TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN DALAM
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI
MEDAN
TESIS
OLEH
TJATUR SOEMARDIYANTO 087005018/ HK
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI MEDAN
Nama Mahasiswa : TJATUR SOEMARDIYANTO Nomor Pokok : 087005018/ HK
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua
(Dr. Pendastaren, SH, MS) (Dr. Agusmidah, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum
Telah diuji pada
Tanggal 2 Agustus 2010
PANITIA UJIAN TESIS
KETUA : Prof. Muhammad Abduh, SH
ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Agusmidah, SH, M.Hum
ABSTRAK
Keimigrasian adalah hal ihwal lalulintas orang yang masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di Indonesia jadi imigrasi disamping termasuk salah satu instansi pemerintah yang salah satu kegiatannya melayani masyarakat juga sebagai pengawasan terhadap segala keberadaan dan kegiatan orang asing. Terhadap orang asing pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini maka orang asing yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia hanyalah orang asing yang bermanfaat bagi keesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, tidak membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan dengan rakyat dan pemerintah negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan prinsip selektif (selective policy) diperlukan kegiatan pengawasan terhadap orang asing, pengawasan ini tidak hanya pada saat orang asing masuk ke wilayah Indonesia, tetapi juga selama orang asing tersebut berada di wilayah Indonesia termasuk kegiatan –kegiatannya, sebab terdapat orang asing yang keberadaanya merugikan kepentingan bangsa dan negara seperti kasus-kasus penyalahgunaan ijin tinggal, tinggal di Indonesia melebihi jangka waktu yang ditentukan , imighran gelap dan lain sebagainya.
Metode penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research), untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi kendala pada tindakan-tindakan hukum dari suatu hukum administrasi, serta mengkaji ulang konsep yang menjadi penyebab. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. kedua pendekatan ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara aturan-aturan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi. Sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder. Data hukum primer terdiri atas : Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian dan peraturan-peraturan dalam bidang keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan. Data Hukum Sekunder adalah data hukum yang memberikan penjelasan terhadap data hukum primer, yang berupa hasil-hasil karya ilmiah ahli hukum buku-buku dan majalah-majalah yangn berhubungan dengann permasalahan yang diteliti serta hasil-hasil penelitian hukum yang memberikan informasi tentang data hukum primer dan sekunder, yang berupa kasus-kasus. Sedangkan sumber data primer didapat dari Wawancara jarak jauh dengan pejabat Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta serta didukung dengan observasi dan pendapat dari pejabat imigrasi di Kota Medan khususnya di kantor Imigrasi Belawan. Kemudian analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang berisi unuk dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi.
pertama berupa tindakan keimigrasian yaitu tindakan yang berupa tindakan administratif dan yang kedua berupa tindakan Pidana keimigrasian dimana kedua tindakan ini berdasarkan Undang-undang No. 9 tahun 1992. Permasalahan timbul karena pada kedua tindakan ini tidak terdapat batas yang jelaas apabila timbul suatu kasus keimigrasian dan harus diputuskan menggunakan tindakan administratif keimigrasian atau tindakan pidana keimigrasian, meskipun dalam kenyataannya banyak digiunakan tindakan administratif keimigrasian karena tindakan keimigrasian mempunyai kelebihan berupa prosedur, waktu dan cara pembuktian yang lebih sederhana meskipun sekaligus kelebihan ini juga merupakan suatu kelemahan tersendiri yang harus diperbaiki. Tindakan administratif keimigrasian sering digunakan untuk orang asing yang melanggar peraturan di Indonesia sebab bila digunakan tindakan pidana keimigrasian yang salah satu tahapanya harus dimulai dengan penyidikan maka orang asing tersebut harus tetap tinggal di wilayah Indonesia dan hal ini menimbulkan beban tersendiri bagi negara Indonesia sedangkan ada kemungkinan orang asing tersebut untuk berusaha lebih lama tinggal di Indonesia dengan cara mengajukan banding atau kasasi sampai orang asing tersebut selesai menjalani hukuman, sehingga menguntungkan orang asing tersebut meskipun ijin tinggal bahkan paspornya sudah tidak berlaku lagi . Hal ini akan menyulitkan dalam proses pemulangannya nanti.
ABSTRACT
Immigration is about people who immigrate to or emigrate from Indonesia and about the control the foreigners in Indonesia. Therefore, the function fo immigration as the government agency is not only to serve foreigners but also to control their activities. Controlling foreigners’ activities are based on selective policy. Based on this policy, the nation, and the government of Indonesia. They will not endanger public security and public order and will not be hostile to the people and the government of Indonesia. In order to realize the selective policy, it is necessary to control the foreigners’ activities, not only foreigners who come to Indonesia, bu talso those who are staying in Indonesia because many of them inconvenience the government’s interest, such as the case of resident permit, overstay, illegal immigrant, and so on.
The method of the research was a normative legal research which was aimed to indetify and analyze the legal factors which because the obstracles for the legal action of a certain administrative regulations and to reexamine their causes. This research used legally constituted and case study approaches. Both approaches were ised to know the correspondence between the regulations and the reality. The data consisted of the primary data dan the secondary data. The primary data were dealth with Act Number 9, 1992 about the Immigration and its regulations and their problems. The secondary data were the scientific works of the legal experts, the magazines which dealth with law, and the case studies which gave the information about the primary and secondary data. The primary data were obtained from long distant interviews with Immigration officials of the Directorate General of Immigration in Jakarta, supported by the observation and the immigartion officials’ views in Medan by using qualitative method. This qualitative method was based on the assumption about the reality and the unique but complex social phenomena where regularities and the variety of patterns existed.
The result of research showed that, there are two types of sanction for the foreigners who do not comply whit the regulations: in administrative sanction and the immigration criminal sanction. Both sanction are based on Act Number 9, 1992. The problem arises because the two sanction are still ambiguous. There is no fixed rule which regulates what sanction will be used. The fact that most violations are given the administrative sanction since it has clear procedures, time, and method of giving the summary proof although this sanction has its own weaknesses which have ot be corrected. It is common to use the administrative sanction for the foreigners because if the criminal sanctionn is used, which begins with the investigation, the foreigners have to stay in Indonesia during the investigation. This condition will inconvenience the government. They will attempt to stay longer by summoning an appeal alhotugh their passports are declared void. This will make difficult for the Indonesia government in their return process.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan kasih karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan
tepat pada waktunya.
Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar
Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Adapun Judul Tesis : TINDAKAN-TINDAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN
DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI MEDAN”. di
dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa
pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis
menyampaikan ucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada
yang terhormat para pembimbing : Prof. Muhammad Abduh, SH, sekaligus sebagai
Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Pandestaren, SH, MS dan Dr. Agusmidah, SH,
M.Hum. dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya
untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat penulis untuk
menyelesaikan penulisan Tesis ini.
Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu,
DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) diberikan kepada penulis untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan.
2. Dekan Fakultas Hukum Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, atas kesempatan
menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, sebagai Komisi Penguji, sekaligus sebagai
Sekretaris Ilmu Hukum penulis yang telah meluangkan waktunya dan dengan
penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, saran kepada penulis.
4. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku penguji dan juga selaku Pembantu Dekan I
yang telah memberikan saran dan masukannya untuk perbaikan tesis ini.
5. Orang tua tercinta yang mendidik dan penuh rasa kasih sayang dan senantiasa
memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
6. Istri tercinta Novian Trilestari yang penuh rasa kasih sayang dan senantiasa
memberi semangat dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
penulisan Tesis ini.
7. Kepada Rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara, Beserta Staff Ilmu Hukum, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan
menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat
kekurangan dan kekeliruan, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan
serta bersifat membantun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan, Agustus 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama : Tjatur Soemardiyanto
Tempat/ Tanggal Lahir : Surabaya, 28 Desember 1967
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Jabatan/Pekerjaan : Kasi Lalintuskim Kantor Imigrasi Belawan
Alamat : Komplek Griya Marelan Blok T No. 18 Medan
Pendidikan : SD Negeri Puja I Surabaya Tamat Tahun 1984
SMP YBPK Surabaya Tamat Tahun 1987
SMA Negeri I Surabaya Tamat Tahun 1990
Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas
Tujuhbelas Agustus Surabaya Tamat Tahun 1995
Strata Dua (S2) Magister Ilmu Hukum Universitas
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
A. Latar Belakang ... 1
B. Tinjauan Umum Tentang Keimigrasian ... 9
C. Tindakan-Tindakan yang Diberlakukan Terhadap Penyalahgunaan Visa dan Ijin Keimigrasian di Medan ... 14
D. Beberapa Alasan Dipilihnya Tindakan Administratif dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Visa di Medan ... 20
E. Kesimpulan ... 22
DAFTAR PUSTAKA ... 25
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vi
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Keaslian Penelitian ... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 14
G. Metode Penelitian ... 28
1. Spesifikasi Penelitian ... 28
2. Metode Penelitian ... 28
3. Sumber Data ... 28
4. Analisis Data ... 29
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEIMIGRASIAN ... 31
A. Sejarah Ringkas Keimigrasian di Indonesia ... 31
B. Jenis Paspor, Visa dan Peruntukkannya ... 39
C. Tata Cara Keluar Masuk Orang Asing (Lalulintas Keimigrasian) ... 49
BAB III. TINDAKAN – TINDAKAN YANG DAPAT DIBERLAKUKAN TERHADAP PENYALAHGUNAAN VISA DAN IJIN KEIMIGRASIAN... 56
A. Tindakan Keimigrasian Secara Administratif ... 56
1. Kewenangan Pejabat Imigrasi secara Administratif ... 56
3. Contoh kasus... 74
B. Tindakan Keimigrasian Dalam Bentuk Tindakan Pidana ... 78
1. Kewenangan Pejabat Imigrasi selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil ... 78
2. Bentuk Tindakan Keimigrasian melalui Proses Pidana ... 88
3. Contoh kasus ... 95
BAB IV. BEBERAPA ALASAN DIPILIHNYA TINDAKAN ADMINISTRATIF DALAM PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN VISA DI MEDAN ... 100
A. Gambaran Umum Penanggulangan Penyalahgunaan Visa ... 100
1. Penanggulangan Secara Preventif (Pengawasan) ... 103
2. Penanggulangan Secara Kuratif (Tindakan)... 112
B. Alasan-alasan Dipilihnya Tindakan Administratif Keimigrasian ... 124
1. Menurut Pertimbangan Politis ... 125
2. Menurut Pertimbangan Ekonomis ... 126
3. Menurut Pertimbangan Sosial dan Budaya ... 126
4. Menurut Pertimbangan Keamanan ... 126
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 129
A. Kesimpulan ... 129
B. Saran... 130
ABSTRAK
Keimigrasian adalah hal ihwal lalulintas orang yang masuk atau keluar wilayah negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di Indonesia jadi imigrasi disamping termasuk salah satu instansi pemerintah yang salah satu kegiatannya melayani masyarakat juga sebagai pengawasan terhadap segala keberadaan dan kegiatan orang asing. Terhadap orang asing pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian dilaksanakan berdasarkan prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini maka orang asing yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia hanyalah orang asing yang bermanfaat bagi keesejahteraan rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia, tidak membahayakan keamanan dan ketertiban serta tidak bermusuhan dengan rakyat dan pemerintah negara Republik Indonesia. Untuk mewujudkan prinsip selektif (selective policy) diperlukan kegiatan pengawasan terhadap orang asing, pengawasan ini tidak hanya pada saat orang asing masuk ke wilayah Indonesia, tetapi juga selama orang asing tersebut berada di wilayah Indonesia termasuk kegiatan –kegiatannya, sebab terdapat orang asing yang keberadaanya merugikan kepentingan bangsa dan negara seperti kasus-kasus penyalahgunaan ijin tinggal, tinggal di Indonesia melebihi jangka waktu yang ditentukan , imighran gelap dan lain sebagainya.
Metode penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal research), untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi kendala pada tindakan-tindakan hukum dari suatu hukum administrasi, serta mengkaji ulang konsep yang menjadi penyebab. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. kedua pendekatan ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian antara aturan-aturan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi. Sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum primer dan data hukum sekunder. Data hukum primer terdiri atas : Undang-undang Nomor 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian dan peraturan-peraturan dalam bidang keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan. Data Hukum Sekunder adalah data hukum yang memberikan penjelasan terhadap data hukum primer, yang berupa hasil-hasil karya ilmiah ahli hukum buku-buku dan majalah-majalah yangn berhubungan dengann permasalahan yang diteliti serta hasil-hasil penelitian hukum yang memberikan informasi tentang data hukum primer dan sekunder, yang berupa kasus-kasus. Sedangkan sumber data primer didapat dari Wawancara jarak jauh dengan pejabat Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta serta didukung dengan observasi dan pendapat dari pejabat imigrasi di Kota Medan khususnya di kantor Imigrasi Belawan. Kemudian analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang berisi unuk dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi.
pertama berupa tindakan keimigrasian yaitu tindakan yang berupa tindakan administratif dan yang kedua berupa tindakan Pidana keimigrasian dimana kedua tindakan ini berdasarkan Undang-undang No. 9 tahun 1992. Permasalahan timbul karena pada kedua tindakan ini tidak terdapat batas yang jelaas apabila timbul suatu kasus keimigrasian dan harus diputuskan menggunakan tindakan administratif keimigrasian atau tindakan pidana keimigrasian, meskipun dalam kenyataannya banyak digiunakan tindakan administratif keimigrasian karena tindakan keimigrasian mempunyai kelebihan berupa prosedur, waktu dan cara pembuktian yang lebih sederhana meskipun sekaligus kelebihan ini juga merupakan suatu kelemahan tersendiri yang harus diperbaiki. Tindakan administratif keimigrasian sering digunakan untuk orang asing yang melanggar peraturan di Indonesia sebab bila digunakan tindakan pidana keimigrasian yang salah satu tahapanya harus dimulai dengan penyidikan maka orang asing tersebut harus tetap tinggal di wilayah Indonesia dan hal ini menimbulkan beban tersendiri bagi negara Indonesia sedangkan ada kemungkinan orang asing tersebut untuk berusaha lebih lama tinggal di Indonesia dengan cara mengajukan banding atau kasasi sampai orang asing tersebut selesai menjalani hukuman, sehingga menguntungkan orang asing tersebut meskipun ijin tinggal bahkan paspornya sudah tidak berlaku lagi . Hal ini akan menyulitkan dalam proses pemulangannya nanti.
ABSTRACT
Immigration is about people who immigrate to or emigrate from Indonesia and about the control the foreigners in Indonesia. Therefore, the function fo immigration as the government agency is not only to serve foreigners but also to control their activities. Controlling foreigners’ activities are based on selective policy. Based on this policy, the nation, and the government of Indonesia. They will not endanger public security and public order and will not be hostile to the people and the government of Indonesia. In order to realize the selective policy, it is necessary to control the foreigners’ activities, not only foreigners who come to Indonesia, bu talso those who are staying in Indonesia because many of them inconvenience the government’s interest, such as the case of resident permit, overstay, illegal immigrant, and so on.
The method of the research was a normative legal research which was aimed to indetify and analyze the legal factors which because the obstracles for the legal action of a certain administrative regulations and to reexamine their causes. This research used legally constituted and case study approaches. Both approaches were ised to know the correspondence between the regulations and the reality. The data consisted of the primary data dan the secondary data. The primary data were dealth with Act Number 9, 1992 about the Immigration and its regulations and their problems. The secondary data were the scientific works of the legal experts, the magazines which dealth with law, and the case studies which gave the information about the primary and secondary data. The primary data were obtained from long distant interviews with Immigration officials of the Directorate General of Immigration in Jakarta, supported by the observation and the immigartion officials’ views in Medan by using qualitative method. This qualitative method was based on the assumption about the reality and the unique but complex social phenomena where regularities and the variety of patterns existed.
The result of research showed that, there are two types of sanction for the foreigners who do not comply whit the regulations: in administrative sanction and the immigration criminal sanction. Both sanction are based on Act Number 9, 1992. The problem arises because the two sanction are still ambiguous. There is no fixed rule which regulates what sanction will be used. The fact that most violations are given the administrative sanction since it has clear procedures, time, and method of giving the summary proof although this sanction has its own weaknesses which have ot be corrected. It is common to use the administrative sanction for the foreigners because if the criminal sanctionn is used, which begins with the investigation, the foreigners have to stay in Indonesia during the investigation. This condition will inconvenience the government. They will attempt to stay longer by summoning an appeal alhotugh their passports are declared void. This will make difficult for the Indonesia government in their return process.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keimigrasian sebagaimana yang ditentukan di dalam Bab 1 Pasal 1 (1)
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Lembaran Negara Tahun 1992, Nomor 33
Tentang Keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di Indonesia.
Hukum Keimigrasian merupakan bagian dari sistem hukum yang berlaku di
Indonesia, bahkan merupakan subsistem dari Hukum Administrasi Negara1. Fungsi
keimigrasian merupakan fungsi penyelenggaraan administrasi negara atau
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, oleh karena itu sebagai bagian dari
penyelenggaraan kekuasaan eksekutif, yaitu fungsi administrasi negara dan
pemerintahan, maka hukum keimigrasian dapat dikatakan bagian dari bidang hukum
administrasi negara.2 Untuk menjamin kemanfaatan dan melindungi berbagai
kepentingan nasional, maka Pemerintah Indonesia telah menetapkan prinsip, tata
pelayanan, tata pengawasan atas masuk dan keluar orang ke dan dari wilayah
Indonesia sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian.
1
M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, (UI Press, 2004), hlm. 1.
2
Imigrasi termasuk salah satu instansi pemerintah, yang salah satu kegiatannya
memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Pelayanan dalam hal memberikan
segala perizinan keimigrasian berupa Visa, Izin masuk, pendaftaran orang asing, izin
masuk kembali, izin keluar tidak kembali, Surat Perjalanan RI, tanda bertolak, tanda
masuk, surat keterangan keimigrasian dan perubahan keimigrasian.Tempat-tempat
pelayanan keimigrasian, meliputi bidang atau sub bidang imigrasi pada Perwakilan RI
di luar negeri, di perjalanan dalam pesawat udara, maupun kapal laut, tempat
pemeriksaana imigrasi, Kantor Imigrasi, Bidang Imigrasi pada Kantor Wilayah
Departemen Kehakiman dan HAM, serta Direktorat Jenderal Imigrasi.
Terhadap orang asing, pelayanan dan pengawasan di bidang keimigrasian
dilaksanakan berdasarkan prinsip selektif (selective policy). Berdasarkan prinsip ini,
maka orang asing yang dapat diberikan ijin masuk ke Indonesia ialah :
a. Orang asing yang bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, bangsa dan Negara
Republik Indonesia.
b. Tidak membahayakan keamanan dan ketertiban, serta
c. Tidak bermusuhan dengan rakyat maupun Pemerintah Negara Republik
Indonesia.
Untuk mewujudkan prinsip selektif, diperlukan kegiatan pengawasan terhadap
orang asing, pengawasan ini tidak hanya pada saat orang asing masuk ke wilayah
Indonesia, tetapi juga selama orang asing berada di wilayah Indonesia termasuk
kegiatan-kegiatannya sebab terdapat orang asing yang keberadaannya di Indonesia
keimigrasian, overstay, imigran gelap dan lain sebagainya adalah suatu bentuk
pelanggaran keimigrasian yang bersifat transnasional.
Pengawasan Orang Asing di wilayah Indonesia, berupa pengawasan terhadap
orang asing yang masuk, keberadaan, kegiatan dan keluar dari wilayah Indonesia,
antara lain dapat menimbulkan 2 (dua) kemungkinan yakni : Pertama, Orang asing
mantaati peraturan yang berlaku dan tidak melakukan kegiatan yang berbahaya bagi
keamanan dan ketertiban umum, hal ini tidak menimbulkan masalah Keimigrasian
maupun Kenegaraan. Kedua Orang asing tidak mentaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, hal ini menimbulkan masalah dan dapat
dikenakan tindakan hukum berupa :3
a. Tindakan Hukum Pidana berupa penyidikan Keimigrasian yang merupakan bagian daripada rangkaian Integrated Criminal Justice sistem, sistem peradilan pidana ( penyidikan, penuntutan, peradilan ) dan atau ; b. Tindakan hukum administratif negara berupa tindakan keimigrasian
adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan. Termasuk bagian daripada tindakan keimigrasian ini adalah diantaranya deportasi terhadap orang asing untuk keluar dari wilayah yurisdiksi negara kesatuan Republik Indonesia.
Penegakan hukum pidana keimigrasian adalah penegakan hukum melalui
proses penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1992 Tentang Keimigrasian yang dilaksanakan sesuai asas dan kaedah hukum acara
pidana.
3
Pasal 50 Undang-Undang nomor 9 Tahun 1992 mengatakan bahwa orang
asing yang sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan maksud pemberian ijin keimigrasian yang diberikan kepadanya, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)
Pasal 42 (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 mengatur tentang
Tindakan Keimigrasian yang menyatakan bahwa tindakan keimigrasian dilakukan
terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang :
a. Melakukan kegiatan berbahaya atau patut diduga akan berbahaya bagi
keamanan dan ketertiban umum, atau
b. Tidak menghormati atau mentaati peraturana perundang-undangan yang
berlaku.
Maksud dari Tindakan Keimigrasian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
(1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian adalah Tindakan
Administratif dalam bidang keimigrasian diluar proses peradilan. Dengan demikian
maka orang asing yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 dapat dikenakan tindakan administratif diluar proses peradilan. Tindakan
administratif yang dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (2) dapat berupa :
a. Pembatasan, perubahan atau pembatalan izin keimigrasian.
b. Larangan untuk berada di suatu atau beberapa tempat tertentu di wilayah
c. Keharusan untuk bertempat tinggal di suatu tempat tertentu di wilayah
Indonesia.
d. Pengusiran atau deportasi dari wilayah Indonesia atau penolakan masuk ke
wilayah Indonesia.
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa segala bentuk tindakan
administratif dibidang keimigrasian diluar tindakan hukum pidana atau penyidikan
masuk kategori Tindakan Keimigrasian. Selain menurut ketentuan hukum positif
tersebut diatas, juga menurut hukum internasional bahwa tindakan keimigrasian
berupa deportasi bukan tindakan hukum pidana dan ini berlaku secara universal pada
negara-negara lain di dunia.
Semua tahapan-tahapan tindakan keimigrasian, tentu diperlukan adanya suatu
landasan yuridis maupun administrasi, sebagai dasar operasional dalam menangani
suatu kasus pelanggaran keimigrasian. Oleh karena pada hakekatnya tindakan
keimigrasian adalah suatu tindakan pengekangan atau pembatasan terhadap
kebebasan, dan hak asasi manusia tersebut dijamin serta dilindungi peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia.
Setiap kegiatan atau tahapan tindakan keimigrasian, selain diperlukan adanya
landasan yuridis juga diperlukan administrasi tindakan keimigrasian yang berupa
format, laporan kejadian, surat perintah dan keputusan tindakan berupa pemanggilan,
tugas, berita acara, register, kode penomoran surat untuk masing-masing tindakan
keimigrasian, sehingga pelaksanaan kegiatan penindakan tersebut, selain dapat
atau tertib administrasi untuk setiap tindakan yang telah dilakukan. Permasalahannya
adalah timbulnya dua tindakan Keimigrasian yang mempunyai prosedur berbeda,
yang pertama secara administratif dengan dasar Pasal 42 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992, yang kedua menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Rumusan norma sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam Pasal-Pasal
lainnya maupun dalam Penjelasan Undang-Undang, sehingga dalam pelaksanaannya
dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Bertitik tolak dari ketidak jelasan undang-undang tersebut muncul berbagai
kasus keimigrasian yang membuat aparat keimigrasian dalam posisi dilematis apabila
mengambil tindakan misalnya yang terjadi pada kasus penangkapan warga negara
RRC atas nama Chen Long Chin di PT. Tjipta Rimba Djaja Jl. KL. Yos Sudarso
Km. 7,5 Medan pada tanggal 10 Maret 2010, warga Negara RRC tersebut ditangkap
karena diduga melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan ijin keimigrasian yang
diberikan kepada mereka, kemudian atas perbuatan tersebut, Kepala Kantor Imigrasi
Belawan mengadakan pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya surat keputusan tentang tindakan
Keimigrasian an. Chen Long Chin dengan menetapakan bahwa memerintahkan Chen
Long Chin untuk segera meninggalkan wilayah Indonesia pada kesempatan Pertama
yang disertai surat perintah pengawalan.
Menurut ringkasan dari Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan oleh
Indonesia hari Kamis tanggal 04 Maret 2010 melalui Bandara Polonia Medan
menggunakan pesawat udara Malaysia Air Lines dan datang ke Indonesia atas
undangan PT. Tjipta Rimba Djaja di Jalan KL. Yos Sudarso Km. 7,5 Medan, dengan
Short Visit Pass atau Bebas Visa Kunjungan Singkat serta menurut pengakuaannya :
Bahwa yang bersangkutan telah diperintahkan pihak pabrik CHEN-E Taiwan untuk
melakukan pekerjaan berupa memprogram dan mengontrol kinerja mesin pemotong
kayu dan mesin penyambung kayu pada PT. Tjipta Rimba Djaja yang telah terpasang
dan dibeli sekitar 6 (enam) bulan yang lalu dan apabila ada yang perlu diperbaiki
tentang kinerja mesin tersebut maka yang bersangkutan yang memperbaikinya, yang
bersangkutan juga mengaku sudah sering melakukan perjalanan ke Indonesia dan
melakukan perbaikan kinerja mesin selama kuarang lebih 6 (enam) tahun terakhir ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas Pejabat Imigrasi Kantor Imigrasi Belawan
berpendapat bahwa yang bersangkutan diduga kuat telah melanggar Pasal 50
Undang-undang No. 9 Tahun 1992 dan dapat dikenakan Tindakan Keimigrasian
berupa pengusiran atau deportasi.
Namun kasus serupa berbeda penanganannya dengan kasus yang terjadi pada
PT. WRP di Medan karena penanganan secara Administratif tidak bisa diterima oleh
pegawai dan buruh di lingkungan PT.WRP sehingga penyelesaian kasus PT. WRP.
diselesaikan secara Pro Justisia dengan memberlakukan Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 dan Hukum Acara Pidana sebagai dasar tindakannya hal ini
akan menimbulkan masalah baru jika dikemudian hari terjadi gugatan mengenai
Keimigrasian yang dikenakan pada Chen Long Chin tidak diterima, karena
bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh pihak Keimigrasian sangat
bertentangan dengan Pasal 19 KUHAP yang menerangkan bahwa penahanan dapat
dilakukan paling lama 1 (satu) hari atau 24 jam melebihi jangka waktu tersebut
tersangka harus dilepaskan apalagi pihak Keimigrasian melanggar Pasal 21 ayat (2)
dan (3) KUHAP tentang tembusan surat perintah penangkapan, penahanan ataupun
pengkarantinaan terhadap sanak keluarga atau sponsor pemohon praperadilan.
Tindakan Pihak keimigrasian sangat sewenang-wenang karena melakuan
penangkapan, penahanan atau pengkarantinaan, tidak didasarkan pada bukti
permulaan yang kuat.
Namun demikian pihak Keimigrasian berpendapat bahwa tindakan
penangkapan dan penahanan yang dilakukan merupakan tindakan administratif
keimigrasian yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
Keimigrasian, khususnya Pasal 1 ayat (14) yang menyatakan bahwa “tindakan
keimigrasian adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses
peradilan”. Tindakan Keimigrasian adalah keputusan Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersifat administratif diluar proses peradilan, tindakan keimigrasian ini dapat
dilakukan terhadap orang asing yang melakukan kegiatan yang berbahaya, tidak
menghormati atau menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Macamnya tindakan keimigrasian dapat berupa pembatalan ijin tinggal
(deportasi) sebagai upaya paksa. Karena ini merupakan tindakan administratif maka,
apabila masyarakat dirugikan akibat dari tindakan keimigrasian tersebut dapat
mengajukan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara dengan demikian Pengadilan
Negeri Medan tidak berwenang untuk memeriksa perkara pra peradilan tersebut.
Persoalan lain yang mendasar adalah masalah pengkarantinaan, ketentuan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, tidak
mengatur pengkarantinaan sebagai suatu tindakan pengekangan atau membatasi
kebebasan hak asasi manusia, melainkan hanya mengatur penempatan orang asing
yang telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan, di tempat
karantina imigrasi atau tempat lain. Pengkarantinaan orang asing dilakukan dengan
penempatan pada Lembaga Permasyarakatan atau rumah tahanan negara, belum ada
dasar hukum yang jelas menangani administrasi dan teknis dan biaya pelaksanaannya.
Dari sudut pandang Keimigraian berpendapat bahwa pengkarantinaan yang
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 mempunyai arti yang
berbeda dengan penahanan yang dimaksudkan dalam KUHAP, pengkarantinaan
merupakan tindakan keimigrasian terhadap orang asing yang diduga melakukan
pelanggaran keimigrasian yang diisolasi sementara untuk dipulangkan ke negara
asalnya (Deportasi), apabila orang asing berkeberatan atas tempat pengkarantinaan
tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Imigrasi, hal ini berbeda dengan
penahanan yang dimaksudkan dalam KUHAP.
Untuk menjamin penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap benturan antara
terbaik dan sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam falsafah negara kita,
Pancasila dimana hak dan kewajiban asasi warga masyarakat harus diletakkan dalam
keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas
sistem pemerintahan diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan
faktor yang sangat krusial dalam pemerintahan.4 Oleh karena itu tujuan peradilan
Tata Usaha Negara merupakan peradilan umum sebenarnya tidak semata-mata
memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga
melindungi hak-hak masyarakat.
Dari gambaran kasus Chen Long Chin di atas, persoalannya sekarang bahwa
ketentuan tentang tindakan keimigrasian dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1992 ada beberapa materi yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran yang antara
lain adalah :
1. Perumusan Pasal 42 ayat (1) yang menerangkan “Tindakan Keimigrasian
dilakukan terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang
melakukan kegiatan yang berbahaya atau patut diduga akan membahayakan
keamanan negara dan ketertiban umum atau tidak menghormati atau menaati
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.5 Sedangkan Pasal 50 menerangkan
bahwa “ orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan
4
Bismar Nasution, “Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance, Suatu Kajian Dari Pandangan Hukum dan Moral”, Makalah, disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Hukum Nasional RI, Medan, tanggal 1-2 Oktober 2003.
5
kegiatan yang tidak sesuai dengan pemberian ijin Keimigrasian yang diberikan
kepadanya, dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). 6
2. Perumusan Pasal 50 diatas menggariskan bahwa tindakan bagi orang asing yang
menyalahgunakan ijin keimigrasian adalah dengan tindakan pidana dimana
sebagai dasar atau pedoman dalam melakukan tindakan adalah Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana sedangkan dalam Pasal 42 ayat (1) dapat dikenakan
tindakan keimigrasian karena tidak mentaati peraturan perundang-undangan yang
berlaku, ayat (2) menerangkan ada 7 macam tindakan keimigrasian, dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pada satu sisi meliputi segala tindakan
administratif sedangkan pada sisi yang lain terdapat tindakan Pidana.
3. Sistimatika penempatan Pasal-Pasal tindakan keimigrasian tidak berurutan dan
tidak diletakkan atau disusun dalam suatu bab tersendiri, tetapi dalam hal ini perlu
adanya suatu kesepakatan pendapat terlebih dahulu, tentang pengertian dan
klasifikasi penindakan apa saja yang termasuk atau dapat disebutkan sebagai
tindakan keimigrasian.
Bertitik tolak dari permasalahan sebagaimana diuraikan di atas maka terlihat
jelas bahwa dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 terutama Pasal 42 dan
Pasal 50, nampak jelas bahwa dalam UU ini terdapat norma yang tidak jelas atau
kabur, sehingga konsekuensinya melahirkan berbagai penafsiran dalam hal
melakukan tindakan keimigrasian.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Jenis tindakan hukum apa saja yang dapat diberlakukan terhadap penyalahgunaan
Visa atau ijin Keimigrasian menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1992 ?
2. Mengapa tindakan secara Keimigrasian lebih banyak diberlakukan dalam
penanggulangan penyalahgunaan Visa dan Ijin Keimigrasian di Medan ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Secara umum tujuan penelitian ini, untuk mengetahui dan menjelaskan
tentang tindakan hukum apa saja yang dapat diberlakukan terhadap
penyalahgunaan Visa atau ijin Keimigrasian menurut Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1992.
2. Sedangkan secara khusus Tujuan Penelitian ini adalah Untuk mengetahui
tindakan mana yang paling tepat akan dikenakan apabila terjadi
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan pemikiran-pemikiran teoritis terhadap tindakan
keimigrasian yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi pemerintah
dalam penyempurnaan peraturan perundang-undangan, khususnya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian dan peraturan
pelaksanaannya.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi
aparat dilingkungan keimigrasian dalam melaksanakan tugas-tugasnya maupun
akademisi untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam
penelitian hukum normatif.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan kasus-kasus Keimigrasian yang terjadi di kantor
Imigrasi Belawan-Medan dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini serta penelusuran
kepustakaan yang dilakukan diperpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian
ini yang mengangkat judul ”Tindakan - tindakan Hukum Keimigrasian Dalam
Penanggulangan Penyalahgunaan Visa di Medan ” belum pernah dilakukan, baik
dalam judul dan permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran,
rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi Kerangka Teori
Dalam landasan ini akan dideskripsikan teori maupun azas-azas hukum yang
relevan dengan kewenangan, keputusan dan penindakan kasus keimigrasian. Azas
hukum yang dimaksudkan adalah unsur penting atau pokok, atau dasar-dasar umum
yang terkandung dalam peraturan hukum dan yang mengandung nilai-nilai etis.7
Pada landasan ini pula dilengkapi dengan pandangan-pandangan sarjana yang
berpengaruh. Pandangan-pandangan teoritik dimaksud untuk menjustifikasi
ketentuan-ketentuan konstitusional, peraturan perundang-undangan, dan
instrumen-instrumen hukum pemerintah, khususnya menyangkut kewenangan, keputusan dan
penindakan kasus keimigrasian.
Dalam melaksanakan fungsi pemerintahan, pemerintah selaku publik service
mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam melaksanakan pembangunan,
kewenang-wenangan itu harus dipergunakan dalam kerangka negara hukum, sehingga
tidak menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata.
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau
kewenangan disejajarkan dengan bevoeghieid, tetapi mempunyai perbedaan karakter.
Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat. Sedangkan wewenang
7
selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian, wewenang sejajar dengan
beuoeghed dalam hukum publik.8 Dalam hukum perdata jika seseorang atau suatu badan telah memenuhi kualifikasi tertentu yang ditentukan di dalam peraturan
perundang-undangan, maka berwenang mengadakan perjanjian menurut hukum
perdata. Hal itu dalam hukum perdata disebut dengan istilah mampu untuk berbuat
(handelingsbekwaam). Hubungan-hubungan dalam hukum perdata dapat dilakukan
sejauh tunduk pada hukum positif.9
Dalam teori hukum publik, wewenang merupakan inti dari hukum tata negara
dan hukum administrasi negara. Dalam hukum tata negara, wewenang dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum. Jadi wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Wewenang
terdiri atas minimal tiga unsur yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum.
Wewenang dapat pula dilukiskan sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat
hukum yang sah.
Dengan adanya unsur kekuasaan, maka wewenang merupakan legitimitasi
bagi dikeluarkannya keputusan-keputusan sepihak yang bersifat mengikat terhadap
orang lain. Pelaksanaan wewenang itu dapat melahirkan norma-norma hukum
material maupun hukum formal.
8
Philipus, M.Hadjon, Tentang Wewenang, Dalam Yuridika, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September – Desember 1997.
9
Philipus M. Hadjon mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh
wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa kadangkala,
mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi,
dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan, Philipus,
M.Hadjon secara tegas mengatakan bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh
kewenangan membuat keputusan yaitu atribusi dan delegasi.10
Sementara itu, Suwoto Mulyosudarmo dengan menggunakan istilah
kekuasaan mengemukakan bahwa, ada dua macam pemberian kekuasaan yaitu
perolehan kekuasaan yang sifatnya atribut dan perolehan kekuasaan yang sifatnya
derivatif. Perolehan kekuasaan secara derivatif dibedakan atas delegasi dan mandat.11
Atribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada organ
tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi wewenang
terutama ditetapkan di dalam konstitusi atau UUD. Pembentukan wewenang
pemerintahan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Di sini terjadi
pemberian wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-undangan
sehingga dilahirkan suatua wewenang baru.
Dengan demikian, pembentukan wewenang yang berdasarkan pada atribusi
nampak dari ciri-ciri sebagai berikut :
10
Philipus, M.Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Cet. 1 Yogyakarta Gajah Mada University Pres, hlm. 128-129.
11
a. Melahirkan wewenang baru;
b. Dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Legislator yang berkompeten untuk memberikan atribusi
wewenang pemerintahan dibedakan atas original legislator, seperti MPR
menetapkan UUD, dan Presiden bersama DPR membuat Undang-Undang dan
delegated legislator, seperti : Presiden menetapkan PP yang menciptakan
wewenang pemerintahan kepada organ tertentu.12
Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat suatu putusan oleh
pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak lain (delegetaris) dan wewenang itu
menjadi tanggung jawab dari delegetaris. Syarat-syarat delegasi adalah :
a. Harus difinitif, artinya bahwa delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah diserahkan.
b. Harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangana, artinya bahwa
delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan;
c. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak
diperkenankan ada delegasi;
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans
berwenang meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e. Merupakan peraturan kebijakan (beleids-regel), artinya bahwa delegans
memberikan instruksi tentang penguraian wewenang tersebut.
12
Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi wewenang.
Triepel membedakan delegasi atas primare dan secundare delegation.
Pembedaan itu dilakukan berdasarkan pada aspek kuantitas dan kualitas (sifat).
Primare delegation berkaitan dengan jumlah atau keluasan kewenangan yang
didelegasikan, yang dapat bertambah atau berkurang. Sedangkan secundare
delegation berkaitan dengan sifat kewenangan yaitu adakalanya bersifat zefstanding
atau zakelijk. Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan
(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberikan mandat (mandans). Di sini tidak perlu ada peraturan perundang-undangan yang melandasi,
karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan interen. Dengan demikian, di
sini tidak terjadi pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari
organ atau pejabat TUN yang satu kepada pejabat TUN yang lain. Jadi, wewenang
pemerintahan yang dilakuan oleh mandataris atas nama dan tanggungjawab mandat.
Ada perbedaan yang mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasia.
Pada kewenangan “atribusi” kewenangan itu sudah siap ditransfer, akan tetapi tidak
demikian dengan kewenangan “Delegasi”. Dalam kaitana dengan azas legalitas
kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya
mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai
kemungkinan delegasi.13
13
Berdasarkan pada paparan teori ini dalam hubungannya dengan permasalahan
akan mengkaji kewenangan pejabat keimigrasian dalam melakukan tindakan
keimigrasian.
Pandangan para sarjana mengenai keputusan yang merupakan tindakan
hukum tata usaha Negara, yang dijadikan sebagai titik tolak pembahasan adalah
pandangan WF Prins, Syahran Basah dan pandangan-pandangan sarjana lain yang
menunjang sebagai bahan pembanding seperti Van Der Pot serta pengertian
keputusan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Istilah-keputusan merupakan terjemahan dari istilah Beschikking yang berasal
dari bahasa Belanda sedangkan dalam bahasa Perancis disebut dengan istilah acte
administratif dan dalam bahasa Jerman disebut verwaltungsakt. Istilah beschikking di
Belanda pertama sekali diintroduksi oleh Van der Pot dan Van Vollenhown,
kemudian masuk ke Indonesia melalui E.Utrecht dan WF.Prins.14
Istilah beschikking di Indonesia ada yang menterjemahkannya dengan
ketetapan, seperti E.Utrecht, dan Sjachran Basah.15 Bahkan menurut Sjachran Basah,
beschikking lebih tepat digunakan untuk istilah ketetapan dan besluit untuk istilah
keputusan.
Beberapa sarjana hukum administrasiaa memberikan rumusan pengertian
beschikking sebagai berikut :
14
E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Balai Buku Indonesi, Jakarta.
15
Menurut E. Utrecht, Beschikking (ketetapan) ialah suatu perbuatan hukum
publik yang bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah berdasarkan suatu
kekuasaan istimewa.
W.F.Prins16 merumuskan Beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak
dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan
wewenang yang ada pada alat atau organ itu.
Salah satu prinsip atau asas negara hukum adalah asas legalitas. Asas ini
menentukan bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum.
Hukum harus menjadi sumber kekuasaan atau wewenang bagi setiap tindakan
pemerintah. Kekuasaan atau wewenang itu diperoleh pemerintah melalui attribusi.
Dengan attribusi pemerintah diberi kekuasaan atau wewenang untuk melakukan
sesuatu tindakan, dimana semuala kekuasaan atau wewenang untuk melakukan
tindakan itu tidak dimiiki pemerintah. Pemberian wewenang kepada pemerintah itu
harus dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Konsekuensi dari itu pemerintah akan dinyatakan tidak memiliki kekuasaan atau
wewenang untuk melakukan suatu tindakan, apabila hukum atau Undang-undang
tidak memberikan attribusi kekuasaan atau wewenang kepada pemerintah untuk
melakukan suatu tindakan.
Asas demikian ini menempatkan hukum sebagai sumber kekuasaan atau
wewenang bagi setiap pemerintah. Bagi suatua pemerintahan yang demokratis setiap
16
produk hukumnya haruslah ditetapkan dan disetujui oleh rakyat, sehingga hukum
benar-benar merupakan hasil rekayasa rakyat.
Hukum sebagai sumber kekuasaan pemerintah akan melahirkan kekuasaan
atau wewenang istiamewa bagi pemerintah melakukan aktivitasnya yang bersifat
hukum publik. Dengan demikian badan/pejabat tata usaha negara tanpa memiliki
dasar hukum berupa peraturan umum, tidak mempunyai wewenang untuk melakukan
tindakan yang mengikat secara umum.
Namun Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986, jo UU No. 9 Tahun 2004
apabila suatu keputusan ternyata dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha negara
yang tidak berwenang, maka keputusan tersebut dapat dinyatakan sebagai keputusan
yang “bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.17
Berdasarkan rumusan pengertian keputusan tersebut di atas dapat ditarik
unsur-unsur yuridis keputusan menurut hukum positip sebagai berikut : 18
1. Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oaleh Badan Pejabat Tata Usaha
Negara;
2. Berisi tindakan hukum tata usaha negara;
3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Bersifat konkrit, individual dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.
17
SF.Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif, Liberty, Yogyakarta, 1997.
18
Apabila unsur “tertulis” ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 5
Tahun 1986, yang menentukan bahwa apabila badan/pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan suatu keputusan yang dimohonkan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara. Jadi
jika waktunya telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan atau setelah lewat waktunya empat bulan sejak diterimanya permohonan,
tetapi badan atau pejabat tata usaha negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohonkan, maka badan atau pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Sikap pasif badan/pejabat tata usaha negara yang tidak mengeluarkan
keputusan itu, dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan
meskipun tidak tertulis. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif-negatif.19 Fiktif
artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah
mengeluarkan keputusan tertulis, tetapi dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan
tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu berupa penolakan terhadap
suatu permohonan. Dengan demikian keharusan suatu keputusan tertulis sebagai
kompetensi absolut peradilan administrasi menjadi tidak lagi mutlak.
Pada umumnya dalam hukum acara dikenal adanya kompetensi (kewenangan)
suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara. Kompetensi
tersebut dibedakan atas “kompetensi relatif dan kompetensi absolut”.
19
a. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif kewenangan suatu pengadilan ditentukan berdasarkan
wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya. Suatu pengadilan berwenang
memeriksa suatu sengketa, apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang
bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya.
Kompetensi relatif wilayah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dibedakan atas tiga daerah atau wilayah
hukum, masing-masing meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten dan propinsi.
Kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dapat dikaitkan dengan
pengadilan itu sendiri dan dapat pula dikaitkan dengan tempat kedudukan para pihak.
Pada dasarnya gugatan diajukan di tempat kedudukan tergugat dan bilamana tergugat
lebih dari satu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, gugatan dapat diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara tersebut.
Untuk membantu dan memudahkan masyarakat pencari keadilan, bersengketa
di Pengadilan Administrasi, maka apabila tempat kedudukan Tergugat tidak berada
dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Penggugat, gugatan dapat diajukan
ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat, untuk
selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan. Bahkan dalam hal-hal
tertentu gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Penggugat. Sedangkan bilamana Pengugat dan Tergugat berada di
Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.
b. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut berhubungan dengan kewenangan Pengadilan
Administrasi mengadili suatu sengketa menurut objek atau materi atau pokok
sengketa. Meskipun Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat digugat di Pengadilan
Administrasi, tetapi tidak semua tindakannya dapat diadili oleh Pengadilan
Administrasi.
Tindakan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat digugat di Pengadilan
Administrasi diatur di dalam Pasal 1 butir (3) dan Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986,
sedangkan tindakan selebihnya menjadi kompetensi Peradilan Umum atau Peradilan
(Tata Usaha) Militer atau bahkan untuk masalah pembuatan Peraturan (Regeling)
yang dibuat oleh Pemerintah dan bersifat umum, kewenangan untuk mengadilinya
berada pada Mahkamah Agung melalui Hak Uji Materiil.20
Kompetensi absolut Pengadilan Administrasi adalah “sengketa tata usaha
negara”. Sedangkan “sengketa tata usaha negara” menurut Pasal 1 butir (4) UU No. 5
Tahun 1986 adalah, Sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
20
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di atas disebutkan bahwa sengketa tata usaha negara timbul karena
dikeluarkannya “keputusana tata usaha negara”. Apakah Keputusan Tata Usaha
Negara itu? Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara secara stimulatif dituangkan di
dalam Pasal 1 butir (3) UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi : Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Di samping itu masih termasuk ke dalam kompetensi absolut Peradilan
Administrasi adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 3, yaitu dalam hal suatu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan suatu keputusan yang
dimohonkan kepadanya, sedangkan hal itu merupakan kewajibannya. Jangka waktu
untuk itu ditentukan empat bulan sejak permohonan diterima, jika peraturan
perundang-undangan tidak menentukannya. Tetapi apabila jangka waktu untuk itu
ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan dasarnya, maka digunakan batas
Konsepsi
Penanggulangan adalah proses cara, perbuatan menanggulangi.21
Penyalahgunaan adalah melakukan sesuatu tidak sebagaimana mestinya,
menyelewengkan, orang yang suka mementingkan kepentingan pribadinya.22
Keimigrasian adalah hal ihwal lalulintas oraang yang masuk atau keluar
wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara
Republik Indonesia23.
Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah pelabuhan, Bandar udara atau
tempat-tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri sebagai tempat-tempat masuk atau keluar wilayah
Indonesia.24
Visa untuk Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah ijin
tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan Republik
Indonesia atau di tempat lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
yang memuat persetujuan bagi orang asing untuk melakukan perjalanan ke wilayah
Indonesia.25
Tindakan Keimigrasian adalah tindakan administratif dalam bidang
keimigrasian di luar proses peradilan.26
21
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Indonesia, edisi ke 4, Departemen Pendidikan Nasional, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008
22
Ibid
23
Pasal 1, ayat 1,Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Pengusiran atau deportasi adalah tindakan mengeluarkan orang asing dari
wilayah Indonesia karena keberadaannya tidak dikehendaki.
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang
tertentu untuk keluar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
Penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang
tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.
Izin keimigrasian adalah izin yang resmi / sah yang diberikan oleh imigrasi yang
terdiri dari :
1. Izin Singgah yang diberikan kepada orang asing yang memerlukan singgah di
wilayah Indonesia untuk meneruskan perjalanan ke negara lain.
2. Izin kunjungan yang diberikan kepada orang asing yang berkunjung ke wilayah
Indonesia untuk waktu yang singkat dalam rangka tugas pemerintahan,
pariwisata, kegiatan sosial budaya atau usaha.
3. Izin Tinggal Terbatas yang diberikan kepada orang lain untuk tinggal di wilayah
Indonesia dalam jangka waktu terbatas.
4. Izin Tinggal Tetap yang diberikan kepada orang asing untuk tinggal menetap di
wilayah Indonesia.27
27
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal
research), untuk mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi
kendala pada tindakan-tindakan hukum dari suatu hukum administrasi, serta mengkaji
ulang konsep yang menjadi penyebabnya.
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan kasus. Kedua pendekatan ini digunakan untuk
mengetahui kesesuaian antara aturan-aturan dan kenyataan-kenyataan yang terjadi.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data hukum yang digunakan berupa data hukum
primer dan data hukum sekunder.
Data Hukum Primer terdiri atas : UUD 1945, Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 Tentang Keimigrasian dan Peraturan-peraturan dalam bidang
keimigrasian yang berkaitan dengan permasalahan.
Data Hukum Sekunder adalah Data hukum yang memberikan penjelasan
terhadap data hukum primer, yang berupa hasil-hasil karya ilmiah ahli hukum,
buku-buku dan majalah-majalah yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti serta
hasil-hasil penelitian hukum yang memberikan informasi tentang data hukum primer
Sedangkan sumber data primer didapat dari Wawancara jarak jauh dengan
pejabat Imigrasi Direktorat Jenderal Imigrasi di Jakarta serta didukung dengan
observasi dan pendapat dari pejabat Imigrasi di kota Medan khususnya di kantor
Imigrasi Belawan
4. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian
dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau
fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau
pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman).28
Analisa data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya
kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.29 Metode kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deksriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.30
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumauskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.31 Berdasarkan
pendapat Maria S.W. Sumardjono, bahwa analisis kualitatif dan analisis kuantitatif
tidak harus dipisahkan sama sekali apabila digunakan dengan tepat, sepanjang hal itu
28
Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofi dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Apalikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.
29
Lexy J.Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.103.
30
Ibid., hlm.3.
31
mungkin keduanya dapat saling menunjang.32 Analisis kualitatif itu juga dilakukan
metode interprestasi.33 Berdasarkana metode interprestasi ini, diharapkan dapat
menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa badan hukum primer, sekunder
dan tertier, kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif,
yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis secara induktif dan atau
deduktif untuk dapat memberikan gambaran secara jelas jawaban atas permasalahan
yang ada, pada akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif.
32
Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Penyelesaian Karya Ilmiah Di Bidang Hukum (Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis dan Disertasi), Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2003. hlm.47.
33