• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Persaingan Usaha Tidak Sehat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Persaingan Usaha Tidak Sehat"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Oleh :

DINDA CITRA GAKUSHA GINTING NIM : 080200298

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM

(2)

LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI

ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan D. Keaslian Penulisan

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana 2. Pengertian Korporasi

3. Pengertian Kejahatan Korporasi

4. Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi 5. Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat

F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI

DALAM TINDAK PIDANA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1999 A. Pengertian Korporasi

B. Korporasi sebagai Subjek Dalam Hukum Pidana

(3)

BAB III HAMBATAN JURIDIS DARI BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A. Hambatan Juridis Pertanggungjawaban Korporasi

B. Kelemahan Sanksi Terhadap Korporasi dalam Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

(4)

DAFTAR ISI BAB I

A. Pendahuluan ………. 1

B. Perumusan Masalah ………. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………. 8

D. Keaslian penulisan ………. 9

E. Tinjauan Pusataka ……….….. 10

F. Metode Penelitian ………... 20

BAB II A. Pengertian Korporasi ………... 26

B. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dalam Hukum Pidana ………... 24

C. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Persaingan Usaha Tidak Sehat ………... 43

BAB III A. Hambatan Juridis Pertanggungjawaban Korporasi ……….. 65

B. Kelemahan Sanksi Terhadap Korporasi Dalam Persaingan Usaha Tidak Sehat ……….. 72

BAB IV A. Kesimpulan ………. 82

B. Saran ………. 83 DAFTAR PUSTAKA

(5)

ABSTRAK

Dinda Citra Gakusha Ginting* Prof. Syafruddin Kalo** DR. Mahmud Mulyadi***

Masalah pertanggungjawaban pidana korporasi masih merupakan hal yang baru dalam sejarah hukum di Indonesia khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat. Perilaku korporasi yang melakukan bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat, misalnya, monopoli, penetapan harga, penentuan pemenang tender, jelas merugikan pelaku usaha lain, menciptakan situasi pasar yang unfair competion, merugikan masyarakat umum serta memberikan pengaruh buruk kepada sistem ekonomi negara.

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana konsep pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan apa hambatan juridis pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.

Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian terhadap sistematika hukum yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis yang tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode library research yaitu pengumpulan atau penelitian kepustakaan yang tentunya mempunyai relevansi dengan masalah yang akan dibahas, yaitu melalui peraturan perundang-undangan, buku, kamus, ensiklopedi, tulisan, karya ilmiah sepanjang menunjang teori dalam penulisan, majalah, serta contoh kasus yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, pertama, Konsep pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat menurut undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah korporasi dapat dijatuhi tindakan administratif, sanksi pidana pokok, dan sanksi pidana tambahan. Korporasi termasuk kedalam subjek pelaku usaha dalam undang-undang ini sehingga kegiatan usaha dibidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ini

Kedua, Hambatan juridis dari bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat adalah tindakan administratif hanya dapat dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan tidak diintegrasikan dalam sistem pertanggungjawaban pidana. Tindakan administratif tersebut diatas seharusnya dapat diterapkan pada korporasi, akan tetapi dalam undang-undang tersebut sanksi itu bukan merupakan salah satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim/pengadilan apabila korporasi diajukan sebagai pelaku tindak pidana.

*Penulis

(6)

ABSTRAK

Dinda Citra Gakusha Ginting* Prof. Syafruddin Kalo** DR. Mahmud Mulyadi***

Masalah pertanggungjawaban pidana korporasi masih merupakan hal yang baru dalam sejarah hukum di Indonesia khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat. Perilaku korporasi yang melakukan bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat, misalnya, monopoli, penetapan harga, penentuan pemenang tender, jelas merugikan pelaku usaha lain, menciptakan situasi pasar yang unfair competion, merugikan masyarakat umum serta memberikan pengaruh buruk kepada sistem ekonomi negara.

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana konsep pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan apa hambatan juridis pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.

Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian terhadap sistematika hukum yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis yang tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode library research yaitu pengumpulan atau penelitian kepustakaan yang tentunya mempunyai relevansi dengan masalah yang akan dibahas, yaitu melalui peraturan perundang-undangan, buku, kamus, ensiklopedi, tulisan, karya ilmiah sepanjang menunjang teori dalam penulisan, majalah, serta contoh kasus yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, pertama, Konsep pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat menurut undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah korporasi dapat dijatuhi tindakan administratif, sanksi pidana pokok, dan sanksi pidana tambahan. Korporasi termasuk kedalam subjek pelaku usaha dalam undang-undang ini sehingga kegiatan usaha dibidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ini

Kedua, Hambatan juridis dari bentuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat adalah tindakan administratif hanya dapat dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan tidak diintegrasikan dalam sistem pertanggungjawaban pidana. Tindakan administratif tersebut diatas seharusnya dapat diterapkan pada korporasi, akan tetapi dalam undang-undang tersebut sanksi itu bukan merupakan salah satu jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim/pengadilan apabila korporasi diajukan sebagai pelaku tindak pidana.

*Penulis

(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia menurut kodratnya pada zaman apapun dan dimanapun juga selalu memerlukan bantuan dari orang lain dan hidup berkelompok-kelompok, yang setidak-tidaknya terdiri dari dua orang. Tidak ada satu manusia pun yang dapat hidup menyendiri terpisah dari manusia lainnya. Aristoteles, (384-322 SM) seorang ahli fikir yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah zoon politicon.1

Manusia yang hidup dan berkumpul dengan manusia lainnya menurut kodrat itulah yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat didalam kehidupannya mengenal nilai-nilai yang akhirnya mendasari kehidupan dan mengatur manusia dalam bertingkah. Norma-norma / peraturan hidup itulah kemudian yang dianut oleh suatu masyarakat untuk menyelenggarakan suatu hubungan sosial. Peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat, dinamakan peraturan hukum atau kaedah hukum

Sifat manusia yang suka berkumpul dengan orang lain menyebabkan manusia disebut mahluk sosial.

2

1. Memiliki pandangan dan tujuan hidup yang sama

.

Berbagai hal menyebabkan munculnya golongan-golongan masyarakat antara lain :

2. Membutuhkan bantuan orang lain dalam mencapai tujuan hidup 3. Mempunyai hubungan daerah yang sama dengan orang lain

1

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm 29

(8)

4. Mempunyai hubungan kerja yang sama dengan orang lain, dan lain-lain. Kebutuhan-kebutuhan dalam suatu golongan itu sering kali menimbulkan keharusan suatu golongan untuk bekerja sama dengan golongan lain. Semangat dalam suatu golongan itu dapat menciptakan suatu hal yang positif dalam suatu golongan namun bisa juga menciptakan hal yang negatif apabila golongan tersebut merasa lebih penting dari golongan lainnya.

Negara yang merupakan organisasi masyarakat yang berkekuasaan yang mempunyai kewajiban untuk mengatur agar keamanan terjamin dan ada perlindungan atas kepentingan tiap orang, dan agar tercapai kebahagiaan yang merata dalam masyarakat tidak hanya satu golongan saja, tetapi seluruh penduduk negara3

1. Aristoteles : “Particular law is that which community lay as dawn and applies to its own members, universal law is the law of nature”

. Suatu negara yang penduduk dan golongan-golongan yang hidup didalamnya dapat menjalankan kegiatan dengan aman dan terjaga kepentingannya diperlukan terciptanya kaedah hukum untuk mengaturnya. Namun pada asasnya tidak mungkin dibuat suatu defenisi apakah hukum itu, para ahli hukum lainnya tetap berusaha memberikan defenisi tentang hukum yakni:

4

2. Leon Duguit : “Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaaanya pada saat tertentu di indahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika

. (menurut Aristoteles hukum adalah berbeda-beda disetiap masyarakatnya, hukum yang universal hanyalah hukum alam).

3

Ibid, hlm 31 4

(9)

dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu”.5

3. Immanuel Kant : “ Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan”.6

Hukum pidana merupakan suatu bagian dari sistem hukum yang berisikan keharusan-keharusan, larangan-larangan serta sanksi-sanksi sebagai akibat dari diperbuatnya perbuatan yang dilarang. Menurut pasal 59 KUHP yang masih digunakan sampai saat ini suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia (natuurlijk persoon), menyatakan:

“Dalam hal menentukan hukuman karna pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya7

Menurut CST Kansil didalam bukunya bidang Hukum Perdata mengenal 2 subjek hukum, antara lain :

.”

8

1. Natuurlijk Persoon, yaitu manusia yang mempunyai sifat-sifat tertentu dalam dirinya, misalnya, memiliki domisili tertentu, memiliki niat, memiliki sikap batin, dan lain-lain.

5

CST Kansil, op cit, hlm 32 6

Hasim Purba, op cit 7

KUHP 8

(10)

2. Badan hukum (recht persoon), yaitu subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, misalnya, yayasan, perseroan terbatas, dan lain-lain.

Berdasarkan pengertian dalam pasal tersebut diatas maka korporasi mempunyai kriteria untuk menjadi subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat diminta pertanggungjawabannya atas tindak pidana yang dilakukannya.

Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia masih tersebar dalam undang-undang diluar KUHP, karena belum ada subjek tindak pidana korporasi dalam KUHP. Peraturan perundang-undangan diluar KUHP tersebut memiliki peranan yang sangat penting untuk menentukan bentuk pertanggungjawaban korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum pada dasarnya dapat dipertanggungjawabkan dalam subjek hukum perdata.

Korporasi, termasuk kedalam subjek hukum perdata selain contoh badan hukum diatas, yang dewasa ini dapat dipertanggungjawabkan sama seperti subjek hukum alamiah (manusia), memiliki hak-hak, dan melakukan perbuatan hukum. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat dimuka hakim.9

“The basic principle behind the economics view of legally imposed sanctions is to ensure that those who break the law internalise the externalities that they impose upon others. Several questions arise in this

Hal tersebut sesuai dengan pendapat John R. Lott Jr, yang menyatakan:

(11)

context: 1. how large is the externality, 2. upon whom should the penalty be imposed, and 3. should the penalty take the form of criminal or civil sanctions or possibly just through the loss of reputation.”10

Terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan perbuatan monopoli merupakan gambaran telah terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi yang dikontrol oleh beberapa pihak saja. Konsentrasi pemusatan kekuatan ekonomi oleh beberapa pelaku usaha memberikan pengaruh buruk pada kepentingan umum dan masyarakat.

Berdasarkan kalimat diatas menurut John R Lott Jr, Pandangan penjatuhan sanksi pidana terhadap kegiatan ekonomi dilakukan untuk memastikan siapa yang melanggar hukum maka ia dijatuhkan hukuman sebagaimana aturannya. Hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan, yaitu: seberapa besar pengaruh hukuman dijatuhkan tersebut, kepada siapa hukuman itu dijatuhkan, dan hukuman apa yang dijatuhkan, apakah pidana, sanksi administrative atau hanya sekedar hilangnya reputasi.

11

Misalnya dalam kasus The Champbell Soup Company di Amerika mengontrol 95% dari bahan sup, empat perusahaan makanan menyediakan 90% dari seluruh makanan pagi.12

Kasus The Benguet Mining Company di Filipina, untuk mencari emas, Benguet Mining telah membuat lubang yang dalam di bukit-bukit, mengikis habis pepohonan dan permukaan tanah, dan membuang banyak sekali membuang bongkahan-bongkahan batu kedalam sungai-sungai setempat. Kerugian lain yang

10

John R. Lott, Jr, Corporate Criminal Liability, 1999, page 493 11

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Di Indonesia, Medan, Juli, 2004, hlm 5 12

(12)

disebabkan adalah tercemarnya sungai-sungai dan lautan yang terkena zat sianida yang digunakan untuk memisahkan emas dari bebatuan sehingga menghancurkan sumber penghidupan masyarakat tersebut.

Kasus serupa seperti dalam kasus Newmont yang diduga melakukan pencemaran di Teluk Buyat yang telah di tangani Pengadilan Negri Manado, yang apabila terbukti maka dapat dikenakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup.

Seharusnya korporasi tersebut harus mempunyai apa yang disebut Corporate Social Liability, atau tanggung jawab perusahaan secara sosial adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (lokal) dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.13

Menurut pendapat Elliot dan Quinn, pentingnya pertanggungjawaban korporasi daripada pertanggungjawaban individual, adalah:14

1. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan (korporasi) bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan;

2. Dalam beberapa delik demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut korporasi daripada para pegawai/pengurusnya;

13

Ibid, hlm 9

14

(13)

3. Sebuah korporasi lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut;

4. Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan;

5. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang ilegal, seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja;

6. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya baik secara langsung atau tidak langsung, agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal;

7. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusaaan (korporasi) itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal;

Adanya jaminan kepastian hukum berdasarkan undang-undang tersebut diharapkan dapat mencegah praktik-praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga tercipta efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha untuk meningkatkan perekonomian nasional sebagi salah satu cara meningkatkan kesejahteraan rakyat.

(14)

hukum yang tegas terhadap kejahatan korporasi memicu suatu ketentuan tegas untuk menjamin adanya kepastian hukum bila suatu korporasi melakukan tindak pidana.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, penulis dalam karya ilmiah ini akan menguraikan permasalahan yang di rumuskan menjadi :

1. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

2. Apa hambatan yuridis dari bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Mengetahui konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak

pidana persaingan usaha tidak sehat menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(15)

Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Secara Teoritis

Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan bagi Mahasiswa maupun bagi masyarakat pada umumnya mengenai tujuan pertanggungjawaban pidana korporasi, khususnya dalam persaingan usaha tidak sehat yang terjadi di Indonesia.

2. Secara Praktis

Pembahasan mengenai tinjauan yuridis atas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat dapat menjadi masukkan bagi pemerintah dalam merancang KUHP maupun undang-undang untuk mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana sehingga masalah-masalah yang ada dapat diatasi secara optimal dan efektif sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

D. Keaslian Penulisan

dikenal di dalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon).

(16)

pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur/melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.15

Berkembangnya dunia usaha di Indonesia memicu berbagai masalah-masalah baru yang berkenaan dengan praktek kegiatan usaha di lapangan, sehingga pemerintah harus dapat membuat suatu cara dalam rangka pencegahan dan penanggulangan permasalahan yang akan atau sedang timbul. Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan salah satu regulasi yang mengatur tata cara persaingan usaha di Indonesia. Selain undang-undang juga dikenal hukum persaingan usaha (competition law). Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha.16

1. Pengertian Tindak Pidana

Proses pembuatan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan korporasi dan persaingan usaha, kemudian di rangkai menjadi satu karya ilmiah. Judul skripsi ini juga telah diperiksa di arsip Departemen Hukum Pidana, dan dinyatakan bahwa skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Persaingan Usaha Tidak Sehat” tidak ada yang sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya. Dengan demikian skripsi ini adalah asli.

E. Tinjauan Pustaka

15

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

16

(17)

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu ”strafbaarfeit”. Para ahli hukum mengemukakan istilah yang berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaarfeit, ada yang menggunakan istilah peristiwa pidana, delik, dan perbuatan pidana.

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit didalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha memberi arti dari istilah ini. Beberapa pengertian tindak pidana tersebut yaitu:17

a. Moeljatno : perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b. W.P.J Pompe : suatu strafbaarfeit itu sebenarnya tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

c. H.B Vos : strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh undang-undang.

d. Simons : strafbaarfeit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

17

(18)

Alasan dari simons merumuskan apa sebabnya strafbaarfeit itu harus dirumuskan seperti diatas adalah karena :18

a. Untuk adanya suatu strafbaarfeit diisyaratkan bahwa harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang ; dan

c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmaatige handeling;

Terwujudnya suatu tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap unsur yang ada pada tindak pidana untuk kemudian barulah terjadi suatu pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang diperbuat dengan memenuhi syarat-syarat dalam penjatuhan pidana.

2. Pengertian korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para praktisi hukum pidana untuk menyebut subjek yang dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau yang didalam bahasa Belanda disebut rechtpersoon dan dalam bahasa Inggris disebut legal person.

18

(19)

Munculnya istilah korporasi terjadi mengingat kemajuan perekonomian dan perdagangan, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi dengan manusia alamiah (natuurlijk persoon) saja namun juga mencakup korporasi sebagai badan hukum yang dapat melakukan tindak pidana (corporate criminal) serta dapat diminta pertanggungjawabanya dalam hukum pidana (corporate criminal responsibility).19

A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.

Korporasi sebagai suatu badan hukum dianggap bisa menjalankan tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan tersebut.

Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa ‘korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”

20

Berdasarkan uraian diatas ternyata korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.21

19

Ibid, hlm 25 20

A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983, hlm 54 21

(20)

Ciri-ciri dari sebuah badan hukum adalah :22

a. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut. (artinya kekayaan korporasi terpisah dari kekayaan yang dimiliki oleh direktur, manajer, komisaris dari suatu korporasi).

b. Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut.

c. Memiliki tujuan tertentu. (tujuan korporasi tidak hanya sebatas tujuan finansial).

d. Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajibannya tetap ada meskipun orang yang menjalankannya berganti. (artinya orang-orang yang semula memiliki jabatan tertentu di korporasi bisa beralih kepada orang lain).

Di Indonesia korporasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) dilihat dari jenisnya, yaitu: badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah Kabupaten/Kota, sedangkan badan hukum privat misalnya, Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya.

Kriteria untuk menentukan sesuatu badan hukum dikatakan sebagai badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat, terdapat 2 (dua) macam yaitu:

22

(21)

a. Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oleh Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan orang-perseorangan.23

b. Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikan badan hukum tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya, jika lapangan pekerjaannya bertujuan kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi bila tujuannya untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan hukum privat.24

3. Pengertian Kejahatan Korporasi

Korporasi kini telah menjadi pendukung penting di dalam dunia bisnis dan perdagangan, serta bisnis secara global, korporasi tidak lagi sekedar organisasi bisnis yang berdomisili lokal namun juga melampaui batas-batas negara dan mengikutsertakan pihak ketiga dalam perekonomiannya. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengiring kemajuan ekonomi yang semakin bersifat kompetitif menjadikan korporasi tidak lagi menghadirkan berbagai organisasi yang berdampak positif namun juga menghadirkan berbagai bentuk kejahatan yang pada akhirnya merupakan pelanggaran hukum pidana. Pelanggaran hukum bisnis tersebut yang dikenal dengan kejahatan korporasi (corporate crime).25

Kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal di dalam dunia ilmu kriminologi, sebagai bagian dari kejahatan kerah putih (white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar hukum kriminologi E.H Sutherland,

23 Ibid 24

Ibid 25

(22)

yang dirumuskan sebagai: “a crime committed by a person of respectability and high social status in the course of his occupation.”26

Menurut Marshall B. Clinard dan Peter C.Yeager, memberikan pengertian tentang kejahatan korporasi sebagai berikut; “A corporate crime is any act committed by corporations that is punished under administrative, civil or criminal law.” (Kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, apakah dibawah Hukum Administratif, Hukum Perdata, Hukum Pidana).

(kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya).

27

Di samping itu, sebagai dampak era globalisasi, kejahatan korporasi yang menonjol adalah price fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan), seperti dibidang farmasi (obat-obatan), dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime), serta kejahatan perbankan: cyber crime, money laundering, ilegal logging.

Soedjono Dirdjosisworo menyatakan bahwa:

“Kejahatan sekarang menunjukan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan dibidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipiuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran, dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.”

28

26

Ibid, hlm 23 27

Ibid, hlm 22

28

(23)

4. Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi

Berbicara mengenai pertanggungjawaban tidak terlepas dari dasar pengertian tindak pidana, yaitu mengenai adanya suatu perbuatan yang mengandung unsur pidana serta adanya subjek hukum yang dapat diminta pertanggungajawabannya. Dasar dapat dipidananya seseorang adalah asas legalitas “nullum delictum nulla poena sine previa lege poenale” yaitu tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali undang-undang tersebut mengaturnya.

Selain asas legalitas juga terdapat asas kesalahan yang menentukan dasar pertanggungjawaban pidana sebagai akibat kesalahan yang diperbuatnya, yaitu Green Straf Zonder Schuld atau nulla poena sine culpa, yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan.29

Subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawabannya kini tidaklah terbatas pada subjek alamiah saja, korporasi sebagai badan hukum juga telah menjadi subjek hukum tindak pidana. Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, terdiri dari beberapa sistem. Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:30

Menurut sistem pertanggungjawaban ini, terhadap pengurus korporasi diberikan kewajiban-kewajiban yang sebenarnya adalah kewajiban korporasi. a.Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab

29

Ibid, hlm 98 30

(24)

Pengurus korporasi yang tidak memenuhi kewajiban tersebut dapat dinyatakan bertanggungjawab (diancam dengan pidana). Sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya, adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu perbuatan pelanggaran melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu.31

Sistem ini dinilai, tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan KUHP yang menganut bahwa subjek tindak pidana adalah orang (natuurlijk persoon) dengan dilatar belakangi pengaruh asas “societas delinguere non potest” yaitu: badan hukum tidak mungkin melakukan tindak pidana.32

Suatu perbuatan dipandang sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pegawai/pengurus dari korporasi yang memiliki kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan dari korporasi itu sendiri.

b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab

Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggung jawabnya menjadi beban pengurus badan hukum tersebut. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi pada prinsipnya dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan badan hukum tersebut.

33

Menurut sistem ini korporasi dipandang sebagai pelaku dan yang bertanggungjawab. Hal ini disebabkan bahwa dalam delik-delik tertentu, c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab

31

Ibid, hlm 84 32

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op cit, hlm 52 33

(25)

ditetapkannya pengurus saja yang dapat dipidana tidaklah cukup sementara dalam beberapa delik ekonomi hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus tidaklah setimpal dengan keuntungan yang diraih oleh korporasi.

Penjatuhan pidana kepada pengurus tidak menjamin bahwa korporasi tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum. Karenanya selain pidana yang dapat dijatuhkan kepada pengurus juga diperlukan pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi atau kedua-duanya.

5. Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat

Manusia pada dasarnya menjalankan kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan primer, sekunder, atau pun tersier. Saat ini banyak orang menjalankan kegiatan usaha baik yang sejenis maupun tidak yang mendorong timbulnya atmosfir kompetitif dalam lingkungan persaingan usaha. Dunia usaha menyebabkan persaingan usaha merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan merupakan conditio sine quanon atau persyaratan mutlak bagi terselenggaranya suatu ekonomi pasar.34

Persaingan usaha yang sehat (fair competition) akan memberikan akibat positif bagi para pelaku usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan efisiensi, produktifitas, inovasi dan kualitas produk yang dihasilkannya.35

34

Hermansyah, opcit, hal 9 35

Ibid

(26)

antara para pelaku usaha tentu berakibat negatif tidak saja bagi pelaku usaha dan konsumen tetapi juga memberikan pengaruh negatif bagi perekonomian nasional.36

Goodin mengingatkan nilai-nilai yang harus dijaga dalam menghadapi perilaku pasar bebas “The market has a ‘corrosive effect’ on values, debasing what was formerly precious and apart from mundane world, by allowing everything to be exchanged for everything else. In the end we are left with nothing but a ‘vending machine society’ where everything is available for a price.”

Iklim persaingan usaha yang sehat harus diciptakan sebagai sarana demokrasi dibidang ekonomi harus diupayakan terus menerus dan diikuti oleh kebijakan persaingan usaha serta upaya pencegahan dan penindakan terhadap para pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

37

Berdasarkan uraian diatas maka menurut pasal 1 (e) yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah, “persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

Berdasarkan pendapat diatas, untuk mencegah dan menindak pelaku usaha yang melakukan tindak pidana persaingan usaha tidak sehat diperlukan hukum yang secara khusus mengaturnya dengan tegas. Tanpa adanya aturan hukum persaingan usaha yang sehat tidak mungkin terwujud. Untuk mendukung persaingan usaha yang sehat tersebut maka diundangkanlah undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

36

Ibid., hlm 10 37

(27)

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”38

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian terhadap sistematika hukum yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tertulis yang tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok hukum.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

39

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa KUHP dan perundang-undangan

Selain itu juga untuk memahami peraturan-peraturan hukum, dalam hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.

2. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder tersebut diperoleh dari :

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau bahan kajian kejahatan yang berkaitan dengan dan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat seperti, majalah-majalah, artikel-artikel, karya tulis ilmiah tindak

38

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

39

(28)

pidana terkait dan beberapa situs dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan badan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain sebagainya. 3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode library research yaitu pengumpulan atau penelitian kepustakaan yang tentunya mempunyai relevansi dengan masalah yang akan dibahas. Data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini dikumpulkan melalui peraturan perundang-undangan, berbagai buku, kamus, ensiklopedi, tulisan, karya ilmiah sepanjang menunjang teori dalam penulisan, majalah, serta contoh kasus yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.

4. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan diurutkan dan kemudian diorganisir dalam suatu pola kategori dan uraian dasar. Analisa data yang digunakan pada skripsi ini adalah kualitatif, yaitu mengikhtisarkan hasil pengumpulan data selengkap mungkin serta memilah-milahkannya ke dalam suatu konsep, kategori atau tema tertentu sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.40

40

(29)

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahan secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam 4 (empat) bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah penguraian masalah agar dapat lebih dimengerti, sehingga akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan yang benar.

Adapun susunan ini skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Yang terdiri dari beberapa sub bab, yakni : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Peneltian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.5 TAHUN 1999

(30)

BAB III HAMBATAN YURIDIS DARI BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Menguraikan tentang hal-hal mengenai hambatan yuridis pertanggungjawaban pidana korporasi dan kelemahan sanksi terhadap korporasi dalam undang-undang no. 5 tahun 1999

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

(31)

BAB II

KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MENURUT

UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 A. Tinjauan Umum Terhadap Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa belanda disebut rechtpersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan badan hukum.41

Menurut Kenneth S. Ferber, a corporation is an artificial person. It can do anything a person can do. It can buy and sell property, both real and personal, in its own name. It can sue and be sued in its own name. It is formal.

Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa ‘korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan anggota.”

42

A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum, untuk tujuan tertentu.

43

41

H.Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Malang, 2003, hlm 2 42

(32)

Pengertian korporasi didalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat dijumpai dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Buku I 2004-2005 Pasal 182 menyatakan,”Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”44

Berdasarkan uraian diatas ternyata korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum, yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Badan hukum oleh karena itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.45

Kebijakan atas pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan korporasi-korporasi raksasa yang menguasai dan memonopoli ekonomi Indonesia. Kekuasaan yang luar biasa pada korporasi tahap berikutnya sangat mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan sangat merugikan kepentingan pelaku ekonomi lainnya

Pengaturan kebijakan terhadap kejahatan korporasi faktanya masih sangat minim mengingat tidak ada aturannya dalam KUHP karna KUHP hanya mengatur hukum antar individu saja dan korporasi sebagai subjek hukum hanya terdapat dalam beberapa undang-undang saja. Pembangunan ekonomi besar-besaran menyebabkan korporasi bersaing dengan ketat untuk menguasai pasar.

46

Berdasarkan bentuk kejahatan sosio-ekonomi yang memiliki tipe dan karakteristik yang berbeda dengan kejahatan konvensional pada umumnya, maka

.

43

A.Z Abidin, loc cit, hlm 54 44

Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 31 45

Ibid, hlm 24 46

(33)

mengutip tulisan Steven Box, Ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut :47

1. Crimes for corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh keuntungan.

2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).

3. Crimes against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, dalam hal ini korporasi sebagai korban.

Karakteristik dari sebuah organisasi juga disebutkan oleh Dan-Cohen, yaitu: “A very complete description of the characteristics of an organization is provided by Dan-Cohen who finds that an organization possesses functional structures, it is permanent, large, formal, complex and goal oriented, and has decision-making structures.”48

Eratnya keterkaitan antara hukum pidana, persaingan usaha dan korporasi menyebabkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana mengalami perkembangan khususnya dalam tindak pidana persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan pendapat diatas, gambaran lengkap tentang suatu organisasi menurut Dan-Cohen adalah memiliki struktur fungsi, bersifat permanen, resmi, memiliki tujuan dan pelaksanaan tujuan.

47

Ibid, hlm 29 48

Jennifer A. Quaid, Mcgill Law Journal: The Assessment of Corporate Criminal Liability

(34)

Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana selanjutnya diperdebatkan kemampuannya dalam bertanggungjawab terhadap kejahatan yang diperbuatnya. B. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dalam Hukum Pidana

Korporasi didalam KUHP yang digunakan saat ini belum mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat diminta pertanggungjawabannya namun didalam Rancangan KUHP Tahun 2000 disebutkan: “korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana”.49

Korporasi yang pada awalnya hanya menjadi subjek hukum dalam hukum perdata kini juga dibahas dan dirancang sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Beberapa sarjana menyatakan korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan alasan sebagai berikut :50

1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;

2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah palsu”51

3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi

.

49 50

H.Setiyono, Kejahatan Korporasi, opcit, hlm 10 51

(35)

dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara atau pidana mati”52

4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah;

.

5. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana;

Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana menyatakan :

1. Mengingat didalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula;53

2. Hukum pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;54 3. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu

upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;55

4. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu

52 Ibid 53

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, opcit, hlm 18 54

Ibid 55

(36)

korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi, atau pengurus saja;56

Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap pengaturan pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehubungan dengan korporasi yang telah dijatuhi pidana, ternyata dalam praktik belum ada putusan pengadilan atau yurisprudensinya. Mengenai kedudukan badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat suatu suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 1 Maret 1969, Nomor 136/Kr/1966 dalam perkara antara PT Kosmo dan PT Sinar Sahara, yang menyatakan, “suatu badan hukum tidak dapat disita. Hal ini menjelaskan bahwa PT Kosmo dan PT Sinar Sahara bukan benda, karena hanya barang/bendalah yang dapat disita, melainkan subjek hukum. 57

“Department of Business Law and Taxation, Monash University. “As a matter of public policy it is of vital importance that companies comply with the legislative provisions that are the subject of this review. The question is how to best ensure that companies comply with this legislation. Can compliance be secured by placing liability on the corporation alone or it is necessary to also impose liability on the directors and managers of those corporations? If so, what type of liability should be imposed on those managers?”

Adanya putusan MA tersebut berarti ada pengakuan yuridis bahwa korporasi sebagai subjek hukum pidana namun tidak hanya sebatas pengakuan yuridis sebab pengertian subjek tindak pidana dibedakan antara yang melakukan tindak pidana (pembuat) dan yang bertanggungjawab.

Menurut Helen Anderson dan Michelle Welsh:

58

56 Ibid 57

Ibid, hlm 49 58

Helen Anderson and Michelle Welsh, Department of Business Law and Taxation,

(37)

Menurut pendapat diatas bagaimana caranya untuk memastikan korporasi menuruti undang-undang? Dapatkah penempatan pertanggungjawaban itu diberikan kepada korporasi itu sendiri atau juga dijatuhkan kepada direktur dan manager dari korporasi tersebut?

Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, mengalami perkembangan secara bertahap. Pada umumnya secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga tahap, yaitu:

1. Tahap Pertama

Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.59

Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP yang isinya: “Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.”60

59

Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 52 60

KUHP

(38)

Pengurus pada tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab. Kesulitan yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini adalah apabila hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya?61

2. Tahap Kedua

Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan kedudukan dalam tahap kedua.

Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi). Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut.

Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini menyebabkan korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu. Walaupun pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum muncul.62

Penentuan kapan pengurus dapat dapat diminta pertanggungjawabannya terdapat dalam Rancangan KUHP Tahun 2000 Pasal 47 yang menyatakan:

61

Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 53-54 62

(39)

“pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.”63

3. Tahap Ketiga

Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisika keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan bersangkutan.64

Rancangan KUHP Tahun 2000 Pasal 46 mencantumkan kapan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara langsung, yaitu:“ korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.”65

63 64

Ibid, hlm, 56 65

(40)

Hal senada pun dikemukakan oleh Daniela Holler Branco dalam tesisnya yang berjudul Towards a New Paradigm For Corporate Criminal Liability in Brazil: Lessons From Common Law Developments.

“The harm caused by corporations can be measured by the power that they have. One way to control their power and to reduce the harm that they cause is by controlling their misbehaviour through effective sanctions. The role of criminal law is to bring corporate power to face criminal conviction for wrongdoing by making society aware of their crimes and by properly deterring them from committing crimes. The present criminal law has made attempts to effectively punish corporate wrongdoing, but the issue is still controversial and needs to be deeply analysed.”66

“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.”

Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan :

67

66

Daniela Holler Branco, Towards a New Paradigm For Corporate Criminal Liability in

Brazil: Lessons From Common Law Develooments , University of Saskatchewan

67

Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi

(41)

Yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya pengurus antara lain dalam:68

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 Tentang Kerja 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1951 Tentang Kecelakaan

3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan 4. Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 Tentang Senjata Api

5. Undang-Undang No. 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan

Yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan antara lain dalam :69

1. Undang-Undang Drt No.7 Tahun 1955 (undang-undang Tindak Pidana Ekonomi);

2. Undang-Undang No. 6 Tahun 1984 (Pos)

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 (Psikotropika)

4. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi);

5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 (Tindak Pidana Pencucian Uang) 6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 (Perindustrian)

7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 (Pasar Modal)

8. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 (Lingkungan Hidup)

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

10.Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen)

68

Barda Nawawi Arief (I), Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm 233

69

(42)

Perumusan delik dalam Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat hanya diatur dalam 1 pasal, yaitu pasal 48, yang terdiri dari pelanggaran beberapa pasal dalam undang-undang ini. Dalam pasal-pasal yang disebut didalam pasal 48 itu sama sekali tidak disebut-sebut korporasi atau badan hukum. Subjek yang disebut adalah “pelaku usaha”.70

1. Kesengajaan dan Kealpaan Pada Korporasi

Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana juga memerlukan kajian yang mendalam terhadap kesengajaan dan kealpaan pada korporasi yaitu, sebagai berikut:

Sangat sulit untuk menentukan unsur kesalahan dalam tindak pidana korporasi dan mempertahankan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Green Straf Zonder Schuld) khususnya masalah kesengajaan dan kealpaan korporasi.

Menurut Remmelik, bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, apabila mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu, apabila dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.71

“Ascriptions of criminal liability require that the agent had acted intending to do wrong, or in a reckless or negligent way. The maxim actus non facit reum nisi mens sit rea which can be translated as an act is not criminal in the absence of a guilty mind is a distinctive feature of criminal law. There are only few exceptions to this principle, usually statutory offences and often in the field of regulatory offences. It prevails in both common law and civil law legal systems that to characterize an offence, mens rea must be Menurut Daniela Holler Branco:

70

Ibid, hlm 236-237 71

(43)

present and contemporanous to the actus reus. Accordingly, in order to attribute criminal liability to a corporate entity corporate mens rea must be found.”72

2. Alasan Pengahapusan Pidana Korporasi

Sulitnya mengetahui dan menentukan kapan suatu korporasi melakukan kesengajaanan kelalaian menyebabkan asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak dapat berlaku mutlak terhadap korporasi.

Seperti halnya subjek hukum alamiah (natuurlijk persoon), badan hukum/korporasi juga memiliki alasan penghapusan pidana sebagai konsekuensi diterimanya asas kesalahan pada korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum pidana pada dasarnya dapat menunjuk alasan-alasan penghapusan pidana kecuali yang berkaitan dengan keadaan kejiwaan tertentu (Pasal 44 KUHP).

Sesuai dengan sifat kemandirian (persoonlijk) alasan-alasan penghapus pidana harus dicari pada korporasi itu sendiri. Mungkin sekali terjadi pada diri seseorang terdapat alasan penghapus pidana tetapi tidak demikian halnya pada korporasi.73

Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa dalam menentukan ada atau tidak adanya alasan penghapusan pidana pada korporasi tak selalu dapat dicari secara terpisah antara perorangan dan korporasi. Dalam beberapa hal mungkin terjadi

Muladi dan Dwija Priyatno dalam bukunya mencontohkan:

“seorang supir truk terpaksa bersedia untuk mengangkut narkotika karena jiwa keluarganya terancam. Sementara itu perusahaan pengangkut tempat sopir itu bekerja, atas dasar pertimbangan untuk memperoleh keuntungan, telah membiarkan/mengizinkan mengakut narkotika tersebut. Padahal perusahaan tersebut sesungguhnya mampu untuk mencegah perbuatan pengangkutan narkotika tanpa perlu mengorbankan kepentingan sopir sebagai pegawainya.”

72

Daniela Holler Branco, op cit 73

(44)

suatu korporasi ternyata telah mengambil alih keadaan dalam diri perorangan.74

1. Identification Theory/Direct Liability Doctrine

Terhadap alasan pembenar dan pemaaf terdapat dalam Konsep Rancangan KUHP Tahun 2000 Pasal 49 yang menyatakan: “ alasan pemaaf atau pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi.”

Selain kesengajaan dan kealpaan pada korporasi, juga terdapat falsafah pembenaran pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai dampak diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu:

Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung atau doktrin identifikasi adalah salah satu teori yang digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana korporasi meski pun korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri. Menurut doktrin ini perusahaan dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” (senior officer) dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan/korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan dipandang sebagai perbuatan korporasi, sehingga pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.

Teori ini disebut juga teori/doktrin “alter ego” atau “teori organ” :75 a. Arti sempit (inggris) :

Hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi.

b. Arti luas (amerika serikat)

74 Ibid, hlm, 132

75

(45)

Tidak hanya pejabat senior/direktur tetapi juga agen dibawahnya.

Umumnya pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama, pengendali perusahaan adalah para direktur dan manajer. Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi berdasarkan asas identifikasi. Misalnya dalam hal ini suatu korporasi yang melakukan tindak pidana persaingan usaha tidak sehat, suatu delik yang mensyaratkan adanya mens rea dan actus reus.

Pengadilan dalam hal ini memandang atau menganggap, bahwa perbuatan dan sikap batin dari pejabat teras tertentu yang dipandang sebagai perwujudan dari kedirian organisasi tersebut adalah perbuatan dan sikap batin dari korporasi.

Korporasi dalam hal ini bukannya dipandang bertanggung jawab atas dasar pertangunggjawaban dari perbuatan pejabatnya, melainkan korporasi itu seperti halnya dalam pelanggaran terhadap kewajiban hukum justru dipandang telah melakukan delik itu secara pribadi.76

“It was not until the 1940s that English law contemplated a form of corporate liability which could apply to serious offences such as fraud, theft and manslaughter. One of the objections to finding corporations liable for such offences was that they required proof of a mental element of intention, recklessness or negligence. For the purposes of corporate liability for this type of offence, courts developed the alter ego, or

Bagi korporasi yang melakukan bentuk-bentuk tindak pidana persaingan usaha tidak sehat maka dengan adanya doktrin ini korporasi tersebutlah yang dimintakan pertanggungjawabannya secara langsung, bukan pengurus korporasi tersebut.

Menurut Pertanggungjawaban Pidana terhadap badan hukum dalam sistem hukum Common Law:

76

(46)

identification theory, under which certain key personnel are said to act as the company (rather than on behalf of it, as is the case with vicarious liability). The underlying theory is that company employees can be divided into those who act as the 'hands' and those who represent the 'brains' of the company.”77

2. Dokrin Strict Liability

Menurut hukum Inggris terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi dimintakan pembuktiannya, seperti maksud, kesembronoan, dan kelalaiannya. Tujuan pertanggungjawaban korporasi menurut teori ini pegawai korporasi dapat dibagi kepada siapa yang bertindak sebagai ‘pekerja’ dan yang bertindak sebagai ‘otak dari korporasi’.

Strict liability atau absolute liability atau yang disebut juga dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability or liability without fault) adalah prinsip tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan.

Menurut Barda Nawawi Arief sering dipersoalkan, apakah strict liability itu sama dengan absolute liability. Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan, bahwa strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya ialah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi sesorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana.78

77

Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared

for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, page 5 of 10

78

Barda Nawawi Arief (II), op cit, hlm 40

(47)

Pendapat kedua menyatakan, bahwa strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus/belum tentu dipidana. Menurut doktrin strict liability (pertanggungjawaban mutlak), seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea).79 Sedangkan mens rea kata ini diambil orang dari suatu maksim yang berbunyi : “actus non est reus nisi mens sif rea”, yang maksudnya adalah suatu perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali pikirannya adalah salah.”80

Menurut L.B Curson, doktrin strict liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut :81

a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.

b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu.

c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan.

Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya Ted Honderich. Dikemukakan olehnya bahwa premisse (dalil/alasan) yang bisa dikemukakan untuk strict liability adalah:82

a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu.

79

Muladi dan Dwija Priyatno, opcit, hlm 107 80

Ibid, hlm 108

81 Ibid 82

(48)

b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk, menghindari adanya bahaya yang sangat luas.

c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan. Kaitannya dengan pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana usaha tidak sehat adalah apabila suatu korporasi melakukan bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat maka dengan adanya doktrin strict liability menegaskan bahwa korporasi itu dapat dibenarkan menjadi subjek hukum pidana dan dapat dimintai pertanggungajwabannya tanpa harus membuktikan adanya kesalahan pada diri korporasi yang melakukan bentuk persaingan usaha tidak sehat.

3. Doktrin Vicarious Liability

Doktrin ini didasarkan pada “employment principle”. Bahwa majikan (“employer”) adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh/karyawan; jadi “the servant’s act is the master act in law”. Prinsip ini dikenal juga dengan istilah the agency principle (the company is liable for the wrongful acts of all its employees).83

Vicarious Liability sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain” (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).84

Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Atau sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”.

83

Barda Nawawi Arief, opcit (I), hlm 249 84

(49)

Pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Sehingga walau pun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut hukum pidana inggris, vicarious liability hanya berlaku terhadap: a. Delik-delik yang mensyaratkan kualitas

b. Delik-delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan85

Menurut sistem hukum Common Law:

“Vicarious liability, a doctrine transplanted from civil law which grew out of the development of the liability of a master (employer) for his servant (employee), facilitated the development of both the civil and criminal liability of corporations. The vicarious principle applied only to some statutory offences in the regulatory field and, by 1900, a number of regulatory provisions were construed as applying to corporations.”86

Menurut undang-undang (statute law) vicarious liability, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

Vicarious liability, doktrin yang ditransplantasi dari hukum perdata yang berkembang menjadi pertanggungjawaban majikan terhadap buruhnya, memudahkan perkembangan pertanggungjawaban perdata dan pidana.

87

a. Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian (the delegation principle).

85

Muladi dan Dwija Priyatno, op cit, hlm 110 86

Criminal Responsibility of Legal Persons in Common Law Jurisdiction, Paper prepared

for OECD Anti-Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business transactions, Paris 4th October 2000, page 4 of 10

87

(50)

b. Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum, perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan.

Apabila dibandingkan antara strict liability dan vicarious liability, maka jelas tampak persamaan dan perbedaannya. Persamaan yang tampak bahwa baik strict liability crimes maupun vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana.

“In general, the process of judicial interpretation of the statutory objected to corporate liability being imposed only for regulatory offences, especially those offences which did not require proof of mens rea or a mental element.”88

Perbedaannya terdapat pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan kepada pelakunya, sedangkan pada vicarious liability pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung.

Berdasarkan pengertian kalimat diatas pada umumnya penafsiran hukum menurut undang-undang penjatuhan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi hanya untuk pelanggaran yang khususnya tidak mensyaratkan mens rea atau unsur kejiwaan.

89

4. Doctrine of Delegation

Doctrine of Delegation atau sering juga disebut dengan The Delegation <

Referensi

Dokumen terkait

Then we set aside the individual scor- ing sheets with the independent grades and comments and entered the recon- ciled grade along with the grader com- ments on a third grading

After video acquisition, background subtraction based on MOG (Mixture of Gaussians) algorithm (Stauffer, 1999) is used to extract the moving honey bees from the video

Pengaruh yang paling dominan pada warna sabun adalah terletak pada jumlah bubuk jahe yang ditambahkan, karena dari ketiga jenis bahan herbal yang ditambahkan kedalam

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pemasaran yang dilakukan pedagang sembako menggunakan beberapa strategi antara lain, (a) strategi pelayanan, tidak mudah putus asa

Hampir semua distribusi Sistem Operasi, secara defaultnya menyertakan BIND sebagai program DNS Server mereka, sehingga banyak orang mengidentifikasikan atau berpikir DNS Server

Hasil evaluasi pada tolok ukur panjang hipokotil produksi tahun 2009 dan 2010, menunjukkan bahwa antara vigor daya simpan benih cabai hibrida dan non hibrida tidak berbeda nyata,

Dalam buku Our Common Future (buku yang pertama kali memunculkan konsep pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development), telah diingatkan tentang masalah perkotaan