• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Program Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHATY Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Program Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHATY Medan"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PROGRAM PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT

(PKBM) di YAYASAN EMPHATY MEDAN

Disusun

Mirza Irfandi Firhadi Sembiring

040902032

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Layanan alternatif yang diprogramkan di luar sistem persekolahan tersebut bisa berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal sistem persekolahan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Dimana data yang diperoleh dari informan dari hasil wawancara, yang kemudian diolah dan dianalisis sehingga mendapatkan gambaran mengenai keadaan sebenarnya bagaimana implementasi kegiatan yang dilakukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan. Subjek dalam informan penelitian ini sebanyak 6 orang yang terbagi atas pengelola lembaga atau tutor dan warga belajar Kejar Paket B dan Kejar Paket C, yang menjadi informan untuk pengelola PKBM adalah pimpinan, staf, dan

pekerja sosial (tutor) beserta warga belajar di PKBM EMPHATY yang berjumlah 3 orang pengelola PKBM EMPHATY beserta tutor dan yang menjadi informan dari warga belajar adalah 3 orang warga belajar Paket C serta 3 orang dari Paket B.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Implementasi Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan adalah (1) Implementasi Program Pendidikan Kesetaraan oleh PKBM EMPHATU berjalan dengan benar, hal ini dilihat dengan adanya warga belajar, tenaga pengajar (tutor) dan melakukan proses

pembelajaran, (2) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan kurang dapat perhatian terutama permasalahan dana dari pemerintah atau dinas terkait da hal ini berdampak kepada kurang maksimalnya implementasi program pendidikan kesetaraan (3) Tenaga pengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHAT Medan memiliki loyalitas yang tinggi kepada PKBM EMPHATY Medan

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbila’lamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayah serta karunia-NYA sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Adapun skripsi ini oleh penulis diberi judul “ Implementasi Program Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHATY Medan”.

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

baik dilihat dari gaya bahasa maupun kedalaman materinya, hal ini dikarenakan

kemampuan dan pengetahuan penulis masih sangat terbatas serta kurangnya literatur

yang berhubungan dengan pembahasan dengan itu penulis mengharapkan kritik dan

saran yang konstruktif sebagai salah satu upaya penyempurnaan skipsi ini.

Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Khairani Siregar, S.Sos, M.SP selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Seluruh Staf pengajar di Departemem Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU yang

telah memberikan bekal ilmu serta kelancaran dalam proses penyusunan dan

penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh teman-teman di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU yang telah

banyak memberikan masukan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga atas segala bantuan dan dukungan mereka dapat menjadi amal soleh

dan mendapat balasan dan Rahmad yang setimpal dari Allah SWT.

Medan, Juni 2011

Penulis,

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini di pertahankan oleh :

NAMA : MIRZA IRFANDI SEMBIRING

NIM : 04 0902 032

JUDUL : IMPLEMENTASI PROGRAM PUSAT KEGIATAN BELAJAR

MASYARAKAT

(PKBM) EMPHATY MEDAN.

Medan, Juni 2011

Pembimbing

(Hairani Siregar, S.Sos,MSP) NIP. 19710927 199801 2 001

Ketua Departemen

Hairani Siregar, S.Sos, M.SP NIP.19710927 199801 2 001

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(5)

DAFTAR ISI

Abstrak ……….………. i

Daftar Isi ……… ii - iv BAB I PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang Maslah ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 23

1.3. Tujuan Penelitian ………... 23

1.4. Manfaat Penelitian ………... 23

1.5. Sistematika Penulisan... 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………... 26

PNF Berbasis Masyarakat ...……... 26

II.1.Konsep Tentang Implementasi Program ………... 40

II.1.1. Pengertian Implementasi ... 40

II.1.2. Program ... 41

II.1.3. Implementasi Program ... 42

II.2. Konsep Pendidikan ... 43

(6)

II.2.2. Pendidikan Non Formal ... 44

II.3. Pendidikan Kesetaraan ... 45

II.3.1. Pendidikan Pengertian Kesetaraan ... 45

II.3.2. Program Pendidikan Kesetaraan ... 46

II.3.3. Tujuan Pendidikan Kesetaraan ... 47

II.3.4. Sasaran Pendidikan Kesetaraan ... 47

II.3.5. Kurikulum Pendidikan Kesetaraan ... 48

II.3.6. Pendidik dan Tenaga Kependidikan ... 49

II.3.7. Peserta Didik ... 50

II.3.8. Sarana dan Prasarana ... 51

II.3.9. Pengelolaan ... 52

II.3.10. Pembiayaan ... 54

II.3.11. Dasar Hukum ... 54

II.3.12. Teori-Teori yang Berkaitan Dengan Pendekatan Pendidikan Kesetaraan ... 55 II.4. PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) ... 56

II.5. Kerangka Pemikiran ... 57

II.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional ... 59

II.6.2 Definisi Operasional... 60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 61

III.1. Jenis Penelitian ... 61

(7)

III.3. Subjek Penelitian ... 62

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 62

III.5. Teknik Analisa Data ... 64

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 65

IV.1. Sejarah Berdirinya Yayasan EMPHATY Medan ... 65

IV.2. Visi dan Misi Yayasan EMPHATY Medan ... 66

IV.3. Susunan Kepengurusan ... 67

IV.4. Struktur Organisasi ... 69

14.4.1. Struktur Organisasi Yayasan EMPHATY ... 69

IV.4.2. Struktur PKBM EMPHATY Medan ... 70

IV.5. Pogram Kerja Yayasan EMPHATY Medan ... 70

IV.6. Sasaran Program ... 74

IV.7. Lokasi Binaan ... 74

IV.8. Sarana dan Prasarana Lembaga ... 74

BAB V ANALISA DATA ... 77

V.1. Program Pendidikan Kesetaraan ... 77

V.I.1. Program Paket B ... 82

V.I.I.1. Peserta Didik ... 82

V.I.1.2. Jadual Belajar ... 88

V.I.2. Program Paket C ... 90

(8)

V.I.2.2. Jadual Belajar ... 94

V.1.2.3. Tenaga Belajar ... 94

V.2. Keterlibatan PKBM EMPHATY Medan dalam pelaksanaan program pendidikan kesetaraan ... 99 V.3. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Ujian ... 99

V.4. Mata Pelajaran dan Standart Kelulusan UNPK ... 100

V.5. Susunan Kepanitian UNPK ... 101

V.6. Pendanaan Pendidikan Kesetaraan ... 102

BAB VI PENUTUP... 105

VI.1. Kesimpulan ... 105

VI.2. Saran ... 105

(9)

ABSTRAK

Pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Layanan alternatif yang diprogramkan di luar sistem persekolahan tersebut bisa berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal sistem persekolahan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Dimana data yang diperoleh dari informan dari hasil wawancara, yang kemudian diolah dan dianalisis sehingga mendapatkan gambaran mengenai keadaan sebenarnya bagaimana implementasi kegiatan yang dilakukan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan. Subjek dalam informan penelitian ini sebanyak 6 orang yang terbagi atas pengelola lembaga atau tutor dan warga belajar Kejar Paket B dan Kejar Paket C, yang menjadi informan untuk pengelola PKBM adalah pimpinan, staf, dan

pekerja sosial (tutor) beserta warga belajar di PKBM EMPHATY yang berjumlah 3 orang pengelola PKBM EMPHATY beserta tutor dan yang menjadi informan dari warga belajar adalah 3 orang warga belajar Paket C serta 3 orang dari Paket B.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Implementasi Program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan adalah (1) Implementasi Program Pendidikan Kesetaraan oleh PKBM EMPHATU berjalan dengan benar, hal ini dilihat dengan adanya warga belajar, tenaga pengajar (tutor) dan melakukan proses

pembelajaran, (2) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMPHATY Medan kurang dapat perhatian terutama permasalahan dana dari pemerintah atau dinas terkait da hal ini berdampak kepada kurang maksimalnya implementasi program pendidikan kesetaraan (3) Tenaga pengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM EMPHAT Medan memiliki loyalitas yang tinggi kepada PKBM EMPHATY Medan

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

(11)

Belajar harus dipandang sama dengan “living, and living itself is a process of problem finding and problem solving”. We must learn from everything we do, we must exploit every experience as a learning experience. Every institution in our community—government on non-government agencies, stores, recreational places, organizations, churches, mosques, fields, factories, cooperatives, associations, and the like becomes resources for learning, as does every person we access to parent, child, friend, service, provider, docter, teacher, fellow worker, supervisor, minister, store clerk, and among ethars, Learning means making use of every resources-in or out of educational institutions-for our personal growth and development. Even the word is regarded as a classroom.(Knowles, 1975).

Perubahan, pengembangan dan perluasan pendidikan non-formal memberikan suatu apresiasi dan nuansa baru terhadap cara-cara pendidikan non-formal dalam menyediakan pendidikan bagi masyarakat, terutama orang dewasa, baik bagi mereka yang tidak memiliki akses kepada pendidikan formal maupun mereka yang pendidikan formalnya terbukti tidak memadai dan tidak relevan dengan kehidupan dan situasi yang berkembang di lingkungannya (masyarakat).

(12)

butuhkan untuk bersaing secara terbuka dan gamblang dalam masyarakat teknologis (Srinivasan, 1977).

Proses pendidikan itu mengembang ke luar dari sistem-sistem formal terstruktur, ke dalam suatu sistem konfigurasi baru dari suatu rangkaian pemikiran dan pengalaman yang terpisah secara melebar, dan jenis pertemuan lainnya dengan mendayagunakan fasilitas yang tersedia. Peran pendidikan non-formal sebagai komplemen, suplemen maupun substitusi pendidikan non-formal (persekolahan) merupakan suatu konfigurasi yang contextual based and life-relefant, sehingga mampu mewujudkan program/kegiatan pendidikan non-formal yang strategis dan fungsional bagi masyarakat.

(13)

Ada beberapa peran masyarakat tertentu dalam pendidikan non-formal di antaranya adalah: Masyarakat ikut membangun PKBM, sanggar-sanggar kegiatan belajar lain, magang, Kejar Usaha Produktif, Pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren memberikan bekal kepada santri tidak hanya dalam bentuk pendidikan agama akan tetapi sudah mulai bergeser pada pendidikan umum, dan keterampilan wirausaha sebagai bekal hidup dan kehidupannya di masyarakat. Sosialisasi usaha pendidikan secara luas melalui organisasi masyarakat dalam dunia pendidikan dikenal juga dengan sebutan “learning society”. Begitu pula bekal-bekal pendidikan dan keterampilan yang berhubungan dengan mata pencaharian lainnya. (pertanian, perikanan, industri rumah tangga).

Terciptanya masyarakat gemar belajar (learning society) memberikan nuansa baru dan ruh pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini dicermati sebagai suatu wujud nyata model pendidikan sepanjang hayat. Iklim tersebut mendorong terbukanya kesempatan setiap orang, organisasi dan institusi sosial, industri dan masyarakat untuk belajar lebih luas; tumbuhnya semangat dan motivasi untuk belajar mandiri (independent learning) untuk memenuhi kebutuhan sepanjang hayat, dan memperkuat keberdaya-didikan (educability) masyarakat agar selalu mendidik diri dan masyarakat di lingkungannya, adalah merupakan sisi positif dari lahirnya konsep- konsep yang mendasari pendidikan non-formal dalam membangun kemandirian bangsa.

(14)

sesuai potensi, keterampilan dan kecakapannya. Meta konsep educability memungkinkan masyarakat (warga belajar) “fully able to take advantage of any available educational opportunities” (Saraka, 2000), lebih giat belajar dan mencari informasi baru yang berkaitan dengan kepentingan hidupnya.

I.2. Masalah dan Tantangan Pendidikan NonFormal

Permasalahan pendidikan nonformal bukan hanya sekedar persoalan masyarakat yang buta aksara, angka dan buta Bahasa Indonesia. Akan tetapi permasalahan pendidikan nonformal semakin meluas seperti: ketidak jelasan penyelenggaraan pendidikan noformal (standar-standar penjaminan mutu pendidikan nonformal), ketidak jelasan sistem insentif bagi pendidik dan tenaga kependidikan nonformal, masih banyaknya lembaga penyelenggara pendidikan nonformal yang belum profesional, kurangnya lembaga penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal. Permasalahan lain yang berkaitan dengan program-program pendidikan nonformal adalah masalah sasaran didik (warga belajar) yang selalu bergulat dengan: masyarakat miskin, terdiskriminasi, penganggur, masyarakat yang kurang beruntung, anak jalanan, daerah konflik, traffiking, penganggur, masyarakat pedalaman, daerah perbatasan dll. Di samping itu pula persoalan pendidikan nonformal juga terletak pada tidak adanya kepedulian kita sebagai masyarakat yang melek pendidikan terhadap keberadaan pendidikan nonformal dan kondisi masyarakat sekitar.

(15)

bonnieleonard.multiply.com/journal/item/5, rata-rata masyarakat miskin tersebut tidak memperoleh pendidikan yang layak bagi anak-anaknya dan dalam kondisi yang buta huruf (Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat menyebutnya dengan buta akasara, angka latin dan Bahas Indonesia atau berkeaksaraan rendah/buta aksara parsial), pengangguran, tinggal dipemukiman kumuh, daerah perbatasan, daerah pedalaman, pulau terluar, tidak terakses sekolah dll. Jumlah penduduk dunia yang butu huruf mencapai 771 juta jiwa. Pada hari anak nasional Komisi nasional perlindungan anak 11 juta Anak Indonesia buta aksara. (data 23 Juli 2009) perhatian adalah tingginya angka pengangguran baik penganggur terdidik maupun penganggur yang betul-betul tidak memiliki pendidikan pada tahun 2010 angka pengangguran terdidik bertambah 1,1 juta jiwa. Angka pengangguran di Indonesia berada pada kisaran 10 %, angka ini akan bertambah menjadi 16, 92 % apabila pemerintah jadi menaikkan BBM. www.detikfinance.com. Menarik untuk disimak bahwa struktur pengangguran terbuka angka tertinggi dihuni oleh penduduk yang tidak tamat SD, tamat SD, DO SMTP dan tamat SMTP.

(16)

penelitian, Kemendiknas, 2008). Di Hongkong ada + 120.000 TKI dimana sebagian besar dari mereka tidak tamat SMP. (Kamil, 2010).

Sementara itu Dirjen PNFI baru mampu menyentuh persoalan-persoalan tersebut tidak lebih dari 15 %, seperti digambarkan pada tabel sasaran prioritas Program PNF sebagai berikut:

Tabel 1 Sasaran Prioritas Program PNF

PROGRAM PLS Sasaran Sasaran prioritas

Kursus dan life skill Penduduk tidak bekerja/miskin

Penganggur terbuka

15 + = 10,2 juta

1,5 juta 105 ribu

(17)

Dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan pendidikan itu Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Infromal telah menyusun kebijakan strategis terutama dalam menyelesaikan sasaran prioritas, program strategis itu meliputi:

1. Memperluas aksess anak usia 0-6 tahun, dengan perluasan akses PAUD; diharapkan APK PAUD mencapai 35% pada tahun 2009.

2. Memperluas kesempatan bagi anak usia sekolah 7-15 tahun yg tak terlayani melalui jalur pendidikan formal; dengan pengembangan

pendidikan layanan khusus untuk daerah terpencil, berpenduduk terpencar, bencana, konflik, dan anak jalanan melalu kejar Paket-A/B; ditargetkan pada tahun 2009 bahwa A menangani 25% putus sekolah SD; Paket-B menangani 50% lulusan SD yang tak melanjutkan dan 50% anak putus sekolah SD; sedangkan Paket-C menangani 50% lulusan SMP/MTs yang tak melanjutkan dan 25% anak putus sekolah SMA/MA.

3. Memperluas kesempatan akses bagi penduduk butaaksara usia 15 tahun ke atas; dengan perluasan akses pendidikan keaksaraan; diharapkan angka buta aksara tingal 5% pada tahun 2009.

4. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat; di antaranya dengan pendidikan kecakapan hidup bagi anak dari keluarga miskin atau orang dewasa miskin atau pengangguran; ditargetkan pada tahun 2009 mencapai 15% anak usia >15 tahun mengikuti pendidikan kecakapan hidup.

(18)

Tantangan pendidikan nonformal bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas, akan tetapi tantangan utama Pendidikan Nonforamal adalah masih banyaknya masyarakat yang belum mengerti dan mengenal secara jelas tentang keberadaan dan peran pendidikan nonformal di tengah-tengah mereka. Seringkali masyarakat bertanya tentang apa itu PLS (pendidikan luar sekolah), apa itu PKBM, apalagi tentang PNF (pendidikan nonformal) sebagai istilah baru (sebutan lain bagi PLS). Berdasar pada Undang Undang sistem pendidikan nasional, PLS merupakan sub sistem dari pendidikan nasional.

(19)

Seperti diketahui, bahwa Pendidikan Nonformal bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan individual itulah yang dominan menjadi karakteristik pendidikan nonformal di negara-negara maju Barat. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang (Dunia Ketiga), pendidikan nonformal tidak sekedar bertujuan untuk melayani kebutuhan individual seperti di negara-negara maju Barat, tetapi juga untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial (social goals) sesuai dengan misi pembangunan nasional masing-masing negara, termasuk di dalamnya misi pemberantasan buta aksara, pemberdayaan kaum perempuan, pemberdayaan masyarakat daerah-daerah tertinggal, daerah pedalaman, suku trasing, daerah perbatasan dan dipulau-pulau luar. Kesertaan menjadi warga belajar pada pendidikan nonformal yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan individual lazimnya atas pilihan sukarela, yaitu mengikuti suatu program atas kehendak dan pilihannya sendiri. Sedangkan kesertaan sebagai warga belajar pada program pendidikan nonformal yang tergolong bertujuan sosial (untuk memenuhi social goals) umumnya atas dasar suatu kewajiban sosial guna menyukseskan cita-cita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Rogers, 1993: 1-2).

(20)

Meskipun pendidikan formal merupakan komponen penting dalam pendidikan sepanjang hayat. Akan tetapi, peran pendidikan nonformal dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat bagi masyarakat tertentu sangat dibutuhkan saat ini dan kedepan. Pendidikan nonformal menjadi bagian dari pembicaraan internasional terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan tentang pendidikan pada era sebelum tahun 1960 dan akhir tahun 1970-an. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana kaitan antara konsep pendidikan berkelanjutan dengan konsep pendidikan sepanjang hayat. Tight (1996:68) mengajukan konsep tentang penyatuan pendidikan extention dan belajar sepanjang hayat secara utuh dan menyeluruh, sehingga untuk menyatukan itu pendidikan nonformal dianggap memiliki peran dalam ‘acknowledging the importance of education, learning and training which takes place outside recognized educational institutions‘. Begitu pula dengan yang diungkapkan Fordham (1993), menyatakan bahwa sejak tahun 1970-an, ada empat karakteristik dasar yang berkaitan dengan peran strategik pendidikan nonformal di masyarakat: a) relevan dengan kebutuhan kelompok masyarakat (orang-orang) yang tidak beruntung, b) ditujukan dan memiliki perhatian khusus pada kategori sasaran-sasaran tertentu, c) terfokus pada program yang sesuai dengan kebutuhan, d) fleksibel dalam pengorganisasian dan dalam metoda pembelajaran.

(21)

non-formal education (NFE) today. And it is significant that this interest comes not so much from the so-called ‘Third World‘ (I use this term to refer to poor countries in receipt of aid from rich countries, because many other persons use it as a short-hand). The assembly recognizes that formal educational systems alone cannot respond to chalange of modern society and therefore welcomes to reinforcement by nonformal education. (Alan Rogers, 2004).

Namun demikian dalam membahas pendidikan nonformal selayaknya tidak terlepas dari konsep yang mendasari bagaimana pendidikan nonformal berkembang dengan utuh sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya, oleh karena itu keterkaitan analisis antara pendidikan nonformal dengan community learning, informal education, dan social pedagogi merupakan sesuatu hal yang tetap harus manjadi acuan.

(22)

dirasakan di tengah-tengah masyarakat (Freire 1972 dan kawan-kawan). Berbagai lembaga pendidikan nonformal dan lembaga lain dibidang pendidikan melakukan intervensi kuat serta mendorong terjadinya perubahan di bidang pendidikan khususnya di negara-negara barat termasuk Amerika Serikat. Di Amerika Serikat perubahan pendidikan dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah akademik, seperti yang dilakukan di pusat-pusat penelitian, tempat konsultasi, publikasi dan laporan-laporan lainnya.

Pada banyak hal pendidikan nonformal dirasakan sebagai sebuah formula yang sangat ideal serta lebih resfect dibandingkan dengan pendidikan formal. Namun demikian kita tetap harus merasa bahwa pendidikan nonformal tetap merupakan bagian dari sistem pendidikan yang keberadaannya tidak dapat terpisahkan dengan pendidikan formal apalagi dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Sehingga tidak dirasakan, bahwa pendidikan nonformal lebih hebat dari pendidikan formal, atau pendidikan nonformal lebih rendah dari pendidikan formal. Namun itu harus tetap menjadi catatan penting agar pendidikan formal tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat Pigozzi, menyebutkan bahwa: It could even be described as a temporary ‘necessary evil’ in situations of crisis until formal schooling could be restored (Pigozzi, 1999).

(23)

hati-hati, karena ada sebagian Negara yang menerjemahkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Seperti halnya di Jepang secara implementatif pendidikan nonformal tidak terlalu dikenal secara utuh, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Masyarakat dan pemerintah Jepang menganggap bahwa pendidikan sosial (social education) itu adalah pendidikan nonformal, karena program-program yang dikembangkan social education sama dengan program-program yang dikembangkan pendidikan nonformal, seperti pendidikan untuk orang dewasa, pendidikan keterampilan dan pendidikan untuk masyarakat pada umumnya melalui Citizens’ public halls atau dikenal dengan Kominkan (community cultural learning centre).

Pada negara-negara lainpun program-program pendidikan, seperti halnya pengembangan sekolah dan perguruan tinggi, dilakukan oleh menteri pendidikan termasuk di dalamnya program (kelas) pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa. Ada negara yang mengembangkan pendidikan nonformal oleh lembaga non pemerintah (NGOs), ada yang mengembangkan pendidikan nonformal melalui penyatuan antara pendidikan sekolah dan kegiatan-kegiatan pelatihan di masyarakat yang secara langsung dibina oleh kementrian (pemberdayaan perempuan, kesehatan, tenaga kerja, pemuda dan olah raga serta kebudayaan).

(24)

komersial, serta berbagai lembaga sosial lainnya seperti (keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan gerakan sosial lainnya).

Sejak tahun 1986 diskusi dan debat tentang masalah pendidikan nonformal dikategorikan sebagai bagian dari sejarah panjang tentang pendidikan. Akan tetapi mulai penghujung abad 20 pembicaraan tentang dikotomi pendidikan nonformal sudah mulai berkurang baik dalam jurnal-jurnal, surat kabar maupun majalah pendidikan lainnya, sejalan dengan sudah meningkatnya pemahaman dan kebutuhan akan pendidikan nonformal di tengah-tengah masyarakat. Terutama sejak pesatnya penyelenggaraan program pendidikan nonformal bagi Negara-negara berkembang.

(25)

Pendidikan nonformal lahir dari pemikiran tentang konsep learning society dan konsep lifelong learning. Learning society lahir dan berkembang sejalan dengan lahirnya peradaban dan pemahaman tentang nilai-nilai pengalaman (pendidikan), nilai-nilai pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan sebagai landasan hidup dan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Pada proses itulah masyarakat saling mengenal saling belajar saling berkomunikasi dan saling menghargai diantara sesamanya. Djudju Sudjana menjelaskan dalam bukunya Pendidikan Luar Sekolah: ”….istilah pendidikan luar sekolah” telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini. Setelah jumlah manusia makin berkembang, situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. Djudju Sudjana (2000:63).

(26)

prinsip dasar dan landasan dalam proses pembelajaran dan pengembangannya. Sebagai sebuah contoh tentang lahirnya pondok pesantren, sebagai sebuah lembaga yang berdasar kepada pemikiran regenerasi Islam, bagaimana pengetahuan tentang keIslaman diturunkan dan disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat melalui media da’wah atau media lainnya. Begitu pula dengan lahirnya konsep social education atau lahirnya Kominkan di masyarakat Jepang.

Berikut ini daftar para pemikir dan pencetus lahirnya konsep pendidikan nonformal baik perorangan maupun lembaga

Tabel 2. Daftar Pemikir dan Pencetus Gerakan Pendidikan Nonformal

Nama Konsep dan Pemikiran yang dikembangkan Paulo Freire

1921-1997

Pendidikan nonformal adalah obat mujarab bagi seluruh penyakit pendidikan di masyarakat. Pemikiran dan konsep-konsepnya memberikan keleluasaan kepada pendidikan nonformal untuk tumbuh dan berkembang dalam melayani masyarakat, dan sebagai pendidikan alternatif di luar pendidikan formal.

Konsep pemikiran yang paling terkenal dilahirkan Freire adalah tentang penyadaran, dikenal dengan istilah” conscientization”. Konsep ini menggambarkan tentang penyadaran diri masyarakat terhadap lingkungannya, kesadaran diri menurutnya hanya bisa dilakukan melalui pendidikan ”pembebesan”.

(27)

currently one of the most quoted educational texts. Ivan Illich

Deschooling Society (1971), pemikirannya telah memberikan jalan bagi pembaharuan pendidikan khususnya terhadap perubahan belajar (learning revolution) di lingkungan masyarakat agar terjadi perubahan budaya. Salah satu konsepnya tentang jaringan belajar (creation of learning web) dapat dilakukan melalui peer-matching system (pengelompokkan teman sejawat). Dengan konsep- konsepnya sehingga membangkitkan pemikiran untuk melahirkan pendidikan yang lebih inovatif, kreatif, partisipatif dan demokratis.

UNESCO

1972

Dalam laporannya telah melahirkan gagasan tentang Learning To be, dimana konsepnya diambil dari pemahaman tentang lifelong learning dan learning society, sehingga lifelong learning menjadi master konsep dalam pengembangan sistem pendidikan dan khususnya pengembangan konsep pendidikan nonformal.

Phillip Coombs dan Manzoor Ahmed (1974)

(28)

ideal tentang bagaimana membangun dan menyiapkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebutuhan warga belajar, mulai dari penyiapan kurikulum, tujuan pembelajaran, waktu, materi pembelajaran, sistem pembelajaran dan kontrol (pengawasan) bagi penyelenggaraan pendidikan nonformal yang lebih maju. Disamping itu pula simkins melahirkan tentang negotiated curriculum (fleksible kurikulum) antara formal dan nonformal (continuum)

ICED (The

International Council of Educational Development) 1977

Dalam laporannya telah melahirkan gagasan tentang kelompok program pendidikan nonformal yang diarahkan bagi daerah pedesaan ”Education for rural Development”. Kelompok program tersebut diarahkan sesuai dengan; tujuan belajar, warga belajar, dan jenis program: 1) pendidikan pemberantasan buta aksara, 2) pendidikan berorientasi dunia kerja, 3) pendidikan keluarga, 4) latihan usaha tani bagi pemuda dan orang dewasa, 5) latihan produktif di luar sektor pertanian, 6) latihan kewirausaan, 7) latihan kepemimpinan bagi kepala daerah dll.

Suzanne Kindervatter

(1983)

Proses Pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan pendidikan. Suzanne melahirkan 4 pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat.

1) Community organization, ialah karakteristik yang mengarah pada tujuan untuk mengaktifkan masyarakat dalam usaha meningkatkan dan mengubah keadaan sosial ekonomi mereka.

(29)

mendukung dan memperkecil adanya perbedaan status, serta perlu adanya pembagian peranan.

3) Participatory Approaches, yaitu pendekatan yang menekankan pada keterlibatan setiap anggota (warga belajar) dalam keseluruhan kegiatan, perlunya melibatkan para pemimpin serta tenaga-tenaga ahli setempat.

4) Education for justice, yaitu pendekatan yang menekankan pada terciptanya situasi yang memungkinkan warga belajar tumbuh dan berkembang analisisnya serta memiliki motivasi untuk ikut berperan.

Dengan melebarnya pelaksanaan pendidikan non-formal sesuai dengan kondisi dan konsep pendidikan sepanjang hayat, serta menjaga mutu dan sensitivitas pendidikan non-formal di tengah-tengah masyarakat, maka lima strategi dasar yang perlu dikembangkan melalui pendidikan nonformal adalah :

1. Pendekatan kemanusiaan (humanistic approach), masyarakat dipandang sebagai subjek pembangunan. Masyarakat diakui memiliki potensi untuk berkembang dan sedemikian rupa ditumbuhkan agar mampu membangun dirinya.

2. Pendekatan partisipatif (participatory approach), mengandung arti, bahwa masyarakat, lembaga-lembaga terkait, dan atau komunitas

dilibatkan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan masyarakat. 3. Pendekatan kolaboratif (collaborative approach), dalam pembangunan

(30)

4. Pendekatan berkelanjutan (continuation approach) pembangunan

masyarakat dilakukan secara berkesinambungan, untuk itulah pembinaan kader yang berasal dari masyarakat adalah hal yang paling pokok.

5. Pendekatan budaya (cultural approach) penghargaan budaya dan

kebiasaan, adat istiadat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dalam pembangunan masyarakat adalah hal yang perlu diperhatikan. (Djudju Sudjana, 2000)

Dengan kelima strategi tersebut, maka pendidikan non-formal seperti apa yang dibutuhkan masyarakat dalam arti program pendidikan non-formal yang mampu menyentuh dan mengangkat masyarakat menjadi lebih baik dalam kehidupannya (better living) yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan (ekonomi), kesadaran akan lingkungan sosialnya, atau masyarakat yang mengerti dan memahami bagaimana membangun dirinya.

Mengacu pada prinsip dan strategi dasar yang perlu diperhatikan pendidikan non-formal dalam rangka perannya di masyarakat adalah:

1. Mengembangkan program-program pendidikan non-formal yang mampu mengembangkan masyarakat, sehingga mereka memilki daya suai (adaptability), daya lentur (flexibility), inovatif dan entrepreneurial attitudes and aptitudes.

(31)

maupun jenis program pendidikan lain yang mampu menyentuh kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat (felt needs).

3. Menemukenali permasalahan-permasalahan masyarakat yang dapat dijadikan atau disentuh melalui peran-peran dan tugas-tugas pendidikan non-formal secara nyata dengan tetap menjaga orisinalitas asas pembangunan masyarakat oleh dan untuk masyarakat itu sendiri (community itself)

4. Mengembangkan program-program pendidikan non-formal dengan tetap mengacu pada teknologi pendidikan non-formal yang serba baru dan inovatif serta berbiaya murah.

Salah satu lembaga satuan pendidikan nonformal yang saat ini memberikan layanan pendidikan nonformal kepada masyarakat adalah PKBM (Cummnunity Learning Center). Jumlah PKBM di Indonesia sampai tahun 2006 mencapai 3.064, pada tahun 2010 PKBM meningkat jumlahnya mencapai 4014, dari jumlah tersebut PKBM yang terakreditasi baru sekitar 93 (2,32%) lembaga, PKBM negeri sekitar 95 (2,37%) Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Jumlah dan Kepemilikan PKBM

No. Kepemilikan/Pendiri Akreditasi Jumlah %

1 PKBM Negeri 95 2,37

2 Yayasan/Ormas 2226 55,46

(32)

4 Lembaga keagamaan/pesantran 873 21,75

5 Kerjasama lembaga asing 13 0,32

6 Perorangan 625 15,57

7 Lainnya 153 3,81

Jumlah 4014 100,00

Dirjen PNFI Direktorat Pendidikan Masyarakat 2010

(33)

telah dilakukan Pemerintah Jepang terhadap Kominkan melalui shakai kyoiku atau aturan tentang life long learning promotion low tahun 1990.

Seperti dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kehadiran pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah), tentu saja dimaksudkan dan diharapkan untuk dapat memberikan layanan terbaik yang bermutu sehingga benar-benar bisa menjawab kebutuhan belajar masyarakat (peserta didik) yang menghajatkannya (Sanafiah Faisal, 2007). Untuk itu, diperlukan kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan yang dapat diandalkan. Karena, keberlangsungan beserta kinerja bermutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal akan sangat bergantung pada kemampuan dan profesionalisme mereka, lebih-lebih dalam pengorganisasian program pembelajaran di luar sistem persekolahan yang menuntut lebih banyak terobosan dan keluwesan di dalam memenuhi kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi masyarakat sebagai peserta didik (Smith dan Offerman, 1989, 249-257; Elting, 1975: 21-22).

(34)

profesional (Wilson dan Hayes, 2000: 18). Itu menunjukkan betapa pentingnya standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal yang sejalan dengan tuntutan profesionalisasi program layanan pendidikan di luar sistem persekolahan. Hal tersebut sesuai dengan gagasan utama yang melahirkan ”spesialisasi pendidikan di luar sistem persekolahan” sebagai suatu bidang kajian ilmiah (field of study) dan bidang profesi (field of practice) tersendiri; kehadiran bidang spesialisasi ini semenjak awal memang dimaksudkan untuk memperbaiki praktik pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan, apa pun tujuannya, serta siapapun penyelenggara dan peserta didiknya (Wilson dan Hayes, 2000: 6; Courtney, 1989: 18-19).

Alasan ketertarikan penulis mengangkat judul penelitian ini disebabkan banyaknya warga belajar dari Program Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) khususnya anak-anak usia sekolah (usia antara 13- 18 tahun), program tersebut antara lain adalah Kejar Paket A atau setara SD/MI, Kejar Paket B atau setara SMP/MTsn, Kejar Paket C atau setara SMA, dan bagaimana implementasi rogram yang dijalankan oleh PKBM EMPHATY, di PKBM EMPHATY Medan yang terletak di Jl. Letjend. Jamin Ginting No.807 Medan.

1.2 Perumusan Masalah

(35)

pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini yang menjadi rumusan masalah adalah :

“ Bagaimana implementasi program yang diterapkan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) EMHATY Medan? .”

I.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

I.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah

“Untuk mengetahui implementasi program pendidikan kesetaraan yang dilakukan PKBM EMPHATY Medan”.

I.3.2. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, dapat memberikan konstribusi positif terhadap khasanah keilmuan bagi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial. 2. Secara teoritis, dapat menabah litratur sehingga dapat

mempertajam kemampuan dalam penulisan karya ilmiah, khususnya mengenai pedidikan kesetaraan

3. Secara Praktis, dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Yayasan EMPHATY dalam menjalankan program pendidikan kesetaraan kedepan.

(36)

I.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang pengertian implementasi, program, implementasi program, Pendidikan Kesetaraan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat EMPHATY Medan, teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan diteliti

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan Tipe Penelitian, Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel, Teknik

Pengumpulan Data serta Teknik Analisa Data BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan Gambaran Umum mengenai lokasi dimana peneliti melakukan penelitian

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data dan fakta yang diperoleh dilapangan serta menganalisanya dalam penelitian.

BAB VI : PENUTUP

(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1.PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT

Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.

(38)

kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.

Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.

Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya.

(39)

mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat

Pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.

Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.

(40)

Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.

Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.

(41)

masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut: … as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.” Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.

(42)

masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.

Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :

1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.

4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(43)

pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya.

Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .

(44)

potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.

(45)

1. Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.

2. Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.

3. Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.

4. Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.

(46)

6. Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.

7. Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.

8. Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.

9. Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.

(47)

yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat.

Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.

(48)

organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.

Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakat Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan. Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan

(49)

Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional.Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional. TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961).

Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka.

(50)

sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama.

Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu.

(51)

Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat.

Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975).

(52)

keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah.

Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka

Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.

II.2. KONSEP TENTANG IMPLEMENTASI PROGAM II.2.1. Pengertian Implementasi

(53)

means for carrying out; (menyediakan sarana untuk sesuatu); to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu), maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai sesuatu proses melaksanakan keputusan kebijakan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah eksekutif, atau dekrit persiden. ( Wahab 1990: 50 )

Sedangkan Implementasi dalam pengertian luas, implementasi maksudnya adalah pelaksanaan dan melakukan suatu suatu program kebijaksanaan. Dan dijelaskan bahwa suatu proses interaksi diantara merancang dan menentukan sasaran yang diinginkan Cheema dan Rondinelli dalam Wibawa (1994:19)

Makna implementasi adalah:“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku dan dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Wahab (1990:51)

Implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan (Udoji dalam Wahab (1990:45))

(54)

pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan (Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (1990:51)

Proses kebijakan negara ini dengan lebih rinci, yaitu: “Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, tersebut mengindentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh intansi pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata – baik yang dikehendaki atau yang tidak – dari output tersebut, dampak keputusan dipersepsikan sebagi oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap undang-undang/peraturan yang bersangkutan”. (Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (1990:54))

II.2.2. Program

(55)

akan menunjang implementasi, karena dalam program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain:

1. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

2. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil dalam mencapai tujuan itu.

3. Adanya aturan-aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.

4. Adanya perkiran anggaran yang dibutuhkan.

5. Adanya strategi dalam pelaksanaan. (Manila, 1996:43,)

II.2.3. Implementasi Program

Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam proses implementasi program yaitu adanya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran program, sehingga masyarakat merasa ikut dilibatkan dan membawa hasil dari program yang dijalankan, adanya perubahan dan peningkatan dalam kehidupanya. Tanpa memberikan manfaat kepada masyarakat maka program tersebut telah gagal dilaksanakan.

(56)

Dalam tahap implementasi, eksekutif melaksanakan rencana yang tercantum dalam anggaran dalam bentuk kegiatan nyata. Setiap program yang dijalankan tentunya membutuhkan anggaran agar program berjalan dengan lancar. Anggaran merupakan kegiatan bagian dari program, dan program merupakan penjabaran dari strategic objectives dan strategic initiatives. Oleh karena itu, eksekutif harus menyadari keterkaitan erat antara implementasi, anggaran, program, strategic objectives dan stratgic intatives dan startegi mewujudkan visi organisasi.

Dengan kata lain, dalam implementasi progam, khususnya yang banyak melibatkan banyak organisasi dan instansi pemerintah atau berbagai tingkatan struktur organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yakni:

1. Pemrakarsa kebijakan atau pembuat kebijakan (the center atau pusat). 2. Pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery).

3. Aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintahan kepada siapa program itu ditujukan, yakni kelompok sasaran (target group) Wahab (1990:49).

(57)

II.3. Konsep Pendidikan II.3.1 Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terus menerus oleh manusia dalam menyelarakan kepribadiannya dengan keyakinan dan nilai-nilai yang beredar dan berlaku dalam masyarakat berikut kebudayaannya (Murtiningsih 2006:1)

Ciri pendidikan ada pada nilai-nilai kejujuran dan keberanian. Seperti tertuang dalam peryataannya: “Pendidikan dimaksud supaya manusia mencerminkan lingkungannya dengan tepat lewat pengetahuannya yang diperoleh dengan kecerdasan supaya ia melibatkan diri secara emosional dengan cinta, keramahan, dan keadilan pada sesama. Akhirnya, supaya ia mengembangkan kehendak dan kemampuannya untuk proyek-proyek kemanusian dan tidak mengalami kendala chauvinisme sempit”. (Bertrand Russell dalam (Murtiningsih 2006:1))

Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

(58)

dalam 3 jalur, yaitu:

1. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

2. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

3. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

II.3.2. Pendidikan Nonformal

1. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

2. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

3. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

(59)

majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

5. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

6. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

II.4. PENDIDIKAN KESETARAAN

II.4.1 Pengertian Pendidikan Kesetaraan

Pendidikan kesetaraan merupakan pendidikan nonformal yang mencakup progam Paket A Setara SD/MI, Paket B Setara SMP/MTs dan Paket C Setara SMA/MA dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian professional peserta didik.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil progam pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (UU Sidiknas Pasal 26 Ayat 6).

(60)

pendidikan yang lebih tinggi. Status kelulusan Paket C mempunyai hak eligibilitas yang sama dengan lulusan pendidikan formal dalam memasuki lapangan pekerjaan.

II.4.2. Progam Pendidikan Kesetaraan

1. Progam Paket A

Progam Paket A adalah progam pendidikan dasar pada jalur pendidikan nonformal setara SD/MI bagi siapapun yang terkendala kependidikan formal atau berminat untuk memilih pendidikan kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan. Pemegang ijazah Progam Paket A memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SD/MI.

2. Progam Paket B

Progam Paket B adalah progam pendidikan dasar pada jalur pendidikan nonformal setara SMP/MTs bagi siapapun yang terkendala kependidikan formal atau berminat untuk memilih pendidikan kesetaraan untuk ketuntasan pendidikan dasar. Pemegang ijazah Progam Paket B memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pemegang ijazah SMP/MTs.

3. Progam Paket C

(61)

II.4.3. Tujuan Pendidikan Kesetaraan

1. Memperluas pendidikan dasar Sembilan tahun melalui pendidikan nonformal program Paket A setara SD/MI dan Paket B setara SMP/MTs yang menekankan pada ketrampilan fungsioanal dan kepribadian professional.

2. Memperluas akses pendidikan menengah melalui jalur pendidikan nonformal program Paket C setara SMA/MA yang menekankan pada ketrampilan fungsional dan kepribadian profesional.

3. Meningkatkan mutu daya saing lulusan serta relavansi program dan daya saing pendidikan kesetaraan progam Paket A, Paket B dan Paket C.

4. Menguatkan tata kelola, akutanbilitas dan citra publik terhadap penyelenggara dan penilaian program pendidikan kesetaraan.

II.4.4. Sasaran Pendidikan Kesetaraan

1. Penduduk usia tiga tahun di atas usia SD/MI (13-15 tahun) untuk Paket A dan tiga tahun diatas usia SMP/MTs (16-18 tahun) untuk Paket B.

2. penduduk usia sekolah yang bergabung dalam komunitas elerning, sekolah rumah, dan sekolah alternatif, serta komunitas yang berpotensi khusus seperti pemusik, atlet, pelukis dan lain-lain.

3. penduduk usia sekolah yang terkendala kejalur formal karna berbagai hal berikut:

(62)

tenaga kerja wanita, pengerajin, buruh dan pekerja lainnya. b. Kondisi geografis, etnik minoritas, suku terasing dan terisolir.

c. Keyakinan seperti warga pondok pesantren yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal.

d. Mengalami masalah sosial/hukum seperti anak jalanan, korban NAPZA, dan anak Lapas.

e. Penduduk usia 15-44 tahun yang belum tuntas wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

f. Penduduk usia SMA/MA yang berminat mengikuti program Paket C terutama karna masalah ekonomi.

g. Penduduk diatas usia 18 tahun yang berminat mengikuti program Paket C karna berbagai alasan.

II.4.5. Kurikulum Pendidikan Kesetaraan

Kurikulum tingkat satuan pendidikan kesetaraan progam Paket A, Paket B dan Paket C dikembangkan berdasarkan pada prinsip berikut; berpusat pada kehidupan beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, menyeluruh dan berkesinambungan, dan prinsip belajar sepanjang hayat.

(63)

dalam kompetensi yang terdiri dari standar kompetensi (SK) dan kopetensi dasar (KD) pada tingkat atau semester. Standar kopetensi dan kopetensi dasar ditentukan sesuai kebutuhan minimal untuk melanjunkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Sementara, pemenuhan kebutuhan maksimal SK dan KD di isi dengan ketrampilan fungsional.

Beban belajar pada pendidikan kesetaraan dinyatakan dalam Satuan Kredit Kompetensi (SKK) yang menujukkan satuan kompetensi yang dicapai oleh peserta didik dalam mengikuti program pemeblajaran melelalui sistim tatap muka, praktek ketrampilan dan kegiatan mandiri yang terstruktur.

Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus pendidikan kesetaraan ditetapkan oleh dinas yang bertanggung jawab dibidang pendidikan sesuai dengan tingkat kewenangan, berdasar kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, dan dikembangkan dilibatkan dengan pemangku kepentingan serta pedoman pada panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan kesetaraan yang disusun oleh Badan Standarisi Nasional Pendidikan (BSPN).

II.4.6. Pendidik Dan Tenaga Kependidikan

Pendidik pada pendidikan kesetaraan harus memiliki kompentensi pedagogi, personal, professional, sosial serta didukung dengan kualifikasi pendidikan yang sesuai:

1. Kompetensi pedagogi, personal, professional, dan sosial.

(64)

dan melayani perbedaan individual dalam menerapkan maju keberlanjutan.

2. Kualifikasi Akademik

Syarat kulifikasi akademik yang dimiliki pendidik pada pendidikan kesetaraan adalah sebagai berikut:

a. Pendidikan minimal D-IV atau S1 yang sederjat untuk Paket A, Paket B dan Paket C. Namun untuk tidak daerah yang tak memiliki sumberdaya manusia (SDM) yang sesuai, pendidikan minimal D-II dan yang sederjat untuk Paket A dan Paket B, dan D-III untuk Paket C

b. Guru SD/MI untuk Paket A, guru SMP/MTs untuk Paket B dan guru SMA/MA untuk Paket C

c. Kyai, Ustad di pondok pesantren dan tokoh masyarakat dengan kompetensi yang sesuai dengan pelajaran yang berkaitan.

d. Nara sumber teknis dengan kompentensi dan kualifikasi dengan mata pelajaran keterampilannya.

Tenaga kependidikan pada pendidikan kesetaran sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga administratifdan tenaga perpustakan.

II.4.7. Peserta Didik

Peserta didik program Paket A Setara SD/MI adalah warga masyarakat yang:

Gambar

Tabel 1 Sasaran Prioritas Program PNF
Tabel 2. Jumlah dan Kepemilikan PKBM
Table 3. Sarana Yayasan Emphaty Medan: Name Jumlah
Tabel 4 Prasarana Yayasan Emphaty Medan:
+7

Referensi

Dokumen terkait

5.2.2 Sehubungan dengan kemandirian alumni peserta didik setelah mengikuti program pelatihan menjahit di PKBM CITRA ILMU, berdasarkan subvariabel kemandirian

Salah satu lembaga yang melaksanakan pendidikan luar sekolah adalah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat atau di kenal dengan PKBM, dengan adanya PKBM di

PKBM merupakan salah satu satuan pendidikan nonformal yang menjadi wadah kegiatan pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat dengan prinsip penyelenggaraan dari, oleh

6.1.5. Rencana kerja lima tahun Satuan PKBM memiliki rencana kerja lima tahun yang mencakup 5 aspek sebagai berikut: a) Jenis program b) Peserta didik c) Pendidik d)

Dalam rangka meningkatkan motivasi serta memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pengelola Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM),

Dalam rangka meningkatkan motivasi serta memberikan apresiasi dan penghargaan kepada pengelola SKB, PKBM, dan RUMPIN, Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Inovasi program yang dikembangkan oleh PKBM-PKBM di Kota Mataram antara lain: (a) Program Pelatihan Keterampilan

Beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan dan menyusun program PKBM antara lain adalah: a) program yang dikembangkan PKBM harus meluas sehingga