• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon pemberian jahe merah (zingiber officinale var rubra) dengan berbagai pengolahan pada ayam broiler yang terinfeksi eimeria tenella Chapter III V"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai dengan selesai.

Tahap persiapan dilaksanakan pada awal bulan Januari 2015 bertempat di

Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selanjutnya tahap pelaksanaan penelitian dilakukan selama lima minggu di

kandang percobaan Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara Medan dan Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain ayam pedaging umur 1

hari (DOC) Strain Cobb 500 sebanyak 80 ekor yang berasal dari PT. Charoen

Pokphand Jaya Farm, pakan selama penelitian, Rodalon, Formalin, Etanol,

Methanol, Kalium Bikromat 2-2,5%, Larutan garam jenuh, Larutan gula jenuh,

Vaksin ND Strain Hitchner B1 dan vaksin IBD (Gumboro), Jahe Merah (Zingiber

officinale var Rubra), Isolat Eimeria tenella, Koksidiostat, Larutan CMC

(Carboxyl Methyl Cellulosa), Oil Emersi, Larutan Giemsa 10-20%, Air kran

bersih / Aquades, dan gula merah.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting seksi,

scalpel, sarung tangan (gloves), termos es, lumpang porselin (mortar), penapis /

(2)

plastik, gelas ukur, pipet pasteur, mesin penggiling, oven, sentrifuge, tabung

sentrifuge, alat suntik (spuit), obyek glass, cover glass, cawan petridis, pot salep,

mikroskop, lemari es, alat hitung, kamar hitung (Mc Master), kertas label, spidol,

tissu, labu dan tabung evaporator, rotaryvacum evaporator, termometer untuk

mengetahui suhu kandang, terpal plastik, sekam, kandang percobaan dengan

ukuran 1m x 1m x 1m sebanyak 20 buah, tempat pakan dan minum ayam

sebanyak 20 buah, dan bola lampu pijar (60 Watt) sebanyak 20 buah sebagai

penerang dan pemanas.

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan.Perlakuan yang diteliti adalah:

KP : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, tapi tidak diberi koksidiostat dan jahe merah

KO : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, dan hanya diberi koksidiostat

K1 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (serbuk) dengan konsentrasi 1%

K2 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (diekstraksi menggunakan ethanol) dengan konsentrasi 1% K3 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan

(3)

Tabel 7. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut :

Ulangan

Perlakuan

KP KO K1 K2 K3

1 KP1 KO1 K11 K21 K31

2 KP2 KO2 K12 K22 K32

3 KP3 KO3 K13 K23 K33

4 KP4 KO4 K14 K24 K34

Dengan menggunakan 80 ekor ayam, maka masing-masing kombinasi

perlakuan terdiri dari 4 ekor ayam. Adapun metode linear yang digunakan

menurut Hanafiah (2000) adalah:

Dimana:

Yij = hasil pengamatan dari perlakuan tingkat ke-i dan pada ulangan ke-j

I = perlakuan J = ulangan

 = nilai rata-rata (mean) harapan

i = pengaruh perlakuan ke-i

ij = pengaruh galat (experimental error) perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Parameter Penelitian

Jumlah ookista Eimeria tenella pada feces ayam

Penghitungan ookista dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Mc

Master dengan rumus sebagai berikut :

OPG (N) = Ookista hasil pengamatan x 100

2

Keterangan : OPG = Ookista Per Gram

(4)

Jumlah lesi yang disebabkan Eimeria tenella pada sekum ayam (SLS)

Skor Lesi Sekum (SLS) ditentukan berdasarkan perubahan

patologi-anatomi berupa derajat kerusakan dari sekum ayam yang terinfeksi menurut

metoda Johson and Reid (1970) yaitu dengan pemberian scoring 0 sampai dengan

+4 seperti berikut ini :

0 = Tidak didapatkan luka dalam dinding usus

+1 = Pada dinding usus didapatkan beberapa ptechie, tebal dinding usus dan

isi usus (feses) normal

+2 = Didapatkan banyak luka (ptechie) pada dinding usus, isi usus bercampur

dengan darah, dan dinding usus, sedikit menebal

+3 = Banyak darah yang telah membeku atau setengah membeku didalam,

dinding usus sangat menebal, feses sedikit atau sama sekali tidak

didapatkan

+4 = Usus sangat membesar, isi usus terdiri dari darah yang telah membeku

atau telah mulai proses perkapuran, sedangkan isi usus yang berupa feses

sedikit. ayam mati karena koksidiosis juga dinilai +4.

Differensiasi leukosit pada sampel darah ayam

Dalam satu preparat ulas darah dihitung 100 Leukosit dan dibedakan

jenis-jenisnya kemudian dihitung persentasenya.

Pelaksanaan Penelitian Isolasi Eimeria tenella

Sekum ayam yang terpapar koksidiosis dikoleksi dari lapangan (dari

peternakan ayam di kota Medan) dan diproses dilaboratorium dengan cara sebagai

(5)

lumpang porselin (mortar), diberi aquades steril secukupnya kemudian digerus

dan dihaluskan secara perlahan-lahan agar tidak merusak ookista. Kemudian

disaring dengan saringan 25 μm. Hasil saringan diberi larutan gula jenuh,

kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5-10 menit untuk

diperiksa ookistanya berdasarkan morfologi, ukuran, masa sporulasi lalu diisolasi

(Levine, 1985).

Pembiakan Isolat Eimeria tenella

Setelah mendapat isolat E. tenella, kemudian disporulasikan dengan

penambahan larutan kalium bikromat 2-2,5% 5-10 kali dari sampel (tidak

diperkenankan kedalaman larutan lebih dari 4cm) selama 1-2 hari dalam suhu

kamar (260C – 280C). Tutup cawan Petridis/ gelas dengan sedikit terbuka untuk

memberikan kesempatan udara masuk. Untuk perbanyakan, isolat E.tenella

diinokulasikan pada ayam umur 2 minggu yang bebas koksidia, 6 hari pasca

inokulasi dipanen seperti cara kerja sebelumnya kemudian disimpan dalam lemari

es sampai digunakan.

Pembuatan Larutan Jahe Merah

Dalam pembuatan larutan jahe merah, penelitian ini menggunakan 3

macam pengolahan jahe yang nantinya akan digunakan sebagai larutan. Adapun

bentuk pengolahan jahe yang dimaksud adalah serbuk jahe, ekstrak jahe

menggunakan ethanol, dan ekstrak jahe menggunakan air.

Serbuk Jahe

Jahe merah diperoleh dari Pasar kota Medan. Jahe merah segar dicuci

(6)

selama 48 jam sampai kering, lalu dibuat serbuk dengan cara digiling (Iskandar et

al, 2000). Larutan dibuat dengan cara yang tertera dalam Farmakope Indonesia,

sehingga diperoleh larutan dengan kepekatan 1 gr serbuk kering dalam 1 ml

(Depkes.RI. 1979 dikutip dari Iskandar et al, 2000). Larutan pekat tadi akan

diencerkan kembali dengan air menjadi 100 ml, sehingga konsentrasi 1% dari

larutan jahe tersebut nantinya akan mengandung 10 mg jahe /ml.

a. Ekstraksi Jahe Menggunakan Ethanol

Rimpang jahe merah segar yang sudah dibersihkan dikeringkan dengan

oven blower (40-60o C) selama 30-36 jam hingga diperoleh jahe kering dengan

kadar air 8-11%. Jahe kering digiling kemudian disaring sehingga dihasilkan

bubuk jahe berukuran 30 mesh. Sebanyak 250 gram bubuk jahe di ekstrak 4 kali

dengan menggunakan pelarut etanol (500 ml). Ekstrak yang diperoleh disaring

dengan kertas saring pada kondisi vakum. Cairan yang diperoleh dimasukkan ke

dalam tabung rotavapor yang telah ditimbang, kemudian disuling dengan

rotaryvacum-evaporator. Penyulingan dihentikan setelah pelarut berhenti

menetes, maka didapatkan oleoresin yang konsistensinya semi padat berwarna

coklat muda sampai dengan coklat tua. Selanjutnya dilakukan penimbangan

terhadap oleoresin yang dihasilkan dalam labu rotavapor. Untuk

menghomogenkan hasil ekstrak jahe dengan air pada saat pembuatan larutan perlu

penambahan larutan CMC (Carboxyl Methyl Cellulosa) 1%. Perbandingan dosis

serbuk dengan hasil ekstrak adalah 1 : 5. Sehingga Larutan ekstrak jahe merah

(7)

b. Ekstraksi Jahe Menggunakan Air

Ekstraksi jahe merah menggunakan air sebagai larutan pengekstrak.

Ekstraksi jahe dilakukan terhadap bubuk jahe. Setiap 25 gr bubuk jahe

membutuhkan 125 ml air. Ekstraksi dilakukan sebanyak 4 kali. Untuk

memperoleh ekstrak jahe, filtrat dikeringbekukan sehingga pelarut dan air yang

ada menguap. Larutan ekstrak jahe merah menggunakan air dibuat dengan

konsentrasi 1% (2mg jahe/ml).

Gambar 4. Ekstraksi Jahe

Kandang terlebih dahulu didesinfeksi dengan menggunakan rodalon,

kemudian dilakukan fumigasi dengan menggunakan formalin dan dibiarkan Rimpang jahe

Bubuk jahe 250 gr Pengeringan

Ekstraksi dengan air, empat kali

Ekstraksi dengan ethanol, empat kali @ 500ml

Ekstrak air-jahe bubuk Fraksi terlarut etanol

Penguapan pelarut s/d konstan

(8)

selama tiga hari. Peralatan kandang dibersihkan dan didesinfeksi sebelum

digunakan (Siagian, 2009).

Uji In Vivo

Pada penelitian ini menggunakan 80 ekor anak ayam pedaging umur satu

hari (DOC) Strain Cobb 500 yang diacak ke dalam 5 perlakuan (KP, KO, K1, K2,

K3) dengan 4 ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri atas 4 ekor.

Sebelum DOC dimasukkan kedalam kandang sesuai dengan perlakuan,

dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing

DOC kemudian dilakukan random (pengacakan) pada DOC yang bertujuan

memperkecil nilai keragaman. Lalu DOC dimasukkan sebanyak 4 ekor per

kandang.

Kandang terbuat dari kayu berukuran 1m x 1m x 1m dengan lantai diberi

sekam padi kering (umur 1 hari -14 hari ), dilengkapi dengan tempat pakan dan

minum serta dilengkapi dengan 1 buah lampu pijar berkekuatan 60 Watt untuk

masing - masing kandang.

Sebagai pencegahan terhadap penyakit Tetelo (New Castle Disease)

diberikan vaksinasi ND Strain Hitchner B1 yang dilakukan melalui tetes mata

pada ayam umur empat hari, kemudian vaksinasi IBD (Gumboro) pada umur 12

hari melalui air minum, dan selanjutnya pengulangan vaksinasi ND Strain Lasota

pada umur tiga minggu melalui tetes mata.

Pada umur 23 hari, lima perlakuan ayam (KP,KO,K1,K2,K3) diinfeksi

dengan Eimeria tenella masing-masing sebanyak 10.000 ookista/ekor per oral.

Lima (5) hari pasca diinfeksi Eimeria tenella, diberikan perlakuan berupa larutan

(9)

istirahat (tidak diberi) 2 hari, lalu diberi kembali selama 3 hari (sistem 3-2-3),

begitu juga dengan pemberian koksidiostat Coxymas (sesuai petunjuk dari

PT.Mensana).

Penentuan Jumlah Ookista per Gram Ekskreta

Enam (6) hari pasca diinfeksi Eimeria tenella, ekskreta ayam ditampung

setiap hari. Pada masing – masing perlakuan diambil ekskreta sebanyak 2 sampel

perkandang, kemudian dikoleksi dan dipisahkan berdasarkan perlakuan

masing-masing selama 1 minggu. Ekskreta ditimbang sebanyak 1 gram yang kemudian

dilarutkan ke dalam 29 ml larutan garam jenuh, disentrifuge selama 10 menit

dengan kecepatan 1500 rpm. Setelah disentrifuge, bagian atas supernatan (bening)

diambil menggunakan pipet Pasteur kemudian diteteskan pada kedua sisi kamar

hitung Mc Master. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran

10 x10 (Alamsari, 2000). Jumlah ookista yang ditemukan dalam sepuluh lapangan

pandang kemudian dihitung, dijumlahkan, lalu dirata-rata.

Penghitungan ookista dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Mc

Master dengan rumus sebagai berikut :

OPG (N) = Ookista hasil pengamatan x 100 2

Keterangan : OPG = Ookista Per Gram

Penentuan SLS (Skor Lesi Sekum)

Skor lesi sekum (SLS) ditentukan berdasar perubahan patologi-anatomi

berupa derajat kerusakan dari sekum ayam yang terinfeksi menurut metoda

Johson and Reid (1970). Hari ke-13 pasca infeksi Eimeria tenella, semua

(10)

ditandai dengan adanya perdarahan yang hebat, penebalan dinding sekum dan

nekrotik. Sebaran nilainya berkisar antara 0-4, dimana nilai skor 0 untuk keadaan

normal dan skor 4 untuk kerusakan sekum yang parah sesuai dengan metode

Johnson dan Reid (1970). Penentuan nilai perlukaan sekum dan produksi ookista

hanya dilakukan oleh satu orang untuk menghindari bias.

Pemeriksaan Differensiasi Leukosit a. Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada ayam

umur 27 hari, 30 hari, dan 35 hari, dan pada masing-masing perlakuan diambil 2

sampel perkandang. Pengambilan darah dilakukan pada Vena brachialis.

b. Cara Pembuatan Ulas Darah Tipis

Gelas obyek 1 ditetesi darah sampel, kemudian ujung gelas obyek 2

disentuhkan ke preparat darah pada gelas obyek 1 dan dibiarkan mengalir melalui

ruang kapiler dari gelas obyek 2. Posisi antara kedua gelas obyek membentuk

sudut 450. Dengan segera gelas obyek 2 digeser dengan gerakan langsung dan

dihindari penekanan yang berlebihan. Setelah itu preparat difiksasi dengan

methanol lalu diwarnai dengan Giemsa 10% (Piatina, 2001).

c. Pemeriksaan Sampel Darah

Preparat ulas darah tipis diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran

10 x100 menggunakan minyak emersi. Dalam satu preparat dihitung 100 Leukosit

dan dibedakan jenis-jenisnya (diferensiasi dari leukosit tersebut kemudian

(11)
(12)
(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Semua hewan percobaan selama penelitian tidak ada yang mati termasuk

hewan kontrol, karena diinfeksi di bawah lethal dosis (50.000-100.000 ookista).

Ookista per Gram Ekskreta

Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada

stadium seksual. Sesudah fertilisasi zigot akan membentuk ookista. Ookista E.

tenella akan keluar bersama ekskreta dalam keadaan belum bersporulasi, dan akan

bersporulasi dalam waktu 1-2 hari setelah mendapatkan oksigen, suhu yang

sesuai, dan lingkungan yang lembab (Tampubolon, 1992). Rata-rata produksi

ookista per gram ekskreta yang ditampung selama tujuh hari pada ayam yang

terinfeksi E.tenella dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam Yang Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra)

Perlakuan

Pengamatan pada hari ke- (pasca infeksi)

6 7 8 9 10 11 12

KP 9425a

9463 12725a 12950a 11163a 8600a 6363a

KO 3925b 8138 9000a 7800bc 5175b 3350b 2988ab

K1 7888ab 8475 12725a 7950bc 5400b 3675b 4338ab

K2 4025b 4988 3838b 3488c 2875b 3250b 1625b

K3 3725b 7575 9900a 9980ab 7188ab 4675b 3313ab

(14)

0

Gambar 5.Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam Yang Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra)

Tabel 8 menunjukkan bahwa pada hari ke-6 pasca infeksi terlihat rata-rata

produksi ookista tertinggi pada perlakuan KP (9425), sedangkan terendah pada

perlakuan K3 (3725). Hasil analisis statistik dengan menggunakan Anava

(Analisis Varian) menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe merah

memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dalam menurunkan produksi ookista

pada ayam pedaging yang terinfeksi E. tenella. Hal ini terlihat dari hasil perlakuan

K1,K2,K3 < kontrol positif (KP). Sedangkan perlakuan obat koksidiostat (KO)

memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan larutan

jahe merah 1% (KO=K2=K3).

(15)

Selanjutnya pada hari ke-7 dan ke-8 pasca infeksi, hasil analisis statistik

dengan menggunakan Anava menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

nyata (P>0,05) diantara perlakuan KP,KO,K1,K3. Jumlah ookista keempat

perlakuan mengalami peningkatan. Maudya (1994) menyatakan bahwa pada hari

ke-6 dan ke-7 setelah infeksi produksi ookista akan meningkat kembali karena

pada hari tersebut perdarahan sudah agak berkurang. Namun, keempat perlakuan

tersebut (KP,KO,K1,K3) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K2 (pada hari

ke-8). Perlakuan K2 memproduksi ookista lebih sedikit dibanding perlakuan lain.

Pada hari ke-9 pasca infeksi, hasil analisis statistik dengan menggunakan

Anava menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara

perlakuan KO,K1,K2 dengan kontrol positif (KP). Sedangkan perlakuan K3 masih

terus mengalami peningkatan jumlah ookista, dan perlahan-lahan menurun sampai

dengan hari ke-12. Namun secara statistik, perlakuan K3 tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan perlakuan kontrol positif (KP).

Pada hari ke-10 dan ke-11 pasca infeksi, terdapat perbedaan yang nyata

(P<0,05) antara perlakuan KO,K1,K2,K3 dengan kontrol positif (KP). Puncak

sekresi / pengeluaran ookista pada hari ke-8 dan jumlah ookista akan menurun

pada hari ke-9 sesudah infeksi. Selanjutnya akan berangsur-angsur menurun pada

hari ke-11, tampak ookista tinggal sedikit tetapi kemungkinan masih tetap

ditemukan dalam tinja sampai beberapa bulan sesudah infeksi (Reid et al., 1984).

Ookista yang tertinggal dalam tubuh ayam akan berfungsi sebagai stimulant untuk

membentuk kekebalan. Sebaliknya dosis yang tinggi yaitu 50.000 ookista

(16)

Pada hari ke-12 pasca infeksi, hasil analisis statistik dengan menggunakan

Anava menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) antara

perlakuan obat koksidiostat (KO) dengan perlakuan jahe merah (K1,K2,K3)

dalam menurunkan produksi ookista. Sedangkan perlakuan K2 berbeda nyata

(P<0,05) dengan perlakuan kontrol positif (KP). Perlakuan K2 (larutan jahe merah

yang diekstrak menggunakan ethanol dengan konsentrasi 1%) cenderung

mengalami penurunan produksi ookista mulai hari ke-8 sampai dengan hari ke-12.

Adanya penurunan produksi ookista dengan pemberian larutan jahe merah

menggunakan ethanol menunjukkan adanya aktivitas antikoksi. Aktivitas

antikoksi ekstrak jahe tergantung pada cara pengolahan dan kandungan kimianya

(Goto et al, 2005).

Jahe merah mengandung komponen bioaktif berupa oleoresin dan

gingerol. Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi dengan sel

protozoa melalui proses adsorbsi dengan melibatkan ikatan hidrogen. Fenol pada

kadar rendah berinteraksi dengan protein membentuk kompleks protein fenol.

Ikatan antara protein dan fenol adalah ikatan yang lemah dan segera mengalami

peruraian. Fenol yang bebas, akan berpenetrasi kedalam sel, menyebabkan

presipitasi dan denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi

protein sehingga membran sel mengalami lisis (Juliantina et al, 2008).

Daya antikoksi terhadap ookista E.tenella terjadi melalui lisisnya

memberan sel E.tenella. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat (Achyad dan

Rosyidah, 2000) yang menyatakan bahwa oleoresin dan gingerol bersifat anti

(17)

sediaan asal herbal dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya tempat tumbuh,

waktu panen, cara ekstraksi dan pelarut yang digunakan.

Perlakuan yang diberikan obat antikoksi akan lebih cepat bekerja

menurunkan produksi ookista. Jahe merah dapat memperbaiki pencernaan, proses

yang terjadi adalah terangsangnya selaput lendir perut dan usus oleh minyak jahe.

Selain itu, jahe merah akan merangsang dan melancarkan peredaran darah (Karya

Tani, 2009).

SLS (Skor Lesi Sekum)

Koksidiosis merupakan infeksi protozoa intraseluler. Infeksi oleh Eimeria

tenella sebagai penyebab koksidiosis akan senantiasa berimplikasi pada kerusakan

sel epitel jaringan usus, khususnya pada bagian mukosa dan submukosa sekum

(Iskandar, 2006). Hasil pengamatan skor lesi sekum pada ayam pedaging tertera

pada Tabel 9.

Tabel 9.Rataan Persentase Skor Lesi Sekum Pada Ayam Pedaging Umur 35 Hari

Perlakuan Ulangan Rataan ± SDtn

1 2 3 4

KP 0.5 1 0.5 0.25 0,56 ± 0,31

KO 0.75 0.5 0.25 0.5 0,50 ± 0,20

K1 1 0.5 0.25 0.5 0,56 ± 0,31

K2 0.5 0.25 0.75 0 0,37 ± 0,32

K3 0.5 0.5 0.5 0.5 0,50 ± 0,00

Keterangan : tn = tidak nyata

Hasil analisis statistik dengan menggunakan Anava menunjukkan bahwa

pemberian larutan jahe merah memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05)

dalam menurunkan skor lesi sekum pada ayam pedaging yang terinfeksi E.tenella.

(18)

KP (kontrol positif) dan K1 yaitu sebesar 0,56%, sedangkan rataan skor lesi

sekum terendah (ringan) pada perlakuan K2 (larutan jahe merah yang diekstraksi

menggunakan ethanol) yaitu sebesar 0,37%. Hal ini berarti bahwa pemberian jahe

merah efektif dan memberi respon dalam mencegah kerusakan jaringan /

perdarahan pada sekum ayam pedaging.

Selain itu, cara pengolahan herbal dan senyawa aktif oleoresin, minyak

atsiri, dan gingerol yang terdapat pada bahan baku herbal yaitu jahe merah dapat

bekerja efektif dalam menekan infeksi E.tenella. Senyawa yang terdapat pada jahe

merah telah dikenal luas dapat mengefektifkan penyerapan makanan ke dalam

tubuh dengan kandungan antioksidan yang tinggi dan daya antiradang yang kuat

(Goto et al, 2005). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Iskandar et al (2000) yang

menyatakan bahwa infuse jahe merah sebanyak 1% dapat bermanfaat sebagai

koksidiostat pada ayam pedaging.

Gambar 6. Penilaian derajat perlukaan sekum pada ayam pedaging yang diinfeksi 10.000 ookista E.tenella per ekor. Skor 0, +1, +2, +3, dan +4

menunjukkan derajat perlukaan (skor lesi) sekum.

(19)

Berdasarkan derajat perlukaan jaringan dan perdarahan pada sekum ayam,

maka skor lesi untuk semua perlakuan masih tergolong ringan. Hal ini disebabkan

skor lesi yang ditimbulkan masih berkisar antara 0-1. Jika diurutkan berdasarkan

skor lesi sekum terendah (ringan) ke tertinggi, maka didapatkan urutan sebagai

berikut yaitu K2, KO, K3, K1, KP. Perlakuan K2 lebih ringan jika dibandingkan

dengan perlakuan KO, K3, K1,KP seperti tampak padaGambar 5.

Hal ini menunjukkan bahwa larutan jahe merah efektif mengobati lesi

pada sekum ayam. Perlakuan KP yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata

(P>0,05) dengan perlakuan K1, K2, K3, dan KO diduga karena jumlah ookista

yang diberikan belum cukup untuk memberikan dampak pada ayam pedaging.

Selain itu, hal tersebut dimungkinkan respon tubuh ayam segera membentuk

antibodi sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan dan perdarahan pada sekum

ayam pedaging. Hal ini sesuai dengan pendapat (Endang et al, 2000) yang

menyatakan bahwa berat ringannya serangan koksidiosis dipengaruhi oleh jumlah

parasit yang menyerang (dosis infeksi), daya kebal, dan umur induk semang.

Diferensiasi Leukosit

Leukosit atau sel darah putih adalah sel yang memiliki inti dan organel.

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit

berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker, serta membantu proses

penyembuhan (Corwin, 2000). Kelompok granulosit ditandai dengan terdapatnya

granula didalam sitoplasma , sedang kelompok agranulosit tidak memiliki granula

(Caceci, 1998). Hasil yang diperoleh setelah dilakukan penghitungan diferensiasi

(20)

Tabel 10. Rataan Persentase Heterofil, Basofil, Eosinofil, Limfosit, dan Monosit Pada Ayam Pedaging Yang Diinfeksi Eimeria tenella

Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan

Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase heterofil tidak berbeda nyata

(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10).

Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), terjadi perubahan yang nyata

dimana kontrol positif mengalami penurunan jumlah heterofil (Gambar 7). Infeksi

selalu memicu datangnya sel radang ke lokasi infeksi yang bertujuan antara lain

(21)

migrasi sel-sel pertahanan dari pembuluh darah ke tempat peradangan yang

ditandai dengan akumulasi sel polimorfnukleus dan makrofag (Yellita et al., 2011).

Hal ini sesuai dengan pernyataan Melvin dan William (1993) bahwa heterofil

muncul di daerah peradangan dalam jumlah yang besar. Heterofil dan makrofag

merupakan bagian utama dari respon imun bawaan (innate) pada unggas (Stabbler

et al., 1994).

Sedangkan pada perlakuan KO,K1,K2,K3 mengalami sedikit penurunan

jumlah heterofil dengan persentase terendah pada KO (22,13%). Jumlah heterofil

pada perlakuan jahe merah (K1,K2,K3) cenderung mendekati nilai normal. Hal ini

terjadi karena heterofil termobilisasi untuk memasuki peredaran darah dari

sumsum tulang (Trilestari, 2001). Kemungkinan lain adalah adanya kandungan

antioksidan dalam jahe yang berkhasiat sebagai anti inflamasi (Friedli, 1997).

Secara umum persentase heterofil normal adalah 27,2% (Sturkie, 1976).

Pada hari ke-35 (8 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase heterofil

kembali meningkat, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata

(P>0,05) pada setiap perlakuan. Rata-rata persentase heterofil terendah pada

perlakuan K2 (25,63%), sedikit dibawah nilai normal. Dari pengamatan ookista

pada hari ke-35 menunjukkan bahwa jumlah ookista pada perlakuan K2 paling

rendah dibandingkan perlakuan lain. Hal ini mengindikasikan bahwa heterofil

yang termobilisasi dari sumsum tulang lebih banyak berada dijaringan daripada di

peredaran darah. Seperti yang dinyatakan oleh Carlson dan Allen (1969) bahwa

sel heterofil aktif memfagosit mikroorganisme baik dalam peredaran darah

(22)

0

pasca Infeksi 3 hari pasca diobati 8 hari pasca diobati

KP

KO

K1

K2

K3

Gambar 7. Persentase heterofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

Basofil

Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan

Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase basofil tidak berbeda nyata

(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah basofil tertinggi

terdapat pada perlakuan KP (9,54%) sedangkan terendah pada perlakuan KO

(7,50%). Secara umum persentase basofil normal adalah 1,7% (Sturkie, 1976).

Pada tahap ini terlihat peningkatan basofil dalam darah. Basofil akan muncul dan

meningkat ketika terjadi infeksi. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktifitas

perbarahan dan alergi (Dharmawan, 2002).

Pada hari ke-30 dan ke-35 dimana ayam telah diobati, terjadi penurunan

jumlah basofil yang tidak signifikan pada perlakuan KO,K1,K2,K3 (Gambar 8)

dan secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap

perlakuan. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi peradangan usus belum

sepenuhnya mereda setelah pengobatan, sehingga memicu untuk timbulnya

(23)

produksi basofil oleh sumsum tulang. Sedangkan jumlah basofil pada perlakuan

KP masih tinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada perlakuan tersebut masih

berlangsung siklus coccidia dan timbul peradangan. Seperti yang dinyatakan oleh

Melvin dan William (1993) bahwa di daerah peradangan, basofil memproduksi

heparin, histamine, bradykinin, serotonin, dan enzim lisosom yang membantu

melawan antigen.

pasca Infeksi 3 hari post diobati 8 hari post diobati

KP

KO

K1

K2

K3

Gambar 8. Persentase basofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

Eosinofil

Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan

Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase eosinofil tidak berbeda nyata

(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah eosinofil tertinggi

terdapat pada perlakuan KP (10,00%) sedangkan terendah pada perlakuan K1 dan

K3 (6,50%). Secara umum persentase eosinofil normal adalah 2–8% dari jumlah

leukosit (Tizard, 1988). Pada tahap ini terlihat adanya peningkatan eosinofil pada

(24)

perlakuan KP dan jumlahnya sudah melebihi batas normal, sedangkan keempat

perlakuan lainnya normal. Hal ini mengindikasikan bahwa pada perlakuan KP

terjadi peradangan sehingga eosinofil tetap berada dalam darah untuk menuju

jaringan tempat terjadinya peradangan (Piatina, 2001).

Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase eosinofil

berbeda nyata (P<0,05) antara perlakuan KP dengan KO,K1,K2,K3. Perlakuan

yang diobati dengan koksidiostat dan larutan jahe merah masih mampu

mempertahankan jumlah eosinofil normal dalam darah walaupun telah diinfeksi

oleh E. tenella. Kandungan antioksidan dalam jahe dapat merangsang selaput

lendir usus untuk meredam peradangan (Friedli, 1997).

Pada hari ke-35 (8 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase eosinofil

tidak berbeda nyata (P<0,05) pada setiap perlakuan. Pada tahap ini peradangan

usus mulai mereda. Jumlah eosinofil pada perlakuan KO,K1,K2,K3 dalam batas

normal, sedangkan perlakuan KP masih di atas normal (Gambar 9). Hal ini

mungkin dikarenakan infeksi coccidia tanpa pengobatan mampu menggertak

keluarnya eosinofil dari sumsum tulang. Seperti yang dinyatakan oleh Melvin dan

William (1993), jumlah eosinofil dalam pembuluh darah akan meningkat dalam

kondisi alergik dan eosinofil akan bermigrasi ke daerah dimana terjadinya

(25)

0

pasca infeksi 3 hari pasca diobati 8 hari pasca diobati

KP

KO

K1

K2

K3

Gambar 9. Persentase eosinofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

Limfosit

Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan

Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase limfosit tidak berbeda nyata

(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah limfosit tertinggi

terdapat pada perlakuan K1 (55,00%) sedangkan terendah pada perlakuan K3

(39,12%). Secara umum persentase limfosit normal adalah 59,1–64,6% dari

jumlah leukosit (Sturkie, 1976).

Pada ayam, limfosit paling banyak berperan dan paling banyak jumlahnya

dalam leukosit (Sturkie, 1995). Jumlah limfosit kelima perlakuan ini mengalami

penurunan. Hal ini dikarenakan ayam berusaha untuk bertahan melewati fase

perdarahan akibat infeksi. Sel limfosit berfungsi sebagai imunitas yang mampu

menyerang antigen dengan memproduksi antibodi (Sumarni, 2010).

Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase limfosit

mengalami peningkatan pada semua perlakuan (Gambar 10). Jumlah limfosit pada

perlakuan obat dan jahe merah sudah dalam batas normal. Hal ini disebabkan

(26)

karena adanya reaksi pemberian antikoksi pada tiap perlakuan sehingga

meminimalkan jumlah antigen dalam darah yang berbanding lurus dengan jumlah

antibodi yang dihasilkan oleh limfosit. Sedangkan perlakuan KP jumlah

limfositnya melebihi batas normal (65,00%) dikarenakan infeksi tersebut

merangsang sumsum tulang untuk memproduksi limfosit dalam jumlah banyak.

Pada hari ke-35 (8 hari pasca pengobatan), perlakuan K2 (larutan jahe

merah yang diekstraksi menggunakan ethanol 1%) memperlihatkan jumlah

limfosit normal dimana perlakuan lain cenderung mengalami penurunan limfosit.

Aktivitas antikoksi ekstrak jahe tergantung pada cara pengolahan dan kandungan

kimianya (Goto et al, 2005). Jahe merah mengandung komponen bioaktif berupa

oleoresin dan gingerol. Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang

berinteraksi dengan sel protozoa melalui proses adsorbsi dengan melibatkan

ikatan hydrogen (Juliantina dkk, 2008).

Perlakuan KP memiliki jumlah limfosit terendah (49,88%) dibanding

perlakuan lain. Jumlah ookista pada perlakuan KP di hari ke-35 sudah mengalami

penurunan sehingga memungkinkan rangsangan terhadap produksi limfosit juga

rendah. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sumarni (2010)

dimana populasi dari limfosit dalam darah ada 2 tipe sel yaitu sel T dan sel B.

Limfosit T diperkirakan proporsinya adalah 70-75% dari seluruh jumlah limfosit

sedangkan limfosit B jumlahnya antara 10-20% dari jumlah seluruh limfosit.

Limfosit B berfungsi sebagai imunitas humoral yang mampu menyerang antigen

dengan memproduksi antibodi. Limfosit T berperan sebagai sel imunitas yang

diperoleh dari pembentukan limfosit teraktivasi yang mampu menghancurkan

(27)

ke-8 dan ke-9 dimana produksi ookista mencapai puncaknya, maka ayam-ayam akan

menuju kesembuhan dengan sendirinya (Soulsby, 1982).

0

Gambar 10. Persentase limfosit pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

Monosit

Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan

Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase monosit tidak berbeda nyata

(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah monosit tertinggi

terdapat pada perlakuan K2 (3,37%) sedangkan terendah pada perlakuan K3

(2,13%). Secara umum persentase monosit normal adalah 8,9-10,2% dari jumlah

leukosit (Sturkie, 1976). Pada tahap ini terlihat penurunan jumlah monosit dalam

darah. Hal ini terjadi karena monosit sudah bermigrasi ke dalam saluran

pencernaan tempat terjadinya peradangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kende

(1982) yang menyatakan bahwa sejumlah faktor kemotaksis berperan pada

monosit dan menyebabkan mereka bermigrasi ke dalam jaringan.

(28)

Pada hari ke-30 dan ke-35 dimana ayam telah diobati, tampak bahwa

jumlah monosit kelima perlakuan (KP,KO,K1,K2,K3) masih dibawah batas

normal (Gambar 11) dan secara analisis statistik menggunakan Anava

menunjukkan bahwa hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap perlakuan.

Hal ini dikarenakan monosit lebih sedikit di peredaran darah dan lebih banyak

berada disaluran pencernaan tempat terjadinya peradangan. Selama peradangan,

monosit akan membesar, menyebar lebih cepat dan mengalami peningkatan fungsi

metabolik. Monosit sebagai respon peradangan terutama menelan dan membunuh

mikroorganisme dan merupakan garis pertahanan kedua setelah heterofil (Ganong,

1995). Aktifitas fagositosis dari monosit tergantung pada bahan yang akan

difagosit (Tizard, 1988).

Sebelum diobati 3 hari pasca diobati 8 hari pasca diobati

KP

KO

K1

K2

K3

Gambar 11. Persentase monosit pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)

(29)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

a. Penggunaan jahe merah dapat menurunkan produksi ookista, jahe merah yang

diekstraksi menggunakan ethanol lebih baik dibandingkan dengan jahe merah

yang diekstraksi menggunakan air atau dalam bentuk serbuk

b. Penggunaan jahe merah menunjukkan persentase heterofil dan eosinofil

mendekati normal dibandingkan dengan perlakuan kontrol.

c. Pengamatan 13 hari setelah infeksi tidak mempengaruhi nilai perlukaan

sekum, yang berarti bahwa ayam telah mengalami pemulihan.

Saran

Penggunaan jahe merah yang diekstraksi menggunakan ethanol dapat

Gambar

Tabel 7. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut :
Gambar 4. Ekstraksi Jahe
Tabel 8. Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam Yang     Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber                officinale var Rubra)
Gambar 5. Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam
+7

Referensi

Dokumen terkait

perundang- undangan yang mengatur pornografi; dan d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.. perempuan dan anak. Berbagai istilah yang

Dalam rangka proses penyelesaian studi mahasiswa program Sarjana (S.1) Fakultas Syariah IAIN Samarinda, maka diharapkan kesediaan Bapak/ Ibu untuk memberikan bimbingan

Demikian juga halnya dengan perguruan tinggi yang sangat bertumpu pada human capital, perlu mengelola organisasi yang mendorong terbentuknya budaya knowledge creation,

Dalam rangka pelaksanaan Ujian Praktek Kerja lapangan (PKL) Fakultas Syariah IAIN Samarinda tahun akademik 2014/2015, maka diharapkan kesediaan Bapak/Ibu Dosen Supervisor

Contemporary role of suprapubic cystotomy in treatment of neuropathic bladder dysfunction in spinal cord injured patients.. Ginting,

Dalam rangka pelaksanaan Ujian Praktek Kerja lapangan (PKL) Fakultas Syariah IAIN Samarinda tahun akademik 2014/2015, maka diharapkan kesediaan Bapak/Ibu guru pamong

5 Karya Supriatna Guru Kelas VI 6 Lin Herlian, S.Pd.SD Guru Kelas II 7 Desi Kurniasari, S.Pd.I Guru PAI 8 Elsa Wiganda, S.Pd.SD Guru Kelas III 9 Eka Mustikawati, S.Pd.I Guru Kelas

Penelitian ini dilakukan karena guru masih membutuhkan media pembelajaran dan adanya keterbatasan media yang tersedia di sekolah untuk menunjang proses pembelajaran