• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Kriminalogi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Kriminalogi"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI

TERHADAP ISTRI DALAM PERSPEKTIF

KRIMINALOGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

REZKY SYAHPUTRA

Nim :070200315

Departemen : Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI

TERHADAP ISTRI DALAM PERSPEKTIF

KRIMINOLOGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

070200315

REZKY SYAHPUTRA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh

Ketua Depertemen Hukum Pidana

NIP.195703261986011001 Dr.M.Hamdan,SH.,MH

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr.Edi Warman, SH., M.Hum.

NIP.195405251981031003 NIP.196012221986031003 Edy Yunara, SH., M.hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmatNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian

Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suami

Terhadap Istri Dalam Perspektif Kriminologi” yang merupakan salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum ( Strata-1 ) pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian skripsi ini, Penulis banyak mendapat dukungan,

bimbingan, perhatian dan bantuan serta petunjuk/arahan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum sebagai Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M. sebagai Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana

(4)

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum. sebagai Sekretaris Departemen Hukum

Pidana Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Maria SH., M.hum. selaku Penasehat Akademik atas bimbingan dan

motivasinya selama perkuliahan.

8. Bapak Prof. Dr. Edi Warman, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I, atas

segala Ilmu, motivasi, saran, dan bimbingan dalam proses penyelesaian

skripsi ini.

9. Bapak Edy Yunara, SH.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II, atas ilmu,

arahan, dan bimbingan yang diberikan selama penulisan skripsi ini.

10. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum USU, atas segala bimbingan dan

ilmu yang diberikan selama Penulis menuntut ilmu.

11. Yang teristimewa dan yang kusayangi kepada Orang tuaku, Ayahanda

tercinta, Basron Effendi dan ibunda tercinta Fauziah Hasibuan. atas segala

cinta, doa serta dukungan yang tulus, memberikan Penulis dorongan serta

semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Kepada Kakakku Novi Ovridayani serta adikku Tercinta Fitrah Rahmadani

dan Sobri Ananda yang selalu memberikan dukungan yang mendorong

penulis untuk lebih cepat menyelesaikan kuliah dan berharap agar kalian

dapat lebih baik lagi.

13. Kepada sahabat dan teman-temanku di Fakultas Hukum USU khususnya stambuk ’07, Teman-temanku didalam kepengurusan HMI, teman satu kost

(5)

riza, ivan, jefrizal, tri, ridha, adi, jo dan yang lainnya, yang tidak dapat disebutkan

satu persatu, yang telah mau menjadi teman seperjuangan baik suka maupun duka

bagi Penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih jauh dari

sempurna dan terbatas dalam pembahasan skripsi ini, penulis siap dan

mengharapkan, saran dan kritik dari pembaca. Semoga skripsi ini menginspirasi

dan bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Juni 2011

Penulis

(6)

HALAMAN PENGESAHAN... i

4. Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Secara Umum... 17

5. Bentuk Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004... 19

C. Efektipitas UU No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Ke- kerasan Dalam Rumah Tangga... 38

BABIII FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA KEKERASAN YANG DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI ... 44

A. Dalam Perspektif kriminologi ... 44

B. Dalam perspektif keagamaan ... 57

(7)

BAB IV PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

KEKE-RASAN YANG DILAKUKAN SUAMI TERHADAP ISTRI... 64

A.Penegakan Penal dan Penegakan Non Penal ... 64

B.Hambatan-Hambatan Dalam Penanganan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri... 80

C.Upaya Penaggulangan yang Dilakukan Terhadap Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 92

(8)

ABSTRAKSI

Rezky Syahputra.1 Edi Warman.2

Edy Yunara.3

1 Mahasiswa fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Pidana 2

Dosen Pembimbing I/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3 Dosen Pembimbing II/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Mencermati berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia, cenderung yang menjadi korban adalah perempuan (istri). Kenyataan tersebut menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga berkaitan erat dengan persoalan gender, diskriminasi terhadap perempuan, serta diidentikkan dengan permasalah pribadi dalam suatu keluarga. Kekerasan terhadap istri yang dilakukan oleh suami sendiri bukan hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis, ekonomi dan seksual. Untuk mengantisipasi hal ini, maka perlu diketahui dan diteliti secara mendalam mengenai pengaturan hukum mengenai kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, dan apa saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, hambatan-hambatannya, dan upaya penanggulangannya.

Metode yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum maupun sinkronisasi hukum. Dalam hal pengumpulan data, penulis menggunakan penelitian kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis, buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, dan peraturan perundang-undangan yang di dalam skripsi ini di khususkan pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga.

Tingginya tingkat kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat masih rendah. Masyarakat masih melihat persoalan kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istrinya merupakan masalah pribadi, hal ini yang harus dirubah dengan melihat faktor-faktor terjadinya kekerasan ini, baik dari perspektif kriminologi, keagamaan dan lingkungan sosial yang ada dalam masyarakat, serta mengkaji lebih dalam mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Institusi keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, beberapa

tahun terakhir ini dikatakan sebagai tempat paling rawan bagi munculnya tindak

kekerasan terhadap perempuan. Banyak penyebab untuk ini diantaranya,

menyebutkan bahwa laki-laki merupakan sumber konsep yang berbeda dengan

perempuan. Laki-laki bersumber pada keberhasilan pekerjaan, persaingan dan

kekuasaan, sementara perempuan bersumber pada keberhasilan tujuan pribadi

citra fisik dan dalam hubungan keluarga. Konsep diri yang muncul dari model

sosialisasi ini menyebabkan perempuan tidak berani menghadapi suaminya,

sebaliknya si suami merasa mendapatkan kekuasaan penuh terhadap istrinya.4

Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sering kali terjadi,

faktanya satu dari tiga istri pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga.5

4

Nawal El Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), halaman 2.

5

http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=210509, akses tanggal 18 Mei 2011.

Ada anggapan yang tumbuh dalam masyarakat yaitu “rumah tangga adalah urusan

pribadi dan yang terjadi didalamnya adalah bukan urusan orang lain”. Kekerasan

yang dilakukan suami terhadap istri menunjuk pada penganiayaan dan tindak

(10)

bukanlah sesuatu yang wajar dari kehidupan berkeluarga. Kalau seseorang

diperlakukan secara kejam, seseorang tersebut kehilangan haknya atas ruang

pribadi.

Pada abad pertengahan sampai dengan permulaan abad IX kaum

perempuan di dunia tidak mendapat kedudukan hak-hak yang layak dilindungi

oleh hukum .Kaum perempuan disamakan dengan barang-barang yang hanya

dimiliki kaum lelaki dan juga hanya sebagai pemuas nafsu. Problem inilah yang

sampai saat ini menjadi suatu pemikiran untuk kajian ke depan.

Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang

baru. Kekerasan sering dilakukan bersama dengan salah satu bentuk tindak pidana

, seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

misalnya pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP), perkosaan (Pasal 285

KUHP) dan seterusnya. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan,sedangkan cara bagaimana kekerasan dilakukan atau alat apa

yang dipakai masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Perbuatan

tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, dari

anak-anak sampai dewasa. Namun yang menarik perhatian publik adalah kekerasan

yang menimpa kaum perempuan(istri), dimana pelaku dan korban berusaha untuk

merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik .6

Kekerasan adalah suatu kejahatan, kekerasan yang dilakukan suami

terhadap istri atau yang dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga (domestic

6

(11)

violance) adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap perempuan yang banyak

terjadi di masyarakat. Kekerasan domestik dalam rumah tangga yang dimaksud

adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin, berakibat pada kesengsaraan

dan penderitaan-penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis

termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan

secara sewenang-wenang baik yang ada di depan umum atau dalam lingkungan

pribadi. 7

Posisi istri dalam keluarga tidak terlepas dari sistem sosial masyarakat

yang melingkupinya, pembagian peran antara suami dan istri, tak urung,

menempatkan istri dalam posisi rentan terhadap kekerasan. Dalam keluarga, Masih lemahnya sistem hukum yang berlaku di masyarakat merupakan

faktor penyebab kekerasan terhadap istri. Isi aktual hukum dapat mempengaruhi

perempuan, khususnya hukum perkawinan dan perceraian, perwalian anak, tanah

dan pekerjaan. Hukum adat di suatu daerah sangat sering merupakan kekuatan

menekan yang dahsyat bagi perempuan. Dalam sistem hukum adat, perempuan

paling didiskriminasi karena hukum adat berurusan dengan hal-hak seperti

hubungan keluarga, perkawinan, perceraian dan perwalian yang kerap kali

menjadi isu sentral dalam kehidupan perempuan. Kekerasan terhadap istri selama

ini tidak pernah didefinisikan sebagai persoalan sosial. Akibatnya nyaris mustahil

bagi istri meminta bantuan untuk mengatasi kekerasan suaminya. Apalagi

selubung harmoni keluarga telah mengaburkan soal kekerasan terhadap istri ini.

7

(12)

suami dianggap sebagai sentrum kekuasaan dan istri sekedar kanal kekuasaan

suami. Istri berkewajiban menjaga harmoni dan tertib keluarga. Celakanya, ini

tidak diletakkan dalam kewajiban yang setara. Istri harus menopang kesuksesan

karir suami di wilayah publik dan privat. Karena itu, ia harus selalu bersikap

lembut dan mengorbankan kepentingan pribadinya. Tidak sebaliknya bagi suami.

Dalam bias androsentrik (penglihatan bahwa laki-laki sebagai norma

kemanusiaan), laki-laki mengaku dirinyalah yang memiliki kontrol atas dunia dan

perempuan. Karena itu laki-lakilah yang berhak menentukan norma kehidupan

dengan gaya kepemimpinan yang dirasanya akan mampu terus memperkokoh

dominasi dan kekuasaannya. Andro sentrisme menciptakan dan pada akhirnya

diperkokoh oleh struktur yang mendukung “pengesahan” perempuan sebagai

korban tindak kekerasan.

Persoalan muncul ketika suami tidak menghayati nilai cinta kasih yang

sama dengan istri, rasa harga diri laki-laki sebagai kaum pemegang norma,

membuatnya melihat keluarga sebagai lembaga pelestarian otoritas dan

kekuasaannya, karena dalam lembaga keluargalah seorang laki-laki pertama-tama

mendapatkan pengakuan akan perannya sebagai pemimpin. Laki-laki pelaku

tindak pidana kekerasan mempertahankan daya kepemimpinannya terhadap

(13)

Keberlawanan titik pijak antara laki-laki dan perempuan terhadap kuasa dan

kontrol kepemimpinan laki-laki sebagai kepala rumah tangga.8

Penganiayaan terhadap Istri hakikatnya adalah perwujudan dari

ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di dalam

masyarakat (yang sering disebut sebagai ketimpangan gender), yang secara sosial

menempatkan laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan perempuan. Bahwa

ketimpangan tersebut yang diperkuat oleh keyakinan sosial seperti mitos

(kepercayaan masyarakat jaman dahulu yang dianggap sebagai kebenaran), dan

prasangka yang menumbuh suburkan praktik-praktik diskriminasi terhadap Ada satu hal yang terabaikan dalam ketidaksepadanan pola hubungan di

atas, yaitu bahwa suami sebenarnya mempunyai tanggung jawab untuk memimpin

(to head) dan mengasihi (to love). Suami pelaku tindak kekerasan hanya

menjalankan salah satu tanggung jawab saja, yaitu memimpin tanpa belas kasih,

bertindak otoritas dan kejam. Sementara istri yang sebenarnya merupakan

tanggung jawab tambahan, yaitu menerima apa gaya kepemimpinan suami.

Menghadapi kekerasan suami, istri bahkan menjalankan praktek bisu dengan

harapan kebisuan itu suatu saat mampu mengembalikan keluarga yang

didambakannya sebagai tempat dimana ia bisa merajut masa depan bagi anak

keturunannya.

8

(14)

perempuan (baik diranah domestik maupun publik). Dan penganiayaan yang

mengakibatkan penderitaan perempuan baik secara fisik, mental maupun seksual.9

Penganiayaan yang dilakukan suami terhadap istri adalah pelanggaran

HAM terparah yang belum diakui oleh dunia. Penganiayaan terhadap istri yang

juga merupakan masalah yang serius dalam bidang kesehatan karena melemahkan

energi perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga dirinya. Disamping Dalam konteks kekerasan terhadap istri banyak akar kepercayaan yang

berasal dari intepretasi ajaran agama yang mempertimbangkan bahwa kekuasaan

suami adalah absolut terhadap istrinya, serta status subordinasi perempuan.

Karena norma-norma ini orang cenderung tidak mengambil jalur hukum ketika

mengalami penganiayaan dalam rumah tangga.

Hubungan struktural antara suami istri menjadi prakondisi terjadinya

kekerasan suami terhadap istri. Artinya struktur yang timpang dimana suami

memiliki kekuasaan yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk melakukan

kekerasan terhadap istrinya. Sedangkan perilaku istri yang dianggap menimbulkan

terjadinya kekerasan terhadap istri adalah (Berurutan secara gradual dari tinggi ke

rendah) tidak menurut suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi

tanpa pamit, suami mabuk, ngomel keras kepada anak. Adapun bentuk

kekerasannya berupa peringatan dengan “kata keras”, membanting benda,

memukul, dan mengucapkan kata “cerai”.

9

(15)

menyebabkan luka-luka, penganiayaan juga memperbesar resiko jangka panjang

terhadap masalah kesehatan lainnya termasuk penyakit kronis, cacat fisik,

penyalahgunaan obat dan alkohol.

Seorang istri dengan riwayat penganiayaan fisik dan seksual juga

meningkatkan resiko untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit

menular seksual (PMS) dan kesudahan kehamilan yang kurang baik. Berbagai

kasus-kasus penganiayaan yang muncul cenderung dipungkiri, tidak diakui dalam

konteks publik alias dilokalisir dan ditenggelamkan di wilayah privat dan

personel. Sebagai contoh kasus penganiayaan dalam rumah tangga yakni

penganiayaan terhadap istri andai kata terjadi penganiayaan maka masyarakat

cenderung diam dan bersikap masa bodoh dengan menganggap bahwa hal tersebut

adalah hal pribadi dan urusan rumah tangga orang lain, bahwa penganiayaan yang

terjadi dianggap sebagai cara suami untuk mengendalikan dan memperlakukan

istri semaunya sendiri (sebagai perluasan kontinum keyakinan bahwa istri adalah

hak miliki).

Dengan memperhatikan fakta yang terurai di atas nampak bahwa

penganiayaan dalam rumah tangga khususnya dalam hal ini penganiayaan yang

dilakukan suami terhadap istri menunjukkan sifat kejahatan yang meluas dan

berlangsung secara sistematik dan terpola. Artinya, kekerasan dalam rumah

tangga (kepada istri), sebetulnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap

(16)

negara. Berpijak pada kenyataan tersebut, jelaslah disini bahwa masih banyak

perempuan menjadi korban dari tindak kekerasan kemusiaan.10

Berdasarkan argumentasi tersebut, penulis tertarik untuk meneliti secara

mendalam bagaimana solusi yang tepat untuk menghapus kekerasan dalam rumah

tangga, faktor-faktor apa yang menyebabkan kekerasan yang dilakukan suami

terhadap istri, bagaimana perlindungan hukum terhadap korban kekerasan yang

dilakukan suami terhadap istri, dan sejauh mana Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 memberikan sanksi terhadap pelaku kekerasan yang dilakukan suami

terhadap istri, dan hampatan-hambatan dalam penanganan kekerasan yang

dilakukan suami terhadap istri. Penulis sebagian bagian dari masyarakat dan

mahasiswa yang sedang menekuni kajian hukum pidana, termotivasi untuk

mengkaji dan membahas secara mendalam tentang topik tersebut dalam bentuk Menurut pengamatan penulis, kekerasan dalam rumah tangga setiap tahun

semakin meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Di samping itu pula, hak

asasi manusia khusunya perlindungan terhadap rumah tangga semakin

diperjuangkan seperti munculnya kelompok kerja Convention Watch, Kompas

Perempuan, Komnas HAM yang telah berupaya dan berjuang untuk

menghapuskan bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan mencari

alternatif pemecahannya (suatu tinjauan hukum) dan lain-lain. Puncak perjuangan

tersebut dengan ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

10

(17)

skripsi yang berjudul : “KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI

DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI”.

B.Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di

atas,dapat dirumuskan permasalahan skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri.

2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan yang dilakukan

oleh suami terhadap istri.

3. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan yang

dilakukan oleh suami terhadap istri.

Ketiga rumusan permasalah tersebut akan penulis uraikan secara mendalam

pada pembahasan bab-bab berikutnya.

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan.

(18)

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang tindak pidana KDRT yang

di lakukan suami terhadap istri.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya kekerasan

yang dilakukan oleh suami terhadap istri.

3. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap

tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri.

2.Manfaat Penulisan

Sedangkan manfaat penelitian skripsi ini kiranya dapat memperluas

wawasan dan sumbangan pemikiran kepada pembaca baik teoritis maupun praktis.

A. Manfaat Teoritis, yaitu untuk menambah wawasan dan khazanah ilmu

pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum pidana.

B. Manfaat Praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

terhadap masyarakat bangsa dan negara pada umumnya,khususnya keluarga

yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkungan domestik. Sehingga

mendapat perlindungan hukum dan menghilankan diskriminasi, serta

perbudakan dalam rumah tangga.

(19)

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai masalah “Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Kekerasan

Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri Dalam Perspektif Kriminologi”

ini belum pernah dibahas penulis lain dalam topik dan permasalahan yang sama.

Dimana topik yang penulis kaji dalam skripsi ini dimotivasi dengan lahirnya

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga dan melihat realita yang terjadi di masyarakat. Jadi penelitian ini

disebut “asli”dan sesuai dengan asas-asas khazanah ilmu pengetahuan yaitu jujur,

rasional, obyektif, dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses

menemukan kebenaran ilmiah yang ditinjau secara yuridis. Sehingga penelitian ini

dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana Kekerasan.

Arti kekerasan dalam Kamus Bahasa Indonesia, adalah 1. Perihal (yang

bersifat/berciri) keras; 2. Perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang

menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik

atau barang orang lain; 3. Paksaan11

11

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 45.

. Dapat dikatakan bahwa kata kekerasan

dalam bahasa Indonesia umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik

belaka.Jadi tindakan kekerasan (perbuatan yang menyebabkan

(20)

sifat penyiksaan (torture) dan pengenaan penderitaan atau rasa sakit yang sangat

berat (severe pain or suffering).12

Kekerasan menurut KUHP hanya didefinisikan sebagai kekerasan fisik

sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 89 dan Pasal 90 KUHP. Pasal 89 KUHP,

menentukan bahwa yang dimaksud dengan melakukan kekerasan yaitu, membuat

orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi. Dalam penjelasan pasal tersebut

dikatakan bahwa melakukan kekerasan ialah menggunakan tenaga atau kekuatan

jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau

dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang

menyebabkan orang yang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit yang

sangat. Dalam pasal ini melakukan kekerasan disamakan dengan membuat orang

pingsan atau tidak berdaya. Pingsan artinya hilang ingatan atau tidak sadar akan

dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama

sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya

seperti halnya orang yang diikat dengan tali pada kaki dan tangannya, terkurung

dalam kamar terkena suntikan, sehingga orang itu menjadi lumpuh. Orang yang

tidak berdaya ini masih dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya13

12

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1998, halaman 20.

13

R. Suhandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), halaman. 107.

.

Sedangkan Pasal 90 KUHP menentukan, bahwa yang dimaksud dengan luka berat

(21)

a) penyakit atau luka yang tak dapat diharap akan sembuh lagi dengan sempurna

atau yang dapat mendatangkan bahaya maut;

b) senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan

pencaharian;

c) tidak dapat lagi memakai salah satu panca indera;

d) mendapat cacat besar;

e) lumpuh (kelumpuhan);

f) akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu;

g) gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Definisi kekerasan dari kedua pasal tersebut hanya menyangkut kekerasan

fisik saja (Pasal 89 dan Pasal 90) yang berakibat luka pada badan atau fisik, tidak

meliputi kekerasan lainnya seperti psykhis, seksual, dan ekonomi.

Dua pasal tersebut sangat umum dan luas, karena kekerasan dalam kedua

pasal itu dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja, tidak khusus dilakukan

oleh orang-orang yang ada dalam satu rumah tangga. Padahal, apabila dilihat dari

kenyataan yang ada dalam masyarakat, sebenarnya tindak kekerasan secara

sosiologis dapat dibedakan dari aspek fisik, seksual, psikologis, politis, dan

(22)

tindak kekerasan terhadap perempuan yang bernuansakan seksual tidak sekedar

melalui perilaku fisik belaka.14

Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering

merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri

tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. Semakin menggejala dan

menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam

masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan

seriusnya kejahatan semacam ini.

2.Kekerasan Sebagai Suatu Kejahatan.

15

14

Harkristuti Harkrisnowo, Kekerasan Terhadap Perempuan (Tinjauan Segi Kriminologi dan

Hukum). (Semarang: Universitas Diponegoro, 1998), halaman. 5.

15

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, (Bandung: Rafika Aditama, 2007), halaman. 63.

Isu mengenai kejahatan dengan kekerasan, perlu dijernihkan, apakah

kekerasan itu sendiri adalah kejahatan dan berikutnya adalah apakah yang

dimaksud dengan kejahatan kekerasan? Banyak ahli berpendapat bahwa tidak

semua kekerasan merupakan kejahatan, karena ia bergantung pada apa yang

merupakan tujuan dari kekerasan itu sendiri dan bergantung pula pada persepsi

kelompok masyarakat tertentu, apakah kelompok berdasarkan ras, agama, dan

(23)

Tapi dalam kenyataan yang tumbuh dalam masyarakat kekerasan selalu

menimbulkan sebuah kejahatan, dimana seorang yang mendapat kekerasaan

mempunyai kecenderungan melakukan kekerasan kepada orang lain ,sehingga hal

ini dapat menjadi suatu kejahatan. Kejahatan–kejahatan yang dilakukan oleh

orang-orang yang mengalami kekerasan sebelumnya akan berjalan tanpa ia sadari

didapat dari perilaku yang salah kepada dirinya.

Dalam hal ini kaitannya dengan kekerasan yang dilakukan oleh suami

terhadap istri menjadi dasar timbulnya kejahatan lain, misalnya seorang anak yang

melihat ibunya dipukuli oleh ayahnya, mengakibatkan anak tersebut mendapat

pembelajaran yang salah dan suatu saat akan melakukan hal yang sama baik

pembalasan kepada ayahnya atau kepada orang lain disekitarnya. Seolah menjadi

dendam yang tersimpan dihati anak tersebut. Hal ini berakibat pada penderitaan

baik secara langsung maupun tidak langsung dan akhirnya dapat menimbulkan

kejahatan.

3. Hubungan Suami dan Istri

a. Suami.

Suami adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin pria.

Seorang pria biasanya menikah dengan seorang wanita dalam suatu upacara

pernikahan sebelum diresmikan statusnya sebagai seorang suami dan pasangannya

sebagai seorang istri.Suami merupakan pasangan hidup istri dan ayah dari

(24)

tersebut dan suami mempunyai peranan yang penting, dimana suami sangat

dituntut bukan hanya sebagai pencari nafkah akan tetapi suami sebagai motivator

dalam berbagai kebijakan yang akan di putuskan termasuk merencanakan

keluarga.16

Istri adalah salah seorang pelaku pernikahan yang berjenis kelamin

wanita. Seorang wanita biasanya menikah dengan seorang pria dalam suatu

upacara pernikahan sebelum diresmikan statusnya sebagai seorang istri dan

pasangannya sebagai seorang suami. Istri merupakan pasangan hidup suami dan

ibu dari anak-anak, Istri bertugas membantu suami sebagai pasangan dalam

menjalankan kehidupan rumah tangga, mengurus anak-anak, melayani suami dan

sebagai sahabat suami dalam menjalankan serta merencanakan keluarga dengan

sebaik-baiknya. b. Istri.

17

Perkawinan diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dimana

pada pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk Hubungan suami dan istri terikat pada suatu ikatan, yaitu

perkawinan.Ikatan perkawinan ini merupakan organisasi terkecil dalam

masyarakat yang dinamakan rumah tangga.

16

http://id.wikipedia.org/wiki/Suami, akses tanggal 19 Mei 2011,jam 21:30.

(25)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang

Maha Esa.

Untuk itu Suami istri harus saling membantu dan melengkapi agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan.

Sehingga hubungan suami istri ini memberikan gambaran yang kuat adanya

kehangatan ,rasa aman dan cinta kasih.

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami, baik dalam kehidupan rumah tangga,maupun dalam pergaulan masyarakat.

Dengan demikian ,segala sesuatu dalam rumah tangga (keluarga) dapat

dirundingakan dan diputuskan bersama oleh suami dan istri. Namun, dalam

kenyataannya mengandung paradoks, artinya dalam kehidupan rumah tangga

yang kelihatannya serasi dan bahagia,tindak kekerasan acap kali terjadi. Cukup

banyak kesaksian yang menunjukkan kedua perilaku, baik yang sifatnya

menyayangi, maupun yang bersifat kekerasan, terjadi bersama-sama dalam sebuah

rumah tangga.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tujuan perkawinan untuk

mewujudkan keluarga yang bahagia, selalu terhambat oleh berbagai permasalahan

yang terjadi antara suami dan istri. Mereka pada umumnya menganggap bahwa

permasalahan rumah tangga merupakan masalah yang sangat pribadi. Selain itu,

juga dianggap sebagai hak laki-laki (suami) atas tubuh istrinya sendiri, yang resmi

dinikahi. Disamping ada suatu anggapan bahwa kekerasan tersebut merupakan

(26)

milik suami, sehingga suami dapat memperlakukan istri sesuka hatinya. Dengan

anggapan demikian sikap suami terhadap istri cenderung menjalankan istri

sebagai objek, bukan sebagai subjek atau individu (pribadi) yang mempunyai hak

asasi yang patut dihormati.

Padahal dalam Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan

bahwa:

(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat.

(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri rumah tangga.

Namun, pasal ini tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “ibu rumah

tangga”. Pencantuman istilah tersebut seakan-akan membatasi ruang gerak istri

(perempuan) hanya diranah domestik saja. Padahal kenyataan banyak kaum istri

merambah keranah publik, serta menjalankan profesi sesuai dengan kemampuan

intelektualnya.

4.Bentuk- Bentuk Kekerasan Dalam rumah Tangga Secara Umum.

Dari berbagai kasus yang pernah ada di Indonesia bentuk-bentuk

kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dapat dikelompokkan

(27)

1. kekerasan Fisik

a. Pembunuhan:

1) .suami terhadap istri atau sebaliknya;

2) ayah terhadap anak atau sebaliknya;

3) ibu terhadap anak atau sebaliknya(termasuk pembunuhan bayi oleh ibu);

4) adik terhadap kakak,kemanakan,ipar atau sebaliknya;

5) anggota keluarga terhadap pembantu;

6) bentuk campuran selain tersebut di atas.

b. Penganiayaan :

1) suami terhadap istri dan sebaliknya;

2) ayah terhadap anak dan sebaliknya;

3) ibu terhadap anak atau sebaliknya (termasuk penganiayaan bayi oleh ibu);

4) adik terhadap kakak,kemanakan,ipar atau sebaliknya;

5) anggota keluarga terhadap pembantu;

6) bentuk campuran selain tersebut diatas.

c. Perkosaan:

1) ayah terhadap anak perempuan;ayah kandung atau ayah tiri dan anak

(28)

2) suami terhadap adik/kakak ipar;

3) kakak terhadap adik;

4) suami /anggota keluarga laki-laki terhadap pembantu rumah tangga;

5) bentuk campuran selain tersebut diatas.

2. Kekerasan NonFisik/Psikis/Emosional, seperti:

a. penghinaan;

b. komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan melukai

harga diri pihak istri;

c. melarang istri bergaul;

d. ancaman-ancaman berupa akan mengembalikan istri ke orang tua ;

e. akan menceraikan;

f. memisahkan istri dari anak-anaknya dan lain-lain.

3. Kekerasan Seksual, meliputi:

a. pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;

b. pemaksaan hubunagan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau

disetujui oleh istri;

c. pemaksaan hubungan seksual ketika istri tidak menghendaki,istri sedang sakit

atau sedang mensturbasi;

(29)

4.Kekerasan Ekonomi , berupa:

a. tidak memberi napkah pada istri;

b. memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomis untuk mengontrol

kehidupan istri;

c. membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai oleh

suami. Misalnya memaksa istri menjadi “wanita panggilan”.

5. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU Nomor 23

Tahun 2004.

Bentuk-bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004, tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9,

yaitu:

1) Kekerasan fisik , yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh

sakit atau luka berat (pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

2) Kekerasan Psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

(30)

dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7 Undang -Undang

Nomor 23 Tahun 2004).

3) Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan

terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain

itu juga berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau

tujuan tertentu (Pasal 8 Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2004).

4) Penelantaran rumah tangga juga dimasukkan dalam pengertian kekerasan ,

karena setaip orang dilarang menelantarkan dalam lingkup rumah tangga,

padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan

kepada orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap

orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dangan cara

membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar

rumah, sehingga korban dibawah kendali orang tersebut (Pasal 9

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

6. Perspektif Kriminologi

Secara umum, istilah kriminologi identik dengan perilaku yang dikategorikan

sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dimaksudkan disini adalah suatu tindakan

yang dilakukan orang orang dan atau instansi yang dilarang oleh suatu undang-

(31)

memandang kriminologi yang merupakan bagian dari ilmu yang mempelajari

suatu kejahatan.

Secara etimologi, kriminologi berasal dari kata crime yang artinya adalah

kejahatan dan logos yang artinya adalah ilmu. Jadi secara etimologi, kriminologi

merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang seluk beluk

kejahatan. Hal inilah yang dimungkinkan timbulnya suatu pemahaman tersebut

diatas yang senantiasa mengidentikkan kriminologi dengan perilaku kejahatan.

Selain secara etimologi, ada berbagai macam bentuk definisi dari

kriminologi yang dikembangkan oleh para ahli hukum diantaranya adalah:

1) Mr. W.A Bonger

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala

-gejala kejahatan seluas-luasnya.18

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor

yang menjadi sebab mushabab dari terjadinya kejahatan dan penjahat. 2) J. Constant

19

dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab musabab dan akibat-akibatnya.

3) Noach

Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan

20

18

W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi terjemahan R.A Koenoen, (Jakarta: Penerbit PT. Pembangunan , 1962), halaman. 7.

19

(32)

4) Hurwitz

Kriminologi dipandang sebagai suatu istilah global atau umum untuk suatu

lapangan ilmu pengetahuan yang sedemikian luas dan beraneka ragam, sehingga

tidak mungkin dikuasai oleh seorang ahli saja.21

Kriminologi merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang dilakukan

individu dan bangsa-bangsa yang berbudaya sehingga objek penelitian

kriminologi ada 2 yakni perbuatan individu (tat und täter) dan perbuatan

(kejahatan).

5) Wilhelm Sauer

22

Kriminologi merupakan tiap kelakuan yang merugikan (merusak) dan asusila

yang menimbulkan kegoncangan yang sedemikian besar dalam suatu masyarakat

tertentu sehingga masyarakat itu berhak menceladan mengadakan perlawanan

terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu

nestapa (penderitaan) terhadap pelaku kejahatan. 6) J.M van Bemmelen

23

Kriminologi sebagai suatu keseluruhan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan

dengan kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat (sosial). Ilmu ini meliputi: 7) Sutherland

20

Ibid

21

Stephan Hurwitz, Kriminologi, Disadur oleh L. Moeljatno, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), halaman. 3.

22

Ibid

23

(33)

1. Cara/proses membuat undang-undang;

2. Pelanggaran terhadap undang-undang; dan

3. Reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran ini.24

(Dikutip dari stepen hurwits,Hurwits,1986) menyatakan kriminalogi merupakan

ilmu pengetahuan tentang kejahatan-kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang

orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu. Dengan

kejahatan dimaksudkan pula pelanggaran, artinya perbuatan yang menurut

undang-undang diancam dengan pidana,dan kriminalitas meliputi kejahatan dan

kelakuan jelek. 8) Muljatno

25

Kriminalogi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan (baik

yang dilakukan oleh individu,kelompok atau masyarakat) dan sebab musabab

timbulnya kejahatan serta upaya-upaya penanggulangannya sehingga orang tidak

berbuat kejahatan lagi. 9) Ediwarman

26

Dalam perspektif kriminologi, ilmu kriminologi hadir sebagai ilmu

yang membahas mengenai kejahatan dimana kejahatan merupakan fenomena

pelanggaran hak asasi manusia. Dan apabila dikaitkan dengan kekerasan yang

24

Stephan Hurwitz, Op. Cit, halaman. 5-6.

25

Abdulsyani , Sosiologi Kriminalitas . (Bandung: CV. Remadja Karya ,1987), halaman.10.

26 Ediwarman, dkk,

(34)

dilakukan oleh suami terhadap istri maka ini merupakan salah satu bentuk

diskriminasi, khususnya terhadap perempuan.

F.Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan

sehubungan dengan itu, dalam penerapan ditempuh langkah-langkah sebagai

berikut:

1.Tipe Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang

didasarkan pada bahan hukum primer,sekunder,dan tersier yaitu inventarisasi

peraturan mengacu kepada norma-norma yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan.

Dalam hal ini berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan oleh suami

terhadap istri, selain itu juga di pergunakan bahan-bahan tulisan yang berkaitan

dengan persoalan ini.

2.Jenis data.

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi :

1) Bahan hukum primer berupa peraturan perundangan yaitu

undang-undang kekerasan dalam rumah tangga, dan peraturan perundang-undang-undang-undangan

(35)

2) Bahan hukum tersier berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi

tentang bahan primer berupa tulisan/buku berkaitan dengan kekerasan yang

dilakukan oleh suami terhadap istri.

3) Bahan hukum tersier berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan-bahan primer dan sekunder seperti kamus bahasa

maupun kamus hukum.

3. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka

penulisan menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan

, yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis, buku-buku, surat kabar,

makalah ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang

berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

G.Sistimatika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan,penelitian ini

akan dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat

(36)

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penulisan, dan sistematik penulisan.

Bab II : Dalam bab ini di uraikan mengenai pengaturan hukum mengenai

kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri. Bagian-bagian yang di

uraikan yaitu kajian hukum mengenai Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004, peran penegak hukum berdasarkan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004, serta epektifitas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tanggga.

Bab III : Dalam bab ini di uraikan mengenai faktor -faktor penyebab terjadianya

kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri. Bagian-bagian yang

diuraikan yaitu faktor-faktor dari perspektif kriminalogi, dari

perspektif keagamaan, serta lingkungan sosial yang ada dalam

masyarakat.

Bab IV : Dalam bab ini diulas mengenai penegakan hukum terhadap tindak

pidana kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Yaitu

penegakan penal dan non penal, hambatan-hambatan dalam

penegakan kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri, serta

penanggulangan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh suami

terhadap istri.

Bab V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup berisikan

(37)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG

DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI

A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Masalah kekerasan dalam rumah tangga pertama kali dibahas dalam

seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum

Universitas Indonesia pada tahun 1991. Materi seminar di fokuskan pada suatu

wacana adanya tindak kekerasan yang luput dari perhatian masyarakat maupun

penegak hukum, yaitu tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.

Dalam seminar tersebut diusulkan pembentukan undang-undang khusus

untuk menanggulangi tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Ada

yang menyetujui dibentuknya undang-undang khusus, tetapi ada juga yang

menentangnya. Dengan alasan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah

cukup mengaturnya. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap terbentuknya

undang-undang baru tersebut memberikan argumentasi dari sudut pandang

masing-masing. Namun kiranya, perjuangan kaum perempuan dan sebagian kaum

laki-laki yang mengikuti seminar tersebut tidak berhenti sampai disitu. Karena

sejak saat itu kaum perempuan mulai bangkit dengan berbagai upaya untuk

menyingkap tradisi yang mengharuskan perempuan menutupi tindak kekerasan

(38)

Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan momentum sejarah

bagi bangsa indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok

masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan

terhadap perempuan. Lahirnya Undang-Undang tersebut merupakan bagian dari

penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi.

Sejak draft awal disosialisasikan yakni tahun 1998 hingga 2004 banyak

pihak dari berbagai wilayah di Indonesia yang terlibat dalam proses kelahiran

undang-undang ini. Gagasan mengenai pentingnya sebuah undang-undang

kekerasan dalam rumah tangga didasarkan atas pengalaman para perempuan

korban kererasan yang terjadi diranah domestik. Para korban tidak saja

mengalami kekerasan fisik, tetepi juga bentuk-bentuk lain seperti psikis, seksual

maupun ekonomi.

Sementara itu, sistem hukum dan sosial yang ada tidak memberikan

perlindungan dan pelayanan yang cukup pada para korban. Rumusan-rumusan

dalam aturan perundang-undangan yang masih persifat diskriminatif dan tidak

efektif dalam memberikan akses hukum dan keadilan, merupakan hambatan bagi

kaum perempuan dan eksis.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini dilandasi oleh

berbagai pertimbangan, antara lain bahwa setiap warga negara berhak

(39)

demikian, segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga

merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Pada kenyataannya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak

terjadi. Adapun sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan

terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Yang

dimaksud dengan kekerasaan dalam rumah tangga adalah :

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan

pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam

lingkup rumah tangga” (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004).

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa

lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:

1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :

a. suami, istri dan anak.

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaima dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,

persusuan, pengasuhan, dan perwakilan yang menetap dalam rumah

(40)

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut.

2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota

keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang

bersangkutan

Adapun asas dan tujuan disusunnya undang-undang ini tercantum dalam

pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sebagai berikut :

Bunyi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 :

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:

a. penghormatan hak asasi manusia;

b. keadilan dan kesetaraan gender;

c. non diskriminasi; dan

d. perlindungan korban.

Di awal telah disebutkan bahwa kaum perempuan mempunyai hak asasi

yang sama dengan hak asasi kaum laki-laki. Adapun yang dimaksudkan dengan

“kesetaraan gender” adalah suatu keadaan dimana perempuan dan laki-laki

menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan

secara penuh hak-hak asasi manusia dan potensinya bagi keutuhan dan

kelangsungan rumah tangga secara proporsional. Selanjutnya asas yang ke-3

(41)

Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan kemudian dimuat dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, diharapkan masyarakat tidak melakukan

diskriminasi terhadap perempuan ,baik di ranah domestik,maupun diranah publik.

Diskriminasim terhadap wanita (perempuan) berarti setiap pembedaan,

pengecualian atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang

mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan

pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan

kebebasan-kebebasan dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya

oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan

antara pria dan wanita.27

1. Mencegah segala bentuk kekerasaan dalam rumah tangga;

Selanjutnya, asas ke-4 menyebutkan adanya perlindungan korban, yang

diamksud dengan perlindungan adalah:

“Segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban. Yang

dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan ,

pengadilan atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan

pengadilan”. (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Selanjutnya, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur

tentang tujuan disusunnya undang-undang tersebut, yaitu:

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :

27

(42)

2. Melindungi korban kekerasaan dalam rumah tangga;

3. Meninndak pelaku kekerasaan dalam rumah tangga; dan

4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah sosial, bukan masalah

keluarga yang perlu disembunyikan. Hal ini tertuang dalam aturan yang tercantum

dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi :

“Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah

tangga.”

Untuk mewujudkan ketentuan pasal 11 tersebut, pemerintah :

1. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasaan dalam rumah

tangga.

2. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan

dalam rumah tangga;

3. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah

tangga;

4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu

kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi

pelayanan yang sensitif gender (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004).

Kemudian untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah

pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat

(43)

1. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian ;

2. Penyediaan aparat ,tenaga kesehatan,pekerja sosial,dan pembimbing rohani;

3. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program

pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban;

4. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi , keluarga dan teman

korban (Pasal 13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004).

Kererasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial, sehingga

diharapkan setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya yang sesuai dengan

batas kemampuannya untuk :

1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

2. Memberikan perlindungan kepada korban;

3. Memberikan perlindungan darurat;

4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Pasal 15

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

Dalam hal ini disebut dengan perintah perlindungan adalah penetapan yang

dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban

B. Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

(44)

Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

adalah mengenai peran-peran Aparat Penegak Hukum, khususnya kepolisian,

advokat dan pengadilan dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi

korban kekerasan dalam rumah tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai

mekanisme perlindungan dari pengadilan demi keamanan korban.

1. Peran Kepolisian( Pasal 16-20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)

Saat kepolisian menerima laporan mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga

,aparat kepolisian harus segera menerangkan mengenai hak-hak korban untuk

mendapatkan pelayanan dan pendampingan. Selain itu, sangat penting pula bagi

pihak Kepolisian untuk memperkenalkan identitas mereka serta menegaskan

bahwa kekerasaan dalam rumah tangga adalah sebuah kejahatan terhadap

kemanusiaan sehinga sudah menjadi kewajiban dari kepolisian untuk melindungi

korban.

Setelah menerima laporan dari korban mengenai terjadinya kekerasaan

dalam rumah tangga, langkah-langkah yang harus diambil kepolisian adalah:

a. memberikan perlindungan sementara pada korban.

b. Meminta surat penetapan perintah perlindungan dari korban.

c. Melakukan penyidikan.

Sehingga dengan adanya jaminan seperti ini hendaknya para korban dari

kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi takut untuk mengungkapkan kekerasan

(45)

agar kekerasan yang menimpanya dapat segera diselidiki sesuai dengan peraturan.

Sehingga tidak lagi menjadi suatu yang disimpan-simpan dan tertutup dari

masyarakat. Tidak menganggap bahwa aparat kepolisian akan menimbulkan

permasalah baru dalam rumah tangga yang mengalami konflik tersebut.

Polisi sebagai aparat kepolisian juga harus melaksanakan tugasnya sesuai

dengan peraturan dalam penaganan korban kekerasan dalam rumah tangga diatur

dalam pasal 16 sampai 20 Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

Apabila aparat kepolian sudah menjalankan fungsinya dengan baik, maka

diharapkan korban dari kekerasan dalam rumah tangga tidak lagi malu untuk

melaporkan tindak kekerasan yang terjadi terhadap dirinya.

2.Peran Advokat ( pasal 25)

Advokat sebagai propesi yang membela masyarakat yang bermasalah atau

berbenturan dengan hukum juga harus selalu siap dalam menyelesaikan masalah

atau perkara mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Hal ini diatur

dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004, dimana dalam hal

memberikan perlindungan pelayanan bagi korban maka advokat wajib:

a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak

korban dan proses peradilan ;

b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan ,penuntutan dan pemeriksaan

dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap

(46)

c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping

dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagai mana mestinya.

Sehingga dalam hal ini advokat juga memiliki peran yang sangat penting

dalam proses terciptanya kebenaran dan penegakan hukum dalam perkara-perkara

kekerasan dalam rumah tangga. Advokat membantu korban untuk mengatakan

yang sebenar-benarnya tentang kekerasan atau hal-hal apa saja yang menimpanya,

sehingga dapat mempermudah bagi korban untuk menyelesaikan masalah yang

menimpanya.

3.Peran Pengadilan

Peran Pengadilan dalam penyelesian kekerasaan dalam rumah tangga sangat

dibutuhkan, sehingga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidak luput mengatur bagaimana

peran pengadilan dalam memberikan perlindungan terhadap korban, khususnya

mengenai pelaksanaan mekanisme perintah perlindungan.

Seperti telah disebutkan diawal tadi, bahwa kepolisian harus meminta

surat penetapan perintah perlindungan dari peradilan. Maka setelah menerima

permohona itu, pengadilan harus;

a. Mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban

dan anggota keluarga lain (Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004).

b. Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangan

(47)

larangan memasuki tempat tinggal bersama ,larangan membuntuti,

mengawasi atau mengintimidasi korban (Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004).

Apabila terjadi pelanggaran perintah perlindungan,maka korban dapat me-

laporkan hal ini ke kepolisian, kemudian secara bersama-sama menyusun laporan

yang ditunjukkan kepada pengadilan. Setelah itu, pengadilan wajib memanggil

pelaku untuk mengadakan penyelidikan dan meminta pelaku untuk membuat

pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah

perlindungan. Apabila pelaku tetap melanggar surat pernyataan itu, maka

pengadilan dapat menahan pelaku sampai 30 hari lamanya ( Pasal 38

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004)

Dalam memberikan perlindungan terhadap korban ini, Aparat Penegak

Hukum dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan

pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Yang secara

tegas telah di uraikan dalam Pasal 21 sampai Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23

tahun 2004.

` kemudian dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyampaikan adanya peran

-peran profesi tambahan selain -peran dari aparat kepolisaan ,advokat dan -peran

(48)

proses kepentingan pemulihan korban (pasal 39 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004). Korban dapat memperoleh pelayanan dari:

1.Peran Tenaga Kesehatan

Setelah mengetahui adanya kasus kekerasan dalam rumah tangga, maka petugas

kesehatan berkewajiban untuk memeriksa kesehatan korban, kemudian membuat

laporan tertulis mengenai hasil pemeriksaan serta membuat visum et repertum

atau surat keterangan medis lain yang memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan

alat bukti.

2.Peran Pekerja Sosial

Dalam melayani korban kasus kekerasan dalam rumah tangga, ada beberapa hal

yang harus dilakukan oleh pekerja sosial :

a. Melakukan konseling untuk menguatkan korban;

b. Menginformasikan mengenai hak-hak korban;

c. Mengantarkan korban kerumah aman( shelter);

d. Berkoordinasi dengan pihak kepolisian, dinas sosial dan lembaga lain demi

kepentingan korban.

3.Peran Pembimbing Rohani

Demi kepentingan korban, maka Pembimbing Rohani harus memberikan

penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman serta

takwa.

(49)

Sementara itu, salah satu terobosan hukum lain dari Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 adalah diaturnya mengenai perihal peran dari Relawan Pendamping.

Menurut undang-undang ini, ada beberapa hal yang menjadi tugas dari Relawan

Pendamping, yakni :

a. menginformasikan mengenai hak korban untuk mendapatkan seorang atau

lebih pendamping;

b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat

pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban agar dapat memaparkan

kekerasan yang dialaminya secara objektif dan lengkap;

c. mendengarkan segala penuturan korban;

d. memberikan penguatan korban secara psikologis maupun fisik.

C. Efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah tangga.

Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sudah sepantasnya berdampak

baik terhadap masyarakat, khususnya bagi keluarga. Dalam Undang-Undang ini

efektipitas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 ini ditentukan dari kepedulian

masyarakat untuk mensosialisasikan dan menerapkan Undang-Undang ini dalam

kehidupan bermasyarakat, karena undang-undang itu hadir untuk dapat

diterapkan dalam permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat

(50)

sendiri.Masyarakat harus saling bekerja sama baik sesama warga maupun dengan

penegak hukum. Sikap saling bahu membahu untuk menyelesaikan suatu perkara

yang ada dalam kehidupan bermasyarakat memudahkan untuk tercapainya

kelayakan dan kegunaan undang-undang ini bagi masyarakat.

Sanksi dari hukuman yang terdapat dalam Undang-Undang 23 tahun 2004

juga berpengaruh untuk menjaga efektipitas dalam Undang-Undang Tersebut.

Dimana sebagai alat pemaksa agar seseorang menaati, norma-norma yang berlaku.

Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian dalam

kehidupan bersama , dimana kedamaian berarti suatu keserasaian antara ketertiban

dengan ketentraman atau keserasian antara perikatan dengan kebebasan. Itulah

yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain dari

mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum.

Dalam masyarakat terdapat 4 (empat) norma, yaitu norma keagamaan ,

norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum. Dari keempat norma

tersebut, norma hukumlah yang mempunyai sanksi yang lebih mengikat sebagai

alat pemangsa. Adapun pelaksana “alat pemangsa” tersebut diserahkan kepada

penguasa (negara). Berbeda dengan pelanggaran terhadap norma-norma yang lain.

Di mana pelaksanaan sangsi tidak dilakukan oleh penguasa dan tidak segera

dirasakan oleh yang melanggar. Sangsi yang dijatuhkan pada norma hukum ,

segera dapat dirasakan oleh si pelanggar dalam hal ini pelaku tindak kekerasan

(51)

Efektipitas Undang-Undang ini juga dipengaruhi oleh jumlah dan

keinginan masyarakat untuk melaporkan dan tidak lagi merasa malu membuka

permasalahan kekerasan dalam rumah tangga kepada lingkungannya. Ada yang

menarik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dimana dalam satu pasal

( satu jenis perbuatan pidana )sekaligus terdapat delik biasa dan (umum) dan delik

aduan. Hal ini memudahkan kepada pengungkapan kasus kekerasan dalam rumah

tangga karena tidak hanya korban yang harus langsung melaporkan tindakan

kekerasan yang diterimanya, namun dapat juga dilaporkan oleh masyarakat yang

melihat dan menyaksikan tindak pidana kekerasan tersebut. Karena sebagai warga

masyarakat yang baik dan peduli akan terjadinya suatu perbuatan yang melanggar

hukum dapat melaporkan ke aparat kepolisian. Karena menurut pasal 1 ke 24

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, laporan

adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan

kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang

telah atau sedang diduga akan terjadinya peristiwa pidana.28

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah

tangga sebagaimana diamaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana Hal tersebut terdapat dalam Bab VIII tentang ketentuan pidana dalam

Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Masing-

Masing pasal dikemukakan sebagai berikut :

Bunyi pasal 44 undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 :

(52)

penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak

Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)

(2) Dalam Hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan

korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (

tiga puluh juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan

matinya korban,dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas ) tahun

atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau

halangan untuk menjalankan kekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau

kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Kemudian pasal ini perlu dikaitkan dengan Pasal 51 dari undang-undang yang

Sama, yang berbunyi :

“tindak pidana kekerasan fisik segagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4)

merupakan delik aduan.”

Selanjutnya, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 berbunyi:

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah

(53)

penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00

(sembilan juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau

halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan mata pencarian atau kegiatan

sehari-hari, dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling

banyak Rp 3.000.000,00 ( tiga juta rupiah).

Kemudian Pasal 45 ini, perlu dikaitkan dengan Pasal 52 dari undang-undang

yang sama , yang berbunyi :

“Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)

merupakan delik aduan.”

Adapun Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 berbunyi :

“setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana

dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12

(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh

enam juta rupiah).

Pasal 46 tersebut berkaitan dengan Pasal 53 dari undang-undang yang sama, yang

(54)

“Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang

dilakukan oleh seseorang terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik

aduan.”

Kiranya apa yang telah dicantumkan dalam peraturan tersebut merupakan

pedoman bagi para aparat penegek hukum agar lebih mantap dalam menjalankan

tugasnya dan bagi korban sendiri merupakan jaminan akan ditegakkannya

keadilan dibidang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Namun, kalau kita amati justru tindak kekerasan pada istri ( yang

dilakukan oleh suami), dijatuhi pidana yang lebih ringan dari pada kalau tindak

kekerasan tersebut dilakukan terhadap mereka (selain istri) yang ada dalam

lingkup rumah tangga. Tindak dijelaskan apa dasar pertimbangan adanya pidana

yang lebih ringan tersebut. Masyarakat dan penegak hukum yang akan menguji

Epektipitas dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, diiringi dengan waktu

dan mampunya masyarakat menerima dan menerapkan secara baik dan benarnya

undang-undang tersebut.

(55)

BAB III

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TIMBULYA KEKERASAN YANG

DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI

A.Dalam Perspektif Kriminologi

Masalah kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri tentunya

bukan merupakan fenomena baru dalam dunia kriminologi. Sebagaimana

ditegaskan oleh Benedict S Alper bahwa kejahatan merupakan the oldest sosial

problem.29

29

Barda Nawawi Arief, ”Kebijakan Legislatif Dalam Pembaharuan Hukum”, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro), 1996, halaman. 11.

Kejahatan termasuk juga kekerasan yang dilakukan suami terhadap

istri yang juga biasa disebut kekerasan dalam rumah tangga, yang walaupun

kekerasan dalam rumah tangga tersebut tidak hanya dilakukan oleh suami

terhadap istri, namun dalam kebanyakan kasus selalu istri yang menjadi korban.

Kekerasan ini mungkin setua dengan umur perkawinan umat manusia, hanya

saja secara normatif hal ini di Indonesia khususnya baru diformulasikan

normanya, sehingga terkesan kasus kekerasan dalam rumah tangga hal yang

sangat baru dalam dunia penegakan hukum. Sekalipun dalam KUHP diatur delik

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa langkah pembelajaran dengan menerapkan strategi REACT dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS) yang dapat meningkatkan keaktifan

Mashlahah -0.012, nilai t hitung sebesar -2.045 dengan nilai signifikan 0.043, sehingga dapat diartikan terdapat pengaruh yang signifikan antara Store Atmophere dan

Faktor yang mendukung akan terlaksananya implementasi pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler seni tari diantaranya adalah lebel sekolah berbasis model

Pada hasil perhitungan yang di dapat pada reaktor alir tangki berpengaduk mempunyai aliran turbulen, perpindahan panas yang di lakukan oleh pemanasan steam dengan media

bentuk dokumen elektronik, bila salah satu pihak melanggar kesepakatan tersebut atau wanprestasi dari salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengugat ke

menerima , kata nerima pada kalimat tersebut adalah kata tidak baku, namun dalam kaidah nonformal kata tersebut disyahkan, tapi karena di dalam penelitian ini

Berdasarkan hasil dan perhitungan eksisting diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan model terminal design concept yang optimum sebagai alternatif dalam perencanaan pengembangan

Pada hemat penulis, keteladanan, bermain, bercerita, pujian, hukuman dan sebagainya merupakan metode atau cara yang dilakukan dalam melaksanakan model tertentu yang digunakan