• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT

KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN

CITRA PRATIWI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Citra Pratiwi

(4)
(5)

ABSTRAK

CITRA PRATIWI. Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan. Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO.

Kearifan lokal, nilai, norma, dan aturan-aturan masyarakat adat yang bermukim di sekitar hutan mempunyai relasi yang kuat dengan kelestarian hutan di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan, pertama, menganalisis sejauh mana kearifan lokal masyarakat Kampung Naga berperan terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan. Kedua, menganalisis strategi nafkah komunitas Kampung Naga. Penelitian menggunakan penelitian kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, pertama, proses ajar kearifan lokal di Kampung Naga, berlangsung melalui dua saluran. Saluran pertama melalui ruang keluarga atau rumah tangga. Saluran kedua berlangsung melalui ruang kampung. Dalam ruang keluarga/rumah tangga berlangsung proses ajar tentang perilaku sehari-hari, cara berpakaian, cara memasak, hingga cara budidaya padi. Pemimpin adat, sesepuh, dan ustadz tidak banyak berperan di ruang ini. Di dalam ruang kampung berlangsung proses ajar tentang upacara adat, cara pemanfaatan hutan, cara budidaya di kawasan hutan, hingga pembangunan rumah. Mereka yang berperan besar dalam proses ajar ini adalah pemimpin adat, sesepuh, menyusul terakhir adalah warga komunitas Kampung Naga. Hasil yang kedua, dengan berbagai luas penguasaan lahan, sektor pertanian (on farm) masih memberikan sumbangan terbesar terhadap pendapatan total rumah tangga (>65 persen). Mata pencaharian warga umumnya merupakan perpaduan dari usaha tani (on farm), usaha anyaman bambu (off farm), dan jasa secara terbatas (pedagang, atau buruh).

Kata kunci: pengelolaan hutan, kearifan lokal, strategi nafkah

ABSTRACT

CITRA PRATIWI. Local Wisdom and Forest Management of Kampung Naga Customary Community. Supervised by Soeryo Adiwibowo.

Local wisdom, values, norms and rules of customary community living nearby forest mostly has tied relations with forest ecosystem. The objective of the study is, first, to analyse the role of local wisdom of the Kampung Naga community to forest use and protection. Second, to analyse the livelihood strategy of the Kampung Naga community. A mixed of quantitative and quantitative approach is applied. The results show that, first, the wisdom for forest management are transferred and passing from generations to generations through family unit and local community. Daily behaviour and attitude, fashion manner, cooking, domestic activities, and paddy rice field culture are transmitted through member of the family or household. The adat leaders, the elders, and the local

ulama are not involve in these matters. Meanwhile, community rituals, forest usage and its taboo, cultivation at forest area, as well as housing construction are transmitted through community sphere in particular adat leaders, the elders, and the local ulama. The second result, with regards to livelihood strategy, on-farm activities are the biggest contributor to the household income (65 percent) followed by off-farm and non-farm activities.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT

KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN

CITRA PRATIWI

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan Skripsi berjudul “Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapat gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada:

1. Dr. Ir Soeryo Adiwibowo, MS sebagai pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini.

2. Bapak Boyke Suhendra (alm) dan Ibu Tuti Supriati, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis.

3. Indra Pratama, Yuri, dan Alhkalifi Attallah Pratama yang senantiasa memberikan dukungan serta keceriannya.

4. Masyarakat Kampung Naga yang telah menerima dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih untuk keramahan dan keterbukaannya selama penulis melakukan penelitian.

5. Nurzalina Fatimah Azzahra, Rini Yuliawati, Nevi Arifiyanti, dan Farah Siti Zakiyah yang selalu menjadi tempat curahan hati penulis.

6. Sahabat sahabat seperantauan Azkiyyatus Syariifah, Alia Nisfi Jayanti, Widya Amaliah, Sri Agustin Maulani, Egi Nurridwan, Dijako R Julistianto, Yosafat M Manalu, Muhammad Syukur, Vanya Annisaningrum, Rizky Anggraini, Mona Elsahawi, Ninda Rahayu, Parti Mardiani, Rima Aulia Rahmah yang senantiasa menjadi tempat diskusi, semangat, dan keceriannya selama proses penulisan.

7. Teman-teman SKPM 49 yang selalu memberikan semangat dan dukungannya.

8. Teman-teman satu dosen pembimbing Nadya dan Esa yang bersama-sama berjuang dan saling mendukung untuk mendapatkan gelar S.kpm.

9. Teman-teman yayasan Sanggar Juara, Anggota Kosan Alquds, Himalaya IPB, dan INDEX 2015 yang senantiasa selalu memberikan semangat, dan doa. 10. Saepul Mubarok dan Fadli Alamsyah yang telah memberikan semangat dan

setia menemani selama proses penulisan.

Bogor, Agustus 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Proses Ajar Melalui Tatanan Adat 16

Kepemimpinan 16

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 21

Teknik Pengumpulan Data 22

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23

Definisi Operasional 24

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 29

KEHIDUPAN KOMUNITAS KAMPUNG NAGA 31

Sejarah Komunitas Kampung Naga 31

Tata Ruang Kampung Naga 32

Tingkat Pendidikan Komunitas Kampung Naga 34

Mata Pencaharian dan Penguasaan Lahan 37

STRATEGI NAFKAH KOMUNITAS KAMPUNG NAGA 41

PROSES AJAR DAN KEPEMIMPINAN 49

Proses Ajar Pada Komunitas Kampung Naga 49

Proses Ajar 52

KEARIFAN LOKAL DAN KELESTARIAN HUTAN 57

Nilai-Nilai yang Mendasari Kearifan Lokal 57

Kearifan Lokal dalam Penataan Ruang Kampung dan Perumahan 59

Kearifan Lokal dalam Perlindungan Hutan 61

(14)
(15)

Simpulan 75

Saran 76

DAFTAR PUSTAKA 77

LAMPIRAN 83

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Uji statistik realibilitas 22

2 Jenis dan metode pengumpulan data 23

3 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi

anggota keluarga pertama responden 35

4 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi

anggota keluarga kedua responden 35

5 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi

anggota keluarga ketiga responden 36

6 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi

anggota keluarga keempat responden 36

7 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi

anggota keluarga kelima responden 36

8 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas lahan yang dikuasai di dalam kawasan Kampung Naga 38 9 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas

penguasaan lahan di luar kawasan kampung naga 39 10 Jenis dan vegetasi pada hutan alami Kampung Naga yang

dimanfaatkan komunitas Kampung Naga. 40

11 Jumlah dan jenis strategi nafkah rumah tangga responden menurut kategori kombinasi strategi nafkah On Farm, Off Farm, dan Non Farm 43 12 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori luas

lahan yang dikuasai di dalam dan di luar kawasan Kampung Naga 44 13 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori

pendapatan di sektor On Farm 45

14 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori

pendapatan di sektor Off Farm 45

15 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut kategori

pendapatan di sektor Non Farm 46

16 Jumlah dan persentase responden menurut kategori pendapatan dari

berbagai sektor nafkah 46

17 Data jumlah pendapatan rumah tangga responden dari berbagai kontribusi sektor pendapatan menurut luas penguasaan lahan 47 18 Jumlah dan persentase responden menurut peranan proses ajar di

kalangan komunitas Kampung Naga (%). 52

19 Jumlah dan persentase persepsi responden mengenai pemimpin adat

menurut kategori tipe kepemimpinan 55

20 Status pemegang hak kepemilikan 64

21 Aturan hukum norma adat di hutan garapan kawasan Kampung Naga. 66 22 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber

perolehan kayu untuk bahan bangunan 67

23 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada bahan kayu bangunan 68 24 Tabulasi silang antara sumber perolehan kayu bangunan pada tren

perubahan 10 tahun terakhir pada kayu bangunan 68 25 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber

(18)

26 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan bambu 69 27 Tabulasi silang antara sumber perolehan bahan bambu dengan tren

perubahan 10 terakhir pada keberadaan bambu 70

28 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber

perolehan hortikultur 71

29 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur 71 30 Tabulasi silang sumber perolehan tanaman hortikultur dengan tren

perubahan 10 tahun terakhir pada tanaman hortikultur 71 31 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut sumber

perolehan ikan 72

32 Jumlah dan persentase rumah tangga responden menurut tren perubahan selama 10 tahun terakhir pada keberadaan ikan 72

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran pengaruh kearifan lokal terhadap pengelolaan

hutan 19

2 Pembagian tatanan ruang kampung 33

3 Alat tradisional lesung 38

4 Lahan sawah garapan komunitas Kampung Naga di dalam kawasan 39

5 Peranan proses ajar melalui tatanan adat 53

6 Struktur pemerintahan informal di Kampung Naga 54 7 Karakteristik kepemimpinan adat dikalangan komunitas Kampung

Naga (%) 55

8 (A). Rumah adat komunitas Kampung Naga, (B). Lorong rumah adat

Kampung Naga 60

9 Sketsa pembagian zona/kawasan Kampung Naga 61

DAFTAR LAMPIRAN

1 Denah Peta Lokasi Penelitian 83

2 Nama responden komunitas Kampung Naga, Rt 01 Rw 01 Desa

Neglasari Kabupaen Tasikmalaya 84

3 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 85

4 Kuisioner 87

5 Panduan wawancara mendalam 96

6 Hasil Uji Statistik 97

7 Hasil uji validitas dan realibilitas 98

(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang wajib dijaga kelestariannya yang diperuntukkan sebagai penyeimbang alam dan paru-paru bumi. Pada ekosistem hutan terdapat bermacam keanekaragaman hayati dan non hayati, baik flora maupun fauna. Hutan merupakan kawasan yang sangat potensial terutama untuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Pada pengelolaan sumber daya hutan, terdapat beberapa stakeholder yang terlibat, yaitu masyarakat, swasta dan negara. Masyarakat desa sekitar hutan tidak dapat dipisahkan secara langsung karena merupakan bagian dari ekosistem hutan. Hutan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat sekitar atau juga disebut masyarakat lokal tersebut akan tetap berusaha menjaga dan mengelola hutan tersebut meskipun akan ada sebagian orang yang tidak peduli akan fungsi hutan tersebut bagi kehidupan mereka.

Keterkaitan antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat, baik manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan, penebangan kayu, sehingga memperoleh upah yang lumayan. Selain itu bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber sumber dasar yang terdapat di hutan seperti kayu bakar, dan hasil hutan lainnya akan memberikan nilai tambah terutama bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan (Karisma 2010).

Masyarakat sekitar hutan memiliki cara-cara tersendiri baik dalam mengelola maupun memanfaatkan hasil hutan. Mereka menggunakan norma adat maupun budaya mereka dalam mengelola hutan. Budaya tersebut telah secara turun temurun digunakan dan dilaksanakan oleh nenek moyang mereka dalam menjaga lingkungan yang disebut dengan kearifan lokal.

Menurut Nababan (2003) kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dengan ekosistem di sekitarnya, yang memiliki kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumber daya alam secara lokal. Pada masyarakat tradisonal apabila terjadi pelanggaran terhadap adat istiadat, maka perasaan bersalah akan selalu menghantuinya. Keraf (2002) dalam Arafah et al. (2011) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sedangkan menurut UU No 32 Tahun 2009 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari, dan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

(20)

2

yang masih dipelihara. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur komunitas Kampung Naga. Secara sosial budaya Kampung Naga merupakan desa adat yang masih terjaga kelestariannya. Kampung Naga masih mempertahankan adat istiadatnya ketika masyarakat yang lain telah berubah seiring perkembangan zaman. Komunitas Kampung Naga dapat terbuka dengan masyarakat lainnya tetapi mereka tetap berpegang teguh pada ajarannya.

Komunitas Kampung Naga sangat mematuhi pemimpin adat yang berperan untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan melestarikan budaya papagon hirup sebagai pedoman hidup yakni wasiat seperti adanya hutan larangan dan kawasan makam, amanat tentang pola hidup yang sederhana, larangan pada perbuatan, saat upacara, dan akibat pelanggaran terhadap tradisi seperti perasaan bersalah, telah menciptakan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam, sehingga lingkungan hidup terlestarikan. Salah satu tata cara yang terkait dengan kearifan hutan dan lingkungan adalah cara mereka dalam mengelola dan memanfaatkan lahan (hutan, air, dan tanah) dan segala kandungan yang terdapat di permukaan bumi. Tata cara pengelolaan ini didasarkan pada sistem pengetahuan lokal orang Naga itu sendiri yaitu berdasarkan adat-istiadat dan budaya lokal yang mereka miliki (Ningrum 2012).

Di Kampung Naga terdapat hutan adat yang disebut sebagai leuweung larangan yang tidak boleh ditebang maupun didatangi oleh masyarakat dalam maupun luar Kampung Naga itu sendiri, kecuali pada hari-hari tertentu untuk melaksanakan prosesi ritual (Hidayat 2015). Bentuk pengelolaan hutan

(leuweung) itu sebagai upaya untuk menjaga hutan tetap lestari. Oleh karena itu segala sesuatu yang dirasakan tidak mendukung akan cara dan gaya mereka dalam memanfaatkan lingkungan dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat. Komunitas adat Naga masih menyimpan mitos dan pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, dan sanksi dalam mengelola hutan mereka.

Tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan (Magdalena 2013). Masyarakat tradisional di Indonesia sering dijadikan sebagai tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan. Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya sistem perladangan masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan hutan, karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan (Yamani 2011).

(21)

3 lestari adalah kegiatan yang tidak mendukung kelestarian hutan (Soendjoto, Kurnain 2010). Selain itu, pada penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan tentang perlindungan hutan belum berhasil secara maksimal melindungi hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia. Salah satunya adalah lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang diterapkan oleh masyarakat lokal yang telah turun-temurun. (Yamani 2011).

Pada putusan 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan termasuk Hutan Negara, namun hingga saat ini masih belum terlihat jelas kongkritnya, banyak hutan adat di Indonesia masih dibawah perusahaan-perusahaan dengan kontrak HPH nya yang menyebabkan masyarakat adat menjadi korbannya. Banyak terjadi konflik antara masyarakat adat dengan para perusahaan dalam perebutan pengelolaan sumber daya hutan.

Diera globalisasi saat ini, telah banyak ditemui berbagai krisis ekologi yang muncul akibat terganggunya keseimbangan alam. Tanpa kita sadari berbagai tindakan dan sikap kita telah merusak ekologi, penggunaan teknologi yang tidak tepat guna atau berlebihan salah satu contoh yang dapat mengganggu keseimbangan alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara, dan berbagai krisis ekologi lainnya.

Oleh sebab itu perlu pengembangan dan pelestarian kearifan lokal yang berkembang di masyarakat lokal. Berdasarkan hal tersebut, muncul ketertarikan bagi peneliti untuk menganalisis lebih mendalam mengenai pengaruh kearifan lokal masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan.

Perumusan Masalah

Mayoritas masyarakat pedesaan, khususnya masyarakat asli mempunyai tradisi turun-temurun dalam mengelola hutannya, seperti contoh, pengelolaan sumber daya hutan menjadi tanggung jawab masyarakat setempat dan praktek pengelolaannya dilakukan melalui upaya kerjasama dengan anggota masyarakat. Mereka berhasil membangun sejumlah aturan, ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis dalam menjamin kelangsungan pengelolaan hutan secara lestari. Sistem pengelolaan tersebut biasanya berdasarkan tata cara/gaya hidup tradisional, dilakukan sepanjang tahun, atas dasar kebersamaan dan mempunyai sanksi keagamaan/ritual.

Masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan umumnya memandang hutan sebagai sebuah ruang yang pernah dihuni oleh pendahulu/nenek moyang mereka yang pengaruhnya terhadap hutan tersebut yang dihubungkan dengan nama tempat, mitos dan cerita rakyat.

Hutan adalah tempat dimana masyarakat memenuhi kebutuhan ekonominya seperti bahan baku hasil hutan dan tempat bekerja, kebutuhan ekologi seperti tempat penyimpanan air dan mencegah banjir, dan kebutuhan sosial budaya seperti adanya tempat-tempat keramat, pemakaman para leluhur, dan tempat ibadah.

(22)

4

sebagian masyarakat belum menyadari pentingnya hutan bagi kehidupan mereka di masa depan, maka tak jarang eksploitasi sumber daya hutan terus terjadi.

Salah satu cara menyelamatkan hutan tersebut adalah dengan mengkaji kembali kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat yang berada di sekitar hutan. Masyarakat yang berada di sekitar hutan dalam pengelolaan sumber daya hutan sangat tergantung pada pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya tersebut.

Kearifan lokal yang akan terus bertahan hingga saat ini akan tergantung oleh proses pengajaran yang diturunkan dari generasi ke generasi, hal ini akan berpengaruh pada teguhnya norma dan aturan hukum adat dalam menjaga kelestarian sumber daya alam, jika hal ini luntur karena proses modernisasi saat ini maka kelestarian sumber daya alam termasuk hutan akan terancam karena tidak adanya proses penjagaan. Maka peran pemimpin adat dalam menjaga kehidupan masyarakatnya dan menjaga kelestarian norma dan hukum adatnya sangatlah diperlukan. Hal ini dapat dikaji, sehingga dapat dirumuskan pertanyaan

bagaimana kearifan lokal dan proses ajar dalam menjaga dan mengelola hutan?

Keterkaitan antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama sejak nenek moyang mereka masih ada, karena hutan telah memberikan manfaat baik manfaat ekomoni, ekologi maupun sosial budaya. Keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan, penebangan kayu sehingga memperoleh upah yang lumayan.

Mata pencaharian utama masyakarat sekitar hutan mayoritas adalah bertani dengan memanfaatkan dan mengelola lahan hutan yang ada disekitarnya. Selain bertani, masyarakat sekitar hutan memanfaatkan hasil hutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tata cara pemanfaatan dan pengelolaan hutan didasarkan pada aturan/hukum/norma adat yang berlaku dan turun-temurun. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan dan mengelola hutan tidak merusak ekosistem hutan sehingga pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan menjadikan hutan tetap lestari. Maka hal ini dapat dikaji, dan dirumuskan pertanyaan bagaimana strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas Kampung Naga?

.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah penelitian maka tujuan pada penelitian ini adalah:

1. Mengkaji dan menganalisis kearifan lokal di kalangan komunitas Kampung Naga dalam menjaga dan mengelola hutan.

(23)

5

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihal yang berminat maupun terkait dengan kajian kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kepada:

1. Bagi Akademisi

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses pembelajaran dalam memahami kearifan lokal dan pengaruhnya terhadap pengelolaan hutan, dan dapat dijadikan sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya.

2. Bagi Pemerintah

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu saran kebijakan dalam menghentikan atau memberi batasan pengelolaan hutan kepada pihak swasta dan mengikutsertakan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan.

3. Bagi Masyarakat

(24)
(25)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Hutan

Konsep Hutan dan Hutan Adat

Hutan dalam konsepsi hukum lokal merupakan suatu tempat yang banyak ditumbuhi aneka-ragam pepohonan besar berumur ratusan tahun, dengan kepadatan dan kelembaban tinggi, dan tempat hidup berbagai jenis binatang liar dan buas, bahkan tempat makhluk halus (Yamani 2011). Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.

Hutan adat menurut Nababan (2003) merupakan kawasan hutan yang berada di wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan komunitas adat. Masyarakat hutan adat memandang manusia bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan. Menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hutan adat adalah hutan negara yag berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, sedangkan pada putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa “...hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu huan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan

tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh Negara.”

Pada kasus masyarakat adat Kajang, pengelolaan hutan adat terbagi menjadi tiga bagian yaitu, hutan keramat, hutan perbatasan, dan hutan rakyat. Hutan keramat merupakan hutan larangan dimana hanya para pemangku adat saja yang boleh masuk dan hanya untuk keperluan upacara adat, sedangkan hutan perbatasan merupakan jalan masuk menuju hutan, pada hutan perbatasan pun dilarang mengambil kayu ataupun sebagainya, dan masyarakat memanfaatkan dan mengelola hutan pada hutan rakyat yang belum dibebani oleh hak milik (Dasir 2011).

Manfaat dan Pentingnya Hutan Bagi Kehidupan Masyarakat Sekitar

Hutan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat terutama dalam mengaplikasi nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. ketergantungan terhadap alam dan lingkungan sangat besar karena hutan sebagai sumber lahan atau cadangan di masa depan, selain itu hutan pun menjadi sumber kehidupan baik sebagai sumber pangan, obat-obatan, konstruksi dan budaya (Salosa et al. 2014). Menurut Senoaji (2004), hutan sebagai penyeimbang ekosistem bumi yang berfungsi sebagai pabrik utama yang mengolah energi matahari menjadi energi-energi lain yang dibutuhkan oleh makhluk hidup.

(26)

8

air, dan terakhir adalah fungsi sosial budaya yaitu hutan menyediakan kebutuhan upacara adat, tempat sara melakukan pertemuan rahasia untuk membicarakan berbagai hal tentang kondisi masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat Baduy menurut (Senoaji 2010) dalam masyarakat Baduy mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci yang menjadi pusat bumi. Tanah Baduy dilarang rusak, gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak, aliran air tidak boleh diganggu dan lembah tidak boleh dirusak.

Menurut Karten (1986) dalam (Arafah et al. 2011) pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dilakukan dengan tiga alasan yaitu :

1. Local variety: masyarakat lokal punya karakteristik lingkungan yang beragam baik dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi harus ditanggapi secara tepat dan cepat.

2. Local resources: sumber daya berada ditengah-tengah masyarakat yang dibutuhkan dan saling ketergantungan.

3. Local accountability: masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap sumber daya akan memiliki komitmen dan tanggung jawab penuh untuk mengelola sumber daya secara bijaksana sesuai prinsip kearifan lokal.

Prinsip Pengelolaan Hutan

Terdapat tiga prinsip utama yang dilakukan dalam penelitian Cifor menurut Ritchie et al. (2001) yaitu:

1. Kesejahteraan masyarakat terjamin, yang menyangkut masalah utama adalah menyangkut kemampuan masyarakat tersebut untuk mengelola dan mengatur fungsi ganda yaitu penggunaan dan manfaat hutan secara kolektif, sehingga manfaatnya dapat terbagi rata untuk perorangan, rumah tangga maupun kelompok, yang pada akhirnya sumber daya hutan dapat menghasilkan kegunaan dan manfaat untuk masa depan. Dengan asumsi :

 Lembaga/organisasi masyarakat dan partisipasi, hal ini untuk mengatur penawaran dan permintaan sumber daya hutan masyarakat termasuk pembagian hak dan kewajiban, kerjasama, dan perlindungan hutan.

 Mekanisme pengelolaan lokal (norma, peraturan, undang-undang, dll).

 Manajemen konflik

 Kewenangan untuk mengelola (status kepemilikan)

 Strategi nafkah masyarakat

2. Kesehatan hutan terjamin, prinsip ini memberikan gambaran bahwa seluruh lanskap ada dalam kondisi baik sebagai hasil dari sistem pengelolaan yang dilakukan. Prinsip yang sangat luas ini ditujukan agar secara umum cukup untuk memperoleh berbagai cara pandang/pola pikir masyarakat yang berbeda terhadap sumber daya yang mereka miliki. Dengan asumsi:

 Perencanaan (zonasi dan kawasan lindung)

 Pengelolaan fungsi ekosistem

 Intervensi produktif 1 (pertanian dan agroforesty)

 Intervensi produktif 2 (HHBK berupa tumbuhan)

 Intervensi produktif 3 (HHBK berupa satwa)

(27)

9

 Kesehatan hutan 1(keanekaragaman hayati)

 Kesehatan hutan 2(struktur dan regenrasi)

 Keanekaragaman lanskap (fragmentasi dan mozaik)

3. Lingkungan eksternal mendukung pengelolaan hutan masyarakat lokal, bahwa dalam upaya pengelolaan secara lestari, masyarakat didukung oleh badan-badan eksternal seperti pemerintah. Dengan asumsi:

 Hubungan dengan pihak ketiga

 Kebijakan dan kerangka hukum

 Ekonomi

 Pendidikan dan informasi.

Ancaman Terhadap Hutan

Saat ini keberadaan hutan menjadi terancam yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang berdampak pada penggunaan lahan hutan, erosi lahan pemukiman dan erosi lahan pertanian (Salosa, et al. 2014). Selain itu menurut Senoaji (2010), pembangunan pun seringkali menimbulkan dampak negatif karena tidak disertainya tanggung jawab untuk melakukan perlindungan, konservasi, rehabilitasi dan reklamasi hutan akibatnya hutan menjadi gundul, bencana, gagal panen, serta kehilangan mata pencaharian penduduk asli hutan. Peraturan perundang-undangan pun tidak menjamin kelestarian terhadap hutan. Menurut Lubis (2005) Pada hukum UU No 5/1974 tentang pokok pemerintahan di daerah dan UU No. 5/1979 tentang pemerintahan desa mengubah secara mendasar struktur kelembagaan wilayah. Meskipun hak-hak asal usul tanah ualayat diakui dalam UU No. 5/1960 tentang UUPA. Pada kenyataannya hanya dikebiri sehingga tidak bisa sebagai tempat berlindung bagi komunitas-komunitas lokal dalam mengatur hak ulayat. Selain itu pula diberlakukannya HPH yang berdampak pada kemampuan warga komunitas lokal untuk menanam investasi di wilayah-wilayah periferal sudah tentu kala dengan investor pengusaha HPH maupun perkebunan.

Hal ini ditunjukan pada kasus hutan di Bali bahwa hutan yang dikelola oleh pemerintah justru mengalami gangguan dan perambahan yang terus menerus, akibatnya hutan di Bali mengalami kebakaran, penebangan liar dan pembirikan, kasus yang menarik di Bali ketika masyarakat melakukan penghijauan malah ditembak dengan senjata (Wijana 2013). Selain itu kasus pada kawasan TNBBS Bengkulu yang mengalami perambahan terus menerus dan tidak efektifnya sistem perlindungan hutan dibawah hukum. Kalau saja warga sekitar hutan dilibatkan dalam pemeliharaan hutan, merekalah yang bergerak cepat dan melaporkan setiap perbuatan pengrusakan hutan yang terjadi di wilayahnya. Akan tetapi karena sistem hukum perlindungan hutan yang berlaku justru menjauhkan masyarakat sekitar hutan. Maka masyarakat cenderung membiarkan kasus-kasus perambahan hutan (Yamani 2011) .

(28)

10

pembayaran pajak dan pencucian uang. Pelanggaran dapat juga terjadi karena kebanyakan wilayah-wilayah administratif dari lahan hutan negara dan kebanyakan dari unit-unit produksi resmi yang beroperasi di dalamnya tidak dipisah dari keterlibatan dengan masyarakat lokal yang sesungguhnya sangat diperlukan. Pembalakan liar (illegal logging) dilakukan oleh perusahaan-perusahaan atau pribadi-pribadi yang membutuhkan. Pohon-pohon ditebang secara illegal untuk keperluan pribadi dan tanpa ijin, membuka hutan dan menguras habis isinya, dan tanpa menanam kembali hutan untuk kelestarian selanjutnya. Kegiatan Illegal logging di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal, yaitu

1. Tingginya permintaan kebutuhan kayu yang berbanding terbalik dengan persediaannya. Pada konteks demikian dapat terjadi bahwa permintaan kebutuhan kayu sah (legal logging) tidak mampu mencukupi tingginya permintaan kebutuhan kayu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional dan besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri/konsumsi lokal. Tingginya permintaan terhadap kayu di dalam dan luar negeri ini tidak sebanding dengan kemampuan penyediaan industri perkayuan (illegal logging). Ketimpangan antara pesediaan dan permintaan kebutuhan kayu ini mendorong praktik

illegal logging di taman nasional dan hutan konservasi.

2. Tidak adanya kesinambungan antara Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 yang mengatur tentang Hak Pengusahaan Hutan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999 yang mengatur tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan Hutan Produksi. Ketidaksinambungan kedua peraturan tersebut terletak pada ketentuan mengenai jangka waktu konservasi hutan, yaitu 20 tahun dengan jangka waktu siklus Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), khususnya untuk hutan produksi yang ditetapkan 35 tahun. Hal demikian menyebabkan pemegang HPH tidak menaati ketentuan TPTI. Pemegang HPH tetap melakukan penebangan meskipun usia pohon belum mencapai batas usia yang telah ditetapkan dalam TPTI. Akibatnya, kelestarian hutan menjadi tidak terjaga akibat illegal logging.

3. Lemahnya penegakan dan pengawasan hukum bagi pelaku tindak pidana

illega logging. Selama ini, praktik illegal logging dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, dimana penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu, sedangkan untuk para makelar kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk dijerat dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Disamping itu, disinyalir adanya pejabat pemerintah yang korup justru memiliki peran penting dalam melegalisasi praktik

illegal logging.

(29)

11 konteks inilah terjadi tumpang tindih kebijakan penmerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat menguasai kewenangan pemberian HPH, disisi lain pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan unuk mengeksplorasi kekayaan alam daerahnya termasuk hutan guna memenuhi kebutuhan daerahnya. Tumpang tindih kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumber daya alam kehutanan. Tekanan hidup yang dialami masyarakat daerah yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan mendorong mereka untuk menebang kayu, baik untuk kebutuhan sendiri maupun kebutuhan pasar melalui tangan para pemodal.

Permasalahan-permasalahan hutan yang berdampak pada gagalnya perlindungan hutan disebabkan karena lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang selama berabad-abad dipraktikkan oleh komunitas adat sebagai bagian dari materi muatan hukum kehutanan lokal (Yamani 2011). Pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat tercapai apabila ada perubahan paradigma. Paradigma baru pembangunan kehutanan yang dimaksud ialah pergeseran orientasi dari pengelolaan hutan menjadi pengelolaan sumber daya, pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkeadilan. Menurut Senoaji (2004), pemanfaatan lingkungan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi kehidupan penduduknya. Sebaliknya akan timbul bencana alam jika dimanfaatkan dengan sembarangan. Masyarakat Baduy yakin jika pemanfaatan alam dan hutannya masih tetap berpegang teguh pada aturan adat dan pikukuh karuhun

tidak akan terjadi bencana alam.

Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengelola hutan menurut Ritchie, McDougall, Haggith, de Oliveira (2001):

1. Perubahan situasi politik dan ekonomi di tempat mereka beroperasi. 2. Meningkatnya permintaan sumber daya hutan dari pelaku di luar

masyarakat.

3. Menyebarnya pendidikan dan informasi global, termasuk melalui media populer.

4. Bertambahnya populasi di dalam masyarakat. Hal ini akan berdampak pada:

1. Terciptanya permintaan/kesempatan pasar yang baru

2. Terciptanya kompetisi sumber daya hutan tempat masyarakat bergantung

3. Diabaikannya sistem kepercayaan tradisional yang mendukung sistem nilai dan membimbing sistem pengelolaan mereka.

4. Meningkatnya harapan dan aspirasi

(30)

12

Strategi Nafkah

Secara sederhana livelihood didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka untuk peningkatan hidup (Chamber et al. dalam Dharmawan 2001). Ellis (2000) menyebutkan bahwa livelihood mencakup cash

berupa uang dan in kind (pembayaran dengan barang atau hasil bumi) maupun dalam bentuk lainnya seperti institusi (saudara, kerabat, tetangga, desa), relasi gender dan hak milik yang dibutuhkan untuk mendukung dan untuk keberlangsungan standar hidup yang sudah ada. Dalam Sosiologi Nafkah, Dharmawan (2007) memberikan penjelasan bahwa livelihood memiliki pegertian yang lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna sempit mata pencaharian. Dalam sosiologi nafkah, pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya menjadi strategi nafkah (dalam bahasa Indonesia), sesungguhnya dimaknai lebih besar daripada sekedar “aktivitas mencari nafkah” belaka. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, maka strategi nafkah bisa didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif. kehidupan. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, stuktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku (Dharmawan 2007). Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumah tangga sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumah tangga tidak tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat memenuhi semua kebutuhan rumah tangga.Strategi nafkah bisa berarti cara bertahan hidup atau memperbaiki status

Menurut Crow (1984) dalam Widodo (2011) Strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat. Semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah. Secara jelas, dalam bidang pertanian digambarkan dengan adanya pola intesifikasi dan diversifikasi. Strategi nafkah juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximizaion. Selain adanya pilihan, strategi nafkah mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola relasi patron-klien dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memberikan jaminan keamanan subsitensi rumah tangga petani.

Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan (2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi yaitu:

(31)

13 membangun jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh yang mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara.

2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi konsumsi individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama). 3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk

memperbaiki kehancuran.

Ellis (2002) mengemukakan tiga klasifikasi sumber nafkah yakni:

1. Sektor farm income: sektor ini mengacu pada pendapatan yang berasal dari tanah pertanian milik sendiri, baik yang diusahakan oleh pemilik tanah maupun diakses melalui sewa menyewa atau bagi hasil. Strategi on farm

merujuk pada nafkah yang berasal dari pertanian dalam arti luas.

2. Sektor off farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan di luar pertanian, yang dapat berarti penghasilan yang diperoleh berasal dari upah tenaga kerja, sistem bagi hasil, kontrak upah tenaga kerja non upah, dan lain-lain, namun masih dalam lingkup sektor pertanian.

3. Sektor non farm income : sektor ini mengacu pada pendapatan yang bukan berasal dari pertanian, seperti pendapatan atau gaji pensiun, pendapatan dari usaha pribadi, dan sebagainya.

Kearifan Lokal

Konsep pengetahuan lokal dan kearifan lokal

Terdapat perbedaan antara pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Seseorang dikatakan memliki pengetahuan lokal karena mengalami sehingga dia belajar dan akhirnya memiliki pemahaman tentang femomena alam secara tradisional, yang dikenal sebagai pengetahuan tradisional (Sillitoe 2012) dalam (Salosa, et al.

2014).

Pengetahuan mengacu pada suatu hasil belajar, alasan-alasan dan persepsi atau suatu interpretasi logis seseorang atau sekelompok orang yang digunakan sebagai dasar untuk memprediksi kejadian di masa yang akan datang. Rahmawati

et al. (2008) mengatakan bahwa pengetahuan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Pengetahuan lokal juga dapat diartikan sebagai pengetahuan instrumental yang terbentuk secara emic-historis sebagai hasil adaptasi panjang sekelompok manusia dengan lingkungan biofisiknya (Purcell 1998). Aspek-aspek kebudayaan yang fungsinya diarahkan untuk kelansungan hidup suatu kelompok masyarakat dalam jangka panjang dapat dipandang sebagai pengetahuan lokal.

(32)

14

merupakan sekumpulan pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang berkembang dengan proses adaptif dan turun-temurun oleh transmisi budaya, tentang hubungan makhluk hidup (termasuk manusia) dengan satu sama lain dan dengan lingkungan mereka.

Kearifan lokal sering berkaitan dengan kearifan ekologi yang merupakan pedoman manusia agar arif dan berinteraksi dengan lingkungan alam biofisik dan supranatural. Hal ini didukung oleh (Nababan 1995) dalam (Senoaji 2004) kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dan ekosistem disekitarnya yang memiliki sistem kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumber daya alm secara lokal Dalam kearifan ekologi memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam (Wijana 2013). Kearifan lokal dan kearifan lingkungan pun dapat didefiniskan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Pokok-pokok isi kearifan lokal menurut (Wijana 2013) mencakup 1) konsep lokal, 2) cerita rakyat yang sering berhubungan dengan mitos, 3) ritual keagaman 4) kepercayaan lokal, 5) berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai sistem perilaku dan kebiasaan publik.

Menurut Mulyani (2014) terdapat berbagai hal yang melandasi pentingnya masyarakat adat dalam mengelola hutan yaitu: 1) mereka mempunyai motivasi yang kuat untuk mengelola hutan dengan baik, karena anggapan mereka terhadap hutan adalah hal yang positif, 2) mereka mempunyai pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumber daya hutan. 3) mereka mempunyai hukum adat yang menuntun mereka dalam berprilaku, 4) mereka mempunyai kelembagaan adat, dan 5) sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas diantara komunitas masyarakat adat. Pengetahuan lokal terhadap sumber daya alam itu membentuk kearifan terhadap pengelolaan hutan. Hal ini dibuktikan pada masyarakat Baduy menurut Senoaji (2004) bahwa kehidupan sosial ekonomi dan budaya Baduy telah mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sekitar sejak beratus-ratus tahun yang lalu secara turun temurun. Hubungan timbal balik antara sistem sosial masyarakat Baduy dengan lingkungan biofisik telah menyebabkan masyarakat Baduy memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam yang ada.

Terdapat empat bentuk kearifan lokal dalam masyarakat lokal terkait pemanfaatan sumber daya hutan menurut Sarjono (2004) yaitu pertama, kepecayaan dan/atau pantangan seperti, manusia berkaitan erat dari unsur (tumbuhan, binatang, faktor non-hayati lainnya) dan proses alam sehingga harus memelihara keseimbangan lingkungan, keberhasilan penanaman (misalnya padi, rotan) berkaitan dengan gejala lingkungan seperti tumbuhan ataupun bulan, dan pantangan untuk menebang pohon buah atau pohon madu yang masih produktif, binatang yang sedang bunting, atau memotong rotan terlampau rendah.

(33)

15 Ketiga, teknik dan teknologi seperti, Membuat „sekat bakar‟ dan memperhatikan arah angin pada saat berladang agar api tidak menjalar dan/atau menghanguskan kebun/tanaman petani lainnya, menentukan kesuburan tanah, menancapkan bambu atau parang (untuk melihat kekeringan tanah), kegelapan warna tanah diameter pohon dan kehijauan warna tumbuhannya, membuat berbagai perlengkapan/alat rumah tangga, pertanian, berburu binatang dari bagian kayu/bambu/rotan/getah/zat warna dan lain-lain.

Keempat, praktek dan tradisi pengelolaan seperti, menetapakan sebagian areal hutan sebagai hutan lindung untuk kepentingan bersama (komunal), melakukan „koleksi‟ berbagai jenis tanaman hutan berharga pada lahan-lahan perladangan dan pemukiman (konservasi ek-situ), dan mengembangkan dan/atau membudidayakan jenis tanaman/hasil hutan yang berharga.

Menurut Nababan (2003) prinsip-prinsip kearifan lokal yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain, 1) Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagiam dari alam itu sendiri yang harus di jaga keseimbangan,2) penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat ekslutif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar, 3) sistem pengetahuan dan sturktur pengaturan pemerintahan adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, 4) sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumber daya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas, 5) mekanisme pemerataan distribusi hasil panen sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.

Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat, dan Norma Aturan Adat

Menurut Mulyani (2014) Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memilki asal usul leluhur (secara turun temurun) diwilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idelogi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayahnya sendiri, sedangkan menurut (Ningrum 2010) masyarakat tradisional merupakan orang-orang atau suku bangsa yang sudah hidup sesuai dengan tradisi yang tidak terputus-putus, tradisi adalah tali pengikat yang kuat dalam membangun tata tertib masyarakat. Adat sendiri merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang terhimpun dalam adat istiadat (Salosa, et al. 2014). Masyarakat hukum adat merupakan kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapanuntuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidupberdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Mulyani 2014).

(34)

16

dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat (Nababan 2003).

Hukum, aturan dan norma yang ada disetiap masyarakat berbeda-beda, pada masyarakat pegunungan Arfak (Salosa, et al. 2014) konsep “igya ser

hanjob” merupakan konsep kemandirian masyarakat untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan untuk menjadi sumber pangan, bahan bangunan, obat-obatan dan lain-lain. Menurut (Senoaji 2010) pada masyarakat Baduy berpedoman pada rukun Baduy: ngukuh, ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngersakeun sasaka pusaka harus di taati oleh masyarakat Baduy. Aturan adat telah mengatur hubungan mereka dengan alam sehingga manusia dan alamnya hidup berdampingan dan berkesinambungan. Pelanggaran terhadap hukum adat tersebut akan dikenakan hukuman oleh ketua adatnya, mulai dari hukum bekerja, hingga diasingkan bahkan dikeluarkan dari komunitas.

Pada masyarakat desa Tiga Wasa mereka percaya bahwa hutan itu adalah “duwe” yaitu hutan milik dan atau pemberian Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa) sehingga wajib dilestarikan dan dijaga. Hutan sebagai tempat suci untuk penyelenggaraan upacara agama. Tradisi lainnya adalah pelakasanaan dan pemanfaatan hutan sebagai keperluan masyarakat setempat disepakati secara bersama sehingga menjadikan kehidupan mereka lebih nyaman hidup berdampingan dengan isi hutan tersebut (Wijana 2013). Sama seperti kasus sebelumnya pada masyarakat adat Kajang menurut Dasir (2011) mereka berpegang teguh pada pasang ri kajang yang merupakan sistem nilai budaya Ammatoa sebagai petuah-petuah yang menganjurkan agar tidak merusak hutan, karena memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan penyangga keseimbangan lingkungan. Mereka percaya jika hutan rusak maka kehidupan pun akan rusak. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi cambuk, pembakaran linggis jika berbohong, dan sarang lebah jika pelaku melarikan diri.

Proses Ajar Melalui Tatanan Adat

Proses ajar ini sangat penting untuk keberlanjutan alam, karena proses ajar ini berpengaruh pada sikap dan perilaku dari setiap generasi ke generasi. Melihat bagaimana mereka mengajarkan suatu aturan dan norma adat mereka sehingga hal tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang dan nanti. Proses ajar yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut Senoaji (2010) buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dengan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang selalu disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh para orang tua kepada anaknya. Proses ajar juga bisa berlangsung melalui pelibatan anggota rumah tangga --anak-anak dan pemuda-- dalam budidaya pertanian, dan kegiatan gotong-royong desa, selain itu pula bisa dilakukan dari tarian, nyayian atau petuah-petuah dari setiap orang tua (Adiwibowo 2015, pers comm).

Kepemimpinan

(35)

17 Kepemimpinan merupakan suatu kegiatan yang bersifat memberi pengaruh kepada individu untuk keinginan mencapai tujuan. Tidak semua orang dapat disebut memiliki jiwa kepemimpinan, karena jiwa kepemimpinan yang ada di dalam diri seseorang ada ketika orang tersebut memiliki karakteristik tertentu dari suatu kegiatan (Santoso 2010), hal ini didukung oleh pendapat Stoner et all (1996) dalam Bangun (2008), mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas-tugas dari para anggota kelompoknya.

Konsep kepimpinan menurut Weber (1947) dalam Fatimah (2011) terdapat tiga tipe kepemimpinan umat manusia yaitu, tradisional, regional-regal, dan kharismatik. Tipologi Weber ini dilihat berdasarkan bentuk-bentuk aksi sosial dan dengan hubungan-hubungan sosial yang menjadi ciri khas berbagai masyarakat tertentu.

Kepemimpinan tradisional menurut Weber (1947) dalam Fatimah (2011) adalah orde sosial yang bersandar kepada kebiasaan-kebiasaan kuno dengan mana status dan hak-hak pemimpin juga sangat di tentukan oleh adat kebiasaan. Kepemimpinan tradisional juga memerlukan unsur-unsur kesetiaan pribadi yang menghubungkan hamba dengan Tuhannya. Karaterisktik pemimpin tradisional yaitu, pemimpin masih memegang teguh adat istiadat setempat, pemimpin tidak menambahkan atau mengurangi aturan dan norma adat yang berlaku, pemimpin bertugas untuk melestarikan adat istiadat nya, dan biasanya pemimpin dipilih berdasarkan aturan adat.

Berbeda dengan tipe rasional-legal dimana semua peraturan tertulis dengan jelas dan diundangkan dengan jelas, maka batas wewenang para pejabat ditentukan oleh aturan main seperti kepatuhan dan kesetiaan tidak ditunjukan kepada pribadi para pejabat melainkan kepada lembaga yang bersifat impersonal. Karakteristik pemimpin rasional-legal yaitu, menjalankan tugas masing-masing sesuai jabatannya, terdapat hirarki jabatan yang jelas, fungsi-fungsi jabatan di tentukan dengan tegas, para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, para pejabat biasanya memilki gaji dan ada jenjang kedudukan, dan pejabat tunduk pada sistem yang disiplin.

Sedangkan pemimpin kharsmatik adalah seorang pemimpin atau raja yang mempunyai sifat keramat yaitu mempunyai kemampuan yang luar biasa yang bisa menarik hati orang lain. Karakteristik pemimpin kharismatik yaitu, adanya seseorang yang memiliki bakat luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transdental dan supranatural, dan adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan.

(36)

18

Pada masyarakat adat pula kepemimpinan sangat dibutuhkan untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokalnya. Konsep kepemimpinan mempengaruhi hukum/norma/aturan adat dan mempengaruhi juga proses ajar yang berlangsung dikalangan masyarakat.Pada masyarakat pegunungan Arfak (Salosa, et al. 2014) kawasan hutan yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat harus sesuai izin kepala suku. Kepala suku ini berperan penting dalam mengatur tata kelola hutan, agar masyarakat tidak sembarangan dalam memanfaatkan hutan. Dalam masyarakat Baduy pun (Senoaji 2010) kepemimpinan ketua adat menjadi penting dengan istilah lainnya yaitu “Puun” Puun sebagai pemimin tertinggi adat Baduy adalah keturunan Batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda wiwitan. Aturan dan tata cara pelaksanaan sunda wiwitan ini di pimpin oleh Puun sebagai ketua adat amasyarakat Baduy. Kedudukan para pemimpin adat memiliki peranan dan kekuasaan terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Wewenang dan kedudukan itu sudah di tentukan oleh karuhun dengan maksud menyelamatkan bumi.

Kerangka Pemikiran

Masyarakat adat sekitar hutan umumnya menggantungkan hidupnya pada hutan, karena hutan memberikan manfaat bagi masyarakat baik manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Masyarakat sekitar hutan umumnya bermata pencaharian sebagai petani dengan memanfaatkan hutan melalui cara membuka lahan hutan, ataupun mengambil hasil hutan. Tata cara pemanfaatan dan pengelolaan hutan dibatasi sesuai aturan/hukum/norma adat secara turun-temurun, sehingga tidak merusak ekosistem hutan.

Proses beradaptasi dengan hutan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola hutan. Seringkali pengetahuan mereka tentang hutan yang berada dilingkungannya dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan sekitarnya.

Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat dibatasi oleh adanya aturan/hukum/norma adat yang berlaku. Pada setiap hutan adat memiliki aturan, hukum, norma yang berbeda-beda disetiap masyarakat yang berbeda. Aturan, hukum norma adat yang berlaku di masyarakat inilah yang membatasi sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hubungan manusia dengan alam saling berkesinambungan.

Kearifan lokal masyarakat untuk melestarikan hutan ditumbuhkan secara efektif melalui proses ajar yang dilakukan secara turun temurun dengan berbagai teknik pengajaran, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Jika proses ajat tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat besar dalam pengelolaan hutan untuk masa depan.

(37)

19

Keterangan:

: Berpengaruh

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dijelaskan di atas, maka hipotesis penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:

1. Diduga hutan adat di Kampung Naga berada dalam kondisi lestari karena didukung aturan/hukum/norma adat kearifan lokal yang masih terpelihara dengan baik, zonasi kawasan yang terpeliahara, dan tidak terjadi degradasi hutan

2. Diduga aturan, hukum, dan norma adat tentang pengelolaan hutan di Kampung Naga masih terpelihara dengan baik karena proses ajar kepada generasi muda masih berlangsung dengan baik dan kepemimpinan adat yang mendukung.

3. Diduga hutan adat di Kampung Naga berada dalam kondisi lestari karena strategi nafkah yang mendukung dan kejelasan status penguasaan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan adat.

4. Diduga strategi nafkah dan status penguasaan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan adat masih berlangsung dengan baik karena kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat.

Kondisi Hutan

- Zonasi kawasan hutan. - Pemanfaatan dan

perlindungan hutan. - Degradasi hutan

Kesejahteraan Masyarakat

- Status penguasaan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan adat.

- Strategi nafkah.

(38)
(39)

21

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif diperlukan untuk pengambilan data berupa angka yang diperoleh melalui kuisioner. Unit analisis penelitian adalah individu. Penelitian juga bersifat eksplanatori karena menjelaskan hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun 2006). Data kualitatif digunakan untuk pengambilan data yang bersifat deskriptif yakni berupa gejala-gejala sosial yang dikategorikan ataupun dalam bentuk lainnya, seperti foto, dokumen kependudukan, dan literatur lain yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Pendekatan deskriptif digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan kondisi yang ada di lapang. Penelitian deskriptif digunakan untuk memperkuat hasil yang didapatkan dari penelitian eksplanatori. Selain itu, penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kampung Naga, Desa/Kelurahan Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang masih terdapat banyak suku adat yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur. Satu-satunya suku adat di daerah Tasikmalaya yang sampai saat ini ada yaitu Kampung Naga. Selain itu, kondisi sosial-budaya Kampung Naga menjadi hal yang menarik untuk dipelajari karena dari dulu sampai sekarang komunitas Kampung Naga masih mempertahankan adat istiadat nenek moyangnya.

Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur komunitas Kampung Naga.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu 6 bulan, dengan pertimbangan kegiatan meliputi penyusunan proposal skripsi, uji petik, kolokium, pengambilan dan pengolahan data lapang, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi. (Lampiran)

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

(40)

22

sampling. Teknik simple random sampling merupakan probability sampling

dimana setiap satuan elementer dari populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun 2006). Teknik simple random sampling dipilih karena populasi penelitian homogen dari segi tempat tinggal yaitu bertempat tinggal di daerah Kampung Naga yang memiliki aturan/hukum/norma adat yang sama dan bermata pencaharian sebagai bertani. Jumlah rumah tangga sebanyak 36 rumah tangga dipilih karena populasi homogen sehingga tidak memerlukan jumlah rumah tangga yang besar karena sudah terwakili. Selain itu, jumlah minimal responden pada uji statistik adalah 30 responden, dan 6 rumah tangga untuk mengatasi error data. Sementara itu, pemilihan terhadap informan akan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Penetapan informan ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informasi ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh. Informan kunci yang dipilih adalah Ketua Adat Kampung Naga, dan sesepuh Kampung Naga.

Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari responden dan informan. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner kepada responden. Hal ini bertujuan untuk memperoleh informasi atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan tujuan penelitian. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran kuisioner yang telah dijawab oleh responden. Kuisioner merupakan salah satu instrumen dalam mengumpulkan data primer. Oleh karena itu, penting untuk menguji realibilitas dari suatu kuisioner. Uji reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun 2006).

Dari uji realibilitas tersebut maka diperoleh alpha sebagai berikut: Tabel 1 Uji statistik realibilitas

Cronbach's Alpha N of Items

0.859 24

(41)

23 Tabel 2 Jenis dan metode pengumpulan data

No Kebutuhan

(42)

24

berpengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengolahan data dilakukan dengan pengkodean jawaban kuisioner, setelah itu dimasukkan ke SPSS. for windows 21.0 untuk mempermudah pengolahan data.

Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verivikasi data. Proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan dan penyederhanaan data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi literatur. Reduksi data ini bertujuan untuk menggolongkan data dan membuang data yang tidak perlu. Kemudian proses penyajian data dilakukan dengan menyusun informasi yang dapat menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dimengerti untuk disajikan dalam laporan. Verifikasi data merupakan proses penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Selain dilakukan test validity dan realibility, hasil wawancara mendalam juga digunakan sebagai masukan untuk menyempurnakan pertanyaan dalam kuisioner. Hasil wawancara dari kuisioner juga dapat digunakan untuk merumuskan panduan pertanyaan mendalam dengan informan. Pandangan subyektif-kualitatif informan kemudian dibandingkan dengan hasil analisis obyektif-kuantitatif responden, sehingga didapatkan informasi dengan analisis dan interpretasi yang lebih rinci dan mendalam.

Definisi Operasional

A. Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara ilmiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya. Kearifan lokal pada penelitian ini dapat diukur dari kepemimpinan adat, proses ajar, dan teguhnya hukum/aturan/norma adat yang berlaku di masyarakat.

1. Karakteristik Kepemimpinan

Konsep kepimpinan menurut Weber (1947) dalam Fatimah (2011) terdapat tiga tipe kepemimpinan umat manusia yaitu, tradisional, rasional-legal, dan kharismatik. Tipologi Weber ini dilihat berdasarkan bentuk-bentuk aksi sosial dan dengan hubungan-hubungan sosial yang menjadi ciri khas berbagai masyarakat tertentu.

a. Tradisional merupakan kekuasaan yang berasal dari kepercayaan secara tradisional, kebiasaan-kebiasaan kuno dengan mana status dan hak-hak pemimpin juga sangat ditentukan oleh adat kebiasaan.

Indikator dalam mengukur kepemimpinan tradisional adalah: i. Pemimpin masih memegang teguh adat istiadat setempat.

ii. Pemimpin tidak menambahkan atau mengurangi aturan dan norma adat yang berlaku.

iii.Pemimpin bertugas untuk melestarikan adat istiadat nya. iv.Pemimpin dipilih berdasarkan aturan adat.

(43)

25 ditunjukan kepada pribadi para pejabat melainkan kepada lembaga yang bersifat impersonal.

Indikator dalam mengukur kepemimpinan rasional-legal adalah: i. Menjalankan tugas masing-masing sesuai jabatannya.

ii. Terdapat hirarki jabatan yang jelas.

iii.Fungsi-fungsi jabatan di tentukan dengan tegas.

iv.Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional.

v. Para pejabat biasanya memilki gaji dan ada jenjang kedudukan. vi.Pejabat tunduk pada sistem yang disiplin.

c. Kepemimpinan kharismatik merupakan kekuasaan yang didapatkan dari kemampuan seseorang untuk berinteraksi atau menarik hati orang lain. Menurut Weber kepemimpinan kharismatik terjadi saat terdapat krisis sosial, seorang pemimpin muncul dengan sebuat solusi untuk krisis itu.

Indikator dalam mengukur kepemimpinan kharismatik adalah: i. Adanya seseorang yang memiliki bakat luar biasa.

ii. Adanya krisis sosial.

iii.Adanya sejumlah ide yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut. iv.Adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki

kemampuan luar biasa yang bersifat transdental dan supranatural.. v. Adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami

kesuksesan.

2. Proses Ajar

Proses ajar melalui tatanan adat merupakan suatu hal yang penting bagi keutuhan kearifan lokal dimana kearifan lokal masih dipegang erat oleh anggota komunitasnya yang diturunkan dari setiap generasi ke generasi selanjutnya. Proses ajar ini bisa melalui lisan atau arahan dan melalui praktek langsung. Proses ajar dapat diukur dari setiap generasi yang masih memegang erat kebiasaan dan perilaku kearifan lokalnya.

Indikator dalam mengukur proses ajar adalah:

a. Orang tua berperan dalam memberikan arahan dan contoh praktek langsung kepada anak-anak mengenai perilaku kehidupan sehari-hari sesuai adat istiadat

b. Ustadz mempunyai peran dalam mengarahkan kepada anak-anak mengenai melalui pengajian mengenai hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

c. Orang tua adat mempunyai peran mengawasi dan memberi arahan kepada anggota komunitas.

d. Pemimpin adat mempunyai peran mengawasi dan memberi arahan serta petunjuk norma-norma adat kepada komunitasnya.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh kearifan lokal terhadap  pengelolaan hutan
Tabel 2 Jenis dan metode pengumpulan data
Gambar 2 Pembagian tatanan ruang kampung
Tabel 4 Jumlah dan persentase menurut kategori status/ijazah tertinggi anggota keluarga kedua responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menganalisis kearifan lokal komunitas Kuta dalam menjaga dan mengelola sumberdaya air; menganalisis peran pemimpin

Komunitas Adat Terpencil (KAT). Karena kearifan lokal merupakan seperangkat pengetahuan, nilai-nilai, perilaku, serta cara bersikap terhadap objek dan peristiwa tertentu

Kearifan lokal pada masyarakat adat Baduy menjadi nilai etika inti yang diejawantahkan dalam bentuk perilaku keseharian yakni sangat peduli pada lingkungan, bekerja sama yang

Masyarakat adat Cireundeu menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dari dulu hingga saat ini, masyarakat adat menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dengan cara memberi contoh dan

217 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini diperoleh data mengenai nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Dayak Pipitak Jaya yang berada di sekitar kawasan hutan Piani, data

Ana Diana, 2023 KECERDASAN EKOLOGIS DALAM NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIKONDANG SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS Universitas Pendidikan Indonesia |

Ana Diana, 2023 KECERDASAN EKOLOGIS DALAM NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIKONDANG SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS Universitas Pendidikan Indonesia |

Ana Diana, 2023 KECERDASAN EKOLOGIS DALAM NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIKONDANG SEBAGAI SUMBER BELAJAR IPS Universitas Pendidikan Indonesia |