• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi Dan Sapi Perah Di Desa Cikahuripan Lembang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi Dan Sapi Perah Di Desa Cikahuripan Lembang."

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN SISTEM USAHATANI TERPADU SERAIWANGI

DAN SAPI PERAH DI DESA CIKAHURIPAN LEMBANG

AMALIA DIENA LISTYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi dan Sapi Perah di Desa Cikahuripan Lembang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Amalia Diena Listyanti

(5)
(6)

RINGKASAN

AMALIA DIENA LISTYANTI. Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi dan Sapi Perah di Desa Cikahuripan Lembang. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan SUWARTO.

Kecamatan Lembang merupakan daerah dengan populasi ternak sapi perah terbanyak di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Desa Cikahuripan merupakan salah satu desa penghasil susu sapi yang masih berpotensi untuk memproduksi hijauan untuk pakan ternak. Di desa tersebut terdapat Kebun Percobaan Manoko milik Balai Penelitian Rempah dan Obat yang mengembangkan tanaman seraiwangi penghasil minyak atsiri. Pada proses untuk menghasilkan minyak atsiri terdapat limbah penyulingan seraiwangi yang dapat digunakan untuk pakan ternak sapi perah. Integrasi yang telah dilakukan di KP Manoko berpotensi untuk dikembangkan di tingkat petani peternak rakyat di Desa Cikahuripan.

Tujuan penelitian adalah untuk: (1) mengetahui potensi ekologi tanaman seraiwangi di Desa Cikahuripan yang dilihat dari kesesuaian tanah dan kualitas pupuk organik dari kotoran ternak sapi perah, (2) mengetahui sistem usahaternak sapi perah di Desa Cikahuripan, serta (3) menentukan skala ekonomi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat di Desa Cikahuripan.

Studi dilaksanakan pada April hingga Oktober 2014. Responden berasal dari pengelola dan staf Kebun Percobaan Manoko (KP Manoko) serta peternak rakyat. Metode analisis untuk aspek ekologi tanaman seraiwangi dan sistem usahaternak sapi perah adalah dengan analisis deskriptif, sementara skala usahatani terpadu usaha seraiwangi dan sapi perah menggunakan analisis sistem dinamik dengan program STELLA 9.0.2. Usahatani terpadu sejalan dengan konsep Low External Input Sustainability (LEISA) yang mengacu pada pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal dengan mengombinasikan komponen-komponen sistem usahatani.

Tanaman seraiwangi dapat tumbuh baik di KP Manoko. Berdasarkan kandungan hara makro pada sampel diketahui bahwa kandungan hara tanah, lahan di Desa Cikahuripan sesuai untuk ditanami seraiwangi dengan metode budidaya seperti di KP Manoko yang hanya menggunakan pupuk organik dari kotoran sapi perah. Kandungan pupuk kandang sampel menunjukkan bahwa pupuk kandang di Desa Cikahuripan memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk organik padat.

Usahaternak sapi perah rakyat dijalankan secara turun-temurun dengan metode tradisional di tingkat rumah tangga. Mayoritas kepemilikan ternak adalah

3−5 ekor. Usahaternak sapi perah di KP Manoko menggunakan metode yang

hampir sama. Pakan hijauan yang digunakan di KP Manoko adalah limbah seraiwangi dari kegiatan penyulingan. Penggunaan limbah seraiwangi sebagai salah satu sumber pakan sapi perah tidak memberi dampak yang negatif bagi produksi susu. Kandungan gizinya relatif cukup baik, dengan serat kasarnya yang lebih rendah dibandingkan jerami dan rumput gajah.

(7)

vi

tersebut digunakan untuk lahan seraiwangi. Pupuk kandang yang dihasilkan dari alat penghasil biogas adalah sekitar 40% dari total kotoran ternak yang dihasilkan. Penilaian kelayakan secara ekonomi didasarkan pada kebutuhan rumah tangga minimum bulanan, sementara kelayakan secara ekologi berdasarkan jumlah limbah seraiwangi yang dapat memenuhi kebutuhan sapi perah serta suplai pupuk kandang untuk lahan seraiwangi. Berdasarkan penghitungan skala usaha ekonomi usaha berdasarkan model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat, skala usaha yang layak secara ekonomi dan ekologi adalah dengan luas minimum lahan tanaman seraiwangi seluas 3 000 m2 dan kepemilikan sapi perah sebanyak 3 ekor. Jika sumber hijauan untuk ternak hanya berupa seraiwangi, setiap ekor sapi perah membutuhkan pakan hijauan yang setara dengan lahan seraiwangi seluas 2 667 m2. Kelayakan ekonominya baru dapat dipenuhi dengan sapi sejumlah 3 ekor dan luas lahan seluas 8 000 m2.

Usahatani seraiwangi tidak menggunakan pupuk dan pestisida buatan. Tanaman seraiwangi juga baik digunakan sebagai tanaman konservasi. Dengan pemanfaatan limbah seraiwangi untuk pakan ternak, peternak tidak tergantung dengan pakan hijauan dari luar. Usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah memiliki nilai positif karena meminimalisir pencemaran lingkungan dan mengurangi ketergantungan input dari luar. Hal tersebut sesuai dengan konsep LEISA yang memaksimalkan daur ulang dan mengurangi kerusakan lingkungan, sehingga usahatani terpadu tersebut dapat menjadi usahatani yang lebih berkelanjutan.

(8)

SUMMARY

AMALIA DIENA LISTYANTI. Integrated Farming System of Lemongrass and Dairy Cattle Study in Cikahuripan Village Lembang. Supervised by SRI MULATSIH and SUWARTO.

Lembang District is an area with the highest population of dairy cattle in West Bandung Regency, West Java Province. Cikahuripan Village is a dairy cattle-producing village that still has the potential to produce dairy cattle feed grass. In Cikahuripan Village, there is Manoko Agricultural Experimental Station owned by Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute, develops the lemongrass plant producing essential oils. Lemongrass wastes from distillery can be used to feed dairy cattle. The integration which has been done there potentially to develop at the micro scale dairy farmer’s level.

The purpose of this research is: (1) to know ecological potency of lemongrass based on soil suitability and dairy cattle feces quality, (2) to know the dairy cattle system in Cikahuripan Village, and (3) to determine the micro economic scale of integrated farming of lemongrass and dairy cattle in Cikahuripan Village.

This study was conducted in April to October 2014. The respondents are from Manoko Agricultural Experimental Station’s manager and staffs and also 30 micro scale dairy farmers. The method of data analysis for the ecological aspect and dairy farming system is descriptive analysis, while integrated farming of lemongrass and dairy cattle farmings’s economic scale is calculated by using dynamic system approach with STELLA 9.0.2 program. Integrated farming is in line with Low External Input Sustainability (LEISA) concept, refers to the utilization of local resources optimally by combining the components of farming systems.

Lemongrass can grow well at Manoko Agricultural Experimental Station. Based on sample’s soil nutrient content, Cikahuripan Village’s land area can be planted with lemongrass suitably by the same method at Manoko Agricultural Experimental Station which only uses dairy cattle’s organic fertilizer. The nutrient contents of samples’ organic fertilizer prove that organic fertilizer from Cikahuripan Village fulfils technical requirements of solid organic fertilizer.

Micro scale dairy farming operates hereditarily using traditional method at the household level. The majority of dairy cattle ownership is 3−5 heads. Dairy cattle farming at Manoko Agricultural Experimental Station use almost similar method. Forage supplied for dairy cattle is lemongrass waste from lemongrass distillation. The using of lemongrass waste does not give negative impact to milk production. Lemongrass waste nutrition is relatively good, with raw fibre which is lower than hay and cane grass.

Dairy cattle feces is used as biogas resource that will produce organic fertilizer as a side output. The amount of fertilizer from the biogas maker is 40% of total cattle feces put in the tool.

(9)

viii

an organic fertilizer basic material for lemongrass plantation. The micro economic scale of integrated farming that economically and ecologically feasible of lemongrass and dairy cattle are minimum land area measuring 3 000 m2 of lemongrass and 3 heads of dairy cattle. If the forage source for dairy cattle is lemongrass waste only without another input such as grass, dairy cattle needs forage that equal with 2 667 m2 of lemongrass areal. The micro economic scale of integrated farming that economically and ecologically feasible of lemongrass and dairy cattle are minimum land area measuring 8 000 m2 of lemongrass and 3 heads of dairy cattle.

Lemongrass farming does not use chemical fertilizers and pesticides. Lemongrass is also can be used well as a conservation plant. Lemongrass waste usage for dairy cattle makes farmers are not dependent on the external input. Integrated farming of lemongrass and dairy cattle has positive values because it minimize pollution and lessen external input dependence. That is in line with LEISA concept which maximise recycle and reduce the environmental damage, so that integrated farming can become a more sustainable farming.

(10)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(11)
(12)

KAJIAN SISTEM USAHATANI TERPADU SERAIWANGI

DAN SAPI PERAH DI DESA CIKAHURIPAN LEMBANG

AMALIA DIENA LISTYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini adalah pertanian terpadu, dengan judul Kajian Sistem Usahatani Terpadu Seraiwangi dan Sapi Perah di Desa Cikahuripan Lembang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Sri Mulatsih serta Bapak Dr Ir Suwarto yang telah membimbing selama proses penelitian dan penyusunan tesis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Hariyadi sebagai komisi penguji luar pada ujian tesis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Prof Dr Ir Cecep Kusmana dan Sekretaris Program Magister Dr Ir Lailan Syaufina, serta kepada seluruh dosen dan staf di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ir Dedi Suheryadi beserta staf dari KP Manoko Desa Cikahuripan Lembang serta petani peternak di Desa Cikahuripan Lembang yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(19)
(20)
(21)
(22)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xviii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 2

Perumusan Masalah 3

Tujuan 4

Manfaat 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Sektor Pertanian di Indonesia 4

Potensi Seraiwangi 5

Budidaya Seraiwangi 6

Usahaternak Sapi Perah 7

Pertanian dengan Penggunaan Input Luar Rendah 8

Pertanian Berkelanjutan 8

3 METODE 9

Lokasi dan Waktu Penelitian 9

Bahan dan Alat 9

Metode Pengumpulan Data 9

Metode Analisis Data 11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Gambaran Umum Desa Cikahuripan 13

Potensi Ekologi Tanaman Seraiwangi 13

Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Seraiwangi 14 Kualitas Pupuk Organik dari Limbah Kotoran Ternak 15 Sistem Usahaternak Sapi Perah di Desa Cikahuripan 18

Usahaternak Sapi Perah Rakyat 18

Usahaternak Sapi Perah di KP Manoko 20 Skala Ekonomi Usaha Terpadu Seraiwangi dan Sapi Perah Rakyat 22 Penerapan Integrasi Tanaman Seraiwangi dan Ternak Sapi Perah

di Desa Cikahuripan 29

5 SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 35

(23)

DAFTAR TABEL

1 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tahun 2009−2013 5 2 Hasil analisis sampel tanah di Desa Cikahuripan 15 3 Hasil analisis sampel pupuk kandang di Desa Cikahuripan 16 4 Hasil analisis sampel feses sapi perah di Desa Cikahuripan 17 5 Hasil analisis sampel urin sapi perah di Desa Cikahuripan 17 6 Kepemilikan lahan pertanian dan sapi perah responden peternak rakyat 19

7 Kebutuhan minimum rumah tangga peternak 20

8 Potensi keuntungan penggunaan biogas di KP Manoko 21 9 Perbandingan kandungan gizi limbah seraiwangi, rumput gajah, dan

jerami 21

10 Komponen data teknis usahatani seraiwangi 22 11 Komponen data teknis usahaternak rakyat 22 12 Kelayakan ekonomi usahatani seraiwangi parsial dengan lahan milik

sendiri dan lahan sewa 24

13 Kelayakan ekonomi usahatani sapi perah parsial dengan hijauan rumput gajah dan campuran rumput gajah dan jerami 25 14 Kelayakan ekonomi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah 27 15 Kelayakan ekologi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah 27 16 Usaha terpadu seraiwangi dan sapi perah yang layak secara ekonomi

dan ekologi 28

DAFTAR GAMBAR

1 Ilustrasi kerangka pemikiran 3

2 Lokasi penelitian 10

3 Komponen analisis usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah 12 4 Diagram input-output usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah 12

5 Model usahatani seraiwangi parsial 23

6 Model usahaternak sapi perah parsial (hijauan rumput) 25 7 Model usahaternak sapi perah parsial (hijauan rumput dan jerami) 25 8 Model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat (hijauan limbah

seraiwangi) 26

9 Model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat (hijauan limbah

seraiwangi dan rumput gajah) 27

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Keterangan rumus persamaan dalam model usahatani seraiwangi dan

sapi perah 35

2 Foto usahatani seraiwangi di Kebun Percobaan Manoko Desa

Cikahuripan 39

(25)
(26)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia yang terletak di khatulistiwa mendapat sinar matahari yang cukup untuk mengembangkan sektor pertanian. Kondisi agroklimatnya pun relatif baik sehingga kondisi lahan relatif subur. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan produksi pertanian yang dapat menunjang industri, meningkatkan ekspor, sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (Soekartawi 2005). Peluang tersebut harus dimanfaatkan dengan pengembangan dan peningkatan sektor pertanian termasuk subsektornya, seperti subsektor peternakan dan perkebunan.

Salah satu bagian dari subsektor peternakan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah peternakan sapi perah. Upaya pengembangan tersebut guna memenuhi peningkatan kebutuhan susu sapi dalam negeri. Berdasarkan data Ditjennak (2014b), pemasok lokal hanya dapat memenuhi sekitar 27 persen total kebutuhan susu nasional. Kendala pemenuhan pasokan susu nasional tersebut terkait dengan sistem produksi usahaternak sapi perah yang umumnya masih dilakukan secara tradisional dengan skala kecil serta penurunan jumlah sapi perah.

Berdasarkan data, pada tahun 2013, populasi sapi perah di Indonesia menurun, yaitu berkurang dari sekitar 611 ribu ekor menjadi sekitar 444 ribu ekor. Pada tahun 2014, pemerintah berupaya meningkatkan kembali populasi sapi perah nasional, dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 21 persen.Populasi sapi perah di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2013 sekitar 103 ribu ekor atau 23,4 persen dari populasi sapi perah di Indonesia (Ditjennak 2014a).

Upaya pemerintah dalam mendorong peningkatan sapi perah untuk memenuhi pasokan susu akan meningkatkan kebutuhan pakan ternak. Masalah dari pasokan pakan adalah terbatasnya lahan untuk memproduksi hijauan pakan ternak tersebut (Zahra 2012). Pada usaha peternakan, lahan menjadi faktor produksi utama untuk kandang dan sumber pakannya. Peningkatan perubahan fungsi lahan menjadi permukiman semakin mengurangi luasan lahan untuk ditanami hijauan pakan ternak.

Lembang merupakan daerah dengan populasi ternak sapi perah terbanyak di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Jumlah ternak sapi perah di Lembang sudah melebihi daya dukung sumber pakan yang ada (Zahra 2012). Keterbatasan pasokan tersebut mengharuskan peternak membeli hijauan ternak di luar daerah Lembang. Berdasarkan penelitian Zahra (2012), di Lembang terdapat beberapa desa yang berpotensi dikembangkan untuk memproduksi hijauan sebagai pakan ternak, antara lain di Desa Suntenjaya, Cibodas, dan Cikahuripan.

(27)

2

kosmetik, parfum, sabun, dan farmasi (Balittro 2010). Minyak seraiwangi juga dapat digunakan sebagai insektisida, antibakteri, antijamur, serta hama dan jamur kontaminan lainnya (Sukamto & Djazuli 2011).

Pada proses untuk menghasilkan minyak atsiri terdapat limbah penyulingan seraiwangi yang dapat digunakan untuk pakan ternak sapi perah (Sukamto et al. 2011). Secara umum limbah seraiwangi lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan jerami, sedangkan jika dibandingkan dengan rumput gajah, kualitas seraiwangi lebih baik pada kandungan serat kasarnya yang lebih rendah (Sukamto & Djazuli 2011). Secara umum seraiwangi relatif mudah dibudidayakan. Seraiwangi dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi 1 200 m dpl pada berbagai tipe tanah (Daswir & Kusuma 2006).

Dengan semakin sedikitnya lahan pertanian, diperlukan pengembangan diversifikasi pertanian yang lebih terarah. Pengembangan diversifikasi pertanian tersebut dapat dilakukan melalui keterpaduan subsektor pertanian (Dillon 2009). Keterpaduan misalnya antara subsektor perkebunan dan peternakan, yaitu tanaman seraiwangi dan ternak sapi perah. Integrasi peternakan dan pertanian melalui penyediaan pakan sapi dalam bentuk hijauan dan konsentrat dengan kuantitas serta kualitas yang memadai, mendukung usaha-usaha pengembangan peternakan sapi perah dalam negeri yang berkelanjutan (Saragih 2010). Sebaliknya, limbah yang berasal dari sapi perah dapat menjadi pupuk bagi tanaman seraiwangi.

Kerangka Pemikiran

Di daerah Lembang, dengan ketinggian sekitar 1 200 m di atas permukaan laut, tanaman seraiwangi masih dapat berproduksi. Daerah Lembang juga merupakan daerah peternakan sapi perah sejak sekitar tahun 1900, yang semuanya merupakan rumpun sapi Fries Holland (FH) murni, berasal dari Belanda. Sapi FH unggul yang diimpor tersebut dapat memproduksi susu dengan jumlah yang hampir sama dengan negara asalnya (Subandriyo & Adiarto 2009).

Limbah yang berasal dari peternakan sapi perah berpotensi untuk mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik, seperti langsung dialirkan ke sungai atau ditimbun di tempat terbuka. Meskipun berpotensi mencemari, limbah dari kotoran ternak juga memiliki manfaat. Jika diolah menjadi pupuk, pupuk tersebut dapat memperbaiki kualitas tanah di lahan pertanian atau lahan perkebunan. Lahan pertanian atau perkebunan tersebut memiliki potensi sebagai sumber hijauan bagi ternak. Jadi, dengan pola integrasi, antara usahatani dan usahaternak diharapkan dapat saling memberi pengaruh positif.

Di lokasi penelitian, KP Manoko, Desa Cikahuripan, usahatani yang dikembangkan adalah kebun seraiwangi dan ternak sapi perah. Daun seraiwangi yang telah disuling digunakan sebagai pakan ternak sapi perah. Limbah kotoran ternak yang dihasilkan diolah menjadi biogas untuk kompor rumah tangga. Dari proses tersebut, limbah ternak akan menjadi pupuk kandang yang dapat dimanfaatkan kembali untuk lahan perkebunan seraiwangi. Jadi, di dalam sistem usaha tersebut ada proses daur ulang yang berjalan.

(28)

pengelolaan limbah ternak mereka. Usahatani yang menggunakan komponen sistem yang ada dengan penggunaan input luar rendah atau Low External Input Sustainability (LEISA) termasuk dalam upaya mendukung pertanian yang berkelanjutan. Kajian tersebut ditelaah melalui nilai ekonomi serta manfaat lingkungan dan sosial dalam usahatani terpadu yang ramah lingkungan. Kerangka pemikiran kajian pemanfaatan limbah dalam usahatani tersebut disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ilustrasi kerangka pemikiran

Perumusan Masalah

Pengembangan subsektor peternakan, termasuk sapi perah membutuhkan adanya pasokan pakan bagi ternak tersebut. Peningkatan populasi ternak sapi perah berpotensi meningkatkan limbah kotoran ternak. Dengan sistem integrasi dengan pola nirlimbah, sistem usahatani tersebut akan menjadi ramah lingkungan dan menjadi lebih menguntungkan secara ekonomi. Limbah yang dapat diolah menjadi tidak berbahaya dari unit usaha yang satu dapat menjadi input bagi unit usaha yang lainnya.

(29)

4

terpadu yang ideal adalah jika kegiatan usaha tersebut tetap ramah lingkungan, menguntungkan, serta mudah pelaksanaannya, tidak hanya untuk saat ini, namun juga di waktu mendatang.

Integrasi yang telah dilakukan di KP Manoko berpotensi untuk dikembangkan di tingkat petani peternak rakyat di Desa Cikahuripan. Melalui integrasi seraiwangi dengan peternakan sapi perah, petani peternak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya dengan mengusahakan lahan yang terbatas.

Terkait hal tersebut, beberapa pertanyaan yang harus dijawab adalah: 1. Bagaimana potensi ekologi tanaman seraiwangi di Desa Cikahuripan? 2. Bagaimana sistem usahaternak sapi perah di Desa Cikahuripan?

3. Bagaimana menentukan skala usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat di Desa Cikahuripan?

Tujuan

Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah:

1. Mengetahui potensi ekologi tanaman seraiwangi di Desa Cikahuripan yang dilihat dari kesesuaian tanah dan kualitas pupuk organik dari kotoran ternak sapi perah.

2. Mengetahui sistem usahaternak sapi perah di Desa Cikahuripan.

3. Menentukan skala ekonomi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat di Desa Cikahuripan.

Manfaat

Manfaat penelitian yang dilakukan yaitu penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengembangan usahatani terpadu di perdesaan, khususnya di Desa Cikahuripan. Dengan konsep keterpaduan diharapkan usahatani masyarakat desa menjadi lebih berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sektor Pertanian di Indonesia

Pertanian tidak hanya dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan manusia, namun juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kesejahteraan suatu bangsa (Anwar 2005). Sektor pertanian memberikan manfaat yang sangat luas baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan (Irawan 2005). Pertanian tidak semata-mata menyangkut aspek perdagangan seperti yang terjadi di negara maju (Khudori 2004).

(30)

semata sebagai pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan standar kehidupan yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) (Syahyuti 2006). Melalui standar tersebut, kita dapat melihat kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB cenderung menunjukkan sedikit penurunan dari tahun ke tahun (Tabel 1).

Tabel 1 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tahun 2009−2013 Tahun

Pertanian yang khas seperti jenis tanaman perkebunan tertentu mampu segera bangkit setelah krisis (Saragih 2009). Indonesia sebaiknya mengembangkan agroindustri yang berbasis tropis, seperti pangan dan pakan, serat alam, biofarmasi (obat, pestisida, antibiotik, produk kecantikan, energi nabati, dan industri floris (tanaman hias). Indonesia berpeluang untuk unggul secara internasional karena didukung keunggulan komparatif yang tidak banyak dimiliki oleh negara yang lain (Saragih 2010). Terkait dengan keunggulan komparatif Indonesia dalam ketersediaan bahan baku, industri minyak atsiri berpotensi untuk dikembangkan. Peningkatan kebutuhan dunia akan seraiwangi menjadi peluang Indonesia untuk mengembangkan produknya.

Sebelum Perang Dunia II, jumlah minyak sitronela yang diekspor oleh Indonesia sangat tinggi. Minyak sitronela dari Indonesia sangat terkenal,

khususnya yang berasal dari Pulau Jawa, sehingga dikenal dengan ‘Java

Citronella Oil’. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling banyak menghasilkan minyak sitronela. Penurunan volume ekspor disebabkan oleh mutu minyak sitronela yang semakin berkurang (Isdijoso & Samsuri 1975). Penurunan ekspor juga disebabkan semakin berkurangnya produksi minyak sitronela atau minyak seraiwangi, padahal kebutuhan pasar meningkat sebesar 3−5% per tahun (Daswir & Kusuma 2006).

Produksi seraiwangi dipengaruhi secara nyata oleh penggunaan varietas yang unggul. Produksi varietas unggul lebih baik secara kuantitas. Hal tersebut tentunya terkait dengan pendapatan yang dapat diperoleh. Pendapatan diperoleh lebih tinggi dibandingkan yang menggunakan varietas lokal (Damanik 2007). Berdasarkan data produksi tahun 2009−2013, jumlah produksi daun dari perkebunan rakyat seraiwangi meningkat, yaitu dari sekitar 1 700 ton tahun-1 menjadi 2 500 ton tahun-1 (BPS 2014).

(31)

6

Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya 40% dari total penduduk di seluruh dunia beresiko terinfeksi demam berdarah (Kusumawardani & Achmadi). Permasalahan tersebut membuka peluang untuk pengembangan pengendali nyamuk Aedes aegypti yang ramah lingkungan. Penggunaan bahan kimia dalam waktu yang terus-menerus akan semakin mencemari lingkungan dan membuat nyamuk menjadi semakin resisten.

Minyak seraiwangi juga dapat mencegah lalat pada pengolahan ikan (Fardaniyah 2007), serta mengendalikan hama pada produk hortikultur seperti cabai (Setiawati et al. 2011). Seraiwangi berpotensi untuk dikembangkan sebagai insektisida alami karena relatif mudah diperoleh, mudah dibudidayakan, serta mudah terurai. Minyak seraiwangi dapat menjadi bagian pengendalian hama tanpa merusak kualitas hasil panen atau buah (Setiawati et al. 2011; Ulfah et al. 2009). Minyak seraiwangi juga memiliki kegunaan sebagai bahan bioaditif bahan bakar minyak (BBM) kendaraan bermotor. Dengan bioaditif tersebut, penghematan BBM mencapai 15−40% dan kadar emisi yang dihasilkan kendaraan tersebut juga menjadi lebih rendah (Balittro 2010).

Tanaman seraiwangi berpotensi sebagai tanaman konservasi. Seraiwangi dapat ditanam di lahan-lahan kritis dengan kemiringan >30% untuk mengurangi tingkat erosi tanah dan volum aliran permukaan pada saat hujan (Daswir 2010). Limbah seraiwangi juga memiliki potensi sebagai pakan ternak (Sukamto & Djazuli 2011).

Budidaya Seraiwangi

Seraiwangi (Andropogon nardus L.) adalah tanaman sejenis rumput yang termasuk dalam famili Gramineae. Penyulingan daun seraiwangi akan menghasilkan minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak sitronela. Tanaman seraiwangi mudah tumbuh di hampir semua jenis tanah di dataran rendah hingga ketinggian 4 000 mdpl, namun tanaman tersebut tumbuh optimal di tanah dengan jenis andosol, latosol, regosol, podsolik, dan kambisol pada ketinggian maksimal sekitar 1 200 mdpl (Ditjenbun & Balittro 2010). Tanaman seraiwangi membutuhkan iklim yang lembab, sehingga pertumbuhannya menjadi agak lambat di musim kemarau (Isdijoso & Samsuri 1975; Daswir & Kusuma 2006).

Tanaman seraiwangi yang dibudidayakan oleh rakyat di Indonesia terdiri dari dua klon, yaitu jenis Maha Pengiri dan Lena Batu. Kementerian Perindustrian menentukan syarat mutu minyak sitronela dan Balittro Bogor telah menghasilkan 4 klon yang memenuhi syarat mutu tersebut, yaitu G1, G2, G3, dan G113 yang berasal dari klon Maha Pengiri. Seluruh klon yang dihasilkan tersebut dilepas oleh Menteri Pertanian pada tahun 1992, dengan nama Seraiwangi 1, Seraiwangi 2, Seraiwangi 3, dan Seraiwangi 4. Rata-rata rendemen minyak 1,01% dengan produksi minyak melebihi 450 kg ha-1 tahun-1 (Daswir & Kusuma 2006).

(32)

kemiringan lebih dari 30o dan curah hujan 3 500 mm tahun-1, sebaiknya seraiwangi ditanam dengan metode terasering.

Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan agar dapat tumbuh cepat. Kegiatan utama pemeliharaan pada tanaman seraiwangi ialah penyulaman, penyiangan, penggemburan, pembumbunan, dan pemupukan. Sampat saat ini belum ditemukan hama dan penyakit berbahaya yang menyerang tanaman seraiwangi. Kegiatan panen pertama dilakukan saat tanaman berumur sekitar 6 bulan. Daun yang dipanen kemudian dibawa ke penyulingan. Sebelum dilakukan penyulingan, cara yang ideal adalah menjemur daun selama 3−4 jam atau menyimpan di tempat teduh selama 3−4 hari (Daswir & Kusuma 2006).

Usahaternak Sapi Perah

Pada umumnya, sistem produksi usaha peternakan sapi perah di Indonesia dilakukan oleh rakyat secara tradisional dengan skala yang relatif tidak besar. Berdasarkan data tahun 2013, populasi sapi perah yang ada di Indonesia adalah 444 266 ekor, dengan 98,5 persen yang tersebar di Pulau Jawa. Jumlah sapi perah di Jawa Barat sekitar 103 794 ekor atau 23,4 persen dari seluruh populasi sapi perah di Indonesia (Ditjennak 2014a).

Berdasarkan fakta yang ada, jumlah produk susu sapi yang dihasilkan oleh peternakan lokal di Indonesia masih kurang. Pemenuhan produk susu sapi masih didominasi oleh impor. Dari data Ditjennak (2014b), kemampuan pemasok lokal baru mencapai sekitar 27 persen dari total kebutuhan susu nasional. Hingga saat ini, pemerintah terus mendorong peningkatan usaha peternakan sapi perah dalam negeri guna memenuhi kebutuhan susu nasional yang terus meningkat.

Peningkatan produksi dalam negeri tersebut tentunya harus memperhatikan hal-hal lain yang terkait. Di dalam kegiatan produksi, hasil akhir produk umumnya disertai dengan limbah, termasuk di dalam usaha peternakan sapi perah. Limbah yang dihasilkan oleh sapi perah terdiri dari limbah padat dan limbah cair. Limbah padat tersebut berupa feses dan sisa pakan. Limbah cair berupa urin sapi, air limbah pencucian kandang, dan air limbah sanitasi ternak. Setiap harinya, rata-rata limbah padat berupa feses yang dihasilkan oleh satu ekor sapi perah setiap hari adalah sekitar 10 kg (Nugraha 2006).

Limbah ternak adalah hasil buangan metabolisme atau feses yang terkadang bercampur dengan urin (Sahidu 1983). Limbah ternak merupakan salah satu sumber pupuk organik. Pupuk organik mempunyai manfaat-manfaat di antaranya sebagai pembenah tanah yang baik. Pemberian pupuk organik tersebut di antaranya dapat memperbaiki struktur tanah serta meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air. Di samping itu, kandungan hara dalam pupuk organik rendah sehingga pemakaian menjadi lebih banyak. Pupuk organik lambat dalam menyediakan unsur hara. Hal tersebut menjadi kekurangan sekaligus kelebihan pupuk organik. Kandungan hara mikro dalam pupuk organik cukup besar, sementara itu bahan organik akan melepas nitrogen dan unsur hara lain dengan perlahan melalui proses mineralisasi. Jika ditambahkan secara berkesinambungan, pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan tanah (Sutanto 2002).

(33)

8

(50−75%), CO2 (25−45%), serta sejumlah kecil H2, N2, dan H2S. Biogas yang

ramah lingkungan tersebut dapat menjadi sumber energi alternatif khususnya di area-area dengan sumber limbah organik yang dapat mencemari lingkungan. Limbah ternak berupa feses dan urin cocok untuk sistem biogas sederhana, karena bahan organiknya homogen (Hambali et al. 2008).

Pembuatan biogas dari kotoran hewan ternak tersebut akan memberi berbagai dampak positif, seperti energi alternatif dan sisa fermentasi berupa pupuk cair dan pupuk kandang padat. Melalui fermentasi, dihasilkan 0,20−0,38 m3 gas untuk setiap 1 kg bahan organik, serta meninggalkan sekitar 32%−60% C-organik untuk pupuk organik (Sutanto 2002). Kualitas pupuk organik melalui proses biogas ini memiliki kelebihan dibandingkan pupuk kandang biasa. Bakteri patogen dan biji gulma akan mati selama proses pengomposan (Hambali et al.

2008), selain itu, N dan P menjadi lebih tersedia (Sutanto 2002).

Penerapan teknologi biogas juga akan memberikan dampak terhadap perkembangan peternakan di Indonesia. Populasi ternak akan meningkat seiring peningkatan jumlah petani peternak. Biogas yang diperoleh untuk memasak merupakan energi yang lebih bersih, murah, dan tentunya ramah lingkungan. Anggaran negara untuk subsidi BBM dapat semakin dihemat. Sektor ekonomi rakyat juga diharapkan menjadi semakin membaik (Hambali et al. 2008)

Pertanian dengan Penggunaan Input Luar Rendah

Pertanian dengan penggunaan input luar rendah atau LEISA mengacu pada bentuk pemanfaatan sumber daya lokal secara optimal yang mengombinasikan komponen-komponen sistem usahatani, seperti tanaman, ternak, ikan, tanah, air, iklim, dan manusia agar saling melengkapi dan memberi dampak sinergi paling besar. LEISA juga mengacu pada penggunaan input luar hanya jika diperlukan atau hanya sebagai pelengkap unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan juga untuk meningkatkan sumber daya yang telah ada. Mekanisme daur ulang serta minimalisasi kerusakan lingkungan sebagai perhatian utama metode LEISA memungkinkan penurunan produktivitas secara drastis dapat dihindari, karena penggunaan input luar masih diperbolehkan jika keadaan penting, mendesak, dan tidak ada pilihan lain. Konsep LEISA menjaga toleransi keseimbangan penggunaan input internal dan eksternal (Reijntjes et al. 1999).

Lebih lanjut menurut Reijntjes et al., LEISA mengandung prinsip-prinsip ekologi dasar yang di antaranya yaitu, menjamin kondisi tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman, mengoptimalkan ketersediaan unsur hara, meminimalkan kerugian terkait radiasi matahari, udara, dan air dengan pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi, serta meminimalkan serangan hama dan penyakit pada tanaman.

Pertanian Berkelanjutan

(34)

tersebut memperhitungkan kesinambungan aspek penawaran, permintaan, dan produksi jangka panjang (Saragih 2009). Pertimbangan tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya pengelolaan dalam usahatani agar usaha tersebut tidak hanya menguntungkan, namun juga memberi pengaruh positif lainnya pada masyarakat. Masyarakat sangat mengharapkan pembangunan pertanian Indonesia yang berwawasan lingkungan (Gumbira-Sa’id 2009). Pembangunan tersebut di antaranya dengan mengembangkan teknologi pertanian ramah lingkungan. Di dalam usahatani, pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sekaligus melestarikan lingkungan (Dillon 2009).

Konsep ekoefisiensi dan nirlimbah dalam usahatani ramah lingkungan berhubungan dengan proses pendaurulangan limbah organik seperti di suatu usahatani. Beberapa prinsip ekoefisiensi di antaranya yaitu mengurangi bahan baku dalam proses produksi, mengurangi energi, mengurangi limbah berbahaya, meningkatkan proses daur ulang, dan memaksimalkan penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui secara berkelanjutan. Inti pelaksanaan ekoefisiensi adalah pada penciptaan nilai tambah dengan cara memenuhi kebutuhan produksi serta mengurangi dampak terhadap lingkungan (Gumbira-Sa’id 2009). Konsep ekoefisiensi tersebut akan mendukung pertanian yang berkelanjutan.

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada bulan April hingga Oktober 2014 (Gambar 2).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan di dalam penelitian yaitu pedoman wawancara dan kuesioner. Alat yang digunakan ialah kamera dan wadah sampel.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan metode survei dan wawancara dengan responden yang ditetapkan secara purposive. Survei awal dilakukan untuk mengetahui gambaran umum tentang lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh melalui pihak pengelola KP Manoko, instansi terkait, serta studi pustaka.

(35)

10

sapi perah. Data yang terkait dengan sapi perah rakyat diambil dari responden peternak sapi perah di Desa Cikahuripan.

Gambar 2 Lokasi penelitian

Responden ditetapkan berdasarkan pertimbangan tertentu (judgment sampling) (Suharso 2009), yaitu peternak yang berasal dari 6 Rukun Warga (RW) yang mayoritas warganya adalah peternak, yaitu RW 01, RW 02, RW 04, RW 05, RW 08, dan RW 10. Responden dari masing-masing RW ditetapkan sebanyak 5 peternak, sehingga total responden adalah 30 orang.

Pengambilan sampel tanah untuk mengetahui kualitas tanah untuk melihat kesesuaiannya bagi tanaman seraiwangi dilakukan di 3 lokasi yang mewakili ketinggian tempat di Desa Cikahuripan, yaitu bagian atas, tengah, dan bawah. Pada tiap lokasi diambil sampel tanah dari 3 titik dengan radius sekitar 1 000 m. Lokasi pengambilan sampel adalah di RW 01 (bagian bawah), RW 02 (bagian tengah), dan RW 08 (bagian atas). Lokasi pengambilan sampel di RW 02 adalah di lahan seraiwangi KP Manoko, sementara di RW 01 dan RW 08 adalah lahan milik petani yang juga sebagai peternak rakyat.

(36)

usahaternak di KP Manoko dan dari 3 peternak rakyat. Seluruh sampel diuji ke laboratorium agar diperoleh data kandungan hara makro dan mikronya.

Metode Analisis Data

Metode analisis data yang dilakukan adalah dengan analisis deskriptif serta dengan analisis sistem dinamik. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan potensi ekologi tanaman seraiwangi serta sistem usahaternak sapi perah rakyat dan penggunaan limbah seraiwangi sebagai pakan ternak sapi perah di Desa Cikahuripan. Analisis sistem dinamik untuk menentukan skala ekonomi usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat.

Analisis pada usahatani seraiwangi dan usahaternak sapi perah yang dilakukan meliputi aspek lingkungan dan ekonomi. Pada aspek lingkungan, unsur-unsur yang dianalisis ialah kesesuaian tanah dan kualitas pupuk organik dari kotoran ternak sapi perah untuk budidaya seraiwangi di Desa Cikahuripan. Pada aspek ekonomi, analisis yang dilakukan ialah analisis sistem usahatani dan analisis kelayakan hidup keluarga tani. Aspek sosial yang dianalisis adalah persepsi peternak terkait penerapan integrasi seraiwangi dan sapi perah. Usia peternak dan tingkat pendidikan peternak digunakan sebagai data pendukung.

Analisis pendapatan usahatani dengan imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) dilakukan untuk mengetahui efisiensi kegiatan usahatani. Analisis tersebut dapat diketahui melalui perbandingan antara total penerimaan pada tiap usahatani dengan total biaya. Rasio R/C menunjukkan besaran penerimaan bagi tiap satuan mata uang biaya pada usahatani. Nilai R/C > 1 menunjukkan bahwa usahatani tersebut menguntungkan. Semakin tinggi nilai R/C, artinya keuntungan juga semakin besar.

Penilaian usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah yang berkelanjutan dapat diperoleh dengan pendekatan sistem dinamik. Kriteria kelayakan usahatani secara ekonomi dan ekologi dilihat sebagai ukuran skala usahatani yang menjadi alternatif model usaha terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat di Desa Cikahuripan. Skala usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat tersebut dibuat dengan membuat model integrasi kedua usaha tersebut dengan bantuan program STELLA 9.0.2. Model sistem dinamik dapat menunjukkan perubahan dinamis, umpan balik, dan proses lainnya dalam suatu sistem (Fu et al. 2012).

Dengan model integrasi seraiwangi dan sapi perah akan diketahui jumlah minimum luas lahan untuk seraiwangi dan jumlah ternak sapi perah agar usahatani terpadu tersebut dapat dikatakan layak secara ekonomi dan layak secara ekologi. Kelayakan ekonomi dilihat dari income usahatani yang dapat memenuhi kebutuhan bulanan rumah tangga petani peternak. Kelayakan ekologi dilihat dari luas minimum lahan seraiwangi yang dapat menyuplai hijauan ternak sapi perah serta produksi pupuk kandang dari usahaternak sapi perah yang dapat memenuhi kebutuhan pupuk kandang di lahan seraiwangi.

(37)

12

minyak atsiri. Limbah penyulingan berupa daun seraiwangi yang telah direbus beberapa jam digunakan sebagai pakan ternak sapi perah.

Dari usaha sapi perah, dihasilkan kotoran ternak yang dijadikan sebagai sumber biogas. Pada proses pembuatan biogas juga akan dihasilkan pupuk kandang yang dapat digunakan di lahan seraiwangi. Model sistem usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat disusun dengan mengikuti sistem usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah di Kebun Percobaan Manoko, namun tidak menghitung unit penyulingan serta tidak menghitung biogas yang dihasilkan. Komponen analisis usahatani terpadu sistem usaha terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat disajikan pada Gambar 3. Diagram input-output model sistem usaha terpadu seraiwangi dan sapi perah rakyat disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3 Komponen analisis usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah

(38)

Diagram input-output pada Gambar 4 menggambarkan hubungan antara output yang akan diperoleh dengan input yang didasarkan pada analisis kebutuhan dan formulasi permasalahan. Diagram tersebut disebut juga sebagai diagram kotak gelap (black box) karena diagram tersebut tidak menerangkan proses yang dialami input untuk menjadi output yang diinginkan (Hartrisari 2007).

Model usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah menginginkan output berupa pendapatan petani peternak yang meningkat, hijauan ternak yang tersedia, serta lingkungan yang bersih. Jenis input yang terkendali adalah lahan pertanian dan ternak sapi perah yang dimiliki, hasil produksi usahatani, serta upaya pengelolaan limbah di usahatani. Manajemen pengendalian pada usahatani seraiwangi dan sapi perah juga dilakukan guna mengendalikan output yang tidak diinginkan, seperti berkurangnya luas lahan untuk hijauan, tidak tersedianya sumber hijauan untuk ternak, pendapatan yang menurun, serta lingkungan yang tercemar. Input yang tak terkendali adalah perilaku petani peternak serta luas lahan yang dapat disewa oleh petani peternak rakyat.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Desa Cikahuripan

Desa Cikahuripan terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dengan koordinat 6o45’33”−6o50’45” LS dan 107o35’30”−107o37’00” BT. Wilayah Desa Cikahuripan berbatasan dengan areal hutan Perhutani dan Kabupaten Subang di sebelah utara, Desa Gudang Kahuripan di sebelah selatan, Desa Jayagiri di sebelah timur, serta Desa Sukajaya di sebelah barat. Luas total wilayah desa ialah sekitar 749,25 ha. Desa Cikahuripan termasuk ke dalam iklim basah yang memiliki enam bulan basah dan enam bulan kering. Curah hujan rata-rata sekitar 2 700 mm, suhu rata-rata-rata-rata sekitar 19−21 oC, dan kelembaban udara rata-rata sekitar 80%. Jumlah total penduduk di Desa Cikahuripan berdasarkan data tahun 2012 adalah 10 578 jiwa, dengan jumlah laki-laki sebanyak 5 529 jiwa dan perempuan sebanyak 5 049 jiwa. Mayoritas pendidikan masyarakat Desa Cikahuripan ialah lulusan Sekolah Dasar (37%), lulusan Sekolah Menengah Pertama (9%), dan lulusan Sekolah Menengah Atas (9%). Mata pencaharian di Desa Cikahuripan sebagian besar ialah yang berhubungan dengan sektor pertanian, seperti petani dan peternak.

Potensi Ekologi Tanaman Seraiwangi

(39)

14

lahan seraiwangi di KP Manoko berkembang dari 0,5 ha menjadi 12 ha. Pada sekitar tahun 2011−2012, luas lahan seraiwangi berkurang, terkait lahan yang dipinjam pakai oleh Sekjen Penguatan Varietas Tanaman dan Perijinan Kementerian Pertanian untuk dibangun kantor beserta kebun seluas 3 ha. Pada tahun 2013, luas lahan untuk tanaman seraiwangi di KP Manoko adalah 9 ha, terbagi menjadi 90 petak.

Tanaman seraiwangi ditanam dengan jarak tanam 1 m x 1 m. Jumlah bibit per lubang yaitu 1−2 bibit. Seraiwangi diberi pupuk kandang dua kali dalam mencapai 2 000 kg. Rata-rata hasil panen per hari sekitar 1 125 kilogram. Harga daun seraiwangi segar yaitu Rp500 kg-1 hingga Rp600 kg-1.

Berdasarkan data produksi tersebut, tanaman seraiwangi yang diberi pupuk kandang dapat tumbuh baik di lahan KP Manoko. Hal tersebut menjadi gambaran awal bahwa tanaman seraiwangi dapat dibudidayakan pada lahan-lahan di Desa Cikahuripan. Dengan demikian, potensi ekologi tanaman seraiwangi perlu dikaji lebih lanjut berdasarkan kesesuaian tanah untuk tanaman seraiwangi serta kualitas pupuk organik yang berasal dari limbah kotoran ternak.

Kesesuaian Tanah untuk Tanaman Seraiwangi

Secara umum, Desa Cikahuripan yang terletak di Kecamatan Lembang memiliki tanah yang relatif subur. Tanah di Lembang merupakan jenis tanah andosol. Tanah andosol adalah salah satu jenis yang subur, berasal dari erupsi gunung berapi (Sukarman & Dariah 2014). Jenis tanah tersebut sesuai untuk pertanian, khususnya tanaman hortikultura dataran tinggi yang diusahakan oleh para petani di Desa Cikahuripan, seperti sayuran dan bunga potong.

Berdasarkan data tahun 1961 hingga tahun 2008, kandungan C-organik pada jenis tanah andosol yang subur akan menurun jika digunakan untuk tanaman hortikultura maupun perkebunan. Kandungan hara tanah sampel dari hasil uji laboratorium digunakan untuk melihat kandungan hara tanah Desa Cikahuripan secara keseluruhan. Perbandingan kandungan hara tanah di lahan seraiwangi KP Manoko (RW 02, bagian tengah) dengan tanah di RW 01 (bagian bawah) dan RW 08 (bagian atas) disajikan pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil pengujian, tanah di KP Manoko serta Desa Cikahuripan secara umum memiliki pH asam, kandungan C-org tinggi, kandungan N tinggi, C/N ratio rendah, serta P2O5 yang tinggi. Di KP Manoko nilai Ca dan Na sedang,

serta Mg dan K rendah. Pada 2 lokasi lainnya, hanya nilai Na yang rendah, sementara nilai Ca, Mg, dan K sedang atau tinggi. Jika dilihat dari kandungan hara makro, terutama dari C-org, N, C/N ratio, dan P2O5, lahan di Desa

(40)

Tabel 2 Hasil analisis sampel tanah di Desa Cikahuripan

Jenis Pengujian RW 02 (KP Manoko) RW 01 RW 08

Nilai1) Kategori2) Nilai1) Kategori2) Nilai1) Kategori2)

pH H2O 5,38 Asam 4,62 Asam 5,24 Asam Sumber: 1)Hasil uji di Laboratorium Balittro; 2)Balittanah (2009)

Kualitas Pupuk Organik dari Limbah Kotoran Ternak

Bahan organik atau pupuk organik memiliki manfaat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi pertanian, mengurangi pencemaran lingkungan, serta meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Kotoran ternak sapi perah sebagai salah satu bahan organik memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik di lahan-lahan pertanian.

Di Desa Cikahuripan, limbah dari usaha sapi perah tersebut digunakan para peternak di sebagai sumber biogas. Limbah kotoran ternak cocok untuk sistem biogas sederhana, karena bahan organiknya homogen (Hambali et al.

2008). Sisa pemrosesan biogas berupa pupuk kandang dapat langsung diaplikasikan di lahan pertanian. Berdasarkan penghitungan di KP Manoko, produksi pupuk kandang yang diperoleh dari alat penghasil biogas adalah sekitar 40% dari total feses sapi perah yang dimasukkan.

Pada pupuk organik, nilai C-organik menjadi hal utama yang diperhatikan dibandingkan nilai haranya (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Berdasarkan hasil analisis pupuk kandang yang berasal dari sisa pemrosesan biogas, nilai C-organik pupuk kandang tersebut lebih rendah dibandingkan nilai C-C-organik feses sapi, namun masih lebih tinggi dibandingkan angka dari persyaratan teknis minimal pupuk organik padat. Secara keseluruhan, kandungan hara makro dan mikro pada keempat contoh pupuk kandang di Desa Cikahuripan memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk organik padat (Tabel 3).

(41)

16

Cd di pupuk organik adalah 10 kali lipat dari batas toleransi pada pupuk organik, yaitu 500 ppm untuk Pb dan 100 ppm untuk Cd (Balittanah 2009).

Tabel 3 Hasil analisis sampel pupuk kandang di Desa Cikahuripan Jenis

Sumber: 1)Hasil uji di Laboratorium Balittro; 2)Balittanah (2009)

Bahan baku pupuk organik tersebut berupa feses dan urin sapi juga dianalisis kandungan haranya. Hal tersebut karena pada tidak semua responden memanfaatkan seluruh limbah ternak mereka. Di KP Manoko, kapasitas alat penghasil biogas tidak mencukupi dan pihak pengelola belum membuat saluran yang khusus untuk mengalirkan urin sapi perah dari kandang ke bak penampungan.

Feses sapi perah tidak dapat disebut sebagai pupuk organik, karena belum melalui proses rekayasa (Suriadikarta & Simanungkalit 2006). Feses sapi perah merupakan salah satu bahan baku pembuatan pupuk organik, namun memerlukan perlakuan lebih lanjut, seperti fermentasi. Kandungan hara dari hasil uji laboratorium pada sampel feses sapi perah disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, seluruh sampel feses sapi memiliki nilai C-organik yang lebih tinggi daripada nilai minimal C-organik untuk pupuk organik padat. Kandungan hara makro dan mikro pada feses sapi juga masih dalam batas nilai yang disyaratkan. Kandungan logam berat Pb dan Cd pada sampel feses sapi lebih rendah dibandingkan dengan nilai batas maksimal persyaratan pupuk organik padat. Hal tersebut menunjukkan bahwa feses sapi perah memiliki potensi yang tinggi sebagai bahan baku pupuk organik.

(42)

Manoko dan RW 10 tersebut. Pada beberapa petak tersebut terlihat bahwa tanaman seraiwangi yang diberi urin sapi lebih rimbun dengan ukuran daun lebih besar. Kandungan hara sampel urin sapi perah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4 Hasil analisis sampel feses sapi perah di Desa Cikahuripan Jenis

Sumber: 1)Hasil uji di Laboratorium Balittro; 2)Balittanah (2009)

Tabel 5 Hasil analisis sampel urin sapi perah di Desa Cikahuripan Jenis

Sumber: 1)Hasil uji di Laboratorium Balittro; 2)Balittanah (2009)

(43)

18

makro dan mikro urin sapi juga masih dalam batas nilai yang disyaratkan. Nilai tersebut menunjukkan bahwa urin sapi perah berpotensi untuk digunakan sebagai salah satu bahan baku pembuatan pupuk organik cair.

Berdasarkan kandungan hara pada 4 sampel pupuk kandang yang telah diuji di laboratorium tersebut, dapat diketahui bahwa kandungan hara pupuk kandang yang telah diproses melalui alat penghasil biogas di Desa Cikahuripan, memenuhi persyaratan minimal pupuk organik padat. Pupuk kandang yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sebagai pupuk organik di lahan seraiwangi. Kandungan hara pada feses dan urin sapi perah juga menunjukkan bahwa feses dan urin sapi perah tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pupuk organik. Pupuk organik baik untuk tanah karena dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Suriadikarta & Simanungkalit 2006).

Sistem Usahaternak Sapi Perah di Desa Cikahuripan

Usahaternak Sapi Perah Rakyat

Pada awalnya, masyarakat Desa Cikahuripan mayoritas adalah petani tanaman sayuran, kemudian para petani juga menanam bunga potong. Harga bunga potong tinggi meski modal awal yang dikeluarkan juga banyak. Pada tahun 1970-1980 masyarakat desa mulai memelihara sapi perah. Di Desa Cikahuripan, peternak paling banyak berada di RW 04. Mayoritas peternak juga tersebar di RW 01, RW 02, RW 05, RW 08, dan RW 10. Hingga saat ini, usahaternak sapi perah dijalankan secara tradisional di tingkat rumah tangga.

Setiap peternak di merupakan anggota Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU). Kebutuhan peternak seperti perlengkapan, pakan konsentrat, obat-obatan, jasa dokter hewan, serta alat penghasil biogas dibeli melalui KPSBU dengan sistem cicilan. Harga susu sapi sudah ditentukan oleh pihak KPSBU, yaitu sekitar Rp4 200 per liter, namun jika kualitasnya lebih rendah, harga susu sapi hanya sekitar Rp3 800 per liter. Harga sapi dara yang hamil 6−7 bulan sekitar Rp17 000 000, sementara harga anak sapi (pedet) sekitar Rp1 600 000.

Sebagian besar responden peternak rakyat, yaitu sebanyak 80%,

memasang instalasi biogas dengan kapasitas alat 4−6 m3

. Feses dari 1 ekor sapi perah sebanyak 15 kg hari-1 yang dimasukkan ke alat penghasil biogas tersebut, akan menghasilkan gas yang menjadi sumber bahan bakar kompor. Dari 15 kg kotoran sapi perah tersebut dapat menghasilkan pupuk kandang sekitar 6 kg.

Para peternak rakyat di Desa Cikahuripan menggunakan rumput gajah dan jerami sebagai pakan hijauan untuk sapi perah mereka. Pemberian hijauan pada tiap ekor sapi per harinya berkisar antara 20 kg hingga 40 kg. Harga rumput gajah sekitar Rp200 kg-1, sementara jerami Rp100 kg-1. Rumput gajah umumnya ditanam sendiri oleh petani, baik di lahan milik sendiri maupun di lahan sewaan.

(44)

hari. Jumlah sapi perah yang dimiliki responden peternak bervariasi, namun paling banyak adalah 3−5 ekor (40%).

Dari 30 responden peternak rakyat, sebanyak 8 responden (27%) tidak memiliki lahan yang dapat ditanami hijauan untuk pakan ternak mereka. Para peternak tersebut mencari rumput hingga di luar kawasan Desa Cikahuripan. Mereka juga harus membeli jerami jika persediaan rumput tidak mencukupi jumlah hijauan yang dibutuhkan. Kepemilikan lahan dan kepemilikan ternak sapi perah para responden peternak rakyat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Kepemilikan lahan pertanian dan sapi perah responden peternak rakyat

Kepemilikan Lahan

Berdasarkan data responden yang diperoleh, mayoritas usia peternak

berusia 41−50 tahun. Rincian kisaran usia responden yaitu 20−30 tahun sebanyak

20%, 31−40 tahun sebanyak 17%, 41−50 tahun sebanyak 40%, 51−60 tahun

sebanyak 20%, dan di atas 60 tahun sebanyak 3%. Pada umumnya, usahaternak sapi perah di Desa Cikahuripan merupakan usaha turun-temurun. Saat ini, mayoritas peternak adalah generasi kedua yang menjalankan usahaternak keluarga.

Tingkat pendidikan mayoritas peternak adalah Sekolah Dasar (SD), sebesar 43%. Persentase tingkat pendidikan peternak lainnya, yaitu tidak tamat SD (7%), Sekolah Menengah Pertama (30%), dan Sekolah Menengah Atas (20%). Pada umumnya, peternak yang berusia di atas 45 tahun dan/atau yang berjenis kelamin perempuan hanya bersekolah hingga tingkat SD. Anak-anak peternak pada saat ini umumnya sudah bersekolah hingga ke tingkat Sekolah Menengah Atas.

Berdasarkan wawancara dan pengamatan di usahaternak responden, keluarga peternak yang dapat menyekelohkan anaknya hingga ke perguruan tinggi memiliki jumlah ternak sapi perah yang cukup banyak, lebih dari 10 ekor serta ditambah dengan usaha penggemukan sapi. Para peternak yang memiliki lahan umumnya memiliki usaha lain seperti usahatani sayuran atau bunga potong. Responden yang memiliki ternak sekitar 4 ekor yang menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, namun dengan bantuan beasiswa pendidikan.

(45)

20

Tabel 7 Kebutuhan minimum rumah tangga peternak

Komponen Nilai Satuan

Iuran listrik 70 000 Rp/bulan

Biaya depresiasi pompa air 25 000 Rp/bulan Iuran air (sumber dari mata air) 10 000 Rp/bulan Biaya depresiasi pipa saluran air (dari mata air ke rumah) 10 000 Rp/bulan

Belanja kebutuhan pokok 865 000 Rp/bulan

Keperluan anak sekolah (2 orang) 800 000 Rp/bulan

Kebutuhan lainnya 200 000 Rp/bulan

Kebutuhan rumah tangga per bulan 1 980 000 Rp/bulan

Usahaternak Sapi Perah di KP Manoko

Usahaternak sapi perah di KP Manoko dijalankan oleh pihak pengelola dengan metode budidaya yang hampir serupa dengan peternak sapi perah rakyat di Desa Cikahuripan. Tenaga kerja sebanyak 4 orang dibutuhkan untuk memelihara sekitar 66 ekor sapi perah. Pihak pengelola memasang instalasi biogas dengan kapasitas alat 12 m3 sebanyak 2 buah.

Biogas yang dihasilkan disalurkan ke 4 rumah serta ke 1 kandang ternak untuk bahan bakar kompor. Saat ini, kapasitas alat penghasil biogas tersebut masih kurang jika dibandingkan dengan kotoran ternak yang dihasilkan setiap harinya. Feses dan urin yang dihasilkan sekitar 990 kg hari-1 dan 660 l hari-1. Feses ternak yang dimanfaatkan pada alat biogas hanya 20%, yaitu 200 kg hari-1 atau 72 ton tahun-1. Pupuk kandang yang dihasilkan dari proses pemanfaatan biogas sekitar 28,8 ton tahun-1.

Potensi keuntungan penggunaan biogas dihitung dari jumlah tabung gas elpiji 3 kg yang dapat disubstitusi penggunaannya. Pupuk kandang yang dihasilkan juga dihitung nilai jualnya, yaitu Rp50 per kilogram. Penghitungan potensi keuntungan penggunaan biogas di KP Manoko disajikan pada Tabel 8.

Berdasarkan penghitungan nilai ekonomi penggunaan biogas, keuntungan secara ekonomi tidak besar, yaitu hanya Rp1 140 000 per tahun. Nilai tersebut dapat lebih tinggi jika saluran biogas ke rumah-rumah ditambah serta dengan memperbesar kapasitas alat pengolahan biogas, sehingga dapat mengatasi permasalahan kotoran ternak yang dihasilkan. Biogas yang dihasilkan juga dapat menjadi bahan bakar alat penyulingan, bahkan dapat menjadi alternatif sumber listrik di KP Manoko. Hal tersebut memungkinkan jika menggunakan genset

khusus.

Pihak pengelola KP Manoko menggunakan limbah seraiwangi sisa penyulingan sebagai hijauan untuk pakan ternak sapi perah. Di Desa Cikahuripan, penggunaan limbah seraiwangi untuk pakan sapi perah tersebut hanya dilakukan di KP Manoko. Pada awalnya, keterbatasan penyediaan hijauan membuat pihak pengelola KP Manoko mencoba menggunakan limbah seraiwangi sisa penyulingan sebagai pakan sapi perah. Berdasarkan pengamatan oleh pihak pengelola, tidak terdapat permasalahan pada kondisi fisik sapi perah serta kuantitas dan kualitas produk susu, sehingga pemberian limbah seraiwangi terus dilanjutkan hingga saat ini.

(46)

Tabel 8 Potensi keuntungan penggunaan biogas di KP Manoko

Uraian Nilai Satuan

Perkiraan masa pakai instalasi biogas 10 tahun Perkiraan masa pakai kompor biogas 4 tahun

Biaya Biaya investasi biogas per tahun 2 175 000 Rp tahun-1

Biaya tenaga kerja 2 700 000 Rp tahun-1

Potensi

Jumlah gas elpiji 3 kg yang dapat disubstitusi 2 unit rumah-1

Harga gas elpiji 3 kg 20 000 Rp unit-1

Penghematan gas elpiji 3 kg 2 400 000 Rp tahun-1 Feses yang dihasilkan 15 kg ekor-1 hari-1

990 kg hari-1

Feses yang dihasilkan per tahun 356 ton tahun-1

Urin yang dihasilkan 10 l hari-1

237 600 l tahun-1 Limbah kotoran ternak yang dimasukkan ke alat

penghasil biogas

200 kg hari-1

Limbah kotoran ternak yang dimanfaatkan 72 ton tahun-1 Sisa kotoran yang belum dapat dimanfaatkan 284 ton tahun-1 Pupuk kandang yang dihasilkan 29 ton tahun-1

Harga pupuk kandang 50 000 Rp ton-1

Penjualan pupuk kandang 1 440 000 Rp tahun-1

Total 3 840 000 Rp tahun-1

Potensi keuntungan 1 140 000 Rp tahun-1

Tabel 9 Perbandingan kandungan gizi limbah seraiwangi, rumput gajah, dan jerami

Gizi Satuan Limbah Seraiwangi Rumput Gajah Jerami

Protein % 7,00 10,19 3,93

Sumber: KP Manoko (hasil uji di laboratorium Balai Penelitian Ternak Ciawi)

(47)

22

Skala Ekonomi Usahatani terpadu Seraiwangi dan Sapi Perah Rakyat

Berdasarkan data teknis usaha seraiwangi di KP Manoko dan usaha sapi perah rakyat, model sistem dinamik disusun dengan bantuan software STELLA 9.0.2 untuk mengetahui skala usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah. Model sistem dinamik dapat menunjukkan perubahan dinamis, umpan balik, dan proses lainnya dalam suatu sistem (Fu et al. 2012).

Hasil penghitungan komponen-komponen tersebut digunakan untuk melihat kelayakan usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah tersebut, baik secara ekonomi maupun ekologi. Pada usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah, pupuk kandang yang dihasilkan dari usaha ternak sapi perah digunakan di lahan seraiwangi, sehingga petani peternak tidak perlu mengeluarkan biaya pupuk. Kelebihan produksi pupuk kandang dapat dijual. Komponen data teknis usahatani seraiwangi dan usahaternak rakyat disajikan pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10 Komponen data teknis usahatani seraiwangi

Uraian Nilai Satuan

Masa produktif 6,00 tahun

Jumlah petak 90,00 petak Biaya depresiasi perlengkapan 15 000,00 Rp bulan-1 Biaya depresiasi kendaraan 66 666,67 Rp bulan-1

Biaya BBM 14 800,00 Rp bulan-1

Tabel 11 Komponen data teknis usahaternak rakyat

Uraian Nilai Satuan Produksi feses rata-rata 15.00 kg hari-1 Produksi pupuk kandang rata-rata 6.00 kg hari-1

Harga pupuk 5.00 Rp

Biaya depresiasi sapi 5 000 000.00 Rp ekor-1 Biaya depresiasi kandang 30 000.00 Rp ekor-1 Biaya depresiasi peralatan 15 000.00 Rp ekor-1 Biaya depresiasi kendaraan 66 666.67 Rp bulan-1 Biaya depresiasi biogas 23 333.33 Rp bulan-1

Kebutuhan hijauan 40.00 kg hari-1

Harga jerami 100.00 Rp kg-1

Kebutuhan konsentrat 3.00 kg hari-1

Harga konsentrat 2 000.00 Rp kg-1

Kebutuhan ampas tahu 5.00 kg hari-1

Harga ampas tahu 620.00 Rp kg-1

(48)

Berdasarkan data kepemilikan lahan pertanian dan ternak sapi perah, terdapat 27% responden yang tidak memiliki lahan pertanian. Terdapat sebagian dari responden peternak, baik yang tidak memiliki lahan maupun yang memiliki lahan, menyewa lahan milik Perhutani untuk ditanami rumput gajah. Lahan yang dimiliki oleh responden peternak umumnya ditanami sayuran serta rumput gajah untuk hijauan ternak.

Penentuan skala usahatani seraiwangi dan sapi perah yang layak baik secara ekonomi dan ekologi dilakukan dengan beberapa skenario. Kelayakan usahatani secara ekonomi diukur dari luas minimum lahan seraiwangi dan/atau sapi perah yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan minimum bulanan rumah tangga petani peternak di Desa Cikahuripan. Kebutuhan minimum bulanan tersebut adalah sekitar Rp1 980 000.

Pada usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah, selain kelayakan secara ekonomi, dilihat pula kelayakan secara ekologi. Kelayakan secara ekologi dihitung dari luas lahan seraiwangi dengan produksi daun yang dapat memenuhi kebutuhan jumlah limbah seraiwangi untuk pakan hijauan sapi perah serta produksi pupuk kandang yang dapat menyuplai kebutuhan di lahan seraiwangi. Nilai kelayakan tersebut harus lebih besar atau sama dengan 1.

Penghitungan kelayakan usahatani secara ekonomi dilakukan pada usahatani parsial serta usahatani terpadu. Kelayakan ekonomi usahatani parsial dapat menjadi perbandingan dengan usahatani terpadu, khususnya kelayakan ekonominya, terkait dengan luas lahan dan jumlah ternak yang dapat memenuhi kelayakan ekonomi tersebut. Pada usahatani terpadu, selain kelayakan ekonomi, kelayakan ekologi juga tetap menjadi pertimbangan, berapa luas lahan yang dibutuhkan untuk seraiwangi dan jumlah ternak untuk memenuhi kriteria layak secara ekonomi dan juga ekologi.

Pada usahatani seraiwangi parsial dan juga usahaternak sapi perah parsial hanya dilihat kelayakan ekonominya. Model usahatani seraiwangi parsial dan usahaternak parsial disajikan pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7.

Gambar 5 Model usahatani seraiwangi parsial

(49)

24

seraiwangi dapat dipanen setiap 3 bulan, sehingga jika ingin memanen setiap hari, luas lahan yang dipanen harus dibagi 90. Jika ingin memanen setiap bulan, luas panen harus dibagi 3. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa guna memenuhi kebutuhan rumah tangga bulanan sebesar Rp1 980 000, luas lahan seraiwangi yang dibutuhkan untuk tanaman seraiwangi adalah sekitar 25 530 m2 (Tabel 12). Di Desa Cikahuripan sangat jarang petani yang memiliki lahan berukuran sekitar 2,5 ha, sehingga produksi seraiwangi secara parsial membutuhkan lahan sewa, seperti lahan sewa milik Perhutani. Lahan yang disewakan oleh Perhutani adalah sangat murah hanya Rp50 per m2 per tahun.

Menurut pengelola KP Manoko, ada warga desa yang mau mencoba menanam tanaman seraiwangi di lahan Perhutani, namun dilarang oleh pihak Perhutani karena dianggap menghabiskan hara dalam tanah. Dengan pemberian pupuk kandang yang cukup seperti di lahan KP Manoko tentu tanah yang ditanami seraiwangi akan subur. Tanaman seraiwangi sebagai tanaman konservasi di lahan miring sebagai tanaman konservasi membantu agar kandungan hara tanah tidak terbawa erosi dan aliran permukaan. Jika warga Desa Cikahuripan dapat menanam di lahan sewa milik Perhutani, dibutuhkan lahan seluas 25 987 m2 agar dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga bulanan atau dapat dikatakan layak secara ekonomi (Tabel 12).

Tabel 12 Kelayakan ekonomi usahatani seraiwangi parsial dengan lahan milik sendiri dan lahan sewa

Uraian Lahan milik sendiri Lahan sewa Satuan

Revenue 4 786 875,00 4 872 563,00 Rp bulan-1

Cost 2 806 735,00 2 892 494,00 Rp bulan-1

R/C ratio 1,71 1,68

Income 1 980 140,00 1 980 068,00 Rp bulan-1

Kebutuhan rumah tangga bulanan 1 980 000,00 1 980 000,00 Rp bulan-1 Kelayakan usahatani secara ekonomi 1,00 1,00

Pada usahaternak sapi perah parsial, pakan hijauan yang digunakan adalah rumput gajah dan jerami. Jerami menjadi tambahan pakan ternak, namun jumlah penggunaan maksimalnya hanya 2% dari total bobot ternak (Mariyono et al. 2005), sehingga pemberian jerami sekitar 6 kg per hari untuk tiap ekornya. Pada model usahaternak sapi perah parsial tersebut diasumsikan bahwa sumber hijauan baik rumput gajah maupun jerami harus membeli dari pihak lain. Harga rumput gajah Rp200 dan harga jerami Rp100 per kilogram. Pada model dibuat penghitungan dengan menggunakan rumput gajah seluruhnya serta dengan yang diberi tambahan jerami. Hasil produksi susu dari ternak yang menggunakan pakan rumput seluruhnya maupun yang campuran diasumsikan sama. Model usahaternak sapi perah disajikan pada pada Gambar 6 dan Gambar 7.

(50)

berasal dari luar menunjukkan ketergantungan peternak kepada pihak luar. Jika pakan hijauan tidak tersedia maka pada akhirnya peternak terpaksa harus menjual ternak sapi perah mereka.

Gambar 6 Model usahaternak sapi perah parsial (hijauan rumput)

Gambar 7 Model usahaternak sapi perah parsial (hijauan rumput dan jerami)

Tabel 13 Kelayakan ekonomi usahaternak sapi perah parsial dengan hijauan rumput gajah dan campuran rumput gajah dan jerami

Uraian Rumput gajah Rumput gajah dan jerami

Satuan

Revenue 10 884 000,00 10 884 000,00 Rp bulan-1

Cost 8 925 333,00 8 637 333,00 Rp bulan-1

R/C ratio 1,22 1,26

Income 1 958 667,00 2 246 667,00 Rp bulan-1

Kebutuhan rumah tangga bulanan 1 980 000,00 1 980 000,00 Rp bulan-1 Kelayakan usahatani secara ekonomi 0,99 1,13

Gambar

Gambar 1  Ilustrasi kerangka pemikiran
Gambar 4   Diagram input-output usahatani terpadu seraiwangi dan sapi perah
Tabel 2   Hasil analisis sampel tanah di Desa Cikahuripan
Tabel 3   Hasil analisis sampel pupuk kandang di Desa Cikahuripan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Meningkatnya Tata Kelola Manajemen Internal Ditjen Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan Indeks PMPRB Nilai indeks Nilai

Jika saat melafalkan Xiao Fang Zi, pemikiran atau niat memohon untuk kepentingan diri sendiri terlalu kuat, dan setelah selesai melafalkan tidak langsung

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu bahwa peraturan KKLD yang mengalami 3 kali perubahan mulai dari penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban

Hasil penelitian menunjukkan klon berproduksi tinggi (quick starter) dengan kandungan sukrosa rendah dan fosfat anorganik tinggi seperti PB 260, hanya membutuhkan pelukaan

sebaliknya selalu positif. Artinya pesan-pesan yang disampaikan ditanggapi oleh komunikan sehingga komunikasi dapat dikatakan efektif. e) Saluran : media komunikasi yang lebih

2) Silangkan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang sama dengan arah berlawanan letakkan pada gigi bagian atas dan bawah di sudut mulut pasien. 3) Lebarkan/jauhkan

Chikako Maruta Introduction⑴ Francisco Ayala’s essay on education, “Universidad y sociedad de masas” University and Society of the Masses in La crisis actual de la enseñanza

Berladang berpindah-pindah merupakan cara bertani dengan memanfaatkan hutan, yang diolah untuk digunakan sebagai areal kegiatan berladang agar dapat memberikan hasil