• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR ( Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR ( Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK)"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR

( Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK)

OLEH

IRMALIA MURNIATI

Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menilai bahwa putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang telah salah menerapkan hukum atau tidak menerapkan sebagaimana mestinya dalam memutus perkara tersebut. Menilai kedua putusan lembaga peradilan tersebut, dapat menganalisis apakah dalam penerapan hukumnya benar-benar murni ada kesalahan penafsiran hukum, atau merupakan modus adanya mafia hukum yang mengiringi proses peradilan guna menyelamatkan pejabat tertentu yang terlibat didalamnya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana korupsi di Lampung Timur dan apakah putusan Mahkamah Agung RI perkara No. 253 K/Pid.Sus/2012 sudah mencerminkan rasa keadilan secara substantif.

Metode penelitian yang dipakai adalah metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari azas-azas, norma, konsep, dan teori yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas. Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang didapatkan langsung dari lapangan hasil wawancara yaitu di Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang dan wawancara kepada salah satu dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan data sekunder yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta literatur-literatur yang mendukung penulis skripsi ini.

(2)

Irmalia Murniati nya fantastis untuk satu Kabupaten serta perbuatan terdakwa melukai rasa keadilan masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan yang mendambakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan sosial. Berbeda dalam putusan Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang perkara nomor 304/Pid.Sus/2011/PN.TK majelis hakim menimbang bahwa unsur melawan hukum dalam perkara ini telah dinyatakan tidak terpenuhi atau tidak terbukti, sebagaimana dalam pertimbangan unsur melawan hukum pada dakwaan primer, namun demikian untuk terangnya perkara ini majelis akan tetap mempertimbangkan unsur menyalahgunakan kewenangan tersebut yang dihubungkan dengan fakta persidangan, bahwa perbuatan terdakwa bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum dan tidak bertentangan dengan ketentuan formal Undang-Undang. Putusan pada Mahkamah Agung yang dijatuhkan dianggap telah cukup tepat dan cermat dalam menjatuhkan putusannya, Majelis Hakim juga telah memutuskan berdasarkan teori keadilan substantif yang berdasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani dan telah menemukan nilai-nilai kebenaran dan berdasarkan keadilaan.

Adapun saran penulis yaitu hakim hendaknya lebih meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menyelesaikan kasus atau perkara yang di ajukan kepadanya. Hakim harus banyak belajar mencari sumber-sumber hukum yang luas dan bermoral, serta berahlak baik dan untuk keadilan masyarakat. Hakim juga harus telah mempertimbangkan fakta-fakta yang meliputi perkara tersebut, semua fakta dan keadaan yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan, yang dapat mempengaruhi pembuktian unsur-unsur, tanpa terkecuali, harus dipertimbangkan dengan sebaik dan secermat mungkin agar tidak salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya.

(3)

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR

(Studi Putusan MA No. 253 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan PN No. 304/Pid.Sus/2011/PN.TK)

Oleh

IRMALIA MURNIATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR

( Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

IRMALIA MURNIATI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

D. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual...7

E. Sistematika Penulisan...12

C. Pengertian dan Macam-Macam Putusan Pengadilan...23

1. Putusan Sela...23

a. Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Diterima...25

b. Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima...25

2. Putusan Akhir...26

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)...26

b. Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag Van Alle Recht Vervolging)...27

c. Putusan Pemidanaan...27

D. Tata Cara Pengajuan Banding dan Kasasi...28

1. Tata Cara Pengajuan Banding...28

2. Tata Cara Pengajuan Kasasi...29

(6)

III.METODE PENELITIAN...35

A. Pendekatan Masalah...35

B. Jenis dan Sumber Data...36

C. Penelitian Narasumber...37

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data...38

E. Analisis Data...39

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...40

A. Karakteristik Narasumber...40

B. Gambaran Umum Putusan...42

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 253 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan PN No. 304/Pid.Sus/2011/PN.TK)...46

D. Putusan Mahkamah Agung RI Perkara No. 253 K/Pid.Sus/2012 Mencerminkan Rasa Keadilan Secara Substantif...65

V. PENUTUP...72

A. Simpulan...72

B. Saran...73

(7)

Judul Skripsi : ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR (Studi Putusan MA No. 253 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan PN No. 304/Pid.Sus/2011/PN.TK) Nama Mahasiswa : Irmalia Murniati

No. Pokok Mahasiswa : 0912011170

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Hj. Firganefi, S.H.,M.H Maya Shafira, S.H., M.H. NIP. 196312171988032003 NIP. 197706012005012002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Hj. Firganefi, S.H.,M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Dr. Maroni, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003

(9)
(10)

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT

Kupersembahkan Karya Tulisku ini kepada

papah dan mamahku yang senantiasa

membantu penulis baik moril dan materiil,

ini adalah persembahan pertama dari putri kalian,

semua ini tiada sebanding dengan perjuangan dan pengorbanan

yang papah Mukhtaridi dan mamah Aswati berikan selama ini,

mudah

mudahan ini menjadi langkah awal bagi putri kalian

untuk membalas budi baik yang sangat besar yang telah

kalian berikan selama ini, Amien...

Untuk Kakak dan Adik-adikku ; Devi Murniati, Ervina Murniati,

Noviana Murniati, Kurniawati Delima Putri, Muhammad Arif

Wahyu Saputra, dan Meisya Ardila Sapta Putri

Untuk Keponakan-Keponakan Ku Tercinta ; Tedy Nouval Farik dan

M. Faisal Ricardo

Untuk seluruh keluarga besarku yang selalu menantikan keberhasilanku

Untuk teman-temanku yg selalu ada di sampingku dan

(11)
(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 21 Desember 1991, putri keempat dari tujuh bersaudara pasangan Mukhtaridi dan Aswati.

Pendidikan di Taman Kanan-Kanak Dharma Wanita Persatuan UNILA Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1997. Pendidikan di Sekolah Dasar Muhammadiyah I Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 20 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006. Sekolah Menengah Atas Negeri 15 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009.

(13)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi tugas akhir yang diwajibkan untuk mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, dengan judul “Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Di Lampung Timur (Studi Putusan MA No. 253 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan PN No. 304/Pid.Sus/2011/PN.TK).

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kelemahan dan kekurangan meskipun penulis telah berusaha semaksimal mungkin, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak akan penulis terima dengan senang hati.

Keberhasilan dalam menyelesaikan Skripsi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Heryandi, S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

(14)

3. Ibu Hj. Firganefi, S.H., M.H selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana sekaligus Pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini

4. Ibu Maya Shafira, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu serta memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini

5. Bapak Maroni, S.H., M.H selaku Pembahas I 6. Bapak Rinaldy A, S.H., M.H selaku Pembahas II

7. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.H selaku Pembimbing Akademik

8. Segenap Dosen Fakultas Hukum pada umumnya dan Dosen Pidana pada khususnya, terima kasih atas segala ilmu yang telah kalian berikan

9. Segenap staf serta civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Lampung 10. Kepada orang tua saya, Papah Mukhtaridi dan Mamah Aswati tanpa segala

kontribusi besar dari mereka penulis tidak akan mungkin bisa menyelesaikan kuliah dan skripsi ini

11. Kakak dan adik-adikku Devi Murniati, Ervina Murniati, Noviana Murniati, Kurniawati Delima Putri, Muhammad Arif Wahyu Saputra, Meisya Ardila Sapta Putri serta keluarga besarku yang telah banyak memberikan dorongan, bantuan dan motivasi

(15)

13. Untuk kawan-kawanku; Vika Trisanti Ballini yang sangat membantu sekali dalam penyelesaian skripsi ini, Tri Zaskia, Maria, Vitak, Indah Novianti, Danar, Helda, Novia, Bujung, Rintar, Elvira, Ani, Fitri, , Novalinda Silviana, serta kawan-kawan yang namanya tidak disebutkan penulis mohon maaf, terima kasih atas dukungannya yang telah kalian berikan kepada penulis 14. Untuk teman-temanku di KKN; Tegar, Bondan, Irham, Mba Tika dan Novi,

Ibu Lurah Hj. Maryani, Om Indra, Habib, Bang Jay, Bang Andi, Ibu Fat terima kasih atas bimbingan dan kepedulian kalian sehingga penulis merasa sangat beruntung dapat bekerja satu tim dengan kalian dan dipertemukan di Dusun 1 Desa Paya Pesawaran

15. Untuk seseorang di sana yang sampai saat ini masih berperan penting sebagai penyemangat dan motivator, terima kasih atas semua yang telah diberikan 16. Ibu Judika dan Ibu Suharini selaku Hakim di Pengadilan Negeri IA Tanjung

Karang terima kasih atas masukan dan sarannya

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini betapapun kecilnya, kiranya dapat bermanfaat bagi penulis khususnya pembaca pada umumnya

Bandar Lampung, April 2013 Penulis

(16)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Korupsi merupakan suatu masalah bagi setiap negara di dunia. Korupsi yang telah mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi terhambatnya pembangunan di suatu negara. Ketidakberhasilan pemerintah memberantas korupsi akan semakin melemahkan citra pemerintah dimata masyarakat. Dalam pelaksanaan pemerintahan yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan di negara Indonesia ini.

Kejahatan korupsi merupakan salah satu jenis yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak asasi, idiologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, dan sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak di putus bebas nya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya.1

1

(17)

2

Istilah Korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Perturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.2

Di Indonesia korupsi tumbuh dan berkembang dengan pesat, keberadaannya akan sangat sulit untuk diberantas apabila tidak ada tindakan yang nyata dari pemerintah dan pihak-pihak terkait. Pemberantasan tindak pidana yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secar profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Penegakan supremasi hukum di segala aspek kehidupan perlu dilakukan pembenahan kinerja lembaga-lembaga hukum dan aparat penegak hukum yang saat ini menjadi konsep dasar pemerintah dalam mereformasi birokasi lembaga hukum dan aparat penegak hukumnya. Dalam rangka menangani dan memberantas korupsi yang sudah membudaya dan sistematis, serta untuk lebih

2

(18)

3

menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam pemberantasan korupsi maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, serta Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi mempertegas Core business Kejaksaan Republik Indonesia adalah pemberantasan korupsi.3

Salah satu contoh kasus korupsi yang terjadi yaitu kasus korupsi Bupati Lampung Timur yang menyimpan dana milik Pemerintah Kabupaten Lampung Timur senilai Rp 119 miliar yang disimpan di Bank Perkreditan Rakyat Tripanca Setiadana. Terdakwa terbukti menerima fee Rp. 10,5 miliar dari pemilik BPR Sugiharto Wiharjo aliyas Alay. Dana yang telanjur masuk BPR tersebut tidak bisa ditarik setelah ditutup Bank Indonesia.4

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang No.304/Pid.Sus/2011/PN.TK tanggal 17 Oktober 2011 menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa/Penuntut Umum dengan putusan bebas.

Kasus tersebut seakan menjadi pembuktian penegak hukum atas komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Dalam putusan kasasi dari Mahkamah Agung

3

Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz, Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2008, Hlm 225

4

(19)

4

Republik Indonesia Nomor: 253 K/Pid.Sus/2012 terdakwa divonis 15 (lima belas) tahun penjara, putusan yang dianggap cukup setimpal tersebut terjadi ditengah situasi dan kondisi pemerintah pusat maupun daerah yang sedang giat-giatnya untuk memberantas kasus korupsi yang melibatkan banyak oknum pejabat negara. Dalam amar putusan kasasi, dipimpin hakim ketua Komariah Sapardjaja, Leopold Luhut Hutagalung, M.S Lumme dan Krisna Harahap mengadili terdakwa pelaku

tindak pidana korupsi menyatakan, “bahwa terdakwa terbukti secaara sah dan

menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan

berlanjut”.

(20)

5

ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Dakwaan Primair Putusan Mahkamah Agung.5

Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menilai bahwa putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang telah salah menerapkan hukum atau tidak menerapkan sebagaimana mestinya dalam memutus perkara tersebut. Melihat kedua putusan lembaga peradilan tersebut, kita dapat menganalisis, apakah dalam penerapan hukumnya benar-benar murni ada kesalahan penafsiran hukum, atau merupakan modus adanya mafia hukum yang mengiringi proses peradilan guna menyelamatkan pejabat tertentu yang terlibat didalamnya.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan

judul “Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Di

Lampung Timur (Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK).”

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara tindak pidana korupsi di Lampung Timur (Studi Putusan MA No. 253 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan PN No. 304/Pid.Sus/2011/PN.TK) ? b. Apakah putusan Mahkamah Agung RI perkara No. 253 K/Pid.Sus/2012

mencerminkan rasa keadilan secara substantif ?

5

(21)

6

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan penulisan ini merupakan lingkup bidang ilmu hukum pidana, yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim, dalam putusan Mahkamah Agung No. 253 K/PID.SUS/2012 dan putusan Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK dengan lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap perkara tindak pidana korupsi di Lampung Timur (Studi Putusan MA No. 253 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan PN No. 304/Pid.Sus/2011/PN.TK).

b. Untuk mengetahui putusan Mahkamah Agung RI perkara No. 253 K/Pid.Sus/2012 mencerminkan rasa keadilan secara substantif.

2. Kegunaan Penelitian

a. Secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana khusus nya tentang tindak pidana korupsi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana korupsi (studi perkara putusan Mahkamah Agung No. 253 K/Pid.Sus/2012 dan putusan Pengadilan Negeri No. 304/Pid.Sus/2011/PN.TK).

(22)

7

memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum tentang tindak pidana korupsi.

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.

Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:6

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.

6

(23)

8

Ada tiga fungsi hakim dalam memutus suatu perkara menurut hukum yakni, menerapkan hukum (rechtstoepassing), menemukan hukum (rechtsvinding), dan menciptakan hukum (rechtsschepping-judge made law).

Menurut Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu :

(1) Alat Bukti yang sah ialah :

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Kewajiban hakim menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah :

1. Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

2. Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tida tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum.

(24)

9

Peran hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman melalui badan peradilan, tidak lain dari pada melaksanakan fungsi peradilan dengan batas-batas kewenangan yang disebutkan undang-undang, maka dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Peran hakim secara umum dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Menegakan Kebenaran dan Keadilan

Menegakan kebenaran dan keadilan bukan menegakan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit, yakni hakim tidak berperan menjadi mulut undang-undang dan hakim tidak boleh berperan mengidentikkan

kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan, dalam hal inilah dituntut peran hakim.

b. Memberi Edukasi, Koreksi, Prepensi dan Represip

Member Edukasi, hakim melalui produk putusan yang dijatuhkan harus mampu memberi pendidikan dan pelajaran kepada yang berperkara dan masyarakat. Dari putusan yang dijatuhkan, anggota masyarakat harus dapat memetik pelajaran dan pengalaman bahwa berbuat seperti itu adalah salah dan keliru.

Memberi Koreksi, bahwa putusan hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan setiap kesalahan yang dilakukan seseorang.

Memberi Prepensi, makna dan tujuan prepensi ini berkaitan dengan edukasi dan koreksi putusan yang dijatuhkan, hakim harus mampu memberi pengertian kepada masyarakat, mana yang benar dan mana yang salah.

(25)

10

menegakan kepastian hukum pada satu segi serta menegakan kebenaran dan keadilan pada segi lain.

c. Proyeksi tatanan masa datang

Penegakan hukum melalui putusan hakim bukan sekedar member kepastian hukum masa kini, tapi sekaligus harus mampu merekayasa tatanan masyarakat pada masa yang akan datang.

d. Harus berperan mendamaikan

Peran mendamikan lebih utama dari fungsi memutus perkara, upaya mendamaikan merupakan prioritas utama.

Keadilan substantif (substantive justice) adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang responsif sesuai hati nurani. Dikemukakan bahwa Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat eksekutif dan legislatif. Dengan kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian maka hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan pembinaan tertib hukum.7

7

(26)

11

2. Konseptual

Kerangka Konseptual merupakan gambaran bagaimana hubungan kosnsep-konsep yang akan diteliti. Defenisi konsep bertujuan merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti. Untuk mengetahui pengertian konsep-konsep yang digunakan maka penelitian ini membatasi konsep sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa karangan, perbuatan, dan sebagainya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya.8

b. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atas bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

c. Korupsi adalah perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

d. Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman, Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat terlulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

8

(27)

12

E.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan akan disusun sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang berisi mengenai macam-macam putusan, pengertian tindak pidana korupsi, dasar pertimbangan hakim serta tata cara pengajuan banding dan kasasi dalam tindak pidana korupsi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini merupakan metode penelitian yang berisi pendekatan masalah, jenis dan sumber data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(28)

13

V. PENUTUP

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Pertimbangan Hakim

Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 2009 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas, Jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.

(30)

15

dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

Putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.13

Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari batas minimal dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan Undang-Undang. Memang Putusan hakim akan menjadi putusan majelis hakim dan kemudian akan menjadi putusan pengadilan yang menyidangkan dan memutus perkara yang bersangkutan dalam hal ini setelah dilakukan pemeriksaan selesai, maka hakim akan menjatuhkan vonis berupa :

1. Penghukuman bila terbukti kesalahan terdakwa;

2. Pembebasan jika apa yang didakwakan tidak terbukti atau terbukti tetapi bukan perbuatan pidana melainkan perdata;

3. Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terdakwa ternyata tidak dapat di pertanggungjawabkan secara rohaninya (ada gangguan jiwa) atau juga ternyata pembelaan yang memaksa.

13

(31)

16

Putusan pemidanaan yang berdasar pada yuridis formal dalam hal ini putusan hakim yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seseorang terdakwa yaitu berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana (Straft Mecht) yang tertuang dalam pasal pidana yang didakwakan. Diakui memang bahwa Undang-Undang memberikan kebebasan terhadap hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman yaitu minimal atau maksimal namun kebebasan yang dimaksud adalah haruslah sesuai dengan pasal 12 KUHP yaitu :

(1) Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan Pasal 52.

(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

(32)

17

batas minimal dan batas maksimal sehingga hakim dinilai telah menegakkan Undang-Undang dengan tepat dan benar. Pada praktiknya ada hakim yang berani menerobos yaitu menjatuhkan pidana di bawah batas minimal dan bahkan di bawah tuntutan jaksa penuntut umum dengan alasan untuk memenuhi rasa keadilan dan hati nurani artinya hakim yang bersangkutan tidak mengikuti bunyi Undang-Undang yang secara tegas tertulis hal ini dapat saja terjadi karena hakim dalam putusannya harus berdasarkan pada kerangka hukum yaitu penegakan hukum dan penegakan keadilan.

Putusan Hakim yang menerobos ketentuan dalam undang-undang yang normatif, atau dalam hal ini di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum dapat saja diterima atau tidak batal demi hukum asal didasari pada rasa keadilan yang objektif. Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan kerangan antara saksi yang satu dengan saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan.

B. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana menurut Moeljatno yaitu :

(33)

18

kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditunjukan pada orang yang

menimbulkan kejahatan.”14

Pengertian tindak pidana yang diutarakan oleh Moeljatno diatas maka di dapat unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

a. Perbuatan (manusia);

b. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); dan

c. Bersifat melawan hukum (syarat materril). Syarat formil harus ada, karena asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.

2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Dilihat dari segi peristilahan, kata “Korupsi” berasal dari bahasa latin “corruptio”

atau menurut Websetr Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan pula bahwa corruptio itu berasal dari kata corrumpiere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa di Eropa seperti Inggris :

corruption, corrupt, Perancis : corruption, dan Belanda : coruruptie (korupsi). Istilah inilah kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia “korupsi”.

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan

14

(34)

19

karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.15

UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal, kemudian mengelompokannya ke dalam beberapa rumusan delik. Jika dilihat dari kedua Undang-Undang diatas, dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2, 3 UU RI No. 30 Tahun 1999).

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang menerima suap) (pasal 5, 11, 12, 12 B UU RI No. 20 Tahun2001).

3. Kelompok delik penggelapan (pasal 8, 10 UU RI No. 20 Tahun 2001).

4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan ( pasal 12c dan f UU RI No. 20 Tahun 2001).

5. Kelompok delik yang berkaitan dalam pemborongan, leverensir dan rekanan (pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001).

Pengertian Tindak Pidana Korupsi yang termasuk kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara :

a. Pengertian tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 2 UUTPK :

1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan

15

(35)

20

negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahn dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).

2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Berdasarkan ketentuan pasal diatas unsur-unsur dari tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :

1) Perbuat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan.

Pada dasar nya dimaksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku bertambah kekayaannya oleh karena perbuatan tersebut. Modus Operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan dan dengan berbagai cara. Misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku bertambah kekayaanya.

2) Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.

(36)

21

3) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penjelasan UUTPK menentukan bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan

b. Berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 UUTPK.

Merumuskan Tindak Pidana Korupsi adalah :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000.00

(satu miliyar rupiah)”.

(37)

22

untuk melakukan perbuatan yang lain dari seharusnya dilakukan, yang justru bertentangan dengan tugas dan perkerjaannya dalam jabatan atau kedudukan yang dimilikinya, maka disini telah terjadi penyalahgunaan kesempatan karena jabatan atau kedudukan.

Secara internal dorongan untuk melakukan tindak pidana korupsi muncul karena :

1. Dorongan Kebutuhan

Seseorang terpaksa korupsi karena gaji yang jauh dari mencukupi dibanding kebutuhan yang sangat besar akibat beban dan tanggungjawab yang besar pula. 2. Dorongan Keserakahan

Orang yang korupsi karena serakah tentu saja tidak didorong oleh kebutuhanyang sudah mencukupi. Korupsi dilakukan agar dapat hidup lebih mewah dapat memiliki barang-barang yang tak bakal terbeli dengan gaji. Oleh karena tingkat kepuasan itu tidak ada batas nya maka sepanjang ada peluang mereka yang korupsi karena keserakahan akan mengulang perbuatan hingga pada suatu saat ia berhadapan dengan hukum.

Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan korupsi terdiri dari :

1. Lingkungan

(38)

23

tindakan tersebut sudah dianggap wajar sehingga dikatagorikan sebagai tindakan yang benar.

2. Peluang

Akibat lemahnya pengawasan atau paling tidak karena pengawasan hanya berlangsung pro forma, memberi peluang yang besar bagi mereka yang akan melakukan tindak pidana korupsi. Setebal-tebal iman seseorang, sulit baginya untuk tidak melakukan korupsi dengan alasan bahwa tindakannya itu tidak akan diketahui, dan tidak akan diusut, karena semua orang melakukan hal yang sama.

C. Pengertian dan Macam-Macam Putusan

Setelah menerima, memeriksa, dan mengadili seorang pelaku tindak pidana, maka selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusannya. Dalam hukum pidana, ada 2 (dua) jenis putusan hakim yang dikenal selama ini, yaitu yang pertama, putusan sela dan yang kedua, putusan akhir.16

1. Putusan Sela

Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat dakwaan penuntut umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa di suatu persidangan. Terdakwa hanya dapat diperiksa, dipersalahkan, dan dikenai pidana atas pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, dalam arti hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa diluar dari pasal yang didakwakan tersebut. Oleh karena itu, dalam membuat surat dakwaan, penuntut umum harus

13

(39)

24

memperhatikan syarat-syarat limitative, sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-undang, yaitu Pasal 143 KUHAP, yaitu syarat formil dan syarat materiil.

Terhadap surat dakwaan penuntut umum tersebut, ada hak secara yuridis dari terdakwa atau penasehat hukum terdakwa untuk mengajukan keberatan (eksepsi), dimana dalam praktik persidangan biasanya eksepsi yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak berwenang mengadili (exeptie onbevoegheid) baik absolute maupun yang relatif, eksepsi dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi pada yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, eksepsi terhadap perkara yang nebis in idem, eksepsi terhadap perkara telah kadaluarsa, eksepsi bahwa apa yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan, eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel), eksepsi dakwaan tidak lengkap, ataupun eksepsi dakwaan error in persona.

Atas keberatan (eksepsi) yang menyangkut kewenangan pengadilan negeri dalam mengadili suatu perkara atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, hakim akan memberikan kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, kemudian hakim akan mempertimbangkannya, selanjutnya akan diambil suatu putusan oleh hakim. Dalam praktik peradilan putusan hakim atas keberatan (eksepsi) tersebut, berbentuk putusan baik itu berupa putusan sela ataupun putusan akhir.

(40)

25

dibatalkan, sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut.

a. Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Diterima

Apabila keberatan (eksepsi) terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, maka pemeriksaan terhadap pokok perkara bergantung kepada jenis eksepsi mana diterima oleh hakim, jika eksepsi terdakwa yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut dikembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkan kembali ke wilayah pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya.

Adapun jika keberatan (eksepsi) yang diterima menyangkut dakwaan batal atau dakwaan tidak dapat diterima, maka secara formal perkara tidak dapat diperiksa lebih lanjut atau pemeriksaan telah selesai sebelum hakim memeriksa pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

Atas putusan tersebut, penuntut umum dapat mengajukan perlawanan (verzet ) ke pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri (Pasal 156 ayat (3) KUHAP), jika perlawanan tersebut dibenarkan oleh pengadilan tinggi, maka putusan pengadilan negeri tersebut otomatis dibatalkan dan sekaligus memerintahkan pengadilan negeri untuk membuka dan memeriksa pokok perkara (Pasal 156 ayat (4) KUHAP).

b. Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima

(41)

26

quo, maka dakwaan penuntut umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf a dan b KUHAP dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).

Terhadap hal tersebut, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya adalah perlawanan (verzet), tetapi dalam praktik peradilan, perlawanan (verzet) yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya akan dikirim bersamaan dengan upaya banding terhadap putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri (Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP).

2. Putusan Akhir

Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan memberiakan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai putusan akhir. Menurut KUHAP ada beerapa jenis putusan akhir yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut :

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)

(42)

27

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, sehingga oleh karena itu terhadap terdakwa haruslah diyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum (Onslaag van Alle Recht Vervolging)

Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan:

1. Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana. Misalnya seseorang melakukan perbuatan yang dituntut dengan tindak pidana penipuan atau penggelapan tetapi didapat fakta bahwa perbuatan tersebut tidak masuk dalam lingkup hukum pidana tetapi termasuk lingkup hukum perdata. 2. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat

dihukum. Misalnya karena Pasal 44, 48, 49, 50, 51, masing-masing dari KUHP.

c. Putusan Pemidanaan

(43)

28

Putusan pidana yang akan dijatuhkan Hakim tidaklah melebihi dari apa yang telah dituntut jaksa penuntut umum dalam tuntutannya. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggug jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Putusan pidana ini diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yang menentukan : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

D. Tata Cara Pengajuan Banding dan Kasasi 1. Tata Cara Pengajuan Banding

(44)

29

Selama tujuh hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada pengadilan tinggi, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di pengadilan negeri (Pasal 236 ayat (1) dan ayat (2)). Kemudian dalam pasal 237 KUHAP menentukan bahwa selama pengadilan tinggi belum mulai memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding, baik terdakwa atau kuasanya maupun penuntut umum dapatmenyerahkan memori banding atau kontra memori banding kepada pengadilan tinggi. Pemeriksaan dalam tingkat banding dilakukan oleh pengadilan tinggi dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dan penyidik, berita acara pemeriksaan dari pengadilan negeri, beserta semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan pengadilan negeri. Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke pengadilan tinggi sejak saat diajukannya permintaan banding (Pasal 238 ayat (1) dan (2)).

2. Tata Cara Pengajuan Kasasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kasasi berarti “Pembatalan atau pernyataan

tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang, hak kasasi hanyalah hak Mahkamah Agung”

(45)

30

Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan pengadilan karena :

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; 2. Selain menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

3. Selain memenuhi syarat-syarat yang di wajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

a. Syarat Formil Memori Kasasi

1) Diajukan dalam waktu 14 hari setelah mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) KUHAP), jika terlambat mengajukan maka hak tersebut menjadi gugur (Pasal 248 ayat (4)KUHAP).

2) Disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkarannya di tingkat pertama (Pasal 245 ayat (1) KUHAP) yang ditunjukan kepada ketua Mahkamah Agung RI melalui ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut.

(46)

31

b. Syarat Materil Memori Kasasi

1) Salah menerapkan hukum atau kekeliruan merupakan hukum. Hal ini terjadi dalam praktek karena kurang pahamnya penerapan unsur kesalahan yaitu :

a. Unsur sengaja;

b. Unsur kealpaan atau kelalaian; dan c. Unsur lainnya.

2) Dengan alasan sendiri 3) Melampaui wewenang

4) Tidak cukup dipertimbangkan. Dalam hal ini penegakan hukum dimaksudkan untuk menegakan keadilan berdasarkan keadilan. Hal ini dapat terlaksana dengan baik jika semua dipertimbangkan dengan seksama agar tidak mengakibatkan batalnya putusan tersebut.

E. Teori Keadilan Substantif

Keadilan adalah sikap pikiran yang ingin bertindak adil, yang tidak adil adalah orang yang melanggar undang-undang yang dengan tidak sepantasnya menghendaki lebih banyak keuntungan dari orang lain dan pada hakikatnya tidak menginginkan asas sama rata, sama rasa.

(47)

32

apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Disini juga tunjukkan, bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hokum dapat dianggap sebagai adil.17

Thomas Aquinas membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proposionalitas. Keadilan khusus ini dibedakan menjadi keadilan distributif (justitia distributive), keadilan komutatif (justitia commutative) dan keadilan vindikatif (justitia vindicativa). Keadilan distributif ialah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan komutatif ialah keadilan yang diterima masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan vindikativ ialah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.18

Konteks peradian dalam putusan hakim, terutama yang sering disinggung-singgung adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive justice). Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan

17

Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Jakarta : Rajawali Perss, 2011, Hlm 223-224 18

(48)

33

padaketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai tenggang waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Sedangkan keadilan substantif adalah keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang progresif sesuai hati nurani.19

Keadilan dalam hukum formal dan hukum materiil tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan dan keselarasan yang membawa ketentraman di dalam hati orang, yang apabila diganggu akan mengakibatkan kegoncangan. Orang-orang tidak akan bertahan lama menghadapi sebuah tatanan yang mereka rasa sama sekali tidak sesuai dan tidak masuk akal. Pemerintah yang mempertahankan aturan semacam itu akan terjerat dalam kesulitan-kesulitan serius dalam pelaksanaannya. Artinya, sebuah tatanan yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang tidak aman dan berbaikaya.20

Keadilan prosedural dan keadilan substansif semestinya tidak terlihat secara dikotomi, tetapi ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait eret satu sama lain. Oleh karena itu dalam keadaan normal, mestinya keadilan prosedural dan keadilan substantif harus dapat disenergikan dan diakomodir secara professional. Tetapi dalam hal terjadi benturan yang tidak dapat dikompromikan, keadilan substantif lah yang perlu di dahulukan. Dengan demikian, mestinya penegakan keadilan substantif juga

19

Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : UII Perss, 2010, Hlm 9

20

(49)

34

harus bersifat selektif kasuistik dengan didukung argumentasi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.21

21

(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari azas-azas, norma, konsep, dan teori yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

Pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkenaan dengan dasar pertimbangan hakim yang memutus perkara korupsi. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai dasar pertimbangan hakim yang memutus perkara korupsi di Indonesia. Sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.22

22

(51)

36

B. Jenis dan Sumber Data 1. Jenis Data

Penulis menggunakan data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Adapun jenis data yang digunakan adalah :

1) Data Sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, mempelajari, menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.

Data Sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat. Untuk penulis skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

b) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan c) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

(52)

37

3. Bahan Hukum Tersier

Meliputi bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa hasil-hasil penelitian terdahulu, majalah, surat kabar, kamus bahasa Indonesia serta pemanfaatan sumber dari internet dan sumber-sumber bacaan lainnya.

2. Sumber Data

Sumber data penelitian ini berasal dari studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan maksud memperoleh data skunder yaitu melalui serangkaian kegiatan membaca, mengutip, mencatat, mendengar informasi, menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data dalam penulisan skripsi ini juga diperoleh dari hasil wawancara pada narasumber yang telah di tentukan.

C. Penentuan Narasumber

(53)

38

secara bertujuan (purposive) dengan menggunakan beberapa pertimbangan tertentu.23

Penelitian ini diambil responden sebanyak 4 orang, yaitu : 1. Hakim Pengadilan Negeri I Tanjung Karang = 2 Orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana = 1 Orang +

Jumlah 3 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data hasil penelitian ini, untuk mendapatkan data skunder dilakukan melalui serangkai kegiatan studi keputusan dengan cara membaca, mencatat dan mengutip buku-buku serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Prosedur Pengolahan Data

Melaksanakan pengolahan data yang telah diperoleh, dilakukan kegiatan sebagai berikut :

1. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasan dan relevasinya.

2. Sistematika data, yaitu menyusun keseluruhan data yang telah diperoleh secara sistematis untuk memudahkan dan mempelancar kegiatan analisis data.

23

(54)

39

3. Klasifikasi data, yaitu penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.

E.Analisi Data

(55)

V. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut :

1.a Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam perkara nomor 253 K/Pid.Sus/2012 majelis hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu terdakwa selaku bupati tidak mendukung program pemerintahan dalam upaya memberantas korupsi, kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatan terdakwa jumlah nya fantastis untuk satu Kabupaten serta perbuatan terdakwa melukai rasa keadilan masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan yang mendambakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan sosial.

(56)

73

bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum dan tidak bertentangan dengan ketentuan formal Undang-Undang.

2. Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang menyatakan terdakwa dengan tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa/ Penuntut Umum dengan putusan bebas sedangkan putusan Mahkamah Agung menjatuhkan terdakwa dengan putusan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Putusan Mahkamah Agung perkara Nomor. 253 K/Pid.Sus/2012 tersebut telah memenuhi unsur keadialan substantif, karena hakim dalam memutus perkara ini telah cukup tepat dan cermat dalam menjatuhkan putusan nya. Seperti ditemukan bukti baru berupa saksi-saksi dan keterangan ahli yang dalam putusan Pengadilan Negeri Tanjung karang tidak dijadikan dasar pertimbangan oleh Majelis Hakim yang hanya lebih banyak mengambil keterangan terdakwa yang sifatnya lebih membela kepentingan terdakwa.

B.SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

(57)

74

kewajiban hendaknya mengacu pada perundang-undangan kekuasaan kehakiman serta peraturan pemerintah tentang pelaksanaan KUHAP dan cermat, adil, bijaksana dalam memutus perkara khusus nya perkara kasus korupsi. Agar dalam mengambil keputusan dalam suatu perkara dapat tepat dan dapat di pertanggungjawabkan.

(58)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Wahyu. 1993. Melaksanakan Putusan Hakim. Alumni. Bandung. Ali Ahmad. 1990. Mengembara di Belantara Hukum. Bintang. Jakarta.

Amiruddin dan Asikin, Zainal. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Bhakti, Ardhiwisastra, Yudha. 2000. Penafsiran dan Kontruksi Hukum. Alumni. Bandung

Erwin, Muhamad. 2011. Filsafat Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. Hartanti, Evi. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika. Jakarta.

Manan, Bagir. 2000. Wajah Hukum di Era Reformasi. Citra Aditya Bakti.

Mertojusumo, Sudikno dan Pitlo, A.1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti. Jakarta

Muladi, Kompas. Edisi 23 April 1998.

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Rosda Karya. Bandung.

Prinst Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999). Mandar Maju. Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Membangun dan Merombak Hukum Indonesia. Genta Publishing. Yogyakarta.

Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta.

(59)

Saleh, Wantjik, K. 1983. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2004. Penelitian Hukum Normatif;Suatu

Tinjauan Singkat. Raja Garfindo Persada. Jakarta.

Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia. UII Press. Yogyakarta.

Universitas Lampung. 2009. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 253 K/Pid.Sus/2012 di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang

Putusan Pengadilan Negeri IA Tanjung Karang Nomor 304/Pid.Sus/2011/PN.TK di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang

Mansur Kartayasa, “UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Prospeknya”.

http://www. Said- Okezone. Or.Id.

“Maju Mundur Revisi UU Pemberantasan Korupsi”.

Referensi

Dokumen terkait

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pelaku Pencabulan (Analsisi Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. SUS/2011/PN-BI) Pasal 50 tidak dikenakan hukuman

Hasil penelitian ini menunjukkan: Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana minimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam Putusan Nomor:

Bulukumba (Studi Kasus Putusan Nomor 182/Pid. Permasalahan yang diangkat oleh penulis ini adalah : 1) Bagaimanakah majelis hakim dalam menerapkan sanksi pidana

3.1 Apakah dalam putusan hakim nomor 05/ Pid.b/ 2013/ PN-Jr, unsur secara bersama-sama mengakibatkan orang lain luka telah dibuktikan Majelis

JadalSkri|Mi : DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM No.25/Pid.Siis-TPK/20l5/PN.Plg).. :MiftahRkluiHaratl :

Majelis hakim Pengadilan Agama dalam menjatuhkan putusan tentang perkara permohonan izin poligami cenderung menggunakan pertimbangan hukum agama yang dianut dan

Tujuan Penelitian, untuk memahami dan menganalisis factor penyebab Hakim tindak pidana korupsi tidak menjatuhkan putusan maksimal kepada Koruptor sebagai upaya

315 DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENERAPKAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI STUDI PUTUSAN NOMOR 24/PID.SUS/TPK/2016/PN JMB Gerry Putra Suwardi 1,