• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Dinamika Arab Sunni dan Iran Syiah di Era Kontemporer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Dinamika Arab Sunni dan Iran Syiah di Era Kontemporer"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Arab Sunni dan Iran Syiah di Era Kontemporer

Arsad Hidayat1 Sabil Mokodenseho2

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Indonesia1,2

Email: arsyadhidayat108@gmail.com1 sabil.mokodenseho@gmail.com2 Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang dan dinamika konflik antara Arab Saudi (Sunni) dan Iran (Syiah) di Timur Tengah. Analisis ini diperlukan untuk melihat keterlibatan kedua negara, Arab Saudi dan Iran dalam mewujudkan ekspansi pengaruh di Timur Tengah dengan menggunakan pendekatan ideologi. Hal tersebut bertujuan sebagai penyeimbang kekuatan Arab Saudi dan Iran di kawasan Timur Tengah. Artikel ini menunjukkan bahwa konflik Sunni-Syiah dilandasi motif persaingan kekuasaan, bukan motif agama. Konflik dimulai dari suksesi kepemimpinan pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW., pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah dan reaksi Fatimah az-Zahra yang enggan membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam penerus Nabi Muhammad SAW. Di era kontemporer, Saudi Arabia dan Iran memainkan peran signifikan pada konflik Suriah dan Yaman dalam berbagai cara, seperti pendanaan dan pemberian logistik militer. Pendekatan ideologi tidak pernah lepas dari misi yang dijalankan oleh keduanya.

Kata Kunci: Arab Saudi, Iran, Sunni-Syiah, Timur Tengah Abstract

This article aims to analyse the background and dynamics of the conflict between Saudi Arabia (Sunni) and Iran (Shia) in the Middle East. This analysis is needed to see the involvement of the two countries, Saudi Arabia and Iran in realizing the expansion of influence in the Middle East by using an ideological approach. It aims to balance the power of Saudi Arabia and Iran in the Middle East region. This article shows that the Sunni-Shia conflict is based on a power competition motive, not a religious one. The conflict started from the succession of leadership after the death of the Prophet Muhammad, the appointment of Abu Bakr as caliph and the reaction of Fatimah az-Zahra who refused to pledge allegiance to Abu Bakr as the leader of the Muslims who succeeded the Prophet Muhammad. In the contemporary era, Saudi Arabia and Iran play a significant role in the Syria and Yemen conflicts in various ways, such as funding and providing military logistics. The ideological approach has never been separated from the mission carried out by the two countries.

Keywords: Saudi Arabia, Iran, Sunni-Shia, Middle East

This work is licensed under a Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa 4.0 Internasional.

PENDAHULUAN

Era kontemporer adalah era dimana dunia akademik disuguhkan oleh berbagai tema kajian penting, yang erat kaitannya dengan hubungan internasional. Salah satunya adalah hubungan antar negara yang memiliki kepentingan berbeda dan dapat memicu konflik, khususnya negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah (Ben-Yehuda, Naveh, &

Levin-Banchik, 2013; Anderson, 2011; Szymański, 2011; Sørli, Gleditsch, & Strand, 2005).

Artinya bahwa dalam konteks hubungan internasional suatu negara memandang pentingnya meningkatkan pengaruhnya dalam aspek politik (Valbjørn & Bank, 2012) maupun ekonomi.

Terlepas dari hal tersebut, tidak dapat dipungkiri terkadang suatu negara dapat menggunakan cara apapun dalam menyebarluaskan pengaruhnya, bahkan dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

(2)

Salah satu konflik yang terjadi hingga saat ini adalah konflik di kawasan Timur Tengah, yang melibatkan aktor negara dalam hal ini Iran dan Arab Saudi. Adapun pemicu yang melatarbelakangi terjadinya konflik antara Iran (yang dianggap mewakili kelompok Syiah) dengan Arab Saudi (dianggap mewakili kelompok Sunni) disebabkan oleh adanya perbedaan paham keagamaan dan kepentingan-kepentingan lainnya untuk dapat memengaruhi beberapa negara yang berada di wilayah Timur Tengah.

Iran dan Arab Saudi memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dimana Iran memiliki akidah Syiah dan Saudi mayoritas penduduknya memiliki paham keagamaan Sunni.

Dalam konteks Timur Tengah, perbedaan paham keagamaan antara Sunni dan Syiah cenderung dikaitkan dengan adanya konflik untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya.

Adapun hal lainnya yang penting untuk diketahui bahwa jika dilihat dari perspektif sejarah, konflik antara Iran dengan Arab Saudi dimulai ketika adanya Revolusi Republik Islam Iran 1979 dan Perang Irak-Iran (1980-1988). Peristiwa Revolusi Republik Islam Iran merupakan salah satu bentuk penggulingan kekuasaan rezim monarki yang di dalamnya juga terdapat konflik sektarian Sunni dan Syiah.

Artikel ini memfokuskan kajiannya pada berbagai hal terkait pertentangan Arab Sunni dan Iran Syiah, apakah murni konflik paham keagamaan atau sebenarnya hanya persaingan kedua negara dalam memengaruhi beberapa negara yang berada di sekitar wilayahnya. Untuk mengungkap itu, penulis mengawali tulisan ini dengan melihat terlebih dahulu sejarah munculnya kedua paham keagamaan mereka di awal periode Islam hingga akhir konflik di masa modern. Sebab, menurut hemat penulis, dari sinilah akar pertentangan keduanya, hingga kemudian merepresentasikan paham Sunni dan Syiah, baik di Suriah maupun di Yaman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejarah Konflik Arab Sunni dan Iran Syiah

Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahlu Sunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad SAW., baik tradisi dalam tuntunan lisan maupun amalan, dan mengikuti sahabatnya (Shihab, 2007). Ahlu Sunnah (wal Jama’ah) menjadi istilah khusus yang ditujukan kepada kelompok atau pengikut yang berpegang teguh kepada Sunnah dan menjadi mainstream (arus utama). Terminologi ini juga digunakan untuk menunjukkan siapa saja yang mengikuti salah satu imam mazhab fikih yang popular seperti Syafi`I (767-820 M), Hanafi (699-767 M), Maliki (711-795 M), dan Hambali (780-855 M) (Faza, 2015).

Sunnah juga ditujukan kepada kelompok yang menerima kepemimpinan Abu Bakar sebagai khalifah dan pemimpin politik umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW. meninggal dunia pada tahun 632 M (Gonzalez, 1974). Pendapat lain diutarakan Lapidus (1999) bahwa umat Islam terpecah dalam memperebutkan kedudukan khilafah. Muslim yang menerima suksesi Mu’awiyah dan serangkaian khalifah sesudahnya disebut Sunni, sedangkan mereka yang bersikeras bahwa Ali adalah satu-satunya khalifah yang berhak, dan bahwasanya hanya keturunannya yang berhak meneruskan dan menggantikannya disebut Syiah. Ada juga beberapa pakar yang menyatakan bahwa Ahlu Sunnah muncul sebagai reaksi atas paham Muktazilah yang disebarkan oleh Washil bin Atha’ (w.131H/748M), dan yang sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran Islam (Shihab, 2007).

Sementara Syiah secara etimologi berarti pengikut, pendukung, pembela, dan pencinta, yang semuanya mengarah pada makna dukungan kepada ide atau individu dan kelompok tertentu (Shihab, 2007). Ajaran Syiah berawal pada sebutan yang untuk pertama kalinya

(3)

ditujukan kepada para pengikut Ali (Syiah Ali), pemimpin pertama Ahlul Bait pada masa hidup Nabi (Thabaththaba’i, 1989).

Muhammad Jawad Maghniyah (1904-1979), seorang ulama beraliran Syiah memberikan definisi tentang kelompok Syiah sebagaimana dikutip Shihab (2007) bahwa mereka adalah kelompok yang meyakini Nabi Muhammad SAW. telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah (penggantinya) dengan menunjuk Imam Ali. Definisi ini sejalan dengan yang dikemukakan seorang Sunni beraliran Asy`ariyah, Ali Muhammad al-Jurjani (1340-1413) dalam karya Shihab (2007), bahwa Syiah adalah mereka yang mengikuti Sayyidina Ali dan percaya bahwa Ali adalah Imam pasca Rasulullah SAW., dan percaya bahwa Imamah tidak keluar darinya, serta keturunannya. Terkait hal tersebut, Shihab (2007) mengatakan benih Syiah muncul sejak masa Nabi Muhammad SAW. atau paling tidak, secara politis benihnya muncul pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. yang ditandai dengan pembaiatan terhadap Abu Bakar di Tsaqifah Bani Sa’idah. Ketika itu, keluarga Nabi Muhammad SAW. dan sejumlah sahabat memandang bahwa Ali bin Abi Thalib lebih wajar dan lebih berhak menjadi khalifah ketimbang Abu Bakar. Mereka berpendapat bahwa banyak hadis dengan jelas menegaskan bahwa Ali telah dilindungi dari kesalahan dan dosa, baik tindakan maupun perkataannya, dan ia paling mengetahui Islam dan hukumnya (Thabaththaba’i, 1989).

Syiah adalah mazhab politik yang pertama lahir dalam Islam, tampil pada akhir masa pemerintahan Usman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Kalangan Syiah sepakat bahwa Ali adalah khalifah pilihan Nabi Muhammad SAW. dan Ali adalah orang yang paling utama di antara para sahabatnya. Kalangan Syiah tidak bersikap sama dalam menetapkan posisi Ali dan keturunannya, sebagian bersikap ekstrem dan sebagian yang lain bersikap moderat. Kelompok moderat terbatas hanya pada mengutamakan Ali atas semua sahabat, tidak mengkafirkan seseorang dan tidak mengkultuskan Ali hingga dipandang paling mulia di atas semua manusia (Zahrah, 2011).

Teologi Sunni dan Syiah

Seorang penulis Mesir, Ahmad Amin (w.1954) mencoba menyederhanakan ciri-ciri eksklusif Syi’isme menjadi empat prinsip utama: ‘ismah (ketakbercacatan Imam), mahdiisme (dalam Syiah Itsna Asyariah, yang mempercayai adanya 12 imam, Muhammad al-Mahdi al- Muntazhar adalah Imam yang ke-12). Al-Muntazhar ghaib (menghilang) pada tahun 260 H.

Syiah Itsna Asyariah meyakini bahwa suatu saat nanti Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar (Imam Mahdi) akan kembali untuk menegakkan keadilan dan kebenaran kepada kaumnya.

Paham inilah yang disebut dengan mahdiisme; taqiyyah (melindungi atau menuntun diri) adalah salah satu strategi gerakan politik Syiah di mana dalam konsep ini disebutkan bahwa di bawah kondisi yang mengancam keselamatan, seorang pengikut Syiah diperbolehkan untuk menyembunyikan identitas ke-Syiah-annya dan menampakkan sisi lain dari dirinya. Konsep ini muncul karena sarjana-sarjana Syiah menganggap bahwa Syiah dalam sejarah selalu menjadi objek persekusi kaum Sunni yang mayoritas dan pemilik kekuatan politik; terakhir adalah raj’ah (kekembalian) Imam (Sahide, 2013).

Hal yang paling membedakan antara Sunni dan Syiah adalah masalah Imamah. Doktrin Imamah yang dianut Syiah bertitik tolak dari keyakinan kaum Syiah bahwa imam yang adil akan selalu diturunkan Allah SWT. ke persada bumi ini untuk membimbing umat manusia sesuai dengan ajaran-ajaran yang telah ditunjukkan-Nya. Imam pilihan-Nya itu mempunyai kualifikasi tertentu yang ditunjuk melalui wasiat Nabi-Nya dan selanjutnya dengan penunjukkan seorang imam terhadap penggantinya secara terus menerus sampai dengan

(4)

imam yang ke-12. Imam menurut Syiah, diberi otoritas seperti Nabi Muhammad SAW. dalam menginterpretasikan esoteris wahyu dan memimpin kaum Muslimin (Nasution, 2007). Syiah meyakini bahwa Imam memperoleh ilham Ilahi dan terjaga dari dosa dan khilaf, serta membawa kepada keselamatan (Watt, 1990).

Syiah menegaskan bahwa kekhalifahan Islam dimana bimbingan esoteris dan kepemimpinan ruhani merupakan unsur-unsur yang tidak terpisahkan adalah milik Ali dan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa menurut keterangan Nabi, Imam Ahlul Bait berjumlah 12 orang, dan berkeyakinan bahwa ajaran al-Qur’an adalah sah berlaku dan dilaksanakan setiap orang, serta harus dipelajari melalui bimbingan Ahlul Bait (Thabaththaba’i, 1989). Syiah percaya bahwa pasca Nabi Muhammad SAW. wafat, kekhalifahan dan kekuasaan agama berada di tangan Ali. Kepercayaan ini berpangkal pada pandangan tentang kedudukan dan tempat Ali dalam hubungannya dengan Nabi, hubungan dengan kalangan terpilih di antara para sahabat maupun hubungan dengan kaum Muslimin secara umum (Thabaththaba’i, 1989). Syiah dengan konsep Imamah, memberikan dampak yang signifikan bagi kelangsungannya dalam percaturan dan pertarungan ideologis khususnya di bidang politik, bahkan masuk dalam diskursus pemerintahan secara konstan, dan adanya doktrin iman kepada Imam sebagai dimensi esoteris dalam akidah Syiah (Abidin, 2012).

Lain halnya dengan doktrin utama Ahlu Sunnah atau Sunni adalah bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk (tidak diciptakan), yang berbeda dan menentang doktrin Muktazilah yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk (diciptakan). Kepercayaan dan ideologi Sunni yang merujuk kepada ajaran masa awal Islam, guna mengikuti Nabi Muhammad SAW., para sahabat, dan tabi’in (Kraemer, 2003). Menurut Muhammad Imarah (1931-2020) sebagaimana dikutip Shihab (2007) mengatakan Sunni mengurutkan keutamaan Khulafaur Rasyidin sesuai urutan masa kekuasaan mereka. Mereka membaiat yang memegang tampuk kekuasaan, baik penguasa yang taat maupun tidak, menolak revolusi dan pembangkangan sebagai cara untuk mengubah ketidakadilan.

Pemikiran Politik Sunni-Syiah

Pemikiran politik Sunni sepakat bahwa pemerintahan adalah sesuatu yang niscaya demi memungkinkan manusia bekerjasama untuk meraih tujuan hidupnya yang sejati, yakni kehidupan yang baik berdasar Syariah yang pada gilirannya, akan menghasilkan bagi mereka tempat yang baik di kehidupan akhirat. Akan tetapi, Sunni juga membatasi seorang khalifah, atau pengganti Nabi Muhammad SAW. bahwa mereka haruslah laki-laki dan dari keturunan suku Quraisy, dari kelompok mereka (Sahide, 2013).

Bagi Syiah, bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi Muhammad SAW.

adalah peristiwa tentang Ghadir Khum, ketika itu Nabi memilih Ali sebagai pimpinan umum umat (walayat ‘ammah), dan menjadikan Ali sebagai pelindung mereka (wali). Menurut kepercayaan Syiah, ketika kembali dari Haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di suatu padang yang bernama Ghadir Khum, Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan masa yang penuh sesak, yang menyertainya. Orang Syiah merayakan ini sampai hari ini, sebagai suatu pesta keagamaan yang besar, yang menandai saat Ali berhak menjadi khalifah diumumkan secara terbuka (Thabaththaba’i, 1989).

Isu terpenting bagi Syiah bukanlah hukum dan mistisisme melainkan loyalitas terhadap Ali dan penegasan bahwasanya hak khilafah hanya dapat berlangsung di tengah keluarga Ali.

Pada abad ke-7 dan ke-8, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah. Loyalitas keluarga ini berkali-kali

(5)

berusaha merebut khilafah. Kekalahannya dalam perebutan kekuasaan politik mengalihkan perhatian sejumlah tokoh Syiah dari aktivitas politik kepada aktivitas refleksi keagamaan (Lapidus, 1999).

Setelah Imam terakhir mereka menghilang pada tahun 873, dan pada tahun 941, komunikasi secara langsung dengan Imam (tersembunyi) telah berakhir, hilangnya petunjuk ketuhanan dari sang Imam benar-benar mengubah karakter keagamaan dan sosial kaum Syiah, mereka mulai melancarkan kebaktian massal untuk mengutuk Mu`awiyah, musuh Ali, menjadikan hari kematian Husain di Karbala (asyura) sebagai hari raya berkabung, dan peringatan peristiwa Ghadir Khum (Lapidus, 1999). Dari aspek politik, Syiah lebih menekankan pada aspek keturunan Rasulullah yang dilegitimasi oleh nash dan kemampuan keilmuan yang tinggi untuk memegang tampuk kepemimpinan bagi kaum Muslimin. Syiah meyakini bahwa kepemimpinan adalah warisan secara turun-temurun dari Nabi dan tidak mengakomodir, selain dari model penunjukan atau penetapan (Abidin, 2012).

Akar Konflik Sunni-Syiah

Akar konflik antara Sunni-Syiah adalah sama-sama saling memusuhi dan saling kafir- mengafirkan. Sunni berpendapat bahwa Syiah adalah aliran yang sesat karena mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Usman dan Aisyah, dan menganggap bahwa Ali memiliki sifat ketuhanan sehingga dianggap sebagai tuhan, demikian juga sebaliknya. Syiah berpendapat bahwa Sunni adalah musuh yang sebenarnya, karena membenci Ahlul Bait dan Sunni tidak mengakui adanya konsep Imamah yang dianut oleh Syiah. Menurut Kraemer (2003) dalam bukunya Renaisans Islam bahwa akar konflik antara Sunni dan Syiah adalah adanya penolakan dari Syiah Imamiyah terhadap hadis-hadis yang diwariskan atau diriwayatkan berdasarkan otoritas sahabat-sahabat Nabi yang dipandang Sunni sebagai pihak yang otoritatif dan terhadap legitimasi dari ketiga khalifah pertama sebelum Ali.

Keruntuhan Dinasti Fatimiyah

Dinasti Fatimiyah (969-1171) mengklaim sebagai pemimpin Islam yang sebenarnya.

Fatimiyah mewakili simbolisme otoritas politik Abbasiyah, Bizantium, filsafat dan Ismailiyah.

Mereka menegaskan bahwa mereka adalah Imam yang sebenarnya, yakni Imam keturunan Ali, berbeda dengan tradisi Syiah sebelumnya bahwa Imam Syiah tersembunyi dan akan kembali sebagai al-Mahdi. Deklarasi Fatimiyah tentang Imamah, bahwa mereka adalah penerus siklus keenam dari para Imam dan keyakinan datangnya al-Mahdi harus ditanggalkan (Lapidus, 1999).

Pada tahun 1169, Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran, Nur al-Din mengirim seorang jenderal bernama Sirkhuh dan keponakannya bernama Shalah al-Din untuk merebut kekuasaan atas Mesir. Pada tahun 1171, mereka memecat Khalifah Fatimiyah yang terakhir dan mendirikan sebuah rezim Sunni. Selanjutnya sejarah Mesir dan Syiria disatukan hingga abad ke-19. Kehadiran Shalahuddi Al-Ayyubi di Mesir menyatukan Syiria dan Mesopotamia menjadi sebuah kesatuan negara Muslim. Tahun 1174, merebut Damaskus, merebut Allepo tahun 1183, merebut Mosul pada tahun 1186, mengalahkan pasukan Salib di Hittin (1197), dan mengakhiri pendudukan bangsa latin di Yerusalem (Lapidus, 1999).

Era Safawiyah

Pada tahun 1501, Ismail menduduki Tabriz dan menyatakan dirinya sebagai Syah Iran dan menaklukkan seluruh wilayah Iran. Ketika imperium Usmaniyah yang menjadi rivalnya merebut Anatolia Timur dan imperium Syaibaniyah mengambil alih Transoxania sampai

(6)

sejauh Sungai Oxus, Ismail memperkokoh wilayah perbatasan, dan sampai saat ini termasuk wilayah Iran.

Problem utama Safawiyah adalah mengkonsolidasikan otoritas keagamaan Syah, serta kekuatan militer dan administrasi pemerintahan pusat terhadap sejumlah Uymaq Qizilbas yang secara nyata telah menaklukkan Iran. Di bawah kekuasaan Safawiyah, Lapidus (1999) mengatakan Iran diorganisir menjadi sejumlah wilayah kepemimpinan sistem Uymaq, yang berkuasa atas klan dan persekutuan kesukuan dan beberapa kota dan desa.

Isu penting yang menarik pada masa Safawi adalah munculnya dua aliran Akhbari dan Ushuli dari kalangan Syiah, kaum Akhbari berpendapat bahwa akhbar (hadis) yang berasal dari Nabi Muhammad SAW. dan para imam merupakan sumber yang memadai untuk kehidupan keagamaan kaum Muslimin, sedangkan kaum Ushuli menganggap argumentasi rasional penting dalam mengelaborasi ajaran-ajaran agama, dengan tidak mengesampingkan nash yang sahih. Akibatnya, berbeda dengan kaum Akhbari, kaum Ushuli memberikan kesempatan yang besar kepada ulama untuk menafsirkan dasar-dasar keyakinan Syiah, dan dapat dijadikan panutan selama mereka hidup oleh pengikutnya (Nasution, 2007). Pada akhirnya, kaum Ushuli dapat diterima dan mengalahkan kaum Akhbari, sehingga muncul dan terbentuknya Marja` al-Taqlid dan selanjutnya teori Wilayah al-Faqih dari Mulla Ahmad Naraqi (1715-1795) dan Syekh Muhammad Husein Na’imi, yang sama-sama menganggap bahwa ulama mempunyai hak prerogatif di bidang politik, yang pada gilirannya dikembangkan oleh Ayatullah Khomeini (Nasution, 2007).

Safawiyah menjadikan Syiah Imamiyah sebagai agama resmi Pemerintahan Iran dan mengeliminir pengikut sufi sebagaimana yang dilakukannya terhadap ulama Sunni, menyerap ide-ide filsafat dan gnosis, serta pemujaan terhadap wali. Krisis abad ke-18 mengantarkan kepada berakhirnya sejarah Iran pra modern dengan intervensi, penaklukan Eropa, dan pembentukan rezim kolonial. Konsolidasi ekonomi dan politik bangsa Eropa telah didahului dengan kehancuran Safawiyah dan dengan liberalisasi ulama dan mewariskan sebuah kewenangan keagamaan Syiah yang kohesif, monolitik dan mandiri (Lapidus, 1999).

Revolusi Islam Iran

Revolusi Iran disebut-sebut sebagai salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat Islam. Revolusi Islam Iran (1978-1979) merupakan contoh murni Islam politis, fundamentalisme Islam. Revolusi itu mengangkat banyak isu yang terkait dengan kebangkitan Islam kontemporer: keyakinan, kebudayaan, kekuasaan dan politik. Penekanan pada identitas bangsa, keaslian budaya, partisipasi politik, dan keadilan sosial disertai pula dengan penolakan terhadap pembaratan, otoriterisme pemerintah, dan pembagian kekayaan yang tidak merata. Iran di bawah Khomeini menjadi paradigma bagi Islam revolusioner atau radikal dan potensi penyebaran ancamannya dikhawatirkan oleh banyak pemerintahan di dunia Muslim dan Barat (Esposito & Voll, 1999).

Sesuai revolusi 1979, perpolitikan di Iran tidak terlepas dari kerangka fusi agama dan politik. Hal ini dapat dipisahkan dari kemenangan kaum Ushuli yang memberikan kedudukan tinggi untuk ulama sehingga dapat mengembangkan konsep-konsep dasar politik Syiah yang terkristalkan dalam Imamah. Di samping itu, ia merupakan hasil doktrin yang dilancarkan Khomeini sejak 1970-an yang menyatakan bahwa di saat ketidakhadiran Imam al-Muntadhar, seorang yang paling terpelajar, sahih, alim yang hidup di zamannya harus menjalankan roda pemerintahan, atau dengan kata lain, wilayah al-Fakih yang harus menggantikan Imam Ghaib (Sadzali, 1993).

(7)

Setelah Khomeini berhasil menumbangkan Dinasti Pahlevi dan mendirikan Republik Islam Iran, hal tersebut dapat dilihat dari diktum Undang-Undang Dasar negara itu, pada pasal 5 dinyatakan bahwa kekuasaan atas negara dan umat dalam Republik Islam Iran, selama Imam Mahdi masih ghaib (menghilang), ada di tangan ilmuwan agama (Fakih) yang adil dan takwa, atau sejumlah ilmuwan agama (fuqaha). Tampaknya, sebagai perpaduan dua konsepsi modern dan Imamiyah, sebagaimana negara lain, Iran sekarang ini terdapat lembaga eksekutif, legislatif, dan sebagainya. Di atas semua itu, harus ada seorang ilmuwan agama yang memiliki kata akhir, menolak atau menyetujui keputusan yang diambil (Esposito & Voll, 1999). Meskipun secara teknis konstitusi menerima doktrin kedaulatan rakyat, hukum Tuhan dan wakilnya, Fakih menempati kedudukan tertinggi. Meskipun presiden, yang dipilih secara langsung, mewakili suara kedaulatan rakyat, Fakih mewakili kedaulatan Ilahi dari hukum Tuhan. Dalam konteks itu, Soeradji (2007) mengatakan bahwa dewan pelindung bertugas mengawasi pemilihan presiden dan parlemen, menafsirkan konstitusi dan memastikan kesesuaian antara perundang-undangan dengan hukum dan konstitusi Islam. Wewenang tersebut termuat dalam Konstitusi Iran Pasal 96, bahwa dewan pelindung mempunyai hak veto atas semua undang-undang yang lolos dari Parlemen yang dinilai tidak Islami. Selain itu, dibentuk pula Dewan Pengadilan Tertinggi yang didominasi oleh para mujtahid.

Prinsip pemerintah oleh wilayah al-Fakih dan keutamaan hukum Islam diabadikan dalam Konstitusi Iran. Fakih dibantu oleh Dewan Pelindung beranggotakan 12 orang (ahli hukum Islam), 6 orang dipilih Khomeini dan sisanya dipilih Parlemen. Konstitusi itu menunjuk Khomeini sebagai Fakih seumur hidup. Setelah ia wafat, jabatan itu diserahkan kepada seorang penerus yang memenuhi persyaratan atau suatu dewan yang terdiri dari 3 hingga 5 orang Fakih. Al-Fakih diberi wewenang sebagai pemimpin tertinggi agama, penafsir hukum Islam tertinggi, menunjuk dewan pelindung dan mengepalai pengadilan, militer dan pengawal revolusi, serta bertindak sebagai Pengawas Presiden, Perdana Menteri dan Parlemen (Esposito & Voll, 1999).

Dinamika Konflik Arab Sunni dan Iran Syiah Kontemporer

Konflik Arab Sunni dan Iran Syiah dapat dilihat dari berbagai konflik di Suriah dan Yaman. Suriah merupakan salah satu negara yang tidak terlepas dari fenomena Arab Spring, yang menjalar di Timur Tengah. Fenomena tersebut bermula pada Maret 2011 ketika lima belas anak ditangkap karena menuliskan slogan “the people want the regime to fall” di dinding Kota Dara’a, Suriah Selatan. Berita tersebut meluas hingga menyebabkan gelombang protes dari penduduk Suriah untuk menentang pemerintah. Aksi protes diikuti dengan pembakaran gedung-gedung, dan penghancuran patung mantan Presiden Suriah, Hafiz Assad (1930-2000) (Abouzeid, 2011).

Dalam menanggapi fenomena di atas, Iran yang merupakan sekutu utama Suriah membantu Pemerintah Suriah untuk meredam pergolakan yang terjadi di negaranya. Iran mengirim para penasihat militer dari IRGC (Islamic Revolutionary Guards Corps) untuk melatih personil, serta memberikan bantuan untuk memperkuat pasukan Suriah dalam melawan para demonstran dan oposisi anti pemerintah. Hal ini bertujuan untuk meredam krisis internal yang ada di Suriah. Di samping itu, Iran memberikan bantuan $23 Juta Dollar AS kepada Suriah dan membangun pangkalan militer di Latakia untuk memfasilitasi pengiriman senjata dari Iran ke Suriah (Kuncahyono, 2013). Pada saat yang sama, Iran mengerahkan kekuatan Hizbullah yang memiliki basis di Lebanon untuk membantu Presiden Suriah, Bashar al-Assad (lahir, 1965) untuk menghadapi pemberontakan yang terjadi di Suriah pada tahun 2013, yang diketahui didanai oleh kedua negara (Saeri & Charin, 2016).

(8)

Kerja sama erat kedua negara, yakni Iran dan Suriah telah terjalin sejak pecahnya perang Iran-Irak (1980-1988). Pada saat itu, Pemerintah Damaskus mengambil kebijakan yang sangat berbeda dengan negara-negara Arab lainnya, yaitu dengan memilih berpihak pada Iran (Maulana, 2019).

Persekutuan di atas menjadi kerjasama strategis dan saling menguntungkan antar kedua negara terutama dalam menghadapi pergolakan di Timur Tengah. Oleh sebab itu, tidak heran ketika Suriah menghadapi konflik internal, Iran membantu dengan segenap kekuatan yang ada untuk menopang kekuatan rezim Assad. Di samping itu, dekatnya letak geografis antara Suriah dan Iran memudahkan kedua negara untuk saling bekerjasama dalam bidang-bidang strategis. Hizbullah yang juga merupakan kaki tangan pemerintah Iran di Lebanon juga menguntungkan posisi Suriah saat konflik, sebab kelompok tersebut didukung oleh persenjataan militer yang lengkap, sehingga dapat membantu Suriah menghalau pemberontakan yang terjadi pada saat Arab Spring. Kuatnya posisi tawar Hizbullah di Timur Tengah menjadi kekuatan tersendiri bagi Iran dan sekutunya untuk mengandalkan organisasi ini dalam beberapa konflik yang ada di kawasan. Atas kerjasama yang terjalin terhadap kedua negara tersebut, yang dibangun dengan asas resiprokalitas dan strategis, jelas bahwa keduanya merupakan sekutu bersama yang cukup diperhitungkan dalam menanggulangi krisis di Suriah. Koalisi yang ditambah dengan Rusia dan Cina ini pun terbukti berhasil mempertahankan posisi kepemimpinan Bashar al-Assad di Suriah hingga saat ini.

Dilihat dari substansi revolusi yang selalu digaungkan oleh Iran merupakan suatu yang bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Suriah. Jika Arab Spring yang melanda Timur Tengah menjadi kunci terbukanya gerakan revolusi untuk mengganti corak kepemimpinan di Timur Tengah yang sebagian besarnya adalah monarki, otoriter, dan berpaham Sunni, maka hal tersebut tidak berlaku untuk Suriah, padahal banyak kalangan menilai bahwa semasa kepemimpinan Assad pun cukup otoriter. Hal ini menjadi wajar terjadi, sebab kerjasama yang terjalin antara Suriah dan Iran sangat kuat, dan “kemesraan” hubungan kedua negara tersebut sangat terjaga. Iran selama ini memberikan semacam legitimasi bagi rezim Ba’ath di Damaskus. Hal ini dilatarbelakangi karena Suriah didominasi oleh sekte Alawiyah, yakni sekte minoritas dalam Islam dan beberapa pemimpin agama Syiah telah memperkuat legitimasi rezim di Damaskus dengan alasan bahwa sekte Alawiyah adalah bagian dari keluarga Syiah, sehingga hal inilah yang menjadi alasan persekutuan antara Iran dan Suriah tetap terjaga (Byman, 2006). Dengan adanya kerjasama strategis dan kesamaan ideologi yang dianut kedua negara walaupun secara literal berbeda, hal tersebut menjadi kunci hubungan bilateral antara Suriah dan Iran. Di samping bahwa Iran menilai Suriah sebagai negara strategis dan negara sahabat yang dapat menguntungkan eksistensi Iran di Timur Tengah. Oleh sebab itu, hembusan revolusi Iran terhadap corak kepemimpinan otoriter di Timur Tengah tidak terdengar dan terhembus di Suriah, karena hal tersebut dilatarbelakangi oleh kerjasama kedua negara yang sangat strategis.

Berbanding terbalik apabila hal di atas ditarik dalam konteks hubungan antara Suriah dan Saudi Arabia. Kedekatan dan kerjasama strategis menjadi suatu hal yang tidak didapatkan oleh Saudi Arabia. Walaupun Saudi Arabia menjalin hubungan baik dengan pemerintah Assad sebelum Arab Spring, akan tetapi “kemesraan” dan hubungan strategis tidak dimiliki oleh Saudi Arabia. Oleh karena itu, dengan krisis yang terjadi di Suriah, Arab Saudi berpandangan bahwa hal tersebut merupakan kesempatan baginya untuk memperluas pengaruhnya di negara tersebut pasca runtuhnya rezim yang selama ini berkuasa, dan di bayang-bayangi oleh kekuatan Iran yang berideologi Syiah. Maka, sesaat terjadinya krisis tersebut, Saudi Arabia secara cepat mengubah sikap politik luar negerinya, dan menjadi negara pertama yang

(9)

menentang pemerintahan Bashar Al Assad. Melalui pernyataan resmi kenegaraan, Raja Abdullah menyatakan Pemerintah Suriah sebagai mesin pembunuh dan meminta kepada masyarakat Suriah untuk menentang pemerintah sebagai respon atas jatuhnya korban demonstran. Tidak hanya sampai di situ, Pemerintah Riyadh selanjutnya menarik duta besarnya di Damaskus sebagai protes penentangan Saudi Arabia terhadap Pemerintah Damaskus (Nakamura, 2013).

Strategi yang dilakukan Saudi Arabia terhadap krisis di Suriah tidak berhenti pada kebijakan menentang pemerintahan Assad saja, tetapi juga direalisasikan dengan dukungan Arab Saudi terhadap kelompok oposisi melalui bantuan pendanaan maupun logistik peperangan. Penggalangan dana yang disebut sebagai bantuan perlawanan di Suriah dimotori oleh Syekh al-Arifi dengan mengumpulkan bantuan dari seluruh aktivis dan masyarakat di Saudi. Syekh al-Arifi merupakan advokat dan sekaligus perwakilan dari gerakan dukungan Arab Saudi terhadap oposisi Suriah. Hasil dari penggalangan dana pun terkumpul sebesar US$

124,73 dolar, yang kemudian diserahkan kepada kelompok oposisi Suriah, yakni FSA dan SNC.

Tidak berhenti di pendanaan saja, pada Mei 2012 dilaporkan bahwa negara-negara Teluk Arab seperti Arab Saudi dan Qatar memutuskan untuk menyuplai logistik peperangan ke kelompok oposisi FSA melalui wilayah selatan Turki. Selain itu, New York Times dan BBC melaporkan bahwa Arab Saudi dan Qatar telah mengirimkan senjata-senjata ringan ke oposisi di Suriah, yang diperkirakan jalur penyelundupan tersebut melalui perbatasan antara Turki dan Suriah, dan melaui Jordan. Hal ini diperkuat dengan laporan BBC yang melansir berita bahwa ditemukannya senjata milik Arab Saudi di basis kelompok oposisi Suriah di Allepo (Ikhsan & Tjarsono, 2015).

Arab Saudi juga menempuh upaya diplomasi politik melalui forum Arab League pada November 2012. Forum tersebut membahas permasalahan krisis yang ada di Suriah hingga lahirnya kesepakatan bahwa perlunya sanksi terhadap Suriah, serta membawa isu tersebut ke Dewan Keamanan PBB. Arab Saudi beserta negara-negara Arab lainnya sepakat (kecuali Lebanon dan Yaman) untuk membekukan keanggotaan Suriah di forum Arab League, serta menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Suriah, yakni pembekuan aset kepemilikan Suriah di negara Arab lain, pemutusan hubungan ekspor maupun impor, dan menghentikan kerjasama finansial lainnya di Bank Suriah. Diharapkan melalui upaya diplomasi ini, Saudi Arabia dapat menekan Suriah dalam skala regional, sehingga menjadikan ekonomi Suriah terisolasi dari dunia Arab pada umumnya (Ikhsan & Tjarsono, 2015).

Krisis yang terjadi di Suriah memberikan harapan yang besar bagi Arab Saudi untuk mengakhiri koalisi antara Suriah dan Iran di kawasan Timur Tengah yang telah terjalin dengan baik antara government to government pasca berdirinya Republik Islam Iran pada 1979. Melalui kebijakan anti-Iran yang dilancarkan oleh Pemerintah Saudi menjadi kekuatan tersendiri untuk menekan kubu Iran, dan pada akhirnya, Iran akan kehilangan investasinya di Suriah, baik dalam ekonomi maupun politik. Dengan pergantian rezim nantinya dan menggantinya dengan kepemimpinan berhaluan sama dengan Saudi Arabia, maka cita-cita untuk membendung kekuatan Iran di Timur Tengah dapat terwujud, di samping upaya mengimbangi kekuatan Iran di Timur Tengah dapat terealisasi.

Saudi Arabia memandang bahwa pergantian kepemimpinan yang pro terhadap Saudi Arabia maupun yang berhaluan Sunni merupakan sebuah keniscayaan, mengingat masyarakat Suriah didominasi oleh Sunni dengan persentase 75% dari 22.5 juta jiwa sedangkan Syiah sebanyak 15% dari populasi tersebut (Maulana, 2019). Dengan bergantinya rezim yang selama ini dibayangi oleh Iran, maka akan membuka jalan bagi Saudi Arabia untuk memasuki negara tersebut pasca kepemimpinan Suriah yang baru, yang lebih diinginkan dan sejalan

(10)

dengan Saudi Arabia secara khusus. Maka, hal ini sejalan dengan arah kebijakan politik luar negeri Saudi Arabia, yakni “Muslim solidarity and unity” dengan menerapkan sikap proaktif dalam mendukung pemerintahan Sunni, dan lebih anti terhadap Syiah, baik dalam bentuk pemerintahan maupun ideologi keagamaan (Dacey & Levy, 2013).

Sementara dalam konteks konflik di Yaman adalah merupakan kegagalan pemerintah dalam mengelola negara, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya menjadi awal mula pergerakan munculnya pemberontakan oleh sekelompok warga yang berhaluan Syiah, yakni Houthi. Lahirnya kelompok Houthi di Yaman bermuara dari keretakan hubungan antara Badruddin al-Houthi dengan ulama-ulama Syiah yang beraliran Zaidiyah. Hal tersebut dikarenakan fatwa-fatwa ulama Zaidiyah yang menurut Badruddin al-Houthi telah menyisihkan pokok ajaran Syiah. Sejak saat itu, dirinya beralih ke aliran Imamiah dan kemudian pergi ke Iran untuk mendalami pemahaman tersebut (Saeri & Charin, 2016).

Bersamaan dengan kepergian Badruddin ke Iran, Husain bin Badruddin al-Houthi–anak dari Badruddin al-Houthi−mengundurkan diri dari partai al-Haq, yakni partai yang mengaspirasikan suara dan pemikiran Syiah Zaidiah. Kemudian, Husain mendirikan kelompok baru dengan nama Syiah Houthi dengan menisbahkan namanya pada kelompok tersebut. Awal mula pergerakan kelompok ini hanya pada bidang keagamaan, kemudian bergabung dengan pemerintah untuk melawan Partai Persatuan Yaman yang merupakan perwakilan dari masyarakat bermazhab Sunni. Akan tetapi, pada tahun 2002, kelompok ini berbalik arah menjadi kelompok oposisi dalam pemerintahan (Saeri & Charin, 2016).

Keberhasilan kelompok Houthi dapat dilihat dengan berhasilnya kelompok tersebut menyingkirkan pemerintahan yang sah dan menguasai pusat ibu kota Yaman di Sana’a.

Kesuksesan kelompok Houthi tersebut tidak bisa menafikan peran Iran dalam membantu kelompok ini sejak 2009. Iran berhasil menyuplai berbagai bantuan kemiliteran yang diperlukan Houthi dalam memperlancar suksesi kekuasaan di Yaman.

Intervensi yang dilakukan Iran melalui Houthi−sejalan dengan visi Iran dalam memperluas ideologi Syiah Imamiyah yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran Pasal 12 dan 72 yang berbunyi bahwa Syiah Imamiyah bukan hanya sebagai agama resmi negara Iran, melainkan prinsip dasar dalam bernegara. Setelah ditetapkannya Konstitusi Iran pasca revolusi pada 1979, pemimpin revolusi, Imam Khomeini menegaskan bahwa Iran akan melakukan ekspansi ideologi ke penjuru dunia. Hal tersebut berdasarkan keyakinan para ulama penggagas revolusi bahwa pemerintah yang berasaskan Syiah Imamiyah tidak dibatasi oleh batas geografis suatu negara. Oleh karena itu, ideologi tersebut merupakan pesan universal (Saeri & Charin, 2016).

Kedekatan Syiah Houthi dengan Iran berdasarkan ideologi yang dianut oleh keduanya, yakni Syiah Imamiyah. Dengan kesamaan ideologi tersebut, maka Iran tidak meragukan kelompok ini untuk menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Teheran dalam menyebarkan ideologi Syiah di wilayah Teluk Arab, khususnya di Yaman, dan untuk memerangi pemerintah yang dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah dalam negerinya. Di samping itu, saat penguasaan pemerintah yang berlandaskan Sunni, seringkali kelompok Syiah yang berada di Yaman terpinggirkan, sehingga Iran dan Houthi melihat bahwa hal ini merupakan kesempatan yang baik untuk memulai perubahan dalam struktur politik dan sosial masyarakat Yaman. Houthi di Yaman menjadi kesempatan bagi Iran sebagai pintu masuk untuk menyebarkan ideologi Imamiyah dan menggaungkan revolusi di Teluk Arab, mengingat bahwa di wilayah Teluk Arab banyak kelompok Syiah yang hidup di bawah represif pemerintah yang berkuasa, sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan Iran termotivasi untuk menyebarkan gagasan revolusi di dunia Arab. Untuk memperkuat posisi Houthi di

(11)

Yaman, Pemerintah Teheran mengirimkan bantuan dalam bentuk logistik persenjataan yang dimulai sejak tahun 2009. Iran secara rahasia mengirim ratusan roket anti-tank dan anti- helikopter kepada kelompok Houthi. Laporan para ahli ini menguatkan anggapan bahwa Iran menjadi pihak yang membantu Houthi, yang mengindikasikan lima kapal tersebut membawa logistik persenjataan yang ditujukan ke Yaman, dan kemudian persenjataan tersebut diturunkan ke sebuah peternakan di Provinsi Sa’ada untuk kelompok Houthi (Landry, 2015).

Atas intervensi Iran dalam konflik di Yaman ini, membuat konflik antara Saudi Arabia dan Iran kian meruncing. Koalisi Arab yang dipimpin oleh Saudi Arabia dalam upaya intervensi konflik tersebut menjadikan Yaman sebagai tempat pertarungan antara Saudi dan Iran. Dalam hal ini, Saudi melihat bahwa ancaman yang sangat berbahaya apabila kelompok Houthi yang didukung oleh Iran kian menguat, mengingat basis awal mereka berada di dekat perbatasan antara Saudi Arabia dan Yaman. Sehingga, Saudi Arabia menganggap diperlukannya intervensi untuk mengamankan stabilitas negaranya dari kelompok ini. Maka, Saudi Arabia kemudian membuat aliansi dengan negara-negara lainnya seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Yordania, Maroko, Mesir dan Sudan yang dikenal dengan nama Decisive Storm (Salim, 2022; Buys & Garwood-Gowers, 2019).

Tidak dipungkiri bahwa intervensi Iran terhadap kelompok Houthi di Yaman merupakan langkah awal Iran dalam menyebarluaskan pengaruhnya dan menjadi pintu masuk Iran di Teluk Arab untuk menyebarkan ideologi Syiah. Pada saat yang sama, hal tersebut bertujuan sebagai perimbangan dominasi kekuasaan Saudi Arabia di Timur Tengah secara umum maupun di Teluk Arab secara khusus. Intervensi Iran terhadap kelompok Houthi ini bukanlah semata-mata hanya kebaikan Iran, akan tetapi ada orientasi ekonomi yang dapat menguntungkan Iran apabila Houthi berhasil menguasai Yaman.

Begitu halnya dengan koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi pun merupakan upaya mereka untuk membendung perluasan kekuasaan Iran yang berbasis Syiah di Timur Tengah.

Mengingat bahwa negara-negara di Timur Tengah khususnya Teluk Arab mayoritas menganut Sunni dan pengaruh Saudi atas negara-negara ini pun sangat besar. Tidak terkecuali Yaman, sebelum konflik melanda negeri ini, pemerintah yang Syiah pun termasuk pihak yang sangat bergantung dan dipengaruhi oleh Saudi Arabia. Pemerintah Saudi Arabia merasa sangat perlu mengamankan Yaman dari Iran, baik dalam membendung kekuatan Iran di wilayah Teluk Arab maupun menyelamatkan potensi ekonomi yang terkandung dalam geografis Yaman.

(Landry, 2015). Letak strategis Yaman sangat potensial apabila ditinjau dari geografis. Dengan tingkat kesuburan tanah, curah hujan dan terlebih lagi posisi Bab al-Mandeb menjadikan Yaman diincar oleh banyak negara besar termasuk Saudi Arabia maupun Iran (Verij Kazemi, 2021; Gresh, 2018). Saudi Arabia dan Iran sangat memperhitungkan betul posisi Yaman, sehingga kedua negara tersebut secara maksimal memperjuangkan kekuasaannya di Yaman untuk kepentingan politik dan ekonomi. Maka, tidak heran apabila kedua negara tersebut menggunakan pendekatan ideologi untuk melegitimasi langkah mereka dalam menguasai Yaman di mata dunia internasional.

Strategi dan Pendekatan Saudi Arabia dan Iran di Timur Tengah

Saudi Arabia dan Iran merupakan negara yang mengakui Islam sebagai ideologi berpolitik, sehingga kedua negara tersebut saling tarik-menarik dalam merebut kekuasaan di Timur Tengah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, konflik Suriah dan Yaman menjadi ajang menarik untuk melihat bagaimana kedua negara menonjolkan kekuatan satu sama lain untuk mencapai tujuan politik luar negeri, yaitu dengan memperluas kekuasaan dan mengimbangi kekuatan dalam menghadapi kekuatan satu sama lain di Timur Tengah.

(12)

Tidak diragukan lagi bahwa pengaruh Saudi Arabia di wilayah Teluk sangat terlihat dalam berbagai aspek, khususnya melalui kesamaan ideologi yang dianut, Islam Sunni.

Negara-negara yang berbasis ideologi Sunni dan menjadi aliansi Saudi Arabia ialah Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain, Kuwait, dan Qatar. Melalui kesamaan tujuan dan ideologi tersebut, dibuatlah kerjasama Gulf Cooperation Council (GCC) yang anggotanya merupakan aliansi Saudi Arabia, yang notabene bercorak monarki di Teluk Arab. Sejak didirikannya, GCC telah menjadi alat yang sangat efektif untuk mengedepankan pendekatan konservatif pada tiap-tiap anggotanya dalam menyelesaikan isu keamanan regional (Tyler & Boone, 2012). Dalam skala yang lebih besar, terdapat organisasi Liga Arab yang di dalamnya, Saudi Arabia melakukan pendekatan yang sama terhadap negara anggota organisasi. Melalui organisasi-organisasi inilah, Pemerintah Saudi Arabia diuntungkan dengan memainkan perannya untuk menjalin hubungan yang erat dengan para elit di negara-negara tersebut yang mayoritas berpaham Sunni, di samping atas dasar kesamaan kepentingan politik.

Pendekatan di atas, tidak didapatkan oleh Iran sebagai negara yang berusaha mengimbangi Saudi Arabia di Timur Tengah, dan dengan tujuan ekspansi ideologi. Iran memiliki strategi lain dalam mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan membangun aliansi kepada komunitas-komunitas Syiah lokal di negara-negara Timur Tengah. Hal tersebut bertujuan untuk menekan pemerintah di Timur Tengah secara umum dan di Teluk Arab secara khusus yang berbasis Sunni melalui isu-isu yang dianggap strategis oleh Pemerintah Teheran. Dalam beberapa aspek, hal tersebut sangat efektif mengingat masyarakat Syiah sangat rentan terhadap propaganda Iran dibandingkan dengan Muslim Sunni (Tyler & Boone, 2012). Keberhasilan melalui pendekatan ideologi tersebut dapat dinilai cukup berhasil dalam memperluas pengaruhnya di kawasan, seperti yang telah terjadi di Yaman dengan membangun jejaring untuk menguatkan legitimasi Syiah Houthi. Demikian pula keberhasilan hubungan antara Iran dengan Suriah yang dibangun berdasarkan kesamaan ideologi dan kerjasama strategis antar negara.

KESIMPULAN

Persaingan kekuatan di Timur Tengah sangat jelas terlihat dari dua negara besar, yakni Saudi Arabia dan Iran. Kedua negara ini sama-sama menganut Islam akan tetapi berbeda dalam konteks ideologi keislaman. Saudi Arabia yang menganut Sunni menjadi pemain utama di Timur Tengah, mengingat sebagian besar negara di Timur Tengah menganut pemahaman yang sama dengan Saudi Arabia, yakni Sunni. Akan tetapi Iran pun memainkan peran signifikan, dan terlibat dalam berbagai isu di Timur Tengah untuk mencapai tujuannya, terutama dalam menyebarluaskan ideologi, serta menjadi penyeimbang kekuatan Saudi Arabia di Timur Tengah. Saudi Arabia yang selama ini membangun aliansi berlandaskan kesamaan ideologi Sunni menghadapi tantangan besar untuk membendung pengaruh Iran di Timur Tengah, yang dapat dilihat melalui kasus di Suriah dan Yaman. Dalam menghadapi kekuatan satu dengan lainnya, kedua negara tersebut memiliki pendekatan yang sama dari segi ideologi. Melalui Forum internasional seperti Liga Arab dan GCC, Saudi Arabia mampu merangkul pemimpin lokal yang memiliki kesamaan ideologi untuk membendung kekuatan dan ideologi Iran di Timur Tengah. Sementara Iran pun demikian, memiliki strategi yang sama dengan Saudi Arabia tetapi pendekatannya tidak melalui forum internasional melainkan membangun jejaring dengan masyarakat lokal yang memiliki pemahaman yang sama dengannya. Masyarakat lokal inilah yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh Iran untuk menjadi perpanjangan tangan dalam menyebar ideologi dan meletakkan pengaruhnya seperti dalam kasus Yaman. Dengan jatuhnya Yaman di bawah kendali Iran, kekuatan Iran di Timur

(13)

Tengah menjadi bertambah luas. Dalam konteks negara lain seperti Suriah, pemerintah Iran memiliki hubungan yang terjalin erat dengan Suriah, yang berlandaskan kerjasama strategis dan kesamaan ideologi, sehingga keduanya sama-sama diuntungkan dalam memperkuat legitimasi dan eksistensi negaranya di Timur Tengah. Pada hakikatnya, dalam konteks Timur Tengah dengan melihat kasus yang ada, ideologi hanya digunakan sebagai kendaraan politik untuk legitimasi tujuan mereka dalam menguasai suatu negara dalam skala kecil dan regional dalam skala besarnya. Penggunaan pendekatan ideologi merupakan hal yang paling mudah digunakan, sebab dapat menimbulkan emosional antar beberapa pihak maupun masyarakat internasional secara umum. Tidak heran, baik Iran maupun Saudi Arabia, sama-sama menggunakan pendekatan ideologi untuk tujuan politik luar negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2012). Imāmah dan Implikasinya dalam Kehidupan Sosial: Telaah atas Pemikiran Teologi Syī’ah. Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazabah Keagamaan RI.

Abouzeid, R. (2011). Syria’s Revolt: How Dara’a Graffiti Stirred an Uprising. Retrieved

September 1, 2022, from

http://content.time.com/time/world/article/0,8599,2060788,00.html

Anderson, L. (2011). Demystifying the Arab Spring: Parsing the Differences Between Tunisia, Egypt, and Libya. Foreign Affairs, 90(3), 2–7.

Ben-Yehuda, H., Naveh, C., & Levin-Banchik, L. (2013). When media and world politics meet:

Crisis press coverage in the Arab-Israel and East-West conflicts. Media, War & Conflict, 6(1), 71–92.

Buys, E., & Garwood-Gowers, A. (2019). The (Ir)Relevance of Human Suffering: Humanitarian Intervention and Saudi Arabia’s Operation Decisive Storm in Yemen. Journal of Conflict and Security Law, 24(1), 1–33. doi: 10.1093/jcsl/kry019

Byman, D. L. (2006, July 19). Syria and Iran: What’s Behind the Enduring Alliance? Retrieved June 3, 2021, from https://www.brookings.edu/opinions/syria-and-iran-whats-behind- the-enduring-alliance/

Dacey, J. B., & Levy, D. (2013). The Regional Struggle for Syria. London: European Council on Foreign Relations.

Esposito, J. L., & Voll, J. O. (1999). Islam and Democracy (Terjemahan). Bandung: Mizan.

Faza, A. M. (2015). Syiah dalam Kitab Sunni: Pandangan Sunni Terhadap Rijal Syiah dalam Kitab Lisan Al-Mizan. Medan: Perdana Publishing.

Gonzalez, N. (1974). The Sunni-Shia Conflict: Understanding Sectarian Violence in the Middle East. USA: Nortia Press.

Gresh, G. F. (2018). A Vital Maritime Pinch Point: China, the Bab al-Mandeb, and the Middle East. Asian Journal of Middle Eastern and Islamic Studies, 11(1), 37–46. doi:

10.1080/25765949.2017.12023324

Ikhsan, F., & Tjarsono, I. (2015). Kebijakan Politik Luar Negeri Arab Saudi terhadap Krisis Syria (2011-2014) . Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Riau, 2(2), 1–13.

Kraemer, J. L. (2003). Renaisans Islam : Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan. Bandung: Mizan.

Kuncahyono, T. (2013). Musim Semi di Suriah Anak-anak Sekolah Penyulut Revolusi. Jakarta:

PT. Kompas Media Nusantara.

Landry, C. (2015, May 1). UN: Iran arming Houthi rebels in Yemen since 2009. Retrieved June 3, 2021, from The Time of Israel website: https://www.timesofisrael.com/un-iran-

(14)

arming-houthi-rebels-in-yemen-since-2009/

Lapidus, I. M. (1999). Sejarah Sosial Ummat Islam (3rd ed.). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Maulana, M. S. (2019). Persaingan Kekuatan Saudi Arabia (Sunni) dan Iran (Syiah) pada Kasus Konflik Kontemporer (Suriah dan Yaman). Jurnal Gama Societa, 2(2), 101–110.

Nakamura, S. (2013). Saudi Arabian Diplomacy during the Syrian Humanitarian Crisis:

Domestic Pressure, Multilateralism, and Regional Rivalry for an Islamic State. IDE-JETRO:

Institute of Developing Economics.

Nasution, K. (2007). Isu-isu Kontemporer Hukum Islam. Yogyakarta: Suka Press.

Sadzali, M. (1993). Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press.

Saeri, M., & Charin, R. O. P. (2016). Kepentingan Iran Melakukan Intervensi terhadap Konflik Internal Yaman Tahun 2014-2015. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Riau, 3(2), 1–15.

Sahide, A. (2013). Konflik Syi’ah-Sunni Pasca-The Arab Spring. KAWISTARA, 3(3), 314–324.

doi: 10.22146/kawistara.5225

Salim, F. (2022). Analysis of Saudi Arabia Intervention in Decisive Storm Operations in Yemen.

Journal of International Studies on Energy Affairs, 3(1), 93–107. doi:

10.51413/jisea.Vol3.Iss1.2022.93-107

Shihab, M. Q. (2007). Sunnah-syiah bergandengan tangan! mungkinkah? : Kajian atas konsep ajaran dan pemikiran (A. Syakur Dj & W. Hizbullah, Eds.). Jakarta: Lentera Hati.

Soeradji, E. (2007). Dinamika Hukum Islam di Iran. HIMMAH, 8(22), 38–51.

Sørli, M. E., Gleditsch, N. P., & Strand, H. (2005). Why Is There so Much Conflict in the Middle East? The Journal of Conflict Resolution, 49(1), 141–165.

Szymański, A. (2011). Turkey’s role in resolving the Middle East conflicts. International Issues

& Slovak Foreign Policy Affairs, 20(2), 71–84.

Thabaththaba’i, A. S. M. H. (1989). Shi’ite Islam (Terjemahan). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Tyler, M., & Boone, A. M. (Eds.). (2012). Rivalry in the Middle East: Saudi Arabia and Iran. New York: Nova Science Publishers.

Valbjørn, M., & Bank, A. (2012). The New Arab Cold War: rediscovering the Arab dimension of Middle East regional politics. Review of International Studies, 38(1), 3–24.

Verij Kazemi, M. (2021). The importance of Bab al-Mandeb Strait in the geo-economic thinking of regional and trans -regional actors. Geography and Human Relationships, 4(3), 32–49.

doi: 10.22034/GAHR.2021.303492.1606

Watt, W. M. (1990). The Majesty That Was Islam: The Islamic World 661-1100 (Terjemahan).

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Zahrah, M. A. (2011). Aliran politik dan Aqidah dalam Islam (Terjemahan). Jakarta: Gaya Media Pratama.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hadis tersebut, kita bisa melihat besarnya dosa meghibah, meskipun hanya dengan isyarat.. Era millenial yang ditandai dengan adanya perkembangan pesat dari segi

Dalam upaya peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi, telah dilaksanakan penelitian kehilangan air pada saluran irigasi tersier di Daerah lrigasi Punggur Utara

Manusia hidup bersama dan ditandai dengan adanya hubungan atau pertalian satu sama lainnya, paling tidak setiap individu sebagai anggotanya (masyarakat) mempunyai kesadaran

Pengaruh Beberapa Dosis Fungi Mikoriza Arbuskula Terhadap Tanaman Desmodium heterophyllum Pada Media Tanah Lahan Bekas.. Tambang Batubara

yang bilangin seperti di atas langsung kepikiran “Bener nggak sih saya saya bisa  bisa sukses?” sukses?”,, “Bener gak sih ini adalah langkah yang tepat?”, “Nanti kalau

Tugas Akhir dengan judul “Inverter 3 Fasa 220 Volt Dengan Output Sinusoidal Frekuensi 50 Hz Menggunakan Arduino Dengam Teknik Direct Digital Synthesis” ini telah

Menurut penelitian Merpaung (2013) menyatakan bahwa disiplin kerja sangat penting bagi pekerja maupun organisasi atau kelompok karena disiplin kerja dapat

Juga untuk setiap berkatNya yang luar biasa tercurah dalam hidup penulis, terutama dalam hal penyelesaian skripsi dengan judul ” STRATEGI KOMUNIKASI RADIO KOMUNITAS