PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
KHOIRUDDIN MANAHAN 100200179
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)
Oleh
KHOIRUDDIN MANAHAN 100200179
Disetujui Oleh
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Dr. M. Hamdan, SH. M.H
NIP. 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Liza Erwina, SH. MH Alwan, SH., M.Hum
NIP. 196110241989032002. NIP. 196005201998021001.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Rasa syukur kehadirat Allah Swt, atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi merupakan salah satu persyaratan
bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Sehubungan dengan itu, disusun skripsi yang
berjudul: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENCABULAN (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)
Dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin, S.H, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Pembimbing II Penulis
yang telah memberikan pengarahan dalam pengerjaan skripsi ini.
4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum selaku pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. H.M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
6. Ibu Liza Erwina, SH., M.H selaku Dosen Pembimbing I Penulis yang telah
memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.
7. Bapak Alwan, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah
memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.
8. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.
9. Kepada kedua orang tua penulis Ayahanda H. Baginda Lobi Siregar dan
Ibunda Hj. Sofiah Tanjung, yang selalu memberikan dukungan baik secara
moril maupun materi serta doa yang tidak putus-putusnya sehingga
terselesaikanya skripsi ini.
10.Buat Lomongga Siregar, yang sudah banyak membantu dan memberi
semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
11.Kepada teman-teman 010, Alvi Rizky, Khairul Marie, Takdir, Ikhsan
Maulana, Khoeruddin, Daniel dan Okto yang sudah banyak membantu dan
memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.
Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena
keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum
di negara Republik Indonesia.
Medan, April 2015 Hormat Saya
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
1. Pengertian pertanggungjawaban tindak pidana ... 7
2. Tindak pidana terhadap kesusilaan menurut KUHP Dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ... 11
3. Kekuasaan Kehakiman ... 14
4. Analisis Yuridis PN-Boyolali No. 142 /Pid.Sus/2011/PN-BI ... 14
F. Metode Penulisan ... 16
G. Sistematikan Penulisan ... 19
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK TINDAK PIDANA PENCABULAN ... 21
B. Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan
Pertanggungjawabannya ... 27
C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku bagi pelaku cabul
BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI BAGI PELAKU CABUL
TERHADAP WANITA YANG MENGALAMI GANGGUAN JIWA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
BOYOLALI NO. 142 / PID. SUS/2011/PN-BI) ...
A. Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan
B. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142/Pid.Sus/2011/PN-BI
1. Posisi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142/Pid.Sus/2011/PN-BI
2. Dakwaan
3. Fakta Hukum
4. Tuntutan
5. Putusan Hakim
6. Analisis Kasus
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)
Khoiruddin Manahan (* Liza Erwina, SH., M.H (**
Alwan, SH., M.H (***
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan dan dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)?
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pasal 289 dan Pasal 290. Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana Paedofilia (kekerasan seksual pada anak-anak). Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pelaku Pencabulan (Analsisi Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142 / PID. SUS/2011/PN-BI) Pasal 50 tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan, maka sebetulnya Pasal 50 ini tidak perlu. Kenapa Pasal ini tetap dicantumkan dalam KUHP, karena untuk menghilangkan keragu-raguan. Contoh : seorang polisi tidak melakukan tindak-tindak Pasal 333 KUHP, yaitu merampas kemerdekaan orang lain, apabila dalam menyelidiki suatu perkara pidana menangkap sorang tersangka. Pasal 51 KUHP bahwa tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang atasan yang berwenang untuk memberikan perintah itu
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pencabulan
*) Khoiruddin Manahan, selaku Mahasiswa Fafultas Hukum USU **) Liza Erwina, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing I
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
(Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)
Khoiruddin Manahan (* Liza Erwina, SH., M.H (**
Alwan, SH., M.H (***
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan dan dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)?
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pasal 289 dan Pasal 290. Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana Paedofilia (kekerasan seksual pada anak-anak). Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pelaku Pencabulan (Analsisi Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142 / PID. SUS/2011/PN-BI) Pasal 50 tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan, maka sebetulnya Pasal 50 ini tidak perlu. Kenapa Pasal ini tetap dicantumkan dalam KUHP, karena untuk menghilangkan keragu-raguan. Contoh : seorang polisi tidak melakukan tindak-tindak Pasal 333 KUHP, yaitu merampas kemerdekaan orang lain, apabila dalam menyelidiki suatu perkara pidana menangkap sorang tersangka. Pasal 51 KUHP bahwa tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah, diberikan oleh seorang atasan yang berwenang untuk memberikan perintah itu
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pencabulan
*) Khoiruddin Manahan, selaku Mahasiswa Fafultas Hukum USU **) Liza Erwina, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang dibentuk berdasarkan hukum dan telah
di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap
pergerakan atau perbuatan masyarakat memiliki nilai-nilai hukum di dalamnya.
Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman jenis-jenis perbuatan yang
melanggar hukum yang ada semakin beraneka ragam yang terjadi di dalam
masyarakat. Pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang telah berualng kali
memberikan penyuluhan untuk menyadarkan masyarakat mengenai akibat yang
di timbulkan dari suatu perbuatan pidana yang dilakukanya bukan hanya
merugikan orang lain tetapi diri mereka juga sendiri, tetapi dalam
perkembanganya usaha ini belum cukup untuk menyadarkan masyarakat.
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan
dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang
berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat
merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan
penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.1
Pencabulan termasuk salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang
semakin berkembang dari waktu ke waktu dan merupakan salah satu kenyataan
dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut
1
dikarenakan tindak pidana terhadap kesusilaan akan menimbulkan keresahan
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya
Untuk menanggulangi tindak pidana tersebut, meskipun dalam kenyataannya
sangat sulit untuk memberantas tindak pidana secara tuntas karena pada dasarnya
tindak pidana akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan
masyarakat
Salah satu yang menjadi fenomena tindak kejahatan yang selalu terjadi
dalam masyarakat ialah kejahatan seksual dan pelecehan seksual. Kejahatan ini
merupakan suatu bentuk pelangaran atas norma kesusilaan yang merupakan
masalah hukum nasional, juga merupakan masalah hukum hampir seluruh negara
di dunia
Persoalan kejahatan kemudian menjadi problem serius yang dihadapi oleh
setiap bangsa dan Negara di dunia ini, karena kejahatan pasti menimbulkan
korban. Problem kejahatan tetap menjadi momok yang menakutkan bagi
masyarakat yang kemungkinan munculnya seringkali tidak dapat diduga atau
tiba-tiba saja terjadi di suatu lingkungan dan komunitas yang sebelumnya tidak pernah
diprediksi akan timbul suatu kejahatan. Siapa saja dapat menjadi korban kejahatan
namun pada umumnya adalah perempuan dan anak karena berdasarkan fisik
mereka lebih lemah dari pelaku yang pada umumnya laki- laki.
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan
dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang
merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan
penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.2
Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) pada bab XIV buku ke-II yakni dimulai dari Pasal 289-296
KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Pencabulan
pada dasarnya adalah merupakan bagian dari kekerasan gender, artinya kedua
bentuk tindak pelanggaran terhadap hak perempuan ini dilakukan bukan
semata-mata karena faktor spontanitas atau sekedar penyaluran libido para lelaki bejat
yang sudah tak bisa lagi ditunda, melainkan peristiwa ini terjadi karena di
belakang benak pelaku maupun korban terdapat nilai dan ideologi gender yang
menempatkan perempuan, khususnya anak perempuan dalam posisi yang
marginal atau tersubordinasi. Dalam berbagai kasus pencabulan atau kekerasan
seksual lainnya, sering kali yang dipersalahkan adalah pihak korban. Pengertian
cabul menurut Oemar Seno Adji adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang
dilakukan dengan perbuatan-perbuatan. Berbeda dengan pengertian cabul,
pornografi diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan dengan tulisan atau
gambaran. Kedua hal tersebut tersebut termasuk dalam ruang lingkup dari delik
susila. Pengertian delik susila adalah segala delik yang berhubungan dengan
dengan sex dan karena itu selalu sex related sifatnya. Sebagai delik susila dan
sebagai obyek hukum pidana ia didasarkan aturan-aturan kesusilaan dalam arti
yang luas.
2
Pelecehan seksual atau pun pencabulan pada dasarnya adalah merupakan
bagian dari kekerasan gender, artinya kedua bentuk tindak pelanggaran terhadap
hak perempuan ini dilakukan bukan semata-mata karena faktor spontanitas atau
sekedar penyaluran libido para lelaki bejat yang sudah tak bisa lagi ditunda,
melainkan peristiwa ini terjadi karena di belakang benak pelaku maupun korban
terdapat nilai dan ideologi gender yang menempatkan perempuan, khususnya anak
perempuan dalam posisi yang marginal atau tersubordinasi.
Dalam berbagai kasus pencabulan atau kekerasan seksual lainnya, sering
kali yang dipersalahkan adalah pihak korban. Pengertian cabul menurut Oemar
Seno Adji adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang dilakukan dengan
perbuatan-perbuatan. Berbeda dengan pengertian cabul, pornografi diartikan
sebagai pelanggaran kesusilaan dengan tulisan atau gambaran. Kedua hal tersebut
tersebut termasuk dalam ruang lingkup dari delik susila. Pengertian delik susila
adalah segala delik yang berhubungan dan karena itu selalu sex related sifatnya.
Sebagai delik susila dan sebagai obyek hukum pidana ia didasarkan aturan-aturan
kesusilaan dalam arti yang luas. Jadi pada dasarnya menurut Oemar Seno Adji
antara cabul maupun pornogarfi mempunyai pengertian yang sama yaitu
merupakan sesuatu yang melanggar kesusilaan3
Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap
kesusilaan yang diatur dalam bab XIV Buku ke dua KUHP tentang kejahatan
kesusilaan. Pengertian perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan
3
nafsu birahi kelamin misalnya mencium, raba anggota kemaluan,
meraba-raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan
tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.4
Perbuatan cabul tidak hanya didefinisikan sebagai perbuatan yang
melanggar kesusilaan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin terhadap anak saja,
tetapi juga apabila dilakukan terhadap orang dewasa. Pelaku perbuatan cabul
terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa dapat diancam pidana sesuai Pasal
290 ayat (1) KUHP.
Berdasarkan uraian di atas maka merasa tertarik memilih judul
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Cabul Terhadap Wanita Yang
Mengalami Gangguan Jiwa (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142/Pid.Sus/2011/PN-BI)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan?
2. Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi
pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan
Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)?
4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pencabulan.
b. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis
Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142/Pid.Sus/2011/PN-BI)?
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah :
a. Secara teoritis memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu
hukum pidana khususnya pertanggungjawaban pidana bagi pelaku
cabul terhadap wanita yang mengalami gangguan jiwa
b. Secara praktis teori ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat
dan bagi aparat penegak hukum dalam memperluas serta
memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga
dapat bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan bagi aparatur
penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam
berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka
D. Keaslian Penelitian
Guna menghindari adanya duplikasi terhadap permasalahan yang sama
dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya peneliti telah melakukan
penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, namun tidak
ditemukan skripsi dengan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian
ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini dinyatakan
masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karaya tulis orang lain yang tidak
menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalam
peraturan perundang-undangan. Pembentuk Undang-Un dang kita telah
menerjemahkan istilah strafbaar feit yang berasal dari KUHPBelanda ke dalam
KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya dengan
istilah tindak pidana.
Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
selanjutnya disebut KUHP, dikenal dengan istilah “stratbaar feit”. Istilah
strafbaar feit dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah yaitu
tindak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, dan
perbuatan pidana. Dalam kepustakaan hukum pidana sering menggunakan istilah
dengan menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak
pidana.
Menurut Simon, berpendapat bahwa pengertian tindak pidana adalah
sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh
seseorang yang mampu bertanggungjawab.5
Tindak pidana sebagai berikut:“Tindak pidana ialah suatu tindakan pada
tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan
kesalahan dilakukan oleh seseorang (mampu bertanggung jawab).6
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.7
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang mana
perbuatan tersebut melangggar apa yang dilarang atau diperintahkan oleh
undang-undang dan diberi sanksi berupa sanksi pidana
Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan
moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta
undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang
terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa
5
Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. (Bandung: Rafika Aditama, 2011), hal 98
6Ibid
., hal 99
7
mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal
dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu
menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan
yang tidak.8
Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan
moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta
undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang
terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa
mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal
dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu
menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan
yang tidak.9
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.10 Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana
adalah seseorang harus melakukan perbuatan yang aktif atau pasif seperti yang di
tentukan oleh undang-undang pidana yang melawan hukum, dan tidak adanya
alasan pembenar serta adanya kesalahan dalam arti luas (meliputi kemampuan
bertanggungjawab, sengaja atau kelalaian) dan tidak adanya alasan pemaaf. Jika
8
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.(Jakarta: Askara Baru,1999), hal 84
9
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta: Askara Baru.. 1999), hal. 84
10
kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana (yang menyangkut segi
objektif) dan pertanggungjawaban pidana (yang menyangkut segi subjektif, jadi
menyangkut sikap batin si pembuat) maka mudahlah kita menentukan dipidana
atau dibebaskan ataupun dilepaskan dari segala tuntutan pembuat delik.11
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatannya, dilihat dari
segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan
yang telah dilakukan oleh orang tersebut.
Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga)
syarat, yaitu:12
a. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.
b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam
pergaulan masyarakat.
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan
Alasan seseorang tidak dapat bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukan, yaitu:13
a. Jiwa si pelaku cacat.
b. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.
c. Gangguan penyakit jiwa.
11
Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. (Bandung: Alumni, 2007), hal.72
12
Roeslan Saleh. Op.cit. hal 80
13
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya
3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
a. Unsur perbuatan
b. Unsur yang dilarang (oleh aturan hukum).
c. Unsur pidana (bagi yang melanggar larangan).
2. Tindak Pidana terhadap Kesusilaan menurut KUHP dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pencabulan cukup sering digunakan untuk menyebut suatu perbuatan atau
tindakan tertentu yang menyerang kehormatan kesusilaan.Bila mengambil definisi
dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka
definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan”
Pencabulan menurut Kamus Besar Indonesia adalah pencabulan adalah
kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan
santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana
asusila, mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan,
film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar
kesusilaan,kesopanan) 14
Pencabulan adalah segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan
keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.Definisi yang diungkapkan
Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
14
berdasarkan nafsu kelaminanya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan
perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.15
Berdasarkan pengertian di atas, Penulis berkesimpulan bahwa tindak
pidana pencabulan adalah segala tindakan atau perbuatan yang keji, tidak
senonoh, kotor, dan melanggar kesusilaan (kesopanan), dimana semua itu dalam
lingkup nafsu birahi kelamin. Contohnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota
kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.
Menurut KUHP Pasal 289 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pengaturan tentang delik kesusilaan di dalam KUHP menggolongkan jenis
tindakan pidana kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut
yakni:
1. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303
Bab 14 Buku ke 2 KUHP.
2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d.
547 Bab 6 Buku 3 KUHP.RUU KUHP hanya mengelompokkan dalam 1
(satu) bab dengan judul tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar
kesusilaan. Tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan
tersebut diatur dalam Pasal 467 s.d. 505 Bab 16 RUU KUHP.
15
Adapun pengaturan delik kesusilan dalam Undang-Undang Pornografi
meliputi larangan dan pembatasan perbuatan yang berhubungan dengan
pornografi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi, yakni:
1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan
3. Kekuasan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2 ayat (1) Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. (3) Semua peradilan di seluruh
wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan
undang-undang. (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
4. Analisis Yuridis PN-Boyolali No. 142 / Pid.Sus/2011/PN-BI
Sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa untuk dididik dan dibina
di Panti Sosial selama 6 (enam) bulan sudah tepat dan telah berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang adil terutama fakta-fakta yang diperoleh
dipersidangan. Diharapkan terdakwa dapat menjadi lebih baik lagi setelah
menjalani sanksi berupa tindakan tersebut.
Menurut penulis, dalam penjatuhan sanksi terhadap terdakwa sudah tepat
karena hakim telah memperhatikan berbagai pertimbangan faktor yuridis,
fakta-fakta dalam persidangan, bukti-bukti yang ada serta keterangan saksi-saksi dan
terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan memperhatikan rasa keadilan yang
diberikan oleh hakim kepada terdakwa mengingat terdakwa dan korban masih
mempertimbangkan faktor non yuridis dan telah sesuai dengan teori dasar
pertimbangan hakim, seperti teori keseimbangan yaitu hakim melihat kepentingan
terdakwa, kepentingan korban dan keluarganya, serta masa depan terdakwa. Teori
pendekatan seni dan intuisi yaitu hakim melihat keadaan terdakwa pada saat
melakukan tindak pidana karena tidak semua pelaku anak dijatuhkan sanksi yang
sama. Teori Pendekatan keilmuan yaitu hakim memutus suatu perkara dengan
ilmu pengetahuan hukum dan wawasan keilmuan hakim, dalam perkara anak ada
upaya Diversi dan Restorative Justice sehingga pelaku anak tidak dipidana.
Hakim telah melihat dari teori pendekatan pengalaman yaitu hakim
memutus perkara dengan pengalaman yang dimilikinya dan dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan, hakim melihat sanksi yang
diberikan kepada terdakwa untuk dibina dan didik adalah yang terbaik untuk masa
depan terdakwa yang masih anak-anak karena jika terdakwa dipidana akan
membuat terdakwa semakin parah.
Teori Ratio Decidendi yaitu hakim memutus suatu perkara didasarkan
pada landasan filsafat yang mendasar dan mempertimbangkan segala aspek yang
berkaitan dengan pokok perkara serta peraturan perundang-undangan sebagai
dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal
meringankan terdakwa serta saran Balai Pemasyarakatan adalah salah satu
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi sehingga kepada terdakwa
dijatuhi sanksi.
Putusan hakim tersebut sudah memenuhi tujuan perlindungan anak, karena
merampas kemerdekaannya dan dapat memberikan stigma yang kurang baik pada
diri terdakwa dimasa depan, karena dalam menjatuhkan sanksi kepada anak tidak
boleh merampas masa depannya, terdakwa diupayakan untuk dihindarkan dari
hukuman penjara yang dapat merampas masa depannya. Dengan diberikan sanksi
berupa tindakan dididik dan dibina menjadi anak Negara diharapkan dapat
mencegah pengulangan tindak pidana dan menjadikan terdakwa lebih baik lagi.
F. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan,16 yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban
Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan
Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI).
2. Spesifikasi penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini,
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana
pencabulan. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,17 yaitu
dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi
peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), hal 14.
17
kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang
dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi,
buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh pemerintah. 18
3. Sumber data
Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan
melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang
meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori
dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa
peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri
dari:
1. Bahan hukum primer, antara lain:
a. Norma atau kaedah dasar
b. Peraturan dasar landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian
ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
18
2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana
tindak pidana pencabulan, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,
hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan
penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal
ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat
dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. 44
3. Alat pengumpulan data
Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi
dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang
diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang
kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang
relevan dengan objek penelitian.
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data untuk
memperoleh data dan informasi yaitu melalui metode penelitian kepustakaan
(Library Research). Metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu
penelitian yang dilakukan dengan menelaah berbagai bahan pustaka yang
berhubungan dengan kasus dalam penelitian ini.
4. Analisis data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan
ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan
cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang tindak pidana pencabulan, kemudian membuat sistematika dari
Pasal-Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara
kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data
diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan
kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh
manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai
gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar
manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENCABULAN
Bab ini berisikan mengenai Ketentuan Pidana Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Delik-Delik Susila
Tentang Perbuatan Cabul dan Pertanggungjawabannya,
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku bagi pelaku cabul terhadap
wanita yang mengalami gangguan jiwa.
BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
SANKSI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BOYOLALI NO. 142 /PID. SUS/2011/PN-BI)
Bab ini berisikan tentang Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan
dan Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142/Pid.Sus/2011/PN-BI, Posisi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI, Dakwaan, Fakta Hukum,
Tuntutan, Putusan Hakim, Analisis Kasus
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab
ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan
isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar.
Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang
dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN
A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kasus-kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi-reaksi
sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan pun terhadap pidana yang telah
dijatuhkan, dimuat dalam media massa. Selain daripada pemerkosaan dan
pemidanaan terhadap pemerkosaan yang disorot, sering juga orang membicarakan
penanggulangan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengamati pandangan/
pendapat terhadap penanggulangan akibat tindak kekerasan seksual pada
anak-anak sebagai dimuat dalam Bab II KUHP, tampaknya masih kurang tepat jika hal
tersebut dibebankan kepada aparat penegak hukum terutama selain dari kegiatan
aparat penegak hukum tersebut telah cukup padat, keahlian tersebut kemungkinan
tidak dimiliki aparat penegak hukum tersebut.
KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi
hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung
kekurangan secara tidak substansial dalam hal melindungi korban kejahatan.
Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.
Dalam pembahasan ini penulis akan di uraikan atau deskripsikan posisi
korban kejahatan kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif (KUHP).
Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pasal
289 dan Pasal 290. Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana Paedofilia
perbuatan perkosaan pada Pasal 289 yang bunyinya sebagai barikut : Barangsiapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan
kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”19
Sedangkan dalam Pasal 290 berbunyi :
1a. Barangsiapa melakukan berbuat perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang pingsan atau tidak berdaya.
2a. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur anak orang itu belum
cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu
belum masanya untuk kawin.20
Dari rumusan dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk
adanya tindak pidana paedofilia adalah: 1) barangsiapa, 2) dengan kekerasan, atau
3) dengan ancaman kekerasan, 4) memaksa, 5) seseorang wanita yang belum
masanya kawin, 6) adanya pencabulan.
Persepsi terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar
Bahasa Indonesia memuat artrinya sebagai berikut :“ keji dan kotor, tidak senonoh
(melanggar kesopanan, kesusilaan).”
Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan,
atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin.21
19
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor: Politea, 1994), hal 212
Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 289
KUHP menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh
pelaku adalah sembilan tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal,
dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus diterapkan. Sanksi
minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun
lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis.
Jika kemudian dalam perjalanan sejarah penerapan Pasal 289 oleh hakim,
hanya ada beberapa kali putusan maksimal itu diterapkan, maka tidak
semata-mata bisa menyalahkan hakimnya, meskipun dalam visi kemanusiaan dan
keadilan yang layaknya didapatkan korban, hakim telah bertindak diluar
komitmen dan nilai-nilai kemanusiaannya.
1. Tentang unsur ‘’barang siapa’’ dalam KUHP memang tidak ada penjelasan
rinci, namun kalau kita simak Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50 dan 51 KUHP
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘’barang siapa’’ atau subjek
tindak pidana adalah ‘orang’ atau ‘manusia’. Bukti lain yang dapat diajukan
yang menunjukan bahwa objek tindak pidana adalah orang lain ialah: pertama,
untuk penjatu8hyan pidana diharuskan adanya kesalahan atau kemampuan
bertanggung jawab dalam hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal
10 KUHP hanya bermakna atau hanya mempunyai arti bila dikenakan pada
‘orang’ atau ‘manusia’. Kalau dilihat dari luas sempitnya perbuatan pelaku
maka akan termasuk sebagai pelaku tindak pidana bukan hanya orang yang
medepleger (menyuruh melakukan, medeplichtigheid (membantu melakukan )
dan uitloking (membujuk atau mengajurkan).22
2. ‘Kekerasan’ adalah kekuatan fisik atau perbuatan yang menyebabkan orang
lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu melekukan perlawanan atau
pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana Paedofilia antara lain
sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang
yang terkena tidak berdaya. Dalam tindak pidana perkosaan, kekerasan ini
dilakukan oleh pelaku sebagai upanya untuk mewujudkan maksud atau nitnya
untuk bersetubuh dengan korban. Sudah barang tentu ini dilakukan kerena
adanya pertentangan kehendak. Dalam kasus tindak pidana pencabulan,
pelaku prinsip semakin cepat kasus dilaporkan dan tempat kejadian perkara
diamankan, maka akan semankin besar untuk menangkap pelaku. Untuk
menentukan ada tidaknya sperma dalam tubuh korban, paling lama visum
dilakukan dua hari sejak terjadi perkosaan.
3. Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi
ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau
kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan korban yang sebagian
besar anak-anak menjadi takut dan tidak punya pilihan lain selain mengikuti
kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.23
4. Unsur ‘memaksa’ dalam pencabulan menunjukan adanya pertentangan
kehendak antara pelaku dengan korban. Sehingga tidak ada pencabulan
apabila tidak ada pemaksaan.
22
Barita Sinaga, Varia Peradilan, IX, 1994, hal 157
23
5. Unsur yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita yang belum masanya
untuk kawin” atau anak-anak dibawah umur atau seseorang yang umurnya
belum cukup 15 tahun terhadap ‘’wanita yang belum dewasa’’ memerlukan
perlindungan khusus sehingga setiap pria yang berminat bersetubuh dengan
wanita tersebut mengetahui dan memahami risiko yang lebih besar.
Anak-anak wanita yang masih belum mengerti “hubungan seks”, dengan bujukan
sedikit uang. Mungkin telah mau membuka celana dalamnya dan mau disuruh
tidur telentang tanpa paksaan si pria telah dapat mensetubuhinya.
6. Untuk selesainya tindak pidana Paedofilia maka harus terjadi pencabulan yang
dilakukan pelaku kepada korban. Dalam arti tidak ada pidana Paedofilia jika
tidak terjadi pencabulan dimana anak-anak sebagai korbannya. Adapun
tanda-tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah terjadi persetubuhan atau
penetrasi antara lain :
a. Robeknya selaput dara (hymen) dalam hal anak-anak sebelum dicabuli
masih dalam keadaan perawan, bentuk robeknya selaput dara akan berbeda
antara hubungan kelamin yang dilakukan paksa, umumnya robekan hymen
akan tidak beraturan bila korban berusaha untuk melawan.
b. Tanda kekerasan pada vagina (vulva) biasanya terjadi karena pelaku
membuka celana dalam korban atau memasukkan penisnya secara paksa
dan tergesa-gesa, tanda kekerasan ini bisa berupa goresan kuku atau
tangan pelaku.
c. Sperma pelaku yang tertinggal dalam vagina.24
24Ibid
Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada KUHP adalah dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya :
1) Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang perempuan
dan menyentuhnya pada alat kelaminnya.
2) Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan dan
kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat
mengelusnya teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan hal
tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.25
Konsep mengenai tindak pidana paedofilia atau kejahatan kesusilaan ini
sebagaimana dalam RUU-KUHP sudah mulai ada kemajuan, terutama dari segi
ancaman sanksi hukuman yang akan dikenakan pada pelaku. Masing-masing
kejahatan kesusilaan telah diancam dengan sanksi hukuman bersifat pemberatan.
Selain itu, dalam RUU-KUHP telah ada kemajuan mengenai penjatuhan hukuman
secara berganda pada pelakunya, yaitu selain dijatuhi sanksi penjara, juga dapat
dijatuhi sanksi berupa denda yang sudah disahkan oleh pemerintah, yaitu denda
Rp300.000.000 juta rupiah bagi setiap pelaku paedofilia yang tertangkap sebagai
ganti rugi terhadap anak-anak yang sudah dicabulinya.
Meskipun demikian, ancaman hukuman itu masih belum bisa
mengimbangi ancaman hukum yang digariskan hukum islam. Padahal dalam
hukum islam, kalau kasus seprti itu terjadi, maka hukuman maksimumnya adalah
hukuman mati. Idealnya, pembaharuan hukum yang hemdak direncanakan sebagai
bagian dari konsekuensi politik hukum di indonesia ini, adalah dapat mengacu
25
pada kepentingan yang memfokuskan pada kepentingan masyarakat dan korban
kejahatan.
B. Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan Pertanggungjawabannya
Tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, mendidik
atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan
kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan juga dengan adanya hukum pidana yang bersifat represif
diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya dan apabila
kembali ke masyarakat dapat diterima seperti dahulu sebelum ia di penjara
Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitan Balai Pustaka.26 Kata
“susila” dimuat arti sebagai berikut :
1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;
2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;
3. Pengetahuan tentang adat
Makna dari “kesusilaan” adalah tindakan yang berkenaan dengan moral
yang terdapat pada setiap diri manusia, maka dapatlah di simpulkan bahwa
pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana
perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah
diatur dalam perundang-undangan.
26
Pengaturan tentang tindak pidana kesusilaan di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan jenis tindakan pidana
kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut yakni:
1. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303
Bab 14 Buku ke 2 KUHP.
2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d. 547
Bab 6 Buku 3 KUHP
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan
secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak
pidana.27 Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang
dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.
Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah
mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab
adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.
Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana
diperbolehkan dan yang tidak.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan
perbuatan tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi
27
masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang
telah dilakukan orang tersebut.
Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka
terdakwa haruslah28:
a. Melawan perbuatan pidana
b. Mampu bertanggungjawab
c. Dengan sengaja atau kealpaan, dan;
d. Tidak ada alasan pemaaf
Unsur delik pada Pasal 293 adalah:
1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya.
2. Membujuk dengan menggunakan :
a. hadiah/ uang.
b. pengaruh yang berlebihan yang ada disebabkan oleh hubungan yang ada.
c. Tipuan
3. Bujukan ditujukan pada orang yang belum dewasa yang patut disangka oleh
pembujuk dan baik tingkah lakunya.
Membujuk berarti berusaha supaya orang menuruti kehendak yang
membujuk bukan memaksa. Apabila dengan bujuk rayu tersebut maka terjadi
perbuatan cabul tersebut maka pelaku baru dapat dikenai sanksi pidana.
Pasal 294 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan
kepada anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak dibawah pengawasanya, yang
28Ibid.
belum cukup umur, atau orang yang belum cukup umur dimana pemeliharaan,
pendidikan ditanggungkan kepadanya. Dalam Pasal ini maka pelaku akan dikenai
sanksi pidana apabila perbuatan cabul dilakukan terhadap anak yang dibawah
umur yang masih terdapat hubungan dengannya dimana ancaman pidana nya jauh
lebih berat.
Pasal 294 (1) : barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya,
anak tirinya, anak angkatnya anak dibawah pengawasanya, yang belum cukup
umur atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya,
pendidikannya dan penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan
bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun
Dalam Pasal 296 perbuatan yang dilarangan adalah menghubungkan atau
memudahkan perbuatan cabul orang lain dan menjadikannya sebagai mata
pencaharian. Pasal ini digunakan untuk orang-orang yang bekerja dalam bisnis
pelacuran yaitu sebagai penyedia tempat, penyalur anak- anak dibawah umur
yangdilacurkan. Pasal 296 KUHP disebutkan bahwa : Barang siapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain
dengan orang lain dan menjadikan nya sebagi pencarian atau kebiasaan diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan tau denda paling
banyak seribu rupiah.29
Berbicara konsep pertanggungjawaban pidana (strafbaarheid) mau tidak
mau harus didahului dengan pembicaraan tentang konsep perbuatan pidana
29
(strafbaarfeit). Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana
tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika
tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu perbuatan, sedang ia
sendiri tidak melakukan perbuatan itu.30 Di antara ahli hukum pidana masih ada
perbedaan pendapat apakah konsep perbuatan pidana di dalamnya terkandung
juga konsep pertanggungjawaban pidana atau kedua konsep tersebut merupakan
konsep yang berbeda namun tidak dipisahkan.
Simons misalnya mengatakan bahwa dalam perbuatan pidana di dalamnya
juga terkandung makna pertanggungjawaban pidana. Pendapat serupa
dikemukakan oleh Van Hamel yang mengatakan bahwa istilah strafbaarfeit
diartikan sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Pemikiran tersebut pada akhirnya melahirkan suatu aliran yang tidak memisahkan
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pendapat yang berbeda
dikemukakan oleh Moeljatno dan Roeslan Saleh yang menyatakan konsep
perbuatan pidana harus dipisahkan dari konsep pertanggungjawaban pidana. Hal
ini karena untuk menentukan salah tidaknya seseorang terlebih dahulu harus
dibuktikan bahwa ia melakukan suatu perbuatan. Dari pemikiran ini kemudian
memunculkan suatu aliran yang dalam hukum pidana dikenal dengan aliran
dualisme, yaitu aliran yang memisahkan konsep perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana.31
30
Roeslan Saleh, Op.cit, hal 20-23
31
Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang
obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya
perbuatan pidana adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini
Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang obyektif
yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada memenuhi syarat
untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana
adalah asas legalitas (principle of legality), sedangkan dasar dapat dipidananya
pembuat adalah asas kesalahan (principle of culpability). Ini berarti bahwa
pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.32
“ Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang–undang
dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan
pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana,
yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan (bersalah).
Dengan kata lain, orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut“.33
32Ibid
., hal 25
33
Sudarto mengindikasikan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana
tidak akan pernah ada. Maka dari itu dalam hukum pidana dikenal asas “ tiada
pidana tanpa kesalahan “ (geen straf zonder schuld) sebagaimana telah banyak
disebutkan dalam paragraf terdahulu. Asas kesalahan ini merupakan asas yang
fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas ini sehingga
meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.
Kesalahan dalam arti luas yang bisa dipersamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna bisa
dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, jika dikatakan bahwa orang
bersalah melakukan suatu perbuatan pidana, itu berarti orang tersebut dicela atas
perbuatannya. Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah
sebagai berikut:34
a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, atinya keadaan jiwa
si pembuat harus normal.
b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk–bentuk
kesalahan.
c. Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan ( alasan pembenar/alasan
pemaaf)
Roeslan Saleh tiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, dalam arti urut-urutannya dan
34
yang disebut kemudian bergantung pada yang disebut terlebih dahulu. Singkatnya,
tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan,
apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat
dipikirkan mengenai alasan penghapus pidana, apabila orang itu tidak mampu
bertanggungjawab dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan.35
a. Unsur yang pertama adalah kemampuan bertanggungjawab yang diartikan
sebagai kondisi sehat dan mempunyai akal dalam membedakan hal-hal yang
baik dan yang buruk, atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu
untuk menentukan kehendaknya.36 Jadi, paling tidak ada dua factor untuk
menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan
faktor kehendak. Akal bisa membedakan antara perbuatan yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.37 Sedangkan kehendak berarti bisa
menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
b. Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik
alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud
alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku
perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya
dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya
adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang
35
Roeslan Saleh, Op. cit., hal 78.
36
Schaffmeiser Dorman, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor penerjemah, J.E Sahetapy , (Yogyakarta: Liberti , 1995), hal 87
37
menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut
diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP.
c. Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik
alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud
alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku
perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya
dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya
adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang
menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut
diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. sesungguhnya dalam
teori hukum pidana dikenal teori yang disebut dengan teori kesalahan
normatif. Pada intinya teori ini menyatakan bahwa kesalahan ada jika
kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan
dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat
dicela karena melakukan tindak pidana. Kesalahan dalam konteks ini diartikan
sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi
masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut.38
Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah
penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang manjadi
patokan penilaian tentang kesalahan diorientasikan terhadap fungsi dan sistem
norma tersebut. Kesalahan berarti pembuat (seseorang atau badan hukum) telah
38
berbuat bertentangan dengan harapan masyarakat. Hukum mengatur kehidupan
seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian maupun
keresahan pada masyarakat. Seseorang dikatakan bersalah ketika melakukan suatu
tindak pidana karena telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan
hukum maupun harapan masyarakat. Padahal pada dirinya selalu terbuka
kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana
tersebut, dimana hal ini berarti bahwa tiap individu memiliki pilihan untuk
berbuat atau tidak berbuat suatu penyimpangan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada petindak jika telah
melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dari sudut pandang terjadinya suatu tindakan
yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan apabila tindakan
orang tersebut bersifat melawan hukum dan orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk bertanggungjawab.
Pada perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak,
pelaku dalam hal ini yang merupakan orang dewasa bisa siapa saja. Pelaku bisa
merupakan orang lain contohnya pada bisnis pelacuran pelaku merupakan orang
lain yang tidak dikenal oleh anak itu dimana hubungan pelaku dan korban tidak
lain merupakan hubungan bisnis dan jasa yaitu pelaku menggunakan jasa anak
untuk mendapatkan kepuasan secara seksual dan anak mendapatkan imbalan
berupa uang atau barang.
Pada perbuatan cabul pelaku harus memenuhi setiap unsur delik yang ada
tersebut, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar,
termasuk cakap hukum atau tidak, dimana setelah dipertimbangkan mengenai hal-
hal tersebut, maka dapat ditentukan apakah pelaku dapat dijatuhi sanksi pidana
atau tidak sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Akan tetapi sebelum
penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan
dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana.
C. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI
Ulasan kasus Terdakwa Budiyanto Bin Sanasma(alm) pada hari Rabu
tanggal 1 Juni 2011 sekitar jam 11.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain
dalam tahun 2011 bertempat di rumah saksi korban Warti Dk. Kiringan
Rt.01/RW.01 Ds. Canden Kec. Sambi Kab. Boyolali setidak-tidaknya masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali dengan kekerasan atau
dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan
dilakukan padanya perbuatan cabul
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.39
39
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan
bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.40 Secara subjektif
kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana)
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk
adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus
ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan
hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi
syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.41
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34
memberikan definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:
Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi
syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri
sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini
berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus
dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid)
40
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
41
yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang
berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.42
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut
Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan
toerekenbaar.43 Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan
toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban
kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee
keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi
perbuatan yang toerekeningsvatbaar.44
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana
sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari
berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem
pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari berbagai
pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita
menyatakan sebagai berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”
dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum
pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of
42
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
43
R. Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.131