• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1.2 Pendapatan dan Konsumsi

Menurut Sadoulet dan Janvry (1995) analisis model ekonomi rumahtangga perlu memperhatikan dua hal, yaitu: (1) apakah barang dan jasa yang dikonsumsi rumahtangga sesuai dengan harga pasar, dan (2) perilaku produksi dan konsumsi

apakah separable. Jika sistem persamaan produksi dan konsumsi pada model

ekonomi rumahtangga separable, maka pendugaan sistem persamaan konsumsi

dan produksi dapat dilakukan secara bebas dan terpisah mengacu pendekatan pendugaan sistem persamaan konsumsi dan produksi yang baku, seperti penggunaan fungsi keuntungan yang umum digunakan. Pendekatan ekonomi rumahtangga adalah berguna sekiranya sisi konsumsi dikaitkan dengan sisi

produksi melalui pengaruh pendapatan. Hanya saja patut diperhatikan, menurut Sadoulet dan Janvry (1995), bahwa manfaat dari pendekatan ekonomi rumahtangga, bahkan akan menghasilkan kesimpulan yang berlawanan dengan kesimpulan yang dapat diperoleh dengan pendekatan teori konsumsi murni, jika perilaku ekonomi rumahtangga tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

1. Dampak keuntungan karena perubahan harga adalah sangat besar.

2. Sumbangan keuntungan seluruh pendapatan rumahtangga sangat besar.

Apabila sistem persamaan produksi, curahan kerja dan konsumsi non-separable dan disusun dalam model ekonometrika, dimana terdapat keterkaitan antara peubah, sehingga perilaku ekonomi rumahtangga dalam produksi, curahan kerja dan konsumsi adalah saling terkait secara simultan, maka pendugaan model ekonomi rumahtangga yang demikian adalah lebih kompleks.

Pendapatan yang diperoleh dari korbanan waktu anggota rumahtangga dalam angkatan kerja akan berbeda-beda. Perubahan pendapatan rumahtangga akan menghasilkan garis anggaran baru yang akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi rumahtangga tersebut. Hubungan ini dapat dijelaskan dengan kurva ICC (Income Consumption Curve), atau dinamakan juga kurva Engel, untuk mengingatkan pada Ernst Engel sebagai seorang pertama yang meneliti hubungan perubahan pendapatan dengan jumlah yang diminta (Kelana, 1994).

Pada Gambar 3 peningkatan pendapatan ditandai dengan perubahan I1 ke I2 (dimana I2 lebih tinggi dari I1), maka diperoleh garis anggaran baru dari B1 ke

B2 (keduanya paralel) dengan equilibrium A dan B. Lebih jauh lagi Engel

menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara permintaan terhadap barang perikanan atau barang yang bersifat mudah rusak (perishable goods) dan permintaan barang industri sehubungan dengan perubahan pendapatan.

I1 I2 I3 ICC C A B Qy B3 B1 0 QX B2 Sumber: Kelana (1994)

Gambar 3. Kurva Hubungan Pendapatan dengan Konsumsi

Perubahan kenaikan pendapatan tidak menyebabkan permintaan terhadap barang perikanan meningkat secara progresif. Misalnya pendapatan meningkat dua kali, maka permintaan terhadap ikan tidak akan meningkat sebanyak dua kali juga, sehingga dapat dikatakan elastisitas pendapatan terhadap permintaan ikan rendah. Sebaliknya, peningkatan pendapatan akan menyebabkan permintaan terhadap barang industri lebih progresif, dapat dimaklumi jika pendapatan konsumen naik maka permintaan terhadap barang elektronik dan kebutuhan akan barang mewah juga akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatannya.

Miller dan Meiners (1997) mengemukakan beberapa sebab terjadinya ketimpangan pendapatan riil.

1. Perbedaan usia

Sampai batas tertentu pendapatan meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan masa kerja seseorang, lewat dari batas tersebut pertambahan usia akan diiringi dengan penurunan pendapatan.

2. Keberanian mengambil resiko.

Seseorang yang bekerja di lingkungan kerja dengan pekerjaan yang berbahaya, ceteris paribus biasanya memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.

3. Ketidakpastian dan variasi pendapatan

Bidang-bidang kerja yang hasilnya serba tidak pasti, misalnya bidang pemasaran mengandung resiko yang besar. Seseorang yang menekuni bidang ini akan menuntut dan menerima pendapatan yang lebih tinggi.

4. Bobot pendidikan dan latihan

Pendidikan dan pelatihan sangat erat hubungannya dengan keterampilan seseorang sehingga dia mampu menghasilkan produk fisik marginal yang lebih tinggi.

5. Kekayaan warisan

Seseorang yang memang berasal dari rumahtangga kaya mempunyai kesempatan yang lebih baik dibandingkan dengamereka yang tidak mempunyai kekayaan warisan, sekalipun kemampuan dan pendidikan mereka setara.

6. Ketidaksempurnaan pasar

Monopoli, monopsoni, kebijakan sepihak serikat buruh, penetapan tingkat upah minimum oleh pemerintah, ketentuan syarat-syarat lisensi, sertifikasi dan sebagainya turut mengakibatkan perbedaan-perbedaan pendapatan di kalangan kelas-kelas pekerja.

7. Diskriminasi

Berbagai penelitian yang mencoba mengoreksi perbedaan produktivitas kelas-kelas marginal yang dikelompok atas dasar ras atau jenis kelamin umumnya mendapati adanya faktor “residual” yang tidak bisa dijelaskan yang

diakibatkan oleh deskriminasi tersebut. Dengan kata lain, meskipun semua faktor kuantitas dan kualitas pendidikan dan berbagai bentuk latihan kerja, usia, masa kerja dan sebagainya, antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki sama, tetapi tingkat pendapatan mereka dari bidang pekerjaan yang sama tetap saja berbeda.

3.2. Tinjauan Studi Empirik

Model ekonomi rumahtangga petani (agricultural household model) telah dicoba diaplikasikan dengan beberapa modifikasi untuk menjelaskan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan oleh beberap peneliti seperti Aryani (1994) dan Reniati (1998). Kedua peneliti menganalisis perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dalam kegiatan berproduski, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran secara simultan. Kedua peneliti tersebut menggunakan model yang digunakan untuk ekonomi rumahtangga yang diturunkan dari teori ekonomi rumahtangga atas dasar model yang disusun oleh Bagi dan Singh, dengan memasukkan peubah relevan dengan kondisi ekonomi rumahtangga nelayan di pedesaan pantai.

Dalam penelitian tersebut, baik Aryani (1994) maupun Reniati (1998) mendisagregasi rumahtangga nelayan menjadi nelayan juragan dan nelayan buruh secara terpisah, sementara besarnya penerimaan sebagai pendapatan nelayan buruh dari kegiatan melaut adalah terkait erat dengan penerimaan juragan dari kegiatan kerja melaut, karena besarnya pendapatan juragan dan pendega (nelayan buruh) didasarkan pada sistem bagi hasil yang berlaku (Direktorat Jenderal Perikanan, 1993; Pranadji, 1995). Dalam penelitian ini nelayan yang menjadi responden adalah nelayan tradisional yang tidak terikat dengan juragan, sedangkan pendapatan melaut tidak ditentukan oleh upah ataupun bagi hasil,

pendapatan nelayan tradisional ditentukan oleh produksi atau jumlah yang didapat saat melakukan penangkapan di laut.

Para istri dan angkatan kerja perempuan lainnya dalam rumahtangga nelayan sebagaimana ditunjukkan oleh kedua peneliti adalah bekerja untuk kegiatan produksi pengolahan dan perdagangan ikan, di samping bekerja pada kegiatan ekonomi yang tidak terkait dengan pemanfaatan nilai tambah komoditi perikanan, seperti pertanian tanaman pangan, industri batik, dan lainnya. Kegiatan ekonomi rumahtangga nelayan dalam meningkatkan pendapatan rumahtangganya pada umumnya menangani kegiatan pengolahan dan perdagangan ikan, di samping kegiatan produktif nonperikanan, seperti tukang, pertanian dan lainnya (Direktorat Jenderal Perikanan, 1993; Antunes, 1998, dan Pranadji, 1995). Bahkan menurut Antunes (1998) sebagian para perempuan anggota keluarga nelayan benar-benar menjadi pengusaha perikanan yang berhasil.

Di Muncar, Jawa Timur sebagian istri nelayan adalah bertindak sebagai pembantu utama dalam usaha produksi ikan olahan pindang atau ikan kering (Tim Peneliti Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya, 1999). Kegiatan agroindustri kecil yang umum diusahakan adalah pemindangan dan pengeringan ikan, karena kegiatan tersebut dengan mudah dapat dikelola oleh para perempuan nelayan, karena proses pengolahan sederhana dan mudah dikelola dengan tingkat pendidikan perempuan nelayan yang ada saat ini (Erizal, 1995). Menurut Saragih (1998), agroindustri adalah merupakan motor peggerak dalam sistem agribisnis pertanian dalam arti luas, termasuk perikanan. Oleh karena itu, para petani atau nelayan perlu dipacu agar mengembangkan usahanya dengan pendekatan agribisnis.

Susilowati (1998) memfokuskan pada faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi rumahtangga, dengan kesimpulan: (1) berhubungan positif dalam peran perempuan untuk pengambilan keputusan rumahtangga nelayan, dan (2) berhubungan negatif dalam faktor pendidikan (tidak nyata), pekerjaan suaminya, posisi (status sosial) suami dalam masyarakat nelayan dan jumlah anggota keluarga yang jadi tanggung jawabnya. Makin tinggi pendapatan dan status sosial suami serta jumlah anggota keluaraga yang menjadi tanggung jawabnya, maka makin rendah partisipasi perempuan nelayan dalam kegiatan ekonomi.

Seperti halnya Erizal (1995), di Kabupaten Brebes sebagian besar istri dan anak perempuan bekerja pada kegiatan pascapanen yaitu membersihkan ikan (beteti) serta menjemur, sedangkan suami dalam melakukan kegiatan seperti halnya Aryani (1994) dan Reniati (1998) melakukan kegiatan seperti tukang, buruh, tukang ojek dan lain-lain

Reniati (1998) memasukkan peubah tingkat perkembangan perekonomian desa, yaitu dipilih desa miskin dan tidak miskin. Dengan melakukan disagregasi wilayan desa dengan tingkat ekonomi yang berbeda tersebut, Reniati (1998) menganalisis perilaku rumahtangga nelayan (juragan dan pendega) untuk kondisi ekonomi yang berbeda di desa miskin dan tidak miskin. Dalam penelitian ini pemilihan kabupaten atau desa didasarkan dengan jumlah nelayan terbanyak, hal ini dilakukan untuk dapat memotret dengan jelas perilaku rumahtangga nelayan dengan segala variasi ataupun cara untuk mendapatkan pendapatan dan mengatur pengeluaran rumahtangganya.

Sementara itu, Muhammad (2002) memasukan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perikanan di pedesaan pantai dengan pengembangan teknologi dan prasarana pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan (Direktorat Jenderal Perikanan, 1993). Dengan demikian, pengembangan prasarana pelabuhan di samping membentuk pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan pantai, juga berorientasi pada pengembangan kelautan untuk memacu pengembangan teknologi perikanan dan memberikan kemudahan kapal ikan mendaratkan hasil tangkapan dari laut, sehingga wilayah desa tersebut tumbuh menjadi kaya.

Adanya pelabuhan atau tempat pendaratan ikan telah memacu petumbuhan ekonomi perikanan di pedesaan pantai Utara Jawa, karena pelabuhan atau tempat pendaratan ikan tersebut dapat berfungsi semacam pusat pertumbuhan (growth center atau growth pole) ekonomi. Pendekatan pusat-pusat pertumbuhan memegang peranan penting dalam perspekif pembangunan wilayah desa pada era otonomi daerah (Azis, 1994), karena desa dimana pelabuhan perikanan berada akan tumbuh menjadi desa kaya dan menjadi salah satu lokasi yang menyediakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi perikanan yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah.

Di samping itu, pelabuhan perikanan di pantai Utara Jawa biasa dilengkapi dengan tempat pelelangan ikan (TPI), dimana para nelayan menjual hasil tangkapannya. Di tempat ini, nelayan dapat memperoleh layanan dan barang-barang yang diperlukan untuk operasi penangkapan ikan dan kegiatan ekonomi wilayah akan tumbuh berkembang. Dengan demikian, diagregasi klasifikasi desa memerlukan pengembangan yang dikaitkan dengan alternatif kebijakan

pemerintah dalam pengembangan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan tersebut.

Dengan background didominasi oleh nelayan tradisional di Kabupaten

Brebes pelabuhan tempat bersadarnya kapal masih sangat sederhana, sedangkan proses jual beli yang terjadi antara nelayan dengan pedagang tidak dilakukan di TPI, mereka sudah mempunyai pengumpul sendiri untuk hasil-hasil tangkapanya. Nelayan tradisional juga tidak mengenal pajak sebagai retribusi bagi pemerintah daerah.

Berbeda dengan model yang dibuat oleh Aryani (1994), Reniati (1998) yang mengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan menjadi konsumsi pangan dan nonpangan. Muhammad (2002) mencoba mengelompokkan konsumsi dengan kebutuhan dasar (basic needs), yaitu pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan sebagai indikator kesejahteraan sosial (Ginting, 1996). Sebenarnya dalam pengelompokkan perilaku konsumsi rumahtangga nelayan, baik menggunakan pangan dan nonpangan serta kebutuhan dasar semuanya dapat merangkum dengan jelas tentang pola pengeluaran rumahtangga, dalam penelitian ini digunakan pendekatan pengeluaran dengan pengelompokkan konsumsi pangan dan nonpangan

Dalam penelitian Aryani (1994) dan Reniati (1998), kedua peneliti tersebut belum memasukkan perilaku rumahtangga menabung dan berinvestasi. Oleh karena itu agar memiliki implikasi kebijakan dalam peningkatan kesejahteraan nelayan, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan untuk

melakukan saving. Model ekonomi rumahtangga nelayan tradisional, seperti

variabel yang menjadi unsur utama yang membentuk keterkaitan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan, yaitu: kegiatan produksi, curahan kerja, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga.

3.3. Kerangka Pemikiran Teoritis

Dokumen terkait