• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO (Studi Kasus Pada PT. BPR Lampung Bina Sejahtera)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO (Studi Kasus Pada PT. BPR Lampung Bina Sejahtera)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DALAM PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO

(Studi Kasus Pada PT. BPR Lampung Bina Sejahtera)

Oleh

AKHMAD AL KAUTSAR

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan peran Bank Perkreditan Rakyat dalam pemberdayaan usaha mikro. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Informan ditentukan dengan purposive sampling yakni penentuan disesuaikan dengan kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Data diperoleh dari hasil wawancara dan menggunakan dokumen. Selanjutnya analisis data dilakukan dengan reduksi data, display atau penyajian data dan tahap kesimpulan (verifikasi). Lokasi penelitian di PT. BPR Lampung Bina Sejahtera, Bandar Lampung. Informan dalam penelitian ini berjumlah 4 orang, yang terdiri dari pihak Bank melalui salah seorang Staff Account Officer yang mengurusi penyaluran kredit dan pihak nasabah yang bergerak dalam usaha mikro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bank Perkreditan Rakyat sebagai salah satu lembaga ekonomi mikro, mempunyai peran dalam pemberdayaan usaha mikro melalui penyediaan modal usaha, proses pendampingan (pembinaan), penyediaan sarana untuk pelayanan dalam membantu usaha mikro mengatasi permasalahan yang dihadapi dan pengawasan. Pembinaan dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung. Pembinaan secara langsung adalah dengan berdiskusi atau berbicara langsung secara personal, dan melalui pelatihan. Sedangkan pembinaan secara tidak langsung yaitu dengan menganalisis data operasional kredit dan neraca rugi/laba usaha nasabah. Adapun hambatan yang dihadapi Bank Perkreditan Rakyat dalam proses pemberdayaan terhadap usaha mikro, adalah permasalahan internal seperti kurangnya tenaga ahli yang dimiliki. Sedangkan hambatan eksternalnya adalah, keadaan usaha yang tidak kondusif serta masih bersifat tertutupnya usaha mikro yang menjadi nasabah dalam pelaporan kegiatan usaha. Strategi yang ditempuh oleh Bank Perkreditan Rakyat dalam menghadapi hambatan tersebut antaralain berupa, melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia untuk menutupi kekurangan tenaga ahli yang mereka miliki. Kemudian melakukan pendekatan yang lebih intens lagi terhadap nasabah yang masih bersifat tertutup dalam pelaporan kegiatan usahanya.

(2)

THE ABSTRACT

The ROLE of the PERKREDITAN RAKYAT BANK in EMPOWERMENT of MICRO efforts

(The case study In PT. BPR Lampung Bina Sejahtera)

Oleh

AKHMAD AL KAUTSAR

The aim of this research was to know and explain the role of the Perkreditan Rakyat Bank in empowerment of micro efforts. The method that was used in this research was qualitative. The informant was determined with purposive sampling that is the determination was matched with the certain criterion that was appointed to be based on the aim of the research. The data was received from results of the interview and used the document. Further the analysis of the data was carried out with the reduction in the data, display or the presentation of the data and the conclusion stage (the verification). The location of the research in PT. BPR Lampung Bina Sejahtera, Bandar Lampung. The informant in this research numbering 4 people, who consisted of the Bank's side through one of the staffs the Officer Account that was in charge of the channelling of credit and the customer's moving side in an effort to micro. Results of the research showed that the Perkreditan Rakyat Bank as one of the micro-economics agencies, had the role in empowerment of micro efforts through the provisions of capital of efforts, the process of assistance (the management), the provisions of means for the service in helping micro efforts to overcome the problem that was dealt with and the supervision. The management was carried out by means of direct and indirectly. The management directly was by discussing or speaking directly personally, and through the training. Whereas the management in a manner indirectly that is by analysing the operational data credit and the balance of the loss/the profit of the customer's efforts. As for the obstacle that was dealt with by the Perkreditan Rakyat Bank in the process of empowerment towards micro efforts, was the internal problem like the shortage of the expert who was had. Whereas his external obstacle was, the efforts situation that was not conducive as well as still was closed him micro efforts that became the customer In the Report the efforts activity. The strategy that was followed by the Perkreditan Rakyat Bank in facing this obstacle in part take the form of, carried out the co-operation with the Indonesian Bank to cover the lack of the expert who was had by them. Afterwards carried out the approach that was more again intense against the customer that still was closed in the Report his efforts activity.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan bangsa Indonesia ke depan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta mempunyai ketrampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang tetap dan layak, serta pada akhirnya mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan, dan pendidikan anggota keluarganya.

(4)

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mempunyai peran yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi nasional, hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang meningkat dari tahun 2006 sampai 2007. Berdasarkan hasil survey dan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi UMKM terhadap PDB pada tahun 2006 tercatat sebesar 53,3% dan pada tahun 2007 kontribusinya meningkat menjadi 53,6%. Perbandingan komposisi PDB menurut kelompok usaha pada tahun 2006 dan 2007 disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Komposisi PDB menurut Kelompok Usaha pada Tahun 2006 dan 2007.

No. Skala Usaha 2006 2007 Pertumbuhan

1.

Sumber : BPS dan Kementerian Koperasi & UKM (diolah)

Pertumbuhan PDB UMKM tahun 2006 terjadi di semua sektor ekonomi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan sebesar 8,2%, diikuti sektor jasa-jasa 8,1%, sektor pertambangan dan galian sebesar 7,9%, dan pertumbuhan terendah terjadi pada sektor pertanian sebesar 3,1%. Sementara itu, pertumbuhan PDB UMKM 2007 terjadi pada semua sektor ekonomi, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor bangunan sebesar 9,3%, diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran 8,5%, dan sektor pertambangan serta galian sebesar 7,8% (BPS dan Kementrian Koperasi&UMKM, 2007).

(5)

kerjanya mencapai 85,4 juta orang atau 96,18% terhadap seluruh angkatan kerja Indonesia. Untuk 2007, jumlah populasi UMKM mencapai 49,8 juta unit usaha atau 99,99% terhadap total unit usaha di Indonesia, sementara jumlah angkatan kerja mencapai 91,8 juta orang atau 97,3% terhadap seluruh angkatan kerja Indonesia (BPS dan Kementrian Koperasi&UMKM, 2007).

Mengingat perannya dalam pembangunan, usaha mikro harus terus dikembangkan dengan semangat kekeluargaan, saling membantu, saling memperkuat antara usaha mikro, kecil, dan besar dalam rangka pemerataan serta mewujudkan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah dan masyarakat harus saling bekerjasama. Masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, melindungi, serta menumbuhkan iklim usaha.

Beberapa bukti empiris telah menunjukkan, salah satunya adalah hasil penelitian dari beberapa ahli yang mengatakan bahwa kesejahteraan penduduk di suatu negara dipengaruhi oleh perkembangan ekonominya. Sementara itu perkembangan ekonomi ditentukan oleh sejauh mana penduduk negara tersebut mempunyai spirit berwirausaha (Martowijoyo, 2000).

(6)

berjalan dengan aman dan baik sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal besar untuk ekspansi produksi, biasanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kreditor dan BPR-BPR (Bank Perkreditan Rakyat) maupun TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam–KUD) sangat membantu modal kerja mereka (Dipta, 2001).

Kedua, bagi usaha mikro dengan pemasukan antara Rp 50 juta hingga 2 milyar,

tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha kecil jenis ini adalah (Dipta, 2001) :

a. Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah.

b. Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkualitas rendah, dan tingginya harga bahan baku berkualitas baik.

c. Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai oleh perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti.

d. Masalah tenaga kerja, karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

(7)

terpenting yang dihadapi usaha mikro, namun permodalan merupakan salah satu unsur vital dalam mendukung peningkatan produktivitas, taraf hidup, dan pendapatan usaha mikro.

Meskipun sampai saat ini sudah cukup banyak model financial yang diimplementasikan dan diproyeksikan untuk pengembangan usaha mikro, baik yang dilakukan lembaga formal (perbankan) maupun informal (termasuk yang dilakukan LSM), persoalan modal tetap merupakan persoalan penting yang dihadapi usaha mikro. Ironisnya persoalan modal dalam pengembangan usaha mikro justru muncul seiring dengan kesulitan di pihak perbankan dalam

penyaluran kreditnya.

Selain permodalan, masalah yang dihadapi oleh usaha mikro adalah masalah manajemen. Terutama sekali adalah ketidakmampuan pengusaha mikro

menentukan pola manajemen yang sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan usahanya. Hal ini penting karena setiap periode tahap perkembangan usaha akan menuntut tingkat pengelolaan usaha yang berbeda. Pada awal perkembangan usaha atau skala usaha masih relatif kecil, gaya manajemen keluarga dan sederhana (manajemen konvensional) yang mengarah

kepada pemusatan pengelolaan seorang (one man show) mungkin masih relevan (Dipta, 2001).

Namun sejalan dengan perkembangan lingkungan usaha (intern dan ekstern), gaya manajemen konvensional tidak dapat dipaksakan lagi, karena hal tersebut dapat

(8)

sesuai dengan perkembangan usaha. Namun, tuntutan ini hanya dapat dilakukan jika para pengusaha mikro memiliki kemampuan dan keterampilan (managerial skill) yang memadai pula.

Permasalahannya adalah, managerial skill pengusaha mikro pada umumnya lemah. Akibatnya, gaya dan pola manajemen yang diterapkan oleh pengusaha mikro kurang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan usaha, atau mungkin juga

karena pengusaha mikro belum mampu menyusun prioritas langkah yang harus dilakukan untuk pengembangan manajemennya (Dipta, 2001).

Hal lain, karena pengusaha mikro belum mampu memperhitungkan azas manfaat dan biaya dari perubahan dan penerapan manajemen yang sesuai. Kenyataan yang sering muncul adalah, pengusaha tidak mau melakukan pembagian tugas dalam bentuk pengadministrasian yang baik hanya karena alasan biaya tanpa memperhitungkan seberapa besar manfaat yang dapat dinikmatinya.

Misalnya dalam masalah manajemen sumberdaya manusia. Pengusaha mikro sering tidak mampu menerapkan job description yang jelas, bahkan sering mengarah kepada one man show. Hal ini pada tingkat tertentu dapat mengganggu kelancaran usaha, menurunkan pemasukan, serta mengakibatkan lepasnya kesempatan meraih peluang-peluang pasar, karena bagaimanapun, kemampuan seorang individu sangatlah terbatas, baik energi, waktu maupun pikiran (Dipta, 2001).

(9)

keuangan rumahtangga. Kondisi ini mengakibatkan pengusaha mikro sulit melakukan perhitungan-perhitungan dan pencatatan kegiatan usaha sehingga hasilnya tidak akurat. Pada gilirannya akan menghambat proses pembentukan modal usaha untuk menunjang pengembangan usahanya.

Akibatnya, pada saat usahanya harus berhubungan dengan pihak luar, misalnya pengajuan kredit, tidak dapat ditunjukkan data perkembangan usahanya. Kalaupun pengusaha sudah melakukan pencatatannya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan sistem pencatatan standar. Selain permodalan dan manajemen, pemasaran adalah masalah mendasar yang juga dihadapi oleh pengusaha mikro. Masalah di bidang pemasaran yang dihadapi pengusaha mikro pada umumnya terfokus pada tiga hal (Hafidz, 1987):

a. Masalah persaingan pasar dan produk. b. Masalah akses terhadap informasi pasar. c. Masalah kelembagaan pendukung.

Berdasarkan persoalan–persoalan di atas, dapat dipahami bahwa persoalan modal bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, tetapi terkait dengan persoalan-persoalan lain yang juga sama pentingnya bagi pengusaha mikro, seperti persoalan manajemen. Artinya bahwa pemecahan persoalan modal harus dikaitkan dengan

pemecahan persoalan lain yang dihadapi dalam usaha mikro.

(10)

mekanisme arus informasi yang sinergis (Hutomo, 2000). Selain itu, diperlukan upaya untuk menjembatani kesenjangan (gap) antar pengusaha mikro yang kesulitan mendapatkan modal dengan pihak lembaga keuangan yang memiliki kesulitan menyalurkan modal. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mencoba melibatkan pengusaha mikro, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam hal perumusan skema kredit, termasuk prosedur penyaluran kredit yang diproyeksikan untuk usaha mikro (Hutomo, 2000).

Dengan kata lain, diperlukan upaya dan kehadiran aktor untuk menjembatani gap antara pengusaha mikro yang kesulitan mendapatkan modal dengan pihak lembaga keuangan yang kesulitan dalam menyalurkan modal. Hadirnya aktor dan skema bersama akan menyebabkan posisi pengusaha mikro meningkat dari hanya sekedar “obyek” menjadi “subyek” dalam perumusan dan penyaluran kredit untuk

usaha mikro. Dalam konteks ini menjadi penting untuk mengubah orientasi pembuatan kebijakan publik kearah yang lebih partisipatif dan transparan, baik di tingkat perumusan maupun implementasi kebijakan.

Upaya untuk mengatasi masalah di bidang manajemen sebetulnya sudah banyak dilakukan, antara lain melalui pelatihan dari berbagai instansi terkait. Namun, upaya tersebut dirasakan masih harus ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu mengatasi masalah yang mendasar tersebut. Bentuk dan materi pelatihan juga harus lebih disesuaikan dengan kebutuhan usaha mikro.

(11)

membuat spesifikasi materi serta bentuk pelatihan, hendaknya disertai pembimbing lapangan yang dapat langsung diaplikasikan.

Dalam hal ini pemerintah melalui departemen terkait sudah cukup memberikan perhatian sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap usaha mikro yang semakin besar dan semakin kongkrit. Dengan adanya keberpihakan ini, usaha mikro diharapkan dapat berkembang dan mampu memenuhi harapan Pemerintah

sebagai sektor ekonomi yang mampu menciptakan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan juga devisa negara melalui ekspor produk usaha mikro.

(12)

Melihat peremasalahan-permasalahan yang muncul tersebut maka strategi pemberdayaan harus diarahkan oleh pemerintah untuk memperkuat aspek-aspek berikut (Sugiyanto, 2006):

1. Aspek Manajerial, yang meliputi peningkatan produktivitas/omzet, tingkat utilitas, tingkat hunian, peningkatkan kemampuan pemasaran, dan

pengembangan sumberdaya manusia.

2. Aspek permodalan, yang meliputi bantuan modal (penyisihan 1-5% keuntungan BUMN dan kewajiban untuk menyalurkan kredit bagi usaha kecil minimum 20 persen dari portfolio kredit bank) dan kemudahan kredit (KUPEDES, KUK, KIK, KMKP, KCK, Kredit Mini/Midi, KKU).

3. Mengembangkan program kemitraan usaha dengan usaha besar baik melalui sistem Bapak Anak Angkat, PIR, keterkaitan hulu-hilir (forward linkage), keterkaitan hilir-hulu (backward linkage), modal ventura, ataupun subkontrak. 4. Pengembangan sentra industri kecil dalam suatu kawasan, apakah berbentuk PIK (Pemukiman Industri Kecil), SUIK (Sarana Usaha Industri Kecil) yang didukung oleh UPT (Unit Pelayanan Taknis), dan TPI (Tenaga Penyuluh Industri).

5. Pembinaan untuk bidang usaha dan daerah tertentu malalui KUB (Kelompok

Usaha Bersama), atau KOPINKRA (Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan).

(13)

melakukan kebijakan sebagaimana yang tertuang dalam UU No.7/1992 tentang Perbankan, kemudian telah diubah terakhir dengan UU No.10/1998. untuk itu pemerintah menyediakan suatu lembaga keuangan yang menangani masalah pemberian pinjaman kepada masyarakat dalam hal ini usaha mikro, yaitu melalui Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Kinerja BPR sebagai lembaga keuangan mikro berbentuk bank, dari tahun ke tahun terus menunjukkan trend peningkatan. Dari sisi aset, jumlah kredit dan dana pihak ketiga, semuanya menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Tahun 2001 jumlah total aset BPR baru mencapai Rp 4,731 triliun, namun di akhir tahun 2006 total aset BPR telah meningkat tajam hingga mencapai Rp 23,045 triliun. Di sisi kredit, jumlah kredit yang dikucurkan BPR ke sektor usaha mikro, kecil, dan menengah tahun 2001 juga hanya sebesar Rp 3,619 triliun, dan pada akhir tahun 2006 jumlahnya naik menjadi Rp 16,948 triliun. Pengumpulan dana pihak ketiga juga seperti itu, dari sebesar Rp 4,581 triliun tahun 2001 jumlahnya melonjak menjadi Rp 15,771 triliun pada akhir tahun 2006 (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

(14)

mikro pada khususnya. Rentenir secara tidak langsung juga dapat menghambat

kinerja BPR itu sendiri bahkan dapat menghancurkan usaha mikro yang ada.

Dengan melihat keterangan tersebut maka dilakukanlah penelitian mengenai peran dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam hubungannya dengan kelangsungan usaha mikro, terutama dalam hal pemberdayaannya, karena dengan tumbuh dan berkembangnya usaha mikro maka secara langsung memberikan dampak bagi terciptanya lapangan pekerjaan baru yang menyerap banyak angkatan kerja sehingga BPR merupakan salah satu faktor penting dalam proses pembangunan ekonomi rakyat, khususnya dalam bidang permodalan serta penciptaan lapangan kerja baru.

B. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah ”Bagaimana peran dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai lembaga

keuangan mikro dalam pemberdayaan usaha mikro yang ada di Bandar Lampung?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan;

1. Program yang dijalankan BPR dalam memberdayakan usaha mikro yang ada di Bandar Lampung.

(15)

4. Strategi apa yang digunakan oleh BPR dalam mengatasi hambatan yang dihadapi tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah : 1. Kepentingan Akademis

Secara obyektif penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan Ilmu Sosial pada umumnya dan pengembangan ilmu Sosiologi Ekonomi pada khususnya.

2. Kepentingan Praktis

(16)
(17)
(18)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, karena ditinjau dari sudut cara dan taraf pembahasan masalahnya serta hasil yang akan dicapai berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen). Menurut Hadari Nawawi (2001:63) bahwa metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.

(19)

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang dinyatakan dalam bentuk kalimat atau uraian. Dalam rangka untuk mendapatkan data kualitatif ini, maka peneliti telah melakukan pemahaman makna (verstehen). Usman (2004) mengungkapkan bahwa metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkahlaku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.

B. Fokus Penelitian

Dalam suatu penelitian sangat penting adanya fokus penelitian, karena fokus penelitian sangat membatasi ruang lingkup penelitian yang dilakukan dan memegang peranan yang sangat penting dalam memandu serta mengarahkan jalannya suatu penelitian. Dalam fokus penelitian harus memperhatikan keterkaitannya dengan rumusan masalah yang ada karena keduanya saling berhubungan.

Menurut Licoln dan Guba (dalam Iskandar, 2008:195), bahwa masalah dalam penelitian kualitatif perlu dibatasi melalui fokus penelitian karena (i) suatu penelitian tidak dimulai dari suatu yang vakum atau kosong tetapi berdasarkan persepsi seseorang terhadap adanya suatu masalah (ii) penetapan fokus penelitian dapat membatasi apa yang ingin diteliti, karena fenomena-fenomena atau gejala-gejala itu bersifat holistik atau luas dalam hal ini fokus akan membatasi masalah penelitian (iii) fokus penelitian berfungsi memenuhi kriteria suatu informasi yang diperoleh di lapangan (iv) fokus penelitian masih bersifat tentatife atau sementara.

(20)

usaha mikro yang di dalamnya terdiri dari bagaimana peran BPR sebagai pemberi kredit, sebagai fasilitator dalam membantu kegiatan usaha mikro, kemudian peran BPR sebagai penggerak usaha mikro.

Setelah penelitian dilakukan maka terdapat beberapa hal yang perlu ditambahkan maupun dikurangi di dalam fokus penelitian agar hasil yang diperoleh lebih baik lagi, antara lain berupa peran BPR sebagai pemberi kredit, serta mengenai bagaimana mekanisme dari pemberian kredit kepada usaha mikro tersebut, termasuk pengawasan dalam pelaksanaannya. Kemudian peran BPR sebagai fasilitator bagi usaha mikro merupakan satu kesatuan dari program yang sama dengan peran BPR sebagai pemberi kredit maka hanya difokuskan kepada bagaimana bentuk dari pembinaan, monitoring, serta sosialisasi yang BPR lakukan kepada para pengusaha mikro. Berikut adalah hal-hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini:

1. Peran BPR sebagai pemberi kredit/penyedia dana bagi usaha mikro. a. Program yang dimiliki

b. Implementasi di lapangan c. Hambatan yang dihadapi d. Strategi yang ditempuh

2. Peran BPR sebagai fasilitator dalam membantu kegiatan dari usaha mikro. a. Implementasi di lapangan

(21)

3. Peran BPR sebagai penggerak dari usaha mikro. 4. Peran BPR dalam perspektif pemberdayaan.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang terdapat di Bandar Lampung, yaitu PT. BPR Lampung Bina Sejahtera. Dipilihnya lokasi penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa BPR Lampung Bina Sejahtera merupakan salah satu BPR yang telah cukup lama berkecimpung dalam pembinaan usaha mikro. Selain itu hal yang mendasari dalam memilih lokasi tersebut adalah bahwa dari data laporan keuangan Triwulanan (Sd September 2008) BPR di Bandar Lampung yang diterima oleh Bank Indonesia diketahui bahwa pada BPR Lampung Bina Sejahtera memiliki Nilai NPL (noun performing loan) terbesar diantara BPR yang ada di Bandar Lampung, yaitu sebesar 20.34%

dari batas aman yang ditetapkan BI 5%.

D. Penentuan Informan

Informan penelitian sebagaimana yang diungkapkan oleh Iskandar (2008:213), adalah subyek yang memberikan informasi tentang fenomena-fenomena situasi sosial yang berlaku di lapangan. Informan penelitian merupakan subjek yang memiliki hubungan karakteristik dengan situasi sosial (setting sosial) yang diteliti.

(22)

Menurut Singarimbun dan Sofyan Efendi (1989:155) teknik purposive bersifat tidak acak, dimana subjek dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Adapun pertimbangan yang digunakan dalam menentukan informan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Subjek telah lama dan intensif dalam suatu kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi sasaran perhatian peneliti.

b. Subjek yang masih terikat secara penuh dan aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi sasaran.

c. Subjek yang mempunyai cukup informasi, banyak waktu dan kesempatan untuk dimintai keterangan dan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian dibuat suatu kriteria yang digunakan dalam menentukan informan. Adapun kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:

Informan dari Pihak Bank Lampung Bina Sejahtera

a Mengetahui secara mendalam mengenai proses penyaluran kredit yang pihak Bank berikan kepada usaha mikro.

b Merupakan subjek yang terlibat secara langsung serta bertanggungjawab dalam proses penyaluran kredit terhadap usaha mikro.

Informan dari pihak nasabah BPR Lampung Bina Sejahtera

a Usaha mikro yang masih terdaftar sebagai salah satu nasabah dari Bank Lampung Bina Sejahtera.

b Merupakan nasabah yang pernah memanfaatkan binaan dari Bank Lampung

(23)

c Nasabah yang pernah mendapat bantuan dari pihak Bank dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.

Sebagaimana disebutkan diatas, maka informan dalam penelitian ini adalah informan dari pihak Bank Perkreditan Rakyat Lampung Bina Sejahtera yaitu melalui Staff Accounting Officer bidang perkreditan, dan nasabah dari Bank Perkreditan Lampung Bina Sejahtera yang menjalankan usaha mikro berupa, usaha gerabatan, rumah makan, dan laundry pakaian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam Pelaksanaan Penelitian ini alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah:

1. Metode Observasi

Observasi merupakan dasar memperoleh fakta sebelum mengunakan teknik pengumpulan data lainya. Metode observasi adalah suatu cara untuk mendapatkan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki dan diteliti. Sebelum melakukan wawancara penulis melakukan observasi, berupa pengamatan langsung terhadap proses penyeleksian permohonan kredit, kemudian penulis juga mengikuti proses pembinaan yang dilakukan oleh pihak Bank terhadap nasabah binaannya yang merupakan usaha mikro dengan langsung mendatangi ke lokasi usaha nasabah.

2. Metode Interview

(24)

tanya jawab (wawancara) harus dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Berdasarkan ulasan tersebut, peneliti menggunakan metode interview untuk mengetahui data secara langsung dari sumbernya baik itu petugas Bank maupun pengusaha kecil dan menengah yang menjadi nasabah. Selain itu dengan melakukan tatap muka secara langsung, peneliti dapat memperoleh data yang didapat lebih banyak. Seperti ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam Maleong (2001:135) mengenai maksud adanya wawancara adalah untuk mengkonstruksi mengenai orang, kegiatan-kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian tentang situasi sosial.

Di dalam proses wawancara dibutuhkan informan, Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong, 1998 : 90). Dalam penelitian ini penentuan informan baik informan utama (informan kunci) maupun informan penunjang dilakukan secara “Purposive sampling”. Yang menjadi informan utama adalah pihak dari BPR

tempat dilakukannya penelitian yang diwakilkan melalui Staff Accounting Officer bidang perkreditan sedangkan yang menjadi informan penunjang adalah nasabah binaan BPR yang menjalankan usaha mikro.

3. Studi Dokumentasi

(25)

F. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan lain yang telah dihimpun untuk menambah pemahaman mengenai bahan-bahan. Hal ini bertujuan untuk mengkomunikasikan apa yang telah ditemukan. sesuai dengan model alir dari Miles dan Haberman (1992:20) yang terdapat dalam Bungin (2003:229) yang membagi analisis data dengan tiga tahap, yaitu:

1. Reduksi Data

Pada tahap ini peneliti memusatkan perhatian pada data lapangan yang telah terkumpul. Data lapangan tersebut selanjutnya dipilih, dalam arti menentukan derajat relevansinya dengan maksud penelitian. Selanjutnya, data yang terpilih disederhanakan, dalam arti mengklasifikasikan data atas dasar tema untuk merekomendasikan data tambahan. Kemudian peneliti melakukan abstraksi data kasar tersebut menjadi uraian singkat atau ringkasan.

2. Tahap Penyajian Data

(26)

3. Tahap Kesimpulan (Verifikasi)

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perbankan di Indonesia

Pemahaman tentang Bank di Indonesia masih sepotong-sepotong, sebagian masyarakat hanya memahami bank sebatas tempat meminjam dan menyimpan uang belaka. Bahkan terkadang masyarakat sama sekali belum memahami bank secara utuh, sehingga pandangan tentang bank sering diartikan keliru. Selebihnya banyak masyarakat tidak paham sama sekali tentang dunia perbankan. Semua ini tentu dapat dipahami karena pengenalan dunia perbankan secara utuh terhadap masyarakat sangatlah minim, sehingga keruntuhan dunia perbankan pun tidak terlepas dari kurang pahamnya pengelola perbankan di tanah air dalam memahami dunia perbankan secara utuh (Kasmir, 2002).

(28)

Begitu pentingnya dunia perbankan, sehingga ada anggapan bahwa Bank merupakan “nyawa” untuk menggerakkan roda perekonomian suatu negara.

Anggapan ini tentunya tidak salah, karena fungsi Bank sebagai lembaga keuangan sangatlah vital, misalnya dalam hal penciptaan uang, mengedarkan uang, menyediakan uang untuk menunjang kegiatan usaha, tempat mengamankan uang, tempat melakukan investasi dan jasa keuangan lainnya.

Menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau

bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidur rakyat banyak”.

Secara umum bank adalah suatu badan usaha yang memiliki wewenang dan fungsi untuk untuk menghimpun dana masyarakat umum untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana tersebut(Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

(29)

menerima dan memberikan uang dari dan kepada pihak ketiga (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

Secara otentik, pengertian bank diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, pengertian bank diatur dalam Psal 1 huruf a, yaitu bank adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengertian bank diatur dalam Pasal 1 angka 1. Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

Dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 atau UU yang diubah, pengertian bank diatur dalam Pasal 1 angka 2. Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit danatau bentuk-bentuk lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pengertian bank diatur dalam pasal 1 angka 5. Bank adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, sebagaimana yang dimaksud dalam UU tentang Perbankan yang berlaku (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

Pengaturan mengenai perbankan Indonesia, dapat dilihat dalam (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006):

(30)

3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

4. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

5. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Asas Perbankan Indonesia, diatur dalam Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992, yaitu: "Perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian". Dalam penjelasan-nya dikemukakan bahwa demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan, mengenai prinsip kehati-hatian tidak ada penjelasannya secara resmi. Namun dalam praktek perbankan, kegiatan usaha tentunya dilakukan/dijalankan oleh orang yang memiliki pengalaman dan profesionalitas dalam perbankan. Untuk itu, diminta kehati-hatiannya dalam menjalankan tugas tersebut (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

(31)

Adapun fungsi perbankan Indonesia secara luas adalah. Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat atau penerima kredit. Bank sebagai penyalur dana kepada masyarakat atau sebagai lembaga pemberi kredit. Bank sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran. Tujuan Perbankan di Indonesia diatur dalam pasal 4 UU No. 7 Tahun 1992. "Perbankan Indonesia bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka menigkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak" (Cetak Biru

Panduan Bank Indonesia, 2006).

Jenis-jenis Perbankan di Indonesia diatur dalam Pasal 5 UU No. 7 Tahun 1992. Dalam Pasal 5 ayat (1), berbunyi (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006):

1. Bank Umum, adalah bank yang dapat memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2. Bank Perkreditan Rakyat, adalah bank yang menerima simpanan dalam bentuk deposito berjangka dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Pasal 5 ayat (2): "Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan suatu kegiatan tertentu dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu".

(32)

pembinaan bank. Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan.

Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu.

Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan

baik, ekonomi suatu negara akan menngkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman.

Secara lebih spesifik kita dapat membagi Bank yang ada di Indonesia, yaitu (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006):

a. Bank Sentral

(33)

b. Bank Umum

Bank umum adalah lembaga keuangan uang menawarkan berbagai layanan produk dan jasa kepada masyarakat dengan fungsi seperti menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam berbagai bentuk, memberi kredit pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan, jual beli valuta asing / valas, menjual jasa asuransi, jasa giro, jasa cek, menerima penitipan barang berharga, dan lain sebagainya.

c. Bank Perkreditan Rakyat / BPR

Bank perkreditan rakyat adalah bank penunjang yang memiliki keterbatasan wilayah operasional dan dana yang dimiliki dengan layanan yang terbatas pula seperti memberikan kredit pinjaman dengan jumlah yang terbatas, menerima simpanan masyarakat umum, menyediakan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, penempatan dana dalam sbi/sertifikat bank indonesia, deposito berjangka, sertifikat / surat berharga, tabungan, dan lain sebagainya.

B. Tinjauan Tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

(34)

Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 dengan memenuhi persyaratan tatacara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

Ketentuan tersebut diberlakukan karena mengingat bahwa lembaga-lembaga tersebut telah berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat, maka keberadaan lembaga dimaksud diakui. Oleh karena itu, UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 memberikan kejelasan status lembaga-lembaga dimaksud. Untuk menjamin kesatuan can keseragaman dalam pembinaan dan pengawasan, maka persyaratan dan tatacara pemberian status lembaga-lembaga dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Kegiatan BPR pada dasarnya sama dengan kegiatan Bank Umum, hanya yang menjadi perbedaan adalah jumlah jasa bank yang dilakukan BPR jauh lebih sempit. BPR dibatasi oleh berbagai persyaratan, sehingga tidak berbuat seleluasa bank umum. Keterbatasan kegiatan BPR juga dikaitkan dengan misi pendirian BPR itu sendiri.

Dalam prakteknya kegiatan BPR adalah sebagai berikut (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006) :

1. Menghimpun dana hanya dalam bentuk a. Simpanan Tabungan

(35)

Simpanan Tabungan menurut Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro

dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Untuk menarik dana yang ada di rekening tabungan dapat digunakan berbagai sarana atau alat penarikan. Dalam prakteknya ada beberapa alat penarikan yang dapat digunakan, hal ini tergantung bank masing-masing. Alat-alat yang sering digunakan adalah sebagai berikut:

Buku Tabungan

Merupakan buku yang dipegang oleh nasabah, buku tabungan berisi catatan saldo tabungan, transaksi penarikan, transaksi penyetoran dan pembebanan-pembebanan yang mungkin terjadi pada tanggal tertentu. Buku ini digunakan pada saat penarikan, sehingga langsung dapat mengurangi atau penambah saldo yang ada di buku tabungan tersebut.

Slip Penarikan

Merupakan formulir untuk menarik sejumlah uang dari rekening tabungannya. Di dalam formulir penarikan nasabah cukup menulis nama, nomor rekening, jumlah uang serta tanda tangan nasabah. Formulir penarikan ini disebut juga slip penarikan dan biasanya digunakan bersamaan dengan buku tabungan.

Kuitansi

(36)

Dalam kuitansi tertulis nama penarik, nomor penarik, jumlah uang dan tanda tangan penarik. Alat ini juga dapat digunakan secara bersamaan dengan buku tabungan.

Kartu yang terbuat dari plastik

Yaitu sejenis kartu kredit yang terbuat dari plastik yang dapat digunakan untuk menarik sejumlah uang dari tabungannya, baik bank maupun mesin Automated Teller Machine (ATM). Mesin ATM ini biasanya tersebar di tempat-tempat yang

strategis.

Simpanan Deposito adalah merupakan salah satu tempat bagi nasabah untuk melakukan investasi dalam bentuk surat-surat berharga. Pemilik deposito disebut deposan. Kepada setiap deposan akan diberikan imbalan bunga atas depositonya. Bagi bank, bunga yang diberikan kepada para deposan merupakan bunga tertinggi, jika dibandingkan dengan simpanan giro dan tabungan, sehingga deposito oleh sebagian bank dianggap sebagai dana mahal.

Keuntungan bagi bank dengan menghimpun dana lewat deposito adalah uang yang tersimpan relatif lebih lama, mengingat deposito memiliki jangka waktu yang relatif panjang dan frekuensi penarikan yang juga jarang. Dengan demikian bank dapat leluasa untuk menggunakan kembali dana tersebut untuk keperluan penyaluran kredit.

Pengertian deposito menurut UU Nomor 10 Tahun 1998 adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian

(37)

Sarana atau alat untuk menarik uang yang disimpan di deposito sangat tergantung dari jenis depositonya. Artinya setiap jenis deposito mengandung beberapa perbedaan sehingga diperlukan sarana yang berbeda pula. Sebagai contoh untuk deposito berjangka, penarikannya menggunakan bilyet deposito, sedangkan untuk sertifikat deposito menggunakan sertifikat deposito.

2. Menyalurkan dana hanya dalam bentuk (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006):

a.Kredit Investasi b.Kredit Modal Kerja c.Kredit Perdagangan

Dalam bahasa latin kredit disebut “credere” yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman sesuai dengan jangka waktunya. Oleh karena itu untuk meyakinkan bank bahwa si nasabah benar-benar dapat dipercaya, maka sebelum kredit diberikan diadakan analisis kredit. Analisis kredit mencakup latar belakang nasabah atau perusahaan, prospek usahanya, jaminan yang diberikan serta faktor-faktor lainnya. Tujuan analisis ini adalah agar bank yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar aman.

(38)

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka

waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Sedangkan pengertian pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Tujuan pemberian fasilitas kredit juga tidak terlepas dari misi bank tersebut didirikan. Adapun tujuan dari pemberian kredit antara lain Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006):

a) Mencari Keuntungan

Tujuan utama pemberian kredit adalah untuk memperoleh keuntungan. Hasil keuntungan ini diperoleh dalam bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup bank, di samping itu keuntungan juga dapat membesarkan usaha bank.

b) Membantu Usaha Nasabah

(39)

c) Membantu Pemerintah

Tujuan lainnya adalah membantu pemerintah dalam berbagai bidang. Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka semakin baik, mengingat semakin banyak kredit berarti adanya kucuran dana dalam rangka peningkatan pembangunan di berbagai sektor, terutama sektor riil.

Di samping memiliki tujuan pemberian fasilitas kredit juga memiliki fungsi yang luas. Adapun beberapa fungsi kredit antara lain Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006):

a) Untuk meningkatkan daya guna uang

Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang, maksudnya jika uang hanya disimpan saja di rumah tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh si penerima kredit. Kemudian juga dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana.

b) Untuk meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang

(40)

c) Untuk meningkatkan daya guna barang

Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur untuk mengolah barang yang semula tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat. Sebagai contoh seorang pengusaha memperoleh kucuran dana dari salah satu bank untuk mengolah limbah plastik yang sudah tidak dipakai menjadi barang-barang rumah tangga. Biaya pengolahan barang tersebut diperoleh dari bank. Dengan demikian fungsi kredit dapat meningkatkan daya guna barang dari barang yang tidak berguna menjadi barang yang berguna.

d) Meningkatkan peredaran barang

Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar. Kredit untuk meningkatkan peredaran barang biasanya untuk kredit perdagangan atau kredit ekspor impor.

e) Sebagai alat stabilitas ekonomi

Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi, karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat. Kredit dapat pula membantu mengekspor barang dari dalam negeri keluar negeri sehingga dapat meningkatkan devisa negara.

(41)

itu sendiri, sehingga kita juga perlu untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan suku bunga tersebut. Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga bagi bank juga dapat diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dan harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman).

Selain dua kegiatan diatas tersebut BPR juga melakukan kegiatan berupa pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Kemudian menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain. SBI adalah sertifikat yang ditawarkan Bank Indonesia kepada BPR apabila BPR mengalami over likuiditas.

Karena keterbatasan yang dimiliki oleh BPR, maka ada beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan BPR. Larangan ini meliputi hal-hal sebagai berikut(Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006):

a. Menerima Simpanan Giro b. Mengikuti Kliring

c. Melakukan Kegiatan Valuta Asing d. Melakukan Kegiatan Perasuransian

(42)

Indonesia yang dijalankan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang memiliki 8 ciri positif sebagai pendukung dan 3 ciri negatif yang harus dihindari (free fight liberalism, etatisme, dan monopoli). BPR juga memiliki tujuan untuk menunjang

pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, penumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. (Cetak Biru Panduan Bank Indonesia, 2006).

Kemudian sasaran yang ingin dituju oleh BPR adalah Melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan para pelepas uang (rentenir dan pengijon).

C. Tinjauan Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

Definisi usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi Kriteria Usaha Mikro yaitu, memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)(Tatiek, 2009).

(43)

a Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti.

b Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat. c Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak

memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha.

d Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai.

e Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah.

f Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank.

g Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP.

Meskipun demikian, usaha mikro memiliki kelebihan sebagai berikut (Tanjung, 2008) :

a Perputaran usaha (turn over) cukup tinggi, kemampuannya menyerap dana yang mahal dan dalam situasi krisis ekonomi kegiatan usaha masih tetap berjalan bahkan terus berkembang.

b Tidak sensitif terhadap suku bunga.

c Tetap berkembang walaupun dalam situasi krisis ekonomi dan moneter. d Pada umumnya berkarakter jujur, ulet, lugu dan dapat menerima bimbingan

(44)

Contoh-contoh usaha mikro yang perlu diketahui untuk memudahkan identifikasi dalam pengumpulan data di lapangan terkait penelitian yang dilakukan. Beberapa contoh usaha mikro antara lain (Tanjung, 2008) :

a Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan pembudidaya.

b Industri makanan dan minuman, industri meubel air pengolahan kayu dan rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat.

c Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar. d Peternakan ayam, itik dan perikanan.

e Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit (konveksi).

Sedangkan yang dimaksud dengan usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil yaitu (Tatiek, 2009):

a Memiliki kekayaan lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus

(45)

Ciri-ciri Usaha Kecil, antara lain (Tanjung, 2008) :

a Jenis barang atau komoditi yang diusahakan umumnya sudah tidak gampang berubah.

b Lokasi atau tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah. c Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih

sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah membuat neraca usaha.

d Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP. e Sumberdaya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwirausaha. f Sebagian sudah akses ke perbankan dalam hal keperluan modal.

g Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti business planning.

Selanjutnya menurut Jatmiko (2005) dikemukakan bahwa karakteristik dari Usaha Kecil pada umumnya adalah :

a Dikelola oleh pemiliknya. b Modal terbatas.

c Jumlah tenaga kerja terbatas.

d Berbasis keluarga atau rumah tangga. e Lemah dalam pembukuan.

f Manajemen usaha sangat tergantung pada pemilik.

Beberapa contoh usaha kecil/industri kecil yang ada di Indonesia antara lain : a Usaha tani sebagai pemilik tanah perorangan yang memiliki tenaga kerja. b Pedagang di pasar grosir (agen) dan pedagang pengumpul lainnya.

(46)

e Koperasi berskala kecil.

Sedangkan yang dimaksud dengan usaha menengah adalah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria (Kementrian Koperasi):

a. Memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp.200.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sesuai dengan ketentuan Inpres nomor 10 tahun 1999, para menteri sesuai dengan lingkup tugasnya masing-masing dapat menetapkan kriteria usaha menengah secara sektoral dengan ketentuan bahwa kekayaan bersih paling banyak Rp 10.000.000.000,

b. Milik warganegara Indonesia

c. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki atau dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar dan

d. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum termasuk koperasi

Adapun ciri-ciri dari usaha menengah yaitu (Kementrian Koperasi):

a. Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;

(47)

c. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;

d. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll;

e. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;

f. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik.

Sesuai dengan tujuan dari penelitian, maka usaha yang akan diteliti terbatas hanya kepada usaha mikro yang menjadi nasabah dari Bank Perkreditan Rakyat, sebagai tempat dilakukannya penelitian.

D. Tinjauan Tentang Pemberdayaan Usaha Mikro

Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedang memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionary (Hutomo, 2000), kata empower mengandung dua pengertian. Pertama, to give power/authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Kedua, to give ability to/enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau keperdayaan.

(48)

keluar atau melawan diterminisme gereja serta monarki, maka pendapat bahwa gerakan pembedayaan mulai muncul pada abad pertengahan barangkali benar.

Konsep pemberdayaan mulai menjadi diskursus pembangunan, ketika orang mulai mempertanyakan makna pembangunan. Di Eropa, wacana pemberdayaan muncul ketika industrialisasi menciptakan masyarakat penguasa faktor produksi dan masyarakat yang pekerja yang dikuasai. Di negara-negara sedang berkembang, wacana pemberdayaan muncul ketika pembangunan menimbulkan disinteraksi sosial, kesenjangan ekonomi, degradasi sumberdaya alam, dan alienasi masyarakat dari faktor-faktor produksi oleh penguasa. Karena kekurangtepatan pemahaman mengenai pemberdayaan, maka dalam wacana praktik pembangunan, pemberdayaan dipahami secara beragam. Yang paling umum adalah pemberdayaan disepadankan dengan partisipasi. Padahal keduanya mengandung pengertian dan spirit yang tidak sama.

(49)

akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Hutomo, 2000).

Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless). Pengalaman empirik dan pengalaman historis dari format sosial ekonomi yang dikotomis ini telah melahirkan berbagai pandangan mengenai pemberdayaan (Hutomo, 2000).

Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power

to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah

menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to

(50)

Oleh sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realistis adalah power to powerless.

Ketiga pandangan tersebut di atas, kalau dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh cukup signifikan dalam konsep dan praksis pemberdayaan. Di lapangan, paling tidak ada 3 konsep pemberdayaan (Pranarka dan Moelyarto, 1996)(Hutomo,2000). Konsep pertama, pemberdayaan yang hanya berkutat di „daun’ dan „ranting’ atau pemberdayaan konformis. Karena struktur sosial,

struktur ekonomi, dan struktur ekonomi sudah dianggap given, maka pemberdayaan adalah usaha bagaimana masyarakat tunadaya harus menyesuaikan dengan yang sudah given tersebut. Bentuk aksi dari konsep ini merubah sikap mental masyarakat tunadaya dan pemberian santunan, seperti misalnya pemberian bantuan modal, pembangunan prasarana pendidikan, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai magical paradigma.

Konsep kedua, pemberdayaan yang hanya berkutat di „batang’ atau pemberdayaan

reformis. Artinya, secara umum tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya, sudah tidak ada masalah. Masalah ada pada kebijakan operasional. Oleh sebab itu, pemberdayaan gaya ini adalah mengubah dari top down menjadi bottom up, sambil mengembangkan sumberdaya manusianya, menguatkan kelembagaannya, dan sejenisnya. Konsep ini sering disebut sebagai naïve paradigm.

(51)

stuktur itu yang harus ditinjau kembali. Artinya, pemberdayaan hanya dipahami sebagai penjungkirbalikan tatanan yang sudah ada. Semua tatanan dianggap salah dan oleh karenanya harus dihancurkan, seperti misalnya memfasilitasi rakyat untuk melawan pemerintah, memprovokasi masyarakat miskin untuk melawan orang kaya dan atau pengusaha, dan sejenisnya. Singkat kata, konsep pemberdayaan masyarakat yang hanya berkutat pada akar adalah penggulingan the powerful. Konsep ketiga ini sering disebut sebagai critical paradigma.

Karena kesalah-pahaman mengenai pemberdayaan ini, maka menimbulkan pandangan yang salah, seperti bahwa pemberdayaan adalah proses penghancuran kekuasaan, proses penghancuran negara, dan proses penghancuran pemerintah. Menurut Karl Marx dalam Pranaka(1997), pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperolah surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk mendistribusikan penguasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui perjuangan politik.

(52)

pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah.

Konsep pemberdayaan ekonomi secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut (Sumodiningrat,1999):

1 Perekonomian rakyat adalah pereknomian yang diselenggarakan oleh rakyat.

Perekonomian yang deselenggarakan oleh rakyat adalah bahwa perekonomian nasional yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas untuk menjalankan roda perekonomian mereka sendiri. Pengertian rakyat adalah semua warga negara.

2 Pemberdayaan ekonomi rakyat adalah usaha untuk menjadikan ekonomi yang

kuat, besar, modern, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang benar. Karena kendala pengembangan ekonomi rakyat adalah kendala struktural, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dilakukan melalui perubahan struktural. Perubahan struktural yang dimaksud adalah perubahan dari ekonomi tradisional keekonomi modern, dari ekonomi lemah ke ekonomi kuat, dari ekonomi subsisten ekonomi pasar, dari ketergantungan ke kemandirian. Langkah-langkah proses perubahan struktur, meliputi: pengalokasian sumber pemberdayaan sumberdaya, penguatan kelembagaan, penguasaan teknologi, dan pemberdayaan sumberdaya manusia.

3 Pemberdayaan ekonomi rakyat, tidak cukup hanya dengan peningkatan

(53)

kerjasama dan kemitraan yang erat antara yang telah maju dengan yang masih lemah dan belum berkembang.

4 Kebijakannya dalam pembedayaan ekonomi rakyat adalah: pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi (khususnya modal), memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat, agar pelaku ekonomi rakyat bukan sekadar price taker; pelayanan pendidikan dan kesehatan, penguatan industri kecil, mendorong munculnya wirausaha baru, dan pemerataan spasial.

5 Kegiatan pemberdayaan masyarakat mencakup: peningkatan akses bantuan modal usaha, peningkatan akses pengembangan SDM, dan peningkatan akses ke sarana dan prasarana yang mendukung langsung sosial ekonomi masyarakat lokal.

Pemberdayaan dilaksanakan dengan bertolak dari situasi ketidakberdayaan yang dialami klien baik secara perorangan, kelompok maupun komunitas. Menurut Mahfud Siddiq (2005) pemberdayaan berarti menjadikan suasana kemanusiaan

yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara structural baik dalam kehidupan keluarga masyarakat, Negara regional, internasional maupun bidang politik, ekonomi dan lain-lain.

(54)

Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan yang dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam dunia usaha, khususnya kepada kelompok usaha mikro sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya yang mereka miliki yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan/profit usaha sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan pendapatan daerah bahkan meningkatkan pendapatan nasional.

E. Tinjauan Peran Bank Perkreditan Rakyat

Peran dapat didefinisikan sebagai kumpulan harapan yang terencana seseorang yang mempunyai status tertentu dalam masyarakat. Margono Slamet (1985;15) mengatakan bahwa peran mencakup tindakan, aturan perilaku yang perlu dilaksanakan oleh seseorang yang menempati suatu posisi di dalam status sosial. Menurut R.Linton peran adalah seluruh kebudayaan yang dihubungkan dengan kedudukan tertentu oleh masyarakat yang mencakup setiap nilai dan perilaku.

Menurut Levison dalam Soerjono Soekanto (2002) peran mencakup tiga hal yaitu: 1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran ini dalam arti merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.

(55)

3. Peran juga dapat dikatakan sebagai perlakuan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Pengertian peran menurut Soerjono Soekanto (2002;243) adalah sebagai berikut:

”Peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia

menjalankan suatu peran.”

Peran sosial adalah suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya. Peran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah, bagaimana Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga ekonomi mikro menjalankan peran dan kewajibannya terkait penyaluran kredit serta pembinaan kepada usaha mikro yang ada.

F. Kerangka Pemikiran

(56)

Keunggulan UMKM dalam hal ini dimungkinkan karena adanya beberapa karakter spesifik UMKM, yaitu (Tanjung, 2008):

a. Sebagian besar usaha KUMKM merupakan kegiatan padat karya, yang banyak memanfaat sumberdaya local.

b. Selang waktu produksi (time lag) relatif singkat, atau produksi dapat dilakukan secara cepat.

c. Nilai ICOR kegiatan-kegiatan KUMKM relatif rendah.

(57)

Kemudian selain masalah tersebut dalam perjalanannya UMKM juga mengalami permasalahan baik bersifat internal maupun eksternal, yaitu:

Faktor Internal (Kuncoro, 2000 dan Hafsah, 2004) antara lain adalah:

1. Kurangnya permodalan.

Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan unit usaha. Kurangnya permodalan UMKM, oleh karena pada umumnya usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan pada modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena persyaratan secara administrative dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi.

2. Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas.

Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan SDM usaha mikro, baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya, sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Di samping itu dengan keterbatasan SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.

3. Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar.

(58)

yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung oleh teknologi yang dapat menjangkau dunia internasional dan promosi yang baik.

4. Lemahnya oraganisasi dan manajemen.

Usaha mikro menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran, dan keuangan. Lemahnya kemampuan managerial dan sumber daya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil belum mampu menjalankan usahanya dengan baik dan sukses.

Faktor Eksternal (Kuncoro, 2000 dan Hafsah, 2004), meliputi:

1. Iklim usaha belum sepenuhnya kondusif.

Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar.

2. Terbatasnya sarana dan prasarana usaha.

(59)

3. Implikasi otonomi daerah.

Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka daerah mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini berimplikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jika kondisi ini tidak segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di samping itu semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.

4. Implikasi perdagangan bebas.

Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020, berimplikasi sangat luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas.

Dalam hal ini, mau tidak mau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar global dengan standar kualitas, seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia (HAM), serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade), untuk itu maka diharapkan UMKM perlu mempersiapkan agar

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari data survey mengenai perancangan buku fotografi fashion batik Sumber Jambe khas Jember bahwa kurang adanya ketertarikan masyarakat Jember dan sekitar

Penelitian dilaksanakan di dua lokasi tempat tumbuh alami Gonystylus yaitu kawasan hutan alam Bukit Pucung, Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Rejang Lebong,

f) Revitalisasi panti sosial menjadi Balai Rehabilitasi Sosial memberikan nuansa dan spirit baru dalam pelayanan rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi Penyandang

Jika a, t, dan c merupakan alas, tinggi, dan sisi sejajar lainnya pada jajargenjang, maka lengkapilah Tabel 3, kemudian jelaskan bagaimana cara menemukan Rumus Luas

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh berat cangkul yang berbeda terhadap pengeluaran energi tubuh, kapasitas dan efisiensi kerja pencangkulan... i i

Tes-tes yang perlu diamankan karena digunakan dalam keputusan seleksi, keputusan penempatan atau keputusan diagnostik, seharusnya tidak dipublikasikan dalam media

Kami juga melakukan investasi untuk menjadi pemain utama pada sektor pembiayaan konsumer yang sedang bertumbuh, melalui anak perusahaan kami Adira Finance, dan merupakan yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh antara media sosial dengan transaksi pembelian onlien mahasiswa Progdi Manajemen Fakultas Ekonomi