PEMBERIAN LARUTAN JAHE MERAH (Zingiber officinallevar
rubra) DENGAN METODE PENGOLAHAN YANG BERBEDA
TERHADAP BOBOT KARKAS AYAM BROILER YANG
TERINFEKSI Eimeria tenella
SKRIPSI
Oleh: AMALUDDIN
110306033
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PEMBERIAN LARUTAN JAHE MERAH (Zingiber officinalle
var rubra) DENGAN METODE PENGOLAHAN YANG
BERBEDA TERHADAP BOBOT KARKAS AYAM BROILER
YANG TERINFEKSI Eimeria tenella
SKRIPSI
Oleh: AMALUDDIN
110306033
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
Judul Skripsi : Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinalle var rubra) dengan Metode Pengolahan yang Berbeda terhadap Karkas Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria
tenella
Nama : Amaluddin
Nim : 110306033
Program Studi : Peternakan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin M.Si Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si Ketua Anggota
Mengetahui,
Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin M.Si Ketua Program Studi Peternakan
ABSTRAK
AMALUDDIN: Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinalle var rubra) Dengan Metode Pengolahan yang Berbeda Terhadap Bobot Karkas Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria tenella, dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan NEVY DIANA HANAFI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian larutan jahe merah dengan metode pengolahan yang berbeda terhadap bobot karkas ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella.Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, Eimeria tenella diinfeksikan dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan jahe merah diberikan dengan konsentrasi 1%. Perlakuan terdiri atas KP (Kontrol); KO (Koksidiostat) dan larutan jahe merah berbentuk Serbuk (K1), Ekstrak ethanol (K2) dan Ekstrak air (K3).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella, Perlakuan menunjukkan kecenderungan bahwa perlakuan larutan jahe merah lebih baik dari pada koksidiostat dan kontrol (P = 0,0937).
ABSTRACT
AMALUDDIN: Utilitazion of Red Ginger (Zinggiber officinalle var rubra) With Different Processing Methods on Carcass of Broiler Chickens were Infected by Eimeria tenella, under supervised by MA’RUF TAFSIN and NEVY DIANA HANAFI.
This study aims to determine the administration of red ginger solution with different processing methods on carcass weight of broiler chickens were infected by Eimeria tenella. The research was conducted at Biology Laboratory, Animal Science Study Program, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, Medan. This research used completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 4 replications, Eimeria tenella were infected with a dose of 104 oocysts/ head and red ginger were aplicated at with a concentration of 1%. The treatments consist of KP (Control), KO (coccidiostat) and red ginger processed by powder ( K1 ), ethanol extract (K2) and water extract (K3).
The results showed that the treatments were not significant (P>0,05) different effect on carcas were infected by Eimeria tenella. The treatments had tendency that carcass of broiler chickens treated by red ginger/coccidiostat were highter than control (P=0,0937).
RIWAYAT HIDUP
Amaluddin, dilahirkan di Desa Baru, Kecamatan Ranah Batahan,
Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, tanggal 16 Mei 1993, merupakan
anak kedua dari dua bersaudara, anak dari Bapak Ali Ruddin dan Ibu Nur Helmi.
Masuk SMA Negeri 1 Pasaman pada tahun 2008 dan lulus pada tahun
2011 dan pada tahun yang sama memasuki perguruan tinggi pada program studi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur
SNMPTN.
Kegiatan yang pernah diikuti selama perkuliahan yaitu pernah menjadi
ketua umum Himpunan Mahasiswa Muslim Peternakan(HIMMIP) Periode
2013-2014. Sebagai Wakil Sekretaris Umum Kewirausahaan dan Pengembangan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul” Pemberian
Larutan Jahe Merah (Zingiber oficinalle var rubra) dengan Metode Pengolahan
yang Berbeda Terhadap Bobot Karkas Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria
tenella.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua
orangtua penulis yang telah membesarkan dan mendidik penulis selama ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si selaku
ketua komisi pembimbing dan Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt, M.Si selaku anggota
komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
DAFTAR ISI
Patogenitas Eimeria Tenella ... 11
Gejala Klinis ... 12
Persentase Karkas ... 20
LemakAbdominal ... 20
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 22
Bahan dan Alat Penelitian ... 22
Metode Penelitian... 23
Pelaksanaan Penelitian ... 24
Parameter Penelitian... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot Potong ... 28
Bobot Karkas ... 29
Persentase Karkas... 31
Persentase Lemak Abdominal ... 32
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 34
Saran ... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
DAFTAR TABEL
No Hal
1. Kadar Minyak Atsiri dan Oleoresin Jahe Dalam Jahe ... 17
2. Komponen Kimia Jahe (Zingiber officinale) ... 18
3. Rataan Bobot Potong Ayam Broiler Umur 35 hari (g/ekor) ... 28
4. Rataan Bobot Karkas Ayam Broiler Pada Umur 35 hari (g/ekor) ... 30
5. Rataan Persentase Karkas Ayam Broiler Umur 35 hari ... 31
DAFTAR GAMBAR
No Hal
1. Ookista Dari Genus Eimeria Yang Telah Bersporulasi ... 7
ABSTRAK
AMALUDDIN: Pemberian Larutan Jahe Merah (Zingiber officinalle var rubra) Dengan Metode Pengolahan yang Berbeda Terhadap Bobot Karkas Ayam Broiler yang Terinfeksi Eimeria tenella, dibimbing oleh MA’RUF TAFSIN dan NEVY DIANA HANAFI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian larutan jahe merah dengan metode pengolahan yang berbeda terhadap bobot karkas ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella.Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 4 ulangan, Eimeria tenella diinfeksikan dengan dosis 104 ookista/ekor dan larutan jahe merah diberikan dengan konsentrasi 1%. Perlakuan terdiri atas KP (Kontrol); KO (Koksidiostat) dan larutan jahe merah berbentuk Serbuk (K1), Ekstrak ethanol (K2) dan Ekstrak air (K3).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella, Perlakuan menunjukkan kecenderungan bahwa perlakuan larutan jahe merah lebih baik dari pada koksidiostat dan kontrol (P = 0,0937).
ABSTRACT
AMALUDDIN: Utilitazion of Red Ginger (Zinggiber officinalle var rubra) With Different Processing Methods on Carcass of Broiler Chickens were Infected by Eimeria tenella, under supervised by MA’RUF TAFSIN and NEVY DIANA HANAFI.
This study aims to determine the administration of red ginger solution with different processing methods on carcass weight of broiler chickens were infected by Eimeria tenella. The research was conducted at Biology Laboratory, Animal Science Study Program, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara, Medan. This research used completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 4 replications, Eimeria tenella were infected with a dose of 104 oocysts/ head and red ginger were aplicated at with a concentration of 1%. The treatments consist of KP (Control), KO (coccidiostat) and red ginger processed by powder ( K1 ), ethanol extract (K2) and water extract (K3).
The results showed that the treatments were not significant (P>0,05) different effect on carcas were infected by Eimeria tenella. The treatments had tendency that carcass of broiler chickens treated by red ginger/coccidiostat were highter than control (P=0,0937).
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
pemenuhan protein hewani yang ditandai dengan meningkatnya permintaan
terhadap daging ayam, menyebabkan bertumbuhnya usaha peternakan ayam
broiler, baik dengan skala besar maupun skala kecil. Hal ini menimbulkan
permasalahan yang cukup kompleks.
Permasalahan yang terjadi seperti timbulnya penyakit, harga obat komersil
yang cukup mahal dan besarnya biaya operasional. Hal ini cukup memberatkan
para pelaku usaha peternakan khususnya peternakan ayam broiler skala kecil
ataupun peternakan tradisional. Kerugian peternak karena adanya penyakit
memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan usaha peternakan menengah
kebawah khususnya yang disebabkan oleh koksidiosis atau berak darah.
Koksidiosis merupakan salah satu penyakit parasiter pada ayam yang
banyak menyebabkan kerugian, berupa penurunan penggunaan pakan dan
hambatan pertumbuhan, sampai pada kematian. Mahalnya obat-obatan buatan
pabrik membuat biaya pencegahan dan pengobatan penyakit pada ayam pedaging
menjadi tinggi. Hal ini menuntut peternak untuk mencari alternatif atau subtitusi
obat buatan pabrik.
Jahe (Zingiber officinale) merupakan tanaman rempah yang sudah
dikenal oleh masyarakat Indonesia baik sebagai obat seperti sebagai peluruh
dahak atau obat batuk, peluruh keringat, peluruh angin perut, diare, obat rematik,
maupun sebagai bumbu penyedap masakan dan ramuan tradisional, tanaman ini
juga menjadi komoditas perdagangan sebagai bahan industri obat-obatan,
kosmetik, minuman, makanan ringan dan kebutuhan dapur. Jahe diketahui
memiliki kandungan oleoresin dan minyak atsiri sebesar 1-3%.
Tanaman obat seperti jahe diketahui mampu meningkatkan produksi
sitokin yaitu protein ekstra seluler yang berperan sebagai regulator dan
mobilisator intersel yang memiliki aktifitas anti parasit.
Berdasarkan hal diatas, maka penulis mencoba melakukan penelitian
untuk melihat pengaruh pemberian tepung jahe terhadap bobot karkas ayam
Broiler yang terinfeksi Emeria tenella.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh
pemberian larutan jahe merah (Zingiber officinale var. rubra) dengan metode
pengolahan yang berbeda terhadap ayam Broiler yang terinfeksi Eimeria tenella
yang meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan lemak
abdominal.
Hipotesis Penelitian
Pemberian larutan jahe merah (Zingiber officinale var. rubra) dapat
meningkatkan bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan lemak
abdominal pada ayam Broiler (Galus galus domesticus) yang terinfeksi Emeria
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi peneliti serta peternak maupun masyarakat pada umumnya, sehubungan
dengan pemberian larutan jahe merah untuk ayam pedaging yang terinfeksi
Eimeria tenella dalam meningkatkan bobot potong, bobot karkas, persentase
TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Broiler
Ayam broiler merupakan ternak yang memiliki peranan penting dalam
pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Permintaan terhadap
daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan
kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Dalam rangka
mengembangkan usaha ternak ayam pedaging. Peternak biasanya memberikan
ransum komersial karena ransum komersial telah memenuhi standar kebutuhan
zat-zat makanan yang telah ditetapkan (Ahmad et al., 2008).
Ayam broiler memiliki keunggulan bereproduksi yang lebih tinggi
dibandingkan ayam kampung. Ayam jenis ini merupakan hasil budidaya teknologi
peternakan melalui berbagai perkawinan silang dan seleksi yang rumit yang
diikuti dengan upaya perbaikan manajemen pemeliharaan secara terus menerus
(Abidin, 2002).
Ayam broiler merupakan ayam ras yang memiliki karakteristik ekonomi
sebagai penghasil daging dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat, konversi
pakan yang irit serta siap di potong pada usia yang relatif muda. Broiler
menghasilkan karkas dengan jaringan ikat lunak. Pada umumnya, ayam ini
dipelihara sampai berumur 5-7 minggu dan berat tubuh sekitar 1,3 kg – 1,8 kg
Koksidiosis
Penyakit koksidiosis merupakan salah satu penyakit menular yang sering
mengganggu peternakan ayam dimana pemeliharaannya dilakukan secara intensif.
Penyakit ini jarang ditemukan jika pemeliharaan ayam dilakukan secara ekstensif,
sehingga infeksi koksidia tidak sampai menimbulkan penyakit. Anak ayam yang
terserang koksidiosis akan menunjukkan gejala diare berdarah yang sering
menyebabkan kematian. Apabila dilihat kelainan pasca mati, terlihat kantong usus
buntu membengkak dan penuh berisi darah. Perdarahan yang berasal dari usus
buntu disebabkan oleh Eimeria tenella. Dengan demikian akan menimbulkan
perdarahan hebat yang dapat menyebabkan kematian. Adapun angka kematiannya
yang dapat disebabkan oleh penyakit tersebut dapat mencapai 80-90%
(Tabbu, 2000).
Koksidiosis merupakan salah satu penyakit yang banyak mendatangkan
masalah dan kerugian pada peternakan ayam. Kerugian yang ditimbulkan meliputi
kematian (mortalitas), penurunan berat badan, pertumbuhan terhambat, nafsu
makan menurun, produksi daging turun, meningkatnya biaya pengobatan, upah
tenaga kerja dan lain-lain. Kerugian yang ditimbulkan dapat menghambat
perkembangan peternakan ayam dan menurunkan produksi protein hewani, oleh
karena itu pengendalian koksidiosis pada ayam perlu mendapat perhatian
(Tabbu, 2006).
Lokasi penyakit koksidiosis pada ayam terdapat di dua tempat yaitu di
(intestinal coccidiosis) yang disebabkan oleh delapan jenis lainnya
(Jordan et al., 2001 ).
Protozoa Eimeria tenella
Klasifikasi dari protozoa penyebab penyakit koksidiosis yaitu Filum
Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Sub Kelas Coceidia, Ordo Eucoceidia, Sub ordo
Eimeriina, Famili Eimeriidae, Genus Eimeria, Spesies Eimeria tenella, Eimeria
necatrix, Eimeria maxima, Eimeria brunette, Eimeria acervulina, Eimeria Mitis,
Eimeria mivati, Eimeria praecox, dan Eimeria hagani.
Eimeria memiliki sembilan spesies yang menyerang ayam yaitu : Eimeria
tenella, E. necatrix, E. maxima, E. brunette, E. acervulina, E. mitis, E.mivati, E.
praecox, dan E. hagani. Spesies yang paling pathogen pada unggas yaitu E.
tenella, dan E. necatrix (Levine, 1978 dalam Ashadi, 1992).
Eimeria tenella memiliki siklus hidup dengan tipe monoxenous sporozoa.
Menurut Soulsby (1972) siklus hidup coccidia memiliki beberapa tahap, yaitu
tahap aseksual dan tahap seksual. Siklus hidup lebih dikenal dengan tiga stadium,
yaitu stadium skizogoni (merogoni), gametogni dan sporogoni. Stadium sporogoni
terjadi diluar induk semang dan merupakan stadium aseksual (Gordon, 1977).
Gametogoni dan skizogoni merupakan stadium yang terjadi di dalam induk
Morfologi Eimeria Tenella
Ookista berbentuk lebar, ovid lebar dan tidak ada perbedaan nyata dari
lebar kedua ujung. Ukurannya sangat bervariasi, rata-rata panjang 23 mikron dan
lebar 19 mikron. Dinding ookista halus, tidak ada mikropil pada ujung yang lebih
kecil. Didalam tinja ayam yang terinfeksi ookista Eimeria tenella tidak
bersporulasi.
Waktu yang dibutuhkan untuk bersporulasi pada suhu kamar dengan suhu
dan kelembaban yang cukup dalam waktu kira-kira 48 jam (1-2 hari). Ookista
yang bersporulasi mengandung empat sporokista dan masing-masing sporokista
mengandung dua sporozoit. Sporokista berbentuk tanpa residu dan berukuran
kira-kira lebar 7 mikron dan panjang 11 mikron. Sporokista pada ujung yang lebih
kecil terdapat sumbat berbentuk bulat kecil yang mengisi suatu lubang pada
dindingnya dan agak menonjol keluar.
Siklus Hidup Eimeria Tenella
Eimeria mengalami perkembangan siklus hidup secara lengkap di dalam
dan di luar tubuh inangnya, dan dibagi menjadi siklus aseksual dan siklus seksual.
Siklus hidup ini lebih dikenal dengan tiga stadium, yaitu stadium skizogoni,
gametogoni, dan sporogoni. Siklus aseksual merupakan stadium sporogoni dan
skizogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni. Sporogoni merupakan
stadium pembentukan spora (Tampubolon, 1996). Ookista-ookista dikeluarkan
melalui tinja, dengan ookista berisi satu sel yaitu sporon. Ookista dalam suatu
lingkungan yang lembab, temperatur tinggi, dan jumlah oksigen yang cocok akan
mengalami sporulasi (Marbun, 2006).
Ookista ini mengandung 4 sporokista yang masing-masing mengandung 2
sporozoit. Sesampainya didalam lumen usus, ookista dan sporokista akan rusak
oleh enzim pancreas, sehingga menyebabkan keluarnya sporozoit. Sporozoit
masuk kedalam epitel di sekum dan tumbuh menjadi skizon generasi pertama
didalam mukosa. Skizon generasi pertama menghasilkan 48 sporozoit dengan
lebar 1,5 mikron (Levine, 1985). Untuk dapat sporulasi, ookista membutuhkan
kondisi yang optimal, yaitu lembab, ketersedian oksigen cukup, dan suhu 26,6℃-
32,2℃ (Ashadi dan Partosoedjono, 1992).
Pada hari ketiga, merozoit-merozoit bebas dari sporozoit dan memasuki
sel-sel epitel, lalu masing-masing merozoit berkembang menjadi skizon generasi
kedua. Skizon dan merozoit generasi kedua lebih besar daripada skizon dan
merozoit generasi pertama (Levine, 1985). Setelah merozoit generasi kedua
lainnya memasuki sel epitel untuk membentuk skizon generasi ketiga. Gametosit
yang terbentuk berdiferensiasi menjadi mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina) (Muafo et al., 2002).
Inti mikrogametosit membelah dan menghasilkan banyak mikrogamet
yang bercambuk dua. Makrogametosit tumbuh membesar tetapi intinya tidak
membelah lalu membentuk makrogamet. Satu makrogamet dan satu mikrogamet
akan membentuk zigot yang berdinding tebal atau ookista yang belum
bersporulasi. Zigot dapat ditemukan didalam epitel pada hari ke tujuh setelah
penularan. Zigot yang terbentuk di epitel akan keluar memasuki lumen usus dan
bersama tinja terbawa keluar tubuh. Di alam bebas ookista mengalami sporogoni,
dan ookista tersebut dihasilkan dalam waktu beberapa hari (Levine, 1985).
Secara singkat dibawah ini merupakan siklus hidup Eimeria yang terdiri
dari stadium seksual maupun aseksual, yaitu:
1. Ookista
Merupakan hasil fertilisasi mikrogamet dan makrogamet pada stadium
seksual. Sesudah fertilisasi zigot akan membentuk ookista. Bentuknya menyerupai
telur yang lebar (Tampubolon, 1996).
Ookista Eimeria tenella tidak bersporulasi didalam tinja ayam yang
terinfeksi. Ookista lebar, berbentuk ovid lebar dan tidak ada perbedaan nyata dari
lebar kedua ujung. Ukurannya sangat bervariasi, panjang berkisar antara 14-31
mikron, lebar 9-25 mikron, dengan rata-rata panjang 23 mikron dan lebar 19
mikron. Dinding ookista halus, tidak ada mikropil pada ujung yang lebih kecil.
Ookista yang disimpan dalam suhu kamar dengan suhu dan kelembapan yang
cukup membutuhkan waktu untuk bersporulasi dalam waktu kira-kira 48 jam (1-2
hari) (Tabbu, 2006).
2. Sporokista
Merupakan hasil fertilisasi dari ookista, yang menghasilkan 2-4 sporokista
berbentuk oval memanjang, salah satu ujungnya lebih runcing dari yang lain
(Levine, 1985 dalam Piatina, 2001).
3. Sporozoit
Dilepaskan oleh sporokista berbentuk seperti koma, ukuran 1,0 x 1,5 µm
4. Tropozoit
Perkembangan sporozoit yang akan melakukan proses skizogoni
(pembelahan).
5. Skizon
Adalah tahap perkembangan tropozit yang intinya mengalami pembelahan.
Terdapat tiga macam skizogoni, skizogoni aseksual di dalam sel inang
memproduksi sejumlah merozoit. Proses ini dikenal sebagai merogoni. Ukuran
dapat mencapai maksimum 54,0 µm.
6. Merozoit
Adalah skizon yang telah mengalami pembelahan, umumnya berukuran
5-10 µm x 1,5 µm dan memiliki granular sekeliling intinya. Merozoit terlepas dari
skizon yang telah masak (Piatina, 2001).
7. Gametosit
Gametosit merupakan perkembangan dari merozoit generasi ke-2 untuk
selanjutnya berkembang menjadi makrogametosit dan mikrogametosit. Produksi
mikrogamet dan makrogamet dikenal sebagai gametogoni (Levine, 1985 dalam
Piatina, 2001). Makrogamet lebih besar dari mikrogamet dan akan berkembang
menjadi gamet betina, sedangkan mikrogamet membelah menjadi beberapa
mikrogametosit yang berkembang menjadi gamet jantan. Di bagian anterior
terdapat flagella. Saat fertilisasi makrogamet masak akan dibuahi mikrogamet
yang akan membentuk zigot untuk selanjutnya berkembang menjadi ookista.
Siklus seksual berlangsung setelah melalui siklus aseksual yaitu siklus
mikrogamet dan makrogamet bertemu didalam usus, maka akan terbentuk zigot.
Dari zigot dibentuk ookista. Ookista ini akan keluar dari tubuh bersama tinja dan
membentuk sporokista, masing-masing sporokista berisi dua sporozoit. Jika
ookista yang telah bersporulasi tersebut tertelan oleh unggas yang rentan maka
terjadi infeksi. Waktu yang dibutuhkan untuk siklus hidup Eimeria pada unggas
sangat bervariasi, berkisar antara 1-5 hari (Tampubolon, 2004).
Patogenitas Eimeria tenella
Umur yang paling peka terhadap koksidiosis yaitu pada ayam muda
berumur 4 minggu, ayam yang berumur 1-2 minggu lebih resisten walaupun
E. tenella juga dapat menginfeksi ayam yang sudah tua. Ayam yang sudah tua
umumnya memiliki kekebalan imunitas akibat sudah terinfeksi sebelumnya. Pada
umumnya koksidiosis sekum terjadi akibat infeksi berat dalam waktu tidak lebih
dari 72 jam. Pada ayam umur 1-2 minggu diperlukan 200.000 ookista untuk
menyebabkan kematian, dan untuk ayam yang berumur lebih tua diperlukan
50.000-100.000 ookista untuk menyebabkan kematian. Ookista yang bersporulasi
merupakan ookista yang infektif (Levine, 1985).
Ookista yang bersporulasi jika termakan oleh induk semang yang rentan,
maka siklus hidup akan berlangsung. Setelah masuk ke dalam saluran pencernaan,
ookista pecah kemudian mengeluarkan sporozoit, yang akan berkembang di dalam
sel epitel usus dan menyebabkan lesi pada usus dan sekum. Pendarahan mulai
terlihat pada hari ke-4 setelah infeksi. Kehilangan darah yang cukup banyak
akibat kerusakan mukosa usus dan hemoragi yang hebat pada hari ke-5 atau ke-6
hari ke-7 setelah infeksi, ayam yang kuat dapat sembuh dan bertahan hidup. Hari
ke-8 dinding sekum akan menebal diikuti regenerasi mukosa dan fibrosis,
selanjutnya sembuh beberapa waktu kemudian
(Soulsby, 1972 dalam Piatina, 2001).
Gejala Klinis
Infeksi dini koksidiosis biasanya ditunjukkan adanya feses ayam yang
berwarna coklat gambir dengan konsistensi semacam pasta atau sedikit encer. Jika
kita jeli dengan tanda tersebut, maka penanganan cepat dengan pemberian obat
koksidiosis bisa menghasilkan efek pengobatan yang optimal. Selain tanda
tersebut, gejala klinis yang ditunjukkan ayam yang terserang koksidiosis antara
lain nafsu makan turun, pertumbuhan terhambat, ayam terlihat pucat, bulunya
kusam dan depresi. Gejala klinis ayam terserang koksidiosis yaitu penurunan atau
kehilangan nafsu makan, depresi, bulu berdiri dan ayam bergerombol. Selain itu,
serangan koksidiosis akan menyebabkan ayam mengalami diare
Saat bentuk infektif Eimeria tenella termakan ayam, dimulailah siklus
hidup parasit bersel satu ini. Di gizzard (tembolok) dinding kista ookista terkikis
sehingga keluarlah sporozoit yang langsung menuju ke usus untuk
melangsungkan siklus hidupnya. Akibatnya terjadi luka, perdarahan dan
kerusakan jaringan usus. Perdarahan di usus itu disebabkan robeknya pembuluh
darah di epithel oleh schizont atau merozoit saat menembus menuju lumen usus.
Perdarahan ini biasanya terlihat pada hari ke-4 pasca infeksi dan hari ke-5-6
mati, ayam akan memasuki fase penyembuhan pada hari ke-8 sampai hari ke- 9
Gejala klinis mulai terlihat sekitar 72 jam setelah diinfeksi, dimana skizon
generasi kedua menjadi besar dan merozoit keluar dari epitel sehingga terjadi
pendarahan dalam sekum. Pendarahan pada tinja pertama-tama ditemukan pada
hari ke-4 atau hari ke-5 sesudah infeksi.Gejala klinis umum yang tampak pada
ayam yang terinfeksi koksidiosis adalah diare berdarah dan kehilangan darah
merupakan gejala akut dari infeksi Eimeria tenella yang ditandai oleh kelemahan
dan pucat, tinja berdarah berwarna coklat kekuningan, berlendir, sayap
menggantung, bulu kasar / kusam dan kotor, nafsu makan dan minum menurun,
lesu dan mata kadang-kadang tertutup, penurunan produksi telur (pada ayam
petelur), penurunan berat badan, dan terjadi kematian (Alamsari, 2000).
Kekebalan Ayam
Anak ayam yang tahan terhadap infeksi akut dari ookista yang
bersporulasi dalam jumlah besar akan membentuk antibodi terhadap Eimeria dari
jenis yang sama. Parasit yang menembus epitel lebih dalam dapat menimbulkan
kekebalan lebih besar daripada di superfisial
(Jackson et al., 1970 dalam Piatina, 2001).
Jika ayam kontak dengan ookista dalam jumlah kecil, maka ayam akan
membentuk kekebalan sendiri, namun jika ookista dalam jumlah yang banyak
maka akan menyebabkan kematian karena terjadi lesi pada usus ayam.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh atau imunitas ayam antara
mikotoksin, rusaknya organ limfoid sekunder karena infeksi bakteri, stress yang
mempengaruhi fungsi organ limfoid primer, dan efek dari nutrisi dan manajemen
yang dapat mempengaruhi organ limfoid primer maupun sekunder. Oleh karena
itu, untuk mengoptimalkan sistem kekebalan tubuh, organ limfoid penghasil
sistem kekebalan tubuh harus terus dijaga
Jahe (Zingiber officinalle)
Berdasarkan taksonomi tanaman, Jahe (Zingiber officinale) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Plantae, Divisi Pteridophyta,
SubDivisi Angiosperma, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Scitamineae, Famili
Zingiberaceae, Genus Zingiber, Spesies Zingiber officinale (Murhananto, 2000).
Tanaman ini sudah lama dikenal baik sebagai bumbu masak maupun untuk
pengobatan. Rimpang dan batang tanaman jahe sejak tahun 1500 telah digunakan
di dalam dunia pengobatan di beberapa negara di Asia (Gholib, 2008).
Tanaman jahe (Zingiber officinale rosc) termasuk dalam keluarga
tumbuhan berbunga (temu-temuan). Diantara jenis rimpang jahe, ada 2 jenis jahe
yang telah dikenal secara umum, yaitu jahe merah (Zingiber officinale var. rubra)
dan jahe putih (Zingiber officinale var.amarum) (Gholib,2008).
Jahe merupakan salah satu jenis rempah-rempah yang banyak
dibudidayakan di Indonesia. Hal ini dikarenakan iklim di Indonesia sangat sesuai
untuk pertumbuhan jahe, sehingga tanaman jahe dapat tumbuh dengan mudah.
permukaan laut, dengan lama penyinaran 2.5 - 7 bulan, suhu sekitar 25- 30℃,
pengairan lahan tanam yang baik, dan pH tanah sekitar 5,5 - 6 (Patmarani, 2007).
Morfologi Jahe
Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna
rimpangnya yaitu jahe gajah (Zingiber officinale var. roscoe) atau jahe besar, jahe
putih kecil atau jahe emprit (Zingiber officinale var. amarum), dan jahe merah
(Zingiber officinale var. rubra) atau jahe sunti. Jahe gajah berwarna hijau muda,
berbentuk bulat, beraroma kurang tajam, dan berasa kurang pedas, sehingga lebih
banyak digunakan untuk masakan, minuman, dan asinan. Jahe emprit memiliki
ukuran rimpang kecil, berbentuk sedikit pipih beraroma agak tajam, dan berasa
pedas, sehingga lebih banyak dimanfaatkan sebagai rempah-rempah, penyedap
makanan, dan bahan minyak atsiri (Diniari, 2012).
Tanaman ini merupakan tanaman tahunan dengan batang semu yang
tumbuh tegak. Tingginya berkisar antara 0,3 – 0,75 meter dengan akar rimpang
yang bisa bertahan lama di dalam tanah. Akar rimpang itu mampu mengeluarkan
tunas baru untuk mengganti daun dan batang yang sudah mati. Tanaman jahe
terdiri dari bagian akar, batang, daun dan bunga (Murhananto, 2000).
Tanaman jahe diperbanyak dengan rhizoma. Rhizoma adalah batang yang
tumbuh dalam tanah, rhizoma akan tumbuh menjadi batang sampai ketinggian 1.5
m dengan panjang daun 5-30 cm dan lebar 8-20 mm. Jahe biasanya memiliki dua
warna yaitu bagian tengah (hati) berwarna ketuaan dan bagian tepi berwarna agak
parenchym). Dalam sel daging rimpang, terdapat minyak atsiri jahe yang aromatis
dan oleoresin (Rismunandar, 1988; dalam Patmarani, 2007). Jahe dipanen ketika
batang berubah warna dari hijau menjadi kuning dan kering, yaitu sekitar umur
9-10 bulan, atau warna agak cokelat sekitar 12 bulan (Hayati, 2005).
Kandungan Jahe
Jahe merah banyak mengandung komponen bioaktif yang berupa atsiri
oleoresin maupun gingerol yang berfungsi untuk membantu di dalam
mengoptimalkan fungsi organ tubuh. Adanya kandungan vitamin dan mineral
yang terdapat di dalam rimpang jahe makin meningkatkan nilai tambah tanaman
ini sebagai jenis tanaman berkhasiat (Rismunandar, 1988). Minyak atsiri juga
bersifat anti inflamasi dan anti bakteri (Achyad dan Rosyidah, 2000).
Jahe mengandung komponen minyak yang mudah menguap (volatile oil),
minyak yang tidak mudah menguap (non volatile oil), dan pati. Minyak yang
mudah menguap biasa disebut minyak atsiri dan merupakan komponen pemberi
bau yang khas, sedangkan minyak yang tidak mudah menguap biasa disebut
oleoresin merupakan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Komponen yang
terdapat pada oleoresin merupakan gambaran utuh dari kandungan jahe, yaitu
minyak atsiri dan fixed oil atau minyak tidak menguap yang terdiri dari zingerol,
shogaol, dan resin (Paimin, 1999). Adapun kadar minyak dan oleoresin jahe
Tabel 1. Kadar minyak atsiri dan oleoresin dalam jahe
Tingkat Kematangan Jahe Minyak atsiri (%) Oleoresin (%)
Segar Jemur Oven Segar Jemur oven
Sumber : Ketaren (1985).
Komposisi kimia jahe menentukan tinggi rendahnya nilai aroma dan rasa
pedas jahe. Banyak hal yang mempengaruhi komposisi kimia jahe, diantaranya
jenis jahe, tanah tempat tumbuhnya, umur panen, penanganan dan pemeliharaan
tanaman, perlakuan pra-panen, pemanenan, dan pasca pemanenan (Rahmi, 1996).
Tabel 2. Komponen kimia jahe (Zingiber officinale)
Sumber : Koswara (1995).
Khasiat Jahe
Jahe dapat dimanfaatkan secara luas dikarenakan kandungan komponen
dalam rimpangnya sangat banyak kegunaannya, terutama sebagai bumbu masak,
pemberi aroma dan rasa masakan, minuman, serta digunakan dalam industri
farmasi, industri parfum, industri kosmetika dan lain sebagainya (Paimin dan
Murhananto, 1999). Di Indonesia, jahe digunakan sebagai bahan pembuat jamu.
Rhizoma jahe efektif untuk pengobatan nausea, salah pencernan,
kehilangan nafsu makan, dan pencegahan gejala motion sickness. Jahe
meningkatkan sekresi saliva dan cairan lambung serta meningkatkan gerak
peristaltik saluran pencernaan. Aktivitas jahe tersebut disebabkan oleh minyak
volatilnya yang mengandung sesquiterpenes zingeberene dan bisabolone serta
gingerol. Jahe juga memiliki kemampuan untuk pengobatan kimiatif, antiemetik,
antinausea, dan anti-inflamatory. Gingerol memiliki aktivitas analgesik,
antipiretik, gastroprotektif, kardiotonik, dan antihepatotoksik. Gingerol juga
memiliki efek penghambatan yang potensial pada biosintesis prostaglandin
(Kiuchi et al., 1982 dalam Bhattarai, Tran and Duke, 2001).
Bobot Potong
Bobot potong adalah bobot yang diperoleh dengan cara menimbang bobot
ayam setelah dipuasakan selama 12 jam. Bobot potong berpengaruh terhadap
bobot karkas, maka dari itu kesehatan dan pertumbuhan ayam perlu diperhatikan
dengan baik (Blakely and Bade, 1998)
Bobot potong merupakan bobot akhir sebelum ayam broiler dilepas
kepasar, maka bobot akhir sangat menentukan harga dari ayam broiler. Bobot
hidup atau bobot potong memiliki kaitan yang erat dengan pertambahan bobot
badan (Murtidjo, 1987).
Bobot Karkas
Broiler selalu ditawarkan dalam bentuk karkas,yakni ayam yang telah
disembelih dan dicabut bulunya, tanpa kaki, kepala dan jeroan. Karkas merupakan
batas pangkal leher, kaki sampai batas lutut, isi rongga bagian dalam serta darah
dan bulu (Rasyaf, 1992).
Kualitas daging dan karkas dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan
seperti genetik, spesies, bangsa, umur, ransum dan strain dan faktor sesudah
pemotongan seperti metode pemasakan, lemak intra muskular dan metode
penyimpanan (Soeparno, 1994).
Karkas yang baik berbentuk padat, tidak kurus, tidak terdapat kerusakan
kulit maupun pada daging. Pada dasarnya, mutu dan bobot karkas dipengaruhi
oleh jenis ayam, umur, bobot, kualitas maupun kuantitas makanan
(Siregar et al., 1980).
Persentase Karkas
Menurut Kartadisastra (1998) dalam Purba (2002) bahwa persentase
karkas dapat diperoleh dengan membandingkan bobot karkas dengan bobot
potong setelah ternak dipuasakan. Persentase karkas merupakan faktor yang
penting untuk menilai produksi ternak pedaging, karena sangat erat kaitannya
dengan bobot hidup, semakin tinggi bobot hidup maka produksi karkas semakin
meningkat (Murtidjo, 1987).
Bobot karkas normal adalah antara 60-75 % dari berat tubuh. Dengan
persentase karkas merupakan perbandingan antara bobot karkas dengan bobot
potong dikalikan 100% (Siregar, 1994).
Lemak Abdominal
Lemak abdominal merupakan lemak yang terdapat disekitar perut atau
bawah kulit (subkutan). Lemak rongga tubuh terdiri dari lemak dinding abdomen,
lemak rongga dada dan lemak pada alat pencernaan. Penimbunan lemak
merupakan hasil ikutan yang cenderung meningkat dengan bertambahnya umur
dan berat badan ayam (Rasyaf, 2000).
Menurut Wahyu (1992), yang menyatakan bahwa lemak karkas dapat
meningkat jika energi yang dikonsumsi lebih tinggi daripada energi yang
digunakan untuk pertumbuhan dan perkembngan. Kelebihan ini dapat diubah
menjadi lemak tubuh.
Sembiring (2001), menyatakan bahwa tinggi rendahnya kualitas karkas
ayam broiler ditentukan dari jumlah lemak abdominal yang terdapat dari ayam
broiler tersebut. Karkas yang baik harus mengandung daging yang banyak, bagian
yang dimakan harus baik dan mengandung kadar lemak yang rendah.
Menurut Haris (1997), yang menyatakan perlemakan tubuh diakibatkan
oleh konsumsi energi yang berlebih yang disimpan dalam jaringan tubuh yaitu
pada intramuscular, subkutan dan abdominal.
Tilman et al (1986), menyatakan bahwa kelebihan energi pada ayam akan
menghasilkan karkas yang mengandung lemak lebih tinggi dan rendahnya
konsumsi menyebabkan lemak dan karbohidrat yang disimpan dala glikogen
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2015.
Dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Nutrisi dan Bahan Pakan Ternak
Fakultas Pertanian dan Laboratorium Biologi Ternak Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara Medan.
Bahan dan Alat Bahan
Ayam pedaging umur 1 hari (DOC) Strain Cobb 500 sebanyak 80 ekor
yang berasal dari PT. Charoen Pokphand Jaya Farm, pakan selam penelitian,
Rodalon, Formalin, Etanol, Vaksin ND dan Gumboro, Jahe Merah (Zingiber
officinale var rubra), Air kran bersih / Aquades, Isolat Eimeria tenella, gula
merah, Koksidiostat.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Cawan porselin
(mortar), penapis atau saringan, timbangan salter skala 5 kg dengan ketelitian 0,01
g, mesin penggiling, terpal plastik, oven, alat suntik (spuit), kantung plastik, gelas
ukur, oven, alat hitung, kertas label, spidol, kandang percobaan dengan ukuran
1x1x1 m, termometer, tempat pakan dan minum ayam, dan lampu pijar 60 Watt
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) yang terdiri atas lima perlakuan dan empat ulangan.Perlakuan yang diteliti
menggunakan Eimeria tenella dengan dosis 104 ookista/ekor ,serta konsentrasi
larutan jahe merah dan koksidiostat masing-masing 1%, yaitu sebagai berikut:
KP : Kontrol
KO : Koksidiostat (1,5 g/kg bobot badan)
K1 : Serbuk jahe merah (1%)
K2 : Ekstrak ethanol (1%)
K3 : Ekstrak air (1%)
Tata letak kandang percobaan
KPU4 KPU3 KPU2 KPU1
KOU4 KOU3 KOU2 KOU1
K1U4 K1U3 K1U2 K1U1
K2U4 K2U3 K2U2 K2U1
Pelaksanaan Penelitian Isolat Eimeria tenella
Isolat Eimeria tenella diperoleh dari koleksi yang dimiliki oleh Bbalitvet
(Balai Besar Penelitian Veteriner), Bogor.
Pembuatan Larutan Jahe Merah
Dalam pembuatan larutan jahe merah, penelitian ini menggunakan 3
macam pengolahan jahe yang nantinya akan digunakan sebagai larutan. Adapun
bentuk pengolahan jahe yang dimaksud adalah serbuk jahe, ekstrak jahe
menggunakan ethanol, dan ekstrak jahe menggunakan air.
a. Serbuk Jahe
Jahe merah diperoleh dari Pasar kota Medan. Jahe merah segar dicuci
kemudian disayat tipis-tipis dan dikeringkan dalam oven pada temperatur 370C
selama 48 jam sampai kering, lalu dibuat serbuk dengan cara digiling
(Iskandar et al., 2000), kemudian dicampurakn dengan air sehingga diperoleh
larutan dengan konsentrasi 1%
(Depkes.RI. 1979 dikutip dari Iskandar et al, 2000).
b. Ekstraksi Jahe Menggunakan Ethanol
Rimpang jahe merah segar yang sudah dibersihkan dikeringkan dengan
oven blower (40-60o C) selama 30-36 jam hingga diperoleh jahe kering dengan
kadar air 8-11%. Jahe kering digiling kemudian disaring sehingga dihasilkan
bubuk jahe berukuran 30 mesh. Sebanyak 250 gram bubuk jahe di ekstrak 4 kali
dengan menggunakan pelarut etanol (500 ml). Ekstrak yang diperoleh disaring
dalam tabung rotavapor yang telah ditimbang, kemudian disuling dengan
rotaryvacum-evaporator. Penyulingan dihentikan setelah pelarut berhenti
menetes, maka didapatkan oleoresin yang konsistensinya semi padat berwarna
coklat muda sampai dengan coklat tua. Selanjutnya dilakukan penimbangan
terhadap oleoresin yang dihasilkan dalam labu rotavapor. Larutan ekstrak jahe
merah menggunakan ethanol dibuat dengan konsentrasi 1%.
c. Ekstraksi Jahe Menggunakan Air
Ekstraksi jahe merah menggunakan air sebagai larutan pengekstrak.
Ekstraksi jahe dilakukan terhadap bubuk jahe. Setiap 25 g serbuk jahe
membutuhkan 125 ml air. Ekstraksi dilakukan sebanyak 4 kali. Untuk
memperoleh ekstrak jahe, filtrat dikeringbekukan sehingga pelarut dan air yang
ada menguap. Larutan ekstrak jahe merah menggunakan air dibuat dengan
konsentrasi 1%.
Parameter Penelitian 1. Bobot Potong( g )
Bobot potong adalah bobot yang didapat dengan cara penimbanganbobot
ayam setelah dipuasakan selama 12 jam.
2. Bobot Karkas ( g )
Diperoleh dari hasil penimbangan karkas yaitu hasil penimbangan dari
daging bersama tulang ayam hasil pemotongan yang telah dipisahkan dari kepala
sampai batas pangkal leher dan dari kaki sampai batas lutut, isi rongga perut,
3. Persentase Karkas ( % )
Diperoleh dari bobot karkas segar dibandingkan dengan bobot potong
dikalikan dengan 100 %.
4. Lemak Abdominal ( % )
Diperoleh dari hasil penimbangan lemak yang terdapat disekitar rongga
perut dan sekitar ovarium ( g ) kemudian dibandingkan dengan bobot potong
dikali dengan 100 %.
Alur Penelitian Prosedur Kerja
Pembuatan Larutan Jahe
Dibagi secara acak menjadi 5 perlakuan
80 ekor ayam Uji In Vivo
- serbuk jahe merah - ekstrak jahe merah
menggunakan ethanol - ekstrak jahe merah
menggunakan air
KP
Pada hari ke-23, 5 perlakuan ayam diinfeksi
E.tenella)
E.tenella diinfeksi masing-masing sebanyak 10.000 ookista/ekor per oral
Hari ke-5 pasca diinfeksi E.tenella, diberikan perlakuan berupa Larutan Jahe Merah
sebanyak 1 ml/ekor per oral (sistem 3-2-3)
Hari ke-9 pasca diinfeksi E.tenella, semua kelompok ayam dipotong dan di timbang bobot potong, bobot karkas, lemak
abdominal serta dihitung persentase karkas Setelah 3 hari diberikan perlakuan, lalu di beri jeda perlakuan selama 2 hari
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bobot Potong
Bobot potong merupakan bobot ayam broiler yang ditimbang setelah
dipuasakan selama 12 jam. Rataan bobot potong ayam broiler yang terinfeksi
Eimeria tenella pada umur 35 hari dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan bobot potong ayam broiler umur 35 hari (g/ekor)
Ket: tn= tidak berbeda nyata
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil rataan bobot potong ayam broiler umur
35 hari tertinggi pada perlakuan K2 (ekstrak ethanol) yaitu sebesar 1572,88
g/ekor, sedangkan rataan bobot potong ayam broiler terendah terdapat pada
perlakuan KP (kontrol) yaitu sebesar 1495,00 g/ekor.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe
merah memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap bobot
potong ayam broiler umur 35 hari. Secara statistik menunjukkan bahwa analisis
keragaman bobot potong ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella relatif sama
atau tidak ada perbedaan yang mencolok dari semua perlakuan. Secara umum
ayam broiler yang diberikan koksidiostat atau jahe merah memiliki bobot potong
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler yang tidak diberikan
koksidiostat maupun jahe merah pada ayam broiler yang terinfeksi Eimeria
Perlakuan Ulangan Rataan ±SDtn
tenella. Dari uji lanjut (Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan, pada
taraf (P=0,0937) menunjukkan bahwa ada pola kecenderungan yang
memperlihatkan bahwa bobot potong ayam broiler yang diberikan perlakuan
larutan jahe merah lebih tinggi dari pada perlakuan koksidiostat dan kontrol atau
tanpa perlakuan.
Jika diurutkan berdasarkan bobot potong dari yang tertinggi ke yang
terendah, maka didapatkan urutan sebagai berikut, yaitu K2, K3, K1, KO dan KP.
Interval antara KO dengan KP yaitu sebesar 47,75 g, K1 dengan KP sebesar 51,42
g, dan K2 dengan KP sebesar 77,88 g, K3 dengan KP sebesar 62,65 g.
Perbedaan bobot potong yang tidak signifikan diduga karena jumlah
ookista yang diberikan belum cukup untuk memberikan dampak pada ayam
broiler. Jahe merah mengandung komponen bioaktif yang berupa oleoresin dan
gingerol yang berfungsi untuk membantu mengoptimalkan fungsi organ tubuh
yang kurang baik karena infeksi Eimeria tenella, sehingga tidak berdampak secara
langsung terhadap penyerapan nutrisi dan bobot potong ayam broiler. Hal ini
sesuai dengan pernyataan ( Achyad dan Rosyidah, 2000 ) yang menyatakan
bahwa oleoresin dan gingerol bersifat anti inflamasi dan anti bakteri.
Bobot Karkas
Bobot karkas merupakan bobot ayam broiler setelah dipisahkan kepala
sampai batas pangkal leher, kaki sampai batas lutut tanpa isi rongga bagian dalam,
sel darah dan bulu. Berikut merupakan rataan bobot karkas ayam broiler yang
Tabel 4. Rataan bobot karkas ayam broiler pada umur 35 hari (g/ekor)
Ket: tn= tidak berbeda nyata
Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil rataan bobot karkas ayam broiler umur
35 hari tertinggi pada perlakuan K2 (ekstrak ethanol) yaitu sebesar 1188,67
g/ekor, sedangkan rataan bobot karkas ayam broiler terendah terdapat pada
perlakuan KP ( kontrol ) yaitu sebesar 1155,17 g/ekor.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe
merah memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap bobot
karkas ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella. Namun pada uji
lanjut(Duncan’s Multiple Range Test) yang dilakukan, menunjukkkan bahwa
pada (P = 0,0673) bobot karkas yang diberikan perlakuan larutan jahe merah dan
koksidiostat lebih tinggi dari pada bobot karkas tanpa perlakuan. Hal ini
disebabkan karena senyawa pada jahe merah memiliki fungsi anti inflamasi,
sehingga ayam broiler yang diberikan larutan jahe merah memiliki tingkat
morbiditas yang rendah. Lesi yang terjadi pada dinding usus dapat mengurangi
efisiensi pencernaan yang mengakibatkan nutrisi yang ada pada pakan tidak
terserap dengan sempurna.
Jika diurutkan berdasarkan bobot karkas dari yang tertinggi ke yang
terendah, maka didapatkan urutan sebagai berikut, yaitu K2, K3, KO, K1 dan KP.
Perlakuan Ulangan Rataan ±SDtn
1 2 3 4
Interval antara KO dengan KP yaitu sebesar 24,5 g, K1 dengan KP sebesar 11,66
g, dan K2 dengan KP sebesar 33,5 g, antara K3 dengan KP sebesar 25,39 g.
Persentase Karkas
Persentase karkas adalah hasil yang diperoleh dari bobot karkas dibagi
bobot hidup dan dikali seratus persen.
Adapun rataan persentase karkas ayam Broiler umur 35 hari dapat dilihat
pada Tabel 5
Tabel 5. Rataan persentase karkas ayam broiler umur 35 hari(%)
Perlakuan Ulangan Rataan±SDtn
1 2 3 4
Ket: tn= tidak nyata
Tabel 5 menunjukkan bahwa rataan persentase karkas ayam broiler
tertinggi pada perlakuan KO (koksidiostat) yaitu sebesar 76,12 %. Sedangkan
persentase karkas terendah terdapat pada perlakuan KP (kontrol) yaitu sebesar
74,81 %.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe
merah terhadap ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella memberikan
pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap persentase karkas ayam
broiler. Namun pada uji duncan yang dilakukan pada (P = 0,9792) menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian koksidiostat memiliki persentase karkas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan larutan jahe merah dan kontrol. Persentase
menurut (Siregar, 1994 ) bobot karkas normal berkisar antara 60 – 75 % dari berat
potong.
Jika diurutkan berdasarkan persentase karkas dari yang tertinggi ke yang
terendah, maka didapatkan urutan sebagai berikut, yaitu KO, K2, K3, K1 dan KP.
Interval antara KO dengan KP yaitu sebesar 1,31 g, K1 dengan KP sebesar 0,21 g,
dan K2 dengan KP sebesar 0,81 g, antara K3 dengan KP sebesar 0,39 g.
Persentase Lemak Abdominal
Persentase lemak abdominal merupakan hasil penimbangan lemak yang
terdapat disekitar rongga perut dan disekitar ovarium (g), kemudian dibandingkan
dengan bobot potong dan dikali dengan 100%. Berikut ini merupakan rataan
persentase lemak abdominal ayam broiler umur 35 hari.
Tabel 6. Rataan persentase lemak abdominal ayam broiler umur 35 hari(%)
Perlakuan Ulangan Rataan±SDtn
1 2 3 4
Ket: tn= tidak nyata
Tabel 6 menunjukkan hasil rataan persentase lemak abdominal ayam
broiler umur 35 hari tertinggi terdapat pada perlakuan KO (koksidiostat) yaitu
sebesar 1,42 %, sedangkan rataan persentase lemak abdominal terendah terdapat
pada perlakuan K2 (ekstrak ethanol) yaitu sebesar 1,06 %.
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian larutan jahe
merah terhadap ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella memberikan
abdominal ayam broiler. Ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella dan
diberikan larutan jahe merah memiliki persentase lemak abdominal yang lebih
rendah jika dibandingkan dengan pemberian koksidiostat, namun lebih tinggi jika
tidak diberikan jahe merah maupun koksidiostat. Secara statistik persentase lemak
abdominal pada setiap perlakuan cukup rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Waskito, 1983) yang menyatakan bahwa berat lemak abdominal berkisar
2%-2,5% dari bobot karkas, bahkan dapat mencapai 5-6%..
Jika diurutkan berdasarkan persentase lemak abdominal dari yang tertinggi
ke yang terendah, maka didapatkan urutan sebagai berikut, yaitu KO, K1, KP, K3
dan K2. Interval antara KO dengan K2 yaitu sebesar 0,36 g, K1 dengan K2
sebesar 0,33 g, dan K3 dengan K2 sebesar 0,12 g, antara KP dengan K2 sebesar
0,15 g. Data diatas menunjukkan bahwa lemak abdominal pada perlakuan K2
lebih rendah daripada perlakuan lainnya.
Rasa pedas yang ada pada jahe merah dapat menurunkan lemak abdominal
pada ayam broiler yang terinfeksi Eimeria tenella. Jahe merah mengandung zat
bioaktif yaitu minyak atsiri yang dapat merangsang keluarnya getah pankreas
dimana getah pankreas mengeluarkan enzim lipase yang dapat memecah asam
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian jahe merah menggunakan tiga metode pengolahan yang
berbeda dengan kosentrasi 1% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata
terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas dan persentase lemak
abdominal ayam broiler.
Saran
Disarankan untuk penelitian lebih lanjut agar menggunakan dosis ookista
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Meningkatkan produktivitas ayam ras pedaging. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Achyad D.E. dan , R. Rasyidah. 2000. Teki Cyperus Rotundus L. PT Asiamaya. Indonesia. Jakarta.
Ahmad dan Elfawati., 2008. Performans Ayam Broiler Yang Diberi Sari buah Mengkudu (Morinda citrifolia). Jurnal Peternakan, Vol.5 (1) Februari 2008 (10-13). Fakultas Pertanian Dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim. Pekanbaru-Riau.
Alamsari, O.S., 2000. Pengaruh Larutan Lempuyang Wangi (Zingiber aromaticum val) Terhadap Produksi Ookista Eimeria spp Pada Ayam. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ashadi G, S. Partosoedjono.1992. Penuntun Laboratorium Protozoologi 1. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bhattarai, S, VH Tran & CC Duke., 2001. Stability of Gingerol and Shogaol in Aqueous Solutions. Journal of Pharmaceutical Sciences, Vol.90, 1658-1664.
Blakely, J. And D. H. Bade, 1998.Ilmu Perternakan. Edisi Keempat. UGM Press, Yogyakarta.
Dep. Kes. RI . 1979 . Farmakope Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Ed. III. Jakarta. hal. 12-13 .
Diniari, A., 2012. Peningkatan Mutu Dan Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik Pada Industri Rumah Tangga Pangan Minuman Jahe Merah Instan Di Desa Benteng, Ciampea, Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gholib. 2008. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol Jahe Merah (Zingiber officinale
var. rubrum) dan Jahe Putih (Zingiber officinale var. amarum) Terhadap
Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.
Haris, A., 1997. Pengaruh Imbangan Protein-Energi Dalam Ransum dan Strain yang Bebeda Terhadap Berat Karkas dan Lemak Abdominal pada Ayam Pedaging. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian USU, Medan.
Hayati, E. K., 2005. Pemilihan Metode Pemisahan Untuk Penentuan Konsentrasi Gingerol dan Pola Respon Fourier Transform Infrared Pada Rimpang Jahe Emprit (Zingiber officinale Roscoe). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
http://info.medion.co.id/index.php/versi-cetak/2014/september-2014
Iskandar, T.B, Murdiati, dan D.T. Subekti. 2000. Pengaruh Pemberian Infus Jahe Merah (Zingiber officinale var Rubra) Terhadap Koksidiosis Sekum Pada Ayam Pedaging. Balai Penelitian Bogor. Bogor
Jordan, F., M.A. Pattinson, T. Faragher, 2001. Poultry Disease 5” Edision. W.B Saunders. London. 408-409.
Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. UI Press. Jakarta.
Koswara S., 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Levine, N.D., 1978. Textbook of Veterinary Parasitology. Penterjemah G. Ashadi. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Levine, N.D., 1985. Veterinary Protozoology dalam Soekardono. 1995 (Terjemahan). Protozoology Veteriner. Diterjemahkan oleh Soeprapto Soekardono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Pp: 182-265.
Marbun, H.S., 2006. Gambaran Sel Radang Sekum Ayam Yang Diinfeksi Eimeria tenella Setelah Pembaerian Ekstrak Sambiloto (Andrographis puniculata) Dalam Pelarut Air Dengan Dosis Bertingkat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muafo AN, Heinmann AW, Dubremetz JF, Entzeroth R., 2002. Monoclonal antibodies specific for the two types of wall-forming bodies of Eimeria tenella macrogametes (Coccidia, Apicomplexa). Parasitol Res Vol 88: 217–224.
Murhananto dan B., Farry, Paimin. 2000. Budi Daya, Pengolahan dan Perdagangan Jahe. Edisi Revisi. Penerbit : Penebar Swadaya. Jakarta.
Murtidjo, B. A. 2007. Pemotongan, Penanganan, dan Pengolahan Daging Ayam.
Yogyakarta: Kanisius.
Paimin, F. B dan Murhananto., 1999. Budidaya, Pengolahan, dan Perdagangan Jahe. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Patmarani, A., 2007. Aplikasi Minyak Jahe (Zingiber officinale) Pada Pembuatan Han And Body Cream. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Piatina, V.Z., 2001. Pengaruh Pemberian Berbagai Konsentrasi Larutan Biji Paria (Momordica charantia Linnaeus) Terhadap Differensiasi Leukosit Pada Ayam Yang Terinfeksi Eimeria spp. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purba,D. W., 2002. Pengaruh Pemberian Tepung Buah Tanjung(Mimusopselengi)
Terhadap Karkas Kelinci Lokal Jantan Umur 16Minggu. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian USU, Medan.
Rahmi, N., 1996, Kajian Proses Pembuatan Permen Jelly Jahe, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rasyaf M., 1992. Produksi dan Pemberian Ransum Unggas. Kaninus. Yogyakarta.
Rasyaf, M., 2000. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rasyaf, M., 2002. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rismunandar., 1988. Rempah – Rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru. Bandung.
Sembiring, H. 2001. Komoditas Unggulan Pertanian Propinsi Sumatera Utara. Sumatera Utara : Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.
Siregar, A.P., 1980. Teknik Beternak Ayam Pedaging Indonesia.Margie Group,Jakarta.
Siregar, A.P., 1994.Teknik Beternak Ayam Pedaging Indonesia.Margie Group,Jakarta.
Soeparno, 1994.Ilmu dan Teknologi Daging.Gajah Mada University Press,Yogyakarta.
Soulsby, E.J.L., 1972. Immunity to Animal Parasities. Academic Press. New york and London. Pp: 336-382.
Tabbu, R.C., 2000. Penyakit Ayam dan Penangulangannya Penyakit Bakterial, Mikal dan Viral. Kanisius, Yogyakarta.
Tampubolon, M.P. 2004. Protozoologi. Bogor : Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor.
Tampubolon, M.P., 1996. Protozoologi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. hlm 116 – 118.
Tillman. A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo, S. Lepdosoekojo.1986. Ilmu makanan Teranak Dasar.Fakultas Peternakan,UGM- Press, Yogyakarta.
Wahyu, J., 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM Press, Yogyakarta.
Waskito, W. M. 1983. Pengaruh berbagai factor lingkungan terhadap gala
LAMPIRAN
Lampiran 1. Bobot Potong Ayam Boiler Umur 35 Hari
Lampiran 2. Bobot Karkas Ayam Broiler Umur 35 hari 1440
1460 1480 1500 1520 1540 1560 1580
KP KO K1 K2 K3
bobot potong
bobot potong
1130 1140 1150 1160 1170 1180 1190 1200
KP KO K1 K2 K3
bobot karkas
Lampiran 3. Persentase Karkas Ayam Broiler Umur 35 Hari
Lampiran 4. Persentase Lemak Abdominal 74
74,5 75 75,5 76 76,5
KP KO K1 K2 K3
persentase karkas
persentase karkas
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6
KP KO K1 K2 K3