• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modifikasi Struktur Etil ρ-metoksisinamat melalui Reaksi Kondensasi Aldol dengan Etil Metil Keton

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modifikasi Struktur Etil ρ-metoksisinamat melalui Reaksi Kondensasi Aldol dengan Etil Metil Keton"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Modifikasi Struktur Etil

ρ

-metoksisinamat Melalui

Reaksi Kondensasi Aldol dengan Etil Metil Keton

SKRIPSI

PUTRI HAYATI NUFUS

1112102000030

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Modifikasi Struktur Etil

ρ

-metoksisinamat Melalui

Reaksi Kondensasi Aldol dengan Etil Metil Keton

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

PUTRI HAYATI NUFUS

1112102000030

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

(3)
(4)
(5)
(6)

Nama : Putri Hayati Nufus Program Studi : Strata-1 Farmasi

Judul Skripsi : Modifikasi Struktur Etil ρ-metoksisinamat melalui Reaksi Kondensasi Aldol dengan Etil Metil Keton.

Etil ρ-metoksisinamat (EPMS) merupakan senyawa yang terkandung dalam kencur (Kaempferia galanga L) yang memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi. Gugus ester pada EPMS merupakan gugus yang kurang stabil karena mudah terhidrolisis. Penelitian ini bertujuan untuk memodifikasi struktur etil ρ-metoksisinamat (EPMS) melalui reaksi kondensasi aldol dengan etil metil keton. Gugus ester pada EPMS akan diubah menjadi gugus keton. Modifikasi EPMS melalui tiga proses yaitu proses hidrolisis menggunakan NaOH, proses oksidasi menggunakan Ca(NO3)2 dan proses

kondensasi aldol menggunakan etil metil keton dengan adanya NaOH dalam air. Reaksi dilakukan dengan menstirer campuran pada suhu ruang. Analisis struktur molekul senyawa ditentukan berdasarkan data fisika, GCMS dan 1H-NMR. Hasil

hidrolisis EPMS menghasilkan senyawa asam ρ-metoksisinamat (APMS) yang di oksidasi sehingga menghasilkan senyawa 4-metoksibenzaldehid. Senyawa tersebut direaksikan dengan etil metil keton melalui reaksi kondensasi aldol. Setelah dilakukan reaksi selama 24 jam diperoleh senyawa target dengan rendemen 35,26 %. Reaksi kondensasi aldol menggunakan basa NaOH dalam air yang akan merubah senyawa etil metil keton menjadi ion enolat sehingga bereaksi pada gugus karbonil senyawa 4-metoksibenzaldehid. Berdasarkan analisa menggunakan GCMS dan 1 H-NMR menunjukkan bahwa senyawa target adalah senyawa 1-(4-metoksifenil)-1-penten-3-on. Senyawa 1-(4-metoksifenil)-1-penten-3-on merupakan bentuk keton dari

etil ρ-metoksisinamat (EPMS) berupa kristal putih hingga kuning dengan titik leleh 53-60οC. Identifikasi senyawa menggunakan KLT dengan eluen heksan-etil asetat (4:1) menunjukkan nilai Rf 0,525. Identifikasi menggunakan GCMS menunjukkan waktu retensi 9,857 dan berat molekul 190 dengan fragmentasi masa pada 161, 133, 118, 103, 89 dan 76. Identifikasi menggunakan 1H-NMR menunjukkan sinyal CH2

pada 2,66 ppm yang membuktikan bahwa gugus ester telah berubah menjadi gugus keton.

(7)

Programme Study : Pharmacy

Title : Structure Modification of Ethyl ρ-methoxycinnamate Compound through Aldol Condensation Reaction with Methyl Ethyl Ketone.

Ethyl ρ-methoxycinnamate (EPMS) is a compound contained in kencur (Kaempferia galanga L) which has anti-inflammatory activity. EPMS ester group is less stable because it is easily hydrolyzed. The aims of this study were to structure modification of ethyl ρ-methoxycinnamate (EPMS) compound through aldol condensation reaction with methyl ethyl ketone. Ester groups on EPMS will be converted into a ketone group. Modifications EPMS through three processes, namely the process of hydrolysis using NaOH, the oxidation process using Ca(NO3)2 and aldol

condensation process using methyl ethyl ketone in the presence of NaOH in water. Carried out by stirring the reaction mixture at room temperature. Analysis of the molecular structure of the compound is determined based on the data of physics, GCMS, and 1H-NMR. EPMS hydrolysis produced acid ρ-methoxycinnamate (APMS) compound which are oxidized to produced 4-methoxybenzaldehide compound. This compound is reacted with methyl ethyl ketone through aldol condensation reaction. After reaction for 24 hours is obtained compound with a yield of 35.26%. Aldol condensation reaction using NaOH alkaline water that will change methyl ethyl ketone compounds into the enolate ion to react the carbonyl group in 4-methoxybenzaldehide compound. Based on an analysis using GCMS and 1H-NMR showed that the target compound is 1- (4-methoxyphenyl) -1-penten-3-on compound. The 1- (4-methoxyphenyl) -1-penten-3-one compound is a ketone form of ethyl ρ -methoxycinnamate (EPMS) in the form of white to yellow crystals with a melting point 53-60οC. The identification of compounds by TLC with eluent hexane-ethyl acetate (4: 1) showed Rf value of 0.525. Identification using GCMS showed a retention time of 9.857 and a molecular weight of 190 with fragmentation period at 161, 133, 118, 103, 89 and 76. Identification using 1H-NMR showed CH2 signal at

2.66 ppm that proves that the ester groups have been transformed into a ketone group.

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas pertolongan,

rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Modifikasi Struktur Etil ρ-metoksisinamat Melalui Reaksi Kondensasi Aldol dengan

Etil Metil Keton”. Shalawat dan salam senantiasa terlimpah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, teladan bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir

guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam menyelesaikan masa

perkuliahan hingga penulisan skripsi ini penulis tentu menemukan berbagai kesulitan

dan halangan yang menyertai. Oleh karena itu, penulis tidak terlepas dari bantuan,

doa, dan bimbingan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D., Apt sebagai Pembimbing I dan Ibu Ofa

Suzanti Betha, M.Si., Apt sebagai Pembimbing II yang telah memberikan ilmu,

nasihat, waktu, tenaga, dan pikiran selama masa perkuliahan hingga penelitian

dan penulisan skripsi.

3. Ibu Dr. Nurmeilis., M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. Atiek Soemiati M.Si., Apt selaku pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan dan bantuan selama masa perkuliahan.

5. Bapak dan Ibu staf pengajar, serta karyawan yang telah memberikan arahan

selama masa perkuliahan.

6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Drs. H. Munasir dan Ummi Hj. Masturoh yang

telah memberikan dukungan material, moral, nasihat-nasihat, serta doa yang

(9)

menyusun skripsi ini.

8. Teman-teman Kingdom : Owi, Beni, Gilman, Mutia, Noni, Atul, Nita, Elsa, Ani,

dan Windi yang telah memberikan doa, semangat, serta bantuan selama

penyusunan skripsi.

9. Teman-teman seperjuangan Echa, Tania dan Fika atas semangat dan

kebersamaan selama perkuliahan hingga saat ini.

10. Teman-teman Farmasi 2012 yang telah memberikan motivasi dan bantuan

selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi.

11. Kak Walid, Mba Rani, Ka Eris, Ka Yaenab, Ka Lisna, Ka Tiwi dan Ka Rahmadi

yang telah membantua selama melakukan penelitian.

12. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak dapat

disebutkan namanya satu persatu.

Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun akan penulis nantikan. Akhir

kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 18 Agustus 2016

(10)
(11)

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……….… iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv

HALAMAN PENGESAHAN……… v

ABSTRAK……….. vi

ABSTRACT………. vii

KATA PENGANTAR………... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……….. x

DAFTAR ISI... xi

2.3 Modifikasi Struktur EPMS... 7

2.4 Optimasi Reaksi Kimia... 8

2.5 Hidrolisis... 9

2.6 Oksidasi Alkena... 10

2.7 Kondensasi Aldol... 11

2.8 Natrium Hidroksida... 13

2.9 Kalsium Nitrat... 14

2.10Asam Asetat Glasial... 14

2.11Etil Metil Keton... 15

2.12Iradiasi Microwave... 16

2.12.1 Mekanisme Reaksi Secara Polarisasi Dipol... 17

2.12.2 Mekanisme Reaksi Secara Konduksi... 17

2.13Iidentifikasi... 17

2.13.1 Kromatografi... 17

a. Kromatografi Lapis Tipis... 18

b. Kromatografi Gas... 21

2.13.2 Spektrofotometri... 22

(12)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 25

2.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 25

3.1.1 Tempat... 25

3.1.2 Waktu... 25

3.2 Alat dan Bahan... 25

3.2.1 Alat... 25

3.2.2 Bahan... 25

3.3 Prosedur Penelitian... 26

3.3.1 Preparasi………..…... 26

3.3.3 Modifikasi Etil ρ-metoksisinamat ... 27

a. Proses Hidrolisis... 27

b. Proses Oksidasi... 27

c. Proses Kondensasi Aldol………...…. 27

3.3.4 Pemurnian dengan KLT Preparatif………...….. 28

3.3.5 Identifikasi Senyawa... 28

a. Identifikasi Organoleptis... 28

b. Pengukuran Rf... 28

c. Pengukuran Titik Leleh... 28

d. Identifikasi Senyawa Menggunakan GCMS... 28

e. Identifikasi Senyawa Menggunakan 1H-NMR…………... 28

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN………...….. 29

4.1 Hasil Isolasi Senyawa Etil ρ-metoksisinamat………....… 29

4.1.1 Hasil Determinasi………...…. 30

4.1.2 Pembuatan Serbuk Simplisia………... 30

4.1.3 Isolasi Etil ρ-metoksisinamat………...…... 30

4.1.4 Identifikasi Senyawa Etil ρ-metoksisinamat………... 31

4.2 Reaksi Hidrolisis Etil ρ-metoksisinamat……….. 32

4.2.1 Identifikasi Senyawa Hasil Hidrolisis EPMS..………... 34

4.3 Reaksi Oksidasi Asam ρ-metoksisinamat……….… 35

4.3.1 Identifikasi Senyawa Hasil Oksidasi APMS……….. 36

4.4 Reaksi Kondensasi Aldol 4-metoksibenzaldehid……….. 37

4.5 Identifikasi Senyawa Hasil Reaksi Kondensasi Aldol……….. 40

BAB 5 KESIMPULAN……….…. 45

5.1 Kesimpulan……….………… 45

5.2 Saran……….….…… 45

DAFTAR PUSTAKA... 46

(13)

Tabel 4.1 Data pergeseran kimia (δ) spektrum 1

(14)

Halaman

Gambar 2.1 Kandungan kimia rimpang kencur………... 5

Gambar 2.2 Jalur asam sikhimat dalam biosintesa fenilpropanoid untuk menghasilkan etil p-metoksisinamat……….... 6

Gambar 2.3 Beberapa trasformasi gugus fungsi dari EPMS……….... 7

Gambar 2.4 Prinsip reaksi hidrolisis ………... 9

Gambar 2.5 Mekanisme hidrolisis ester dalam suasana basa ………….……... 9

Gambar 2.6 Mekanisme hidrolisis ester dalam suasana asam……….… 10

Gambar 2.7 Reaksi oksidasi alkena ………... 10

Gambar 2.8 Reaksi pemaksapisahan oksidatif pada disubstitusi ………...…… 11

Gambar 2.9 Reaksi pemaksapisahan oksidatif pada monosubstitusi …………. 11

Gambar 2.10 Reaksi pemaksapisahan oksidatif pada disubstitusi dan monosubstitusi………... 11

Gambar 2.11 Mekanisme reaksi kondensasi aldol………... 12

Gambar 2.12 Mekanisme dehidrasi aldol………. 13

Gambar 2.13 Struktur natrium hidroksida……… 14

Gambar 2.14 Struktur kalsium nitrat……… 14

Gambar 2.15 Struktur asam asetat………...……….……… 15

Gambar 2.16 Struktur etil metil keton……….. 15

Gambar 2.17 Skema kromatografi lapis tipis……….….. 20

Gambar 4.1 KLT uji pendahuluan oksidasi ……….. 29

Gambar 4.2 Simplisia kencur ……….………..…. 30

Gambar 4.3 KLT isolat kencur …….………... 31

Gambar 4.4 Kristal EPMS ………. 31

Gambar 4.5 Pola fragmentasi GCMS etil ρ-metoksisinamat ……….…... 32

Gambar 4.6 Mekanisme reaksi hidrolisis etil ρ-metoksisinamat …….………. 33

Gambar 4.7 KLT senyawa hasil hidrolisis ………. 33

Gambar 4.13 Pola fragmentasi GCMS 4-metoksibenzaldehid……… 37

Gambar 4.14 KLT optimasi reaksi kondensasi aldol……… 38

Gambar 4.15 KLT senyawa hasil kondensasi aldol……….. 39

Gambar 4.16 Senyawa hasil reaksi kondensasi aldol………..…. 39

Gambar 4.17 Mekanisme reaksi kondensasi aldol senyawa 4-metoksibenzaldehid dengan etil metil keton…………...…..….. 40

Gambar 4.18 KLT semua senyawa……….…. 41

Gambar 4.19 Pola fragmentasi GCMS 1-(4-metoksifenil)-1-penten-3-on……. 42

(15)

Lampiran 1. Kerangka Penelitian……….. 51

Lampiran 2. Isolasi Etil ρ-metoksisinamat……… 52

Lampiran 3. Determinasi Tanaman Kencur……….. 53

Lampiran 4. Spektrum GCMS Senyawa Etil ρ-metoksisinamat………... 54

Lampiran 5. Spektrum GCMS Senyawa Asam ρ-metoksisinamat……… 55

Lampiran 6. Spektrum GCMS Senyawa 4-metoksibenzaldehid………... 56

Lampiran 7. Spektrum GCMS Senyawa 1-(4-metoksifenil)-1-penten-3-on………. 57

Lampiran 8. Spektrum 1H-NMR Senyawa 1-(4-metoksifenil)-1-penten-3-on……….. 59

Lampiran 9. Spektrum GCMS Hasil Optimasi Reaksi Kondensasi Aldol……… 62

(16)

APMS : Asam ρ-metoksisinamat

EMK : Etil Metil Keton

EPMS : Etil ρ-metoksisinamat

g : Gram

GCMS : Gas Cromatography Mass Spectrometry

KLT : Kromatografi Lapis Tipis

mg : Mili gram

MS : Mass Spectrometry

NaOH : Natrium hidroksida

NMR : Nuclear Magnetic Resonance

(17)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dengan keanekaragaman

hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar

25.000-30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90%

dari jenis tanaman di Asia (Pramono E, 2002; Erdelen, 1999). Tanaman merupakan

bahan baku yang banyak digunakan sebagai obat herbal. Hal tersebut tentunya

menjadi potensi besar yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menunjang

sektor kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan

bangsa Indonesia (BPOM RI, 2014). Sekitar 9.600 spesies tanaman merupakan

tanaman yang memiliki khasiat sebagai obat dengan kurang lebih 300 spesies

tanaman telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional oleh industri di

Indonesia (Depkes RI, 2007).

Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu tanaman di Indonesia

yang berpotensi sebagai obat. Kencur termasuk ke dalam famili Zingiberaceae dan

merupakan tanaman asli India yang penyebarannya sudah memasuki kawasan Asia

Tenggara termasuk Indonesia. Kencur secara empiris telah dimanfaatkan dalam

mengobati berbagai penyakit seperti radang lambung, radang anak telinga, influenza

pada bayi, masuk angin, sakit kepala, batuk, memperlancar haid, mata pegal, keseleo,

diare, menghilangkan darah kotor dan mengusir lelah (Al-Fattah, 2011).

Sebelumnya telah dilaporkan penelitian mengenai aktivitas kencur, diantaranya

adalah aktivitas ekstrak minyak atsiri kencur sebagai antibakteri dan antifungi

(Tewtrakul et al., 2005), aktivitas ekstrak etanol kencur sebagai penyembuh luka

(Tara et al., 2006), ekstrak air dari kencur yang memiliki aktivitas sebagai

antinosiseptif dan antiinflamasi (Sulaiman et al., 2008), aktivitas kencur sebagai

antioksidan (Mekseepralard, 2010), aktivitas ekstrak etanol kencur sebagai analgesik

dan antiinflamasi (Vittalro et al., 2011) dan efek toksisitas ekstrak metanol kencur

(18)

Kandungan metabolit sekunder ekstrak kencur diantaranya adalah etil

p-metoksisinamat (80,05 %), beta-sitosterol (9,88%), asam propionat (4,71%),

pentadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81) dan 1,21-docosadiene (1,47%). Etil

p-metoksisinamat (EPMS) merupakan senyawa utama dalam kencur yang memiliki

aktivitas antiinflamasi melalui penghambatan COX-1 (42,9%) dan COX-2 (57,82%),

dengan masing-masing nilai IC501,12 μM dan 0,83 μM (Umar et al., 2012).

Efek terapi antiinflamasi non steroid (AINS) berhubungan dengan mekanisme

kerja penghambatan pada enzim siklooksigenase-1 (COX-1) yang dapat

menyebabkan efek samping pada saluran cerna dan penghambatan pada enzim

siklooksigenase-2 (COX-2) yang dapat menyebabkan efek samping pada sistem

kardiovaskular. Kedua enzim tersebut dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin

pada saat terjadi inflamasi (Lelo dan Hidayat, 2004). Oleh karena itu, pada dekade

terakhir ini desain dan sintesis obat antiinflamasi khususnya golongan AINS banyak

mengambil perhatian ahli kimia medisinal. Maka dilakukan banyak sekali modifikasi

pada AINS seperti memberikan elaborasi konjugat gugus tertentu sesuai tujuan

khusus (Qandil, 2012).

Senyawa etil p-metoksisinamat mudah diisolasi dan merupakan senyawa yang

sangat potensial sebagai bahan dasar sintesa karena mempunyai gugus fungsi reaktif

seperti ester dan olefin yang mudah ditransformasikan menjadi gugus fungsi yang

lain (Surbakti, 2008). Penelitian mengenai modifikasi etil p-metoksisinamat telah

banyak dilakukan diantaranya adalah modifikasi melalui reaksi hidrolisis, reaksi

transesterifikasi, dan reaksi degradasi sinamat (Mufidah, 2014), reaksi reduksi

(Qudsi, 2014), proses nitrasi (Indriyani, 2015; Aulia, 2015) dan reaksi amidasi (Reza,

2015). Namun belum dilakukan penelitian modifikasi etil p-metoksisinamat melalui

reaksi kondensasi aldol.

Kondensasi aldol merupakan reaksi suatu aldehid yang diolah dengan basa

seperti NaOH dalam air, sehingga membentuk ion enolat yang akan bereaksi dengan

suatu molekul aldehid lain atau keton dengan cara mengadisi pada karbon karbonil

(Fessenden, 1982). Pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi etil p

(19)

reaksi kondensasi aldol. Gugus ester mudah terhidrolisis sehingga dapat merubah etil

p-metoksisinamat (EPMS) menjadi asam p-metoksisinamat (APMS). Perubahan

senyawa EPMS menjadi APMS dapat menghilangkan aktivitas antiinflamasi

(Mufidah, 2014). Pada kurkumin terdapat gugus diketon dan ikatan rangkap yang

berperan dalam aktivitas biologis sebagai antiinflamasi, antikanker dan antimutagenik

(Da’i, 2003).

Senyawa aldehid dalam reaksi kondensasi aldol ini diperoleh dengan terlebih

dahulu menghidrolisis etil p-metoksisinamat sehingga membentuk asam p

-metoksisinamat yang kemudian akan di oksidasi sehingga didapatkan senyawa

aldehid yaitu 4-metoksibenzaldehid. Berdasarkan hasil uji pendahuluan, etil p

-metoksisinamat bila langsung di oksidasi akan menghasilkan senyawa lain yang lebih

banyak dibandingkan dengan mengoksidasi asam p-metoksisinamat. Oleh karena itu,

etil p-metoksisinamat dihidrolisis terlebih dahulu menjadi asam p-metoksisinamat.

Senyawa 4-metoksibenzaldehid yang didapat akan direaksikan dengan etil metil

keton melalui reaksi kondensasi aldol dengan bantuan basa natrium hidroksida

(NaOH) dalam air. Reaksi kondensasi aldol dilakukan dengan menstirer campuran

pada suhu ruang.

1.2Rumusan Masalah

Apakah struktur etil p-metoksisinamat dapat dimodifikasi melalui reaksi

kondensasi aldol dengan etil metil keton ?

1.3Tujuan Penelitian

Melakukan modifikasi struktur etil p-metoksisinamat melalui reaksi kondensasi

aldol.

1.4Manfaat Penelitian

Memberikan data ilmiah tentang metode dan produk modifikasi struktur etil p

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Kencur

Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang banyak

tumbuh diberbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara (Barus,

2009). Tanaman ini diperkirakan berasal dari India (Rukmana, 1994). Terdapat

dua tipe pertumbuhan, yang pertama berdaun lebar dan terhampar diatas tanah dan

yang kedua berdaun sempit dan agak tegak. Bagian dari kencur yang digunakan

adalah rimpang (Depkes, 1989).

Tanaman kencur tidak berbatang, rimpang bercabang-cabang, akar-akar

berbentuk gelendong, kadang-kadang berumbi, panjang 1-1,5 cm. Berdaun

sebanyak 1-3 (umunya 2 helai), lebar merata, berbentuk jantung, ujung lancip,

bagian atas tidak berbulu, bagian bawah berbulu halus, pinggir bergelombang

berwarna merah kecoklatan, bagian tengah berwarna hijau, panjang helai daun

7-15 cm, lebar 2-8 cm, dan tangkai pendek. Panjang bunga 4 cm dan mengandung

4-12 bunga (Depkes, 1977).

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

(21)

yang sedikit terlindung. Di Indonesia, Kencur dapat tumbuh di Sumatra,

Jawa, Nusa tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian (Depkes, 1977). Produksi,

mutu dan kandungan bahan aktif didalam rimpang kencur ditentukan oleh

varietas, cara budidaya dan lingkungan tempat tumbuhnya (Muhlisah, 1999).

2.1.3. Kandungan Kimia

Tanaman kencur terdapat kandungan minyak atsiri 2,4%-3,9%,

borneol, kamfer, sineol dan etil alkohol (Depkes, 1989). Dalam penelitian

Umar et al. (2012), menyebutkan bahwa kandungan senyawa kimia dalam

ekstrak kencur adalah etil p-metoksisinamat (80,05%), asam propionat

(4,71%), pentadekan (2,08%), asam tridekanoat (1,81%), 1,21-docosadiene

(1,47%) dan beta-sitosterol (9,88). Selain itu, pada penelitian Tewtrakul et al.

(2005) juga disebutkan bahwa terdapat kandungan α-pinen, kamphen, karvon,

benzen, eukalipton, borneol dan metil sinamat. Kandungan kimia rimpang

kencur yang telah dilaporkan oleh Afriastini (1990) yaitu (1) etil sinamat, (2)

etil p-metoksisinamat, (3) p-metoksistiren, (4) karen, (5) borneol dan (6)

parafin.

Gambar 2.1. Kandungan kimia rimpang kencur (Afriastini, 1990).

2.1.4. Manfaat

Tanamana kencur banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional

dan sebagai bumbu masakan (Barus, 2009).Kencur dapat digunakan sebagai

obat batuk, obat gosok (sakit kulit) dan sakit perut (Depkes, 1989). Ekstrak

kencur banyak memiliki aktivitas diantaranya yaitu ekstrak alkohol sebagai

antiinflamasi dan analgesik (Vittalrao et al., 2011) serta sebagai penyembuh

(22)

(Sulaiman et al., 2008), ekstrak metanol sebagai repellent dan memiliki

toksisitas terhadap larva dan pupa Anopheles stephensi (Dhandapani et al.,

2011), dan ekstrak minyak atsiri kencur meiliki aktivitas antimikroba dan

antifungi (Tewtrakul et al., 2005).

2.2 Senyawa Etil p-metoksisinamat

Senyawa etil p-metoksisinamat (EPMS) merupakan salah satu senyawa hasil

isolasi rimpang kencur (Kaempferia galanga, L) dengan jumlah yang relatif

banyak (Barus, 2009). Senyawa EPMS berbentuk kristal putih kekuningan, berbau

khas dengan berat molekul 206 g/mol dan memiliki titik lebur 47-520C (Mufidah,

2014).

(23)

EPMS termasuk senyawa ester yang memiliki cincin benzena dan gugus

metoksi yang bersifat nonpolar serta gugus karbonil yang mengikat etil yang

bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut

dengan variasi kepolaran. EPMS lebih larut dalam pelarut heksan karena terdapat

dua gugus yang mendukung sifat nonpolar sedangkan hanya satu gugus yang

mendukung sifat polar (Tufikhurohmah et al., 2008). Etil p-metoksisinamat

merupakan turunan asam sinamat sehingga biosintesanya melalui jalur biosintesis

asam sikhimat (Bangun, 2011).

2.3 Modifikasi Struktur EPMS

Senyawa etil p-metoksisinamat mudah diisolasi dan merupakan senyawa

yang sangat potensial sebagai bahan dasar sintesa karena mempunyai gugus

fungsi reaktif seperti ester dan olefin yang mudah ditransformasikan menjadi

gugus fungsi yang lain (Surbakti, 2008). Derivat EPMS memiliki aktivitas sebagai

tabir surya, antara lain Sorboil-2-merkaptoetil p-metoksisinamida dan

S-Crotonil-2-merkaptoetil p-metoksisinamamida (Hanson et al., 2006).

Gambar 2.3 Beberapa trasformasi gugus fungsi dari EPMS (Ekowati et al., 2009)

Perubahan gugus asam karboksilat APMS menjadi amida menunjukkan

aktivitas biologis berupa sedasi pada hewan coba mencit (Ekowati et al., 2009).

Perubahan ikatan rangkap vinilik pada APMS menjadi ikatan tunggal dengan

reaksi hidrogenasi, akan menurunkan aktivitas analgesik senyawa tersebut

(Ekowati et al., 2007). Beberapa penelitian telah dilakukan terkait modifikasi

struktur EPMS dengan substitusi gugus amina, diantaranya modifikasi struktur

(24)

dietanolamin (Bangun, 2011) dengan cara konvensional dan dengan iradiasi

microwave (Ferround et al., 2008; Khalafi et al., 2003).

2.4 Optimasi Reaksi Kimia

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, optimalisasi berasal dari kata

optimal yang berarti terbaik dan tertinggi (Depdikbud, 1995). Reaksi kimia

(chemical reaction) yaitu suatu proses dimana zat atau senyawa diubah menjadi

satu atau lebih senyawa baru (Chang, 2004). Laju (kecepatan) menyatakan sesuatu

yang terjadi persatuan waktu, misalnya perdetik, permenit, dan lain-lain.Yang

terjadi dalam reaksi kimia adalah perubahan jumlah pereaksi dan hasil

reaksi.(Petrucci, 1987). Kinetika kimia membahas tentang laju reaksi dan

mekanisme terjadinya reaksi. Mekanisme adalah serangkaian reaksi-reaksi

sederhana yang menerangkan reaksi keseluruhan. Untuk mengetahui mekanisme

suatu reaksi, dipelajari perubahan laju yang disebabkan oleh perbedaan

konsentrasi pereaksi, hasil reaksi dan katalis. Keterangan yang penting dapat pula

diperoleh dari studi tentang suhu, tekanan, pelarut, konsentrasi elektrolit atau

komposisi isotopik terhadap laju reaksi (Sukardjo, 1986).

Ada enam faktor yang memperngaruhi laju reaksi yaitu (Goldberg, 2002) :

1. Sifat alami reaktan. Sifat ini adalah sifat yang paling tidak dapat dikontrol

oleh ahli kimia.

2. Suhu. Secara umum, semakin tinggi suhu sistem, akan semakin cepat reaksi

kimia berlangsung.

3. Kehadiran katalis. Katalis adalah zat yang dapat mempercepat reaksi kimia

tanpa mengubah komposisinya.

4. Konsentrasi reaktan. Secara umum, semakin tinggi konsentrasi reaktan, akan

semakin cepat pula reaksinya.

5. Tekanan reaktan gas. Secara umum, semakin tinggi tekanannya, akan

semakin cepat reaksinya.

6. Wujud partikel molekul. Semakin kecil ukuran reaktan padat, semakin kecil

wujud partikel molekulnya dan akan semakin cepat reaksinya.

pH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan). Laju reaksi dalam

(25)

proses katalisis. Untuk mengetahui pengaruh pH maka faktor-faktor lainnya yang

berpengaruh seperti suhu, kekuatan ionik dan komposisi pelarut harus dibuat tetap

(Arisandi, 2008).

2.5 Hidrolisis

Hidrolisis merupakan proses transformasi kimia suatu molekul organik

berupa RX yang akan bereaksi dengan air sehingga menghasilkan sebuah struktur

dengan ikatan kovalen OH. Hidrolisis disebut juga reaksi perpindahan nukleofilik

yang menyerang atom elektrofilik.Mekanisme reaksi yang sering ditemui

substitusi nukleofilik baik secara langsung maupun tidak langsung dan

eliminasi-adisi nukleofilik (Larson dan Weber, 1994).

RX + H

2

O

ROH + X

+ H

+

Gambar 2.4 Prinsip reaksi hidrolisis (Larson dan Weber, 1994).

Reaksi hidrolisis dapat terjadi dengan katalis basa atau asam.Mekanisme

hidrolisis ester dalam suasana basa disebut saponifikasi.Hal tersebut terjadi akibat

adanya adisi nukleofilik OH ke karbonil ester, menjadi intermediet alkoksida

tetrahedral(1). Kemudian adanya proses tersebut menyebabkan keluarnya ion

alkoksi menghasilkan asam karboksilat (2). Ion alkoksida menarik proton dari

asam karboksilat menjadi ion karboksilat (3).Setelah itu terjadi protonasi ion

karboksilat oleh asam mineral menghasilkan asam karboksilat (4) (Riswiyanto,

2009).

Gambar 2.5 Mekanisme hidrolisis ester dalam suasana basa (Riswiyanto, 2009).

Mekanisme hidrolisis ester dalam suasana asam dapat dilakukan namun

tidak hanya menghasilkan asam karboksilat saja melainkan menghasilkan asam

karboksilat dan alkohol.Pada suasana asam, protonasi gugus karbonil terjadi untuk

(26)

intermediet tetrahedral (2). Hal tersebut menyebabkan terjadinya transfer proton

yang kemudian mengubah OR menjadi gugus pergi yang baik (3). Kemudian

terjadi pelepasan alcohol menghasilkan asam karboksilat dan katalis asam (4)

(Riswiyanto, 2009).

Gambar 2.6 Mekanisme hidrolisis ester dalam suasana asam (Riswiyanto, 2009).

2.6 Oksidasi Alkena

Alkena dapat dioksidasi menjadi anekaragam produk, bergabung pada

reagensia yang digunakan. Reaksi yang melibatkan oksidasi ikatan rangkap

karbon-karbon dapat dikelompokkan menjadi dua gugus umum : (1) oksidasi

ikatan pi tanpa pemutusan ikatan sigma dan (2) oksidasi ikatan pi yang memutus

ikatan sigma (Fessenden, 1982).

Gambar 2.7 Reaksi Oksidasi alkena (Fessenden, 1982).

Produk oksidasi dengan pemaksapisahan (cleavage) bergantung pada

kondisi oksidasi dan struktur alkena. Pertama-tama akan diperhatikan struktur

alkena. Wajah strutural alkena yang menentukan produk pemaksapisahan

(1)

(2) π

(27)

oksidatif ialah adanya atom hidrogen pada karbon sp2. Jika tiap karbon alkena

tidak mengikat atom hidrogen (artinya, tiap atom karbon alkena tersubstitusi),

maka pemaksapisahan oksidatif akan menghasilkan sepasang molekul keton.

Gambar 2.8 Reaksi pemaksapisahan oksidatif pada disubstitusi (Fessenden, 1982).

Sebaliknya, jika tiap karbon alkena mempunyai satu hidrogen yang terikat

padanya, maka produk pemaksapisahan oksidatif akan berupa aldehida atau asam

karboksilat atau asam karboksilat, bergantung kondisi reaksi (Fessenden, 1982).

Gambar 2.9 Reaksi pemaksapisahan oksidatif pada monosubstitusi (Fessenden, 1982).

Jika satu sisi ikatan rangkap itu tersubstitusi, sedangkan sisi yang lain

termonosubstitusi, maka pemaksapisahan oksidatif akan menghasilkan suatu

keton dari sisi disubstitusi, dan suatu aldehida atau asam karboksilat dari sisi

monosubstitusi (Fessenden, 1982).

Gambar 2.10 Reaksi pemaksapisahan oksidatif pada disubstitusi dan monosubstitusi (Fessenden, 1982).

2.7 Kondensasi Aldol

Bila suatu senyawa aldehida dioleh dengan basa seperti NaOH dalam air,

ion enolat yang terjadi dapat bereaksi pada gugus karbonil lain dari molekul

(28)

aldehida lain. Reaksi tersebut disebut reaksi kondensasi aldol.Kata “aldol” yang

diturunkan dari aldehida dan alcohol, memerikan produ itu, yang merupakan suatu

aldehida β-hidroksi.Suatu reaksi kondensasi ialah reaksi di mana dua molekul atau lebih bergabung menadi satu molekul yang lebih besar, dengan atau tanpa

hilangnya suatu molekul kecil (seperti air). Kondensasi aldol merupakan suatu

reaksi adisi di mana tidak dilepaskan suatu molekul kecil (Fessenden, 1982).

Suatu kondensasi aldol berlangsung dengan mereaksikan aldehida yang

diolah dengan larutan natrium hidroksida berair sehingga terbentuk ion enolat. Ion

enolat bereaksi dengan suatu molekul aldehida lain dengan cara mengadisi pada

karbon karbonil untuk membentuk suatu ion alkoksida, yang kemudian merebut

sebuah proton dari dalam air untuk menghasilkan aldol produk itu.Aldehida awal

dalam kondensasi aldol harus mengandung satu hidrogen yang berposisi α

terhadap gugus karbonil sehingga aldehida ini dapat membentuk ion enolat dalam

basa (Fessenden, 1982).

Gambar 2.11 Mekanisme reaksi kondensasi aldol (Solomons, 2013) Keterangan : (1) Pembentukan enolat, (2) Adisi enolat, dan (3) Protonasi

alkoksida

Suatu aldehida tanpa hidrogen α tidak dapat membentuk ion enolat dan

demikian tidak dapat berdimerisasi dalam suatu kondensasi aldol.Namun aldehida

tersebut dapat dicampur dengan aldehida yang memiliki hidrogen alfa, maka

kondensasi antara keduanya dapat terjadi.Reaksi ini disebut kondensasi aldol

(1)

(2)

(29)

silang (cross aldol condensation).Suatu kondensasi aldol silang juga dapat terjadi

antara aldol dengan keton (Fessenden, 1982).

Suatu senyawa karbonil β-hidroksi, seperti suatu aldol, mudah mengalami dehidrasi, karena ikatan rangkap dalam produk berkonjugasi dengan gugus

karbonilnya. Oleh karena itu, suatu aldehida α,β-tak jenuh dapat dengan mudah

diperoleh sebagai produk suatu kondensasi aldol. Bila dehidrasi menghasilkan

suatu ikatan rangkap yang berkonjugasi dengan suatu cincin aromatik, seringkali

dehidrasi itu berlangsung sertamerta (spontan), bahkan juga dalam larutan basa

(Fessenden, 1982).

Gambar 2.12 Mekanisme dehidrasi aldol (Solomons, 2013).

2.8 Natrium Hidroksida

Natrium hidroksida merupakan pellet, serpihan atau batang berwarna putih

atau praktis putih yang dapat melebur. Bila dibiarkan di udara, akan cepat

menyerap karbon dioksida dan lembab. Natrium hidroksida berupa massa keras,

rapuh dan menunjukkan pecahan hablur (Depkes RI, 1995). Natrium hidroksida

merupakan basa kuat sehingga biasa digunakan untuk membuat suasana basa

dalam suatu reaksi.Pada reaksi kondensasi aldol, natrium hidroksida digunakan

untuk membentuk ion enolat sehingga dapat berikatan dengan senyawa

elektrofilik (Fessenden, 1982).

Sifat-sifat natrium hidroksida adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1995;

(30)

Gambar 2.13 Struktur natrium hidroksida (Pubchem).

2.9 Kalsium Nitrat

Kalsium nitrat disebut juga Norgessalpeter (Norwegia sendawa) merupakan

senyawa organikdengan rumus Ca(NO3)2. Senyawa ini tidak berwarna dan dapat

menyerap kelembaban dari udara dan biasanya ditemukan sebagai

tertrahidrat.Sifat-sifat dari kalsium nitrat adalah sebagai berikut (Pubchem) :

Rumus Kimia : Ca(NO3)2

Masa molar : 164,088 g/mol (anhidrat), 236,15 g/mol (tetrahidrat).

Penampilan : Kristal tidak berwarna sampai putih, padat, dan

higroskopis.

Masa jenis : 2,504 g/cm3 (anhidrat), 1,896 g/cm3 (tetrahidrat).

Titik lebur : 561οC (1042οF; 834οK) (anhidrat), 42,7 C (109οF; 316οK)

(tetrahidrat).

Kelarutan dalam air : anhidrat : 1212 g/L (20οC), 2710 g/L (40οC);

tetrahidrat: 1050 g/L (0οC), 1290 g/L (20οC), 3630 g/L

(100οC).

Kelarutan : larut dalam ammonia, hampir tidak larut dalam HNO3.

Kelarutan dalam etanol : 51,4 g/100 g (20οC); 62,9 g/100 g (40οC).

Kelarutan dalam aseton : 16,8 g/kg (20οC)

Keasaman (pKa) : 6

Gambar 2.14 Struktur kalsium nitrat (Pubchem).

2.10 Asam Asetat Glasial

Asam asetat glasial mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih

dari 100,5 % b/b C2H4O2. Asam asetat glasial merupakan cairan bening atau

(31)

dienceran dengan air. Asam asetat glasial mendidih pada suhu lebih kurang

118οC dan mempunyai bobot jenis lebih kurang 1,05 g/cm3 (Depkes RI,

1995).Asam asetat diproduksi untuk cuka konsumsi rumah tangga yang

mengandung 3-9% asam asetat glasial.Selain itu, asam asetat juga diproduksi

sebagai precursor untuk polivinil asetat dan selulosa asetat.Asam asetat pekat

(asam asetat glasial) bersifat korosif dan dapat menyerang kulit (Pubchem).

Sifat-sifat dari asam asetat adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1995; Pubchem) :

Rumus molekul : C2H4O2

Nama lain : Asetil hidroksida (AcOH); asam metanakarboksilat.

Berat molekul : 60,05 g/mol.

Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, etanol, da gliserol.

Suhu beku : Tidak lebih rendah dari 15,6οC.

Titik lebur : 289 sampai 290 K.

pKa : 4,76.

Gambar 2.15 Struktur asam asetat (Pubchem).

2.11 Etil Metil Keton

Etil metil keton (EMK) atau 2-butanon merupakan senyawa organik berupa

cairan bening, berbau tajam, berbau manis seperti butterscotch dan aseton. EMK

larut dalam air dan biasanya digunakan sebagai pelarut industri (Pubchem).

Sifat-sifat dari etil metil keton adalah sebagai berikut (Pubchem) :

Nama Lain :2-butanon, metilpropanon, metil asetoon.

Rumus kimia : C4H5O

Masa molar : 72,11 g/mol

Masa jenis : 0,8050 g/mL

Titik lebur : -86C (-123F; 187K).

Titik didih : 79,64C (175,35F; 352,79K).

Kelarutan dalam air : 27,5 g/100 mL.

(32)

2.12 Iradiasi Microwave

Gelombang mikro merupakan radiasi elektromagnetik yang terletak diantara

frekuensi radiasi inframerah dan radio, dengan panjang gelombang mulai dari 1

mm hingga 1 m, frekuensinya mulai dari 300 GHz hingga 300 MHz (Bogdal,

2005; Loupy, 2006). Ketika sebuah bahan logam dipaparkan radiasi microwave,

microwave akan secara luas menyebar pada permukaan, namun benda tersebut

tidak dipanaskan dengan menggunakan microwave melainkan karena adanya

respon dari medan magnet dari radiasi microwave yaitu elektron bergerak bebas

pada permukaan bahan, dan aliran electron tersebut dapat menghasilkan panas

(Bogdal, 2005).

Reaksi dengan menggunakan microwave dapat dikategorikan sebagai green

chemistry. Tujuan dari green chemistry adalah untuk mengurangi atau

meminimalkan penggunaan dari pelarut yang mudah menguap dalam sintesis

modern dan mengurangi penggunaan energi. Pengembangan dari metode sintesis

baru bebas pelarut dengan menggunakan bantuan microwave saat ini menjadi

topik penting dalam penelitian, karena reaksi bebas pelarut mengurangi

penggunaan pelarut, prosedur sintesis dan pemisahan yang lebih sederhana,

mencegah pemborosan dan menghindari resiko bahaya atau toksik terkait dengan

penggunaan pelarut (Loupy, 2006).

Semua peralatan standar (Oven domestik atau reactor lebih spesifik yang

didedikasikan untuk sintesis kimia) beroperasi pada frekuensi dari v = 2,45 GHz

(setara dengan ƛ = 12,2 cm) untuk mengurangi intervensi dari frekuensi radio dan

radar. Reaksi kimia dengan microwave didasarkan pada interaksi dari molekul

dengan gelombang oleh efek “microwave dielectric heating”. Fenomena ini

bergantung pada kemampuan suatu bahan untuk mengabsobsi radiasi microwave

dan mengubahnya menjadi panas. Komponen elektrik dari medan elektromagnetik

telah menunjukkan bahwa perannya sangat penting. Dalam hal tersebut, maka

reaksi yang terjadi melibatkan dua mekanisme yaitu polarisasi dipolar dan

konduksi ionik. Iradiasi dari senyawa polar pada frekuensi microwave

meghasilkan orientasi dari dipol atau ion pada medan listrik (Loupy, 2006).

Untuk produk cair (contohnya pelarut), hanya molekul polar yang secara

(33)

bereaksi (inert).Pada konteks dari absorbsi gelombang mikro, telah menunjukkan

bahwa titik didih lebih tinggi ditemukan ketika pelarut diberikan iradiasi

microwave daripada pemanasan biasa. Efek ini dikenal dengan “super heating

effect” yang telah ditujukan untuk penghambatan dari nukleasi dalam pemanasan

microwave (Loupy, 2006).

2.12.1 Mekanisme Reaksi Secara Polarisasi Dipolar

Prinsip dari mekanisme reaksi polarisasi dipolar adalah adanya interaksi

dipol-dipol antara molekul-molekul polar ketika di radiasi dengan microwave.

Molekul yang berinteraksi dipol tersebut sangat sensitif terhadap suatu medan

magnet yang berasal dari luar sehingga dapat mengakibatkan terjadinya rotasi

pada molekul tersebut sehingga menghasilkan sejumlah energi (Lidstrom et

al., 2001; Loupy, 2006).

2.12.2 Mekanisme Reaksi Secara Konduksi

Mekanisme secara konduksi dapat terjadi pada larutan-larutan yang

mengandung ion. Bila suatu larutan mengandung suatu partikel bermuatan

atau ion yang berikatan dengan suatu medan listrik maka ion-ion tersebut

akan bergerak. Pergerakan tersebut akan menyebabkan terjadinya

peningkatan kecepatan dari tumbukanantar molekul sehingga akan merubah

energi kinetik menjadi energi kalor (Kingson, 1988).

2.13 Identifikasi

2.13.1 Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani

Rusia Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna

dalam tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom

gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi merupakan metode fisika untuk pemisahan

komponen-komponen dengan mendistribusikannya diantara dua fase, salah satunya

merupakan lapisan stasioner dengan permukaan yang luas dan fase lainnya

berupa zat alir (fluid) yang mengalir lambat (perkolasi) sepanjang lapisan

stasioner tersebut. Fase stasioner dapat berupa zat padat atau cairan dan fase

(34)

Kromatografi dapat dibedakan berdasarkan mekanisme pemisahannya

menjadi kromatografi adsorpsi, kromatografi partisi, kromatografi penukar

ion, kromatografi pasangan ion dan kromatografi eksklusi

ukuran.Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi

menjadi kromatografi planar yaitu kromatografi kertas dan kromatografi lapis

tipis, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan kromatografi gas (KG)

(Gandjar dan Rohman, 2007).Menurut Farmakope Indonesia, jenis-jenis

kromatografi tersebut dan kromatografi kolom bermanfaat dalam analisis

kualitatif dan kuantitatif yang digunakan dalam penetapan kadar dan

pengujian. Kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis umumnya lebih

bermanfaat untuk tujuan identifikas karena sederhana dan mudah.(Depkes,

1995).

a. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan

Schraiber pada tahun1938 (Gandjar dan Rohman, 2007).Kromatografi lapis

tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia.Lapisan yang memisahkan

terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) yang ditempatkan pada

penyangga berupa pelat gelas atau lapisan yang cocok.Pelat fase diam

tersebut diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi

larutanpengembang yang cocok (fase gerak) dan terjadi pemisahan dengan

caraperambatan kapiler (pengembangan).Selanjutnya senyawa yang tidak

berwarna harus ditampakkan (dideteksi) (Stahl Egon dalam Khoirunni’mah,

2013).

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap kecil dan

seragam (uniform) dengan diameter partikel antara 10-30 um. Semakin kecil

ukuran dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik

kinerja KLT dalam hal resolusi dan efisiensinya.Penjerap yang paling sering

digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi

yang utama pada KLT adalah partisi dan absorpsi.Fase gerak pada KLT dapat

dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu

yang diperlukan hanya sebentar.Sistem yang paling sederhana adalah

(35)

tersebut mudah diatur sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal

(Gandjar dan Rohman, 2007).

Pemilihan dan pengoptimasian fase gerak harus memperhatihan hal

sebagai berikut :

1) KLT merupakan teknik yang sensitif sehingga fase gerak yang digunakan

harus memiliki kemurnian yang sangat tinggi.

2) Daya elusi fase gerak harus diatur untuk memaksimalkan pemisahan

dimana harga Rf terletak antara 0,2-0,8.

3) Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam yang bersifat polar

seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi

solut sehingga dapat menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang

bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti

metil benzena akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.

4) Solut-solut ionik dan polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai

fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan

tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat akan membuat solut bersifat

asam, sedangkan penambahan dengan ammonium akan membuat solut

besifat basa (Gandjar dan Rohman, 2007).

Penotolan larutan uji dan larutan baku berdasarkan cara yang tertera

pada masing-masing monografi dengan jarak antara lebih kurang 1,5 cm dan

lebih kurang 2 cm dari tepi bawah lalu lempeng dibiarkan hingga mengering.

Ketika bekerja dengan lempeng harus menghindarkan zat penjerap dari

gangguan fisik.Pada jarak 10 cm hingga 15 cm diatas titik penotolandiberi

tanda.Lempeng ditempatkan pada rak penyangga hingga tempat penotolan

terletak disebelah bawah lalu rak dimasukkan ke dalam bejana kromatografi

(Depkes, 1995).Bejana kromatografi sebelumnya dijenuhkan dengan uap fase

gerak dan tepi bagian bawah pelat yang telah ditotoli sampel dicelupkan

kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak harus dibawah

pelat yang telah berisi totolan sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Bejana di tutup hingga rapat dan dibiarkan hingga fase gerak merambat

10 cm hingga 15 cm di atas titik penotolan, umumnya diperlukan waktu lebih

(36)

tanda batas rambat pelarut. Lempeng dikeringkan di udara dan bercak

mula-mula diamati dengan cahaya ultraviolet gelombang pendek (254 nm) dan

kemudian dengan cahaya ultraviolet gelombang panjang (366 nm). Dilakukan

pengukuran jarak tiap bercak dari titik penotolan serta dicatat panjang

gelombang untuk tiap bercak yang diamati. Harga Rf bercak ditentukan

laludibandingkan antara kromatogram larutan uji dengan larutan baku

(Depkes, 1995).

Gambar 2.17 Skema kromatografi lapis tipis

Pendeteksian bercak-bercak yang umumnya tidak berwarna dapat

dilakukan dengan pendeteksian secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara

kimia dilakukan dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui

cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika digunakan

dengan pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultra violet (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Mengidentifikasi bercak sangat lazim mengunakan harga Rf

(Retordation Factor). Harga Rf mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang

mempengaruhi nilai Rf diantaranya struktur kimia dari senyawa yang sedang

dipisahkan, tebal dan kerataan dari lapisan penjerap, sifat penjerap, teknik

percobaan, pelarut dan derajat kemurniannya, derajat kejenuhan uap

pengembang dalam bejana, jumlah cuplikan yang digunakan, kesetimbangan

dan suhu (Sastrohamidjojo, 1985).

Kromatografi lapis tipis telah luas dipergunakan dan merupakan cara

pemisahan yang baik, khususnya untuk kegunaan analisis kualitatif.

Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk memisahkan berbagai

(37)

terdapat di alam maupun sintetik dan kompleks senyawa-senyawa organik

dengan anorganik (Adnan, 1997).Kromatografi lapis tipis juga telah banyak

digunakan untuk analisis obat di laboratorium farmasi (Stahl Egon dalam

Khoirunni’mah, 2013).

Kromatografi lapis tipismempunyai kelebihan dibandingkan dengan

kromatografi kertas yaitu pengerjaannya lebih cepat, hasil pemisahannya

lebih sempurnadan kepekaannya lebih tinggi (Adnan, 1997).Kromatografi

lapis tipis hanya membutuhkan perlengkapan yang sedikit dan waktu analisis

yang singkat (15-60 menit), memerlukan jumlah cuplikan yang sangat sedikit

(kira-kira 0,1 g). Selain itu, hasil palsu yang disebabkan oleh komponen

sekunder tidak mungkin terjadi, kebutuhan ruangan minimum dan

penanganannya sederhana (Stahl Egon dalam Khoirunni’mah, 2013).

b. Kromatografi Gas

Kromatografi gas (KG) yang dikenalkan pertama kali pada tahun

1950-an merupak1950-an suatu teknik instrumental deng1950-an metode y1950-ang dinamis untuk

pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dan

senyawa-senyawa gas anorganik dalam suatu campuran. Kromatografi gas

digunakan untuk analisis sampel-sampel padat, cair, dan gas.Sampel padat

dapat diekstraksi atau dilarutkan dalam suatu pelarut sehingga dapat

diinjeksikan ke dalam sistem KG, sedangkan sampel gas dapat lagsung

diambil dengan penyuntik (syringe) yang ketat terhadap gas.Ruang suntik

sampel biasanya berupa lubang yang ditutupi dengan septum atau pemisah

karet. Suhu ruang suntik biasanya 10-150C lebih tinggi dari suhu kolom

maksimum sehingga seluruh sampel akan segera menguap setelah

disuntikkan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Fase gerak pada KG disebut juga gas pembawa karena digunakan hanya

untuk membawa solut ke kolom dan tidak mempengaruhi selektifitas. Gas

pembawa biasanya mengandung helium, nitrogen, hidrogen, atau campuran

argon dan metana.Helium merupakan gas pembawa yang sering digunakan

karena memberikan efisiensi kromatografi yang lebih baik (mengurangi

pelebaran pita).Proses pemisahan terjadi pada kolom dimana terdapat fase

(38)

column) dan kolom kapiler (capillary column).Kolom kapiler lebih kecil

dibanding kolom kemas.Semakin sempit diameter kolom, maka efisiensi

pemisahan kolom semakin besar atau puncak kromatogram yang dihasilkan

semakin tajam (Gandjar dan Rohman, 2007).

Prinsip KG yaitu solut-solut yang mudah menguap (dan stabil terhadap

panas) akanbermigrasi melalui kolom yang mengandung fase diam dengan

suau kecepatan yang tergantung pada rasio distribusinya. Pada umumnya

solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali jika

ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada

kromatografi gas didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan

semua interaksi yang mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase

gerak yang berupa gas akan mengelusi solut dari ujung kolom lalu

menghantarkannya ke detektor. Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya

kisaran 50-3500C) bertujuan untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan

karenanya akan cepat terelusi.Kromatogram hasil pemisahan fisik

komponen-komponen oleh KG disajikan oleh detektor sebagai deretan luas puncak

terhadap waktu.Waktu dalam kromatogram dapat digunakan sebagai data

kualitatif, sedangkan luas puncak dipakai sebagai data kuantitatif (Gandjar

dan Rohman, 2007).

Beberapa kelebihan kromatografi gas diantaranya pada penggunaan

kolom yang lebih panjang dapat menghasilkan efisiensi pemisahan yang

tinggi.Fase gas dibandingkan fase cair tidak bersifat reaktif terhadap fase

diam dan zat-zat terlarut.Gas dan uap mempunyai viskositas yang rendah,

serta kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat, sehingga

sensitivitasnya tinggi dan analisis relatif cepat.Adapun kelemahannya yaitu

terbatas hanya untuk zat-zat yang mudah menguap (Khopkar, 2003).

2.13.2 Spektrofotometri

Spektrofotometri merupakan pengukuran suatu interaksi antara reaksi

radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia (Depkes,

1995). Spektrofotometri terdiri atas spektrometer dan fotometer.

Spektrofotometermenghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang

(39)

yang ditranmisikan atau yang diabsorpsi.Spektrofotometer tersusun atas

sumber spektrum yang kontinyu, monokromator, selpengabsorpsi untuk

larutan sampel atau blangko dan suatu alat untuk mengukur pebedaanabsorpsi

antara sampel dan blangko ataupun pembanding (Khopkar, 1990).

Komponen-komponen pada instrumen spektrofotometri meliputi

(Khopkar, 1990):

1. Sumber radiasi. Sumber tenaga radiasi harusstabil. Sumber yang biasa

digunakan adalah lampuwolfram.

2. Monokromator. Digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang

monokromatis.

3. Sel absorpsi. Pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca

atau kuvetkaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel

kuarsa karena gelastidak tembus cahaya pada daerah ini.

4. Detektor. Detektor radiasi dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat.

Peranandetektor untuk memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai

panjanggelombang.

Spektrofotometri yang sering digunakan dalam analisis famasi meliputi

spektrofotometri serapan ultra violet (UV), cahaya tampak (Visibel),

inframerah (IR) dan serapan atom (AAS) (Depkes, 1995).

a. Spektrofotometri Resonansi Magnetik

Spektrum resonansi magnetik nuklir (NMR) melengkapi spektrum

infamerah yang hanya dapat memberikan gambaran mengenai gugus fungsi

tetapi hanya sedikit memberi informasi mengenai atom-atom hidrogen dalam

sebuah molekul organic (Fessenden, 1986). Kombinasi IR dan data NMR

seringkali cukup untuk menentukan secara benar struktur molekul yang tidak

diketahui (Pavia et al., 2008).

Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh

inti-inti tertentu dalam molekul organik yang berada dalam medan magnet

yang kuat (Fessenden, 1986). Radiasi pada daerah frekuensi radio digunakan

untuk mengeksitasi atom-atom, biasanya proton-proton atau atom-atom

karbon-13, sehingga spinnya berubah dari sejajar menjadi sejajar melawan

(40)

eksitasi dan pola-pola pembagian kompleks yang dihasilkan sangat khas pada

struktur kimia molekul tersebut (Watson, 2009). NMR dapat menentukan

jumlah masing-masing jenis yang berbeda dari inti hidrogen serta

memperoleh informasi mengenai sifat dasar dari lingkungan terdekat dari

masing-masing jenis. Informasi yang sama dapat ditentukan untuk inti karbon

(Pavia et al., 2008).

Spektrum NMR biasanya ditentukan dari larutan substansi yang

dianalisis, oleh karena itu pelarut yang digunakan tidak boleh mengandung

atom hidrogen karena akan mengganggu puncak spektrum. Pelarut yang

dapat digunakan seperti tetraklormetana (CCl4) yang tidak mengandung

hidrogen atau pelarut yang atom hidrogennya telah diganti menjadi isotopnya

yaitu deuterium seperti CDCl3. Atom-atom deuterium mempunyai sifat

magnetik yang sedikit berbeda dengan hidrogen sehingga menghasilkan

puncak pada area spektrum yang berbeda (Sudjadi, 1983).

Instrument NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut

(Willard et al., 1988) :

1. Magnet untuk memisahkan energi spin nuklir.

2. Paling tidak terdapat dua saluran frekuensi radio, satu untuk stabilisasi

medan atau frekuensi dan satu untuk memberikan frekuensi radio untuk

energi penyinaran. Yang ketiga dapat digunakan untuk masing-masing inti

yang akan dipisahkan.

3. Probe sampel yang mengandung kumparan untuk kopling sampel dengan

bidang frekuensi radio.

4. Detektor untuk memproses sinyal NMR.

5. Generator (Sweep Generator) untuk menyapu bersih baik medan magnet

amupun frekuensi radio melalui frekuensi resonansi sampel.

(41)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.1.1 Tempat

Penelitian modifikasi struktur etil p-metoksisinamat melalui reaksi

kondensasi aldol dengan etil metil keton dilaksanakan di Laboratorium Penelitian

I, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, Laboratorium Kimia Obat, dan

Laboratorium Analisa Obat dan Pangan Halal, Program Studi Farmasi, Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

3.1.2 Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai dengan Juli 2016.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Spektrofotometri 1H-NMR (500 MHz, JEOL), vaccum rotary evaporator

(SB-1000 Eyela), digital water bath (SB-100 Eyela), GCMS (AGILENT

TECHNOLOGIES), microwave, lemari pendingin, plat alumunium TLC silica

gel 60 F254 (Merck), melting point SMP10, oven, timbangan analitik, statif, labu

reaksi, corong, corong pisah, hotplate, erlenmeyer, rak, tabung reaksi, chamber

KLT, plat kaca, termometer, pipet eppendorf, mikropipet, batang pengaduk,

pinset, kertas saring, kapas, aluminuim foil, vial uji, botol, pH meter, labu ukur,

gelas ukur, gelas piala, dan magnetik stirrer.

3.2.2 Bahan

Senyawa etil p-metoksisinamat hasil isolasi dari kencur (Kaempferia

galanga L.), etil metil keton (Merck), natrium hidroksida (NaOH) (Merck),

kalsium nitrat (Ca(NO3)2) tetrahidrat (Merck), silica gel 60 GF254 (Merck), asam

asetat glasial (Merck), methanol gradient grade for LC (Merck), asam klorida

(42)

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Preparasi

a. Pengambilan Sampel

Rimpang kencur (Kaemferia galanga L,) diperoleh dari kebun Balitro

(Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat) di wilayah Sukabumi, Jawa Barat

pada bulan November 2015.

b. Determinasi Tumbuhan

Determinasi tumbuhan kencur (Kaempferia galanga L.) dilakukan di

Herbarium Bogoriense Bidang Botani, Puslit Biologi, LIPI Cibinong.

c. Penyiapan Bahan untuk Ekstraksi

Sebanyak 55 kg kencur dibersihkan, dicuci dengan air mengalir, lalu

dirajang sekitar 2-3 mm. Kencur dijemur selama 5-6 hari tanpa terkena sinar

matahari. Setelah kering, kencur dihaluskan menggunakan blender (Barus, 2009).

d. Pembutan Plat KLT Preparatif

Sebanyak 5 gram silika gel 60 GF254 ditambakan 11 ml aquades di dalam

erlenmeyer lalu kocok dengan kuat hingga tercampur sempurna. Tuangkan bubur

silika gel ke atas plat kaca dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Keringkan plat KLT

preparatif pada suhu ruang selama 2 jam lalu aktivasi dalam oven pada suhu

120οC selama 1 jam (Merck).

3.3.2 Isolasi Etil p-metoksisinamat (Mufidah, 2014)

Serbuk simplisia kencur dimaserasi dengan menggunakan pelarut n-heksan

yang telah didestilasi dengan waktu perendaman 5 hari sambil sesekali dilakukan

pengocokan. Setelah 5 hari disaring sehingga diperoleh ampas dan filtrat. Ampas

dilakukan maserasi ulang sebanyak 4 kali hingga hasil maserasi menunjukkan

warna hampir jernih. Seluruh filtrat hasil maserasi dipekatkan dengan

menggunakan vacuum rotary evaporator. Filtrat pekat didiamkan pada suhu

kamar sampai terbentuk kristal. Kristal yang diperoleh dimurnikan dengan

menggunakan n-heksan dan direkristalisasi dengan cara melarutkan kristal dalam

(43)

sehingga terbentuk kristal kembali. Kristal dipisahkan dengan penyaringan dan

dihitung rendemennya.

3.3.3 Modifikasi Etil p-metoksisinamat

a. Proses Hidrolisis

Sebanyak 3 gram NaOH (0,075 mmol) dilarutkan dengan etanol pro

analisis dalam erlenmeyer dengan bantuan stirrer. Tambahkan senyawa etil p

-metoksisinamat sebanyak 10 gram (0,0484 mmol) dan reaksi dijaga pada suhu

60οC di atas hotplate selama 5 jam. Hasil reaksi dilarutkan dengan aquades,

kemudian ditambahkan HCl 15 % untuk membentuk endapan APMS hingga

tidak ada lagi endapan putih yang terbentuk atau pH mencapai 4. Endapan yang

didapat disaring dengan menggunakan kertas saring dan dikeringkan pada suhu

ruang (Aulia, 2015).

b. Proses Oksidasi

Sebanyak 4 gram APMS (0,0224 mmol) ditambahkan 10 gram Ca(NO3)2

(0,0423 mmol) dan 20 ml asam asetat glasial (0,3497 mmol). Campuran reaksi

tersebut di iradiasi menggunakan microwave pada 300 watt selama 2 menit. Hasil

reaksi segera ditambahkan dengan aquadest dingin lalu dinginkan di dalam

kulkas. Hasil reaksi di ekstraksi dengan heksan lalu dipekatkan menggunakan

vacuum rotary evaporator (Komala, 2014).

c. Proses Kondensasi Aldol

Sebanyak 206,2 mg NaOH dilarutkan dengan 1 mL aquadest dalam

erlenmeyer dengan bantuan stirrer. Tambahkan campuran 468,8 mg p

-metoksibenzaldehid (3,447 mmol) dengan 4,16 ml etil metil keton (46,5345

mmol) (1 : 13,5). secara perlahan lalu stirer selama 24 jam pada suhu ruang.

Reaksi di cek menggunakan KLT dan GCMS. Hasil reaksi di partisi dengan

aquades-etil asetat. Lapisan etil asetat kemudian dipekatkan dengan vacuum

(44)

3.3.4 Pemurnian dengan KLT Preparatif

Beri batas 1 cm pada bawah dan atas KLT perapatif. Totolkan hasil reaksi

kondensasi aldol sepanjang batas bawah plat KLT preparatif dan biarkan hingga

kering. Masukkan plat KLT preparatif ke dalam gelas beaker yang telah

dijenuhkan dengan eluen heksan-etil asetat (4:1) lalu elusi hingga mencapai batas

atas. Periksa dan tandai spot dibawah UV 254 nm dan 365 nm. Spot yang

terbentuk di kikis lalu di ekstraksi dengan etil asetat dan dibiarkan pada suhu

ruang hingga membentuk kristal. Kristal yang terbentuk direkristalisasi dengan

menggunakan metanol.

3.3.5 Identifikasi Senyawa

a. Identifikasi Organoleptis

Senyawa yang didapat dari hasil modifikasi diidentifikasi warna, bentuk

dan bau.

b. Pengukuran Rf

EPMS dan semua senyawa hasil modifikasi di KLT dengan menggunakan

eluen heksan-etil asetat (4:1).

c. Pengukuran Titik Leleh

Senyawa yang didapat dari hasil modifikasi diidentifikasi titik lelehnya

menggunakan alat melting point SMP10.

d. Identifikasi Senyawa Menggunakan GCMS

Kolom yang digunakan adalah HP-5MS (30 m x 0,25 mm ID x 0,25 um),

suhu awal 700C selama 2 menit, dinaikkan ke suhu 2850C dengan kecepatan

200C/min selama 20 menit. Suhu MSD 2850C. Kecepatan aliran 1,2 mL/min

dengan split 1:100. Parameter scanning dilakukan dari massa paling rendah yakni

35 sampai paling tinggi 550 (Umar et al., 2012).

e. Identifikasi Senyawa Menggunakan 1H-NMR

Sedikit sampel padat (kira-kira 10 mg) dilarutkan dalam pelarut kloroform

bebas proton (khusus NMR), kemudian dimasukkan ke dalam tabung khusus

(45)

Pada penelitian ini dilakukan modifikasi senyawa etil ρ-metoksisinamat yang diisolasi dari tanaman kencur melalui reaksi kondensasi aldol sehingga merubah

gugus ester menjadi gugus keton. Senyawa etil ρ-metoksisinamat terlebih dahulu di

ubah menjadi asam ρ-metoksisinamat melalui reaksi hidrolisis. Senyawa asam ρ

-metoksisinamat yang telah didapat kemudian di oksidasi sehingga diperoleh senyawa

aldehid yang direaksikan dengan etil metil keton melalui reaksi kondensasi aldol

dengan adanya basa NaOH dalam air.

Pada percobaan pendahuluan, reaksi oksidasi langsung pada etil ρ

-metoksisinamat (EPMS) dapat menghasilkan senyawa aldehid dan beberapa senyawa

lain. Pada saat EPMS diubah terlebih dahulu menjadi asam ρ-metoksisinamat

(APMS) melalui reaksi hidrolisis maka didapatkan senyawa aldehid dan senyawa lain

yang lebih sedikit (gambar 4.1).

Gambar 4.1 KLT uji pendahuluan oksidasi dengan eluen heksan-etil asetat (4:1)

(visualisasi UV ƛ 254 nm). Keterangan : (1) reaksi oksidasi EPMS, (2) reaksi oksidasi

APMS, (3) APMS, dan (4) EPMS

4.1 Hasil Isolasi Senyawa Etil ρ-metoksisinamat

Proses isolasi senyawa EPMS dimulai dari determinasi, pembuatan serbuk

simplisia rimpang kencur segar, isolasi dan rekristalisasi EPMS, serta identifikasi

EPMS.

1 2 3 4

(46)

4.1.1 Hasil Determinasi

Pada penelitian ini dilakukan determinasi untuk memastikan kebenaran

tumbuhan yang digunakan. Determinasi dilakukan di Herbarium Bogoriense,

Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi

menunjukkan bahwa sampel merupakan spesies Kaempferia galanga L

(Lampiran 3).

4.1.2 Pembuatan Serbuk Simplisia Rimpang Kencur Segar (RKS)

Sebanyak 55 kg RKS digunakan dalam penelitian ini. Setelah melalui

proses pembuatan simplisia, diperoleh serbuk simplisia kencur sebanyak 7 kg.

Simplisia kencur yang didapatkan berwarna kecoklatan (gambar 4.2).

Gambar 4.2 Simplisia kencur

4.1.3 Isolasi Etil ρ-metoksisinamat

Simplisia RKS yang didapat diekstraksi dengan cara maserasi

menggunakan pelarut heksan. Hasil maserasi diperoleh filtrat yang dapat

mengkristal pada suhu ruang sehingga memudahkan dalam isolasi. Kristal yang

diperoleh direkristalisasi dengan heksan dan metanol sehingga didapatkan kristal

yang berwarna putih kekuningan (gambar 4.4).

Persen rendemen kristal EPMS yaitu :

(47)

Gambar 4.3 KLT isolat kencur dengan eluen heksan-etil asetat (4:1)

(visualisasi UV ƛ 254 nm)

Gambar 4.4 Kristal EPMS

4.1.4 Identifikasi Senyawa Etil ρ-metoksisinamat

Senyawa EPMS dilakukan identifikasi organoleptis, pengukuran titik leleh,

dan identifikasi menggunakan GCMS.

a. Identifikasi Organoleptis Senyawa Etil ρ-metoksisinamat

Senyawa etil ρ-metoksisinamat memiliki karakteristik sebagai berikut:

 Warna : putih kekuningan

 Bau : khas

 Bentuk : kristal

b. Pengukuran Titik Leleh Senyawa Etil ρ-metoksisinamat

Pengukuran titik leleh menggunakan alat melting point didapatkan rentang

Gambar

Tabel 4.1 Data pergeseran kimia (δ) spektrum 1H-NMR etil ρ-metoksisinamat,  asam ρon…..……
Gambar 2.1. Kandungan kimia rimpang kencur (Afriastini, 1990).
Gambar 2.2 Jalur asam sikhimat dalam biosintesa fenilpropanoid untuk menghasilkan etil p-metoksisinamat (Bangun, 2011)
Gambar 2.3 Beberapa trasformasi gugus fungsi dari EPMS (Ekowati et al., 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

K2 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 10 4 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (diekstraksi menggunakan ethanol) dengan konsentrasi 1% K3 : Ayam yang diinfeksi

[r]

hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan

Latihan membaca ini bisa dilakukan dengan tahap membaca keseluruhan lakon, membaca teks sebagai teks, membaca dengan pemahaman ketika pemain boleh mewujudkan penafsirannya dalam

Indofood dalam men/iptakan produknya selalu memiliki keunikan rasa terutama dalam produk mi instannya# selain itu Indofood uga melakukan promosi atau iklan dengan

Bahasa Indonesi a 3.7 Menguraikan konsep- konsep yang saling berkaitan pada teks nonfiksi Teks Nonfiksi 3.7.1 membuat pertanyaan dengan menggunakan kata tanya yang berbeda

Melalui pendekatan diatas, maka hasil studi yang didapat dalam penelitian ini yaitu distribusi perubahan penggunaan lahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di Kawasan

 Pengajuan reguest pekerjaan oleh pelaksana lapangan kepada direksi teknis Pengajuan reguest pekerjaan oleh pelaksana lapangan kepada direksi teknis (penga$as lapangan)