• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perekat Lignin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perekat Lignin"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TULIS

PEREKAT LIGNIN

Disusun Oleh:

Tito Sucipto, S.Hut., M.Si.

NIP. 19790221 200312 1 001

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan keajaiban-Nya sehingga dapat menyelesaikan karya tulis mengenai “Perekat Lignin“.

Karya tulis ini berisi tentang gambaran umum mengenai perekat lignin sebagai salah satu perekat alami yang berasal dari sumberdaya alam berlignoselulosa. Penulis berharap semoga karya tulis ini dapat memperkaya khasanah wawasan dan pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi kayu.

Tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan saran dan masukan yang konstruktif demi menyempurnakan karya tulis.

Medan, Desember 2009

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

Perekat Sintetis dan Perekat Alami ... 1

Lignin ... 4

Lignin Sebagai Bahan Baku Perekat... 7

(4)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(5)

PEREKAT LIGNIN

Perekat Sintetis dan Perekat Alami

Perekat (adhesive) menurut ASTM adalah suatu zat atau bahan yang memiliki kemampuan untuk mengikat dua buah benda berdasarkan ikatan permukaan (Blomquist et al., 1983; Forest Product Society, 1999). Perekat merupakan salah satu bahan utama yang sangat penting dalam industri pengolahan kayu, khususunya komposit. Dari total biaya produksi kayu yang dibuat dalam berbagai bentuk dan jenis kayu komposit, lebih dari 32% adalah biaya perekatan (Sellers, 2001).

Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, paste dan cement (Blomquist, et al., 1983).

1. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku, urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industri pengerjaan kayu.

2. Mucilage adalah perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan

diperuntukkan terutama untuk merekat kertas.

3. Paste merupakan perekat pati (starch) yang dibuat melalui pemanasan

campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta.

4. Cement adalah istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya

karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut.

Menurut Blomquist, et al., (1983), berdasarkan unsur kimia utama (major chemical component), perekat dibagi menjadi dua kategori yaitu:

1. Perekat alami (adhesive of natural origin)

a. Berasal dari tumbuhan, seperti starches (pati), dextrins (turunan pati) dan vegetable gums (getah-getahan dan tumbuh-tumbuhan)

(6)

c. Berasal dari material lain, seperti asphalt, shellac (lak), rubber (karet), sodium silicate, magnesium oxychloride dan bahan anorganik lainnya.

2. Perekat sintetis (adhesive of synthetic origin)

a. Perekat thermoplastis yaitu resin yang akan kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Contohnya seperti polyvinyl alcohol (PVA), polyvinyl acetate (PVAc), copolymers, cellulose esters dan ethers, polyamids, polystyrene, polyvinyl butyral serta polyvinyl formal.

b. Perekat thermosetting yaitu resin yang mangalami atau telah mengalami reaksi kimia dari pemanasan, katalis, sinar ultraviolet dan sebagainya serta tidak kembali ke bentuk semula. Contohnya seperti urea, melamine, phenol, resorcinol, furfuryl alcohol, epoxy, polyurethane,

unsaturated polyesters (poliester tidak jenuh). Untuk perekat urea,

melamine, phenol dan resorcinol menjadi perekat setelah direaksikan dengan formaldehida (CH2O).

Di Indonesia telah berdiri lebih dari ratusan industri pengolahan kayu (komposit) yang sebagian besar menggunakan perekat urea formaldehida (UF), fenol formaldehida (PF) dan melamin formaldehida (MF). Sebagian besar perekat

yang diproduksi di Indonesia adalah perekat sintetik seperti perekat UF, PF dan MF, yang peruntukannya memenuhi kebutuhan industri kayu lapis, papan partikel dan vinir lamina. Sementara untuk produksi kayu pertukangan (wood working), keperluan struktural atau bangunan dan perkapalan masih menggunkan perekat impor dari Belgia dan Jepang, yaitu perekat dingin tipe WBP dari jenis fenol resorsinol formaldehida (PRF) dan resorsinol formaldehida (RF).

(7)

tidak menggunakan pelarut berbahan dasar air, sehingga dampak negatif terhadap lingkungan akan berkurang. Penelitian dan pengembangan mengenai perekat terus dilakukan untuk mengeksplorasi perekat alami baru yang kualitasnya tinggi dan dampak negatif terhadap lingkungan yang rendah.

Kelemahan perekat sintetis seperti UF, PF dan MF adalah ketersediaan sumber bahan baku perekat yang semakin berkurang dan timbulnya emisi formaldehida dari produk material hasil perekatan terhadap lingkungan. Emisi formaldehida dapat menyebabkan gejala pusing, sakit kepala dan insomnia (Umemura, 2006).

Formaldehida (HCHO) merupakan gas yang tidak berwarna. Berat molekulnya 30,03, kerapatan 1,067 g/m3, titik lebur -92 0C, titik didih -19,5 0C dan titik kalor 300 0C. Formaldehida dapat menyebabkan emisi formaldehida (sick-house syndrome) yaitu reaksi alergi manusia terhadap bahan kimia yang terdapat pada material konstruksi, terutama formaldehide atau zat kimia lain sebagai bahan perekat yang diaplikasikan pada bangunan atau furniture. Perekat berbahan dasar minyak bumi (formaldehida) memiliki sifat perekatan yang baik, tapi ketersediannya semakin terbatas dan sebagian mengandung zat kimia yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Perekat alami merupakan alternatif pengganti perekat berbahan dasar minyak bumi, tetapi sifat perekatannya masih

kurang baik. Studi tentang perekat alami perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas perekatannya (Umemura, 2006).

Perekat berbahan formaldehida merupakan perekat sintetis yang bahan bakunya diperoleh sebagai hasil olahan minyak bumi yang tidak dapat pulih (Maloney, 1993). Karena kegiatan pembangunan minyak bumi yang terus menerus, maka kemungkinan sumber minyak semakin lama semakin berkurang bahkan habis sehingga perlu adanya bahan pengganti dalam pembuatan perekat.

(8)

Dalam bidang ilmu dan teknologi kayu, peranan kimia kayu akan sangat penting untuk masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan kayu sendiri berasal dari bahan kimia alami yang sampai saat ini masih dalam penelitian tentang berbagai kandungan kimia dari kayu. Kandungan kimia kayu secara garis besar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin, zat ekstrktif dan sedikit bahan anorganik (Forest Products Society, 1991; Sjostrom, 1981; Fengel & Wegener, 1985).

Lignin

Lignin merupakan komponen utama penyusun kimia kayu selain selulosa dan hemiselulosa. Lignin adalah polimer alami yang terdiri dari molekul-meolekul polifenol yang berfungsi sebagai pengikat sel-sel kayu satu sama lain, sehingga kayu menjadi keras dan kaku. Dengan adanya lignin maka kayu mampu meredam kekuatan mekanis yang dikenakan terhadapnya, sehingga memungkinkan usaha pemanfaatan lignin sebagai bahan perekat dan pengikat (binder) pada papan partikel dan kayu lapis (Rudatin, 1989).

Kandungan lignin dalam tumbuhan berlignoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku perekat lignin dan perekat likuida melalui proses likuifikasi. Menurut Sjostrom (1981) sementara lignin saat ini masih terbatas penggunaannya sebagai bahan perekat dan bahan pengental. Pemanfaatan lignin didunia sampai

saat ini sangat terbatas walaupun potensi lignin di dunia sangat besar. Amerika serikat setiap tahunnya memroduksi lignin melalui proses Kraft dan metode soda sebanyak 20 juta ton/tahun (David & Hon, 1996). Sedangkan dengan proses sulfite, Amerika Serikat memproduksi lignosulfonate 1 juta Mg/tahun.

(9)

berikatan satu sama lain dengan ikatan karbon dengan karbon (C-C), ikatan karbon dengan oksigen (C-O) dan juga adanya ikatan eter. Dalam komponen kayu, sifat lignin adalah hidrofobik dan tidak larut dalam air. Kegunaan lignin dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu sebagai komponen sisa dalam pembuatan pulp, bahan bakar, produk polimer dan sumber bahan-bahan kimia dengan berat molekul rendah. Selama perkembangan sel, lignin dimasukkan sebagai komponen terakhir di dalam dinding sel, menembus di antara fibril dan berfungsi sebagai penguat dinding sel

Sjostrom (1981) menyebutkan, lignin merupakan polimer yang mengandung penylpropana. Kandungan lignin dalam kayu berkisar antara 20–25 % untuk kayu daun lebar (Hardwood). Akhmadi (1990) menjelaskan bahwa lignin dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok lignin guaiasil (koniferil alcohol) yang terdapat dalam kayu daun jarum (softwood) dengan kisaran 26–32 %, dan yang kedua adalah kelompok lignin guaiasil-siringil (sinapil alcohol atau koniferil alkohol) yang terdapat pada daun lebar (hardwood) sebanyak 20–28 %. Banyak metode yang diterapkan untuk mengisolasi lignin antara lain metode klason, metode milled wood lignin (MWL), metode cellulolytic enzyme lignin (CEL) dan lignin teknis yang merupakan lignin dari sisa produksi pulp.

Secara garis besar, kegunaan lignin dapat digolongkan menjadi tiga

kelompok, yaitu sebagai bahan bakar, sebagai produk polimer dan sebagai sumber bahan-bahan kimia dengan berat molekul rendah. Dalam proses pembuatan pulp, lignin merupakan limbah yang tidak bernilai dan diusahakan dihilangkan. Penggunaan lignin sebagai perekat dimulai sejak dimulainya pembuatan pulp sulfat (spent sulfite liquor/SSL). Pada dasarnya pembuatan lignin sebagai perekat hampir sama dengan phenol formaldehida, karena keduanya mempunyai komponen kimia yang hampir sama yaitu gugus fenolik, sehingga menyebabkan lignin dapat digunakan untuk mensubtitusi phenol formaldehida (Pizzi, 1994).

(10)

tidak berpasangan pada kedudukan R akan bereaksi dengan tiga jenis radikal yang

Gambar 1. Unit fenil propana dari lignin

Dalam komponen kayu, sifat lignin adalah hidrofobik dan tidak larut dalam air. Pada saat pembuatan pulp, perlakuan kayu dengan ion HSO3- akan

menyebabkan degradasi parsial pada ikatan eternya, menghasilkan grup asam sulfonik (sulfonic acid–SO3H/lignosulfonat). Dengan proses tersebut, lignin yang

semula bersifat hidrofobik dan tidak larut dalam air, menjadi larut dalam air (Pizzi, 1994).

Dalam penggunaan SSL (spent sulfite liquor) sebagai perekat, selama periode curing (pengerasan) terjadi perubahan keadaan dari komponen yang larut menjadi komponen yang tidak larut. Secara kimia, proses pengerasan (curing) lignin merupakan proses ikatan silang (cross linking) antara atom-atom karbon maupun antara atom karbon dengan atom oksigen, yang terjadi antar molekul lignin yang berbeda maupun antara molekul lignin dengan suatu makromolekul lain. Proses ikatan silang lignin dapat terjadi dengan dua cara, yaitu melalui reaksi kondensasi dan melalui reaksi radikal coupling (Pizzi, 1994).

1) Reaksi kondensasi

Lignosulfunat yang diperlakukan dengan asam mineral kuat pada temperatur tinggi atau memanaskan pada temperatur di atas 180 0C, reaksi kondensasi akan terjadi dengan bertukarnya gugus sulfonat dengan gugus diphenyl methana. Reaksi kondensasi lignosulfonat disajian pada Gambar 1

(11)

berikut. Dalam reaksi ini, peran diphenyl methana sama dengan formasi perekat phenol dari phenol dan formaldehida. Selanjutnya bila direaksikan dengan formaldehida akan terbentuk ikatan silang .

Gambar 2. Reaksi kondensasi lignosulfonat

2) Reaksi oksidatif coupling

Asam lignosulfonik di dalam teknik SSL (spent sulfite liquor) mengandung kurang lebih 0,4 gugus fenolik hidroksi bebas pada setiap unit C9. Sebagaimana formasinya di dalam tanaman, ikatan silang lignosulfonat dimungkinkan terjadi oleh adanya oksidatif coupling, seperti hidrogen peroksida, katalis sulfur dioksida maupun potassium ferisianida (Pizzi, 1994).

Gambar 3. Reaksi ikatan silang antara lignin dengan oksidatif coupling

(12)

Lignin sebagai limbah yang dihasilkan dari pembuatan pulp telah digunakan sebagai bahan perekat sejak dikenal pemasakan kayu dengan proses sulfit. Pemanfataan lignin dari lindi hitam didasari untuk mengurangi kebergantungan terhadap kebutuhan perekat sintesis sebagai hasil olahan asal minyak bumi yang merupakan sumber daya tidak terbarukan, mengurangi pencemaran lingkungan dan menekan biaya perekat (Pizzi, 1994).

Berdasarkan strukturnya yang merupakan polifenol, lignin sebagai perekat mirip dengan resin phenol formaldehida. Hal ini terutama secara nyata berlaku bagi lignin alam dalam kayu, sementara lignin teknis (lignosulfonat dan lindi hitam) harus diberi ikatan silang guna mengubahnya ke dalam bentuk resin yang tidak larut. Namun reaksi kondensasi dalam lignin dengan pemanasan atau asam mineral tidak seefektif dalam resin PF disebabkan oleh tiga hal, yaitu:

a. Hanya terdapat 0,5 posisi orto bebas (orto pada gugus fenolik) per unit C9; posisi 6 dan 2 kurang reaktif.

b. Kurangnya satu benzil alkohol atau gugus eter per unit C9 dalam lignin, sementara dalam resin PF mencapai 3 gugus metilol yang dapat dimasukkan ke dalam satu cincin fenolik.

c. Inti aromatik dalam lignin amat kurang reaktif daripada fenol terhadap gugus hidroksibenzil alkohol, akibat adanya gugus metoksil atau yang ekuivalen

dengan metoksil daripada gugus hidroksil pada cincin-cincin aromatik lignin. Selain itu, menurut Hon (1996), energi aktivasi dari hidroksimetilasi lignin (15 kkal) lebih rendah daripada reaksi fenolik sederhana (24 kkal). Dengan alasan-alasan tersebut, maka lignin teknis tidak dapat berikatan silang secara efektif seperti resin PF. Untuk aplikasinya diperlukan suhu kempa yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lebih lama atau dengan menggunakan konsentrasi asam yang lebih pekat.

Sulitnya upaya pembuatan lignin sebagai bahan perekat termosetting telah mendorong pemakaian lignin ini sebatas sebagai campuran bahan perekat, dengan maksud untuk menghemat pemakaian perekat utama. Hal ini tercermin dari beberapa hasil penelitian, yang antara lain telah diungkapkan oleh Pizzi (1983).

(13)

membentuk resin lignin fenol formaldehida (lignin phenol formaldehyde, LPF) atau lignin resorsinol formaldehida (LRF) (Pizzi, 1994). Dalam penggunaannya, lignin sering ditambahkan ke dalam perekat PF (LPF/lignin phenol formaldehida) maupun perekat UF (LUF/lignin urea formaldehida) dalam pembuatan papan partikel, kayu lapis, maupun papan serat.

Pada dasarnya pembuatan lignin sebagai perekat hampir sama seperti pada fenol formaldehida, karena keduanya mempunyai komponen kimia yang hampir sama yaitu dari gugus fenolik, sehingga menyebabkan lignin dapat digunakan untuk mensubtitusi fenol formaldehida. Secara kimia, proses pengerasan (curing) lignin merupakan proses ikatan silang (cross linking) antara atom-atom karbon maupun antara atom karbon dengan atom oksigen, yang terjadi antar molekul lignin yang berbeda maupun antara molekul lignin dengan suatu makromolekul lain. Proses ikatan silang lignin dapat terjadi dengan dua cara , yaitu melalui reaksi kondensasi dan melalui reaksi radikal coupling (Pizzi, 1994).

Selanjutnya dikatakan bahwa lignin sebagai limbah dari pembuatan pulp telah digunakan sebagai bahan perekat sejak dikenal pemasakan kayu dengan proses sulfit. Pemanfataan lignin dari lindi hitam (black liquor) sisa pembuatan pulp didasari untuk mengurangi kebergantungan terhadap kebutuhan perekat sintesis sebagai hasil olahan asal minyak bumi yang merupakan sumber daya tidak

(14)

Sifat perekat lignin yang tidak disukai adalah warnanya yang kecoklatan sehingga akan mempengaruhi penampilan produk yang dihasilkan. Kelebihan lignin dibandingkan perekat sintetik adalah tidak menimbulkan emisi formaldehida, selain itu lignin merupakan produk alam yang dapat diperbaharui (renewable). Walau mempunyai struktur yang sama dengan fenol, lignin resin tidak seefektif fenol formaldehida, yang disebabkan antara lain karena rendahnya jumlah posisi bebas gugus aromatik lignin dan reaktivitasnya yang rendah dibandingkan fenol (Sudradjat et al., 2003).

Lignin isolat yang diperoleh dari lindi hitam memiliki struktur kimia yang dominan terdiri atas siringil dan guaiasil (49%) dengan nisbah siringil terhadap guaiasil sebesar 1 : 2,5 dan mengandung gugus fungsi khas, yaitu hidroksifenolik dan metoksil. Lignin ini efektif bila digunakan secara bersama dengan resorsinol dalam bereaksi dengan formaldehida, sehingga dalam kondisi basa terbentuk kopolimer lignin resorsinol formaldehida, sebagai perekat kempa dingin untuk kayu lamina. Kopolimer lignin resorsinol formaldehida yang dibuat dari lignin isolat tersebut memiliki ciri khas pada bilangan gelombang spektrofotometer inframerah yang mirip dengan ciri yang dimiliki oleh resin fenol resorsinol formaldehida. Resin lignin resorsinol formaldehida pada komposisi optimum memiliki derajat kekristalan 56,27%, dan suhu transisi pelelehan 161 oC. Kualitas

resin lignin resorsinol formaldehida selain dipengaruhi oleh komposisi bahan baku, dipengaruhi juga oleh kadar bahan aditif dan waktu pengempaan yang diterapkan pada suhu kamar. Komposisi aplikatif perekat lignin resorsinol formaldehida adalah pada resin yang bernisbah mol L : R : F = 1 : 0,5 : 2 dengan kadar aditif 1,5% dari resin padatnya. Perekat ini berbentuk cairan berwarna merah kecoklatan, berbau khas fenol, memiliki kadar resin pada 48,95%, formaldehida bebas 3,71% dan waktu tergelatin 227,5 menit (Santoso, 2003).

(15)

resorsinol dan formaldehida sehingga membentuk resin lignin fenol formaldehida (lignin phenol formaldehyde, LPF) atau lignin resorsinol formaldehida (LRF) maupun perekat UF (LUF/lignin urea formaldehida) dalam pembuatan papan partikel, kayu lapis, maupun papan serat (Pizzi, 1994).

Beberapa penelitian telah dapat menghasilkan perekat likuida, tapi kualitasnya tidak sebaik perekat sintetis. Agar tumbuhan berlignoselulosa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri perekat likuida secara optimal, perlu dilakukan penelitian peningkatan kualitas perekat. Pengetahuan peningkatan mutu perekat likuida harus dikaji lebih lanjut agar pemanfataannya lebih optimal serta menghasilkan perekat likuida TKS yang berkualitas dan memenuhi standar.

Istilah liquefaction of lignocellulosic adalah suatu prosedur untuk memproduksi minyak dari biomass dalam kondisi konversi tertentu (Appel et al., 1975; Vanasse et al., 1988 dalam Yoshioka et al., 1992). Yoshioka et al. (1992), menyatakan bahwa likuifikasi lignoselulosa juga dapat dilakukan pada suhu 240-270 °C tanpa katalis, 80-150 °C dengan katalis asam, bahkan pada suhu ruang (untuk kayu termodifikasi kimia).

Lignin dari TKS dikonversi menjadi perekat likuida melalui proses likuifikasi. Likuifikasi kayu termodifikasi kimia dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

1. Likuifikasi dari kayu teresterifikasi. Kayu yang diesterifikasi dengan serangkaian asam alifatik, dapat dilikuifikasi dalam benzyl ether, styrene oxide, phenol resorcinol, benzaldehyde, larutan phenol, campuran kloroform-dioxane dan campuran benzene-acetone setelah perlakuan pada suhu 200-270°C selama 20-150 menit (Shiraishi 1989, Patent dalam Yoshioka et al., 1992). Kayu dapat dilikuifikasi dalam phenol (atau larutannya), resorcinol (atau larutannya) dan formalin setelah perendaman atau pengadukan pada 170°C selama 30-60 menit (Shiraishi et al., 1984 dalam Yoshioka et al., 1992).

(16)

yang sesuai, pada suhu 80°C selama 30-150 menit. Tiap reaksi tersebut menyebabkan lepasnya fraksi alkohol (alkoholisis) dari makromolekul lignin (Shiraishi et.al. 1985 dalam Yoshioka et al. 1992).

3. Post-chlorination dari kayu termodifikasi kimia. Kayu termodifikasi kimia yang di-klorinasi, akan meningkat kelarutannya dalam pelarut. Pada suhu ruang, hanya 9,25% cyanoethylated wood, dapat dilarutkan dalam o-cresol. Namun setelah reaksi klorinasi, hampir seluruh cyanoethylated wood tersebut dapat larut dalam o-cresol, pada suhu ruang (Yoshioka et al., 1992).

Likuifikasi kayu termodifikasi kimia menggunakan pelarut phenols, bisphenols, dan polihydric alcohols, dan dikombinasikan dengan penggunaan cross-linking agent atau hardener, menghasilkan resin (phenol-formaldehyde

resin, polyurethane resin, epoxy resin, dll) dengan daya rekat yang baik (Shiraishi, 1986; Shiraishi et al., 1986; 1987b dan 1988; Kishi et al., 1986 dalam Yoshioka et al., 1992). Pu et al. (1991) dalam Yoshioka et al. (1992) melakukan penelitian

mengenai likuifikasi kayu dalam fenol yang hasilnya digunakan sebagai perekat. Sebanyak 5 sampai 20 gram fenol dan sejumlah katalis ditempatkan dalam labu pada suhu 50ºC, kemudian ditambahkan 5 gram tepung birch tanpa perlakuan awal. Proses likuifikasi berlangsung pada suhu 150ºC selama 15 sampai 120 menit tanpa pengadukan sehingga hasilnya berbentuk pasta.

Metode pembuatan perekat dari biomassa mengandung lignin (Russel and Riemath, 1985).

a. Mempersiapkan liquefaction oil dari material tanaman yang mengandung lignin, dengan memanaskannya pada suhu 290°C s.d 350°C, selama 0,25 sampai 1 jam pada tekanan antara 1500 sampai 3000 psi, dengan keberadaan air sebanyak 60 – 80 persen berat dan katalis alkali.

b. Mereaksikan liquefaction oil dengan dietil eter, sehingga diperoleh fraksi terlarut dan tidak terlarut pertama.

c. Fraksi terlarut pertama kemudian direaksikan dengan basa lemah (aqueous NaHCO3) sehingga diperoleh fraksi terlarut dan tidak terlarut kedua.

(17)

e. Fraksi terlarut ketiga direaksikan dengan asam (HCl) sehingga menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut keempat.

f. Fraksi tidak terlarut keempat direaksikan dengan dietil eter sehingga menghasilkan fraksi terlarut dan tidak terlarut kelima.

g. Fraksi terlarut kelima ditambahkan air sehingga menghasilkan fraksi terlarut yang disebut dengan fraksi fenolik dari liquefaction oil.

h. Campurkan (dengan perbandingan berat), 100 bagian fraksi fenolik, 1330 bagian formaldehida 37%, 660 bagian air dan 460 bagian NaOH.

i. Panaskan campuran tersebut pada suhu 70°C -80°C selama 6 jam sehingga diperoleh resin fenol formaldehida.

j. Campurkan 100 bagian resin fenol formaldehida, 3 bagian tepung kulit kayu, 6 bagian NaOH 50% dan 3 bagian aqueous Na2CO3.

k. Panaskan campuran tersebut pada suhu 60°C selama 0,5 jam sehingga diperoleh perekat.

Perkembangan likuifikasi kayu untuk perekat antara lain :

1. Likuifikasi bambu dalam fenol menggunakan katalis HCl 5% pada suhu 115oC menghasilkan perekat liquefied bamboo formaldehyde (BLF) (Shenyuan et al., 2006).

2. Likuifikasi kayu German spruce dalam fenol atau resorcinol pada suhu 250oC

dalam tabung yang kedap tekanan menghasilkan pasta yang merupakan prekursor untuk membuat resin epoksi (Kishi et al., 2005).

3. Likuifikasi kayu Birch dalam fenol dengan menggunakan katalis asam sulfat (Alma et al., 2004).

4. Likuifikasi daun jagung untuk perekat papan partikel (Yu et al., 2004).

5. Likuifikasi kulit jagung dalam fenol, dilanjutkan dengan kondensasi hasil likuifikasi corn bran dengan formaldehida dalam kondisi basa, menghasilkan perekat resol fenolik untuk perekat kayu lapis (Lee, 2003).

6. Hasil likuifikasi hazelnut shell (tempurung/kulit hazelnut) dengan katalis potasium hidroksida (KOH) digunakan sebagai ko-polimer dalam perekat lignin formaldehyde (LF) (Demirbas, 2002).

(18)

Referensi

Alma, MH, M Yoshioka, Y Yao and N Shirashi. 1998. Preparation of Sulfuric Acid-Catalyzed Phenolated Wood Resin. Journal of Wood Science and Technology 32:297-308, 1998.

Achmadi, SS. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Blomquist, RF, AW Christiansen, RH Gillespie and GE Myers. 1983. Adhesive Bonding of Wood and Other Structural Materials. Forest Product Technology USDA Forest Service. Wisconsin: The University of Wisconsin-Extension.

David, N & Hon, S. 1996. Chemical Modification of Lignocellulosic Materials. New York, USA: Mercer Dekker Inc.

Demirbas, A. 2002. Utilization of Lignin Degradation Products from Hazelnut Shell via Supercritical Fluid Extraction. J. 24: 891-897, September 01, 2002. Fengel, D & Wegener, G. 1983. Wood : Chemistry, Ultra structure and Reactions.

Berlin, Germany: Institute of Wood Chemistry. Univ. Mubich.

[FPS] Forest Products Society. 1999. Wood Handbook: Wood as An Engineering Material. USA: Forest Products Society.

Gillespie, RH. 1987. Durable Wood Adhesives from Kraft Lignin. In Hemingway, RW, Cornner and SJ Branham (eds.). 1987. Adhesives from Renewable Resources. New Orlean, Lousiana: Symposium in the Cellulose, Paper and Textile.

Kishi, H, A Fujita, H Miyazaki, S Matsuda and A Murakami. 2005. Natural Fiber Reinforced Wood-Based Epoxy Composites. Proceeding of The 8th Polymers for Advanced Technologies International Symposium. Budapest, Hungary, 13-16 September 2005.

Lee, SH. 2003. Phenolic Resol Resin from Phenolated Corn Bran and Its Characteristics. J. Appl. Polym Sci 87:1365-1370, 2003.

Nimz, HH. 1983. Lignin-Based Wood Adhesives. In A. Pizzi. Wood Adhesives Chemistry and Technology. New York: Marcel DekkerInc..

Pizzi, A. 1983. Wood Adhesives, Chemistry and Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

Pizzi, A. 1994. Advanced Wood Adhesives Technology. New York: Marcel Dekker, Inc.

(19)

Rudatin, S. 1989. Potensi dan Prospek Pemanfaatan Lignin dari Limbah Industri Pulp dan Kertas di Indonesia. Berita Selulosa (25) 1: 14 – 17.

Russel, JA and WF Riemath. 1985. Method for Making Adhesive from Biomass US Patent 4.508.886, 2 April 1985.

Santoso, A. 1995. Pencirian Isolat Lignin dan Upaya Menjadikannya Sebagai Bahan Perekat Kayu Lapis. Tesis Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Bogor: IPB. Tidak diterbitkan.

Santoso, A. 2003. Sintesis dan Pencirian Resin Lignin Resorsinol Formaldehida untuk Perekat Kayu Lamina. Disertasi Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Bogor: IPB. Tidak diterbitkan.

Sellers, T. 2001. Wood Adhesive: Innovation and Applications in North America. Forest Product Journal, June 2001: 51 (6).

Shenyuan, F, M Lingfei, L Wenzhu and C Shuna. 2006. Liquefaction of Bamboo, Preparation of Liquefied Bamboo Adhesives and Properties of The Adhesives. Journal of Frontiers of Forestry in China No. 2, 2006.

Shiraishi, N and CY Hse. 2000. Liquefaction of The Used Creosate-Treated Wood in The Presence of Phenol and Its Application to Phenolic Resin. Wood Adhesives 2000, pages 259-266.

Sjostrom, E. 1981. Wood Chemistry. Fundamentals and Applications. Laboratory of Wood Chemistry. Helsinki, Finlandia: Academic Press.

Sudradjat, R, G Pari dan MI Iskandar. 2003. Pembuatan Perekat Fenolik dari Lindi Hitam yang Dipekatkan dengan Tanin atau Fenol Kristal. Buletin Penelitian Vol. 21 No. 2 Tahun 2003. Bogor: P3THH.

Umemura, K. 2006. Wood-based materials and wood adhesives: Recent trend in Japan. Cibinong: Makalah Wood Science School di UPT Biomaterial LIPI. Yoshioka, M, Y Aranishi and N Shiraishi. 1992. Liquefaction of Wood and Its Applications. Rotorua, New Zealand: Forest Research Institute Bulletin No. 176, 7-8 November 1992.

Gambar

Gambar 1.  Unit fenil propana dari lignin
Gambar 2.  Reaksi kondensasi lignosulfonat

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

(b) For the internet private customers, list and explain the audit procedures you would carry out to obtain assurance that goods dispatched during the year have

Rumah sakit menetapkan pr0ses penetapan u/an' staf medis dan pmbaharuan ke9enan'an k/inis pa/in' sedikit setiap $ 3ti'a4 tahun6 untuk penetapan ke9enan'an k/inis di/anjutkan den'an

Laju kalor ( ) ketika sebuah benda panas memindahkan kalor ke fluida sekitarnya secara konveksi adalah sebanding dengan luas permukaan benda A yang bersentuhan

BAB VIII - 11 Berdasarkan isu strategi/rencana pengembangan Kabupaten Probolinggo diatas, maka dapat dilakukan penapisan usulan/rencana program yang berkaitan dengan

diskusi, ceramah Papan Tulis, OHT analisis Meng guntingan artikel dari surat kabar sesuai dengan tema dan memprese ntasikan didepan kelas Buku ISD Gunadarma, guntingan koran dan

Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan yang diikut nama orang, nama instansi, atau nama tempat yang digunakan sebagai penggant nama orang tertentu..

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesehatan koperasi pegawai di Sungailiat periode 2011-2015 yang dilihat dari tujuh aspek yaitu, aspek permodalan, kualitas