• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemujaan terhadap laksamana cheng ho : studi kasus di klenteng po kong,gedung batu simongan semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemujaan terhadap laksamana cheng ho : studi kasus di klenteng po kong,gedung batu simongan semarang"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PEMUJAAN TERHADAP LAKSAMANA CHENG HO

(Studi Kasus di Klenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan, Semarang)

Skripsi

Oleh

MUHAMAD USMAN NIM : 101032121624

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya,

penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga

tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga, para sahabat

dan semua orang yang mengikuti petunjuk-Nya, sampai hari kemudian.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengakui bahwa dalam menyusun skripsi

ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun dengan bantuan

dan motivasi yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan rasa hormat

dan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat, beserta segenap stafnya.

2. Ibu Dra. Hj. Hermawati, M.A., selaku ketua Jurusan Perbandingan Agama dan

bapak Syaiful Azmi, S. Ag., selaku sekretaris Jurusan Perbandingan Agama,

yang telah memberikan nasehat kepada penulis dan telah membantu dalam

penyelesaian kebutuhan administrasi.

3. Bapak Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si., selaku pembimbing yang senan tiasa

memberikan bimbingan, nasehat, pengarahan serta dorongan kepada penulis

(3)

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta atas segala didikan, bimbingan, dorongan dan motivasinya kepada

penulis dalam mengenyam pendidikan di Fakultas ini.

5. Pimpinan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, perpustakaan LIPI, perpustakaan Umum

Daerah Semarang Jawa Tengah, beserta segenap stafnya yang telah membantu

penulis dalam menyediakan buku-buku yang dibutuhkan dalam penyusunan

skripsi ini.

6. Bapak Ir. Priambudi, Kwantong Hai, Wen, serta para setaf pegawai Yayasan

Klenteng Sam Po Kong yang telah membatu penulis dalam penyelesaian skripsi

ini.

7. Kedua orang tua penulis, yang selama ini telah memberikan motivasi, bantuan

moril maupun materil serta do'anya untuk kelangsungan studi penulis. Serta

adik-adikku dan keponakanku tercinta

8. Teman-teman seperjuangan di Jurusan Perbandingan Agama angkatan 2001

(Awad Ahmad, Aang Zaenal Mutaqin, Muhammad Purwadi, Irfan, Ali Imron,

Rosim, Atiatiyah, Sri Indah, Nur Hikmah, Kholisoh dan lain-lain yang tidak bisa

disebutkan satu persatu), yang telah memberikan motivasi selama perkuliahan

dan membatu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Teman-teman KPMDB : Hendrik, Margi, Arif, Wakro, Irwan, Alif, Darwanto,

(4)

Hanya kepada Allah SWT penulis memohon semoga segala jasa dan bantuan

mereka semua mendapatkan balasan yang lebih baik. Mudah-mudahan skripsi ini

bermanfaan terutama kepada penulis dan umumnya kepada masyarakat.

Jakarta, 11 Juni 2006

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

... C. Metode Penelitian... 6

D. Konsep dan Teori ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ORANG CINA DI INDONESIA ... 12

A. Sejarah Kedatangan Orang Cina Ke Nusantara (Indonesia) ... 12

B. Riwayat Hidup Laksamana Cheng Ho ... 17

C. Pelayaran Ekspedisi Laksamana Cheng Ho ... 20

D. Sejarah Singkat Laksamana Cheng Ho Ke Semarang... 25

BAB III KLENTENG SAM PO KONG ... 29

A. Sejarah Singkat Klenteng Sam Po Kong ... 29

B. Bagian-bagian dari Klenteng... 32

C. Makna Simbol-simbol ... 36

D. Kegiatan dalam Klenteng ... 38

(6)

Tabel ... 42

Grafik... 43

Struktur Pengurus Yayasan ... 44

Gambar (denah) Klenteng ... 45

BAB IV PANDANGAN DAN KEYAKINAN TERHADAP LAKSAMANA CHENG HO ... 48

A. Pandangan dan Keyakinan Menurut Umat Peranakan Cina Tridharma dan Islam Jawa ... 48

B. Pemujaan Laksamana Cheng Ho... 50

BAB V PENUTUP ... 53

A. Kesimpulan ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sekarang ini pemujaan terhadap makhluk dan kekuatan

supranatural seperti roh leluhur, dewa-dewa dan dewi-dewi yang dapat menangani

masalah-masalah penting yang tidak dapat dipecahkan dengan mengunakan teknologi

dan teknik organisasi merupakan sebagai bagian dari suatu kepercayaan yang masih

hidup diantara sejumlah bangsa. Dan bangsa-bangsa ini tidak selalu bangsa primitif,

bangsa yang lebih maju peradabannya pun masih mempercayainya.

Bangsa Cina merupakan suatu bangsa yang memiliki sejarah yang cukup

panjang konon, dimulai sekitar tahun 2.700 SM. Pada saat itu tradisi dan

lembaga-lembaga sudah terbentuk, sudah membudaya dan tersusun secara rapi.1 Kebudayaan, kepercayaan, dan tradisi tetap mereka pelihara. Kegiatan agama orang Cina didasarkan

atas fondasi yang berakar pada kepercayaan yang sama, yaitu tentang hakikat alam

semesta, pusat hubungan keluarga patrilineal, dan sangat mengagungkan kepercayaan

terhadap hal-hal gaib, roh-roh. Dalam perwujudannya yang khas, pada umumnya

memiliki kegiatan meliputi pemujaan leluhur, kekuatan alam, penggunaan perantara dan

bentuk hubungan lain dengan dunia roh, pengusiran setan dan berbagai usaha

penyembuhan, perayaan musiman, serta pemujaan dewa-dewa setempat.2 Hal-hal tersebut bahkan dapat kita lihat pada orang-orang Cina yang telah menetap di Indonesia

pada saat ini.

1

Romdhon, dkk., Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 217.

2

Benjamin Penny, “Agama dan Upacara”, Agama Orang Cina, (Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), h. 54.

(8)

Salah satu aspek dari kebudayaan orang Cina di Indonesia yang masih bertahan

dan merupakan suatu ciri yang menunjukan kecinaan mereka ialah dalam agama Cina

tradisional, yaitu tentang kepercayaan terhadap dewa-dewa dan roh (para leluhur atau

nenek moyang). Dalam agama Cina tradisional pemujaan terhadap arwah nenek

moyang merupakan hal yang mendasar bagi pandangan hidupnya.

Hubungan negeri Cina dengan Indonesia sudah sejak lama. Demikian juga

budaya Cina di Indonesia diterima dengan tangan terbuka, maka orang-orang Cina

datang ke Indonesia dengan membawa serta kebudayaan dan agama. Mereka dengan

demikian, kebudayaan Cina menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Masyarakat

Cina banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaan masyarakat Cina pada umumnya,

yakni kepercayaan terhadap agama Budha, Taoisme dan Konfusianisme. Demikian juga

perkumpulan Sam Kauw Hwee (perkumpulan tiga agama). Adakalanya kepercayaan

ketiga agama itu dipuja bersama-sama atau yang di kenal dengan ajaran Tridharma.3 Tempat pemujaan atau ibadah orang Cina bernama klenteng. Klenteng

merupakan istilah paling umum yang digunakan di Indonesia saat ini untuk menyebut

Kuil Tionghoa. Istilah lain, seperti Vihara untuk kuil Budha dan lithang untuk tempat

suci Konghucu, dan sebagai istilah Cina, Seperti Bio dan Kong, juga biasa dipakai.

Istilah klenteng berasal dari frasa Guan-yin ting, ‘Kuil Guan-yin’, yaitu sebuah kuil

yang didirikan untuk menghormati dewa di Batavia tahun 1650.4 Di Indonesia baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil terdapat satu atau dua klenteng yang khas dan

kaya dengan budaya Cina, yang digunakan sebagai tempat orang-orang untuk meminta

berkah, tempat untuk mengucapkan sukur. Untuk itu mereka membakar hio (dupa)

kepada dewa yang melindunginya. Besar kecilnya sebuah klenteng tergantung pada

3

D. S. Marga Singgih, Tridharma Suatu Pengantar, (Jakarta: Yayasan Samarotungga, 1987), h. 1.

4

(9)

kekuatan dari umatnya untuk membiayai pembangunan dan memeliharanya. kenyataan

ini menunjukan bahwa dengan merantaunya orang-orang Cina ke negeri kita ini, tidak

dilupakan kepercayaan kepada leluhur. Klenteng Cina dapat dibagi dalam tiga

golongan: klenteng Budha, klenteng Tao, dan klenteng yang dibangun untuk

menghormati dan memperingati orang-orang yang pada masa hidupnya telah berbuat

banyak jasa bagi masyarakat.5

Klenteng merupakan tempat pemujaan atau ibadah orang-orang Cina yang

menganut ajaran Tridharma yang terdiri dari tiga unsur yaitu, Budha (Budhisme), Laocu

(Taoisme), dan Konghucu (Konfusius).6 Klenteng Sam Po Kong yang berada di Gedung Batu, Simongan, Semarang merupakan klenteng yang terbuka bagi segala umat.

Didalamnya terdapat bermacam-macam pemujaan diantaranya Dewa Bumi, Kyai

Jurumudi atau Ong King Hong, Kyai Jangkar, Nabi Konghucu, Arwah Ho Ping, Kyai

Cundrik, dan Nyai Tumpeng, dan juga yang menjadi topik utama dalam pembahasan

skripsi ini yakni Cheng Ho atau Sam Po Kong.

Sedangkan pada masyarakat Islam Jawa mereka percaya kepada suatu kekuatan

yang melebihi segala kekuatan dimana saja yang mereka kenal, arwah nenek moyang

atau roh leluhur, guru-guru agama, tokoh-tokoh historis maupun setengah historis,

tokoh-tokoh pahlawan dari cerita mitologi yang dikenal karena suatu kejadian. Menurut

kepercayaan mereka itu dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan, ketentraman

ataupun keselamatan. Bilamana mereka berbuat sesuatu misalnya berpuasa, berpantang

melakukan perbuatan serta makan makanan tertentu, dan mendatangi tempat-tempat

yang kramat dengan melakukan pemujaan.

5

Puspa Vasanty, Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2002), cet. 19, h. 361-362.

6

(10)

Kultus terhadap seorang tokoh atau pemujaan terhadap tempat-tempat kramat

merupakan fenomena yang hampir tersebar di Indonesia, termasuk di Semarang yaitu

klenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan. Setiap tanggal 1 dan 15 Imlek

klenteng ini didatangi peranakan Cina dari Semarang dan daerah lainnya. Sedangkan

setiap malam Jumat Kliwon klenteng ini dikunjungi orang Islam Jawa di sekitar

Semarang dan daerah lainnya.

Bagi kalangan peranakan Cina dan Islam Jawa di Indonesia, khususnya

Semarang Cheng Ho diyakini bukan saja sebagai seorang bahariwan muslim dari

Tiongkok yang datang sekitar abad ke-14, tetapi sudah menjadi mitologi yang dianggap

sebagai manusia suci, dewa, sakti, bijak, dan dapat mendatangkan manfaat bagi semua

orang.

Menurut pengamatan penulis, masih banyak peranakan Cina yang kurang

memahami siapa sebenarnya Laksamana Cheng Ho, bagaimana kehidupannya dan apa

jasa-jasanya. walaupun dalam kehidupannya mereka memujanya.

Selain itu tujuan penulis untuk mengkaji Cheng Ho ialah karena ia seorang

bahariwan dan pedagang muslim tetapi di puja oleh peranakan Cina Umat Tridharma

dan umat Islam Jawa, maka penulis ingin mengungkap pandangan dan keyakinan

mereka tantang Cheng Ho.

Adapun alasan saya memilih Klenteng Sam Po Kong yang berada di Gedung

Batu Simongan Semarang tersebut sebagai tempat penelitian, adalah karena penulis

ingin mengetahui secara mendalam tentang keberadaan klenteng tersebut. Selain itu,

saya juga ingin mengetahui perjalanan klenteng tersebut dalam mempertahankan

(11)

Dengan alasan seperti tersebut diatas penulis ingin mengungkap mengenai

Cheng Ho dan Klenteng Sam Po Kong dalam sebuah skripsi yang berjudul

PEMUJAAN TERHADAP LAKSAMANA CHENG HO (Studi Kasus di Klenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan, Semarang).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Laksamana Cheng Ho adalah seorang bahariwan muslim dari negeri Cina yang

pernah berkunjung ke Semarang, karena kurangnya pemahaman tentang Cheng Ho

menyebabkan ia lebih dikenal sebagai tokoh yang dianggap suci, setengah dewa, sakti,

bijak, dan dapat dimintai berkah dan pertolongan.

Dalam kaitan dengan skripsi ini, penulis akan memfokuskan pada siapa Cheng

Ho dan mengungkap pandangan dan keyakinan peranakan Cina yang beragama

Tridharma dan Islam Jawa di Klenteng Sam Po Kong, Gedung Batu, Simongan,

Semarang.

Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam skripsi ini. Penulis memberikan

rumusan masalah pada :

1. Siapakah Laksamana Cheng Ho?

2. Bagaimana pandangan peranakan Cina umat Tridharma dan Islam Jawa

tentang keberadaan Cheng Ho tersebut dan mengapa ia dipuja?

C. Metode Penelitian

Untuk penyusunan skripsi ini, pengumpulan data dilakukan dengan mengunkan

(12)

1. Studi kepustakaan (library research) yaitu penelitian atas buku-buku bacaan,

diktat-diktat, jurnal, majalah, artikel, surat kabar, dan bahan-bahan informasi

lainnya yang berkaitan dengan masalah yang di bahas. Perpustakaan yang

dikunjungi penulis adalah perpustakaan Ushuluddin dan Filsafat, perpustakaan

utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Nasional dan

perpustakaan umum daerah Semarang Jawa Tengah.

2. Metode lapangan (field research) yaitu penulis mendatangi dan mengumpulkan

data di lapangan. Dilakukan dengan cara :

1. Observasi, dengan teknik ini penulis mengamati kenyataan yang

sebenarnya dilakukan oleh peranakan Cina umat Tridharma dan umat

Islam Jawa yang mengunjungi klenteng Sam Po Kong.

2. Wawancara, terbagi atas dua bagian, pertama wawancara mendalam

dengan mengunakan informasi kunci (orang-orang yang terkait di dalam

Klenteng Sam Po Kong). Kedua wawancara bebas yang menyangkut

hal-hal yang belum diungkap informasi kunci.

Penulis melakukan wawancara dengan bapak Kuantong Hai, bapak Wen

selaku pemandu di klenteng Sam Po Kong dan dengan juru kuci klenteng

Sam Po Kong. Dan wawancara dengan pengunjung yang melakukan

pemujaan dan sembahyang di klenteng Sam Po Kong.

D. Konsep dan Teori

Sarjana yang mengembangkan teori tentang pemujaan terhadap nenek moyang

atau pemujaan terhadap para leluhur adalah Jevons dalam bukunya Introduction to the

(13)

moyang atau pemujaan terhadap para leluhur dilakukan oleh Euhomerus, dan kemudian

dilanjutkan oleh H. Spencer. Euhomerus (seorang penulis Yunani) yang mengemukakan

bahwa roh-roh atau jiwa yang berpribadi yang dalam perkembangannya disebut dewa

dahulunya adalah raja-raja besar di bumi ini. Kemudian dalam sejarah agama-agama,

Euhomerus merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menunjukkan dan

menekankan bahwa dewa-dewa itu dahulunya adalah tokoh-tokoh pahlawan manusia

sendiri. Di Persi atau Iran, Fravashi yang dilukiskan dalam Yasna 13 sebagai Fravashi

Suci yang ada di bawah tanah sejak kematian mereka, dimuliakan dan dihormati sebagai

makhluk yang berkuasa dan menentukan terhadap manusia.7

Pemujaan dan Penghormatan terhadap para leluhur adalah manifestasi dari

macam-macam sikap terhadap orang yang telah meninggal di kalangan suku primitif.

Sikap terhadap orang yang sudah meninggal ditentukan oleh kelestarian hubungan

antara orang-orang yang masih hidup dengan orang-orang yang sudah mati.

Dalam sikap pemujaan dan penghormatan kepada para leluhur menurut Zakiah

Daradjat dalam buku Perbandingan Agama I terdapat beberapa macam bentuk kultus

pemujaan:

1. Tingkat pemujaan menurut kelas-kelas. Tidak semua leluhur mempunyai

tingkatan yang sama sebab di antara mereka terdapat yang paling berkuasa. Dan

sering terjadi anggota kelompok atau anggota suku dalam tingkatan biasa hanya

dipuja untuk sementara waktu saja. Bentuk sesembahan yang sangat merata di

antara suku-suku primitif adalah terhadap roh para pribadi agung yang

merupakan pusat kultus sesembahan terhadap leluhur. Di Yunani, India, Mesir,

Amerika, Afrika, Asia dan Australia, pemujaan dan penyembahan terhadap para

7

(14)

pahlawan dan pribadi yang menonjol dalam masyarakat merebut hati

masyarakat.

2. Kultus sesembahan yang merupakan tumpuan harapan. Roh-roh para leluhur

dapat dipanggil untuk membantu kesulitan masyarakat. Terutama untuk

menjamin kelestarian garis jalur keturunan kerena biasanya ada keyakinan

bahwa roh para leluhur mendambakan kelestarian garis yang memuja dia. Selain

itu juga roh para leluhur diharapkan untuk menghindarkan penyakit atau wabah,

membantu memberikan hasil panen yang melimpah-limpah.

3. Roh leluhur sebagai dewa. Ada leluhur yang diyakini kedudukannya sama

dengan dewa.

4. Bentuk Kultus sesembahan yang bersifat individual. pemujaan terhadap roh

leluhur yang dilakukan secara individu.

5. Bentuk kultus sesembahan yang bersifat komunal. Leluhur yang disembah oleh

suatu kelompok keluarga, clan, suku ataupun bangsa karena para roh ini

merupakan anggota keluarga, clan, suku pada waktu hidupnya.

Bagi orang Cina disamping percaya bahwa kesehatan, keselamatan, kebahagiaan

dan rezeki itu datangnya dari kemurahan Tuhan, namun mereka pun percaya akan

roh-roh leluhur dan dewa-dewa karena mereka dapat memberikan perlindungan dan

mengawasi. Salah satu yang sangat di hormati di klenteng Sam Po Kong adalah Cheng

Ho. Cheng Ho bukan saja sebagai tokoh bahariwan tetapi juga tokoh yang didewakan

(15)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka dalam pembahasannya

telah dibagi beberapa bab dengan perincian sebagai berikut :

Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metode penelitian, kosep dan teori, dan

sistematika penulisan.

Bab Kedua, Menguraikan Sejarah dan perkembangan orang Cina di Indonesia, yang didahului dengan sejarah orang Cina ke Nusantara (Indonesia),

pelayaran ekspedisi Laksamana Cheng Ho, sejarah singkat Laksamana

Cheng Ho ke Semarang, dan riwayat hidup Laksamana Cheng Ho.

Bab Ketiga, Klenteng Sam Po Kong, yang di dahului dengan sejarah singkat Klenteng Sam Po Kong, bagian-bagian dari klenteng, makna dari

simbol-simbol yang ada di klenteng tersebut. Selain itu juga dilengkapi

dengan peta lokasi, tabel dan grafik penganut agama di Semarang,

struktur pengurus Yayasan Klenteng Sam Po Kong, serta gambar

(denah) Klenteng Sam Po Kong.

Bab Keempat, Menguraikan pandangan dan keyakinan menurut peranakan Cina yang menganut agama Tridharma dan umat Islam Jawa. Dan pemujaan pada

laksaman Cheng Ho

(16)

BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ORANG CINA DI INDONESIA

A. Sejarah Kedatangan Orang Cina Ke Nusantara (Indonesia)

Sejak zaman kuno, posisi kepulauan Nusantara menjadi tempat persilangan

jaringan lalu lintas laut yang menghubungkan Benua Timur dan Benua Barat. Teknologi

perkapalan dan pengetahuan navigasi yang masih sederhana tidak mengurangi ramainya

jalur pelayaran ini, yakni dengan adanya jalur menyusuri pantai. Keadaan ini

menyebabkan berdatangan aneka ragam etnik yang terdiri dari beberapa kelompok besar

dan kecil yang semula terdiri dari pemuka agama, pendeta, dan terutama pedagang yang

hanya bermaksud berdagang atau sekedar singgah dalam ziarah keagamaan, ada juga

yang kemudian tinggal lama bahkan menetap di Nusantara. Kemudian menyusul

perantau yang terpaksa meninggalkan kampung asalnya karena adanya peperangan yang

melanda didaratan Cina yang tak kunjung selesai. Banyak penduduk Cina meninggalkan

negrinya dengan alasan untuk mencari penghidupan baru.

Sejarah tidak dapat memastikan kapan persisnya orang Cina datang ke wilayah

Nusantara. Bukti-bukti arkeologi dan antropologis, seperti benda-benda tertentu yang

berhubungan dengan kebudayaan Cina, memang dapat menunjukan bahwa mereka telah

hadir di Nusantara sejak sebelum Masehi. Namun baru pada abad ke-V Fa Hsien (Fa

Hian/Faxian), seorang pendeta Budha Tiongkok, sebagai orang Cina pertama yang

meninggalkan catatan tentang Nusantara. Sekitar tahun 339-414 M, ia melewat ke

sejumlah negara. Dalam perjalanan pulang dari India, karena cuaca buruk dia terpaksa

(17)

membawanya kembali ke Cina. Fa Hsien melaporkan bahwa saat itu belum ada orang

Cina yang tinggal di Jawa.8 Dua ratus tahun kemudian, yakni pada tahun 665 Hui-Neng, seorang pendeta Budha dari Tiongkok, dalam perlawatannya ke India juga singgah dan

tinggal selama tiga tahun di sebuah tempat yang disebut Ho-ling, yaitu pusat

pemerintahan di pulau Jawa. Pada tahun 671, pendeta Yixing (I tsing) pengelana dari

Cina yang melewati Nusantara, dalam perjalanannya ia singgah di Sriwijaya, sekitar

Palembang sekarang. Setelah berlayar selama 20 hari dari Canton. Ia tinggal di

Sriwijaya selama enam bulan untuk mempelajari bahasa Sansekerta sebelum bertolak ke

India. di India ia tinggal selama sepuluh tahun untuk menuntut ilmu, dan kembali lagi

ke Sriwijaya untuk menetap selama empat tahun. Ia menyalin teks Budha berbahasa

Sansekerta ke dalam bahasa Cina. Kemudian ia pulang sebentar ke Canton, dan kembali

lagi ke Sriwijaya bersama beberapa temannya untuk kembali menulis buku.9

Sampai abad ke-VII, hanya pendeta Budha Cina yang mengujungi Sriwijaya

karena dalam perjalanan ke India. Pada zaman Sriwijaya, sudah ada hubungan

pelayaran yang teratur antara Cina dan pelabuhan melayu dikerajaan Sriwijaya. Kapal

yang berlayar dari Cina ke Sriwijaya dan kebalikannya adalah kapal dagang dari Persia

dan India.10 Karena pada sebelum abad ke-VIII pedagang-pedagang Cina mejalankan dagang pasif.11 Sesudah abad ke-VIII, sikap para pedagang Cina berubah. Banyak para pedagang Cina yang bertolak ke negara-negara selatan, mengunjungi pelabuhan

Sriwijaya dan Pelabuhan Melayu.

8

Hari Purwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok: Komunitas Bambu, 2005), Cet. I, h. 39.

9

Tarmizi Taher, Masyarakat Cina, Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di Indonesia, (Jakarta: PPIM, 1997), h. 33.

10

Slemet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta: LKIS, 2005), Cet, I, h. 84.

11

(18)

Meskipun hubungan perdagangan Cina dengan kepulauan Nusantara sudah

berlangsung cukup lama sebelum abad ke XV. Namun jumlah para pendatang dari Cina

pada waktu itu tidak banyak, lagi pula mereka tidak bermaksud tinggal menetap. Baru

pada abad ke XV dan XVI, di kota-kota sepanjang pantai utara pulau Jawa mulai

terdapat pemukiman sementara orang-orang Cina, terutama yang datang dari dua

propinsi di Cina Tenggara, Fijian atau Fukien dan Guangdong atau Kwantung.12 Mereka bukanlah agamawan, tetapi para pedagang yang tertarik akan rempah-rempah, hasil

hutan dan hasil laut Nusantara. Di Tuban, Gresik dan Surabaya sudah ada pemukiman

orang Cina. Di Tuban misalnya berdiam lebih dari seribu orang Cina dan terdapat

gudang untuk hasil yang akan diekspor ke Cina sambil menunggu angin baik yang akan

membawa kapal mereka pulang ke negerinya. Di Gresik orang-orang Cina menyebut

pemukiman mereka dengan istilah Hsien Tsun atau Kampung Baru dan perkampungan

ini dipimpin seorang Cina.13 Munculnya perkampungan orang Cina di Jawa pada saat itu, dikarenakan aktivitas perdagangan orang Cina pada masa Dinasti Sung dengan

armada lautnya telah berkembang pesat. Dikala itu orang-orang Cina telah menjadi

bagian dari jaringan perdagangan lokal di lautan selatan dan mampu melintasi samudra.

Pemerintahan Dinasti Sung mempunyai arti penting dalam kaitan dengan

kepulauan Nusantara. Armada laut pemerintahan Cina di bawah dinasti Sung, antara

lain bertujuan menguasai perdagangan di laut selatan. Selama periode tersebut, banyak

orang-orang Cina berlayar ke laut selatan, bahkan para saudagar yang berdagang ke laut

selatan menerima bantuan kredit dari pemerintah. Sampai tahun 1293, ribuan perahu

telah berlayar ke pulau Jawa dan makin lama makin banyak saudagar Cina yang

12

Gondonomo, Kebudayaan Peranakan Tionghoa Dalam Khasanah Kebudayaan di Indonesia, (Makalah), dalam seminar Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaan, (Jakarta: Yayasan Mitra Museum Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000), h. 10.

13

(19)

berkunjung ke sana. Kunjungan tersebut terus berlangsung sampai awal abad ke XIV

dimasa pemerintahan Dinasti Yuan (1271-1368). Tetapi, tahun 1368 Dinasti Yuan jatuh.

Akibatnya hubungan dengan laut selatan tidak lancar lagi dan berbagai peraturan yang

membatasi perdagangan dengan laut selatan dikeluarkan. Mereka yang masih tinggal di

laut selatan diharuskan kembali ke Cina dan mengakibatkan perdagangan dengan laut

selatan mengalami kemunduran.14

Keadaan yang tidak menentu selama pemerintahan dinasti Yuan segera

mengalami perubahan di masa pemerintahan dinasti Ming (1368-1644). Ketika raja

Yung Lo, salah seorang raja dari dinasti Ming, berkuasa pada 1402, diterapkan

kebijakan modifikasi perpajakan. Di masa raja Yung Lo pula tercatat perjalanan

legendaris yang dalakukan Cheng Ho. Perjalanan ini adalah untuk memulihkan martabat

pemerintahan kerajaan Cina di mata orang Cina Laut Selatan dan bermaksud memberi

dukungan psikologis kepada para pedagang Cina di Laut Selatan, yang sedang

menghadapi persaingan dan kerugian lantaran kehadiran para pedagang Eropa. Waktu

itu hubungan perdagangan anatara kawasan Nusantara dengan para pedagang dari Eropa

makin meningkat. Tak heran timbul persaingan guna mendapatkan hasil bumi tropis

seperti lada, merica, cengkeh dan sebagainya.15

Sejak bangsa Belanda berkuasa di bumi Nusantara, yaitu awal abad ke-XVII,

jumlah imigran dari Cina bertambah banyak. Mereka terdiri dari kelompok etnik Han

(Mayoritas penduduk Cina sampai sekarang) yang memilih Indonesia sebagai tanah

tujuan bermigrasi. Pada waktu memutuskan untuk mendirikan Batavia pada tahun 1619

dan sesudahnya, para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC banyak

14

Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, h. 42.

15

(20)

mendatangkan tenaga dari daratan Cina untuk dijadikan sebagai tenaga trampil, kuli,

tukang, pedagang dan wirausahawan untuk memajukan koloni dan perdagangannya.16 Kedatangan orang Cina ke Nusantara dapat dibagi dalam tiga tahap : masa

kerajaan, kedatangan bangsa Eropa, dan penjajahan Belanda. Tahap pertama, dimana

masyarakat Nusantara masih dikuasai oleh kerajaan-kerajaan setempat, datangnya orang

Cina semata-mata didorong oleh hubungan perdagangan. Tahap kedua terjadi setelah

bangsa Eropa muncul di wilayah Asia Tenggara. Walaupun masih didorong oleh

perdagangan, jumlah pendatang orang Cina semakin meningkat untuk menghadapi

persaingan dengan orang Eropa, sehingga memungkinkan mereka tinggal di wilayah

Nusantara dalam waktu yang lama. Situasi ini disusul oleh tahap ketiga pada saat

kekuasaan Nusantara berada di bawah pemerintahan Belanda. Orang-orang Cina secara

sengaja didatangkan ke Nusanatara untuk membantu Belanda dalam mengatasi

kekurangan tenaga kerja, baik untuk tukang, pedagang, wirausahawan dan proyek

pertambangan dan perkebunan.17

B. Riwayat Hidup Laksamana Cheng Ho

Laksamana Cheng Ho atau Sam Po Kong dilahirkan kampung He Dai,

Kabupaten Kun Yung (sekarang Puning), Propinsi Yunnan Tengah Cina pada tahun

1371 M dengan nama kecil Ma Ho. Anak ketiga dari enam bersaudara dengan ayah

bernama Ma Ha-tche alias Haji Ma, seorang pelaut yang berasal dari suku bangsa Hui

(komunitas Muslim Cina campuran Mongol-Turki), dalam usia 38 tahun Haji Ma

16

Gondonomo, Kebudayaan Peranakan Tionghoa Dalam Khasanah Kebudayaan di Indonesia, (Makalah), dalam seminar Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaan, (Jakarta: Yayasan Mitra Museum Indonesia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2000), h. 10.

17

(21)

meninggal dunia dan dimakamkan di kampung He Dai, Kunyang, Yunnan. Sedangkan

ibunya dari marga Oen atau Wen. Moyangnya mula-mula yang berasal dari bangsa Se

Mu tinggal di Xi Yu (Xinjiang/ Singkiang) yang kemudian pindah ke Cina barat daya

dan menetap di Propnsi Yunnan.18

Keluarga Cheng Ho adalah penganut agama Islam yang taat. Kakek dan ayahnya

telah menunaikan ibadah haji (rukun Islam kelima). Pada masa itu perjalanan haji

ayahnya dengan melewati laut, dilaksanakan ketika Cheng Ho masih kecil. Sejak saat

itulah Cheng Ho bercita-cita menjadi pelaut untuk bisa mengunjungi negara-negara

yang jauh seperti ayahnya. Sejak kecil ia sudah belajar sastra dan menulis, ilmu hitung,

sejarah, dan alquran. Dan sudah lancar dalam mengunakan pit untuk menulis indah

huruf Cina dan Arab.19

Kaisar I dinasti Ming Chu Yuanchang atau Zhu Yuanzhang, pendiri dinasti

Ming. Pada tahun 1381 Ia memerintahkan Jendral Fu Youde untuk menyerbu Yunnan

untuk menghukum pengeran Mongol (sisa-sisa Dinasti Yuan yang sudah runtuh). Pada

saat itu sejumlah anak muda ditawan termasuk Cheng Ho untuk dipekerjakan di istana

sebagai pegawai istana. Cheng Ho pada waktu itu baru berusia 10 tahun.20

Sebagai seorang yang tengah bekerja di istana, ia kemudian ditunjuk untuk

menjadi pengiring Yung Le (Zhu Di/Chu Ti), salah seorang putra keempat kaisar Chu

Yuanchang atau Zhu Yuanzhang, dan ketika Cheng Ho telah berusia 20 tahun ia ikut

menyertai Yung Le (Zhu Di/Chu Ti) dalam serangkaian serangan militer. Cheng Ho

memulai karir militernya setelah ikut serta dalam serangan-serangan militer melawan

18

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, h. xvii.

19

Tartila Tartusi, Merpati Terbang ke Selatan (Kisah Perjalanan Muhibah Laksamana Haji Mohammad Cheng Ho), (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1992), cet. I, h. 10.

20

(22)

orang-orang Mongol di daerah luar tembok besar Cina yang berlangsung antara tahun

1393 sampai tahun 1397.21

Karena jasa-jasanya yang luar biasa dalam membatu pangeran Yung Le (Zhu

Di/Chu Ti) dalam perang mengalahkan Kaisar Chu Yunwen, Cheng Ho selalu

mendampingi pangeran Yung Le yang bukan hanya menjadi junjungan tetapi lebih dari

itu telah menjadi sahabat karibnya dalam serangkaian aksi militer. Setelah Pangeran

Yung Le (Zhu Di/Chu Ti) menjadi Kaisar III dinasti Ming, Pada usia 34 tahun, Ma Ho

mendapat anugrah gelar nama keluarga (marga) Cheng 22 dan diberi jabatan penting sebagai Tai Jian atau Sida Agung di Rumah Tangga Istana.23 sejak itu nama Ma Ho menjadi Cheng Ho atau Sam Po Tay Jian. Ma Ho di Indonesia di kenal dengan sebutan

dan di tulis seperti The Ho, Sam Poo Toa Lang, Sam Poo Thay Jien, Sam Po Kong dan

Cheng Ho.24 Pada masa kaisar Yung Lo (Zhu Di/Chu Ti), ia memberi tugas Cheng Ho untuk pelayaran ekpedisi ke negeri-negeri sebrang laut sebagai duta negeri Cina untuk

berhubungan dengan negara-negara lain. Semasa hidupnya Cheng Ho mengadakan misi

pelayaran dalam 28 tahun sebayak enam kali pada Kaisar III Yung Lo (Zhu Di/Chu Ti)

dan satu kali pada Kaisar V Ming Yen Tsung.25

Dalam pelayaran ekspedisi ketujuh atau terakhir, kesehatan Cheng Ho mulai

terganggu dan sakit-sakitan yang akhirnya ia meninggal dunia. Tidak diketahui dengan

pasti dimana ia meninggal dunia dan pada tahun berapa. Dalam pelayaran kembali dari

Mekkah setelah seluruh armadanya disatukan kembali di Calicut, India, dalam

21

Amen Budiman, Semarang Riwayatmu Dulu, h. 11.

22

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h. 27.

23

Sumanto Qutuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XV san XVI, (Jogjakarta: Inspeal Press, 2005), h. 84.

24

Kong Hwa Swie, "Laksamana HM Zheng He." Media Konfusiani Informasi Edukasi dan Komunikasi Tahun Ke I, No. 1 Juli 1995, h. 22.

25

(23)

pelayaran ekpedisi ketujuh, karena sakit terpaksa menunggu di Calicut dan tidak turut

ke Mekkah, pada tahun 1433 ia meninggal dunia pada usia 62 tahun.26

Namun Menurut H. J. de Graaf dkk, dalam bukunya Cina Muslim di Jawa Abad

XV dan XVI Antara Historitas dan Mitos Cheng Ho meninggal di Nanking (Nanjing)

pada tahun 1435 dalam usia 65. Sesuai dengan tradisi umat Islam, jenasahnya

dimandikan dan dibungkus kain kafan putih, kemudian jenasahnya diarahkan sesuai

kiblat ke arah Mekkah dan dengan diiringi doa-doa lalu di buang ke laut Hindia. Sepatu

dan sejumput rambutnya, sesuai dengan permintaannya dibawa kembali ke Nanjing dan

dikuburkan di Bukit Niushou, dekat goa Budha di luar kota.27

C. Pelayaran Ekspedisi Laksamana Cheng Ho

Laksamana Chneg Ho (1371-1433) adalah seorang bahariwan Muslim dari

Yunnan Cina. Ia bahariwan besar bukan hanya di dalam sejarah pelayaran Cina, tetapi

juga disepajang sejarah pelayaran dunia. Selama 28 tahun ia memimpin armada

raksasanya untuk mengunjungi lebih dari 30 negera. Dengan armada setiap kali

pelayaran rata-rata 60 kapal besar dan jumlah total kapalnya lebih dari 200 buah kapal,

baik kapal dengan ukuran sedang dan kecil. Kapal besar yang dijuluki sebagi kapal

pusaka itu berukuran panjang 138 meter dan lebar 56 meter. Dan membawa anggota

pasukan kapal lebih dari 27.800 orang.28 Disamping itu, dia juga membawa barang-barang seperti emas, karya-karya seni yang indah, kain sutra untuk ditukar dengan

bahan obat-obatan, rempah-rempah, mutiara, batu-batu permata dan lain-lain.

26

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, h. 39.

27

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, h. 32.

28

(24)

Pada saat negeri Cina diperintah kerajaan Ming dan mencapai puncak

kejayaannya di masa kaisar Yen Wang dengan gelar Ming Ch’eng Tsu (1403-1424),

atau lebih dikenal dengan nama Yung Le (Zhu Di/Chu Ti), ia berusaha mempersatukan

seluruh Cina di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Setelah usaha dalam

negerinya berhasil, ia melakukan pelayaran ekspedisi untuk memperluas pengaruh Ming

di luar Cina dan sekaligus memperkuat kedudukannya29. Selain itu ia menjalin persahabatan serta perdagangan dengan negara-negara lain dan mengamankan jalur

pelayaran niaga Cina dengan menumpas para perampok yang selalu mengganggu

kapal-kapal niaga di jalur tersebut.

Untuk menjalankan kebijakan pelayaran ekpedisinya, kaisar Yung Le (Zhu

Di/Chu Ti) (1403-1424) mengutus Cheng Ho dan rekan-rekannya untuk memimpin

pelayaran ekspedisi ke negeri-negeri sebrang laut. Selain itu juga, maksud kaisar

mengirim Cheng Ho adalah untuk mencari jejak kaisar Jian Wen (Zhu Yunwen) yang

telah berhasil dijatuhkan dari singgahsananya. Pada saat itu Jian Wen (Zhu Yunwen)

dikabarkan telah melarikan diri ke luar negeri. Oleh karena itu kaisar ingin menangkap

kembali Jian Wen (Zhu Yunwen).30 Akan tetapi ini bukan tujuan utama ekspedisi pelayaran Cheng Ho.

Laksamana Cheng Ho mengadakan pelayaran ekspedisinya sebanyak tujuh kali

yakni:

1. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1405 samapai tahun 1407

2. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1408 samapi tahun 1411

3. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1412 sampai tahun 1415

4. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1416 samapai tahun 1419

29

Leo Agung S, Sejarah Cina 1 (Dari Zaman Kuno Sampai dengan Perang Dunia I), h. 36.

30

(25)

5. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1421 samapai tahun 1422

6. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1424, tetapi tidak diketahui kapan

kembalinya.

7. Pelayaran ekspedisinya dari tahun 1430 samapai tahun 143331

Di bawah ini adalah negeri-negeri yang pernah dikunjungi oleng Cheng Ho,

Campa, Jawa, Camboja, Kukang, Siam, Calicut, Malaka, Brunai, Sumatera, Aru,

Cochin, Coilan Besar, Coilan Kecil, Soli dan Soli Barat, Cail, A-po-pa-tan, Comari,

Ceylon, Lambri, Pahang, Kalantan, Hormus, Pi-ja, Kepulauan Malsives, Sun La,

Magaddoxu, Ma-lin-la-sah, Dsaffar, Sa-li-wa-ni, Jubo (Dsheba), Bengal, Arabia, Li-tai

dan Nakur seluruhnya lebih dari 30 negeri yang berbeda.32 Menurut catatan-catatan dari Liang Chi Cho negeri-negiri yang pernah dikunjungi antara lain33 :

A. Negeri-negeri yang terletak disebelah Timur Malaya :

1. Chamber atau Campa

Leo Agung S, Sejarah Cina 1 (Dari Zaman Kuno Sampai dengan Perang Dunia I), h. 37.

32

Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa, 2002), h. 29.

33

(26)

11.Carimata

12.Pulau Bintang

13.Jawa

14.Madoera

15.Timor

B. Negeri-negeri yang terletak disekitar Mallaca :

1. Mallaca

2. Aru Island

3. Pulau Sembilan

C. Negeri-negeri yang terletak di Sumatra :

1. Palembang

2. Sumatra

3. Lambi

4. Nagor

5. Letai

6. Pulau Weg (Aceh)

7. Andaman Island

D. Negeri-negeri yang terletak disekitar India :

1. Bengala

2. Cochin

3. Quilon

4. Calcutta

5. Ceylon

(27)

E. Negeri-negeri yang terletak disekitar Arabia :

F. Negeri-negeri di pesisir Afrika :

1. Magedexa

2. Barava

3. Juba

Pelayaran ekspedisi yang pertama sampai dengan ke enam dilakukan atas

perintah kaisar III Yung Le (Zhu Di/Chu Ti), sedangkan yang ketujuh atas perintah

kaisar V Ming Yen Tsung atau Hsuan Te (1425-1436). Dalam pelayarannya disamping

menjalankan kebijakan kaisar ia juga berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Tidak

sedikit kaum Muslimin yang diajak oleh Cheng Ho dalam pelayaran-pelayarannya.

Diantaranya Ma Huan, Ong King Hong, Hasan, Guo Chongli, Sha,ban, dan Pu Heri.34 Meskipun ia beragama Islam, ia juga menghormati aktivitas-aktivitas agama

Budha dan Taoisme. Ketika berada di kapal ia mempersilakan anggota rombongannya

yang beragama Budha dan Tao melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan

keyakinan dan tenang. Dan dalam beberapa kegiatan agama Budha Cheng Ho ikut pula

dalam kegiatannya, sehingga Cheng Ho mendapat gelar Tiga Pusaka atau Tri Ratna.35 Sebagai pimpinan armada pelayaran Cheng Ho sangat dihormati oleh anak buahnya. Ia

sangat arif dan bijaksana.

34

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2000), h. 37.

35

(28)

C. Sejarah Singkat Laksamana Cheng Ho ke Semarang

Sejak dulu, Jawa selalu mempesona. Kekayaan sumber daya kultural, sejarah

dinasti yang begitu panjang dan letaknya yang cukup strategis karena berada

dipersimpangan (crossroads) juga merupakan daya pikat tersendiri sekaligus

merangsang para emigran, petualang, pelancong, pedagang atau bahkan pelarian politik

dari berbagai negara, baik utuk sekedar transit pemukiman maupun menjalankan bisnis

dan transaksi politik.36

Ratusan tahun yang lalu, ketika pelabuhan Semarang belum bertempat

sebagaimana adanya sekarang, kapal-kapal yang berlabuh di Semarang harus berhenti di

Simongan. Dengan begitu Simongan di zaman dulu merupakan sebagai pelabuhan serta

letaknya ditepi laut.37

Kota Semarang merupakan ibu kota Jawa Tengah, sekarang ini berbeda dengan

Semarang pada abad ke XV, baik dari segi geografis, penduduk, ekonomi, sosial

maupun budayanya. Menurut catatan arsip milik orang Cina, leluhur mereka untuk

pertama kali mendarat di Batam (Banten, Jawa Barat), kemudian baru berpencar

menyusuri daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak,

Tanjung, Buyaran, dan akhirnya Semarang, Jawa Tengah.38

Mengenai tahun kedatangan Cheng Ho ke Semarang terdapat beberapa pendapat

yang berbeda, menurut catatan melayu teks Ir. M. O. Perlindungan dalam bukunya H. J.

De Graff bahwa Cheng Ho mendarat di Semarang pada tahun 1413 dan singgah selama

36

Sumanto Qutuby, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara abad XV san XVI, (Jogjakarta: Inspeal Press, 2005), h. 57.

37

Riwayat Singkat Sam Poo Tay Djien, kutipan dari Buku Peringatan Berdirinya Yayasan Klenteng Sam Po Kong tahun 1937. Lihat pula pada Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid XIV, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1994), Cet II, h. 359.

38

(29)

satu bulan untuk perbaikan kapal-kapalnya. Sedangkan menurut Liem Thian Joe dalam

bukunya Riwayat Semarang bahwa kira-kira pada tahun 1416 sudah ada orang Cina

yang menginjakkan kakinya di daerah Semarang, orang Cina pertama yang sampai di

Semarang ialah Sam Poo Tay Djin. Dia mempunyai peninggalan yang tidak bisa

dilupakan sampai sekarang, seperti Gedong Batu. Demikian pula pendapat Liem Djing

Tjie dalam inskripsi yang berada di Klenteng Sam Po Kong, bahwa Cheng Ho

mengunjungi tanah Jawa dua kali pada tahun 1406 dan 1416. Di tahun 1416 beliau

mendarat di Simongan yang pada waktu itu masih terletak di pantai laut.39

Terlepas dari pendapat-pendapat yang berbeda mengenai tahun kedatangan

Cheng Ho di Semarang, namun riwayat Semarang selalu dikaitkan dengan cerita

kedatangan Cheng Ho di kota Semarang. Manurut cerita dikalangan keturunan Cina di

Indonesia, khususnya di Semarang, tersiar kabar mengenai kedatangan armada Cheng

Ho di Semarang, Jawa Tengah. Pada pertengahan pertama abad ke XV, kaisar Yung Le

di Dinasti Ming mengutus suatu armada untuk mengadakan kunjungan muhibah ke laut

selatan. Armada tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho di bantu oleh Wang

Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang kedua.

Ketika armada berlayar di pantai utara Jawa, Wang Jinghong mendadak sakit

keras. Menurut perintah Cheng Ho, armada itu singgah di pelabuhan Simongan

(kemudian bernama Mangkang), Semarang. Setelah mendarat, Cheng Ho dan awak

kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah dijadikan suatu tangsi untuk sementara.

Dan dibuatlah sebuah pondok kecil di luar gua sebagai tempat peristirahatan dan

mengobati bagi Wang Jinghong. Wong Jinghoang mulai membaik sakitnya. Sepuluh

hari kemudian Cheng Ho melanjutkan pelayarannya ke barat dengan meninggalkan 10

39

(30)

awak kapal untuk menjaga kesehatan Wang Jinghong di samping sebuah kapal dan

perbekalan-perbekalan. Akan tatapi sesudah sembuh Wang Jinghong menjadi betah

tinggal di Semarang. Dipimpinnya 10 awak kapal itu untuk membuka lahan dan

membangun rumah. Dimanfaatkannya pula kapal yang disediakan Cheng Ho untuk

mereka bila hendak menyusul armadanya.40

Kapal tersebut digunakan Wang Jinghong untuk usaha perdagangan di

sepanjang pantai. Kemudian awak kapalnya beturut-turut menikah dengan wanita

setempat. Berkat jerih payah Wang Jinghong dan anak buahnya, kawasan sekitar gua

tersebut berangsur-angsur menjadi ramai dan makmur, bersama dengan orang-orangnya

ia kemudian mulai mengelola tanah untuk kehidupannya dan berdagang di sepanjang

pantai Jawa. Ia kemudian melakukan dakwah, mengajar dan menyebarkan agama Islam

kepada penduduk setempat yang kemudian menghoramatinya dan menyebut imam dan

jurumudi Sam Po.41 sehingga semakin banyak orang Cina yang datang dan bertempat tinggal serta bercocok tanam di sana.

40

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), h. 61.

41

(31)

BAB III

KLENTENG SAM PO KONG

A. Sejarah Singkat Klenteng Sam Po Kong

Klenteng Sam Po Kong terletak di daerah Gedung Batu, di kaki bukit Simongan,

ditepi sungai Garang, Barat daya kota Semarang. Seperti yang telah diuraikan pada bab

terdahulu merupakan daerah pantai yang cukup ramai pada abad ke XIV. Daerah ini

dulu dikenal dengan bukit Simongan dan merupakan pelabuhan persinggahan Cheng Ho

beserta pengawal-pengawalnya. Di atas bukit Simongan terdapat sebuah gua yang

menurut cerita, merupakan tempat tinggal sementara Cheng Ho beserta

pengawal-pengawalnya. Untuk menghormati Laksamana Cheng Ho, di Semarang dibangunlah

sebuah klenteng Gedung Batu (Sam Po Kong) yang pada awalnya adalah sebuah

Masjid.42 Klenteng ini diziarahi baik oleh orang peranakan Cina maupun oleh orang muslim Jawa. Di dekat gua di klenteng Sam Po Kong juga terdapat makam Wong

Jinghong (jurumudi) yang dikabarkan meninggal dunia dalam usia 87 tahun dan

dikuburkan dengan cara Islami. Sekarang ini, setiap tanggal 1 dan 15 bulan Imlek,

kebanyakan yang datang kesini adalah orang Indonesia Peranakan Cina dari Semarang

dan daerah lainnya. Sedangkan pada setiap malam Jumat Kliwon, orang yang datang

kesini umumnya adalah non peranakan Cina, khususnya orang Jawa di sekitar

Semarang dan daerah lainnya yang beragama Islam.43

42

Karena ketika Cheng Ho, Mah Huan dan Fei Xin singgah di Semarang mereka sering melakukan sholat di masjid, H.J. De Graaf, dkk, Muslim Cina di Jawa Abad XV dan XVI: antara Historitas dan Mitos (Yogyakarta: Tiaran Wacana, 1998), cet. I, h. 3.

43

M. Ikhsan Tanggok, “Laksamana Cheng Ho Muslim dan Tokoh Mitologi.” Jurnal Al-Turas

Vol. II, No. 1 Januari 2005, h. 42.

(32)

Klenteng Sam Po Kong mula-mulanya sebuah klenteng yang sangat sederhana.

Dalam gua tempat klenteng ini hanya terdapat patung Cheng Ho semata. Pada tahun

1704 M gua tersebut runtuh akibat angin ribut dan hujan lebat. Peristiwa tersebut

menyebabkan sepasang pengantin tewas tertimbun ketika sedang memuja di situ.44 Tak lama kemudian gua yang runtuh itu digali dan dipulihkan seperti semula. Pada tahun

1724 M diadakan upacara sembahyang besar-besaran oleh penduduk Cina Semarang

sebagai pernyataan terima kasih karena dalam tempo sekian lama masyarakat Cina di

kota itu tidak mendapatkan gangguan apa pun dan perdagangan mereka pun bertambah

maju. Berbarengan dengan upacara tersebut lalu diadakan pengumpulan dana untuk

memperbaiki Klenteng Sam Po Kong. Di depan gua itu lalu didirikan sebuah emper,

agar bisa menjadi tempat berteduh bagi orang-orang yang selesai bersembahyang bisa

beristirahat untuk melewati waktu.45

Pada pertengahan kedua abad ke-19, kawasan Simongan di kuasai oleh

Johannes, seorang tuan tanah keturunan Yahudi. Dia menjadikan kawasan itu sebagai

sumber keuntungan. Masyarakat Cina yang hendak sembahyang di klenteng Sam Po

Kong dikenakan cukai. Karena cukai yang diminta sangat tinggi masyarakat tersebut

tidak mampu membayar secara perorangan. Maka dari itu Yayasan Sam Po Kong

Semarang mengupulkan dana sebesar 2.000 gulden sebagai biaya buka pintu klenteng

tersebut untuk satu tahun. Sekalipun cukai tahunan itu kemudian dikumpulkan sampai

500 gulden, tetapi masih cukup mahal bagi masyarakat Cina pada masa itu.46

Demi kelanjutan kegiatan penyembahan di Klenteng Sam Po Kong tanpa

membayar cukai yang tinggi, maka masyarakat Cina di Semarang membuat duplikat

44

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), h. 62.

45

Liem Thian Joe, Riwayat Semarang, h. 24.

46

(33)

patung Cheng Ho yang kemudian diletakkan di Tay Kay Sie (Klenteng Keinsafan

Besar) yang dibangun pada tahun 1771, di Gang Lombok sebuah perkampungan

masyarakat Cina Semarang. Gara-gara ulah Johannes tersebut, kegiatan penyembahan

Cheng Ho dipindahkan ke Tay Kak Sie. Namun pada tahun 1879 seluruh perbukitan

Simongan akhirnya dapat dibeli oleh Oei Tjie Sien, ayah dari Oei Tiong Ham, saudagar

kaya yang terkenal dengan julukan Raja Gula di Indonesia. Setelah menjadi miliknya,

klenteng Sam Po Kong dipugar kembali. Sejak saat itu siapapun yang datang untuk

bersembahyang atau berziarah tidak dipungut bayaran.47

Baru pada tahun 1937 klenteng Sam Po Kong dipugar kembali, atas usaha Lie

Hoo Soen, klenteng Sam Po Kong diperbaiki dan diperbaharui dengan mendirikan

gapura, taman suci dan dibuat Pat Sian-loh (jalan Pat-sian) yang menghubungkan

klenteng dengan tempat pemakaman Kiyai Jurumudi.48

Untuk setengah abad lamanya klenteng Sam Po Kong tidak terjadi pemugaran

apa-apa yang penting, baru pada tahun 2002 klenteng Sam Po Kong diperbaharui secara

menyuruh. Dengan dibangun penginapan umum lantai tiga bagi para pengunjung dari

luar kota yang direncanakan akan selesai pada tahun 2007.49 Sekarang klenteng Sam Po Kong bukan hanya menjadi tempat kegiatan keagamaan tetapi juga menjadi salah satu

obyek pariwisata di Semarang Jawa Tengah.

B. Bagian-bagian dari Klenteng

Bangunan klenteng ini terletak lebih kurang 5 km dari pusat kota Semarang ke

arah barat daya yang berada di jalan Simongan no. 129 Gedung Batu Semarang Barat

47

Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho (Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara), h. 63-65.

48

Riwayat Singkat Sam Poo Tay Djien, Kutipan dari: Buku Peringatan Yayasan Klenteng Sam Poo Kong Tahun 1937, h. 13.

49

(34)

yang masih dilindungi oleh pohon-pohon besar yang masih terpelihara hingga sekarang.

Klenteng ini luasnya kurang lebih 3 hektar yang mempunyai tiga pintu gerbang: utara

(utama), selatan, timur. Untuk sekarang memasuki klenteng melalui gerbang utara

(utama), karena untuk selatan dan timur masih tahap pembangunan.

Di atas pintu gerbang utara, tertulis dengan tulisan "Klenteng Sam Po Kong".

bila kita lihat ke atas terdapat dua patung ular naga50 dan di depan gerbang terdapat dua patung Killin.51 20 m masuk kedalam terdapat bangunan pos keamanan, peristirahatan dan sekaligus berfungsi sebagai tempat informasi. Di depan bangunan tersebut terdapat

dua patung Duara Pala.52

Klenteng Sam Po Kong terdiri dari Hio Swa (tempat penjualan peralatan

sembahyang), Kantor yayasan Sam Po Kong, Klenteng utama (Sam Po Kong), dan

klenteng-klenteng kecil disekitar klenteng utama seperti: Dewa Bumi, makam kyai Juru

Mudi, makam Kyai Djangkar, makam Ho Ping, makam Kyai dan Nyai Tumpeng,

makam Cundrik, dan Nabi Konghucu.

1. Klenteng Utama (Sam Po Kong)

Klenteng ini berada di sebelah kanan dari makam Juru Mudi. Di halaman

klenteng ini terdapat patung Laksamana Cheng Ho, tempat lilin-lilin dengan ukuran

besar (2 m dan 1,5 m) yang bertulisan nama-nama orang dan perusahaan yang

menyumbang dan didepannya terdapat dua buah patung Killin yang berfungsi sebagai

pelindung dan untuk mengusir roh jahat. Di bagian depan terdapat gua yang dulu

50

Ular Naga adalah melambangkan kekaisaran atau untuk menentang kekuasaan bangsa lain, atau lambang kesuburan.

51

Killin adalah binatang yang berkepala naga, bertanduk satu, berbadan singam berkaki srigala, bersisik kelopak bunga teratai dan memiliki ekor yang bercabang lima. Dan berfungsi sebagai pelindung dan mengusir roh jahat.

52

(35)

merupakan tampat tinggal Laksamana Cheng Ho dan beserta anakbuahnya.53 Di atas gua terdapat senjata imitasi yang digunakan oleh para anakbuah Cheng Ho. Dan

dibagian depan terdapat hio lo54 untuk Thian. Disamping itu terdapat altar utama diatasnya terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), sesajian. Dan di depan gua terdapat

altar Dewa Pintu yang diatasnya terdapat pelita (lampu minyak), sesajian dan

didepannya terdapat hio lo. Di klenteng ini terdapat lilin dengan ukuran kecil dan

sedang dari para pengunjung yang sembahyang, dan juga beberapa hiasan yang ada

disekitarnya termasuk sebuah beduk dan lonceng besar dan lampion (lampu kertas)

tergantung di langit-langit pendopo. Dibagian belakang terdapat gua untuk sembahyang

kepada Cheng Ho. Di kanan kiri gua terdapat prasasti perjalanan Laksamana Cheng Ho

dengan tiga bahasa (Indinesia, Cina, dan Inggris). Di dalam gua terdapat sebuah sumur

yang berfungsi airnya sebagai keselamatan dan dapat menyembuhkan penyakit.

Disamping itu terdapat sebuah altar laksamana Cheng Ho yang diatasnya terdapat

patung laksamana Cheng Ho, pelita (lampu minyak), bunga dan lampu hias. Di samping

kanan terdapat meja untuk tempat peralatan Ciam Si.55Di dinding terdapat lukisan kapal laksamana Cheng Ho. Di pojok kanan bangunan klenteng utama terdapat sebuah

Kimlo.56

2. Klenteng Dewa Bumi

Klenteng ini berada di depan kantor yayasan Sam Po Kong. Di muka bangunan

ini terdapat dua buah patung Killin yang fungsinya untuk mengusir roh-roh jahat.

53

Karena sering terjadi banjir dan mengenangi goa tersebut, goa tersebut sekarang berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda peninggalan zaman dulu. Dan dibangunlah sebuah gua di belakang klenteng utama yang sekarang berfungsi sebagai tempat pemujaan Sam Po Kong

54

Hio lo merupakan tempat untuk menencapkan hio atau dupa yang sudah dibakar atau setelah melakukan sembahyang. Hio lo dibuat dari tanah liat, besi atau bisa dari timah, berkaki empat berkuping dikiri kanannya. Pada bagian depannya terukir sebuah huruf Tionghoa huruf "hi" (lafal Hokkian) yang berartikan bahagia. Arti hio lo adalah perapian dupa. Nio Joe Lan, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, h. 91.

55

Ciam Sie merupakan alat sembahyang meramal nasib.

56

(36)

Diatasnya terdapat dua patung naga. Diruangan depan terdapat hio lo dan dikanan

kirinya terdapat lilin-lilin besar dengan ukuran 1,5 m yang bertulisan nama-nama orang

dan nama perusahaan yang menyumbang. Diatasnya terdapat lampion (lampu kertas)

yang tergantung di langit-langit klenteng. Di tengah-tengah ruangan terdapat altar yang

diatasnya terdapat hio lo serta disamping kanan kirinya terdapat pelita (lampu minyak)

yang selalu menyala. Memasuki ruangan dewa bumi di atas dindingnya terdapat lukisan

Pat Shen (8 dewa)57 yang bertugas untuk kesejahteraan dan kebaikan umat.

Di dalam ruangan Dewa Bumi terdapat sebuah altar yang berbentuk meja

persegi panjang yang terdapat patung dewa bumi dan didepannya terdapat hio lo, lilin

kecil, pelita (lampu minyak), lampu hias dan sesajian berupa buah-buahan dan makanan

serta alat-alat untuk Ciam Sie. Di bawah altar ini terdapat Hauw Ciang Kun yang

bertugas untuk mengusir roh-roh jahat, dengan sesajian, hio lo, dan pelita (lampu

minyak) yang selalu menyala. Disamping kanan pojok bangunan terdapat kimlo.

3. Makam Juru Mudi

Makam ini berada disebelah kanan bangunan yayasan klenteng Sam Po Kong.

Di makam ini terdapat hio lo menghadap ke muka dan altar yang berisi hio lo, pelita

(lampu minyak), sesajian, dikanan kiri altar derdapat patung duara pala yang berfungsi

sebagai penjaga dan pelindung. Dibagian belakang altar terdapat makam Juru Mudi dan

didepannya terdapat hio soa.58 Disamping makam terdapat kimlo. 4. Kyai Djangkar

Bangunan ini berada disebelah kanan dari klenteng utama (Sam Po Kong). Di

bangunan ini terdapat hio lo yang menghadap ke muka dan terdapat tiga buah altar:

pertama altar Kyai Djangkar yang merupakan jangkar peninggalan laksamana Cheng

57

Pat Sen atau 8 dewa bertugas untuk kesejahteraan dan kebaikan umat.

58

(37)

Ho. Dibagian altar terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), lilin-lilin dengan ukuran

kecil, sesajian dan didepannya terdapat hio soa. Kedua altar Nabi Konghucu yang

terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), lilin-lilin dengan ukuran kecil, dan sesajian.

Ketiga altar Ho Ping yang merupakan altar arwah para anak buah laksamana Cheng Ho.

Di altar ini terdapat hio lo, pelita (lampu minyak), lilin-lilin dengan ukuran kecil, dan

terdapat hio lo dengan ukuran kecil.

5.Kyai dan Nyai Tumpeng

Makam ini berada di sebelah kanan dari makam Kyai Djangkar. Makam ini

terdapat hio lo dan tempat lilin-lilin kecil dikanan kirinya menghadap kemuka dan

terdapat tiga makam: pertama Kyai Tumpeng, Nyai Tumpeng, dan Kyai Djudrik.

Didepan makam ketiganya terdapat altar yang terdapat hio lo, pelita (lampu minyak),

sesajian dan lilin dengan ukuran kecil.

Makna Simbol-simbol

1. Dupa atau Hio

Dupa atau hio adalah bahan pembakar yang dapat mengeluarkan asap yang

berbau harum. Dupa atau hio menandai semangat dari kesucian dan

persembahan diri sendiri. Membakar dupa mengandung makna jalan suci yang

berasal dari kesatuan hatiku, hatiku dibawa melalui keharuman dupa dan bila

dibakar maka asapnya akan melambung ke atas, ini melambangkan bahwa doa

yang dipanjatkan akan samapai pada Tuhan (Thian). Selain itu dupa juga untuk

menentramkan pikiran, memudahkan konsentrasi, meditasi, juga bisa mengusir

(38)

atau jam dupa ini dipakai sebagai pengukur waktu.59 Ukuran dupa bermacam-macam, digunakan hendaknya sesuai dengan ukuran tempat dupa. Jumlah dupa

yang dugunakan bermacam-macam dengan fungsi masing-masing. Tempat dupa

(hio lo) bisa diletakkan di sisi lain, seperti di kanan, bawah kiri bawah, tengah

atas, kanan atas, kiri atas.

2. Lilin

Lilin ini hanya merupakan lambang apabila dinyalakan dapat memberikan

penerangan bermakna supaya kita diberikan penerangan, menerangi jalan

kehidupan dan penghidupan di waktu sekarang. Letak lilin dekat dengan tempat

dupa dimaksudkan agar setelah memasang lilin disesuaikan dengan ukuran

altar.60 Lilin dinyalakan terlebih dahulu sebelum dupa dinyalakan. Menurut kepercayaan bahwa lilin-lilin yang dibiarkan menyala menyimbolkan rezeki

yang tak kunjung padam.

3. Buah-buahan

Buah-buahan dijadikan sebagai salah satu sajian untuk dewa, sebagai lambang

tanda bakti seorang umat kepada dewanya.

4. Bunga

Bunga merupakan sesuatu yang harum, melambangkan keindahan. Bunga juga

melambangkan ketidakkekalan, karena semua yang berkondisi adalah tidak

kekal dan tidak abadi. Bunga mekar yang harum dan indah akan dinikmati,

setelah layu dibuang. Demikian juga dengan jasmani kita adalah tidak kekal,

59

Matakin, Tata agama dan tata laksana upacara agama Konghucu, (Bogor: Matakin, 1995), h. 30.

60

(39)

dapat tua, sakit, kemudian mati yang tidak memandang apakah kita mau atau

tidak.

Kegiatan dalam Klenteng

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam klenteng Sam Po Kong,61 adalah sebagai berikut:

1. Sembahyang Sang Ang (Pek Kong Naik) yang dilakukan pada tanggal 24 Tjap Djie

Gwee (Desember Imlek) yang merupakan sembahyang urutan sembahyang tahun

baru untuk menghormati dewa dapur Zao Jun (Tjauw Koen Kong).

2. Sembahyang Nie Bwee (penghabisan tahun) yang dilakukan pada tanggal 30 Tjap

Djie Gwee (Desember Imlek)

3. Sembahyang Sien Tjia (tahun baru imlek) yang dilakukan pada tanggal 1 bulan 1

Imlek

4. Sembahyang Thuw Ge (pembukaan tahun dan bulan)

5. Sembahyang Tjek Ang (Pek Kong turun) yang dilakukan pada tanggal 4 bulan 1

Imlek

6. Sembahyang King Thie Kong (sembahyang Tuhan) pada tanggal 8 menjelang

tanggal 9 Djie Gwee (bulan pertama)

7. Sembahyang Kin Thie Kong dilengkapi dengan sajian untuk dewata tertinggi (Giok

Hong Siang Tee)

8. sembahyang Goan Siauw (sembahyang Tjap Go Me, sembahyang yang dilakukan

pada tanggal 15 Tjia Gwee malam (Januari Imlek)

61

(40)

9. Sembahyang Tho tee kong (sing djiet) yang dilakukan pada tanggal 2 Djie Gwee

untuk merayakan hari lahir Pek Kong Tanah

10.Sembahyang Go Gwee Tjik (Pek Tjoen) yang dilakukan pada tanggal 5 Go Gwee

Mei Imlek

11.Sembahyang Poa Nie Tjik (pertengahan tahun) yang dilakukan pada tanggal 15 Lak

Gwee (Juni Imlek)

12.Sembahyang Sam Po Gia Hio (kedatangan Sam Po Kong di Gedong Batu

Semarang) yang dilakukan pada tanggal 29/30 bulan 6 tahun Imlek atau Lak Gwee

29 Imlek.

13.Sembahyang King Hong Ping besar untuk memperingati awak kapal armada Cheng

Ho.

14.Sembahyang Tiong Tjhioe Tjik (pada hari itu orang makan Tiong Tjhioe Pia) pada

tanggal 15 Agustus Imlek.

15.Sembahyang Sam Po Tay Djien (Sing Djiet) sebagai perayaan hari lahir Sam Po

Kong tanggal 29 bulan 11 tahun Imlek atau Cap It Gwee 29 Imlek.

16.Sembahyang Tang Tjik (Winter Solstice) tanggal 21, 22 atau 23 Desember Imlek.

17.Sembahyang Bwee Gwee (tutup tahun)

18.Sembahyang Kong Hu Tju (Konfusius)

Disamping Sembahyang-sembahyang tersebut, pada setiap malam Jumat Kliwon

terdapat kegiatan ritual sembahyang pemujaan Cheng Ho, Kyai Jurumudi atau Ong

King Hong, Kyai Jangkar, Kyai Cundrik, dan Nyai Tumpeng, yang dilakukan oleh non

peranakan Cina, khususnya orang Jawa Islam di sekitar Semarang dan daerah lainnya.

Pada setiap hari pun ada yang melakukan sembahyang pemujaan di klenteng Sam Po

(41)

Lampiran I (Peta Lokasi)

Tabel Pemeluk Agama

Di Kota Semarang

Agama Th 2000 Th 2001 Th 2002 Th 2003 Th 2004

Islam 1105616 1114837 1135418 1154109 1162988

Katolik 90763 92357 95674 98858 99910

Protestan 87202 88750 93765 96596 97683

Budha 16583 16445 18748 18330 18411

Hindu 9503 9932 6400 6786 6858

Jumlah 1309667 1322321 1350005 1374679 1385850

(42)

Lampiran III (Grafik Pemeluk Agama)

Struktur Pengurus Yayasan Sam Po Kong

KETUA

WAKIL KETUA

SEKRETARIS BENDAHARA

(43)

Gambar (denah) Klenteng

3

1 16

4

6 5

7

8 9

14

15

18 19

20

10

2

11

13

12

17

10

(44)

Keterangan (denah) Klenteng berdasarkan observasi lapangan pada tanggal 24 Maret

2006.

1. Pintu utara yang merupakan pintu pertama dan utama dari seluruh kompleks

karena bersebelahan dengan area parkir

2. Tempat Istirahat

3. Toilet Umum

4. Hio Swa (tempat penjualan perlengkapan sembahyang)

5. Kantor Yayasan Sam Po Kong

6. Klenteng Dewa Bumi

7. Makam Kyai Jurumudi

8. Klenteng Utama Sam Po Kong

9. Goa Laksaman Cheng Ho

10.Prasasti Laksamana Cheng Ho

11.Altar Ho Ping

12.Altar Nabi Konghucu

13.Altar Kyai Djangkar

14.Makam Kyai Tumpeng, Nyai Tumpeng dan Kyai Djudrik

15.Asrama (penginapan umum)

16.Tempat parkir utama

17.Pos Keamanan

(45)

19.Pintu timur yang merupakan pintu masuk ke dua yang utama dari seluruh

kompleks

20.Pintu selatan yang merupakan pintu masuk ketiga yang utama dari seluruh

(46)

BAB IV

PANDANGAN DAN KEYAKINAN TERHADAP LAKSAMANA CHENG HO

A. Pandangan dan Keyakinan Menurut Umat Peranakan Cina Tridarma dan Muslim Jawa

Laksamana Cheng Ho di Indonesia, Khususnya Semarang banyak dipuja oleh

umat Tridarma dari peranakan Cina dan umat Islam Jawa sebagai salah satu dewa yang

dijadikan pemujaan.

Laksamana Cheng Ho, Sam Po Kong atau Sam Po Tay Jin merupakan seorang

bahariwan Muslim dari Yunnan Cina yang menurut keturunan Cina umat Tridharma

merupakan orang yang bijaksana dan banyak berjasa, yang merupakan sebagai

panutan.62 Dan tokoh Cheng Ho dengan kepiawiannya dalam berdagang ia diyakini sebagai dewa dagang yang harus di hormati.

Cheng Ho diyakini adalah dewa dagang yang menurut keturunan Cina umat

Tridharma dan orang Islam Jawa dapat mengabulkan permintaan manusia yang berdoa

dengan ikhlas dan penuh keyakinan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan

meminta berkah, usaha dagang, agar maju usahanya, dicarikan usaha yang tepat, cepat

mendapatkan jodoh, disembuhkan dari penyakit, keselamatan dunia dan lain

sebagainya.

Seperti menurut pengalaman bapak Yanto seorang Muslim Jawa asal Purwodadi

sejak tahun 1985 ia sudah datang ke klenteng ini setiap tahun pada malam Jumat

Kliwon untuk memohon keselametan dan diperlancarkan usaha dagangnya, tetapi kalau

62

Wawancara Pribadi dengan Kwantong Hai, Semarang, Tanggal 28 Januari 2006.

(47)

usahanya sedang tidak lancar ia dua bulan sekali datang ke klenteng ini. Menurut

pengalaman ibu Hindun pedagang asal Pemalang, kalau usahanya lagi tidak lancar ia

mendatangi klenteng ini pada malam Jumat Kliwon memohon untuk diperlancar

usahanya. Di samping memohon dilancarkan usahanya ia juga memohon keselamatan

bagi dirinya dan keluarganya. Dan menurut pengalaman Nasikin petani asal Brebes ia

mendatangi klenteng ini malam Jumat Kliwon pada musim tanam agar tanamannya

berhasil, dan akhirnya pada musim panen ia berhasil dengan baik. Tetapi ia pun pernah

mengalami kegagalan panen, walaupun gagal panen ia tetap mendatangi klenteng. Lain

halnya dengan Iwan dan teman-temannya datang ke klenteng Sam Po Kong hanya ingin

melakukan Ciam Si atau meramal nasib.

Setiap pada malam Jumat Kliwon (perpaduan antara tujuh hari perhitungan

matahari dan lima hari perhitungan bulan, hari Jumat Kliwon muncul sekali setiap

bulan) kebanyakan dari mereka yang datang adalah orang muslim Jawa, selain itu juga

pada tanggal 1 dan 15 Imlek atau Cet It (tanggal 1) dan Cap Go (tanggal 15) adalah

keturunan Cina Umat Tri Dharma. Dan setiap harinya pun dari orang muslim Jawa dan

keturunan Cina Umat Tri Dharma ada yang memujanya, tetapi jumalahnya sedikit.

Di Klenteng Sam Po Kong Gedung Batu setiap tahunnya selalu merayakan

kedatangan Laksamana Cheng Ho, selain itu juga diadakan perayaan sembahyang dan

melakukan bakti sosial memberikan bahan makanan pokok kepada orang yang tidak

mampu.

B. Pemujaan Laksamana Cheng Ho

Pemujaan terhadap Laksamana Cheng Ho kebanyakan dilakukan oleh mereka

(48)

atau Cet It (tanggal 1) dan Cap Go (tanggal 15) dilakukan peranakan Cina penganut

Tridharma, walaupun pada hari-hari biasa ada yang datang untuk memujanya.

Bagi orang yang datang untuk sembahyang kepada Sam Po Kong, dia harus

membeli perlengkapan sembahyang seperti hio, lilin, uang kertas di Hio Saw (tempat

penjualan perlengkapan sembahyang) di dalam komplek klenteng ini, kecuali kembang

harus di beli di luar komplek klenteng ini. Kemudian perlengkapan sembahyang di

bawa ke klenteng utama (Sam Po Kong).63 Bagi orang Muslim pemujaan dilakukan oleh seorang juru kunci sedangkan bagi peranakan Cina melakukannya sendiri. Sebelum

melakukan pemujaan juru kunci menanyakan maksud kedatangan, nama, dan asalnya.

Kemudian juru kunci menyalakan lilin dan uang kertas bagi yang membawa, kemudian

membakar hio tersebut dan melakukan sembahyang kepada Tuhan atau Thian.

Sembahyang kepada Thian dengan cara menghadap keluar atau ke langit dengan

mengangkat hio setinggi kepala sebanyak tiga kali dan menundukkan kepala sebanyak 3

atau 4 kali. Setelah selesai sembahyang, hio tersebut ditancapkan ke hio lo sebanyak

tiga batang, kemudian sisa hio tersebut digunakan oleh juru kunci untuk memuja pada

Men Shen atau dewa pintu, setelah itu hio tersebut ditancapkan lagi ke hio lo dewa

pintu, yang artinya meminta izin untuk melakukan sembahyang pada dewa Sam Po

Kong.

Setelah selesai sembahyang kepada Thian dan dewa pintu, juru kunci masuk

kedalam gua temapat pemujaan kepada Sam Po Kong, juru kunci kembali melakukan

sembahyang atau pemujaan terhadap Sam Po Kong, memohon agar apa yang menjadi

63

(49)

keinginan orang yang datang ke sini dapat dikabulkan, tanpa membakar hio.64 Setelah selesai sembahyang atau pemujaan, juru kunci melakukan Chiam Si, dengan cara

mengocok Po Ciam65 yang ditempatkan di dalam suatu tempat yang berbentuk tabung yang terbuat dari bambu, sampai salah satu dari 28 batang Po Ciam keluar dari

tempatnya dan kemudian sebatang Po Ciam tersebut diletakkan untuk sementara.

Setelah itu, juru kunci mengambil Po Pai66. Sebelum Po Pai itu dilambungkan, terlebih dahulu juru kunci meminta izin kepada Sam Po Kong dengan cara

menyembayangkannya, setelah itu Po Pai dilambungkan dan biar jatuh ke lantai. Jika

dua buah Po Pai ini jatuh dalam keadaan satu telungkep dan satunya lagi terlentang,

berarti dewa Sam Po Kong setuju. Jika kedua Po Pai ini jatuh terlentang kedua-duanya

atau terlungkep kedua-duanya, berarti dewa Sam Po Kong tidak setuju, dan mengocok

Po Ciam dan melambungkan Po Pai harus diulang sampai apa yang diharapkan tercapai,

yaitu satu terlentang dan satu terlungkep. Langkah selanjutnya adalah mengambil kertas

jawaban yang tersedia sesuai dengan nomor yang keluar pada langkah sebelumnya pada

juru kunci. Setelah melakukan Ciam Si, proses meminta sesuatu kepada dewa Sam Po

Kong dianggap selesai.67

64

Untuk menghindari terjadinya kebakaran di dalam gua, maka sekarang tidak mengunakan hio. Tapi hanya dengan cara kwi ping Sien, sikap berlutut tegap, lutut kiri di tark disamakan dengan lutut kanan sehingga posisinya kini berdiri tegap diatas lutut. Tangan dalam sikap pau thai kik pat tik (tangan kanan digenggam ditutup tangan kiri, diletakan di depan hulu hati). Atau cara khau siu (menunduk kepala), dari sikap kwi ping sien lalu genggaman tangan dibuka diletakan di lantai, membentuk segitiga pat tik, lalu kepala ditundukan samapai mengena tapak tangan, kemudian kembali kwi ping sien.

65

Po Ciam adalah salah satu peralatan Ciam Si berupa bambu yang dibuat menjadi batangan-batangan yang bertulisan nomor pada salah satu ujungnya, yang berjumlah 28 nomor.

66

Po Pai adalah sebuah benda yang terbuat dari bonggol bambu yang diukur berbentuk biji buah mangga yang dibelah menjadi dua bagian dan dicet ada yang berwarna merah hitam.

67

Pelaksanaan pemujaan Cheng Ho hasil wawancara dengan Bapak Wen. Lihat pula pada M. Ikhsan Tanggok, “Laksamana Cheng Ho Muslim dan Tokoh Mitologi.” Jurnal Al-Turas Vol. II, No. 1 Januari 2005, h. 45-46.

Gambar

Tabel Pemeluk Agama
Gambar (denah) Klenteng

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penggabungan yang tidak bersahabat, atau sering disebut “ hostile takeover “ manajemen perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak menyetujui

Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (field research) yang berlokasi di Desa Kunti Kecamatan Sampung Kabupaten Ponorogo. Sumber data diperoleh dengan menggunakan

Operasional Truk Ongkos Transportasi Air Ongkos Transportasi Udara Ongkos Jasa Penunjang Angkutan Ongkos Penanganan Persediaan Ongkos Simpan Ongkos Resiko Kerusakan

memberikan jaminan mutu hasil kepada pelanggan dengan hasil uji yang valid, maka perlu dilakukan validasi terhadap metode pengujian albendazol dengan menggunakan

Rencana Program Investasi Jangka Menengah Bidang Cipta Karya atau disingkat sebagai RPIJM Cipta Karya adalah dokumen rencana dan program pembangunan infrastruktur

Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selanjutnya disebut standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi

Ekskresi bersama urin hanya terjadi pada bentuk yang tidak terikat pritein.80-90% vitamin B12 akan diretensi dalam tubuh bila di berikan dalam dosis sampai 50mg; dengan dosis

Iš - skirtini šie pagrindiniai Valstybinės kainų ir energetikos kontrolės komisijos veiklos etapai: (1) įsteigimas; (2) kainų priežiūra ir reguliavimas; (3)