• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM PENGADILAN MILITER TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM PENGADILAN MILITER TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh :

FIRDANSYAH CHOLIBI

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM PENGADILAN MILITER TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MENYALAHGUNAKAN

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA Oleh :

FIRDANSYAH CHOLIBI

Tindak pidana penyalahgunaan psikotropika telah merasuki kalangan militer. Padahal mereka merupakan komponen utama dalam sistem pertahanan negara, dan merupakan alat Negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara, serta diharapkan mampu memberikan contoh kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana psikotropika, mengingat institusi militer di Indonesia identik dengan suatu institusi yang anggotanya sangat taat dan disiplin terhadap hukum yang berlaku. Namun dalam kenyataannya banyak anggota militer yang melakukan suatu tindak pidana, salah satunya adalah penyalahgunaan psikotropika. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai Bagaimanakah pertimbangan hukum oleh hakim Pengadilan Militer dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana narkotika oleh anggota militer dan apakah hambatan yang dihadapi oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anggota militer dan bagaimana solusinya.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

(3)

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Pengadilan Militer. Sehingga dengan kata lain kompetensi peradilan yang berhak untuk mengadili perkara Sabar Sembiring ini adalah dalam lingkungan peradilan umum yang jika perkara ini digelar dalam lingkup peradilan umum maka prosesfair playdalam persidangan akan terlaksana dan jauh dari adanya kesan persidangan ”sandiwara” yang hanya bertujuan untuk melindungi korps atau kesatuan Militer saja. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika oleh anggota Militer di dasarkan pada Pasal 62 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Selain itu dalam menjatuhkan putusan hakim harus melihat dan mempelajari bukti-bukti yang ada baik keterangan terdakwa atau saksi dan juga bukti berupa barang. Alat bukti yang digunakan dalam kasus penyalahgunaan narkotika adalah keterangan 2 (dua) orang saksi dan keterangan Terdakwa sehingga alat bukti yang diajukan telah memenuhi rumusan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, di mana Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.

(4)

ABSTRACT

CONSIDERATION BY LAW JUDGE TO THE COURT OF MILITARY MILITARY MEMBERS WHO ABUSE

NARCOTICS AND PSYCHOTROPIC

By:

FIRDANSYAH CHOLIBI

Criminal acts of abuse of psychotropic substances have penetrated the military. Though they are a major component of the national defense system, and an instrument of the State in charge of maintaining, protecting, and maintaining the integrity and sovereignty, and are expected to provide an example to the community for not committing a crime psychotropic drugs, given the military institutions in Indonesia are identical with an institution whose members are very obedient and disciplined of any applicable law. But in reality many military members who committed a crime, one of which is the abuse of psychotropic substances. Problems in this study is about the legal reasoning by judges How the Military Court in decisions on narcotics crimes by military members and whether the barriers faced by judges in the criminal verdict against drug abuse by members of the military and what's the solution.

The approach used is a matter of normative juridical approach of juridical and empirical data used are primary and secondary data, data collection through interviews, literature study, and study the document. While processing the data through the stages of examination data, tagging data, data reconstruction, and systematization of data. The data have been processed and presented in the form of a description, then dintreprestasikan or construed to be done and analyzed in a qualitative discussion, then to selanjutkan drawn a conclusion.

(5)

or military unit only. The consideration of judges in the criminal verdict against drug abuse by military members is based on Article 62 of Law Number 35 Year 2009 on Narcotics Also in decisions of judges should be seen and studied there is evidence that either defendant or a witness statement and also evidence in the form of goods. Evidence used in the case of drug abuse is a description of 2 (two) witnesses and a description of the defendant so that the evidence submitted in compliance with the formulation of Article 171 of Law No. 31 of 1997, in which the judge can not convict someone unless the sekurangkurangnya 2 (two) valid evidence he acquired the belief that a crime actually occurred and that the guilty do Terdakwalah.

(6)

(Skripsi)

Oleh :

Firdansyah Cholibi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan………. 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual………. 6

E. Sistematika Penulisan………. 11

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika….. 13

1. Pengertian Tindak Pidana ………..……… 13

2. Pengertian Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika ………. 15

B. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Militer…………...……….…….. 21

1. Kewenangan Pengadilan Militer ………..………. 21

2. Badan-badan Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Militer ….…… 23

C. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Dalam Putusan Hakim……... 28

1. Pengertian Putusan……… 28

2. Isi Putusan………. 29

3. Jenis Putusan………. 31

(8)

B. Sumber dan Jenis Data……….. 34

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ………..……….. 35

D. Penentuan Narasumber………..……… 36

E. Analisis Data………. 37

DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden………….………. 39

B. Kompetensi Pengadilan Militer dalam Menyidangkan Perkara Anggota Militer yang Menyalahgunakan Narkotika dan Psikotropika ... 40

C. Pertimbangan Hukum Oleh Hakim Pengadilan Militer dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Oleh Anggota Militer…….………. 49

V. PENUTUP A. Kesimpulan………. 61

B. Saran……… 62

(9)

Darwan, AF, Kebijakan Nasional Dalam Penangulangan Narkoba Dan HIV/AIDS, Makalah, Surabaya, 2 Mei 2004.

Harahap, M. Yahya, 2008, “Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, Sinar Grafika: Jakarta.

Moeljatno, 1993,Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta.

Nawawi Arif, Barda, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Sastrowardoyo, Widya , Narkoba, seks dan HIV/AIDS, Makalah, Surabaya 2 Mei 2004.

Soekanto, Soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Putusan No.35-K/BDG/PMT-II/AD/VI/20011

Website

(10)

Chazawi. Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana I, Raja Gravindo Persada. Jakarta.

Harahap, M. Yahya ,2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta Sinar Grafika.

Lamintang, P.A.F., 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Moeljatno. 1993,Asas-Asas Hukum Pidana,Rineka Cipta, Jakarta.

Prakoso, Djoko, Dkk. 1987. Kejahatan-kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara.Bina Aksara, Jakarta.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

(11)

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

(12)

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, adil, bersahabat, dan damai. Masyarakat adil, makmur dan sejahtera dalam segala aspek kehidupan dapat tercipta dengan adanya rasa aman, tertib, teratur dan tenteram. Rasa aman, tertib, teratur dan tenteram merupakan keinginan dari seluruh anggota masyarakat untuk mendorong kreatifitas serta peran aktif masyarakat dalam membangun suatu negara. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, perlu dilakukan upaya secara berkelanjutan disegala bidang, antara lain pembangunan kesejahteraan rakyat, termasuk dibidang kesehatan.

(13)

ialah psikotropika. Pada dasarnya obat atau zat tersebut merupakan bahan yang dipergunakan dalam bidang pengobatan maupun untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain psikotropika tersebut dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama sehingga sering kali bahan tersebut disalahgunakan baik itu dilakukan oleh individu pribadi maupun secara korporasi.

Penyalahgunaan psikotropika semakin sering terjadi di masyarakat dan jenis-jenis yang beredar pun semakin banyak pula ragamnya. Menurut Hari Sasangka, di era tujuh puluhan pecandu-pecandu narkoba (narkotika dan obat terlarang, termasuk psikotropika) masih terbatas dikalangan remaja dan anak-anak orang yang berpenghasilan besar. Pada saat itu anak-anak orang yang berpenghasilan besar, lebih tertarik memakai obat narkotika. Sedangkan anak kelas menengah dan bawah lebih banyak menggunakan psikotropika yang pada waktu itu masih termasuk dalam golongan obat keras. Obato-batan yang di konsumsi pada waktu itu obat keras yang termasuk dalam golongan obat tidur atau golongan obat penenang (Hari Sasangka, 2003 ; 2).

(14)

Namun dalam kenyataannya banyak anggota militer yang melakukan suatu tindak pidana, salah satunya adalah penyalahgunaan psikotropika.

Sebagai contoh kasus pengyalahgunaan narkotika oleh anggota militer adalah perkara atas nama Sabar Sembiring yang berpangkat Sertu (Sersan Satu), jabatan sebagai Detasemen Pemeliharaan Jasa Intendans (Denhar) unit khusus detasemen 411 grup 4, dari kesatuan Bekangdam Jaya (Pembekalan dan Angkutan Daerah Militer). Sabar Sembiring diadili oleh Pengadilan Militer pada tingkat pertama dengan tuduhan menyimpan barang bukti berupa 4 paket sabu-sabu dengan haraga Rp. 3.200.000, divonis 4 tahun penjara dan dijatuhi hukuman berupa pemecatan sebagai anggota Militer. Dalam memutuskan perkaranya Pengadilan militer menjalankannya melalui proses yang panjang. Hal ini tidak terlepas peran Sabar Sembiring sebagai anggota militer, sehingga pada tingkat banding Pengadilan Militer Tinggi memberinya keringanan Pidana. Anggota militer juga beranggapan bahwa mereka bisa diterima disetiap lapisan masyarakat yang menempatkan tentara sebagai prajurit terdepan pemersatu bangsa. Mereka menganggap bahwa mereka adalah orang nomor satu di negara ini. Sejarah juga menunjukkan bahwa mereka adalah yang sangat dihormati dalam jajaran Militer di Indonesia ketika POLRI masih tunduk dalam Militer, tetapi setelah adanya pemisahan antara TNI dan POLRI mereka pun masih beranggapan bahwa merekalah yang terbaik (Putusan No.35-K/BDG/PMT-II/AD/VI/20011, hasil Prasurvey penulis pada http://www.dilmilti-jakarta.go.id 25 September 2011).

(15)

maupun anggota militer. Apabila kejahatan dilakukan oleh warga sipil proses penyelesaiannya mengikuti hukum acara pidana sipil yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tindak pidana penyalahgunaan psikotropika merupakan suatu tindakan melanggar hukum berupa melakukan perbuatan yang diatur di dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Narkotika yang menyatakan bahwa barang siapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa Narkotika di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000, (seratus juta rupiah). Apabila Anggota Tentara Nasional Indonesia melakukan suatu Tindak Pidana seperti penyalagunaan narkotika, maka akan tetap dipidana tanpa ada keistimewaan apapun, mulai proses pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan sampai peradilan akan mengikuti hukum acara peradilan militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

(16)

menjatuhkan suatu putusan, hakim haruslah mengacu pada perundang-undangan yang berlaku agar tercipta suatu keadilan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji tentang permasalahan tersebut dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Pertimbangan Hukum Oleh Hakim Pengadilan Militer Terhadap Anggota Militer

yang Menyalahgunakan Narkotika dan Psitkotropika”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas dan kondisi objektif dari hasil pra survey, maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah kompetensi Pengadilan Militer dalam menangani perkara anggota militer yang menyalahgunakan narkotika dan psikotropika?

b. Bagaimanakah pertimbangan hukum oleh hakim Pengadilan Militer dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana narkotika oleh anggota militer?

2. Ruang Lingkup

(17)

C. Tujuan dan Kegunan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas,adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

a. Kompetensi Pengadilan Militer dalam menangani perkara anggota militer yang meyalahgunakan narkotika dan psikotropika.

b. Pertimbangan pertimbangan hukum oleh hakim Pengadilan Militer dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana narkotika oleh anggota militer.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai upaya memberi wawasan peneliti, mengembangkan teori ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana serta pengembangan wacana bacaan.

b. Kegunaan Praktis

1) Dari segi praktis berguna sebagai upaya yang dapat dipetik langsung manfaatnya, seperti keterampilan menulis skripsi, sumbangan pemikiran dalam memecahkan suatu masalah hukum yang terjadi disekitar kita, dan bacaan bagi peneliti ilmu hukum khususnya tentang kajian pertimbangan hukum oleh hakim Pengadilan Militer dari tujuan pemidanaan.

(18)

D. Kerangka teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari sebuah pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soejono Soekanto,1984 ; 126).

Pengertian psikotropika menurut Undang-Undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 Pasal 1 angka 1 adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Sedangkan menurut Djoko Prakoso, psikotropika ialah obat atau zat yang berbahaya yaitu zat kimia yang dapat merubah reaksi tingkah seseorang terhadap lingkungannya (Djoko Prakoso, Dkk, 1987 ; 490). Tindak pidana penyalahgunaan psikotropika adalah penggunaan psikotropika yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

(19)

alamat dan tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan kewenangan absolut atau kewenangan relatif pengadilan. Kewenangan pengadilan dalam menyidangkan suatu perkara adalah sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 20; 2008):

a. Kewenangan Absolut Pengadilan

Kewenangan absolut pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu untuk memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan diperiksa dan diputus. Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman (judicial power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) merupakan penyelenggara kekuasaan negara di bidang yudikatif yang dilakukan oleh lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

b. Kewenangan Relatif Pengadilan

Kewenangan relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu berdasarkan yurisdiksi wilayahnya, yaitu untuk menjawab pertanyaan “Pengadilan Negeri wilayah mana yang berwenang untuk mengadili suatu

perkara?”. Dalam hukum acara perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili suatu perkara perdata adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Mengajukan gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat, tidak dibenarkan.

(20)

khususnya dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana didasarkan pada bunyi Pasal 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Dalam menjatuhkan putusan tersebut hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

(21)

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang termasuk alat bukti yang sah antara lain : a. Keterangan saksi.

b. Keterangan ahli. c. Surat.

d. Petunjuk.

e. Keterangan terdakwa.

Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), dalam istilah Indonesiadisebut “ pemidanaan ”.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu (Sanusi Husin, 1991 ; 9).

(22)

b. Militer adalah seseorang yang dipersenjatai dan siap untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan (Moch Faisal Salam, 2006 ; 30).

c. Anggota Militer adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer (Pasal 1 UU No.37 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer).

d. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar dalam memahami tentang pengertian Narkotika dan Psikotropika pengertian Pengadilan Militer, Subyek Hukum Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi yaitu langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, pengumpulan dan pengolahan data serta analisi data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan jawaban dari permasalahan mengenai kompetensi Pengadilan Militer dalam Menangani perkara penyalahgunaan narkotika oleh anggota militer dan pertimbangan hukum oleh hakim Pengadilan Militer dalam proses Penjatuhan Putusan Pidana terhadap anggota militer yang menyalahgunakan narkotika.

V. PENUTUP

(24)

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

1. Pengertian tindak pidana

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan mempunyai ancaman sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Dalam RUU KUHP 2008 pada Pasal 15 ayat (1), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”.

Tindak Pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”, yang terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit. “Straf” berarti

pidana, “baar” berarti dapat atau boleh, “feit” adalah pebuatan (Adami Chazawi,

2002; 69).

(25)

Pompe (dalam P.A.F Lamintang, 1984; 173).memberi definisi tindak pidana/ strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum

Sedangkan syarat-syarat dari Tindak Pidana Tersebut adalah:

Dipenuhi unsur dari semua delik seperti dalam rumusan delik Dapat dipertanggung jawabkannya pelaku atas perbuatannya Tindakan pelaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja pelaku tersebut dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997; 187).

Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang berbeda antara lain menurut Soedarto, beliau mengatakan bahwa pertanyaan unsur-unsur tindak pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipiil bagi hukum pidana material, yang penting adalah untuk hukum acara pidana atau hukum pidana formal yaitu syarat penuntutan dan bersangut paut dengan itu, maka unsur-unsur dalam rumusan peraturan pidana itu harus dituduhkan dan dibuktikan (Soedarto, 1990; 50).

Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu: 1) Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku atau berhuungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi:

(26)

b. Niat atau maksud dengan segala bentuknya c. Ada atau tidaknya perencanaan

d. Adanya perasaan takut. 2) Unsur Objektif

Unsur objektif dari tindak pidana adalah hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur objektif tindak pidana meliputi:

3) Sifat melanggar hukum 4) Kualitas si pelaku

5) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya

2. Pengertian Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika

(27)

Zat atau obat psikotropika ini dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakianya. Pemakaian Psikotropika yang berlangsung lama tanpa pengawasan dan pembatasan pejabat kesehatan dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk, tidak saja menyebabkan ketergantungan bahkan juga menimbulkan berbagai macam penyakit serta kelainan fisik maupun psikis si pemakai, tidak jarang bahkan menimbulkan kematian.

Melihat besarnya pengaruh negatif psikotropika tersebut apabila disalahgunakan maka pemerintah pun mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur tentang psiktropika tersebut. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, tujuan pengaturan di bidang psikotropika itu sendiri ialah menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika serta memberantas peredaran gelap narkotika.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mencantumkan bahwa psikotropika dibagi menjadi 4 golongan, yaitu:

1) Psikotropika Golongan I

(28)

2) Psikotropika Golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

3) Psikotropika Golongan III

Psikotropika Golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan ketergantungan.

4) Psikotropika Golongan IV

Psikotropika Golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Sebelumnya tindak pidana psikotropika didasarkan pada Pasal 204 KUHP dan Pasal 80 ayat (4) huruf b dan Pasal 81 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Kemudian setelah disahkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan berlaku sejak diundangkan, segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika diatur dalam undang-undang ini, sehingga diharapkan akan efektif dalam menangani tindak pidana psikotropika di Indonesia.

(29)

1) Menggunakan psikotropika golongan I selain utnuk tujuan ilmu pengetahuan (Pasal 59 ayat (1) huruf a)

2) Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I (Pasal 59 ayat (1) huruf b)

3) Mengedarkan psikotropika golongan I tidak disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 59 ayat (1) huruf c)

4) Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan (Pasal 59 ayat (1) huruf d)

5) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I (Pasal 59 ayat (1) huruf e)

6) Memproduksi psikotropika golongan I selaibn di produksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin (Pasal 60 ayat (1) huruf a)

7) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan (Pasal 60 ayat (1) huruf b)

8) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak terdaftar pada departeman yang bertanggung jawab di bidang kesehatan (Pasal 60 ayat (1) huruf c)

9) Menyalurkan, menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan Pasal 12 ayat (2) undang-undang ini (Pasal 60 ayat (2) dan 3)

(30)

11) Mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, tanpa surat persetujuan ekspor/impor, melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa sutar persetujuan ekspor/impor (Pasal 61)

12) Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika (Pasal 62)

13) Melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokuman pengangkutan (Pasal 63 ayat (1) huruf a)

14) Melakukan perubahan tujuan negara ekspor tidak memenuhi ketentuan (Pasal 63 ayat (1) huruf b)

15) Melakukan pengemasan kembali psikoropika tidak memenuhi ketentuan (Pasal 63 ayat (1) huruf c)

16) Tidak mencantumkan label pada kemasan psikotropika (Pasal 63 ayat (2) huruf a) 17) Mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label psikotropika yang tidak

lengkap dan menyesatkan (Pasal 63 ayat (2) huruf b)

18) Mengiklankan psikotropika tidak pada media cetak ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah farmasi (Pasal 63 ayat (2) huruf c)

19) Melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan yang dimaksud Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3) (Pasal 63 ayat (2) huruf d) 20) Percobaan atau perbuatan untuk melakukan tindak pidana psikotropika (Pasal 69) 21) Tindak pidana psikotropika yang dilakukan secara korporasi (Pasal 70)

(31)

pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 (Pasal 71)

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika juga mencantumkan tentang pemberatan pidana, yaitu:

1) Pasal 70 menerangkan jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 60, 61, 62, 63, dan 64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelakuk tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

2) Pasal 71 mencantumkan bahwa barangsiapa bersengkongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, 61, 62, atau Pasal 63 di pidana sebagai permufakatan jahat ancaman pidananya ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk pidana tersebut.

(32)

B. Tinjauan Umum Tentang Pengadilan Militer

1. Kewenangan Pengadilan Militer

Pengadilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersejata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer memiliki kewenangna absolut, yaitu menyangkut kewenangan badan peradilan untuk menyelesaikan perkara, dan kewenangan absolut dari peradilan militer adalah:

a. Mengadili Tindak Pidana Militer

Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :

1) Prajurit;

2) yang berdasarkan undangundang dipersamakan dengan prajurit;

3) anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undangundang;

(33)

b. Mengadili Tata Usaha Militer

Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Wewenang ini berada pada Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Pengadilan Militer Utama sebagai pengadilan tingkat banding. Tidak termasuk dlam pengertian keputusan Tata Usaha Militer (Angkatan Bersenjata) menurut pasal 2 UndangUndang Nomor 31 tahun 1007 adalah keputusan Tata Usaha Militer (Angkatan Bersenjata)

1) Yang merupakan perbuatan Hukum perdata; 2) Yang digunakan dalam bidang Oprasional Militer;

3) Yang digunakan di bidang keuangan dan perbendaharaan;

4) Yang dikeluarkan atas hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5) Yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP Atau ketentuan peraturan perundangundangan yang bersifat Hukum Pidana, Hukum Pidana Militer, dan Hukum Disiplin Prajurit;

6) Yang merupakan pengaturan yang bersifat umum 7) Yang masih memerlukan persetujuan (belum final).

c. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.

(34)

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 bahwa Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer mengadili pelaku tindak pidana yang tempat kejadiannya di daerah hukumya atau terdakwanya termasuk suatu satu kesatuan yang berada di daerah hukumnya. Kewenangan pengadilan untuk mengadili apabila lebih dari satu pengadilan yang berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, maka pengadilan yang menerima perkara tersebut terlebih dahulu harus mengadili perkara tersebut ( Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997).

2. Badan-badan Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer

Berdasarkan Pasal 1 butir 1 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Militer, yang terdiri dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militet Tinggi, Pengadilan Militer Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 12 UU No.31 tahun 1997). Selanjutnya mengenai nama, tempat kedudukan, dan daerah hukumnyaditetapkan dengan Keputusan Panglima (Pasal 14 ayat (2)). Panglima yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) / Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)atau dahulu adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan militer terdiri dari : a. Pengadilan Militer

(35)

dihadiri oleh satu orang Oditur Militer dan dibantu oleh satu orang Panitera. Hakim Ketua paling rendah berpangkat Mayor, sedangkan hakim anggotadan Oditur Militer paling rendah berpangkat Kapten dan Panitera paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua (Pelda) dan paling tinggi berpangkat Kapten.

Berdasarkan Pasal 40 UndangUndang No.31 Tahun 1997 kekuasaan Pengadilan Militer adalah memeriksa dan memutus pada tingkat pertama tindak pidana yang terdakwanya adalah:

1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;

2) Yang berdasarkan UndangUndang dipersamakan dengan Prajurit (Pasal 9 butir 1 huruf b)

3) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan UndangUndang (Pasal 9 butir 1 huruf c) kepangkatan Kapten ke bawah;

4) Seorang yang tidak termasuk dipersamakan dengan prajurit atau anggota suatu golongan atau jawatan atau Badan yang tidak dipersamakan atau tidak dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang yang harus diadili oleh Pengadilan Militer (Pasal 40 huruf c).

b. Pengadilan Militer Tinggi

(36)

Hakim Ketua paling rendah berpangkat Kolonel, sedangkan hakim anggotadan Oditur Militer paling rendah berpangkat setingkat dengan terdakwa.

Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang No.31 Thun 1997 sebagai berikut:

1) Pada Tingkat Pertama

Memeriksa dan memutus perkara yang terdakwanya adalah:

a) Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat mayor ke atas ( mayor, Letnan kolonel, Kolonel, Brigadir jendral, Mayor jendral, letnan Jendral atau jendral) b) Seorang yang pada waktu melakukan tindak pidana yang berdasarkan

Undang-Undang dipersamakan dengan Prajurit, atau anggota suatu golongan, atau jawatan atau yang dipersamakan atau yang dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang yang terdakwanya atau salahsatu terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Mayor ke atas.

c) Terdakwanya seorang atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dalam hal ini Pengadilan militer Tinggi.

2) Pada Tingkat Banding

(37)

3) Pada Tingkat Pertama dan Terakhir

Memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenagan mengadili antara pengadilan militer dalam daerah hukumnya.

c. Pengadilan Militer Utama

Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriks adan memutus sengketa dengan majelis hakim dengan satu orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota, dan dibantu oleh satu orang Panitera. Hakim Ketua paling rendah berpangkat Brigadir Jendral/Laksamana Pertama atau Marsekal Pertama, sedangkan hakim anggota paling rendah berpangkat kolonel.

Kekuasaan Pengadilan Militer Utama diatur dalam Pasal 43 UndangUndang No.31 Thun 1997 sebagai berikut:

1) Pada Tingkat Banding mememeriksa dan memutus:

Perkara pidana yang telah diputus pada tingkat pertama oleh pengdilan militer tinggi yang dimintakan banding. Sengketa Tata Usaha militer yang pada tingkat pertama telah diputus oleh pengadilan militer tinggi yang dimintakan banding. 2) Pada Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai:

Sengketa mengenai wewenang mengadili antara:

a) pengadilan militer yang berkedudukan di daerah hukum pengadilan militer tinggi yang berlainan

b) pengadilan militer tinggi

(38)

Sengketa tersebut terjadi apabila dua (2) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama, atau sebaliknya apabila dua (2) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang untuk mengadili perkara yang sama.

Berdasarkan Pasal 44 UndangUndang No.31 Tahun 1997 menyatakan bahwa Pengadilan Militer Utama memiliki Fungsi:

1) Mengawasi penyelenggaraan peradilan di pengadilan militer, pengadilan militer tinggi dan pengadilan militer pertempuran.

2) Mengawasi tingkah laku perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya. Karena itu pengadilan militer utama nerwenang meminta keterangan tentang halhal

3) yang bersangkutan dengan teknis peradilan di pengadilan militer, pengadilan militer tinggi dan pengadilan militer pertempuran. Kemudian memberi petunjuk, tegura, atau peringatan yang dipandang perlu tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara selanjutnya.

4) Meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.

d. Pengadilan Militer Pertempuran

(39)

Hakim ketua paling rendah berpangkat Letnan Kolonel sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah berpangkat Mayor. Dalam hal terdakwa berpangkat Letnan Kolonel, maka hakim anggota dan oditur militer paling rendah berpangkat setingkat dengan terdakwa yang diaadili. Sedangkan bila Terdakwa berpangkat kolonel atau perwira tinggi maka hakim ketu, hakim anggota dan oditur militer paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat terdakwa yang diadili tersebut.

Kekuasaan pengadilan militer pertempuran adalah memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit, atau yang berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit, atau anggota suatu golongan atau jawatan, dan seorang yang tidak termasuk golongan tersebut, tetapi atas putusan panglima dengan persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan di lingkungan peradilan militer (Pasal 9 ayat (1)).

Pengadilan Militer Pertempuran (Pasal 46) nersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan nerkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran. Hal ini berarti pengadilan militer pertempuran berpindah-pindah mengikuti perpindahan/gerak pasukan yang sedang bertempur.

C. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Dalam Putusan Hakim

1. Pengertian Putusan

(40)

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan, yaitu pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, putusan bebas, dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan hakim adalah suatu putusan akhir dalam proses peradilan yang didapat setelah hakim mendengarkan keterangan terdakwa dan para saksi serta melihat bukti-bukti yang diajukan di pengadilan.

2. Isi Putusan

Mengenai isi dari surat` keputusan, tetap harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan secara rinci dan limitatifdalam Pasal 194 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997, yaitu sebagai berikut :

1) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA ”.

2) Nama lengkap terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir / umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal.

3) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

4) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

(41)

6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang meringankan dan memberatkan terdakwa.

7) Hari dan tanggal diadakan musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

9) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu.

11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. 12) Hari dan tanggal putusan, nama hakim yang memutuskan, nama oditur, dan nama

panitera.

Semua syarat tersebut harus dipenuhi, apabila salah satu syarat tidak terpenuhi kecuali yang tersebut pada huruf g maka putusan itu adalah putusan yang batal demi hukum (Pasal 194 ayat (2) UU No. 31 tahun 1997). Sedangkan mengenai surat putusan bukan pemidanaan diatur dalam Pasal 195 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997, yang mensyaratkan sebagai berikut :

(42)

2) Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan.

3) Perintah supaya terdakwa segera dibebaskan apabila ia ditahan.

4) Pernyataan bahwa perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan melalui saluran Hukum Disiplin Prajurit.

5) Pernyataan rehabilitasi.

3. Jenis Putusan

Putusan pengadilan berdasarkan penilaian terhadap surat dakwaan memuat alasan, sumber hukum tertulis maupun sumber hukum tidak tertulis, hal tersebut sesuai dalam Pasal 25 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Penilaiannya dapat berupa dakwaan terbukti maupun sebaliknya dakwaan tidak terbukti sama sekali. Putusan yang dijatuhkan dalam setiap persidangan dirasa sangat penting karena putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewiljde) dimana setiap orang yang terkait harus mematuhi dan melaksanakan putusan tersebut.

(43)

a) Putusan Bebas, apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan. b) Putusan Lepas, apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

c) Putusan Pemidanaan, apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana.

4. Pertimbangan Dalam Putusan Hakim

Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

(44)

tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

Berdasarkan Pasal 172 ayat (1) UU No. 31 tahun 1997 yang termasuk alat bukti yang sah antara lain :

1) Keterangan saksi. 2) Keterangan ahli. 3) Surat.

4) Petunjuk.

5) Keterangan terdakwa.

(45)

Indonesia disebut “ pemidanaan ”. Di beberapa negara seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang sistem pemerintahannya telah maju atau berkembang pesat telah dikembangkan beberapa dasar alasan pemidanaan. Berat ringannya pidana yang dijatuhkan tidak semata-mata didasarkan pada penilaian subjektif hakim, tetapi dilandasi keadaan objektif yang diperdapat dan dikumpul di sekitar kehidupan sosial terdakwa, ditinjau dari segi sosiologis dan psikologis. Misalnya, dengan jalan menelusuri latar belakang budaya kehidupan sosial, rumah tangga, dan tingkat pendidikan terdakwa atau terpidana. Data-data tersebut dapat diperoleh dari hasil penelusuran riwayat hidup terdakwa, yayasan tempat terdakwa pernah dirawat, teman dekat terdakwa, lingkungan pendidikan, dan lain sebagainya.

(46)

A. Pendekatan Masalah

Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan Yuridis Normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada.

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder saja, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas (Soerjono Soekanto, 1986: 57), yang terdiri antara lain:

1. Bahan Hukum Primer, antara lain:

(47)

Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman d) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer e) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Kepres, Perda.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari:

a) Literatur b) Kamus

c) Internet, surat kabar dan lain-lain

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

(48)

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang, peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup penelitian ini.

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

2. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

(49)

D. Analisis Data

(50)

MENYALAHGUNAKAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

Nama Mahasiswa : Firdansyah Cholibi No. Pokok Mahasiswa : 0642011182

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Hj. Firganefi, S.H., M.H. Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. NIP 196312171987032003 NIP 19604061989031023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(51)

1. Tim Penguji

Ketua :Hj. Firganefi, S.H., M.H. ...

Sekertaris/Anggota :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan fakultas Hukum

Heryandi,S.H., M.S. NIP. 196211091987031003

(52)

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 15 Juni 1987. Sebagai anak Pertama dari Tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Amrunsyah Nafis, SM.Hk. dan Ibu Linda Wati, SM.Hk.

Penulis menyelesaikan Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Kartini Bandar Lampung pada Tahun 1993, Sekolah Dasar (SD) Negeri II Palapa Bandar Lampung pada tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 25 Bandar Lampung pada tahun 2002, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) Yayasan Pendidikan Arjuna Lampung pada tahun 2005.

(53)

Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat-amanat kepada

yang berhak; dan ( Ia perintahkan) apabila kamu menghukum

diantara manusia, Supaya kamu menghukum dengan adil

( QS : An Nissa : 58 )

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah

selesai ( urusan dunia ), maka bersungguh-sungguhlah

dalam beribadah

( QS : Al Insyirah : 6 dan 7 )

Life is learn from yesterday , do you best today, plan for a better tomorrow,

make hope as long we can cause we re life will mean nothing

when we stop hoping

(Author)

"Aim your arrows with a bow to the highest heaven, although he passed the star

that you're going, but he will be hurtling toward

a more distant star as a target "

(54)

Kupanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang meniupkan Nafas untuk ku di dunia ini serta Junjungan Besar Nabi Muhammad SAW

Kupersembahkan Karya Sederhana ini Kepada :

Kedua Orang Tua Terbaik di dunia yang selalu Menyayangiku, dan Selalu

Men Do’a kan keberhasilan di setiap usaha ku dalam setiap sujud nya. Papa

Amrunsyah Nafis,SM.Hk yang mengajarkan ku akan arti Kemauan, Berusaha dan Kerja Keras dalam hidup. Mama Linda Wati, SM.Hk yang

mengajarkan ku akan arti Kesabaran, Pengorbanan, Cinta dan

Pengendalian diri. Kedua Adik Perempuan ku yang kusayangi Fitria Amalia beserta suami nya (Bang Romi Mursalini) dan Farrencia Nadya Safhira Amrun yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat. Kekasih ku

Ria Kesuma Putri, A.Md Kep., yang selalu mencintai dan menyayangiku, setia menemani, membantu, memotivasi, serta memberi saran dan solusi

pada ku disetiap hal yang sedang kuhadapi. Keluarga Besarku yang senantiasa mendoakan kesuksesan dan keberhasilanku. Sahabat dan

Teman-teman terkasih yang selalu memberiku semangat, Bang Ismet yang selalu memberi saran, Yulius Cs, Indra Cs, Langgir Cs, Rocie Cs, Ogi Cs, Ka Candi & All Staff Taman Bermain Pelangi , Bang Zhu & All Staff 3Store Lampung

(55)

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul Pertimbangan Hukum Oleh hakim Pengadilan Militer terhadap Anggota Militer Yang Menyalahgunakan Narkotika dan Psikotropika”

adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Hj. Firganefi, S.H, M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

(56)

menyempurnakan skripsi ini;

6. Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;

7. Ibu Hj. Melly Aida S.H., M.H. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Staff dan karyawan Bagian Hukum Pidana yang telah banyak membantu penulis demi kelancaran skripsi ini;

10. Ayah, Ibu, dan Adik-adikku tercinta yang selalu memberikan dorongan dan semangat serta doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

11. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, Februari 2011

Penulis

(57)

(Studi Putusan Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Nomor : 35-K/BDG/PMT-II/AD/VI/2011)

OLEH

FIRDANSYAH CHOLIBI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(58)

(Skripsi)

Oleh :

Firdansyah Cholibi

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(59)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Kompetensi peradilan Militer dalam menyidang dan memutus perkara dengan Nomor : 35-K/BDG/PMT-II/AD/VI/2011 adalah tidak tepat karena dalam perkara ini tidak ditemukan adanya landasan yuridis yang tepat untuk menyidangkan kasus ini dalam lingkup peradilan militer karena bukan merupakan tindak pidana militer melainkan murni tindak pidana umum yang tidak ada dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Pengadilan Militer. Sehingga dengan kata lain kompetensi peradilan yang berhak untuk mengadili perkara Sabar Sembiring ini adalah dalam lingkungan peradilan umum yang jika perkara ini digelar dalam lingkup peradilan umum maka proses fair play dalam persidangan akan terlaksana dan jauh dari adanya kesan persidangan ”sandiwara” yang hanya bertujuan untuk

melindungi korps atau kesatuan Militer saja.

(60)

Sembiring adalah keterangan 2 (dua) orang saksi dan keterangan Terdakwa sehingga alat bukti yang diajukan telah memenuhi rumusan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer, di mana Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.

B. Saran

1. Jika pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika ternyata sedang menjalankan tugas negara ataupun tugas operasi militer, hendaknya segera di tarik untuk menyelesaikan perkaranya terlebih dahulu agar proses penyelesaian perkaranya dapat cepat selesai.

2. Untuk menghindari larinya terdakwa dalam proses pemeriksaan, hendaknya di lakukan pengawalan ketat terhadapnya, karena jika sampai melarikan diri akan menghambat proses pemeriksaan tersebut. Dan meminta dilakukannya penahanan terhadap terdakwa selama masa persidangan.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun pemilihan abu ampas tebu sebagai bahan pembuatan beton yaitu : pengadaanya cukup mudah dan murah sehingga bila ditinjau dari segi ekonomis akan lebih

Tahap pendefinisian (define) dan perancangan (design) adalah tahap pembuatan media dengan langkah awal analisis masalah, pengumpulan data, pembuatan desain, validasi desain dan

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

METHODS OF TRANSLATI NG IDIOM“ IN A “HORT “TORY THE HOUND OF DEATH BY AGATHA CHRI“TIE INTO ANJING KEMATIAN BY TANTI LE“MANA..

Pendidikan karakter secara terpadu di dalam pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, dan

Pada pembahaan tentang kurikulum pendidikan di HSG Khairu Ummah, Bantul penulis telah menjelaskan bahwa sekolah rumah Khairu Ummah lebih memberikan penekanan pada

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa setiap pertanyaan yang digunakan yang terdiri dari 5 pertanyaan dalam menggambarkan variabel keputusan pembelian maka nilai

Obyek wisata Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) dengan fasilitas yang ada memiliki daya tarik utama sebagai tempat konservasi satwa.Dengan daya tarik yang dimiliki