.1.1. Curahan Tenaga Kerja

Secara sederhana, tenaga kerja diartikan sebagai upaya manusia untuk

melakukan usaha. Usaha tersebut dalam hubungannya dengan perikanan adalah

usaha melaut dan nonmelaut. Dalam usaha tersebut terdapat perbedaan

penggunaan tenaga kerja, antara lain:

1. penggunaan tenaga kerja dalam perikanan bersifat tidak tetap dan tidak

berkelanjutan, sedangkan dalam perindustrian bersifat lebih tetap.

2. penggunaan tenaga kerja melaut sebagian besar adalah pria dan untuk

industri perikanan adalah wanita.

3. kegiatan dalam perikanan pada dasarnya harus disesuaikan dengan alam,

sedangkan dalam perindustrian dapat berlangsung sepanjang tahun.

Sumber tenaga kerja dalam perikanan dapat diperoleh dari dalam keluarga

dan dari luar keluarga. Sumber tenaga kerja dari dalam keluarga yaitu: suami,

istri, anak-anak, orang tua dan orang lain yang hidup serumah dan mendapatkan

fasilitas dari rumahtangga nelayan tersebut, sedangkan tenaga kerja dari luar

diperoleh dari luar rumahtangga nelayan.

Analisis tentang curahan tenaga kerja merupakan analisis tentang

penawaran tenaga kerja, yang pada prinsipnya membahas tentang

keputusan-keputusan anggota rumahtangga dalam pilihan jam kerjanya. Anggota

rumahtangga (individu-individu) dalam mengalokasikan jam kerja akan bertindak

(37)

O

Maksimasi utilitas rumahtangga dilakukan dengan mengkombinasikan

waktu santai dan barang konsumsi untuk memaksimumkan kepuasan. Setiap

angkatan kerja anggota rumahtangga dihadapkan pada pilihan bekerja atau tidak.

Apabila memilih bekerja berarti akan memberikan nilai guna pendapatan yang

lebih tinggi dan akan lebih mencurahkan waktunya bagi pencapaian kebutuhan

konsumsi. Sebaliknya jika tidak bekerja, maka waktu santai akan mempunyai

nilai guna lebih tinggi dari pada pendapatan (Mangkuprawira, 1984). Adanya

kedua pilihan tersebut akan menghasilkan berbagai kombinasi untuk mencapai

kepuasan yang maksimum, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Mangkuprawira (1984)

Gambar 1. Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Rumahtangga

Anggota rumahtangga akan mengkonsumsi B0 dan W0 untuk

mendapatkan tingkat kepuasan U0. Jika makin banyak B dan W yang dikonsumsi

maka makin tinggi kepuasan U yang dicapai (U2 > U1 > U0

U0

). Dalam

mengkonsumsi barang dan waktu santai, anggota rumahtangga (individu) akan

menghadapi dua kendala yaitu waktu yang jumlahnya terbatas (24 jam per hari) U2

U1

W0

B1

B2

B0

W1 W3 Waktu Santai

(38)

0

dan anggota rumahtangga yang menawarkan tenaga kerja dalam suatu pasar

bersaing sempurna sehingga tidak akan mempengaruhi tingkat upah yang berlaku,

kedua kendala tersebut adalah kendala anggaran. Untuk memperoleh kombinasi

maksimum dengan mempertimbangkan kendala yang ada, maka kombinasi

optimum terletak pada garis anggaran yang menyinggung kurva indiferent.

Apabila terjadi kenaikan tingkat upah berarti terdapat tambahan pendapatan.

Dengan status ekonomi yang lebih tinggi seseorang cenderung

meningkatkan konsumsi dan waktu santainya yang berarti pengurangan jam kerja

(efek pendapatan). Dilain pihak kenaikan tingkat upah berarti harga waktu santai

menjadi lebih mahal dan mendorong anggota rumahtangga mensubtitusikan

waktu santainya dengan lebih banyak bekerja untuk menambah konsumsi barang

(efek subtitusi). Efek total dari perubahan tingkat upah adalah selisih dari efek

pendapatan dan subtitusi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber: Simanjuntak (1985)

(39)

Misalkan suatu rumahtangga mempunyai pendapatan OA=HB di luar hasil

pekerjaan (non earned income, misalnya sewa, warisan). Apabila seluruh waktu

yang tersedia OH digunakan untuk waktu luang maka pendapatan rumahtangga

tersebut hanya OA=HB. OD menunjukkan jumlah waktu yang digunakan

rumahtangga untuk waktu luang dan HD1 merupakan waktu yang digunakan

untuk bekerja (waktu luang diukur dari titik O ke titik H dan waktu bekerja

diukur dari H ke O). Dengan bekerja sebanyak HD1

Rasio tingkat upah awal (barang konsumsi per waktu luang) ditunjukkan

oleh slope garis anggaran BC

jam maka rumahtangga

memperoleh pendapatan senilai barang konsumsi AF. Jumlah barang konsumsi

rumahtangga adalah jumlah barang senilai hasil kerja ditambah jumlah barang

senilai pendapatan di luar hasil kerja yakni: OF = OA + AF. Nilai barang

konsumsi yang dapat dibelu dari hasil kerja satu jam dinamakan tingkat upah yang

dicerminkan dengan kecenderungan (slope) dari budget line. Semakin tinggi

tingkat upah maka akan semakin besar slope dari budget line.

1 dengan kondisi keseimbangan pada titik E dengan

utilitas U1. Apabila upah meningkat, maka budget line berubah dari BC1 menjadi

BC2. Perubahan tingkat upah tersebut akan menghasilkan pertambahan

pendapatan sebagaimana dilukiskan dengan garis B”C” yang sejajar dengan BC1.

Pertambahan pendapatan akan menambah waktu luang (OD1 ke OD2) sehingga

tingkat utilitas meningkat menjadi U2 (U1 ke U2) pada titik keseimbangan E2. Hal

ini merupakan efek pendapatan (income effect). Apabila upah meningkat maka

untuk mendapatkan pertambahan barang konsumsi harus mengorbankan waktu

luang (waktu untuk bekerja ditambah dari HD2 ke HD3) supaya berbeda pada

(40)

Uraian di atas menyimpulkan bahwa adanya penyediaan waktu bekerja

sehubungan dengan perubahan tingkat upah merupakan teori penawaran tenaga

kerja. Dalam analisis penawaran tenaga kerja, rumahtangga memainkan peranan

yang sama dengan perusahaan pada teori permintaan tenaga kerja. Artinya,

keputusan anggota rumahtangga untuk masuk dalam angkatan kerja bukanlah

semata-mata ditetapkan oleh pribadi seseorang akan tetapi secara bersama-sama

oleh anggota rumahtangga. Dengan demikian, penawaran tenaga kerja

rumahtangga merupakan hasil proses simultan untuk mencapai kepuasan

maksimum bagi rumahtangga dengan sumberdaya yang terbatas.

Mangkuprawira (1984) menyimpulkan bahwa meskipun wanita (istri)

memiliki peluang yang sama dengan laki-laki (suami), namun suami sebagai

kepala rumahtangga masih lebih besar tingkat partisipasinya dalam

mengalokasikan waktu kerja. Hal ini bisa dikatakan suami memberikan kontribusi

pendapatan yang lebih besar terhadap total pendapatan rumahtangga.

3.1.2. Pendapatan dan Konsumsi

Menurut Sadoulet dan Janvry (1995) analisis model ekonomi rumahtangga

perlu memperhatikan dua hal, yaitu: (1) apakah barang dan jasa yang dikonsumsi

rumahtangga sesuai dengan harga pasar, dan (2) perilaku produksi dan konsumsi

apakah separable. Jika sistem persamaan produksi dan konsumsi pada model

ekonomi rumahtangga separable, maka pendugaan sistem persamaan konsumsi

dan produksi dapat dilakukan secara bebas dan terpisah mengacu pendekatan

pendugaan sistem persamaan konsumsi dan produksi yang baku, seperti

penggunaan fungsi keuntungan yang umum digunakan. Pendekatan ekonomi

(41)

produksi melalui pengaruh pendapatan. Hanya saja patut diperhatikan, menurut

Sadoulet dan Janvry (1995), bahwa manfaat dari pendekatan ekonomi

rumahtangga, bahkan akan menghasilkan kesimpulan yang berlawanan dengan

kesimpulan yang dapat diperoleh dengan pendekatan teori konsumsi murni, jika

perilaku ekonomi rumahtangga tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

1. Dampak keuntungan karena perubahan harga adalah sangat besar.

2. Sumbangan keuntungan seluruh pendapatan rumahtangga sangat besar.

Apabila sistem persamaan produksi, curahan kerja dan konsumsi

non-separable dan disusun dalam model ekonometrika, dimana terdapat keterkaitan

antara peubah, sehingga perilaku ekonomi rumahtangga dalam produksi, curahan

kerja dan konsumsi adalah saling terkait secara simultan, maka pendugaan model

ekonomi rumahtangga yang demikian adalah lebih kompleks.

Pendapatan yang diperoleh dari korbanan waktu anggota rumahtangga

dalam angkatan kerja akan berbeda-beda. Perubahan pendapatan rumahtangga

akan menghasilkan garis anggaran baru yang akan berpengaruh terhadap tingkat

konsumsi rumahtangga tersebut. Hubungan ini dapat dijelaskan dengan kurva ICC

(Income Consumption Curve), atau dinamakan juga kurva Engel, untuk

mengingatkan pada Ernst Engel sebagai seorang pertama yang meneliti hubungan

perubahan pendapatan dengan jumlah yang diminta (Kelana, 1994).

Pada Gambar 3 peningkatan pendapatan ditandai dengan perubahan I1 ke

I2 (dimana I2 lebih tinggi dari I1), maka diperoleh garis anggaran baru dari B1 ke

B2 (keduanya paralel) dengan equilibrium A dan B. Lebih jauh lagi Engel

menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara permintaan terhadap barang

perikanan atau barang yang bersifat mudah rusak (perishable goods) dan

(42)

I1

I2

I3

ICC

C

A B Qy

B3

B1

0 QX

B2

Sumber: Kelana (1994)

Gambar 3. Kurva Hubungan Pendapatan dengan Konsumsi

Perubahan kenaikan pendapatan tidak menyebabkan permintaan terhadap

barang perikanan meningkat secara progresif. Misalnya pendapatan meningkat

dua kali, maka permintaan terhadap ikan tidak akan meningkat sebanyak dua kali

juga, sehingga dapat dikatakan elastisitas pendapatan terhadap permintaan ikan

rendah. Sebaliknya, peningkatan pendapatan akan menyebabkan permintaan

terhadap barang industri lebih progresif, dapat dimaklumi jika pendapatan

konsumen naik maka permintaan terhadap barang elektronik dan kebutuhan akan

barang mewah juga akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatannya.

Miller dan Meiners (1997) mengemukakan beberapa sebab terjadinya

ketimpangan pendapatan riil.

1. Perbedaan usia

Sampai batas tertentu pendapatan meningkat seiring dengan bertambahnya usia

dan masa kerja seseorang, lewat dari batas tersebut pertambahan usia akan

(43)

2. Keberanian mengambil resiko.

Seseorang yang bekerja di lingkungan kerja dengan pekerjaan yang berbahaya,

ceteris paribus biasanya memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.

3. Ketidakpastian dan variasi pendapatan

Bidang-bidang kerja yang hasilnya serba tidak pasti, misalnya bidang

pemasaran mengandung resiko yang besar. Seseorang yang menekuni bidang

ini akan menuntut dan menerima pendapatan yang lebih tinggi.

4. Bobot pendidikan dan latihan

Pendidikan dan pelatihan sangat erat hubungannya dengan keterampilan

seseorang sehingga dia mampu menghasilkan produk fisik marginal yang lebih

tinggi.

5. Kekayaan warisan

Seseorang yang memang berasal dari rumahtangga kaya mempunyai

kesempatan yang lebih baik dibandingkan dengamereka yang tidak mempunyai

kekayaan warisan, sekalipun kemampuan dan pendidikan mereka setara.

6. Ketidaksempurnaan pasar

Monopoli, monopsoni, kebijakan sepihak serikat buruh, penetapan tingkat

upah minimum oleh pemerintah, ketentuan syarat-syarat lisensi, sertifikasi dan

sebagainya turut mengakibatkan perbedaan-perbedaan pendapatan di kalangan

kelas-kelas pekerja.

7. Diskriminasi

Berbagai penelitian yang mencoba mengoreksi perbedaan produktivitas

kelas-kelas marginal yang dikelompok atas dasar ras atau jenis kelamin umumnya

(44)

diakibatkan oleh deskriminasi tersebut. Dengan kata lain, meskipun semua

faktor kuantitas dan kualitas pendidikan dan berbagai bentuk latihan kerja,

usia, masa kerja dan sebagainya, antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki

sama, tetapi tingkat pendapatan mereka dari bidang pekerjaan yang sama tetap

saja berbeda.

3.2. Tinjauan Studi Empirik

Model ekonomi rumahtangga petani (agricultural household model) telah

dicoba diaplikasikan dengan beberapa modifikasi untuk menjelaskan perilaku

ekonomi rumahtangga nelayan oleh beberap peneliti seperti Aryani (1994) dan

Reniati (1998). Kedua peneliti menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga

nelayan dalam kegiatan berproduski, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran

secara simultan. Kedua peneliti tersebut menggunakan model yang digunakan

untuk ekonomi rumahtangga yang diturunkan dari teori ekonomi rumahtangga

atas dasar model yang disusun oleh Bagi dan Singh, dengan memasukkan peubah

relevan dengan kondisi ekonomi rumahtangga nelayan di pedesaan pantai.

Dalam penelitian tersebut, baik Aryani (1994) maupun Reniati (1998)

mendisagregasi rumahtangga nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan buruh

secara terpisah, sementara besarnya penerimaan sebagai pendapatan nelayan

buruh dari kegiatan melaut adalah terkait erat dengan penerimaan juragan dari

kegiatan kerja melaut, karena besarnya pendapatan juragan dan pendega (nelayan

buruh) didasarkan pada sistem bagi hasil yang berlaku (Direktorat Jenderal

Perikanan, 1993; Pranadji, 1995). Dalam penelitian ini nelayan yang menjadi

responden adalah nelayan tradisional yang tidak terikat dengan juragan,

(45)

pendapatan nelayan tradisional ditentukan oleh produksi atau jumlah yang didapat

saat melakukan penangkapan di laut.

Para istri dan angkatan kerja perempuan lainnya dalam rumahtangga

nelayan sebagaimana ditunjukkan oleh kedua peneliti adalah bekerja untuk

kegiatan produksi pengolahan dan perdagangan ikan, di samping bekerja pada

kegiatan ekonomi yang tidak terkait dengan pemanfaatan nilai tambah komoditi

perikanan, seperti pertanian tanaman pangan, industri batik, dan lainnya. Kegiatan

ekonomi rumahtangga nelayan dalam meningkatkan pendapatan rumahtangganya

pada umumnya menangani kegiatan pengolahan dan perdagangan ikan, di

samping kegiatan produktif nonperikanan, seperti tukang, pertanian dan lainnya

(Direktorat Jenderal Perikanan, 1993; Antunes, 1998, dan Pranadji, 1995). Bahkan

menurut Antunes (1998) sebagian para perempuan anggota keluarga nelayan

benar-benar menjadi pengusaha perikanan yang berhasil.

Di Muncar, Jawa Timur sebagian istri nelayan adalah bertindak sebagai

pembantu utama dalam usaha produksi ikan olahan pindang atau ikan kering (Tim

Peneliti Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, 1999). Kegiatan agroindustri

kecil yang umum diusahakan adalah pemindangan dan pengeringan ikan, karena

kegiatan tersebut dengan mudah dapat dikelola oleh para perempuan nelayan,

karena proses pengolahan sederhana dan mudah dikelola dengan tingkat

pendidikan perempuan nelayan yang ada saat ini (Erizal, 1995). Menurut Saragih

(1998), agroindustri adalah merupakan motor peggerak dalam sistem agribisnis

pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan. Oleh karena itu, para petani atau

nelayan perlu dipacu agar mengembangkan usahanya dengan pendekatan

(46)

Susilowati (1998) memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi

partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi rumahtangga, dengan

kesimpulan: (1) berhubungan positif dalam peran perempuan untuk pengambilan

keputusan rumahtangga nelayan, dan (2) berhubungan negatif dalam faktor

pendidikan (tidak nyata), pekerjaan suaminya, posisi (status sosial) suami dalam

masyarakat nelayan dan jumlah anggota keluarga yang jadi tanggung jawabnya.

Makin tinggi pendapatan dan status sosial suami serta jumlah anggota keluaraga

yang menjadi tanggung jawabnya, maka makin rendah partisipasi perempuan

nelayan dalam kegiatan ekonomi.

Seperti halnya Erizal (1995), di Kabupaten Brebes sebagian besar istri dan

anak perempuan bekerja pada kegiatan pascapanen yaitu membersihkan ikan

(beteti) serta menjemur, sedangkan suami dalam melakukan kegiatan seperti

halnya Aryani (1994) dan Reniati (1998) melakukan kegiatan seperti tukang,

buruh, tukang ojek dan lain-lain

Reniati (1998) memasukkan peubah tingkat perkembangan perekonomian

desa, yaitu dipilih desa miskin dan tidak miskin. Dengan melakukan disagregasi

wilayan desa dengan tingkat ekonomi yang berbeda tersebut, Reniati (1998)

menganalisis perilaku rumahtangga nelayan (juragan dan pendega) untuk kondisi

ekonomi yang berbeda di desa miskin dan tidak miskin. Dalam penelitian ini

pemilihan kabupaten atau desa didasarkan dengan jumlah nelayan terbanyak, hal

ini dilakukan untuk dapat memotret dengan jelas perilaku rumahtangga nelayan

dengan segala variasi ataupun cara untuk mendapatkan pendapatan dan mengatur

(47)

Sementara itu, Muhammad (2002) memasukan kebijakan pemerintah

dalam pembangunan perikanan di pedesaan pantai dengan pengembangan

teknologi dan prasarana pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan

(Direktorat Jenderal Perikanan, 1993). Dengan demikian, pengembangan

prasarana pelabuhan di samping membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di

pedesaan pantai, juga berorientasi pada pengembangan kelautan untuk memacu

pengembangan teknologi perikanan dan memberikan kemudahan kapal ikan

mendaratkan hasil tangkapan dari laut, sehingga wilayah desa tersebut tumbuh

menjadi kaya.

Adanya pelabuhan atau tempat pendaratan ikan telah memacu petumbuhan

ekonomi perikanan di pedesaan pantai Utara Jawa, karena pelabuhan atau tempat

pendaratan ikan tersebut dapat berfungsi semacam pusat pertumbuhan (growth

center atau growth pole) ekonomi. Pendekatan pusat-pusat pertumbuhan

memegang peranan penting dalam perspekif pembangunan wilayah desa pada era

otonomi daerah (Azis, 1994), karena desa dimana pelabuhan perikanan berada

akan tumbuh menjadi desa kaya dan menjadi salah satu lokasi yang menyediakan

sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi perikanan yang dapat

dipungut oleh pemerintah daerah.

Di samping itu, pelabuhan perikanan di pantai Utara Jawa biasa dilengkapi

dengan tempat pelelangan ikan (TPI), dimana para nelayan menjual hasil

tangkapannya. Di tempat ini, nelayan dapat memperoleh layanan dan

barang-barang yang diperlukan untuk operasi penangkapan ikan dan kegiatan ekonomi

wilayah akan tumbuh berkembang. Dengan demikian, diagregasi klasifikasi desa

(48)

pemerintah dalam pengembangan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan

tersebut.

Dengan background didominasi oleh nelayan tradisional di Kabupaten

Brebes pelabuhan tempat bersadarnya kapal masih sangat sederhana, sedangkan

proses jual beli yang terjadi antara nelayan dengan pedagang tidak dilakukan di

TPI, mereka sudah mempunyai pengumpul sendiri untuk hasil-hasil tangkapanya.

Nelayan tradisional juga tidak mengenal pajak sebagai retribusi bagi pemerintah

daerah.

Berbeda dengan model yang dibuat oleh Aryani (1994), Reniati (1998)

yang mengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan menjadi

konsumsi pangan dan nonpangan. Muhammad (2002) mencoba mengelompokkan

konsumsi dengan kebutuhan dasar (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan,

pendidikan dan kesehatan sebagai indikator kesejahteraan sosial (Ginting, 1996).

Sebenarnya dalam pengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan,

baik menggunakan pangan dan nonpangan serta kebutuhan dasar semuanya dapat

merangkum dengan jelas tentang pola pengeluaran rumahtangga, dalam penelitian

ini digunakan pendekatan pengeluaran dengan pengelompokkan konsumsi pangan

dan nonpangan

Dalam penelitian Aryani (1994) dan Reniati (1998), kedua peneliti

tersebut belum memasukkan perilaku rumahtangga menabung dan berinvestasi.

Oleh karena itu agar memiliki implikasi kebijakan dalam peningkatan

kesejahteraan nelayan, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan untuk

melakukan saving. Model ekonomi rumahtangga nelayan tradisional, seperti

(49)

variabel yang menjadi unsur utama yang membentuk keterkaitan perilaku

ekonomi rumahtangga nelayan, yaitu: kegiatan produksi, curahan kerja,

pendapatan dan pengeluaran rumahtangga.

3.3. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.3.1. Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan

Pendekatan ekonomi rumahtangga telah dimulai sejak tahun 1920 oleh

Chayanov di Rusia, kemudian Becker (1965) menyusunnya dalam bentuk "new

home economics". Dalam ekonomi rumahtangga, alokasi waktu dan konsumsi

barang dapat dibeli di pasar, atau dapat juga dihasilkan oleh rumahtangga. Ciri

utama yang membedakan perilaku individu dan perilaku rumahtangga sebagai

konsumen adalah bahwa pada saat yang sama anggota rumahtangga juga dapat

berperan sebagai produsen sebagaimana suatu perusahaan (Evenson, 1976).

Menurut Evenson (1976), formula yang disusun oleh Becker (1965) secara

mendasar melihat perilaku konsumsi rumahtangga sebagai proses dalam dua

tingkat, yaitu: (1) tingkat pertama, menjelaskan perilaku rumahtangga

menghadapi fungsi produksi rumahtangga, dimana waktu dan modal yang

tersedia dalam rumahtangga digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang

dapat dikonsumsi rumahtangga, dan (2) tingkat kedua, menjelaskan proses

keputusan pilihan konsumsi, anggota rumahtangga berperilaku sebagaimana

perilaku individu konsumen, dimana aksioma perilaku konsumen konvensional

dapat diaplikasikan.

Rumahtangga dalam memaksimumkan kepuasannya dibatasi oleh kendala

produksi, waktu dan pendapatan. Pendapatan seluruhnya dibelanjakan untuk

(50)

model ekonomi rumahtangga adalah menjembatani ekonomi perusahaan

pertanian yang seluruhnya mempekerjakan tenaga yang diupah dan menjual

hasilnya ke pasar, dengan pertanian subsisten yang menggunakan hanya tenaga

kerja keluarga dan tidak menghasilkan "marketed surplus ".

Model ekonomi rumahtangga yang dirumuskan oleh Becker (1965),

kemudian Barnum dan Square (1978) membuat model ekonomi rumahtangga

yang lebih lengkap dan menyimpulkan bahwa dalam pembuatan kebijakan sangat

penting untuk mengintegrasikan perilaku rumahtangga dalam keputusan produksi

dan konsumsi. Mengingat pengaruh perubahan peubah eksogen, dimana sisi

produksi mempengaruhi sisi konsumsi rumahtangga, maka diperlukan teori yang

terintegrasi khususnya jika elastisitas pengeluaran cukup besar atau jika pengaruh

produksi dominan.

Singh et al. (1986) menyusun Agricultural Household Models sebagai

model dasar ekonomi rumahtangga. Dalam model tersebut, kepuasan

rumahtangga (U) adalah fungsi dari konsumsi barang yang dihasilkan oleh

rumahtangga (Xa), konsumsi barang yang dibeli di pasar (Xm) dan konsumsi

waktu santai (Xl

U = U (X

), sehingga diperoleh persamaan :

a, Xm, X1

Rumahtangga nelayan diasumsikan sebagai konsumen yang akan

memaksimumkan kepuasannya dengan kendala produksi, waktu dan pendapatan,

sebagaimana ditunjukkan pada persamaan berikut :

)... ( 3.5)

Produksi

(51)

Alokasi waktu

= konsumsi barang yang dibeli di pasar

a

X

= barang yang dihasilkan rumahtangga

l

= harga barang yang dihasilkan oleh rumahtangga

a

Q = produksi rumahtangga

) = surplus produksi untuk dipasarkan

A = jumlah faktor produksi tetap (lahan) dalam rumahtangga

w = upah di pasar tenaga kerja

L = total tenaga kerja

F = penggunaan tenaga kerja rumahtangga

w. (L-F) = pengeluaran upah untuk tenaga kerja luar rumahtangga

Jika (L-F) positif berarti terdapat tenaga kerja luar rumahtangga yang

diupah. Jika negatif, terdapat penawaran tenaga kerja keluarga untuk di luar

pertanian. Semua kendala yang dihadapi rumahtangga tersebut dapat disatukan

dengan melakukan substitusi kendala produksi dan waktu ke dalam kendala

pendapatan, sehingga akan dihasilkan persamaan sebagai berikut :

Pm . Xm + Pa . Xa + w. Xl

dimana:

= w. T + π ... ... .(3.9)

π = Pa

Persamaan di atas menunjukkan bahwa pada sisi kiri merupakan

pengeluaran total rumahtangga untuk barang yang dibeli di pasar (X

. Q(L,A) - w. L (π = keuntungan) ... ...(3.10)

(52)

yang diproduksi rumahtangga (Xa), serta waktu (Xl) yang dikonsumsi

rumahtangga. Sedangkan pada sisi kanan persamaan tersebut adalah merupakan

pengembangan dari konsep pendapatan penuh, dimana nilai waktu yang tersedia

dicatat secara eksplisit. Di samping itu, Singh et al. (1986) juga melakukan

pengembangan dengan memasukkan pengukuran tingkat keuntungan usaha, yaitu

π = Pa

Rumahtangga dalam memaksimumkan kepuasan memilih tingkat

konsumsi dari barang yang dibeli di pasar (X

.Q(L,A) - w.L, dimana semua tenaga kerja dihitung berdasarkan upah

pasar.

m) dan barang yang diproduksi

rumahtangga (Xa), waktu yang dikonsumsi rumahtangga (Xl

P

) dan tenaga kerja

(L) yang digunakan dalam kegiatan produksi. Kondisi turunan pertama (first

order condition) untuk mengoptimalkan penggunaan tenaga kerja adalah :

a

Rumahtangga akan menyamakan penerimaan produk marginal dari tenaga

kerja dengan upah pasar. Selanjutnya penggunaan tenaga kerja (L) sebagai fungsi

dari Pa, w, dan A, seperti ditunjukkan pada persamaan sebagai berikut:

. ∂Q /. ∂L = w ... ... .(3.11)

L = L ( w , Pa

Dari persamaan di bawah ini dapat dilihat bahwa persamaan terdiri dari konsumsi

komoditi pasar (P

, A) ... ... .(3.12)

m.Xm), komoditi pertanian yang dihasilkan rumahtangga (Pa Xa)

dan konsumsi waktu santai dalam rumahtangga (w.Xt

P

), adanya Y.

m Xm + Pa Xa + w. Xt

dimana, Y adalah pendapatan potensial (penuh). Maksimisasi kepuasan untuk

= Y

(53)

memenuhi persamaan (3.13) dengan kendala yang ada diperoleh turunan pertama

(first order condition) mengikuti prosedur perilaku konsumsi individu dalam

memaksimumkan kepuasannya untuk sejumlah (n) komoditi sebagai berikut:

U = U (x1, x2... xn Maksimisasi tujuan dari persamaan (3.14), dengan memperhatikan kendala,

menghasilkan kondisi prasyarat sebagai berikut :

∂Φ / ∂xi = ∂U / ∂xi – λ. pi

Kondisi keseimbangan dari fungsi kepuasan diatas dapat dinyatakan

sebagai berikut :

= kepuasan marginal (MUi) dari barang dan jasa ke i

i

λ = kepuasan marginal dari pendapatan = harga barang dan jasa ke i

Mengacu prosedur pada persamaan (3.14) - (3.18), untuk konsumsi barang

yang dibeli di pasar (Xm), barang yang diproduksi rumahtangga (Xa) dan waktu

(54)

pertama pada persamaan (3.19) - (3.21) adalah merupakan kondisi yang umum

kita kenal dalam teori permintaan konsumen (Singh, Squire dan Strauss, 1986).

∂U / ∂Xm = λ . pm

Dengan dasar persamaan (3.19) - (3.21), dapat dinyatakan bahwa

konsumsi barang yang dihasilkan oleh rumahtangga (X

= λ . w...(3.21)

a), konsumsi barang yang

dibeli di pasar (Xm) dan konsumsi waktu santai (Xi

X

) adalah dipengaruhi oleh

harga, upah dan pendapatan, yang selanjutnya masing-masing dapat ditulis

sebagaimana pada persamaan (3.22) - (3.24).

Dalam persamaan di atas permintaan barang, jasa dan waktu santai

tergantung pada harga, upah dan pendapatan rumhtangga. Jika diasumsikan harga

hasil pertanian yang diproduksi rumahtangga meningkat, maka dampaknya

(55)

umum kita kenal dalam teori permintaan konsumen, yaitu untuk barang normal

memiliki slope negatif, yaitu jika harga meningkat permintaan barang dan jasa

tersebut akan menurun. Sedangkan bagian kedua sebelah kanan persamaan (3.25)

mencerminkan efek keuntungan. Perubahan dalam harga barang yang diproduksi

rumahtangga meningkat, maka keuntungan akan meningkat demikian juga

pendapatan penuh rumahtangga juga akan meningkat.

3.3.2. Alur Pemikiran Penelitian

Nelayan tradisional merupakan nelayan yang masih menggunakan alat

tangkap dan cara menangkap ikan dengan sangat sederhana. Menurut dinas

perikanan Jawa Tengah, perbedaan nelayan tradisional dengan nelayan modern

dapat dilihat juga dari jarak dalam melakukan penangkapan ikan, nelayan

tradisional hanya 0-3 mil dari pantai sedangkan nelayan modern lebih dari 12 mil,

sedangkan ukuran kapal 0-5 GT untuk nelayan tradisional dan lebih dari 30 GT

untuk nelayan modern.

Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (2009) menunjukkan

bahwa dari tahun 2005 – 2009 jumlah perahu nelayan tradisional dengan ukuran

<5 GT selalu menduduki urutan pertama (Tabel 2). Hal tersebut dapat diartikan

bahwa kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia masih didominasi oleh

nelayan tradisional.

Tabel 2. Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut Menurut Kategori dan Ukuran Kapal di Indonesia Tahun 2005 – 2009

Ukuran Kapal

Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

< 5 GT 102.456 106.609 114.273 107.934 109.590

(56)

10 - 20 GT 6.968 8.190 8.194 7.728 7.910

Sumber: Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2009.

Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes (2008)

jumlah armada penangkapan ikan tradisional di kabupaten Brebes adalah 16. 119

unit, terbanyak dibandingkan dengan armada kapal semi modern ataupun modern

yang hanya 1.243 dan 894 unit. Nelayan tradisional di kabupaten brebes

mempunyai jumlah prosentase terbanyak yaitu 85.78%, dan sebagian besar

didominasi oleh nelayan dengan alat tangkap payang.

Gambar

Gambar 1. Fungsi Kepuasan Seorang Anggota Rumahtangga
Gambar 2. Fungsi Kepuasan, Efek Pendapatan, Efek Subtitusi dan Efek Total
Gambar 5. Bagan Penarikan Contoh Rumahtangga Nelayan Tradisional di
Tabel 5. Pertumbuhan dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Brebes Tahun 1998-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait