METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2015 sampai dengan selesai.
Tahap persiapan dilaksanakan pada awal bulan Januari 2015 bertempat di
Laboratorium Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Selanjutnya tahap pelaksanaan penelitian dilakukan selama lima minggu di
kandang percobaan Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara Medan dan Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain ayam pedaging umur 1
hari (DOC) Strain Cobb 500 sebanyak 80 ekor yang berasal dari PT. Charoen
Pokphand Jaya Farm, pakan selama penelitian, Rodalon, Formalin, Etanol,
Methanol, Kalium Bikromat 2-2,5%, Larutan garam jenuh, Larutan gula jenuh,
Vaksin ND Strain Hitchner B1 dan vaksin IBD (Gumboro), Jahe Merah (Zingiber
officinale var Rubra), Isolat Eimeria tenella, Koksidiostat, Larutan CMC
(Carboxyl Methyl Cellulosa), Oil Emersi, Larutan Giemsa 10-20%, Air kran
bersih / Aquades, dan gula merah.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting seksi,
scalpel, sarung tangan (gloves), termos es, lumpang porselin (mortar), penapis /
plastik, gelas ukur, pipet pasteur, mesin penggiling, oven, sentrifuge, tabung
sentrifuge, alat suntik (spuit), obyek glass, cover glass, cawan petridis, pot salep,
mikroskop, lemari es, alat hitung, kamar hitung (Mc Master), kertas label, spidol,
tissu, labu dan tabung evaporator, rotaryvacum evaporator, termometer untuk
mengetahui suhu kandang, terpal plastik, sekam, kandang percobaan dengan
ukuran 1m x 1m x 1m sebanyak 20 buah, tempat pakan dan minum ayam
sebanyak 20 buah, dan bola lampu pijar (60 Watt) sebanyak 20 buah sebagai
penerang dan pemanas.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan.Perlakuan yang diteliti adalah:
KP : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, tapi tidak diberi koksidiostat dan jahe merah
KO : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor, dan hanya diberi koksidiostat
K1 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (serbuk) dengan konsentrasi 1%
K2 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan Jahe merah (diekstraksi menggunakan ethanol) dengan konsentrasi 1% K3 : Ayam yang diinfeksi E.tenella dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan
Tabel 7. Kombinasi perlakuan adalah sebagai berikut :
Ulangan
Perlakuan
KP KO K1 K2 K3
1 KP1 KO1 K11 K21 K31
2 KP2 KO2 K12 K22 K32
3 KP3 KO3 K13 K23 K33
4 KP4 KO4 K14 K24 K34
Dengan menggunakan 80 ekor ayam, maka masing-masing kombinasi
perlakuan terdiri dari 4 ekor ayam. Adapun metode linear yang digunakan
menurut Hanafiah (2000) adalah:
Dimana:
Yij = hasil pengamatan dari perlakuan tingkat ke-i dan pada ulangan ke-j
I = perlakuan J = ulangan
= nilai rata-rata (mean) harapan
i = pengaruh perlakuan ke-i
ij = pengaruh galat (experimental error) perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Parameter Penelitian
Jumlah ookista Eimeria tenella pada feces ayam
Penghitungan ookista dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Mc
Master dengan rumus sebagai berikut :
OPG (N) = Ookista hasil pengamatan x 100
2
Keterangan : OPG = Ookista Per Gram
Jumlah lesi yang disebabkan Eimeria tenella pada sekum ayam (SLS)
Skor Lesi Sekum (SLS) ditentukan berdasarkan perubahan
patologi-anatomi berupa derajat kerusakan dari sekum ayam yang terinfeksi menurut
metoda Johson and Reid (1970) yaitu dengan pemberian scoring 0 sampai dengan
+4 seperti berikut ini :
0 = Tidak didapatkan luka dalam dinding usus
+1 = Pada dinding usus didapatkan beberapa ptechie, tebal dinding usus dan
isi usus (feses) normal
+2 = Didapatkan banyak luka (ptechie) pada dinding usus, isi usus bercampur
dengan darah, dan dinding usus, sedikit menebal
+3 = Banyak darah yang telah membeku atau setengah membeku didalam,
dinding usus sangat menebal, feses sedikit atau sama sekali tidak
didapatkan
+4 = Usus sangat membesar, isi usus terdiri dari darah yang telah membeku
atau telah mulai proses perkapuran, sedangkan isi usus yang berupa feses
sedikit. ayam mati karena koksidiosis juga dinilai +4.
Differensiasi leukosit pada sampel darah ayam
Dalam satu preparat ulas darah dihitung 100 Leukosit dan dibedakan
jenis-jenisnya kemudian dihitung persentasenya.
Pelaksanaan Penelitian Isolasi Eimeria tenella
Sekum ayam yang terpapar koksidiosis dikoleksi dari lapangan (dari
peternakan ayam di kota Medan) dan diproses dilaboratorium dengan cara sebagai
lumpang porselin (mortar), diberi aquades steril secukupnya kemudian digerus
dan dihaluskan secara perlahan-lahan agar tidak merusak ookista. Kemudian
disaring dengan saringan 25 μm. Hasil saringan diberi larutan gula jenuh,
kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5-10 menit untuk
diperiksa ookistanya berdasarkan morfologi, ukuran, masa sporulasi lalu diisolasi
(Levine, 1985).
Pembiakan Isolat Eimeria tenella
Setelah mendapat isolat E. tenella, kemudian disporulasikan dengan
penambahan larutan kalium bikromat 2-2,5% 5-10 kali dari sampel (tidak
diperkenankan kedalaman larutan lebih dari 4cm) selama 1-2 hari dalam suhu
kamar (260C – 280C). Tutup cawan Petridis/ gelas dengan sedikit terbuka untuk
memberikan kesempatan udara masuk. Untuk perbanyakan, isolat E.tenella
diinokulasikan pada ayam umur 2 minggu yang bebas koksidia, 6 hari pasca
inokulasi dipanen seperti cara kerja sebelumnya kemudian disimpan dalam lemari
es sampai digunakan.
Pembuatan Larutan Jahe Merah
Dalam pembuatan larutan jahe merah, penelitian ini menggunakan 3
macam pengolahan jahe yang nantinya akan digunakan sebagai larutan. Adapun
bentuk pengolahan jahe yang dimaksud adalah serbuk jahe, ekstrak jahe
menggunakan ethanol, dan ekstrak jahe menggunakan air.
Serbuk Jahe
Jahe merah diperoleh dari Pasar kota Medan. Jahe merah segar dicuci
selama 48 jam sampai kering, lalu dibuat serbuk dengan cara digiling (Iskandar et
al, 2000). Larutan dibuat dengan cara yang tertera dalam Farmakope Indonesia,
sehingga diperoleh larutan dengan kepekatan 1 gr serbuk kering dalam 1 ml
(Depkes.RI. 1979 dikutip dari Iskandar et al, 2000). Larutan pekat tadi akan
diencerkan kembali dengan air menjadi 100 ml, sehingga konsentrasi 1% dari
larutan jahe tersebut nantinya akan mengandung 10 mg jahe /ml.
a. Ekstraksi Jahe Menggunakan Ethanol
Rimpang jahe merah segar yang sudah dibersihkan dikeringkan dengan
oven blower (40-60o C) selama 30-36 jam hingga diperoleh jahe kering dengan
kadar air 8-11%. Jahe kering digiling kemudian disaring sehingga dihasilkan
bubuk jahe berukuran 30 mesh. Sebanyak 250 gram bubuk jahe di ekstrak 4 kali
dengan menggunakan pelarut etanol (500 ml). Ekstrak yang diperoleh disaring
dengan kertas saring pada kondisi vakum. Cairan yang diperoleh dimasukkan ke
dalam tabung rotavapor yang telah ditimbang, kemudian disuling dengan
rotaryvacum-evaporator. Penyulingan dihentikan setelah pelarut berhenti
menetes, maka didapatkan oleoresin yang konsistensinya semi padat berwarna
coklat muda sampai dengan coklat tua. Selanjutnya dilakukan penimbangan
terhadap oleoresin yang dihasilkan dalam labu rotavapor. Untuk
menghomogenkan hasil ekstrak jahe dengan air pada saat pembuatan larutan perlu
penambahan larutan CMC (Carboxyl Methyl Cellulosa) 1%. Perbandingan dosis
serbuk dengan hasil ekstrak adalah 1 : 5. Sehingga Larutan ekstrak jahe merah
b. Ekstraksi Jahe Menggunakan Air
Ekstraksi jahe merah menggunakan air sebagai larutan pengekstrak.
Ekstraksi jahe dilakukan terhadap bubuk jahe. Setiap 25 gr bubuk jahe
membutuhkan 125 ml air. Ekstraksi dilakukan sebanyak 4 kali. Untuk
memperoleh ekstrak jahe, filtrat dikeringbekukan sehingga pelarut dan air yang
ada menguap. Larutan ekstrak jahe merah menggunakan air dibuat dengan
konsentrasi 1% (2mg jahe/ml).
Gambar 4. Ekstraksi Jahe
Kandang terlebih dahulu didesinfeksi dengan menggunakan rodalon,
kemudian dilakukan fumigasi dengan menggunakan formalin dan dibiarkan Rimpang jahe
Bubuk jahe 250 gr Pengeringan
Ekstraksi dengan air, empat kali
Ekstraksi dengan ethanol, empat kali @ 500ml
Ekstrak air-jahe bubuk Fraksi terlarut etanol
Penguapan pelarut s/d konstan
selama tiga hari. Peralatan kandang dibersihkan dan didesinfeksi sebelum
digunakan (Siagian, 2009).
Uji In Vivo
Pada penelitian ini menggunakan 80 ekor anak ayam pedaging umur satu
hari (DOC) Strain Cobb 500 yang diacak ke dalam 5 perlakuan (KP, KO, K1, K2,
K3) dengan 4 ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri atas 4 ekor.
Sebelum DOC dimasukkan kedalam kandang sesuai dengan perlakuan,
dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobot badan awal dari masing-masing
DOC kemudian dilakukan random (pengacakan) pada DOC yang bertujuan
memperkecil nilai keragaman. Lalu DOC dimasukkan sebanyak 4 ekor per
kandang.
Kandang terbuat dari kayu berukuran 1m x 1m x 1m dengan lantai diberi
sekam padi kering (umur 1 hari -14 hari ), dilengkapi dengan tempat pakan dan
minum serta dilengkapi dengan 1 buah lampu pijar berkekuatan 60 Watt untuk
masing - masing kandang.
Sebagai pencegahan terhadap penyakit Tetelo (New Castle Disease)
diberikan vaksinasi ND Strain Hitchner B1 yang dilakukan melalui tetes mata
pada ayam umur empat hari, kemudian vaksinasi IBD (Gumboro) pada umur 12
hari melalui air minum, dan selanjutnya pengulangan vaksinasi ND Strain Lasota
pada umur tiga minggu melalui tetes mata.
Pada umur 23 hari, lima perlakuan ayam (KP,KO,K1,K2,K3) diinfeksi
dengan Eimeria tenella masing-masing sebanyak 10.000 ookista/ekor per oral.
Lima (5) hari pasca diinfeksi Eimeria tenella, diberikan perlakuan berupa larutan
istirahat (tidak diberi) 2 hari, lalu diberi kembali selama 3 hari (sistem 3-2-3),
begitu juga dengan pemberian koksidiostat Coxymas (sesuai petunjuk dari
PT.Mensana).
Penentuan Jumlah Ookista per Gram Ekskreta
Enam (6) hari pasca diinfeksi Eimeria tenella, ekskreta ayam ditampung
setiap hari. Pada masing – masing perlakuan diambil ekskreta sebanyak 2 sampel
perkandang, kemudian dikoleksi dan dipisahkan berdasarkan perlakuan
masing-masing selama 1 minggu. Ekskreta ditimbang sebanyak 1 gram yang kemudian
dilarutkan ke dalam 29 ml larutan garam jenuh, disentrifuge selama 10 menit
dengan kecepatan 1500 rpm. Setelah disentrifuge, bagian atas supernatan (bening)
diambil menggunakan pipet Pasteur kemudian diteteskan pada kedua sisi kamar
hitung Mc Master. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran
10 x10 (Alamsari, 2000). Jumlah ookista yang ditemukan dalam sepuluh lapangan
pandang kemudian dihitung, dijumlahkan, lalu dirata-rata.
Penghitungan ookista dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Mc
Master dengan rumus sebagai berikut :
OPG (N) = Ookista hasil pengamatan x 100 2
Keterangan : OPG = Ookista Per Gram
Penentuan SLS (Skor Lesi Sekum)
Skor lesi sekum (SLS) ditentukan berdasar perubahan patologi-anatomi
berupa derajat kerusakan dari sekum ayam yang terinfeksi menurut metoda
Johson and Reid (1970). Hari ke-13 pasca infeksi Eimeria tenella, semua
ditandai dengan adanya perdarahan yang hebat, penebalan dinding sekum dan
nekrotik. Sebaran nilainya berkisar antara 0-4, dimana nilai skor 0 untuk keadaan
normal dan skor 4 untuk kerusakan sekum yang parah sesuai dengan metode
Johnson dan Reid (1970). Penentuan nilai perlukaan sekum dan produksi ookista
hanya dilakukan oleh satu orang untuk menghindari bias.
Pemeriksaan Differensiasi Leukosit a. Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada ayam
umur 27 hari, 30 hari, dan 35 hari, dan pada masing-masing perlakuan diambil 2
sampel perkandang. Pengambilan darah dilakukan pada Vena brachialis.
b. Cara Pembuatan Ulas Darah Tipis
Gelas obyek 1 ditetesi darah sampel, kemudian ujung gelas obyek 2
disentuhkan ke preparat darah pada gelas obyek 1 dan dibiarkan mengalir melalui
ruang kapiler dari gelas obyek 2. Posisi antara kedua gelas obyek membentuk
sudut 450. Dengan segera gelas obyek 2 digeser dengan gerakan langsung dan
dihindari penekanan yang berlebihan. Setelah itu preparat difiksasi dengan
methanol lalu diwarnai dengan Giemsa 10% (Piatina, 2001).
c. Pemeriksaan Sampel Darah
Preparat ulas darah tipis diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran
10 x100 menggunakan minyak emersi. Dalam satu preparat dihitung 100 Leukosit
dan dibedakan jenis-jenisnya (diferensiasi dari leukosit tersebut kemudian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Semua hewan percobaan selama penelitian tidak ada yang mati termasuk
hewan kontrol, karena diinfeksi di bawah lethal dosis (50.000-100.000 ookista).
Ookista per Gram Ekskreta
Ookista merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada
stadium seksual. Sesudah fertilisasi zigot akan membentuk ookista. Ookista E.
tenella akan keluar bersama ekskreta dalam keadaan belum bersporulasi, dan akan
bersporulasi dalam waktu 1-2 hari setelah mendapatkan oksigen, suhu yang
sesuai, dan lingkungan yang lembab (Tampubolon, 1992). Rata-rata produksi
ookista per gram ekskreta yang ditampung selama tujuh hari pada ayam yang
terinfeksi E.tenella dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam Yang Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra)
Perlakuan
Pengamatan pada hari ke- (pasca infeksi)
6 7 8 9 10 11 12
KP 9425a
9463 12725a 12950a 11163a 8600a 6363a
KO 3925b 8138 9000a 7800bc 5175b 3350b 2988ab
K1 7888ab 8475 12725a 7950bc 5400b 3675b 4338ab
K2 4025b 4988 3838b 3488c 2875b 3250b 1625b
K3 3725b 7575 9900a 9980ab 7188ab 4675b 3313ab
0
Gambar 5.Rata-rata Produksi Ookista Per Gram (OPG) Ekskreta Pada Ayam Yang Terinfeksi E.tenella Setelah Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra)
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada hari ke-6 pasca infeksi terlihat rata-rata
produksi ookista tertinggi pada perlakuan KP (9425), sedangkan terendah pada
perlakuan K3 (3725). Hasil analisis statistik dengan menggunakan Anava
(Analisis Varian) menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe merah
memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) dalam menurunkan produksi ookista
pada ayam pedaging yang terinfeksi E. tenella. Hal ini terlihat dari hasil perlakuan
K1,K2,K3 < kontrol positif (KP). Sedangkan perlakuan obat koksidiostat (KO)
memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan perlakuan larutan
jahe merah 1% (KO=K2=K3).
Selanjutnya pada hari ke-7 dan ke-8 pasca infeksi, hasil analisis statistik
dengan menggunakan Anava menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata (P>0,05) diantara perlakuan KP,KO,K1,K3. Jumlah ookista keempat
perlakuan mengalami peningkatan. Maudya (1994) menyatakan bahwa pada hari
ke-6 dan ke-7 setelah infeksi produksi ookista akan meningkat kembali karena
pada hari tersebut perdarahan sudah agak berkurang. Namun, keempat perlakuan
tersebut (KP,KO,K1,K3) berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan K2 (pada hari
ke-8). Perlakuan K2 memproduksi ookista lebih sedikit dibanding perlakuan lain.
Pada hari ke-9 pasca infeksi, hasil analisis statistik dengan menggunakan
Anava menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antara
perlakuan KO,K1,K2 dengan kontrol positif (KP). Sedangkan perlakuan K3 masih
terus mengalami peningkatan jumlah ookista, dan perlahan-lahan menurun sampai
dengan hari ke-12. Namun secara statistik, perlakuan K3 tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan perlakuan kontrol positif (KP).
Pada hari ke-10 dan ke-11 pasca infeksi, terdapat perbedaan yang nyata
(P<0,05) antara perlakuan KO,K1,K2,K3 dengan kontrol positif (KP). Puncak
sekresi / pengeluaran ookista pada hari ke-8 dan jumlah ookista akan menurun
pada hari ke-9 sesudah infeksi. Selanjutnya akan berangsur-angsur menurun pada
hari ke-11, tampak ookista tinggal sedikit tetapi kemungkinan masih tetap
ditemukan dalam tinja sampai beberapa bulan sesudah infeksi (Reid et al., 1984).
Ookista yang tertinggal dalam tubuh ayam akan berfungsi sebagai stimulant untuk
membentuk kekebalan. Sebaliknya dosis yang tinggi yaitu 50.000 ookista
Pada hari ke-12 pasca infeksi, hasil analisis statistik dengan menggunakan
Anava menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) antara
perlakuan obat koksidiostat (KO) dengan perlakuan jahe merah (K1,K2,K3)
dalam menurunkan produksi ookista. Sedangkan perlakuan K2 berbeda nyata
(P<0,05) dengan perlakuan kontrol positif (KP). Perlakuan K2 (larutan jahe merah
yang diekstrak menggunakan ethanol dengan konsentrasi 1%) cenderung
mengalami penurunan produksi ookista mulai hari ke-8 sampai dengan hari ke-12.
Adanya penurunan produksi ookista dengan pemberian larutan jahe merah
menggunakan ethanol menunjukkan adanya aktivitas antikoksi. Aktivitas
antikoksi ekstrak jahe tergantung pada cara pengolahan dan kandungan kimianya
(Goto et al, 2005).
Jahe merah mengandung komponen bioaktif berupa oleoresin dan
gingerol. Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang berinteraksi dengan sel
protozoa melalui proses adsorbsi dengan melibatkan ikatan hidrogen. Fenol pada
kadar rendah berinteraksi dengan protein membentuk kompleks protein fenol.
Ikatan antara protein dan fenol adalah ikatan yang lemah dan segera mengalami
peruraian. Fenol yang bebas, akan berpenetrasi kedalam sel, menyebabkan
presipitasi dan denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi
protein sehingga membran sel mengalami lisis (Juliantina et al, 2008).
Daya antikoksi terhadap ookista E.tenella terjadi melalui lisisnya
memberan sel E.tenella. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat (Achyad dan
Rosyidah, 2000) yang menyatakan bahwa oleoresin dan gingerol bersifat anti
sediaan asal herbal dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya tempat tumbuh,
waktu panen, cara ekstraksi dan pelarut yang digunakan.
Perlakuan yang diberikan obat antikoksi akan lebih cepat bekerja
menurunkan produksi ookista. Jahe merah dapat memperbaiki pencernaan, proses
yang terjadi adalah terangsangnya selaput lendir perut dan usus oleh minyak jahe.
Selain itu, jahe merah akan merangsang dan melancarkan peredaran darah (Karya
Tani, 2009).
SLS (Skor Lesi Sekum)
Koksidiosis merupakan infeksi protozoa intraseluler. Infeksi oleh Eimeria
tenella sebagai penyebab koksidiosis akan senantiasa berimplikasi pada kerusakan
sel epitel jaringan usus, khususnya pada bagian mukosa dan submukosa sekum
(Iskandar, 2006). Hasil pengamatan skor lesi sekum pada ayam pedaging tertera
pada Tabel 9.
Tabel 9.Rataan Persentase Skor Lesi Sekum Pada Ayam Pedaging Umur 35 Hari
Perlakuan Ulangan Rataan ± SDtn
1 2 3 4
KP 0.5 1 0.5 0.25 0,56 ± 0,31
KO 0.75 0.5 0.25 0.5 0,50 ± 0,20
K1 1 0.5 0.25 0.5 0,56 ± 0,31
K2 0.5 0.25 0.75 0 0,37 ± 0,32
K3 0.5 0.5 0.5 0.5 0,50 ± 0,00
Keterangan : tn = tidak nyata
Hasil analisis statistik dengan menggunakan Anava menunjukkan bahwa
pemberian larutan jahe merah memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05)
dalam menurunkan skor lesi sekum pada ayam pedaging yang terinfeksi E.tenella.
KP (kontrol positif) dan K1 yaitu sebesar 0,56%, sedangkan rataan skor lesi
sekum terendah (ringan) pada perlakuan K2 (larutan jahe merah yang diekstraksi
menggunakan ethanol) yaitu sebesar 0,37%. Hal ini berarti bahwa pemberian jahe
merah efektif dan memberi respon dalam mencegah kerusakan jaringan /
perdarahan pada sekum ayam pedaging.
Selain itu, cara pengolahan herbal dan senyawa aktif oleoresin, minyak
atsiri, dan gingerol yang terdapat pada bahan baku herbal yaitu jahe merah dapat
bekerja efektif dalam menekan infeksi E.tenella. Senyawa yang terdapat pada jahe
merah telah dikenal luas dapat mengefektifkan penyerapan makanan ke dalam
tubuh dengan kandungan antioksidan yang tinggi dan daya antiradang yang kuat
(Goto et al, 2005). Hal ini juga sesuai dengan pendapat Iskandar et al (2000) yang
menyatakan bahwa infuse jahe merah sebanyak 1% dapat bermanfaat sebagai
koksidiostat pada ayam pedaging.
Gambar 6. Penilaian derajat perlukaan sekum pada ayam pedaging yang diinfeksi 10.000 ookista E.tenella per ekor. Skor 0, +1, +2, +3, dan +4
menunjukkan derajat perlukaan (skor lesi) sekum.
Berdasarkan derajat perlukaan jaringan dan perdarahan pada sekum ayam,
maka skor lesi untuk semua perlakuan masih tergolong ringan. Hal ini disebabkan
skor lesi yang ditimbulkan masih berkisar antara 0-1. Jika diurutkan berdasarkan
skor lesi sekum terendah (ringan) ke tertinggi, maka didapatkan urutan sebagai
berikut yaitu K2, KO, K3, K1, KP. Perlakuan K2 lebih ringan jika dibandingkan
dengan perlakuan KO, K3, K1,KP seperti tampak padaGambar 5.
Hal ini menunjukkan bahwa larutan jahe merah efektif mengobati lesi
pada sekum ayam. Perlakuan KP yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan perlakuan K1, K2, K3, dan KO diduga karena jumlah ookista
yang diberikan belum cukup untuk memberikan dampak pada ayam pedaging.
Selain itu, hal tersebut dimungkinkan respon tubuh ayam segera membentuk
antibodi sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan dan perdarahan pada sekum
ayam pedaging. Hal ini sesuai dengan pendapat (Endang et al, 2000) yang
menyatakan bahwa berat ringannya serangan koksidiosis dipengaruhi oleh jumlah
parasit yang menyerang (dosis infeksi), daya kebal, dan umur induk semang.
Diferensiasi Leukosit
Leukosit atau sel darah putih adalah sel yang memiliki inti dan organel.
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh. Leukosit
berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi dan kanker, serta membantu proses
penyembuhan (Corwin, 2000). Kelompok granulosit ditandai dengan terdapatnya
granula didalam sitoplasma , sedang kelompok agranulosit tidak memiliki granula
(Caceci, 1998). Hasil yang diperoleh setelah dilakukan penghitungan diferensiasi
Tabel 10. Rataan Persentase Heterofil, Basofil, Eosinofil, Limfosit, dan Monosit Pada Ayam Pedaging Yang Diinfeksi Eimeria tenella
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase heterofil tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10).
Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), terjadi perubahan yang nyata
dimana kontrol positif mengalami penurunan jumlah heterofil (Gambar 7). Infeksi
selalu memicu datangnya sel radang ke lokasi infeksi yang bertujuan antara lain
migrasi sel-sel pertahanan dari pembuluh darah ke tempat peradangan yang
ditandai dengan akumulasi sel polimorfnukleus dan makrofag (Yellita et al., 2011).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Melvin dan William (1993) bahwa heterofil
muncul di daerah peradangan dalam jumlah yang besar. Heterofil dan makrofag
merupakan bagian utama dari respon imun bawaan (innate) pada unggas (Stabbler
et al., 1994).
Sedangkan pada perlakuan KO,K1,K2,K3 mengalami sedikit penurunan
jumlah heterofil dengan persentase terendah pada KO (22,13%). Jumlah heterofil
pada perlakuan jahe merah (K1,K2,K3) cenderung mendekati nilai normal. Hal ini
terjadi karena heterofil termobilisasi untuk memasuki peredaran darah dari
sumsum tulang (Trilestari, 2001). Kemungkinan lain adalah adanya kandungan
antioksidan dalam jahe yang berkhasiat sebagai anti inflamasi (Friedli, 1997).
Secara umum persentase heterofil normal adalah 27,2% (Sturkie, 1976).
Pada hari ke-35 (8 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase heterofil
kembali meningkat, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan. Rata-rata persentase heterofil terendah pada
perlakuan K2 (25,63%), sedikit dibawah nilai normal. Dari pengamatan ookista
pada hari ke-35 menunjukkan bahwa jumlah ookista pada perlakuan K2 paling
rendah dibandingkan perlakuan lain. Hal ini mengindikasikan bahwa heterofil
yang termobilisasi dari sumsum tulang lebih banyak berada dijaringan daripada di
peredaran darah. Seperti yang dinyatakan oleh Carlson dan Allen (1969) bahwa
sel heterofil aktif memfagosit mikroorganisme baik dalam peredaran darah
0
pasca Infeksi 3 hari pasca diobati 8 hari pasca diobati
KP
KO
K1
K2
K3
Gambar 7. Persentase heterofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)
Basofil
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase basofil tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah basofil tertinggi
terdapat pada perlakuan KP (9,54%) sedangkan terendah pada perlakuan KO
(7,50%). Secara umum persentase basofil normal adalah 1,7% (Sturkie, 1976).
Pada tahap ini terlihat peningkatan basofil dalam darah. Basofil akan muncul dan
meningkat ketika terjadi infeksi. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktifitas
perbarahan dan alergi (Dharmawan, 2002).
Pada hari ke-30 dan ke-35 dimana ayam telah diobati, terjadi penurunan
jumlah basofil yang tidak signifikan pada perlakuan KO,K1,K2,K3 (Gambar 8)
dan secara statistik menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap
perlakuan. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi peradangan usus belum
sepenuhnya mereda setelah pengobatan, sehingga memicu untuk timbulnya
produksi basofil oleh sumsum tulang. Sedangkan jumlah basofil pada perlakuan
KP masih tinggi. Hal ini mungkin terjadi karena pada perlakuan tersebut masih
berlangsung siklus coccidia dan timbul peradangan. Seperti yang dinyatakan oleh
Melvin dan William (1993) bahwa di daerah peradangan, basofil memproduksi
heparin, histamine, bradykinin, serotonin, dan enzim lisosom yang membantu
melawan antigen.
pasca Infeksi 3 hari post diobati 8 hari post diobati
KP
KO
K1
K2
K3
Gambar 8. Persentase basofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)
Eosinofil
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase eosinofil tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah eosinofil tertinggi
terdapat pada perlakuan KP (10,00%) sedangkan terendah pada perlakuan K1 dan
K3 (6,50%). Secara umum persentase eosinofil normal adalah 2–8% dari jumlah
leukosit (Tizard, 1988). Pada tahap ini terlihat adanya peningkatan eosinofil pada
perlakuan KP dan jumlahnya sudah melebihi batas normal, sedangkan keempat
perlakuan lainnya normal. Hal ini mengindikasikan bahwa pada perlakuan KP
terjadi peradangan sehingga eosinofil tetap berada dalam darah untuk menuju
jaringan tempat terjadinya peradangan (Piatina, 2001).
Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase eosinofil
berbeda nyata (P<0,05) antara perlakuan KP dengan KO,K1,K2,K3. Perlakuan
yang diobati dengan koksidiostat dan larutan jahe merah masih mampu
mempertahankan jumlah eosinofil normal dalam darah walaupun telah diinfeksi
oleh E. tenella. Kandungan antioksidan dalam jahe dapat merangsang selaput
lendir usus untuk meredam peradangan (Friedli, 1997).
Pada hari ke-35 (8 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase eosinofil
tidak berbeda nyata (P<0,05) pada setiap perlakuan. Pada tahap ini peradangan
usus mulai mereda. Jumlah eosinofil pada perlakuan KO,K1,K2,K3 dalam batas
normal, sedangkan perlakuan KP masih di atas normal (Gambar 9). Hal ini
mungkin dikarenakan infeksi coccidia tanpa pengobatan mampu menggertak
keluarnya eosinofil dari sumsum tulang. Seperti yang dinyatakan oleh Melvin dan
William (1993), jumlah eosinofil dalam pembuluh darah akan meningkat dalam
kondisi alergik dan eosinofil akan bermigrasi ke daerah dimana terjadinya
0
pasca infeksi 3 hari pasca diobati 8 hari pasca diobati
KP
KO
K1
K2
K3
Gambar 9. Persentase eosinofil pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)
Limfosit
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase limfosit tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah limfosit tertinggi
terdapat pada perlakuan K1 (55,00%) sedangkan terendah pada perlakuan K3
(39,12%). Secara umum persentase limfosit normal adalah 59,1–64,6% dari
jumlah leukosit (Sturkie, 1976).
Pada ayam, limfosit paling banyak berperan dan paling banyak jumlahnya
dalam leukosit (Sturkie, 1995). Jumlah limfosit kelima perlakuan ini mengalami
penurunan. Hal ini dikarenakan ayam berusaha untuk bertahan melewati fase
perdarahan akibat infeksi. Sel limfosit berfungsi sebagai imunitas yang mampu
menyerang antigen dengan memproduksi antibodi (Sumarni, 2010).
Pada hari ke-30 (3 hari pasca pengobatan), rata-rata persentase limfosit
mengalami peningkatan pada semua perlakuan (Gambar 10). Jumlah limfosit pada
perlakuan obat dan jahe merah sudah dalam batas normal. Hal ini disebabkan
karena adanya reaksi pemberian antikoksi pada tiap perlakuan sehingga
meminimalkan jumlah antigen dalam darah yang berbanding lurus dengan jumlah
antibodi yang dihasilkan oleh limfosit. Sedangkan perlakuan KP jumlah
limfositnya melebihi batas normal (65,00%) dikarenakan infeksi tersebut
merangsang sumsum tulang untuk memproduksi limfosit dalam jumlah banyak.
Pada hari ke-35 (8 hari pasca pengobatan), perlakuan K2 (larutan jahe
merah yang diekstraksi menggunakan ethanol 1%) memperlihatkan jumlah
limfosit normal dimana perlakuan lain cenderung mengalami penurunan limfosit.
Aktivitas antikoksi ekstrak jahe tergantung pada cara pengolahan dan kandungan
kimianya (Goto et al, 2005). Jahe merah mengandung komponen bioaktif berupa
oleoresin dan gingerol. Gingerol merupakan senyawa turunan fenol yang
berinteraksi dengan sel protozoa melalui proses adsorbsi dengan melibatkan
ikatan hydrogen (Juliantina dkk, 2008).
Perlakuan KP memiliki jumlah limfosit terendah (49,88%) dibanding
perlakuan lain. Jumlah ookista pada perlakuan KP di hari ke-35 sudah mengalami
penurunan sehingga memungkinkan rangsangan terhadap produksi limfosit juga
rendah. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sumarni (2010)
dimana populasi dari limfosit dalam darah ada 2 tipe sel yaitu sel T dan sel B.
Limfosit T diperkirakan proporsinya adalah 70-75% dari seluruh jumlah limfosit
sedangkan limfosit B jumlahnya antara 10-20% dari jumlah seluruh limfosit.
Limfosit B berfungsi sebagai imunitas humoral yang mampu menyerang antigen
dengan memproduksi antibodi. Limfosit T berperan sebagai sel imunitas yang
diperoleh dari pembentukan limfosit teraktivasi yang mampu menghancurkan
ke-8 dan ke-9 dimana produksi ookista mencapai puncaknya, maka ayam-ayam akan
menuju kesembuhan dengan sendirinya (Soulsby, 1982).
0
Gambar 10. Persentase limfosit pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)
Monosit
Pada hari ke-26 (pasca infeksi), hasil analisis statistik menggunakan
Anava menunjukkan bahwa rata-rata persentase monosit tidak berbeda nyata
(P>0,05) pada setiap perlakuan (Tabel 10). Persentase jumlah monosit tertinggi
terdapat pada perlakuan K2 (3,37%) sedangkan terendah pada perlakuan K3
(2,13%). Secara umum persentase monosit normal adalah 8,9-10,2% dari jumlah
leukosit (Sturkie, 1976). Pada tahap ini terlihat penurunan jumlah monosit dalam
darah. Hal ini terjadi karena monosit sudah bermigrasi ke dalam saluran
pencernaan tempat terjadinya peradangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kende
(1982) yang menyatakan bahwa sejumlah faktor kemotaksis berperan pada
monosit dan menyebabkan mereka bermigrasi ke dalam jaringan.
Pada hari ke-30 dan ke-35 dimana ayam telah diobati, tampak bahwa
jumlah monosit kelima perlakuan (KP,KO,K1,K2,K3) masih dibawah batas
normal (Gambar 11) dan secara analisis statistik menggunakan Anava
menunjukkan bahwa hasil tidak berbeda nyata (P>0,05) pada setiap perlakuan.
Hal ini dikarenakan monosit lebih sedikit di peredaran darah dan lebih banyak
berada disaluran pencernaan tempat terjadinya peradangan. Selama peradangan,
monosit akan membesar, menyebar lebih cepat dan mengalami peningkatan fungsi
metabolik. Monosit sebagai respon peradangan terutama menelan dan membunuh
mikroorganisme dan merupakan garis pertahanan kedua setelah heterofil (Ganong,
1995). Aktifitas fagositosis dari monosit tergantung pada bahan yang akan
difagosit (Tizard, 1988).
Sebelum diobati 3 hari pasca diobati 8 hari pasca diobati
KP
KO
K1
K2
K3
Gambar 11. Persentase monosit pada ayam yang terinfeksi E.tenella setelah pemberian larutan jahe merah yang diamati selama 3 kali pengambilan (pada ayam umur 26 hari, 30 hari, dan 35 hari)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
a. Penggunaan jahe merah dapat menurunkan produksi ookista, jahe merah yang
diekstraksi menggunakan ethanol lebih baik dibandingkan dengan jahe merah
yang diekstraksi menggunakan air atau dalam bentuk serbuk
b. Penggunaan jahe merah menunjukkan persentase heterofil dan eosinofil
mendekati normal dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
c. Pengamatan 13 hari setelah infeksi tidak mempengaruhi nilai perlukaan
sekum, yang berarti bahwa ayam telah mengalami pemulihan.
Saran
Penggunaan jahe merah yang diekstraksi menggunakan ethanol dapat