• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIVALITAS ARAB SAUDI-IRAN DI YAMAN ERA ARAB SPRING 2010-2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RIVALITAS ARAB SAUDI-IRAN DI YAMAN ERA ARAB SPRING 2010-2016"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

RIVALITAS ARAB SAUDI-IRAN DI YAMAN ERA ARAB SPRING

2010-2016

(Saudi ArabiaIran’s Rivalry in Yemen Arab Spring Era 2010-2016)

Oleh:

AHMAD FANANI 20070510031

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)

RIVALITAS ARAB SAUDI-IRAN DI YAMAN ERA ARAB SPRING 2010-2016 Uprisings have further inflamed tensions between Saudi Arabia and Iran. Iran and Saudi Arabia have not confronted each other militarily, but rather have divided the region into two armed camps on the basis of political and religious ideology in seeking regional allies and promulgating sectarianism as they continue to exploit the region’s weak states in a series of proxy wars ranging from conflicts in Iraq to Lebanon.

The Saudi-Iranian strategic and geopolitical rivalry is further complicated by a religious and ideological rivalry, as tensions represent two opposing aspirations for Islamic leadership with two vastly differing political systems. The conflict is between SaudiArabia, representing

Sunni Islam via Wahhabism, and Iran, representing Shi’ite Islamthrough Khomeinism. The

Saudi-Iranian strategic and geopolitical rivalry is further complicated by a religious and ideological rivalry, as tensions represent two opposing aspirations for Islamic leadership with two vastly differing political systems. The conflict is between SaudiArabia, representing Sunni

Islam via Wahhabism, and Iran, representing Shi’ite Islamthrough Khomeinism. The

Saudi-Iranian rivalry has important implications conflict and stability in Yemen afterward Arab Spring Uprising. Therefore, this research seeks to address the question: What is led Saudi and Iranto

involve massively in Yemen’s Conflict afterward Arab Spring 2011-2016?

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gelombang musim semi Arab (Arab Sping) telah banyak mengubah konfigurasi politik di

Timur Tengah. Gelombang yang di dasari oleh tuntutan akan demokratisasi ini telah melanda

sebagian besar negara di Timur Tengah mulai dari Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, sampai Yaman.

Selain memicu perubahan peta politik di internal negara-negara yang terkait, gelombang ini juga

turut mempengaruhi perubahan situasi di kawasan, salah satunya rivalitas Arab Saudi dan Iran.

Guncangan gelombang musim semi arab ini memanaskan kembali rivalitas kedua negara

berpengaruh di kawasan tersebut.

Musim Semi Arab (Arab Spring) adalah rentetan gelombang revolusi unjuk rasa dan

protes yang terjadi didunia Arab, meski tidak semuanya dilakukan oleh orang Arab. Dimulai

sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya;

pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, dan Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania,

Maroko, dan Oman; dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan

Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan

dunia Arab ini.

Rentetan protes ini terjadi dalam beberapa pola, diantaranya adalah pemberontakan sipil,

kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti

Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan

meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh

(14)

dan pengunjuk rasa yang pro-pemerintah. Slogan pengunjuk rasa yang didengungkan di dunia

Arab itu adalah Ash-sha`b yurid isqat an nizam (―Rakyat ingin menumbangkan rezim ini‖).

Rangkaian peristiwa pada Arab Spring ini berawal dari protes pertama yang terjadi di

Tunisia tanggal 18 Desember 2010 menyusul peristiwa pembakaran diri oleh Mohamed Bouazizi

dalam protes atas korupsi oleh polisi dan pelayanan kesehatan. Dengan kesuksesan protes di

Tunisia, gelombang kerusuhan menjalar ke Aljazair, Yordania, Mesir, dan Yaman, kemudian ke

negara negara lain. Sampai September 2012, unjuk rasa ini telah mengakibatkan penggulingan

empat kepala negara.

Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali yang kabur ke Arab Saudi, mengakhiri

kekuasaannya pada tanggal 14 Januari 2011 setelah protes revolusi Tunisia. Di Mesir, Presiden

Hosni Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011, setelah 18 hari protes massal dan

mengakhiri masa kepemimpinannya selama 30 tahun.

Pemimpin Libiya Muammar Gaddafi tumbang dari kekuasaannya pada 23 Agustus 2011,

setelah Dewan Transisional Nasional (National Transitional Council, NTC) mengambil kendali

pada Bab al Azizia sebuah barak militer yang menjadi markas Muammar Gaddafi. Dia terbunuh

pada tanggal 20 Oktober 2011, di Sirte kota kelahirannya setelah NTC menguasi kota tersebut.

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh menandatangani persetujuan pengalihan kekuasaan GCC.

Dari hasil pemilihan presiden Abd al-Rab Mansur al-Hadi secara formal menggantikannya

sebagai presiden Yaman pada 27 Februari 2012.

Berbagai perubahan konfigurasi politik yang di hasilkan gelombang musim semi Arab

diatas memicu kecurigaan yang tak berkesudahan antara Riyadh dan Teheran1. (dinna Wisnu)

1

(15)

Mereka saling mencurigai masing-masing melakukan ekspansi kekuatan dan terlibat dalam

perebutan pengaruh di kawasan.

Selama hampir enam tahun Arab Spring bergulir dari akhir 2010, Saudi dan Iran telah

terlibat dalam bentrok kepentingan di berbagai negara konflik. Bentrokan tersebut terjadi dalam

berbagai pola dan intensitas yang berbeda.

Tahun 2011, Arab Saudi mengirimkan tentaranya untuk membantu Bahrain, sekutu dekat

yang saat itu dilanda unjuk rasa besar-besaran. Saudi khawatir oposisi Syiah di Bahrain akan

bersekutu dengan Iran dengan memanfaatkan situasi itu. Saudi dan Bahrain kemudian menuding

Iran sengaja menggerakkan aksi kekerasan terhadap polisi Bahrain. Kawat diplomatik Amerika

Serikat yang dibocorkan WikiLeaks menunjukkan bahwa para pemimpin Saudi, termasuk Raja

Abdullah, mendorong AS untuk mengambil posisi tegas melawan program nuklir Iran.

Otoritas Saudi menuding sejumlah warga Syiah di Provinsi Timur, termasuk ulama Nimr

Baqr al-Nimr yang dieksekusi mati pada 2 Januari lalu, bekerja sama dengan negara asing,

merujuk pada Iran, dalam memancing pertikaian, setelah terjadi bentrokan antara polisi dan

warga Syiah di kawasan itu. Secara terpisah, AS mengklaim berhasil menggagalkan rencana

pembunuhan Duta Besar Saudi untuk AS oleh Iran. Saat itu, otoritas Saudi mengatakan, bukti

soal rencana pembunuhan itu sangat banyak dan menegaskan Iran akan mendapat balasannya.

Tahun 2012, Arab Saudi menjadi pendukung utama kelompok pemberontak Suriah yang

berusaha menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad, yang merupakan sekutu Iran. Saudi

terang-terangan menuding Assad telah melakukan genosida dan menyebut Iran memanfaatkan

(16)

Pada Maret 2015, otoritas Saudi memulai serangan udara di Yaman untuk memerangi

pemberontak Houthi, yang merupakan sekutu Iran, yang berniat mengambil alih pemerintahan.

Saat itu, Saudi menuding Iran sengaja memanfaatkan Houthi untuk mengkudeta pemerintah

Yaman yang kala itu dipimpin Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi. Lagi-lagi, Iran pun menuding

serangan udara Saudi menargetkan banyak warga sipil di Yaman.

Kebijakan luar negeri Arab Saudi selama ini selalu mengedepankan upaya perdamaian,

tetapi terkait dengan konflik yang terjadi di Yaman Arab Saudi merupakan salah satu pihak luar

yang ikut terlibat dalam konflik internal Yaman. Arab Saudi dan Yaman merupakan dua Negara

yang memiliki hubungan sejarah konflik yang panjang, konflik perbatasan tidak terlepas oleh

kedua belah pihak terkait dengan sengketa pulau-pulau di Laut Merah. Sebelum berintegrasi,

Yaman Utara maupun Selatan memiliki hubungan yang kurang begitu harmonis dengan Arab

Saudi. Arab Saudi menganggap keberadaan Yaman Utara yang Republik merupakan ancaman

bagi kelangsungan kehidupan kerajaan (royalis) yang dianutnya.

Perang di Yaman antara kelompok Houthi dan pasukan pemerintah Yaman tak bisa lepas

dari peta politik perseteruan sengit antara Arab Saudi dan Iran. Rivalitas sektarian antara kaum

Sunni dan Syiah dalam perebutan kekuasan di Yaman juga mulai tampak. Hal itu Nampak dari

apa yang dilakukan oleh Arab Saudi pada tanggal 26/3/2015, Arab Saudi dan sembilan negara

Teluk resmi meluncurkan agresi militer di Sanaa, Yaman. Mereka berdalih, agresi itu untuk

memerangi kelompok Houthi dan menyelamatkan pemerintah sah Yaman di bawah

kepemimpinan Presiden Mansour Hadi.

Kelompok Houthi yang didominasi kaum Syiah dikenal sebagai sekutu utama Iran.

(17)

Beberapa pengamat Timur tengah melihat rivalitas Saudi dan Iran ikut mewarnai perang di

Yaman. Iran yang hampir mencapai kesepakatan nuklir dengan enam negara kekuatan dunia

sudah membuat Arab Saudi resah.

Pemberontakan al-Houthi di Yaman yang terjadi sebenarnya merupakan kelanjutan

peristiwa pembantaian Hussein al-Houthi di tahun 2004 silam. Pemerintah Yaman di selatan

menuding al-Houthi ingin merubah sistem pemerintahan menjadi Imamah. Sedangkan Houthis

yang didukung penduduk Yaman Utara menuding pemerintah Yaman melakukan diskriminasi

dan marginalisasi ekonomi di kawasan Sa’da di utara Yaman. Motif ideologis juga berperan. Isu

penyeimbangan antara komunitas Salafi dan Zaidi juga tersebar.2

Al-Houthi merupakan kelompok pemberontak yang berbasis di Yaman Utara. Pengikut

al-Houthi terkenal dengan sebutan Houthis. Nama kelompok Syiah Zaidiyah itu diambil dari

nama keluarga al-Houthi, dan Badaruddin al-Houthi termasuk pembesar keluarga itu yang

merupakan pengikut Syiah Zaidiyah Jurudiyah dan salah satu ulama besar Syiah di kawasan.

Hussein al-Houthi yang merupakan anak dari Badaruddin al-Houthi dan sekaligus pemimpin

kelompok pejuang itu, meninggal dunia dalam pertempuran dengan tentara pemerintah Yaman.

Saat ini, kepemimpinan kelompok itu berada di tangan Abdul-Malik al- Houthi, putra

dari Hussein al-Houthi. Meleburnya sebagian pengikut Zaidiyah ke dalam barisan pemberontak

Houthi, bukan sepenuhnya karena kedekatan ideologi, tapi juga faktor kemiskinan Yaman Utara

akibat ketidakadilan pemerintah di Yaman Selatan.

Pada bulan Agustus 2009, tentara Yaman melancarkan serangan besar-besaran yang

disebut Operasi Bumi Hangus, untuk menghadapi pemberontakan yang melawan pemerintah

2

(18)

Yaman. Sebagian besar pertempuran terjadi di wilayah pemerintahan Sa’dah di barat laut

Yaman. Pada 11 Agustus 2011, tentara Yaman melanggar kesepakatan gencatan senjata dan

menyerang kelompok al-Houthi. Kebijakan represif pemerintah lewat Operasi Bumi Hangus

hingga kini belum mampu menumpas perlawanan kelompok Syiah itu. Di pihak lain, kelompok

alHouthi yang menempati dan menguasai kawasan pegunungan di provinsi Sa’dah, utara Yaman

berhasil mengontrol 14 kabupaten dari 15 kabupaten di provinsi dan hanya kota Sa’dah yang

belum dikuasai oleh kelompok pejuang itu.

Konflik yang terjadi di Yaman merupakan kelanjutan dari pemberontakan Syiah Houthi.

Hingga tanggal 21 September 2014, ibukota Yaman, Sanaa jatuh ke tangan Houthi. Februari

2015, Presiden Yaman, Abd Rabbuh Mansour Hadi melarikan diri ke Aden dari ibukota Sanaa.

Sebelumnya dia telah disandera sebagai tahanan rumah oleh pemberontak Houthi selama

beberapa pekan. Dan pada Maret 2015, Presiden Mansour Hadi mengumumkan pemindahan

ibukota dan menjadikan kota Aden sebagai ibukota negaranya. Dia juga menyatakan bahwa

ibukota Sanaa telah menjadi ―kota yang diduduki‖ oleh pemberontak Syiah.

Karena desakan separatis Houthi yang kian kuat, akhirnya beliau mengirim surat ke

beberapa negara teluk. Surat yang sangat menyentuh.Presiden Manshur Hadi menceritakan

kondisi Yaman yang sudah berada di ambang kehancuran, sehingga membutuhkan pertolongan

dari ―para saudaranya‖. Presiden menuliskan suratnya dengan sapaan ―al-Akh‖ (saudara) bagi

para pemimpin negara teluk.3

Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Saud al Faisal mengatakan kerajaan Arab

Saudi siap untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengatasi krisis politik di

3

(19)

Yaman.Kami ingin melindungi kedaulatan dan legitimiasi Pemerintah Yaman yang diwakili oleh

Presiden Hadi.Kami berharap krisis itu dapat diselesaikan dengan damai dan kami siap untuk

menjawab setiap permintaan Presiden Hadi, apapun itu untuk mendukungnya.

Pemimpin kelompok al-Houthi, Abdul-Malik al-Houthi menyatakan bahwa tentara Arab

Saudi sejak awal pecahnya perang saudara di Yaman, aktif membantu pasukan pemerintah

Yaman. Dikatakannya, Kebijakan anti warga Yaman yang ditujunjukkan oleh pemerintah Arab

Saudi bukan masalah baru. Serangan Arab Saudi ke wilayah Yaman dengan dalih memerangi

pejuang Syiah memiliki beragam dampak.Pada tingkat pertama, serangan itu merupakan

pelanggaran terhadap kedaulatan Yaman dan melanggar aturan internasional.

Aksi sepihak pemerintah Arab Saudi telah meningkatkan solidaritas warga Ahlu Sunnah

Yaman terhadap komunitas Syiah Houthi, sebab mayoritas warga Ahlu Sunnah Yaman

menganut mazhab Imam Syafii dan memiliki banyak kesamaan dan kedekatan dengan mazhab

Syiah. Mereka juga menentang kelompok Wahabi yang menguasai Arab Saudi.4

Pada Maret 2015, Arab Saudi melancarkan serangan militer besar-besaran di Yaman

untuk memberantas para pemberontak Syiah Houthi. Saudi mengerahkan 100 pesawat tempur

dan 150 ribu tentara untuk operasi militer ini. Dalam agresi ini, turut dibantu 8 negara arab serta

dukungan Inggris dan Amerika. Selain itu, pesawat-pesawat dari Mesir, Maroko, Yordania,

Sudan, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain juga ikut serta dalam operasi besar-besaran

ini. Kampanye ini tujuannya untuk mencegah para pemberontak Houthi menggunakan

bandara-bandara dan pesawat untuk menyerang Aden dan bagian-bagian Yaman lainnya serta mencegah

mereka menggunakan roket-roket. Sebelumnya dalam statemen bersama, lima negara Teluk

4

(20)

Arab: Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain dan Qatar telah memutuskan untuk bertindak

melindungi Yaman dari apa yang mereka sebut sebagai agresi milisi Houthi yang didukung Iran.5

Rivalitas Saudi dan Iran di Yaman menarik di cermati karena di negara miskin tersebut

sikap Saudi begitu keras dengan melakukan kampanye militernya, sikap yang oleh beberapa

pengamat di pandang tak lazim mengingat selama ini Saudi cenderung melakukan pendekatan

damai dalam menghadapi konflik.

Beberapa pengamat menyebut Iran dan Arab Saudi terlibat dalam perang proksi. Kedua

negara tak berperang secara langsung, tapi turut terlibat jauh dalam konflik yang terjadi di

negara-negara kawasan. Arab Saudi menyokong penuh rezim Bahrain dan Yaman, sedangkan

Iran menyokong pihak oposisi di Bahrain dan Yaman. Iran juga mendukung penuh rezim Suriah,

sedangkan Arab Saudi mensponsori pihak oposisi di Suriah.

Merujuk riwayat hubungan Saudi-Iran dan besarnya pengaruh keduanya dikawasan,

menarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana Rivalitas Arab Saudi dan Iran Pasca di Yaman

Pasca Arab Spring 2011-2016.

B. Rumusan Masalah

Mengapa Arab Saudi dan Iran begitu gigih bersaing dalam konflik di Yaman, Era Arab

Spring 2010-2016?

C. Kerangka Teori

1. Sphere of Influence

5 ―Militer Arab Saudi dan 8 Negara Gempur Yaman Harga Minyak Dunia Langsung Naik‖, dalam

(21)

Sphere of Influence dalam politik internasional di maknai sebagai klaim dari sebuah

negara secara ekslusif atau kontrol yang dominan atas sebuah area atau wilayah asing diluar

wilayah yurisdiksinya. Istilah ini mengarah pada klaim politis untuk kontrol yang eksklusif

dimana negara lain tidak akan mengakui, atau akan mengarah pada perjanjian hukum dimana

negara lain akan menahan diri untuk tidak mengintervensi didalam lingkaran pengaruh yang

ada.

Istilah ini mulai populer sejak tahun 1880an ketika ekspansi koloni dari Eropa masuk ke

Afrika dan Asia. Tahap akhir dari ekspansi tersebut diwujudkan dalam perjanjian yang

melibatkan kekuatan-kekuatan besar. Perjanjian ini adalah untuk memperkuat lingkaran

pengaruh yang ada. Perjanjian antara Inggris dan Jerman pada bulan Mei 1885 adalah yang

pertama, menjadi pemisah dan batasan dari pengaruh kedua negara tersebut atas teluk guinea.

Perjanjian ini kemudian diikuti oleh beberapa lainnya, yang mana ada pasal VII dari perjanjian

antara Inggris dan Jerman pada tanggal 1 Juli 1890 tentang Afrika Timur yang bisa dikatakan

serupa. Isinya sbb: Kedua kekuatan tidak akan mengintervensi satu sama lain sebagaimana yang

telah disebutkan ada pasal 1-4. Satu kekuatan tidak akan berada pada lingkaran pengaruh

kekuatan lain dalam mengakuisisi, membuat perjanjian, mengakui hak atau perlindungan,

ataupun menghalangi perluasan pengaruh dari yang lain. Tidak akan ada perusahaan atau

individu dari sebuah negara dapat beraktivitas didalam sphere of Influence negara lain, kecuali

dengan seijin tuan rumah.

Ketika kolonialisme berakhir setelah Perang Dunia II, lingkaran pengaruh hilang artinya

pada tingkatan perjanjian formal. sphere of Influence pada tingkatan yang lebih longgar atau

non-formal mulai terjadi. Sebagai alat dari kekuatan besar atau kerajaan, sphere of Influence

(22)

kekuatan pesaing masuk di wilayah yang sama atau ketika wilayah yang dikontrol melakukan

penolakan atas pengaruh yang ada.

Pada masa lampau, konflik antara Roma dan Carthage untuk pengaruh atas Mediterania

barat berujung pada Perang Punic yang dimulai pada abad ketiga. Yang lebih baru adalah

Doktrin Monroe (1823) memasukkan pengaruh AS di ―dunia baru‖, kecuali kolonisasi Eropa di

Amerika dan upaya awal AS untuk mengintervensi kebijakan dari negara tetangga yang lebih

kecil. Setelah Perang Dunia II, Uni Soviet membuat sebuah sphere of Influence sebagai fakta

politis atas penguasaannya atas negara-negara di Eropa Timur dan indocina.

2. Politik Identitas

Untuk memahami pertarungan pengaruh Arab Saudi dan Iran di Yaman, selain mengacu

pada sejarah politik dan tren kebijakan luar negeri saat ini di Timur Tengah, penting juga untuk

mengkaji konsep identitas negara dan pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan—terutama

dalam hal ini kebijakan luar negeri—yang mendorong suatu negara menempatkan diri dalam

rivalitas terhadap negara lain. Banyak pengamat yang melihat persaingan antara Arab Saudi dan

Iran cenderung di pengaruhi oleh berbagai perbedaan antara keduanya yang mencakup:

Sektarianisme, nasionalisme, ideologi revolusioner, persaingan atas hegemoni regional, politik

perdagangan minyak, kebijakan terhadap kehadiran AS di Teluk, dan perselisihan haji.

Berbagai perbedaan identitas politik ini cukup fundamental dalam menjelaskan

persaingan Saudi-Iran, pasang surut hubungan antara kedua negara, dan perubahan-perubahan

pendekatan dalam kebijakan luar negeri keduanya. Politik identitas di sini mengacu pada

anasir-anasir yang mencakup seputar identitas etnis, ras atau agama yang bisa dipakai sebagai klaim

yang melegitimasi pemegang kekuasaan dalam memutuskan arah kebijakan negara.

(23)

perubahan identitas negara—terutama dalam wacana kebijakan luar negeri resmi tampak

mempengaruhi perubahan kebijakan, dan pergeseran pola persahabatan-permusuhan antara

kedua negara.6

Penting untuk dicatat bahwa sebuah negara bisa terdiri dari tiga komponen struktural

utama: 1) komponen ideasional, yang mencakup cita-cita luhur yang melandasi usaha

pemenuhan fungsi dasar pemerintahan untuk menyediakan perlindungan dari ancaman internal

dan eksternal, menghadirkan tertib aturan dan menyediakan kebutuhan pokok hidup; 2)

Komponen Kelembagaan, yang meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif yang mengatur sistem

dan hukum dasar, prosedur dan norma-norma; 3) komponen fisik, yaitu populasi yang

menyediakan potensi sumber daya yang dapat dimobilisasi melalui pembangunan ekonomi dan

memberikan kontribusi untuk negara dengan menyediakan modal manusia. Komponen fisik ini

juga termasuk wilayah suatu negara dan semua alam resources.7

Identitas kolektif menyediakan individu dengan informasi yang mereka butuhkan dalam

untuk membentuk opini tentang diri mereka sendiri dan lainnya. Selain itu, identitas terbentuk

dalam kaitannya dengan dan dari interaksi dengan lainnya. Proses identifikasi identitas kolektif

ini berjalan pada secara berkelanjutan melalui anasir negatif dan positif dan menentukan posisi

pandang dalam melihat yang lain. Konsepsi identitas politik menjadi batasan dalam melihat

yang lain sebagai liyan atau sebagai bagian dari Identitas yang sama.29 Identitas kolektif juga

memberikan kerangka acuan yang menjadi penuntun arah dalam menentukan tindakan yang akan

diambil. Identitas negara mempengaruhi kebijakan luar negeri dan sebaliknya, kebijakan luar

negeri pada titik tertentu dapat mempengaruhi identitas negara. Dengan demikian, elit politik

6

Mary Kaldor. New and Old Wars: Organized Violence in a Global Era. (Stanford, CA: Stanford University Press, 2007), 80

7

(24)

yang berkuasa dapat memanipulasi politik identitas untuk membenarkan kebijakan termasuk

perang.30

Politik identitas di Timur Tengah berbeda dengan kebanyakan kawasan lain. Di Timur

Tengah, selain faktor kesukuan, politik identitas banyak di pengaruhi oleh isu-isu sektarianisme

atau yang di sebut Ashabiyah.

Ashabiyah adalah suatu konsep yang menjelaskan tentang kecenderungan kesetiaan

penduduk suatu negara terhadap suatu aliran tertentu atau keluarga tertentu, misalnya

Masyarakat Arab Saudi lebih setia pada keturunan saud atau aliran sunni atau masyarakat Iran

Setia terhadap Ideologi Syiah. Dalam konteks rivalitas Arab Saudi dan Iran di Yaman, di Yaman

mayoritas masyarakatnya adalah dari aliran syiah houti sedangkan pemimpinnya dari aliran

sunni, maka dalam hal ini syiah houti yang menjadi mayoritas di yaman, sehingga ada keiginan

dari masyarakat yaman dari ideology houti untuk dipimpin dari atu ideologi, maka untuk

mencapai itu mereka melakukan revolusi terhadap pemimpin mereka dalam hal ini dari aliran

Sunni.

D. Hipotesa

Dari uraian Latar belakang, rumusan masalah dan merujuk pada kerangka teori diatas maka

(25)

Arab Saudi dan Iran terlibat secara massif dalam konflik di Yaman karena ada perebutan

pengaruh dan kepentingan politik keduanya atas perkembangan situasi di Yaman yang di landasi

oleh perbedaan identitas kolektif kedua negara.

E. Metodologi

1. Jangkauan Penelitian

Untuk memudahkan penelitian, penulis akan membatasi jangka waktu antara tahun 2010-

2016. Tahun 2010 dipilih sebagai awal penelitian karena pada tahun itulah fenomena Arab

Spring dimulai yang lantas menumbangkan beberapa rezim otoritarian di negara-negara Timur

tengah termasuk Yaman. Sedangkan pada tahun 2016, digunakan sebagai batas akhir penelitian

dikarenakan pada tahun itu terjadi puncak dari rivalitas Arab Saudi dan Iran.

2. Metode Pengumpulan Data

Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deduksi, yaitu dengan

mendasarkan pemikiran pada kerangka teori mapan yang digunakan sebagai sarana untuk

merumuskan kesimpulan sementara atau hipotesa. Hipotesa yang telah dirumuskan kemudian

akan dibuktikan melalui data-data empiris yang tersedia. Penulisan ini bersifat studi kepustakaan

atau Library research dengan menggunakan media cetak seperti surat kabar, majalah, dan

tabloid, serta media elektronik yaitu televisi dan internet. Penelitian ini menggunakan teknik

analisis deskriptif, dimana data-data dan fakta-fakta yang diperoleh akan dianalisis oleh teori

dengan sistematis agar bisa mengorelasikan diantara fakta-fakta tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan hasil karya tulis yang teratur dan sistematis, maka penulis membagi

karya ini ke dalam 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:

(26)

masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesa,

metodologi penulisan dan pengumpulan data, jangkauan penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II Membahas profil, konfigurasi politik, dan perkembangan konflik yang

terjadi di Yaman.

Bab III, peenulis akan membahas tentang profil Arb Saudi, Iran, dan riwayat

hubungan keduanya.

Bab IV akan menyajikan analisa rivalitas Arab Saudi dan Iran pasca Arab Spring

di Yaman dalam rentang 2010-2016.

Bab V merupakan bab terakhir yang akan menutup karya tulis ini, berisi

(27)

BAB II

KONFIGURASI DAN DINAMIKA POLITIK YAMAN: PRA DAN ERA

ARAB SPRING

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan tentang beberapa hal diantaranya Membahas

profil Yaman baik itu sebelum Arab Spring maupun di Era Arab Spring, konfigurasi politik, dan

perkembangan konflik yang terjadi di Yaman antara Arab Saudi dan Iran.

A. Yaman Sebelum Arab Spring

Yaman merupakan negara Arab berpenduduk mayoritas muslim yang terletak di sudut

barat daya semenanjung Arab. Wilayah Yaman berbatasan dengan Oman di sebelah timur, Laut

Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat dan Arab Saudi di sebelah

utara. Meski tergolong miskin, Yaman mempunyai posisi strtegis karena menguasai Bab el

Mandeb, salah satu jalur pelayaran minyak tersibuk di dunia, dan dianggap sebagai salah satu

jalur minyak terpenting dunia. Sekitar 3,3 juta barel minyak dari Teluk Persia melewati selat ini

setiap hari dalam perjalanan ke Eropa dan Amerika Utara.1

Negeri Yaman secara umum miskin sumber daya alam. Dibanding negara tetangganya,

Arab Saudi, yang kaya dengan sumber daya mineral, cadangan energi yang dimiliki Yaman

terbilang rendah. Departemen Energi AS mencatat hanya ada sekitar 3 miliar barel cadangan minyak di

Yaman. Namun pemerintah Yaman mengklaim ada sekitar 11,9 miliar barel cadangan minyak di negeri

tersebut. Yaman juga memiliki sekitar 480 miliar meter kubik cadangan gas alam.

Mayoritas penduduk Yaman tersebar di wilayah utara dan barat negeri ini, terutama di

kota-kota besar seperti Sana’a dan Ta’izz. Wilayah ini—terutama berupa wilayah dataran tinggi

1

(28)

yang gersang dengan sedikit ketersediaan sumber daya alam dan lahan pertanian beririgasi.

Wilayah pesisir di bagian selatan dan timur negara itu—dan dataran rendah Laut Merah di

barat—jauh lebih subur. Daerah ini sering disebut sebagai Yaman bagian bawah (Lower

Yemen), dan kota pelabuhan Aden merupakan daerah perkotaan utamanya. Selebihnya,

hamparan yang membentang di bagian timur negara itu sebagian besar adalah gurun panas terik

yang jarang penduduknya, tetapi di dalamnya terkandung porsi yang signifikan dari cadangan

minyak dan gas alam. Yaman dibagi menjadi 21 provinsi, yang sering disebut sebagai

gubernuran.

Yaman merupakan negara kedua terpadat di Semenanjung Arab setelah Arab Saudi.

Berdasar data 2014, penduduk Yaman tercatat sebanyak 25.956.000 dengan kepadatan 54/km2. Kepadatan penduduk ini terutama disebabkan oleh tingkat pertumbuhan yang cepat, penduduk

negara itu telah tumbuh dua kali lipat dalam rentang hanya dua dekade. Kepadatan penduduk

yang tinggi dan terbatasnya sumber daya alam di ini telah menjadi salah satu penyebab

terjadinya banyak konflik di negara tersebut, selain faktor lain seperti keragaman etnis, dan

faham.

Mayoritas penduduk Yaman adalah penganut ajaran Islam. Data International Religious Freedom

yang di rilis tahun 2012 menunjukkan mayoritas muslim tersebut secara garis besar terbagi kedalam dua

kelompk utama, yaitu Sunni dan Syiah dengan komposisi Sunni 60 % sedangkan Syiah 40%. Kaum Sunni

sendiri didominasi oleh penganut madzhab Syafi’iyah yang berjumlah antara setengah sampai dua-pertiga dari

total penduduk Yaman. Kelompok ini banyak menempati Yaman bagian selatan dan padang pasir terpencil di

Timur.

Kelompok Syiah, yang didominasi oleh sekte Zaydi, banyak tersebar di Yaman utara,

(29)

bagi orang-orang Zaidi. Banyak pemberontakan terhadap rezim penguasa pecah di kota ini,

utamanya dipicu oleh ketidakpuasan warga pada situasi politik dan ekonomi.

Bangsa Yaman memiliki peradaban dan budaya yang cukup tua, eksistensinya telah

tercatat sejak ribuan tahun yang lalu. Namun demikian, Yaman sebagai negara modern tergolong

merupakan negara yang relatif masih muda. Negara ini baru di deklarasikan pada tahun 1990,

setelah terjadi unifikasi antara Republik Arab Yaman, atau yang biasa disebut Yaman Utara, dan

Republik Sosialis Yaman atau yang populer disebut Yaman Selatan. Baik Yaman Utara atas

maupun Yaman Selatan memiliki beragam suku yang secara kultural mempunyai otonomi yang

khas sampai tingkat tertentu. Kondisi ini menyebabkan banyak terjadi gesekan antar suku

maupun golongan yang ada, bahkan jauh sebelum adanya unifikasi.

Masa lalu yang bermasalah ini berdampak pada ketidakpastian dan kerapuhan Yaman

masa kini: pemerintah pusat tidak efektif, kesukuan yang kuat, pemberontakan di utara oleh

kelompok Houthi, keinginan pemisahan di selatan, dan kemunculan cabang Al-Qaeda di

beberapa provinsi di negara tersebut. Untuk lebih lengkapnya, selanjutnya penulis akan

menyajikan riwayat sejarah Yaman modern dari mulai pembentukan Yaman Utara dan Selatan,

sampai penyatuan keduanya ke dalam bentuk Negara Yaman yang sekarang.

(30)

1. Yaman Utara

Sebelum mencapai kemerdekaan, wilayah Yaman Utara berada di bawah kendali

intermiten dari Kekhalifahan Utsmaniyah sampai tahun 1911. Wilayah ini didominasi oleh dua

konfederasi suku besar, Hashid dan Bakil. Pada tahun 1911, setelah perang yang sengit antara

pasukan Utsmaniyah dengan suku-suku dataran tinggi, Istanbul menandatangani Perjanjian

Da’an dengan Imam Zaidi, Yahya Mahmud al-Mutawakkil, yang menyerahkan kekuasannya di

sebagaian besar Yaman bagian utara. Setelah disintegrasi Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun

1918, Yahya mendeklarasikan wilayah ini menjadi negara Yaman independen berbentuk

kerajaan, dengan ibukotanya di Ta’izz. Kerajaan Mutawakkiliyah di Yaman (sering disebut

sebagai Yaman Utara) secara resmi merupakan pemerintahan teokrasi yang dipimpin oleh

seorang Imam Zaidi.

Tabel 2.2. Gambaran informasi umum Yaman Utara

No. Informasi Umum

1. Luas Wilayah 167.943 km²

2. Populasi 20.019.009

3. Bahasa Arab

4. Ibu Kota Sana’a

5. Riwayat Sejarah

5.1 Merdeka dari Imperium Ustmaniyah 1 November 1918

5.2 Bergabung dalam PBB 30 September 1947

5.3 Menjadi Republik Arab Yaman 26 September 1962

(31)

Berbasis di dan sekitar dataran tinggi gersang Yaman utara, kerajaan Yahya miskin

sumber daya, tetapi kaya dalam jumlah penduduk, setidaknya dibandingkan dengan

tetangga-tetangga terdekatnya. Kondisi ini mempunyai pngaruh signifikan bagi Yahya untuk mengatur

bentuk kelembagaan, tradisi, dan aturan negara. Imamah ini didasarkan hukum Islam, tetapi

hukum adat masih diberikan ruang sampai batas tertentu. Meskipun hukum-hukum adat ini

membantu menengahi dan menyelesaikan sengketa antar-suku, konflik terus-menerus diantara

suku dan antara suku-suku dengan pemerintah atas tanah dan sumber daya alam (khususnya air

dan makanan) menyebabkan Yahya menyusun sebuah sistem dan kebijakan yang berorientasi

pada kondisi-kondisi tersebut.

Pertama, dia merekrut tentara dari suku-suku dataran tinggi dan mendorong mereka untuk

menjarah daerah yang lebih subur di Yaman utara. Selain untuk meringankan kekurangan

sumber daya, praktek ini mengarahkan energi suku-suku untuk menjauh dari konflik dengan

pusat kekuasaan. Kedua, ia menghadiahi suku-suku yang setia dengan memungkinkan mereka

untuk merampas dan menjarah tanah dan desa-desa dari suku-suku yang tidak setia. Ketiga, ia

mengimingi syeikh (pemimpin suku) lain yang vokal didalam konfederasi suku dengan

tunjangan bulanan. Akhirnya, ia mengendalikan anak-anak dan saudara-saudara dari syekh yang

tersandera tersebut sebagai pencegah terjadinya konflik suku berjalan diluar kendalinya.

Sementara strategi membagi dan menaklukkan ini memungkinkan negara Yaman baru itu

untuk memperluas, membangun dan bertahan, namun hal itu kurang mampu menyelesaikan

sengketa dengan suku-suku tetangga kerajaan itu. Hal ini sering menimbulkan konflik dengan

suku-suku di Yaman bagian selatan dan daerah subur lainnya. Ketegangan ini turut memberikan

(32)

Sepanjang 1962 sampai 1970, banyak terjadi perang sipil di wilayah Yaman Utara. Imam

Yahya terbunuh dalam kudeta tahun 1948 dan segera digantikan oleh putranya. Imam Ahmad,

pengganti yang ditunjuk Yahya disebut Iblis karena banyaknya korupsi dan represi yang ekstrim,

Imam Ahmad membangkitkan permusuhan dari para syekh, pemimpin militer, nasionalis Arab

dan kaum reformis, sampai militer berusaha untuk menggulingkannya pada tahun 1955. Hal ini

menciptakan krisis hingga berujung pada saat kematiannya pada tahun 1962. Dalam beberapa

bulan terjadi perang saudara besar-besaran antara kelompok yang menginginkan perubahan

sistem pemerintahan dengan bentuk republik. Kelompok pro republik ini dipimpin oleh Abdullah

as-sallal dan para pendukung status quo kerajaan (royalis) dipimpin oleh putra Ahmad,

Muhammad al-Badr, yang telah mencoba merebut kekuasaan ayahnya pada tahun 1959. Secara

umum, komitmen kaum republikan untuk memodernisasi negara yang sangat terbelakang itu

memenangkan dukungan dari Yaman bagian bawah dan kota-kota besar, sementara gerilyawan

royalis didukung terutama oleh suku Zaidi di Yaman bagian atas.

Pemerintah republik baru yang mengangkat dirinya sendiri di Sana’a mendapat dukungan

dari Mesir dan Uni Soviet. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser memberikan dukungan penuh

pada Sana’a dan Uni Soviet bahkan memberikan persenjataan tambahan dan uang $ 140 juta

untuk pembangunan pelabuhan dan lapangan terbang. Sementara itu, Arab Saudi, Yordania dan

Inggris mengirim uang dan senjata untuk kaum royalis. Pada puncak perang di pertengahan

tahun 1965, Nasser telah mengirimkan hampir 75.000 pasukan utama Mesir ke Yaman Utara

untuk menopang rezim Sallal dan untuk memicu pemberontakan anti-Inggris di daerah yang

selanjutnya disebut Yaman Selatan yang diduduki. Namun, suku-suku Yaman telah

menyebabkan kerusakan luar biasa pada militer Nasser. Pada saat mengundurkan diri pada tahun

(33)

orang-orang Mesir menjadi serupa dengan Vietnam bagi Amerika Serikat. Yaman Modern juga

terkena dampak oleh warisan perang.

Kaum pendukung republik akhirnya menang setelah delapan tahun pertempuran brutal

yang menewaskan sedikitnya 100.000 orang Yaman Utara dan sebanyak 26.000 tentara Mesir.

Yaman Utara secara resmi menjadi Republik Arab Yaman, rezim lama ditinggalkan dan

konstitusi baru yang berdasarkan syariah, diadopsi. Abdul Rahman al-Iryani, yang

menggulingkan Sallal, pada tahun 1967 menjadi presiden sipil pertama dan satu-satunya di

Yaman Utara. Abdul Rahman al-Iryani memimpin Yaman Utara dalam perang singkat melawan

Yaman Selatan pada tahun 1972, sebelum digulingkan pada tahun 1974. Selama empat tahun

kemudian negara itu mengalami tiga perubahan lain dalam kepemimpinan.

Presiden Ali Abdullah Saleh naik tahta melalui kudeta pada tahun 1978, dan segera

terlibat dalam perang singkat yang kedua melawan Yaman Selatan. Di dalam negeri, ia

menerapkan strategi memecah belah dan memerintah berdasarkan pada pendahulunya. Ia

memadamkan dua upaya kudeta di tiga tahun pertama masa kepresidenannya. Pada tahun 1990,

Republik Arab Yaman berubah nama menjadi Republik Yaman, setelah bergabung dengan

Yaman Selatan.

2. Yaman Selatan

Kondisi Yaman Selatan berbeda dengan tetangganya, Yaman Utara. Sebelum menjadi

negara merdeka, Yaman Utara adalah entitas semi-menyatu dibawah Kekhalifahan Utsmaniyah.

Sebaliknya, sebelum merdeka wilayah Yaman Selatan merupakan federasi suku-suku

independen yang sangat terfragmentasi dan sebagian juga merupakan sebuah koloni otonom

(34)

Tabel 2.3. Informasi umum Yaman Selatan

1. Nama Resmi Republik Demokratik Yaman

2. Luas Wilayah 360.133 km²

3. Populasi 2,585,484

4. Bahasa Arab

5. Ibu Kota Aden

6. Mata Uang Dinar Yaman Selatan

Pada tahun 1839, Persekutuan India Timur Inggris (the British East India Company)

menaklukkan pelabuhan Aden untuk digunakan sebagai tempat mengisi batu bara dalam

perjalanan ke India. Awalnya, Inggris berharap untuk menghindari wilayah suku-suku di

sekitarnya sama sekali. Namun, kekhawatiran dengan kehadiran Utsmaniyah yang berkembang

di Yaman utara memacu Gubernur Jenderal India Inggris untuk menandatangani perjanjian

konsultasi dan perlindungan dengan berbagai suku di Yaman bagian selatan yang dimulai pada

tahun 1873. Pada tahun 1886, India Inggris telah menandatangani 90 perjanjian dengan beberapa

suku di Yaman bagian bawah dan gurun timur jauh, membentuk apa yang selanjutnya disebut

Protektorat Aden dan membentuk sebuah lingkaran pengaruh di Yaman selatan, meskipun tanpa

menciptakan sebuah entitas politik yang koheren. Protektorat yang melampaui wilayah terdekat

kota pelabuhan itu, juga meliputi kesultanan tradisional independen Hadhramout di padang pasir

Timur. Secara historis, Hadhramout telah berdagang dengan India dan Asia Tenggara bukan

(35)

dari Yaman bagian selatan. Sementara itu, pelabuhan Aden tetap menjadi entitas yang sama

sekali terpisah dan diperintah secara langsung dari India Inggris.

Menjelang Perang Dunia I, London dan Istanbul menetapkan batas posisi mereka pada

tahun 1914 dengan membuat apa yang disebut sebagai Jalur Ungu untuk membatasi lingkup

pengaruh masing-masing di selatan Semenanjung Arabia. Seperti yang sering terjadi di wilayah

tersebut, kekuatan-kekuatan luar memutuskan perbatasan di Yaman dengan sewenang-wenang,

tanpa berkonsultasi dengan orang-orang Yaman, meskipun fakta bahwa garis tersebut membelah

wilayah kesukuan yang telah ada. Jalur Ungu ini mendekati batas umum yang ada antara dua

Yaman sampai penyatuannya pada tahun 1990.

Inggris lebih lanjut mengkotak-kotakkan Yaman Selatan dengan membagi Protektorat itu

menjadi dua bagian Timur dan Barat pada tahun 1917, memindahkan kendali unit-unit ini dari

India ke Kantor Luar Negeri Inggris di London dan kemudian membuat koloni mahkota Aden

(Aden Crown Colony) yang terpisah pada tahun 1937. Sementara Aden menjadi pusat

perdagangan global yang makmur (terutama untuk pengisian minyak), Inggris menciptakan

Protektorat Aden Timur sebagai pemerintahan lebih kecil yang terpisah, untuk wilayah

Hadhramout setelah menemukan cadangan minyak berpotensi signifikan di padang pasir

timurnya. Hal ini adalah cocok alami untuk wilayah Hadhramout, mengingat medan yang sulit,

lokasi terpencil, dan sejarah otonominya dari Yaman bagian bawah.

London mempertahankan sedikit porsi kendali atas wilayah ini dan wilayah kesukuan

lainnya dengan menggabungkan bantuan keuangan dan bujukan lain dengan kampanye

pemboman udara. Hal ini terutama berlaku di Protektorat Aden Barat, yang meliputi sebagian

besar dari Yaman bagian bawah dan telah menanggung beban serangan dari Yaman bagian atas.

(36)

dalam perang perbatasan yang tidak dideklarasikan -tapi merusak—pada 1950-an. Sebagaimana

disebutkan oleh Perdana Menteri Harold Macmillan, “akan lebih baik untuk meninggalkan para

syekh dan penguasa lokal dalam kondisi persaingan dan keterpisahan, di mana mereka bisa

dimainkan antara satu dengan yang lain, daripada membentuk mereka menjadi satu kesatuan”.

Upaya “pasifikasi” Inggris seperti ini di pedalaman menyebabkan kekalnya fragmentasi antar

masing-masing suku dan selanjutnya turut berkontribusi memperdalam sifat otonom provinsi

bagian timur Yaman modern, dan mempengaruhi sikap ketidakpercayaan yang dirasakan oleh

daerah ini terhadap Sana’a hari ini.

Setelah Perang Dunia Kedua dan menarik diri mundur di India dan Suez, Inggris berharap

untuk membuat sebuah pos utama di Timur Tengah dengan menyatukan Koloni Aden dengan

beberapa protektorat yang ada disekitarnya. Sebagai bagian dari rencana ini, Inggris mendirikan

markas untuk Pasukan Inggris Semenanjung Arab yang baru dibentuk, di Aden pada tahun 1958.

Pada tahun 1962 -ketika seluruh pasukan Yaman Utara hanya berjumlah 12.000 orang 40.000

tentara Inggris ditempatkan di Aden. Namun, Inggris tidak banyak berbuat untuk memperbaiki

kondisi sosial ekonomi Aden yang miskin atau menyalurkan penerimaan pajak secara efektif,

sehingga hal itu mengucilkan sebagian besar rakyat. Dalam upaya untuk mengimbangi

meningkatnya agitasi anti-Inggris dan mengkonsolidasikan cengkeramannya atas wilayah

tersebut, London menyajikan suatu penyatuan berbentuk gambar daun dengan mengubah

Protektorat Aden Barat menjadi Federasi Arab Selatan (termasuk koloni Aden) pada awal 1963.

Federasi baru ini bahkan memiliki kekuatan 4.000 tentara yang dipimpin oleh orang Inggris.

Yang penting, Protektorat Aden Timur tidak bergabung dengan federasi baru ini, tetapi tetap

menjadi sebuah protektorat yang digabungkan lebih longgar (berganti nama menjadi Protektorat

(37)

Gerakan-gerakan ini gagal untuk memadamkan meningkatnya ketidakstabilan. Didorong

oleh sebagian pasukan Nasser di Yaman Utara, serikat pekerja di Aden dan para pemimpin suku

di seluruh wilayah selatan mulai melancarkan pemogokan, kerusuhan dan serangan anti-Inggris.

Inggris mengumumkan keadaan darurat di seluruh wilayah itu pada akhir 1963 (Darurat Aden)

karena pasukannya menghadapi berbagai konflik. Dari tahun 1963 sampai tahun 1967, tentara

Inggris, milisi Marxis dan suku pedesaan yang miskin semua berperang satu sama lain dalam

bentrokan yang sangat brutal di jalan-jalan kota dan melintasi benteng pegunungan di Federasi

Arab Selatan yang baru dibentuk. Mesir mempersenjatai dan membayar kelompok Marxis dan

para pemimpin suku untuk membentuk koalisi pemberontak seperti Serigala Merah Radfan yang

memberikan banyak korban pada pasukan Inggris di daerah pedalaman dan kota-kota. Situasi di

Inggris menjadi tidak dapat dipertahankan secara strategis karena jatuhnya banyak korban jiwa

dan pers di London mengecam perang yang berlarut-larut tanpa akhir yang terlihat. Pada tahun

1966, Inggris mengumumkan akan meninggalkan Yaman secara keseluruhan pada tahun 1968,

tetapi kemudian mengundurkan diri dengan segera pada tahun 1967.

Kepergian Inggris yang tergesa-gesa ini menciptakan kekosongan kekuasaan di Aden

karena hal itu menjadi jelas bahwa permusuhan terhadap pendudukan Inggris adalah penyebab

bersama yang terendah untuk menyatukan Yaman selatan. Dua kelompok Marxis terkemuka—

Front Pembebasan Nasional (NLF) dan Front Pembebasan Pendudukan Yaman Selatan

(FLOSY)—berperang satu sama lain untuk menguasai wilayah yang baru dibebaskan tersebut.

Akhirnya NLF menang dan secara nominal memegang kendali, namun berbagai faksi dalam

NLF kemudian berperang satu sama lain sampai tahun 1970. Pada saat itu, faksi Marxis NLF

yang paling radikal merebut kekuasaan dari faksi berkuasa yang lebih moderat dan

(38)

NLF berubah menjadi Partai Sosialis Yaman (YSP) yang berkuasa dan menetapkan

membangun negara dalam suatu wilayah yang terbagi antara bekas zona penyangga Inggris atas

suku-suku autarkis dan sebuah pelabuhan industri makmur yang dipimpin oleh elit perkotaan.

Menurut konstitusi PDRY yang baru, proyek ini berpusat pada pembebasan masyarakat dari

kemunduran tribalisme di Yaman Selatan dan Utara.

Meskipun, kaum Marxis yang bertanggung jawab di Aden telah bekerja dengan keras

untuk memecah tradisi suku, namun, proyek mereka kandas saat berhadapan dengan sejarah

politik terfragmentasi di kawasan itu, dan surat perintah rezim jarang yang melampaui ibukota.

Pada saat yang sama, YSP melanjutkan praktek Inggris dalam mengobarkan ketidakstabilan di

Yaman Utara. Di atas semua ini, pertarungan politik di antara para pemimpin YSP adalah begitu

endemik kudeta terjadi pada tahun 1978 dan 1980.

3. Unifikasi Yaman:

Penggabungan dua Yaman pada tahun 1990 merupakan penyatuan dua entitas yang

dalam banyak hal mempunyai perbedaan substansial. Yaman Utara secara resmi adalah sebuah

rezim republik konservatif yang berkuasa atas masyarakat yang sangat bersifat kesukuan,

sementara Yaman Selatan adalah sebuah negara Marxis yang secara fanatik berusaha untuk

mengubah masyarakatnya sejalan dengan imaji sosialis.

Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an, banyak terjadi gesekan antara dua faksi

pembentuk ini, dan perang perbatasan meletus pada tahun 1972 dan 1979. Sana’a menghabiskan

periode ini untuk membangun hubungan dengan Arab dan dunia Barat ia adalah anggota pertama

dari Liga Arab yang melanjutkan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat setelah Perang

Enam Hari, sementara Aden menjadi klien utama—dan yang paling radikal—bagi Uni Soviet di

(39)

Selatan, dan Aden menjadi basis strategis bagi pasukan angkatan laut dan udara Soviet (seperti

halnya yang terjadi pada pasukan Inggris di dekade sebelumnya).

Yaman Selatan juga memelihara hubungan yang kuat dengan kaum komunis Cina dan

Kuba, dan mendukung pemberontak Marxis dengan kekerasan di negara tetangga Oman di awal

1970-an. Bahkan monarki yang sangat konservatif Arab Saudi mendukung rezim sosialis PDRY

sebagai sarana mengungkung Yaman Utara dan mencegah munculnya negara kesatuan di

perbatasan barat daya nya.

Yaman Selatan melemah secara politik dan militer oleh perang saudara yang brutal antara

faksi-faksi sosialis yang saling bersaing pada tahun 1986, yang mengakibatkan kematian 10.000

orang.

Harapan untuk pemulihan telah didukung oleh operasi eksplorasi dan produksi minyak

secara ekstensif oleh Soviet di provinsi-provinsi bagian timur pada akhir tahun 1980, tetapi

setelah itu tiba-tiba Yaman Selatan kehilangan Soviet sebagai penyelamat ketika Moskow harus

berurusan dengan disintegrasi dalam diri mereka sendiri. Akibatnya, Yaman Selatan

menyepakati integrasi dengan Yaman Utara setelah menjadi jelas bahwa Soviet tidak akan

mampu memberi dukungan lebih lama lagi.

Mengingat pecahnya secara tiba-tiba Uni Soviet pada tahun 1991, negosiasi penyatuani

awal yang telah berlangsung sejak tahun 1980-an menemukan momentumnya. Secara signifikan,

proses penyatuan ini mengharuskan setidaknya demokratisasi yang terbatas, karena hal ini

tampaknya menjadi cara yang paling pragmatis untuk rekonsiliasi ekonomi dan politik yang

berbeda antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. Meskipun Yaman Selatan hanya menyumbang

seperlima dari penduduk Yaman bersatu, partai yang berkuasa di Yaman Utara (GPC) sepakat

(40)

umum dapat digelar. Namun, sifat tergesa-gesa dari penggabungan itu meninggalkan banyak

masalah yang belum terselesaikan: pemilu yang tertunda, unit-unit militer gagal untuk

berintegrasi, ekonomi yang goyah dan kontrol atas pendapatan ekspor energi yang dibiarkan

mengambang.

4. Perang sipil, 1994

Perang sipil pertama pecah pada bulan April 1994. Mantan presiden Yaman Selatan, Ali

Salem al-Beidh dan perdana menterinya, Haidar Abu Bakar al Attas, mendeklarasikan Republik

Demokratik Yaman (DRY) yang independen untuk menggantikan bekas PDRY, dan

menghidupkan kembali Aden sebagai ibukota mereka. Arab Saudi mendukung DRY untuk

membalik mundur kemunculan Yaman bersatu, yang dengan demikian Saudi dapat melanjutkan

kebijakan lamanya yang memastikan sebuah Yaman yang kondusif tapi tidak terlalu kuat. Selain

itu, negara-negara satelit bekas Soviet menyediakan suplay artileri, tank dan jet tempur bekas

Soviet bagi mantan klien mereka di Aden. Namun, tidak ada pemerintah asing yang mengakui

DRY, dan Aden jatuh ke pasukan utara pada Juli 1994.

Meskipun singkat, konsekuensi perang itu cukup signifikan. Sebagai akibat dari

kemenangan yang cepat oleh pihak Utara, Saleh memperketat cengkeraman rezim pada sumber

daya alam negara itu yang sebagian besar terletak di bekas Yaman Selatan, menyingkirkan

sebagaian besar orang-orang Selatan dari jaringan patronnya dan menempatkan orang-orang

Utara sebagai penanggung jawab ekonomi dan keamanan di Selatan. Hal ini membuat semua

menjadi lebih mudah dengan adanya fakta bahwa infrastruktur minyak bekas Yaman Selatan

telah beroperasi lagi pada awal 1990-an.

Selama perang itu, kebijakan keamanan Saleh turut berperan memperdalam kesenjangan

(41)

jihadis yang berpindah-pindah tempat, dan mantan mujahidin sebagai milisi proxy untuk

membantu mencegah bangkitnya orang-orang sosialis Yaman Selatan. Akibatnya, saat ini

legitimasi rezim di sebagian besar wilayah selatan terancam, dan kekerasan yang terinspirasi

separatisme dan pembalasan terhadap pemerintah merupakan tema yang selalu berulang di

provinsi-provinsi wilayah selatan.

B. Yaman Di Era Arab Spring

Revolusi Yaman sebagai bagian dari Arab Spring terjadi setelah Revolusi Tunisia dan

berbarengan dengan Revolusi Mesir dan beberapa protes massa lain di kawasan Timur Tengah

dan Afrika pada tahun 2011. Pada fase awal, protes di Yaman terkait dengan tidak adanya

lapangan pekerjaan, kondisi ekonomi, korupsi dan usulan pemerintah untuk memodifikasi

konstitusi Yaman. Tuntutan para pendemo kemudian berkembang dengan menyerukan agar

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengundurkan diri. Penyebrangan secara massal dari

militer maupun dari pemerintahan Saleh secara efektif menjadikan banyak wilayah negara

berada diluar kendali pemerintah, dan para pendemo bertekad untuk menentang otoritasnya.

Demonstrasi yang besar dengan lebih dari 16.000 pendemo dilaksanakan di Sana’a,

ibukota Yaman, pada 27 Januari 2011. Pada tanggal 2 Februari, Saleh mengumumkan bahwa dia

tidak akan mengikuti pemilihan presiden pada tahun 2013 dan dia tidak akan mewariskan

kekuasaannya pada putranya. Pada tanggal 3 Februari, 20.000 massa memprotes pemerintah di

Sana’a, sementara itu demontrasi yang lain terjadi di Aden, sebuah kota pelabuhan di Yaman

selatan, pada “Hari Kemarahan” . Sementara itu para prajurit, anggota “Konggres Rakyat

Umum” (General People’s Congress) yang bersenjata, dan banyak pendemo yang pro pemerintah

berkumpul di Sana’a. Pada suatu hari “Jumat Kemarahan” tanggal 18 Februari, 10 ribu penduduk

(42)

hari “Jumat Tidak Kembali” tanggal 11 Maret, pendemo menyerukan pengusiran Saleh di

Sana’a, dimana tiga orang terbunuh. Demo-demo yang lain dilakukan di kota-kota lain, termasuk

Al Mukalla, dimana satu orang terbunuh. Pada tanggal 18 Maret, para pendemo di Sana’a

ditembaki yang meyebabkan 52 orang meninggal.

Dimulai pada akhir April 2011, Saleh yang awalnya menyetujui sebuah perjanjian yang

diprakarsai oleh Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council, GCC), kemudian mundur

lagi beberapa jam sebelum jadwal penandatanganan, sampai tiga kali. Setelah ketiga kalinya,

pada 22 Mei 2011, GCC mengumumkan penangguhan upaya-upaya untuk memediasi di Yaman.

Pada 23 Mei 2011, sehari setelah Saleh menolak untuk menandatangani perjanjian transisi

tersebut, Syeikh Sadiq al-Ahmar ketua federasi suku Hasyid, salah satu dari suku-suku yang

paling kuat di negara itu, mengumumkan dukungannya pada oposisi dan para pendukungnya

yang bersenjata memulai konflik dengan pasukan keamanan loyalis di ibukota Sana’a.

Pertempuran jalanan yang hebat terjadi, termasuk tembakan artileri dan mortar. Saleh dan

beberapa orang lain terluka dan setidaknya lima orang meninggal pada saat terjadi pemboman

istana Presiden pada 3 Juni 2011 ketika sebuah bahan peledak menghancurkan sebuah masjid

yang digunakan oleh para pejabat pemerintah tingkat tinggi untuk sholat. Laporan belum dapat

memastikan apakah serangan tersebut disebabkan oleh tembakan atau bom yang ditanam. Pada

hari berikutnya, Wakil Presiden Abdul Rab Mansul al Hadi mengambil alih sebagai pejabat

presiden, sementara Saleh terbang ke Saudi Arabia untuk perawatan. Massa merayakan

pemindahan kekuasaan Saleh tersebut, tetapi pejabat-pejabat Yaman bersikeras bahwa ketiadaan

Saleh hanya sementara dan dia akan segera kembali ke Yaman untuk melanjutkan tugasnya.

Pada awal Juli 2011 pemerintah menolak tuntutan-tuntutan oposisi, termasuk

(43)

pemerintah sekarang ke pemerintah sementara yang dimaksudkan untuk mengawasi pemilu

demokratis yang pertama di Yaman. Sebagai tanggapannya faksi-faksi oposisi mengumumkan

pembentukan dewan transisi mereka sendiri yang beranggotakan 17 orang pada 16 Juli 2011,

meskipun Pertemuan Gabungan Partai-partai (Joint Meeting Parties, JMP) yang telah

difungsikan sebagai payung bagi banyak kelompok oposisi Yaman selama pemberontakan

tersebut, mengatakan bahwa dewan tersebut bukan representasi mereka dan tidak sesuai dengan

“rencana” mereka untuk negara tersebut.

Pada tanggal 23 November 2011, Saleh menandatangani sebuah perjanjian pemindahan

kekuasaan yang diprakarsai oleh GCC di Riyadh, yang dengannya dia akan memindahkan

kekuasaannya ke Wakil Presiden dalam 30 hari dan meninggalkan posnya sebagai presiden pada

Februari 2012, sebagai pertukaran dengan kekebalan hukum baginya.Walaupun kesepakatan

GCC tersebut diterima oleh JMP, namun ditolak oleh banyak pendemo dan Houthi.

Sebuah pemilihan presiden telah dilaksanakan di Yaman pada 21 Februari 2012. Sebuah

laporan mengklaim bahwa pemilu tersebut diikuti 65 persen dari pemilihnya, dan Hadi

memenangkan suara 99,8%. Abd Rabb Mansur al Hadi diambil sumpahnya di parlemen Yaman

pada 25 Februari 2012. Saleh kembali pada hari yang sama untuk menghadiri pelantikan

presiden Hadi. Setelah beberapa bulan demonstrasi, Saleh mengundurkan diri dari presiden dan

secara formal memindahkan kekuasaan pada penggantinya, yang mengakhiri 33 tahun

pemerintahannya.

Selama bertahun-tahun, Yaman dirongrong oleh berbagai kelompok militan yang bertikai

satu sama lain, diantara kelompok Syiah al-Houthi yang menguasai provinsi di sebelah Utara

(44)

militer dan ditambah lagi dengan simpatisan mantan Presiden Ali Abullah Saleh yang lengser

dari jabatannya pada revolusi Yaman 2011 silam.

Korupsi, kesenjangan sosial, lemahnya kontrol pemerintah, kemiskinan serta minimnya

infrastruktur merupakan hal utama yang menyebabkan gerakan separatis tumbuh subur di

Yaman.

Protes rakyat Yaman 2014 merupakan sederertan aksi-aksi demonstrasi di Yaman yang

akhirnya meningkat menjadi konflik bersenjata. Protes tersebut dimulai pada tanggal 18 Agustus

2014 saat terjadi serangkaian demonstrasi Houthi di Sana’a menolak kenaikan harga BBM. Pada

tanggal 21 September 2014, kelompok Houthi mengambil alih kendali Sana’a. Perdana Menteri

Mohammad Basindawa mengundurkan diri dan Houthi menandatangani sebuah kesepakatan

untuk pembentukan pemerintah bersatu yang baru dengan partai-partai politik lainnya. Protes

tersebut ditandai dengan adanya pertentangan antara Houthi dengan pemerintah dan juga

pertentangan antara Houthi dengan Al Qaeda di semenanjung Arab (AQAP).

Protes tersebut terjadi mengikuti suatu fase ekspansi Houthi yang berpuncak pada

pengambilan alih Amran sebuah ibukota provinsi, oleh Houthi pada 8 Juli 2014. Kelompok

Houthi mengalahkan 310 Brigade Armored dan membunuh komandannya Hameed Al Koshebi.

Namun demikian, penyebab segera dari protes adalah kenaikan harga BBM hampir 100%

akibat keputusan pemerintah Yaman pada 29 Juli 2014 untuk memotong subsidi BBM. Pada

tahun 2013, biaya untuk subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah Yaman sebesar $3 miliyar,

hampir sepertiga belanja negara. Sabagai tanggapan atas pemangkasan subsidi tersebut, Houthi

memulai protes untuk mengembalikan subsidi dan pembentukan pemerintahan baru.

Protes pertama terjadi pada 18 Agustus 2014, ketika Houthi mendirikan markas protes di

(45)

adanya kekerasan. Pada 10 September 2014, tujuh orang pendemo ditembak oleh pasukan

keamanan. Pertentangan yang terjadi lagi pada 18 September menyebabkan 40 pendemo dan

anggota milisi Sunni meniggal.

Pada tanggal 19 September 2014, pemberontak menyerang Sana’a dan pada 21

September 2014 maju memasuki kota tersebut dan menduduki kantor-kantor pemerintahan. Hal

ini menyebabkan pengunduran diri Perdana Menteri Yaman Mohammed Basindawa, dan

digantikan oleh Ahmad Awad bin Mubarak. Pertempuran tersebut menyebabkan kematian 123

orang dari kedua belah pihak. Houthi bersama dengan beberapa kelompok politik lain,

menandatangani sebuah kesepakatan Perjanjian Perdamaian dan Pesekutuan yang menetapkan

formasi pemerintahan bersatu yang baru.

Pada tanggal 22 September, sedikitnya 240 orang terbunuh dalam pertempuran di Sana’a.

Pertempuran tetap berlanjut setelah penandatangan perjanjian pembagian kekuasaan. Pada

tanggal 9 Oktober 2014 sebuah bom bunuh diri terjadi di Tahrir Square sebelum rapat umum

yang telah dijadwalkan dimulai. Serangan tersebut menewaskan 47 orang dan melukai 75 orang

yang sebagian besar adalah pendukung Houthi. Pejabat pemerintah meyakini serangan tersebut

dilakukan oleh AQAP.

Pada 18 Agustus 2014, Houthi melakukan serangkaian demonstrasi menentang kenaikan

harga bahan bakar. Pada 21 September, pasukan Houti berhasil menguasai Sana’a, setelah

Perdana Menteri Mohammed Basindawa mengundurkan diri dan pimpinan Houthi berhasil

menggalang kesepakatan dengan partai politik lainya untuk membentuk gabungan pemerintahan

baru.

Houthi adalah gerakan Syiah Zaidiyah yang didirikan oleh Hussein Badreddin al-Houthi.

(46)

sebutan Houthi mengikuti nama pendiri dan pemimpin pertamanya Badreddin al-Houthi.

Pemberontakan pertama Houthi terjadi pada tahun 2004 menentang Presiden Yaman saat itu, Ali

Abdullah Saleh. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan dan Badreddin Houthi harus membayar

mahal atas penentanganya ini. Setelah kematian Houthi, komando gerakan ini dilanjutkan oleh

saudaranya, Abdul Malik al-Houthi.2

Basis massa Houthi utamanya berasal dari suku-suku dari Yaman Utara yang merupakan

penganut Syiah. Mereka dikenal dengan karakternya yang keras, berani, tangguh, dan

kemampuan menembak yang jitu. Meski demikian, dimasa awal kemunculanya sebenarnya

mereka dikenal sebagai organisasi yang moderat dan dekat dengan kelompok Sunni dibanding

kelompok Syiah lainnya.3

Perubahan bentuk organisasi Houthi merupakan bentuk respon mereka atas beberapa isu

populis yang menjerat Yaman. Anasir-anasir yang mempengaruhi radikalisasi gerakan Houhti

tersebut antara lain: derasnya pengaruh ideologi Arab Saudi di Yaman, gerakan Houthi ditujukan

sebagai counter hegemoni atas ideologi Arab ini. Isu lain yang menjadi sorotan utama Houthi

adalah kedekatan pemerintah Yaman dengan Amerika Serikat. Selain itu, Houthi jug menyoroti

isu korupsi yang makin menggurita dan kebijakan diskriminatif pemerintah yang memarjinalkan

penduduk Sa’dah yang merupakan basis konstituen Houthi. 4

Houthi menolak dianggap sebagai gerakan kesukuan, dan sistem organisasi Houthi

dibangun dalam skema desentralisasi yang membatasi kekuasaan di pusat struktur. Dua hal ini

2

"5 Things to Know About the Houthis of Yemen". 12 February 2015. http://blogs.wsj.com/briefly/2015/02/12/5-things-houthis-yemen/ diakses pada 2 April 2016

3"Yemen's Abd-al-Malik al-Houthi". BBC. 3 October 2014.

http://www.bbc.co.uk/monitoring/yemens-abd-almalik-alhouthi. Diakses pada 2 April 2016

4

(47)

membuat mereka menuai banyak dukungan, banyak warga Yaman dari beragam latar belakang

yang ikut bergabung dalam gerakan ini karena sifat mereka yang tak sentralistis ini.

Houthi diperkirakan memiliki antara 1.000 sampai 3.000 pejuang pada tahun 2005, dan

meningkat menjadi 10.000 orang pada 2009. Jumlah ini melonjak tajam pada tahun 2010, Yemen

Post mengklaim jumlah milisi Houthi ini mencapai 100.000.5 Pada tahun 2015, diperkirakan memperoleh banyak anggota baru yang berasal dari luar daerah basis mereka.

Houthi merupakan organisasi yang di gerakkan oleh kelompok Zaidi, sebuah cabang dari

Syiah yang mempunyai penganut cukup banyak di Yaman. Jumlah penganut Zaidi mencapai

45% dari total populasi di negara tersebut, sedangkan yang terafiliasi dalam gerakan Houthi

berkisar sekitar 30% dari total populasi. Sejah mencatat, Zaidi memerintah negeri Yaman (Utara)

selama 1.000 tahun lebih sampai tahun 1962. Selama periode tersebut, mereka mempertahankan

kemerdekaan dengan tangguh dan banyak terlibat dalam pertempuran melawan

kekuatan-kekuatan asing yang pada saat itu mengendalikan wilayah Yaman bagian selatan.

Pendekatan dan strategi gerakan Houthi dalam banyak hal disinyalir mirip dengan

Hezbollah di Lebanon, gerakan yang juga berbasis pada aliran yang sama dan didukung Iran.

Keduanya mempunyai doktrin militer dan imaji perjuangan yang sama yang berkiblat pada

revolusi Iran. Sebagai konsekuensinya, Houthi sering kali di tuduh berafiliasi dan didukung oleh

Iran.6

Houthi sendiri menegaskan bahwa gerakan mereka merupaka reaksi perlawanan terhadap

ekspansi salafiyah di Yaman, sekaligus sebagai upaya membela komunitasnya dari diskriminasi

yang dilakukan rezim penguasa. Pemerintah Yaman menuduh pemberontakan Houthi bertujuan

untuk mendestabilkan pemerintahan, menggulingkan rezim dan menggantinya dengan hukum

5

Almasmari, Hakim (10 April 2010). "Editorial: Thousands Expected to die in 2010 in Fight against Al-Qaeda"

6

(48)

agama yang dianut Zaidi. Pemerintah juga menuding bahwa Houthi mempunyai keterikatan

(49)

BAB III

DINAMIKA HUBUNGAN POLITIK ARAB SAUDI DAN IRAN

Rivalitas antara Arab Saudi dan Iran tak mucul begitu saja dalam ruang hampa,

melainkan terbentuk oleh sejarah panjang sejak keduanya menjadi negara modern. Pernah

menjalin hubungan yang cukup harmonis, sejak revolusi Iran pada 1979, praktis hubungan

keduanya cenderung diwarnai oleh berbagai konflik dan ketegangan. Sebagai dua negara yang

memegang peranan kunci di Timur Tengah, keduanya saling berebut pengaruh untuk menjadi

negara hegemon yang mengendalikan negara-negara kecil di kawasan.

Meski nyaris tak pernah terlibat dalam pertempuran militer secara langsung, tapi

keduanya banyak bentrok kepentingan di berbagai negara yang tengah berkonflik. Untuk

memahami kondisi mutahir rivalitas dua negara berpengaruh ini, penting untuk melacak kembali

riwayat hubungan keduanya. Catatan riwayat hubungan keduanya penting untuk memberikan

gambaran secara utuh sehingga bisa didapatkan konteks yang tepat. Sebelum membahas lebih

jauh tentang dinamika hubungan Arab Saudi dan Iran, penting untuk terlebih dulu disajikan

gambaran tentang profil kedua negara.

A. Profil Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara berpenduduk mayoritas muslim yang terletak di semenanjung

arab dengan bentuk pemerintahan monarki absolut. Arab Saudi terletak di antara 15°LU - 32°LU

dan antara 34°BT - 57°BT, berbatasan dengan Yordania dan Irak di utara, Kuwait di timur laut,

Gambar

Tabel 2.2. Gambaran informasi umum Yaman Utara
Tabel 2.3. Informasi umum Yaman Selatan
Gambar 1.1: Peta Timur Tengah
Gambar 1.3: Kawasan Pengaruh Iran di Timteng

Referensi

Dokumen terkait

Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar yaitu: jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada

yang bilangin seperti di atas langsung kepikiran “Bener nggak sih saya saya bisa  bisa sukses?” sukses?”,, “Bener gak sih ini adalah langkah yang tepat?”, “Nanti kalau

Melalui diskusi, siswa dapat menentukan sisi alas dari bangun ruang kubus dengan benar.. Melalui tanya jawab, siswa dapat menyebutkan 3 benda-benda yang berbentuk balok

3.2 Mencatat penggunaan alat dan bahan dalam kartu stok 4.1 Menginventarisasi barang-barang laboratorium 4.2 Menginventarisasi alat dan bahan laboratorium 5.1 Memasang Jadwal

Window Loan approval (Gambar 2.c.III.1.) adalah form reject atau approval leave employee. User bisa menyimpan atau membatalkan approval

Juga untuk setiap berkatNya yang luar biasa tercurah dalam hidup penulis, terutama dalam hal penyelesaian skripsi dengan judul ” STRATEGI KOMUNIKASI RADIO KOMUNITAS

Proportional half spread (rata-rata nilai quoted half spread, effective half spread dan traded half spread) dikelompokkan berdasarkan pada rata-rata perklasifikasi

Berdasarkan hasil observasi dengan Administrator SMK Diponegoro Tulakan dapat diambil kesimpulan bahwa sistem dalam pengolahan data siswa baru pada SMK Diponegoro Tulakan